PERUBAHAN SlFAT FlSlK DAN KlMlA TANAH AKIBAT KEBAKARAN LANTAI HUTAN
UCUN SULASTRI
SEKOLAHPASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Surnber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2006
Ucun Sulastri A25 1020051
ABSTRAK UCUN SULASTRI. Pembahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan. Dibimbing oleh oleh SUDARSONO sebagai ketua komisi pembimbing, dan SURIA DARMA TARIGAN sebagai anggota komisi pembimbing. Kebakaran hutan dapat menyebabkan menurunnya kualitas tanah yang meliputi sifat fisik dan kimia tanah. Dalam penelitian ini dipelajari pembahan sifat fisik dan kimia tanah akibat kebakaran lantai hutan yang terjadi berdasarkan frekuensi kebakaran yang berbeda, dengan membandingkan area tegakan bekas kebakaran, baik 1 kali maupun 3 kali dengan area tegakan yang tidak terbakar secara deskritif. Lokasi penelitian berada di Resort Polisi Hutan (RPH) Bugel, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Tomo Utara, Kesatuan Pemangkuan Hutan Sumedang, Perum Perhutani Unit I11 Jawa Barat. Hasil analisis sifat kimia tanah menunjukkan terjadinya peningkatan Ca dan Mg yang berasal dari abu sisa kebakaran yang dikuti dengan peningkatan pH tanah pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali, sebaliknya pada area bekas kebakaran 3 kali terjadi penurunan. Kandungan C-organik total tanah pada horison atas menurun pada area bekas kebakaran dan penurunan terbesar terjadi pada agregat yang berukuran besar. N-total, P-tersedia dan kalium mengalami penurunan akibat kebakaran baik pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali dan p e n m a n terbesar terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali, sedangkan kandungan P-HC1 25% mengalami peningkatan. Selanjutnya berkaitan dengan sifat fisik tanah, pada horison atas area bekas kebakaran terjadi p e n m a n porositas total tanah, meningkatnya bobot isi tanah, berkurangnya ka~asitas tanah menahan air, menurunnva infiltrasi dan perrneabiiit& tan&, serta berkurangnya stabiliti agregat akibat kebakaran lantai hutan, terutama pada area bekas kebakaran 3 kali. Pembahan sifat fisik dan kimia tanah lebih lanjut menyebabkan meningkatnya laju erosi dan erosi potensial pada area bekas kebakaran. Peningkatan laju erosi dan erosi potensial terutama disebabkan karena terjadi penurunan persentasi bahan organik clan liat, dan peningkatan terbesar terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali.
PERUBAHAN SlFAT FlSlK DAN KlMlA TANAH AKIBAT KEBAKARAN LANTAI HUTAN
UCUN SULASTRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk mernperoleh gelar Magister Sains pada Departemen llmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Akibat Kebakaran
Lantai Hutan Nama
: Ucun Sulastri
NRP
: A251020051
Program Studi
: Ilmu Tanah (TNH)
Disetujui Komisi Pembimbing
- -
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Ketua
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Sekolah Pascasarjana
da Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 2 Maret 2006
Tanggal Lulus : 2 7 MAR 2006
KATA PENGANTAR Bismillaahir Rohmaanir Rohiim Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan. Pada kesempatan ini penulis menyarnpaikan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku pembimbing atas kesabarannya dalam memberi bimbingan dan saran selama penelitian dan penulisan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yasin selaku kepala RPH Bugel beserta staf yang telah membantu selama kegiatan penelitian di lapangan. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayahanda Alizar, Ibunda Nurmaylis (Alm), serta s e l d keluarga atas segala kesempatan, kepercayaan, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 3 Januari 1974 dari ayah Alizar dan ibu N m a y l i s (Alm). Penulis me~pctkananak keernpat dari tujuh bersaudara.
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri I Bukittinggi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis rnemilih Program Studi llrnu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1998. Pada
tahun 2002 penulis melanjutkan
pendidikan di Program Studi Ilmu Tanah pada Program Pascasarjana IPB.
DAFTAR IS1 Halaman
...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. PENDAHULUAN ......................................................................................... Latar Belakang ..................................................................................... .. Tujuan Penelltian ................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. Kebakaran Hutan ................................................................................... Penyebab clan Akibat Kebakaran Hutan ................................................ Dampak Kebakaran Hutan terhadap Sifat Tanah .................................. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN .......................................... .. Lokasi Penelltian................................................................................... Fisiografi dan Bentuk Wilayah .............................................................. Geologi dan Jenis Tanah ........................................................................ Iklim ..................................................................................................... BAHAN DAN METODE .............................................................................. Bahan ..................................................................................................... .. Metode Penelltian .................................................................................. Penentuan Plot Pengamatan ........................................................... Pengambilan Contoh Tanah dan Serasah ....................................... Pembuatan Profil Tanah ......................................................... Pengarnbilan Contoh Tanah untuk Analisis Sifat Fisika ....... Pengarnbilan Contoh Tanah untuk Analisis Sifat Kimia ....... Pengambilan Contoh Serasah ................................................. Analisis Contoh Tanah dan Serasah ............................................... Analisis Data dan Penyajian Hasil ................................................. Analisis Sifat Fisika dan Kimia Tanah ................................... Penentuan Laju Erosi Setiap Unit Lahan ...............................
DAFTAR TABEL
x xi xii 1 I
3 4 4
5 7 14 14 14
17 17 21 21 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Serasah Tanaman Jati............................................................................. Bobot Tumpukan Serasah Tanaman Jati ........................................ Kandungan Hara Serasah Tanaman Jati ......................................... Perubahan Morfologi Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan .............. Perubahan Sifat Kimia Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan ............ Reaksi Tanah (pH Tanah)............................................................... C-Organik Total Tanah clan C-Organik Total pada Berbagai Ukuran Agregat Tanah ................................................................... Nitrogen Total Tanah ..................................................................... Fosfor HCI 25% dan Fosfor Tersedia............................................. Kation-Kation Basa (CaMg.K dan Na) ......................................... Perubahan Sifat Fisika Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan ............ Bobot Isi. Porositas. dan PermeabilitasTanah................................ Kapasitas Tanah Menahan Air ....................................................... Distribusi dan Stabilitas Agregat Tanah......................................... Perubahan Laju Erosi dan Erosi Potensial Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan .......................................................................................... Faktor Erosivitas Hujan (R) ........................................................... Faktor Erodibilitas Tanah (K) ........................................................ Faktor Lereng (LS) ......................................................................... Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Tindakan Konservasi Tanah (P) ................................................................................................... PEMBAHASAN UMUM ................................................................................. KESIMPULAN ................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... LAMPIRAN .....................................................................................................
DAFTAR TABEL
1 . Curah hujan daerah penelitian (Stasiun Hujan Tomo)..............................
2.
20
Suhu udara dan kelembaban udara daerah penelitian ............................... 20
..
3. Parameter dan metode anallsls..................................................................
24
4 . Bobot tumpukan serasah tanaman jati ......................................................
26
5. Hasil analisis kandungan hara serasah tanaman jati .................................
27
6. Kadar C-organik total pada berbagai ukuran agregat tanah .....................
33
7. Kapasitas infiltrasi berdasarkan persamaan Horton..................................
49
8. Nilai faktor erosivitas hujan daerah penelitian .........................................
52
9. Nilai faktor erodibilitas tanah daerah penelitian .......................................
53
10. Nilai faktor lereng daerah penelitian .......................................................
53
11. Laju erosi, erosi potensial, erosi yang masih dapat dibiarkan (TSL). dan indeks bahaya erosi (IBE) pada tiap titik pengamatan ....................... 54
DAFTAR GAMBAR Halaman
..
1. Lokasi penelltlan .......................................................................................
15
2. Peta kerja BKPH Tomo Utara ..................................................................
16
3. Peta geologi daerah penelltian .................................................................
18
4. Peta tanah daerah penelitian .....................................................................
19
5. Pembahan tebal horison atas akibat kebakaran lantai hutan .....................
28
6. Pembahan pH tanah akibat kebakaran lantai hutan ..................................
29
..
7. Pembahan C-organik total tanah akibat kebakaran lantai hutan .............. 31 8. Pembahan nitrogen total tanah akibat kebakaran lantai hutan .................
34
9. Pembahan fosfor HC125% tanah akibat kebakaran lantai hutan .............
36
10. P e ~ b a h a nfosfor tersedia tanah akibat kebakaran lantai hutan ................ 37 11. Pembahan kalsium tanah akibat kebakaran lantai hutan ..........................
39
12. Pembahan magnesium tanah akibat kebakaran lantai hutan ....................
40
13. Perubahan kalium tanah akibat kebakaran lantai hutan ............................ 41 14. Pembahan natrium tanah akibat kebakaran lantai hutan .......................... 42 15. Perubahan bobot isi tanah akibat kebakaran lantai hutan .........................
43
16. Perubahan porositas total tanah akibat kebakaran lantai hutan ............... 44 17. Pembahan permeabilitas tanah akibat kebakaran lantai hutan .................
44
18. Pembahan kadar air dalam keadaan kapasitas lapang akibat kebakaran lantai hutan ...........................................................................
45
19. Pembahan kadar air tersedia akibat kebakaran lantai hutan .....................
46
20. Perubahan distribusi agregat tanah akibat kebakaran lantai hutan ........... 48 21. Perubahan stabilitas agregat tanah akibat kebakaran lantai hutan ............ 48 22. Kurva laju infiltrasi pada lereng 0-8% .................................................... 50 23 . Kurva laju infiltrasi pada lereng 15-25%................................................
50
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Deskripsi profil pada tiap titik pengamatan .............................................
71
2.
Hasil analisis sifat kimia tanah .................................................................
77
3.
Hasil analisis sifat fisika tanah ..................................................................
78
4.
Distribusi ukuran agregat tanah ...............................................................
79
5.
Data pengukuran infiltrasi pada area tidak terbakar (lereng 0-8 %) dengan persamaan Horton ......................................................................
80
6. 7.
Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 1 kali (lereng 0-8 %) dengan persamaan Horton ................................................ Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 3 kali (lereng 0-8 %) dengan persamaan Horton ................................................
80
81
Data pengukuran intiltrasi pada area tidak terbakar (lereng 15-25 %) dengan persamaan Horton ......................................................................
81
Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 1 kali (lereng 15-25 %) dengan persamaan Horton ............................................
82
10. Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 3 kali (lereng 15-25 %) dengan persamaan Horton ..........................................
82
8.
9.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan sumber daya alam tidak pemah lepas dari berbagai gangguan. Hutan yang merupakan sumber daya dam selalu mengalami gangguan, baik yang disebabkan oleh manusia maupun oleh dam sendiri. Salah satu bentuk gangguan yang muncul adalah kebakaran hutan yang dapat menyebabkan rusaknya hutan. Kebakaran hutan merupakan bentuk ancaman terhadap kelestarian hutan yang paling banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan faktor pengganggu dan perusakan hutan dan hasil hutan lainnya. Menurut De Bano et al. (1998) dalam pengelolaan sumber daya hutan, kebakaran hutan dapat mengancam keutuhan
kelestarian
hutan,
estetika
lingkungan,
dan
memusnahkan
keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya yang penting bagi kehidupan. Kebakaran hutan yang terjadi umumnya disebabkan oleh kegiatan manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja dan juga oleh faktor dam seperti petir dan gunung meletus. Diperkirakan 90% kebakaran hutan terjadi akibat perbuatan manusia dan 10% oleh dam (Suratmo 1985). Kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar terjadi karena adanya aktivitas manusia dalam penggunaan api temtama untuk pembukaan lahan, pemanfaatan abu serasah untuk pemupukan tanah garapan, memperoleh tunas atau rumput muda untuk pakan temak, atau untuk pengurangan timbunan serasah di lantai hutan. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia temtama terjadi pada kondisi lahan bakar dan cuaca yang cukup kering, khususnya di musim kemarau. Kebakaran hutan dapat berakibat positif maupun negatif. Kebakaran hutan dapat berakibat positif apabila k e b a k m hutan tersebut terkendali misalnya untuk memanfaatkan abu serasahnya atau untuk memupuk tanah garapan. Kebakaran hutan akan memberi dampak negatif apabila tidak terkendali dan akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem serta degradasi sumber daya alam dan lingkungan. Pengamhnya terutarna terhadap vegetasi, memburuknya kondisi tanah baik secara fisik maupun kimia, m e m p e r b d tata air, serta terjadinya perubahan drastis mikroklimat pada lokasi kebakaran hutan tersebut. Selain itu,
kebakaran hutan juga menimbulkan asap akibat dari proses pembakaran tidak sempurna yang dapat menyebabkan terjadinya polusi dan pencemaran udara. Besarnya kerusakan hutan yang terjadi akibat kebakaran tergantung beberapa faktor, antara lain intesitas kebakaran. lama waktu kejadian, tipe kebakaran, serta curah hujan setelah terjadi kebakaran hutan.
Menurut De Bano
et al. (1998), tingkat kerusakan akibat kebakaran hutan ditentukan juga oleh
karakteristik vegetasi seperti potensi dan jenis bahan bakar yang tersedia, kadar air bahan bakar, ketebalan d m kandungan kimia bahan bakar, kondisi lingkungan seperti iklim (curah hujan, kelembaban udara, angin), serta kondisi topografi kawasan. Dampak kebakaran hutan terhadap tanah dapat menyebabkan menurunnya kualitas tanah meliputi sifat fisik, kimia, biologi tanah, meningkatnya erosi, dan berkurangnya kapasitas tanah menyimpan air, seluruhnya sangat mempengaruhi pertumbuhan pohon selanjutnya di area kebakaran. Dampak kebakaran hutan terhadap perubahan sifat fisik dan kimia tanah hutan tergantung dari tipe tanah, kandungan air dari tanah, intensitas dan durasi waktu kebakaran serta lama waktu kebakaran, dan intensitas timbulnya api (Chandler et al. 1983a). Menurut Blank dan Zamudio (1998), tanah dan vegetasi yang terbakar menghasilkan perubahan
dalam sifat-sifat kimia dan fisika tanah, perubahan-perubahan tersebut sangat tergantung kepada tipe kebakaran, sifat-sifat tanah, vegetasi penutup, dan iklim. Terhadap sifat fisika tanah, kebakaran hutan menyebabkan terbukanya lantai hutan sehingga tidak adanya perlindungan terhadap permukaan tanah. Hal ini menyebabkan meningkatnya peluang tejadinya aliran permukaan jika turun hujan dan akan tejadi erosi yang tidak terkendali. Dan lebih lanjut dapat menyebabkan memburuknya sifat-sifat fisik tanah yang tercermin pada penurunan kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, me~ngkatnyfikepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, berkurangnya kemantapan struktur tanah, dan terjadinya peningkatan bulk density tanah (Giovannini & Lucchesi 1997). Dari aspek kimia, kebakaran hutan akan menghasilkan volatilisasi unsur-
unsur hara tertentu dan mendorong nitrifikasi akibat panas yang terjadi. Selanjutnya kebakaran hutan memberikan masukan mineral yang terdapat dalam abu atau arang sehingga menaikkan pH tanah dan menambah unsur hara tanah
seperti K, Ca, Mg, dan S (De Bano et al. 1998), tetapi pengaruh ini tidak berlangsung lama karena dengan terbukanya lantai hutan akan meningkatnya erosi dan pencucian semakin intensif ( H a d & Wibowo 1985). Perubahan yang terjadi dalam sifat kimia tanah akibat kebakaran tidak mungkin dapat memperbaiki kesuburan tanah dalam jangka panjang karena efeknya bersifat sementara (Suharjo 1995). Penelitian ini dilakukan unttk mempelajari perubahan sifat fisik dan kimia
tanah akibat kebakaran lantai hutan yang terjadi berdasarkan fiekuensi kebakaran yang berbeda, dengan membandingkan area tegakan bekas kebakaran 1 kali dan area tegakan bekas kebakaran 3 kali dengan area tegakan yang tidak terbakar. Lokasi penelitian berada di Resort Polisi Hutan (RPH) Bugel, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BWH) Tomo Utara, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sumedang, Penun Perhutani Unit I11 Jawa Barat, tepatnya pada petak 5 1f dengan tanaman utama jati yang ditanam pada tahun 1998 dan pernah mengalami kebakaran pada tahun 2002, 2003, dan 2004. Tipe kebakaran yang terjadi termasuk tipe kebakaran permukaan (surface fire) yang dicirikan dengan terbakarnya serasah dan tumbuhan bawah yang ada di lantai hutan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak pengelola hutan (BKPH Tomo Utara) tentang kondisi lahan kebakaran terutama
sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
setelah terjadi
Data yang diperoleh
diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran dan dapat ditentukan teknik pengelolaan yang tepat agar kelestarian hutan tercapai. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat fisik dan kimia tanah akibat kebakaran lantai hutan yang terjadi berdasarkan frekuensi kebakaran yang berbeda, dengan membandingkan area tegakan bekas kebakaran, baik 1 kali maupun 3 kali dengan area tegakan yang tidak terbakar.
TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Kebakaran hutan adalah kejadian alam yang mempakan suatu proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain yang ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Kebakaran hutan tejadi di alam terbuka yaitu tejadinya penjalaran api secara bebas dan tidak terhambat pada lokasi tertentu yang mengkonsumsi bahan bakar yang ada di hutan seperti serasah, rumput, tumbuhan bawah, patahan kayu, serta pohon-pohon yang masih hidup. Ciri utama kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan menyebar bebas (Brown & Davis 1973). Selanjutnya Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa proses kebakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis, dimana di dalam proses kebakaran energi yang tersimpan di dalam biomassa dilepas sebagai panas pada saat bahan bakar seperti daun, rumput, atau kayu berkombinasi oksigen (02) membentuk karbondioksida (C02) dan uap air (H20). Sedangkan dalam proses fotosintesis C02, H20, dan energi matahari berkombinasi menghasilkan suatu energi kimia simpanan dan oksigen. Pada proses fotosintesis energi terpusat secara perlahan, sebaliknya proses pembakaran energi dilepas dengan cepat. Fuller (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen penting yang diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran yaitu hams tersedia bahan bakar yang dapat terbakar, panas yang cukup untuk digunakan dan menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan, serta diperlukan suplai oksigen yang cukup dalam menjaga proses pembakaran. Tahapan atau fase proses terjadi kebakaran hutan dibedakan atas beberapa bagian yaitu : pra-pemanasan, penyalaan, pembaraan, pemijaran, dan pemadarnan (De Bano et al. 1998) Berdasarkan perbedaan cara menjalar api dan posisi api terhadap tanah terdapat 3 tipe klasifikasi kebakaran hutan (Chandler et al. 1983a; Suratrno 1985)
1. Kebakaran bawah (groundfire)
Kebakaran ini membakar bahan bakar bempa material organik yang berada di bawah lantai hutan dan permukaan tanah. Bahan organik yang terbakar itu meliputi bahan organik yang sedang membusuk, humus serta lapisan tanah bagian atas. Tipe kebakaran bawah sangat sulit dideteksi, sehingga sulit diawasi.
2. Kebakaran permukaan (surfaceJre) Kebakaran yang membakar bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik bempa serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah, dan lain sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan
tanah. Tipe kebakaran ini paling sering terjadi di dalam tegakan hutan sekunder dan alami. Kebakaran permukaan dapat menjalar ke tumbuhan yang lebih tinggi dan tajuk pohon.
3. Kebakaran tajuk (crownfire) Kebakaran tajuk terjadi karena adanya kebakaran permukaan yang menjalar ke arah tajuk. Kebakaran menjalar dari tajuk pohon ke tajuk pohon lainnya atau semak-semak. Kebakaran tajuk sangat sulit untuk dipadamkan dan menjalar sangat cepat yang dipengaruhi oleh faktor angin dan bisa mengakibatkan api loncat (spot Jre) yang dapat menyebabkan kebakaran di daerah lain. Penyebab dan Akibat Kebakaran Hutan Penyebab terjadi kebakaran hutan sangat beragam, tetapi ada dua faktor utama yaitu faktor alam dan faktor manusia. Menurut Chandler et al. (1983b), kebakaran hutan secara alami di ~engaruhioleh beberapa faktor dam yang saling berkaitan seperti iklim (kemarau yang panjang, petir, dan daya dam lainnya), jenis tanaman (misalnya tanaman pinus yang mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan belukar, hutan monokultur), dan bahan sisa vegetasi seperti serasah, ranting, dan lain-lain. Secara mum kebakaran hutan yang terjadi biasanya berhubungan erat dengan kegiatan yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kegiatan menyiapkan lahan pertanian dengan cara membakar, atau
aktivitas sampingan penggembalaan temak dengan cara membakar alang-alang yang sudah tua agar berguna kembali (Fuller 1991). Menurut Suratmo (1985), kebakaran hutan yang terjadi lebih dari 90% disebabkan oleh kelalaian manusia dan umumnya ditunjang oleh pengamh dan faktor dam seperti musim kemarau yang panjang sehingga potensi bahan bakar meningkat. F A 0 (1953) mengklasifikasikan penyebab kebakaran hutan sebagai berikut :
1. Peralatan. Suatu kebakaran yang disebabkan penggunaan alat. 2. Pemanfaatan hutan. Suatu kebakaran yang dihasilkan secara langsung dari pemanenan-penebangan kayu dan hasil hutan laimya.
3. Pembakaran vegetasi.
Suatu kebakaran yang disengaja oleh manusia
untuk membakar vegetasi lahan orang lain tanpa seizin pemiliknya. 4. Pembahan fungsi dan konversi lahan. Kebakaran yang disebabkan karena
adanya konversi lahan untuk tujuan pertanian, pembangunan industri, konstruksi jalan, dan lain sebagainya. 5. Petir.
Kebakaran yang disebabkan secara langsung maupun tidak
langsung oleh petir.
6. Rekreasi.
Kebakaran yang disebabkan dari aktivitas manusia dalam
melakukan kegiatan rekreasi, khususnya rekreasi alam.
7. Merokok. Kebakaran yang disebabkan oleh perokok, korek api, atau pembakaran tembakau dalam segala bentuknya.
8. Penyebab lain. Penyebab lain sebagainya yang tidak termasuk ketujuh penyebab di atas. Akibat kebakaran hutan ada yang segera terlihat dan ada yang tidak segera terlihat, sedangkan besamya derajat kerusakan terutama dipengamhi oleh tipe kebakaran, lamanya kebakaran, keadaan tegakan hutan, dan cuaca atau i k l i i (Davis 1959). Kebakaran hutan dapat menghabiskan kayu di hutan dalam waktu singkat dan bahan bakar lain yang mudah terbakar, menghasilkan energi yang berbentuk panas sehingga dapat membunuh dan mematikan turnbuhan dan satwa, serta mempengaruhi tanah hutan. Selain itu, abu sisa pembakaran akan memberikan pengaruh kimia pada tanah hutan (Wright 62 Bailey 1982). Suratmo (1985)
menyatakan bahwa kebakaran hutan berdasarkan intensitas dan jenis kebakaran yang terjadi menimbulkan beberapa dampak yaitu : kemsakan pada pohon yang terbakar, kerusakan pada anakan pohon, gangguan terhadap tanah hutan, penunman produktivitas hutan karena banyak kayu-kayu yang terbakar, penurunan dari nilai rekreasi dan keindahan, serta turunnya kesejahteraan penduduk sekitar hutan karena sumberdaya yang sering mereka gunakan habis terbakar, sehingga keperluan hidup sehari-hari kurang terpenuhi. Kebakaran hutan selain merugikan juga memberikan keuntungan (Suharjo 1998). Keuntungan tersebut di antaranya adalah: 1. Abu hasil pembakaran sangat kaya akan hara sehingga menjadi salah satu sasaran pokok dalam penggunaan lahan menggunakan api. 2. Penyiapan lahan menggunakan api sangat menghemat.
3. Biaya yang dibutuhkan dalam penyiapan lahan menggunakan api jauh lebih murah sehingga pemsahaan dapat diuntungkan.
4. Rurnput muda yang dihasilkan dari kebakaran mempakan makanan bagi satwa liar. 5. Dengan adanya api maka diversifikasi jenis vegetasi lebih beragam dan mencegah monokultur. Panas yang cukup mampu membuat beberapa jenis vegetasi tertentu berkecambah. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Sifat-Sifat Tanah Kebakaran hutan dapat merusak tanah karena terbakarnya akar dan lapisan humus yang menahan aliran permukaan, serta terbakarnya pohon dan semak yang memiliki daya menyimpan air. Pengaruh kebakaran hutan terhadap sifat tanah sangat ditentukan oleh frekuensi kebakaran, intensitas panas, lamanya kebakaran, vegetasi yang tumbuh, dan jenis tanah (Davis 1959).
Hal yang sama
dikemukakan oleh Blank dan Zamudio (1998). Menurut Ralston dan Hatchel (1971), diacu dalam Pritchett (1979), kebakaran hutan menyebabkan terbukanya lantai hutan sehingga tidak ada perlindungan terhadap permukaan tanah jika hujan turun dan mengakibatkan terjadinya erosi permukaan yang tidak terkendali. Lebih jauh dampak yang dialami ialah porositas dan kecepatan intiltrasi tanah menurun serta bobot isi
tanah meningkat akibat agregat tanah terdispersi oleh pukulan butir-butir hujan dan tertutupnya pori-pori tanah oleh partikel abu pembakaran. Kehilangan tanaman penutup dan pembakaran bahan organik dapat mengubah struktur tanah, dengan demikian mempengaruhi porositas dan sifat hidrologi lainnya (Giovannini & Lucchesi 1997), serta menambah akumulasi zatzat hidrofobik setebal beberapa sentimeter dengan demikian m e n d a n infiltrasi
dan meningkatkan aliran permukaan (De Bano 1971).
Kondisi tersebut
meningkatkan kcrentanan tanah terhadap erosi, dan umumnya meningkatkan aliran permukaan dan kehilangan tanah. Unsur hara kemudian hilang bersamaan dengan aliran permukaan (Andreu et al. 1996). Menurut Andreu et al. (1996), erosi lebih intensif terjadi pada area kebakaran intesitas tinggi jika dibandingkan kebakaran intensitas sedang. Pengaruh kebakaran kepada erosi tanah utamanya tergantung kepada intensitas dan karakteristik beberapa kejadian hujan berikutnya seperti intensitas dan lama hujan. Kebakaran hutan memberikan masukan mineral yang terdapat dalam abu atau arang sehingga menaikkan pH tanah dan menambah unsur hara tanah seperti K, Ca, Mg, dan S (De Bano et al. 1998).
Hamzah dan Wibowo (1985)
menyatakan bahwa kebakaran hutan menyebabkan terbakarnya bahan organik, baik yang bergelatungan rnaupun yang terletak di atas permukaan tanah serta terjadi pemanasan lapisan permukaan. Pembakaran bahan organik menghasilkan pembebasan C02, gas-gas yang mengandung nitrogen dan abu yang berterbangan ke atmosfer dan penyadapan mineral &lam bentuk abu. Abu kayu dan abu serasah lebih mudah larut daripada bahan organik asli. Jadi pengaruh kebakaran dapat meningkatkan kadar hara tersedia untuk waktu sementara. Darnpak kebakaran hutan terhadap sifat tanah dalam jangka pendek dapat meningkatkan kesubwan tanah seperti yang dilaporkan Kim er al. (1999), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dua minggu setelah kebakaran
terjadi
peningkatan pH tan& bahan organik, nitrogen, P-tersedia, dan basa-basa yang dapat dipertukarkan. Sebaliknya, dari hasil penelitian Pennington et al. (2001), dampak kebakaran hutan terhadap tanah dalam jangka panjang yaitu sembilan bulan setelah kejadian kebakaran menyebabkan menurunnya C-organik, N-total, dan P-tersedia, tetapi meningkatkan pH tanah.
Kebakaran hutan tidak hanya menyebabkan perubahan dalam tanah dan sifat-sifat lingkungan, kebakaran tersebut juga meningkatkan kehilangan unsur hara
melalui volatilisasi, pencucian, dan erosi air.
Kebakaran hutan akan
menghasilkan volatilisasi unsur-unsur ham tertentu dan mendorong nitrifikasi akibat panas yang terjadi. Hilangnya unsur hara makro C, N, S, dan P akibat kebakaran melibatkan proses senyawa oksidasi baik dalam bentuk gas, bahan organik, bentuk partikel abu, dan transpor air baik akibat pengendapan maupun transpor sedimen. Unsur sulfur akan hilang pada hutan yang terbakar pada suhu 375 OC-575 "C dan akan menghilangkan unsur S sebanyak 24% hingga 79% dari total unsur S yang tersedia (Tiedemann 1987). Suhu dari hutan yang terbakar yang mencapai 777 "C akan menguapkan unsur P (Raison et al. 1985a), tapi hilangnya unsur P ini tidak dapat diamati pada kondisi kebakaran di bawah suhu 400 "C. De Bano clan Klopatek (1988) menyatakan bahwa 50% dari total unsur P hilang akibat penguapan serasah pinus yang terbakar, dan Mackensen el al. (1996) menyatakan bahwa hilangnya unsur P akibat penguapan sebesar 27% hingga 33% akibat kebakaran. Unsur Ca tidak mudah menguap pada area vegetasi yang terbakar pada suhu rendah (Raison et al. 1985a). Bagaimanapun, perubahan bentuk menjadi asap atau angin bisa menyebabkan unsur Ca menguap pada kebakaran dengan intensitas tinggi (Raison et al. 1985b).
Belillas dan Feller
(1998) menernukan sedikit pembahan kandungan Ca dalam area sebelum kebakaran hutan maupun setelah kebakaran yaitu sebesar 136 area hutan yang terbakar dan 132
*
* 15 kg
hi1 pada
26 kg hd1 pada area hutan yang tidak
terbakar. De Bano dan Conrad (1978) menemukan 699 kg Ca ha.' dalam tumbuhan dan serasah sebelum kebakaran, setelah kebakaran abu serasah dan tumbuhan mengandung 688 kg ~a hap'. Hasil penelitian Baird et al. (1999) menunjukkan terjadi peningkatan pH tanah pada saat 1 tahun setelah terjadi kebakaran sebesar 0.lunit pada kedalaman 0-10 cm. Ellingson et al. (2000) melaporkan bahwa kebakaran intesitas rendah meningkatkan pH tanah sebesar 1.1 unit pada kedalaman 0-2.5 cm sesaat setelah terjadi kebakaran dan pada kebakaran intensitas tinggi terjadi peningkatan pH sebesar 2.2 unit. Penelitian Pennington et al. (2001) menunjukkan terjadinya peningkatan pH tanah pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran sebesar 1.13
unit pada kedalaman 0-5 cm, 0.78 unit pada kedalaman 5-10 cm, 0.62 unit pada kedalaman 10-20 cm, dan 0.51 unit pada kedalaman 20-30 cm. Pada saat 3 bulan setelah kebakaran, pada kedalaman 2-5 cm terjadi peningkatan pH sebesar 0.5 unit hingga 0.7 unit ( Ellis & Graley 1983 ;Tomkin et al. 1991) Kim et al. (1999)
melaporkan tejadi peningkatan pH tanah pada
kedalaman 0-5 cm sebesar 0.7 unit pada kebakaran intensitas rendah dan 0.6 unit pada kebakaran intensitas tinggi akibat penambahan hara di lantai hutan yang terbakar. Peningkatan pH setelah kebakaran akibat peningkatan kandungan abu (Kauffinan et al. 1993). Kenaikan pH ini juga berhubungan dengan peningkatan amonifikasi setelah kebakaran (Mroz et al. 1980). Menurut Kim et al. (1999), peningkatan pH tanah pada area kebakaran bermanfaat untuk pertumbuhan vegetasi selanjutnya, karena perubahan dari ketersedian hara dan peningkatan pH tersebut segera terhenti karena hilangnya abu dengan cepat selama musim hujan yang tinggi. Secara umum dinyatakan bahwa kebakaran intensitas tinggi menyebabkan kehilangan C dan N pada lapisan atas tanah (Ellis & Graley 1983) yaitu 7 360 kg C organik has' dan 21 1 kg N ha-' hilang dari lapisan permukaan tanah. Sebaliknyq hasil penelitian Kim et al. (1999) menunjukkan tejadi peningkatan N pada kedalaman 0-5 cm sebesar 25% dan 24% bahan organik akibat kebakaran intensitas tinggi, 65% N dan 60% bahan organik &bat kebakaran intensitas sedang pada saat 2 minggu setelah tejadi kebakaran. Kandungan bahan organik setelah kebakaran meningkat diduga akibat banyaknya abu biomasa yang mati, atau menurun akibat sedikitnya masukan jumlah serasah di permukaan tanah dan hilangnya C melalui volatilisasi. Menurut Kim et al. (1999) kandungan bahan organik pada kedalam 0-5 cm sedikit lebih tinggi di area kebakaran akibat bercampurnya abu ke dalam tanah. Peningkatan konsentrasi N pada kedalaman 0-5 cm area kebakaran intesitas rendah lebih besar jika dibandingkan area kebakaran intensitas tinggi.
Peningkatan N di area kebakaran mungkin akibat
pergerakan nitrogen inorganik danfatau tambahan dari sisa abu hasil pembakaran serasah di lantai hutan (Kim et al. 1999). Caldwell et al. (2002) dari h a i l penelitiannya mengemukakan bahwa 6 mg C ha.' hingga 24 mg C ha.' dan 60 kg N ha.' hingga 500 kg N ha-' hilang melalui
proses volatilisasi akibat kebakaran. Menurut Caldwell et al. (2002) penguapan unsur N selama kebakaran hutan mempakan mekanisme dominan dari sistem hilangnya unsur N. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa ada hubungan antara fiksasi N dengan lamanya kebakaran.
Fiksasi N berpotensi hilangnya
ketersediaan kandungan N akibat kebakaran, dan berpengaruh bagi ketersedian unsur N dalam jangka panjang. Ketterings dan Bigham 2000 melaporkan terjadi penurunan 22% C dan
31% N pada kedalam 0-5 cm area kebakaran pada saat 2 minggu setelah terjadi kebakaran intensitas tinggi. Binkley et al. (1992) menemukan bahwa sebanyak 13 rng C ha" dan 410 kg N ha.' hilang melalui proses penguapan kebakaran pada hutan pinus.
akibat
Belillas dan Feller (1998) menyatakan bahwa
sebanyak 48 mg C ha-' dan 260 kg N ha.' mengalami proses volatilisasi akibat kebakaran. Little dan Ohmann (1988) melaporkan bahwa 192 kg hingga 666 kg N ha-' menguap akibat kebakaran. Hasil penelitian Garcia et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran hutan menyebabkan meningkatnya N-amonium dan penurunan kandungan N-total dan N-nitrat sesaat setelah terjadi kebakaran. Menurut Garcia et al. (2000), peningkatan dalam N-amonium adalah akibat transformasi bahan organik, dimana meningkat pada suhu 210 "C, dan N-nitrat tanah menurun setelah terjadi kebakaran. Baird et al. (1999) melaporkan bahwa pada kedalaman 0-60 cm terjadi penurunan kandungan C tanah sekitar 36% (31 mglha) dan 46% N (3.0 m g h ) pada saat 3 bulan setelah terjadi kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Pada saat 1 tahun setelah terjadi kebakaran terjadi penurunan sekitar 30% C (25 mgha) dan 46% N (3.0 mgha). Kettering clan Bigham 2000 melaporkan bahwa terjadi peningkatan Ptersedia sebesar 10.7 mgkg pada kedalaman 0-5 cm area kebakaran pada saat 2 minggu setelah terjadi kebakaran intensitas tinggi. Kim et al. 1999 melaporkan bahwa peningkatan ketersedian P pada kedalaman 0-5 cm signifikan lebih tinggi di area kebakatan intensitas rendah dibandingkan area kebakaran intensitas tinggi yaitu P-tersedia pada area kebakaran intensitas rendah meningkat menjadi 94 ppm dan 50 ppm pada area kebakaran intensitas tinggi. Menurut Hungerford et
al. 1991 kehilangan P-tersedia di area kebakaran intesitas tinggi sebanding dengan area kebakaran intensitas rendah diduga akibat kehilangan melalui proses volatilisasi.
Garcia et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran hutan
menyebabkan meningkatnya P-tersedia, dan konsentrasi P-tersedia meningkat setelah kebakaran disebabkan karena pembakaran bahan organik dan terjadi mineralisasi akibat suhu tinggi. Perubahan P-total akibat kebakaran bervariasi. Penelitian Pennington et al. (2001) menunjukkan tejadinya peningkatan P-total sebesar 28.9% pada kedalaman 0-5 cm dan 11.1 % pada kedalaman 5- 10 cm pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran. Giardina et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi peningkatan P-tersedia pada 1 hari setelah terjadi kebakaran
sebesar 24.8 kgha pada
kedalaman 0-2 cm dan 12.9 kgha pada kedalaman 2-5 cm. Giardiia et al. (2000) juga melaporkan terjadi peningkatan P-total setelah kebakaran sebesar 6.4 kglha yang mengindikasikan adanya bagian P yang terkandung dalam biomasa ditransformasi ke tanah selama kebakaran. Hasil penelitian Garcia et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran hutan menyebabkan meningkatnya ~ a ' ,K+, dan Mg2+ dl. permukaan tanah sesaat setelah terjadi kebakaran.
Sebaliknya, kandungan
KTK dan ca2+ di dalam tanah
menurun setelah terjadi kebakaran intensif maupun sedang. Peningkatan kationkation Na',
K',
dan M ~ dapat ~ + dipertukarkan sebagai hasil pembakaran
disebabkan karena keberadaan abu. Hasil penelitian Kim et al. (1999) menunjukkan bahwa kation yang dapat dipertukarkan seperti Ca, Mg, dan K di permukaan tanah meningkat setelah terjadi kebakaran yang berasal dari abu serasah sisa kebakaran di permukaan tanah. Kebakaran hutan menyebabkan meningkatnya bobot isi tanah pada kedalaman 0-2 cm dan 2-5 cm pada saat 2 hari setelah terjadi kebakaran intensitas tinggi (Ellis & Graley 1983). Tomkin et al. (1991) juga melaporkan terjadinya peningkatan bobot isi tanah pada kedalaman 0-2 cm. Hasil penelitian Pennington et al. (2001) menunjukkan terjadi peningkatan bobot isi tanah sebesar dari 0.58
mg/m3 menjadi 0.70 mg/m3pads kedalaman 0-5 cm akibat kebakaran yang terjadi. Giardina et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi peningkatan bobot isi dari
0.75 g/cm3 menjadi 0.79 g/cm3 setelah terjadi kebakaran. Menurut Giardina et al.
(2000), ha1 ini terjadi mungkin karena teksturnya lempung berpasir
dan
rendahnya kandungan C-organik pada area tersebut. Akibat jangka panjang dari kebakaran hutan yang bemlang-ulang adalah proses erosi, seperti yang dilaporkan Giovannini et al. 1990 yang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terns menerus dan berulang-ulang utamanya di musim panas, diikuti oleh hujan yang lebat di musim gugur menyebabkan tejadi erosi yang intensif. Edelman (1949), diacu dalam Rachmatsjah et al. (1985) mengatakan bahwa seringnya kebakaran hutan dapat mengakibatkan erosi dan pembentukan humus yang tidak sempurna.
Selanjutnya dinyatakan pula, bahwa
kebakaran pada kawasan butan jati dapat meningkatkan kemsakan tanah sehubungan terdapatnya sifat-sifat yang kurang baik pada tegakan jati yaitu: 1. Penutupan tajuk yang kurang sempurna pada umur yang lebih tua dan pada
tanah yang kurang subur. 2. Tegakan jati hampir setiap tahun mengalami penggundulan, ini terjadi
pada musim kering yang dapat merangsang timbulnya kebakaran hutan.
3. Daun jati yang gugur sangat cepat hancur sehingga pembentukkan humus tidak sempurna. 4. Perakaran yang kurang agresif dalam menembus tanah yang padat.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian Wilayah penelitian terletak lebih kurang 76 km utara kota Sumedang. Secara geografi lokasi penelitian terletak pada posisi antara 06'46'00" - 06'46'55" Lintang Selatan dan 108"06'35"- 108°07'00" Bujur Timur. Secara spasial lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Area penelitian adalah wilayah kerja Resort Polisi Hutan (RPH) Bugel dengan luasan
* 1099 ha. RPH Bugel merupakan wilayah kerja Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Tomo Utara, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sumedang, Perum Perhutani Unit 111 Jawa Barat. Wilayah kerja RPH Bugel meliputi desa Bugel, desa Karyamukti, desa Kebun Cawu, dan desa Tomo. Batasbatas wilayah penelitian sebelah utara dan timur berbatasan dengan RPH Kosambian, sebelah barat laut dengan RPH Taman, sebelah barat daya dengan RPH Nyalindung, dan sebelah selatan berbatasan dengan BKPH Tomo Selatan. Lokasi penelitian tepatnya merupakan area bekas kebakaran hutan yang berada pada petak 51f seluas 60.1 ha dengan tanaman utama jati yang ditanam pada tahun 1998 (Gambar 2).
Area ini pemah mengalami kebakaran beberapa
kali yaitu pada tahun 2002 seluas 4 ha, tahun 2003 seluas 6 ha dan terakhir ada tahun 2004 seluas 19 ha, dan kebakaran umumnya terjadi pada bulan Agustus.
Fisiografi dan Bentuk Wilayah Wilayah penelitian termasuk ke dalam zone fisiografi antiklinorium Bogor. Zone ini mempunyai ciri sebagai daerah antiklinorium karena adanya proses pelipatan yang kuat, selain itu juga terjadi proses pengendapan dari bahanbahan volkan. Struktur geomorfologis wilayah penelitian termasuk sistem Plain. Bentuk permukaan lahan banyak dipengaruhi oleh proses erosi dan deposisi. Lokasi penelitian umumnya bergelombang.
memiliki
fisiografl
mulai
datar,
berombak, dan
Khusus untuk petak 51f fisiografinya adalah bergelombang
dengan ketinggian berkisar 60-100 m di atas permukaan laut.
Garnbar 1. Lokasi penelitian
Garnbar 2. Peta kerja BKPH Tomo Utara
Geologi dan Jenis Tanah Area penelitian termasuk ke dalam formasi Subang anggota batu liat dan napal yang disebut Miosen Subang Clay (Msc) dengan bahan induk adalah bahan vollcan di atas napal (Gambar 3). Bahan volkan tersebut berasal dari gunung Tangkuban Parahu, pada saat gunung tersebut melakukan aktivitas vulkaniknya sehingga batuan napal tertutup bahan volkan dan berada di bawah bahan volkan. Batuan napal merupakan tipe batuan sedimen klastik yang komponennya terdiri dari campuran kalsit dan mineral liat dengan sedikit residu kuarsa, mika dan karbon. Napal merupakan deposit maridlakustrin dari bahan-bahan klastik yang telah mengalami pergerakan sangat jauh dan telah tercampur dengan bahanbahan hasil endapan kimia atau organogenetis (klastik). Batuan napal dicirikan dengan warna terang hingga kelabu gelap, kecoklatan, tekstur klastik dengan ukuran butir sangat halus/halus. Jenis tanah dominan pada area penelitian adalah Latosol.
Dalam
klasifikasi Taxonomi tanah USDA termasuk ordo Inceptisol dengan sub grup Vertic Ustropepts. Penyebaran jenis tanah pada wilayah penelitian dan sekitamya dapat dilihat pada Gambar 4. Keadaan tanah pada daerah penelitian secara umum addah kering dan retak-retak pada saat kering, sedangkan pada saat basah menjadi lengket, becek dan tergenang. Penggunaan lahan yang utama adalah hutan dengan tanaman utama jati. Selain ity juga ditemukan tanaman mahoni dan johar, yang semuanya diusahakan oleh pihak Perhutani.
Berdasarkan data curah hujan yang diukur di Stasiun Hujan Tomo dari tahun 1990-2005 (Tabel 1) ,curah hujan tahunan wilayah penelitian cukup tinggi
dengan rata-rata curah hujan tahunan 2 521.3 mmltahun. Suhu udara rata-rata daerah penelitian adalah 26.77 "C dengan kelembaban udara rata-rata 82.09%. Suhu udara dan kelembaban udara daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
-
PETA GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
0
S
15 km
LEGENDA Lokasi Penelitian lalan Sungal MY
Formasl Subang- Batu llat dan napal
Pk
Formasl Kallwangu
Pt
Formasl Tjkalang
Qa
Aluvlum
Qob Breksl terlipat Qos Paslr tufa, Konglomerat, llat Qvl
Hasil vulkan muda-lava
Qyu Batuan Volkan; Plroklastlk
Sumber : Peta Gwlogl Lembar Ardjawlnangun lawa Barat Skala 1 :100.000 Djur1.1973
I
I
Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian
I)
PETA TANAH DAERA PENELITIAN N
LEGENDA
A
S
Lokasi P e n e l i t ~ a n lalan Sungal Aerlc Tropqudalfs AquenUc Choromudemr Aqulc Eutropepts Enik Chmmudepmr Eutroppta Eutmpepta dan Tropudalfs Hydraquents Lkhlc UmbrlcVltrandepis Tmpofluvents Tropudalfs dan Eutropepta Typic Eutroppta Vplc Tmpequepts Typlc Tmpotthena Typic Tmpudults UlUc Tropudalfs vemc Eutmpepta Vettic Tropudalfs Vertlc Ustmpeuta
Peta lawa Barat
Sumber : Detailed Reconnaissance Land Survey of the Cimanuk Watershed area (West lava). So11 Research Institute. 1976. Skala 1:100.000
0
7.5 km
I I
I Gambar 4. Peta tanah daerah penelitian
I
Tabel 1. Curah hujan daerah penelitian (Stasiun Hujan Tomo) (rnrn) Tahun
Rata-
rata
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Jml
447.5
355.8
409.7
243.4
132.4
73.8
39
23.6
38
85.8
272.3
417.1
2521.3
Keterangan: (-) :tidak ada data Sumber :Slmiun Klimolologi Bogor
Tabel 2. Suhu udara dan kelembaban udara daerah penelitian (Stasiun Jatiwangi) Uraian
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
lun
lul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
31.1
31.7
32.4
33.2
33.4
31.7
31.7
-
32.9
33.7
32.4
31.9
32.95
22.6
22.5
22.9
22.8
23.2
22.9
22.3
22.3
22.3
22.4
22.4
221
22.56
26.1
26.4
26.3
27
27.3
26.4
261
-
27
27.7
27.6
26.6
26.77
89
83
83
884
80
-
75
73
76
85
82.09
rata
Suhu Udara
Rata-rata ("C) Suhu Udara Rata-rata ("C) Suhu Udara Rata-rata ("C) Kelembaban
Udara
88 87 Rata-rata (Yo) Keterangan: (-) : tidak ada data
Smber : Deportemen Perhubmgm, Pusal Meleorologo &n Geofrsika Jaka110, 1980
Tipe iklim daerah penelitian berdasarkan klasifikasi iklim SchrnidthFerguson adalah tipe C yaitu daerah agak basah dengan vegetasi hutan rimba yang memiliki vegetasi yang daunnya gugur pada musim kemarau. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, daerah penelitian memiliki tipe iklim C3 (setahun hanya dapat ditanam padi satu kali clan penanaman palawija yang kedua hams hati-hati jangan jatuh pada bulan kering).
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah yang berasal dari area bekas kebakaran 1 kali yang terbakar pada tahun 2004, area bekas kebakaran 3 kali yang terbakar pada tahun 2002, 2003, dan 2004 serta contoh tanah yang berasal dari area yang tidak tebakar.
Penentuan lokasi
pengambilan contoh tanab berdasarkan data sekunder antara lain peta kerja BKPH Tomo Utara skala 1: 50.000, peta tanah tinjau wilayah Sumedang Utara skala 1: 100.000, peta mpa bumi skala 1:25.000, dan data kebakaran hutan BKPH Tomo Utara.
Metode Penelitian Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pengurnpulan data, penentuan plot pengamatan, pengambilan contoh tanah dan serasah, analisis contoh tanah dan serasah, clan analisis data dan penyajian hasil.
Penentuan Plot Pengamatan Kegiatan penelitian ini diawali dengan pengumpulan data sekunder berupa data kebakaran hutan yang terjadi di BKPH Tomo Utara. Selanjutnya, dilakukan survei pendahuluan yang ditunjang oleh peta tanah dan peta kerja BKPH Tomo
Utam untuk menentukan satuan lahan homogen pada area kebakaran dan area yang tidak terbakar. Satuan lahan homogen ini sebagai dasar penentuan plot pengamatan dan pengambilan contoh tanah. Satuan lahan homogen memiliki keseragaman jenis tanah yaitu Vertic Ustropepts, lereng, dan area bekas kebakaran hutan. Pemilihan area bekas kebakaran berdasarkan frekuensi kebakaran yang terjadi, yaitu area yang terbakar 1 kali pada tahun 2004 dan area yang terbakar 3 kali yang terjadi pada tahun 2002, 2003, dan 2004, serta memiliki jenis dan umur tanaman yang seragam yaitu tanaman jati yang ditanam pada tahun 1998. Untuk lereng dibagi ke dalam kelas lereng 0-8% dan 15- 25% pada masing-masing area yang terbakar dan yang tidak terbakar. Selanjutnya, pada masing-masing satuan
lahan homogen ditentukan plot pengamatan yang berukuran 20 x 20 meter (petak contoh primer).
Pengambilan Contoh Tanah dan Serasah Pengambilan contoh tanah dilakukan untuk menganalisis sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada masing-masing plot pengamatan. Pengambilan contoh tanah
dan serasah dilakukan pada bulan Mei 2005 yaitu 9 bulan setelah terjadi kebakaran terakhir yang terjadi pada bulan Agustus 2004. Pembuatan Profil Tanah Pada masing-masing unit pengamatan dibuat satu profil tanah. Pembuatan profil tanah dilakukan sampai kedalaman 1 meter untuk mengetahui tebal horison atas dan sifat- sifat morfologi tanah, serta sebagai dasar pengambilan contoh tanah untuk keperluan analisis. Pengambilan Contoh Tanah untuk Analisis Sifat Fisika Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat fisika dilakukan pada dua horison teratas pada profil tanah yang telah dibuat. Contoh tanah yang diambil mempakan contoh tanah tidak terganggu dengan menggunakan ring contoh dan contoh tanah agregat utuh berupa bongkahan tanah. Contoh tanah tidak terganggu temtama digunakan untuk analisis bobot isi, porositas, dan permeahilitas tanah. Contoh tanah agregat utuh digunakan untuk analisis distrihusi dan stabilitas agregat tanah. Selain itu, juga dilakukan analisis tekstur dan kadar air serta dilakukan pengukuran infiltrasi di lapangan. Pen~ambilanContoh Tanah untuk Analisis Sifat Kimia Untuk sifat kimia tanah, pengambilan contoh tanah pada masing masing plot pengamatanlpetak contoh primer dilakukan pada petak contoh sekunder yang berukuran 1x1 meter, dimana setiap plot pengamatan terdapat tiga petak contoh sekunder yang mewakili masing-masing satuan lahan homogen yang ada. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada dua horison teratas pada profil yang telah dibuat dan menggunakan bor tanah pada dua petak contoh sekunder lainnya. Contoh tanah yang diambil mempakan contoh tanah terganggu. Tanah hasil pengambilan tersebut dikompositkan dari tiga petak contoh sekunder
masing-masing dalam unit petak contoh primer yang telah dibuat sebelumnya. Selanjutnya, contoh tersebut dipisahkan pada masing-rnasing horison yang sama, kemudian diaduk secara merata untuk diambil hasilnya untuk dianalisis. Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah pH, C-organik total, C-organik pada berbagai ukuran agregat, N- total, P HC1 25 %, P-tersedia, dan kation-kation basa (K, Ca,
Mg, dan Na) Pengambilan Contoh Serasah Pengambilan contoh serasah dilakukan pada setiap satuan lahan hornogen. Satu plot petak contoh primer 20x20 meter yang mewakili satuan lahan homogen yang ada diambil contoh serasah dari 3 petak contoh sekunder yang berukuran
1x1 meter. Contoh serasah digunakan untuk analisis kandungan hara dari serasah. Pada setiap petak contoh sekunder juga dihitung jumlah serasah berdasarkan bobot isi per satuan luas. Analisis Contoh Tanah dan Serasah
Analisis contoh tanah dilaksanakan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB untuk memperoleh sifatsifat fisika dan kirnia tanah. Parameter sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang dianalisis dan metode analisis yang digunakan disajikan pada Tabel 3. Selain analisis tanah, juga dilakukan analisis kandungan hara dari serasah jati. Analisis Data dan Penyajian Hasil
Analisis Sifat Fisika dan Kimia Analisis data tanah untuk mengetahui dampak kebakaran terhadap sifatsifat fisik dan kimia tanah dilakukan secara deskriptif antara data pada area yang terbakar yang dibedakan berdasarkan frekuensi kebakaran dengan area yang tidak terbakar yang mempunyai kerniringan lereng yang sama dan jenis tanah yang sama. Penentuan Laiu Erosi dan Erosi Potensial Setiap Unit Lahan Penentuan laju erosi dan erosi potensial pada setiap satuan lahan homogen dengan memanfaatkan data sifat-sifat fisik dan kimia dari hasil analisis. Laju erosi
dan erosi potensial ditentukan berdasarkan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikemukan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yaitu :
A = RKLSCP dimana A adalah besamya erosi (tonJhaftahun),R adalah faktor erosivitas hujan, K adalah faktor erodibilitas tanah, LS faktor panjang dan kemiringan lereng, C adalah faktor pengelolaan tanaman, dan P adalah faktor tindakan konservasi
Tabel 3. Parameter dan metode analisis
No 1
Jenis Analisis Bulk Density Kadar air Infiltrasi Porositas Distribusi agregat f. Ketahanan agregat g. Permeabilitas
Gravimetri Gravimetri Lapangan (infiltrometer) Gravimetri Pengayakan Pengayakan keringhasah Lambe
dcc %
cdjarn %
mm
cdjam
Sifat-Sifat Kimia Tanah
a. pH
3
Satuan
Sifat-Sifat Fisika Tanah a. b. c. d. e.
2
Metode analisis
b. C-organik c. N-total d. P-tersedia e. P-HC125 % f. K,Ca, Mg, Na Jaringan Tanaman a. Curganik b. N-total c. P, K,Ca, Mg
pH meter Walkley and Black Kjeldahl Bray I HC125 % Ekstrak NHdOAcpH7 Walkley and Black Kjeldahl Pengabuan basah
YO %
PPm PPm me/ 1OOg YO %
YO
Faktor Erosivitas Huian (R) Faktor erosivitas hujan diperoleh berdasarkan data curah hujan. Perhilungan faktor erosivitas hujan ditentukan dengan menggunakan rumus :
yang dikemukakan oleh Levain (1975), diacu dalam Bols (1978), dimana El,, adalah indeks erosivitas hujan bulanan, R adalah curah hujan bulanan dalam sentimeter. Faktor Erodibilitas Tanah (K) Faktor erodibilitas tanah ditetapkan pada setiap satuan lahan homogen yang memuat data fisik tanah dan kimia tanah hasil analisis, yaitu permeabilitas, struktur, tekstur, dan kandungan bahan organik. Nilai faktor erodibilitas tanah tersebut diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan persamaan : lOOK =1.292 12.1~'-'~10"(12-a)+3.25(b-2)+2.5(~-3)] yang dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978), dimana K adalah faktor erodibilitas tanah, M adalah ( persentase pasir sangat halus dan debu) x (100persentase liat), a adalah persentase bahan organik, b adalah kode struktur tanah, c adalah kelas permeabilitas tanah. Faktor Lereng (LS) Faktor lereng diperoleh dari perkalian faktor panjang lereng dan faktor kemiringan lereng. Faktor panjang lereng diperoleh dengan menggunakan persamaan yang diperkenalkan oleh Eyces (1968), diacu dalam Haryanto (1994) yaitu :
L = (~0/22ys dimana L adalah faktor panjang lereng, Lo adalah panjang lereng dalam meter, sedangkan untuk menghitung faktor kemiringan lereng digunakan persamaan :
s = (s/9y4 yang dikemukakan oleh Eppink (1979), diacu dalam Haryanto (1994), dimana S adalah faktor kemiringan lereng dan s adalah kemiringan lereng dalam persen. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Faktor Tindakan Konservasi Tanah (PI Penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan jati yang pernah terbakar pada tahun 2002, 2003, dan 2004. Faktor pengelolaan
tanaman (C) dan tindakan konservasi tanah (P) ditentukan berdasarkan literatur yang ada.
HASlL DAN PEMBAHASAN Serasah Tanaman Jati Bobot Tumpukan Serasah Tauaman Jati Bobot tumpukan serasah tanaman jati yang dominan berupa daun dan ranting, yang berada di atas permukaan tanah dari masing-masing titik pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Bobot tumpukan serasah tanaman jati di atas permukaan tanah Lereng
Bobot tumpukan serasah (tonha) Area tidak terbakar Area terbakar lx
Area terbakar 3x
Hasil tersebut menunjukkan bahwa area yang tidak terbakar mempunyai bobot tumpukan serasah yang lebih tinggi (3.46 tonha) dibandingkan dengan area bekas kebakaran 1 kali (2,78 toniha) maupun area bekas kebakaran 3 kali (2.76 toniha). Sedangkan antara area bekas kebakaran 1 kali dengan area bekas kebakaran 3 kali bobot tumpukan serasahnya hampir sama. Rendahnya tumpukan serasah pada area bekas kebakaran karena pada suatu kejadian kebakaran, serasah yang ada pada area tersebut habis terbakar, sedangkan di area yang tidak terbakar dalam kurun waktu yang sama masih ada sisa serasah yang belum terdekomposisikan. Selain itu, diduga jatuhan serasah di area yang terbakar lebih sedikit dibandingkan area yang tidak terbakar. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan tanaman jati di area yang tidak terbakar lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman jati di area bekas kebakaran, terutama area yang bemlang kali terbakar.
Kandungan Hara Serasah Tanaman Jati Serasah adalah sumber utama bahan organik yang akan mengalami pelapukan dan terangkut ke horison lebih dalam dan selanjutnya bersatu dengan
tanah dan menyumbangkan sejumlah unsur hara. Kandungan hara serasah jati yang diperoleh dari hasil analisis disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis kandungan hara serasah jati Unsur hara
Serasah tanaman jati
Analisis serasah tanaman jati menunjukkan bahwa sebagian besar jaringan tanaman jati mengandung 42.17% karbon (C-organik), hanya sebagian kecil terdapat unsur-unsur lain seperti 0.94% nitrogen (N), 1.43% kalsium(Ca), 0.41% magnesium (Mg), 0.07% kalium (K), dan 0.05% fosfor (P). Kandungan hara tersebut mengalami perubahan setelah serasah berubah menjadi abu akibat proses kebakaran. Grier (1975), diacu dalam Daniel et al. (1987) menyatakan bahwa pembakaran sisa tanaman akan menyebabkan kehilangan nitrogen sebesar 10-
15%. Menurut Spurr dan Barnes (1980) berkurangnya kandungan C-organik dan N-total tersebut karena proses pembakaran menyebabkan unsur tersebut hilang melalui konveksi dan volatilisasi.
Perubahan Morfologi Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Pengamatan profil di lapangan (Lampiran 1 ) menunjukkan bahwa pada saat 9 bulan setelah kebakaran, secara umum tidak terjadi perubahaan morfologi tanah akibat proses kebakaran. Analisis warna tanah berdasarkan pengamatan profil di lapangan dengan menggunakan MunseN Soil Color diketahui bahwa warna tanah area bekas kebakaran secara umum tidak berbeda dengan area yang tidak terbakar. Horison atas tanah, baik pada area bekas kebakaran maupun area
yang tidak terbakar pada lereng 0-8% berwarna coklat gelap (7.5 YR 4/3), clan pada lereng 1525% benvama coklat (7.5 YR 4/61.
Dari pengamatan profil diketahui tebal horison atas area bekas kebakaran mengalami penurunan jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (Gambar 5). Pada lereng 0-8% area bekas kebakaran 3 kali mempunyai tebal horison atas 18 cm, area bekas kebakaran 1 kali tebal horison atasnya 21 cm,
Gambar 5. Perubahan tebal horison atas akibat kebakaran lantai hutan dan area yang tidak terbakar mempunyai horison atas setebal 23 cm. Hal ini menunjukkan bahwa erosi yang terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali lebih tinggi yang menyebabkan hilangnya horison atas setebal 5 cm jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, dan pada area bekas kebakaran 1 kali horison atasnya berkurang setebal 2 cm. Untuk area pada lereng 15-25%, baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali kehilangan horison atasnya lebih besar jika dibandingkan dengan area yang sama pada lereng
0-8%. Pada area bekas kebakaran 3 kali dengan tebal horison atas 26 cm mengalami kehilangan horison atas setebal7 cm, dan pada area bekas kebakaran 1 kali mengalami kehilangan horison atas setebal 3 cm jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar.
Hal di atas membuktiian bahwa kebakaran yang
berulang-ulang menyebabkan terjadinya erosi yang intensif seperti yang
diiemukakan oleh Giovannini et al. (1990) dan dengan bertambahnya kemiringan lereng erosi yang terjadi akan lebih besar (Arsyad, 1989). Perubahan Sifat Kimia Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Reaksi Tanah (pH tanah) Hasil analisis sifat kimia tanah (Lampiran 2) menunjukkan adanya pembahan pH tanah akibat kebakaran lantai hutan. Nilai pH tanah area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali pada lereng 0-8% daerah penelitian berturut-turut adalah 6.29, 6.84, dan 6.20 untuk horison atas dan 7.65, 7.87, 7.24 untuk horison bawah. Pada lereng 15-25% bertumt-tumt adalah 5.93, 6.10 dan 5.87 untuk horison atas, serta 6.57, 6.63 dan 5.81 untuk horison bawah (Garnbar 6). Dari data tersebut diketahui hahwa pH tanah area
Gambar 6. Pembahan pH tanah akibat kebakaran lantai hutan. bekas kebakaran 1 kali pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran lebih tinggi jika dibandiigkan dengan area yang tidak terbakar, sebaliknya pada area bekas kebakaran 3 kali lebih rendah. Peningkatan pH tanah pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran pada area bekas kebakaran 1 kali disebabkan oleh adanya penambahan unsur hara terutama basa-basa yang berasal dari abu serasah sisa kebakaran yang dapat
meningkatkan pH tanah, dan penambahan tersebut dalam jangka waktu 9 bulan setelah tejadi kebakaran diduga lebih besar jika dibandingkan dengan kehilangan yang dimanfaatkan tanarnan, proses pencucian, dan proses erosi setelah tejadi kebakaran. Hal yang sama juga disampaikan oleh De Bano et al. (1998), yaitu penambahan basa-basa yang berasal dari abu sisa kebakaran yang relatif lebih tinggi sehingga banyak mengandung unsur hara yang dapat meningkatkan pH tanah, karena adanya penguraian materi organik bempa limbah (serasah di lantai hutan) dan jaringan vegetasi yang terbakar, sehingga menghasilkan abu yang mengandung kation basa. Peningkatan pH tanah horison atas (0-2 1 cm) pada lereng 0-8% area bekas kebakaran 1 kali sebesar 0.55 satuan unit pH, ha1 ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Pennington, et a1 (2001) yaitu tejadi peningkatan pH tanah sebesar 0.5-0.7 satuan unit pH pada kedalaman 0-20 cm dalam jangka waktu 9 bulan setelah terjadi kebakaran. Pada horison atas area bekas kebakaran 3 kali, pH tanahnya lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Diduga sesaat setelah terjadi kebakaran, pH tanah pada area bekas kebakaran 3 kali mengalami peningkatan, tetapi dalam jangka waktu 9 bulan setelah tejadi kebakaran terakhir, pH tanah area bekas kebakaran 3 kali mengalami penurunan. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh proses erosi yang terjadi pada lahan tersebut sangat intensif akibat terjadinya kebakaran yang bemlang-ulang yang dapat menyebabkan tejadiiya pemadatan tanah sehingga memperburuk sifat fisik tanah seperti porositas tanah rnenurun dan kemampuan tanah menyerap air menurun serta meningkatkan aliran permukaan.
Erosi yang tinggi karena curah hujan yang
tinggi setelah terjadi kebakaran pada area bekas kebakaran 3 kali menyebabkan abu serasah sisa kebakaran yang banyak rnengandung unsur-unsur hara yang awalnya dapat meningkatkan pH tanah sebagian besar hilang bersamaan dengan aliran permukaan sehingga m e n d a n pH tanah. Pa& horison bawah, pH tanah cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan horison atas tanah untuk setiap titik pengamatan (Gambar 6). Hal ini diduga karena adanya penambahan
basa-basa pada horison bawah akibat
terjadinya pencucian basa-basa pada horison atas. Selain itu, faktor utama yang
menyebabkan tingginya pH tanah pada horison bawah kemungkinan karena bahan induk di daerah penelitian berkembang dari batuan napal yang banyak mengandung kalsit.
C-Organik Total Tanah dan C-Organik Total pada Berbagai Ukuran Agregat Tanah Hasil analisis kadar C-organik total disajikan pada Gambat 7. Kadar Corganik total pada horison atas area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakarn 3 kali pada lereng 0-8% berturut-turut adalah 1.84%, 1.53%, dan 1.53%, sedangkan pada lereng 15-25% adalah 1.64%, 1.52%, dan 1.36%.
Gambar 7. Perubahan C-organik total tanah akibat kebakaran lantai hutan. Dari data tersebut di atas diketahui bahwa pada saat 9 bulan setelah terjadi
kebakaran C-organik total tanah pada area yang terbakar cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali. Penurunan kadar Corganik total antara tanah area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali relatif hampir sama pada lereng 0-8%, sedangkan pada lereng 15-25%
penurunan C-organik total pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar daripada area bekas kebakaran 1 kali. Penurunan C-organik total pada area bekas kebakaran 1 kali akibat kebakaran mencapai nilai sebesar 16-17% dari C-organik total pada area yang tidak terbakar. Hasil penelitian Pennington et al. (2001) juga menunjukkan ha1 yang sama yaitu tejadi penurunan C-organik total sebesar 16.9% pada area bekas kebakaran pada saat 9 bulan setelah tejadi kebakaran. Lebih rendahnya kadar Corganik total pada area bekas kebakaran diduga karena kehilangan C-organik total yang berasal dari pembakaran serasah pada saat kebakaran lebih besar dari kehilangan C-organik total pada area yang tidak terbakar (berasal dari dekomposisi bahan organik berupa serasah). C-organik total pada horison atas area bekas kebakaran tersebut hilang melalui proses volatilisasi, pencucian dan erosi intensif, terutama pada area bekas kebakaran 3 kali akibat sering terbukanya lantai hutan. Tabel 6 menunjukkan kadar C-organik total pada berbagai ukuran agregat tanah. Sama dengan C-organik total tanah, kadar C-organik total pada berbagai ukuran agregat tanah cenderung lebih rendah pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran. Penurunan terbesar tejadi pada agregat ukuran 4.8-8 mm, yaitu pada lereng 0-8% terjadi penurunan sebesar 26.13% pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan 26.63% pada area bekas kebakaran 3 kali. Pada agregat yang paling kecil (0.1-0.3 mm) terjadi penurunan yang lebih rendah yaitu sebesar 20.59% pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan 21.08% pada area bekas kebakaran 3 kali. Kadar C-organik total pada masing-masing agregat cenderung berbeda. Pada agregat yang mempunyai ukuran yang paling kecil(0.10.3 mm) cenderung mempunyai kadar C-organik total lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar C-organik total dalarn agregat yang berukuran lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa agregat yang lebih kecil mengikat bahan organik lebih banyak dibandingkan agregat yang lebih besar. Pujiyanto (2004) menyatakan bahwa jumlah bahan organik yang dapat diikat tiap satuan bobot agregat akan lebih tinggi pada agregat yang ukurannya lebih kecil, karena agregat yang berukuran lebih kecil memiliki luas permukaan spesifik yang lebih tinggi
Tabel 6. Kadar C-Organik Total pada Berbagai . Ukuran Agregat ~. Tanah Titik Pengamatam
Lereng 0-8 % 1. Horison atas -area tidak terbakar - areaterbakar lx -areaterbakar3x 2. Horison bawah -area tidak terbakar - areaterbakar lx -aeaterbakar3x
Lereng 15-25 % I . Horison atas - area tidak terbakar -area terbakar lx -areaterbakar3x 2. Horison bawah area tidak terbakar -area terbakar lx -areaterbakar3x
-
Ketermran :
4.8-8
2.8-4.8
C-organik total pada berbagai ukuran agregat ( O h ) 1-2 0.5-1
2-2.8
.'
0.1-0.5
20.59*(-) 21.08**(-)
1.99 1.47 26.13*(-) 1.46 26.63**(-)
1.99 1.53 2 I - ) 1.48 25.63**(-)
2.01 1.55 22.88*(-) 1.49 25.87**(-)
2.02 1.55 23.27*(-) 1.52 24.75**(-)
2.03 1.58 22.17*(-) 1.57 22.66**(-)
1.91 1.59 1.59
16.75*(-) 16.75**(-)
2.04 1.62 1.61
0.91 0.76 16.48*(-) 0.92 1.09**(+)
0.94 0.78 1.06
17.02*(-) 1.06**(+)
0.95 0.81 15.74*(-) 0.97 2.ll**(+)
0.95 0.80 15.79*(-) 0.96 1.05**(+)
0.99 0.89 10.10*(-) 1.06 7.07**(+)
0.96 0.78 1.12
18.75'(-) 16.67**(+)
0.99 0.90 1.16
9.0Yr(-) 17.17**(+)
1.59 1.32 16.98*(-) 1.20 24.53**(-)
1.62 1.41 1.24
12.96*(-) 23.46'*(-)
1.63 1.42 12.88'(-) 1.24 23.93**(-)
1.62 1.47 9.26*(-) 1.23 24.07"(-)
1.63 1.49 8.59*(-) 1.31 19.63**(-)
1.66 1.52 1.35
18.67'*(-)
1.72 1.57 1.36
8.72*(-) 20.96**(-)
0.70 0.94 34.2S1(+) 0.98 40.0**(+)
0.63 0.95 0.99
50.79*(+) 57.14**(+)
0.70 1.11 58.57*(+) 1.01 44.28**(+)
0.72 1.12 55.55*(+) 1.02 41.67**(+)
0.61 0.95 55.74*(+) 0.99 62.29**(+)
0.71 1.11 1.13
56.34*(+) 59.15**(+)
0.72 1.15 1.13
Denuruflan. (+I oeninekatm dibandinekan terhadm area vane tidak. terbakar . ~ ;&rrr.nlnsc per;hahm ~ ~ o r g marea t l vri&aks I kali icrhadap arein lld& tcrhakar per
(-)
0.3-0.5
~~
8.43*(-)
59.72*(+)
56.94**(+)
dibandingkan agregat yang berukuran lebih besar, dengan demikian agregat yang berukuran lebih kecil mempunyai peluang kontak untuk membentuk ikatan yang lebih besar dibandingkan dengan agregat yang berukuran besar. Selain itu, aksesibilitas mikroorganisme pada agregat yang berukuran 0.1-0.3 mm lebih rendah dibandingkan pada agregat yang berukuran lebih besar, sehingga dekomposisi bahan organik dalam agregat yang be&menjadi sulit dan lebih lama.
lebih kecil akan
Edward dan Bremner (1967), diacu dalam
Sudarsono (1991) menyatakan bahwa konservasi bahan
organik pada
mikroagregat terjadi karena mikroagregat tersebut dipandang tidak dapat dimasuki oleh mikroorganisme sehingga bahan organik di dalamnya tidak dirombak.
Nitrogen Total Tanah Kadar nitrogen total pada area bekas kebakaran mengalami pembahan jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Gambar 8 menunjukkan kadar nitrogen total pada masing-masing titik pengamatan.
Gambar 8. Perubahan nitrogen total tanah akibat kebakaran lantai hutan. Kadar N-total pada area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali, dan area bekas kebakaran 3 kali pada lereng 0-8% berturut-turut adalah 0.14%, 0.12% clan 0.09% untuk horison atas dan 0.13%, 0.10%, dan 0.07% untuk horison bawah. Pada lereng 15-25% kadar N-total berturut-turut adalah 0.17%, 0.14%,
dan 0.10% untuk horison atas dan 0.10%, 0.1 1%, dan 0.10% untuk horison bawah. Secara umum rata-rata kadar nitrogen total dalam tanah yang berasal dari area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar nitrogen total dalam tanah yang berasal dari area yang tidak terbakar. Penurunan nitrogen total dalam tanah area bekas kebakaran disebabkan oleh proses pembakaran serasah-serasah di atas permukaan tanah menyebabkan sebagian besar nitrogen total yang terkandung dalam serasah hilang melalui proses volatilisasi. Selain volatilisasi nitrogen dari abu serasah, kehilangan nitrogen juga diduga karena volatilisasi nitrogen yang ada di tanah akibat terjadinya pernanasan tanah karena proses kebakaran. Nitrogen juga dapat hilang melalui proses pencucian dan erosi pada saat terjadi hujan, disamping diambil oleh tanaman dan dimanfaatkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Chandler et al.
(1983a) menyatakan bahwa
kecenderungan perubahan nitrogen beberapa periode setelah tejadinya kebakaran di area bekas kebakaran disebabkan karena unsur nitrogen sangat mudah menguap ke udara.
Disamping itu, perubahan nitrogen di dalam tanah dapat juga
disebabkan oleh proses imobilisasi nitrogen karena adanya penguraian bahan organik pada area bekas kebakaran dan meningkatnya mikroorganisme dekomposer setelah terjadi kebakaran. Penurunan nitrogen total tanah pada area bekas kebakaran 1 kali pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran berkisar antara 12-17% dari nitrogen total tanah pada area yang tidak terbakar. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Pennington et al. (2001) yaitu terjadi penurunan nitrogen total sebesar 12.3% pada saat 9 bulan
setelah terjadi kebakaran. Penurunan nitrogen total tanah pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar daripada penurunan nitrogen total pada area bekas kebakaran 1 kali yaitu berkisar 36-40% dari nitrogen total area yang tidak terbakar. Hal ini terjadi karena kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan nitrogen yang menguap melalui proses volatilisasi akan lebih banyak. Selain itu, nitrogen yang hilang melalui proses pencucian dan proses erosi yang intensif pada saat musim hujan pada area bekas kebakaran 3 kali juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan area
bekas kebakaran 1 kali karena sering terbukanya lantai hutan akibat kebakaran yang terjadi.
Fosfor HC1 2Soh dan Fosfor Tersedia Hasil analisis P-HC1 25% pada area yang tidak terbakar dan area bekas kebakaran
disajikan pada Gambar 9.
Dari data tersebut diketahui bahwa
kebakaran lantai hutan menyebabkan terjadinya peningkatan P-HC1 25% horison atas tanah baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali. Horison atas tanah area yang tidak terbakar mengandung P-HCI 25% sebesar 188ppm pada lereng 0-8% dan 158ppm pada lereng 15-25%. Pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, horison atas tanah area bekas kebakaran 1 kali meningkat menjadi 206 ppm pada lereng 0-8% dan 179 ppm pada lereng 1525%. Hal yang sama juga terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali dengan peningkatan P-HCl 25% lebih tinggi daripada area bekas kebakaran 1 kali yaitu menjadi 334 ppm pada lereng 0-8% dan 206 ppm pada lereng 15-25%.
Gambar 9. Perubahan fosfor HCI 25 % tanah akibat kebakaran lantai hutan. Peningkatan P-HCI 25% tanah pada area bekas kebakaran diduga berasal
dari penguraian materi organik berupa limbah serasah di lantai hutan dan jaringan vegetasi yang terbakar, sehingga menghasilkan abu yang mengandung unsur hara
fosfor.
Fosfor merupakan unsur yang sangat stabil dalam tanah sehingga
kehilangan melalui pencucian relatif tidak pemah terjadi. Hal ini menyebabkan kelarutan fosfor dalam tanah sangat rendah yang konsekuensinya ketersediaan fosfor untuk tanah relatif sangat sedikit d m ketersediaan fosfor tersebut sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah. Berkaitan dengan P-tersedia dalarn tanah, kebakaran hutan cenderung menyebabkan tejadinya perubahan P-tersedia dalam tanah area bekas kebakaran seperti yang disajikan pada
Gambar 10.
Kebakaran hutan cenderung
li~ei~yebabkanP-tersedia pada area bekas kebakaran, baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, dan penurunannya relatif hampir sama untuk horison atas.
Gambar 10. Perubahan fosfor tersedia tanah akibat kebakaran lantai hutan. P-tersedia pada horison atas tanah pada area bekas kebakaran 1 kali mengalami penurunan menjadi 5.22 ppm pada lereng 0-8% dan 4.61 ppm pada lereng 15-25% jika dibandingkan dengan P-tersedia pada area yang tidak terbakar yang mengandung kadar P-tersedia sebesar 10.94 ppm pada lereng 0-8% dan 6.56 ppm pada lereng 15-25%. Penurunan P-tersedia horison atas pada area bekas kebakaran diduga karena P-tersedia hilang melalui proses erosi yang intensif dan
lebih tinggi pada area bekas kebakaran daripada area yang tidak terbakar. Kehilangan P-tersedia dalam tanah dapat disebahkan oleh terangkut tanaman, pencucian, dan proses erosi, tetapi kehilangan unsur hara fosfor melalui erosi intensif lebih besar daripada kehilangan oleh faktor-faktor lainnya. Kehilangan ini lebih besar dari yang diperkirakan, karena partikel-partikel halus yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi keseluruhan akan terangkut dari tanah oleh erosi. Kehilangan ini diperbesar lagi oleh curah hujan yang tinggi dan tidak adanya perlindungan terhadap permukaan tanah setelah tejadi kebakaran karena terbakarnya serasah dan tumbuhan permukaan. Selain itu, lebih rendahnya P-tersedia pada area bekas kebakaran diduga karena lebih rendahnya kandungan bahan organik pada area tersebut jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar akibat kebakaran yang terjadi.
Bahan organik sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan P tersedia dalam tanah, karena : (1) pembentukan senyawa fosfohumik yang mudah diambil tanaman, (2) reaksi pertukaran dengan ion-ion humat dan (3) dapat menyelimuti seskuioksida dan dapat menyanggah pengikatan P oleh tanah. Perubahan P-HCI 25% dan P-tersedia tanah yang telah dibahas sebelurnnya akibat k e b a k m lantai hutan yang terjadi merupakan suatu karakteristik sifat tanah yang mencirikan suatu area bekas kebakaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa P-HCI 25% pada horison atas area bekas kebakaran lebih tinggi daripada P-HCI 25% pada horison bawah (Gambar 9). dan P-tersedia pada horison atas area bekas kebakaran lebih rendah daripada Ptersedia pada horioson bawah (Gambar 10). Hal ini berbeda dengan area yang tidak terbakar dan tanah-tanah normal yang urnumnya P-HCI 25% pada horison atas lebih rendah daripada P-HC1 25% pada horison bawah, dan P-tersedia pada horison atas lebih tinggi daripada P-tersedia pada horison bawah (Tisdale et al. 1985).
Sebagai contoh, dari hasil analisis pada tanah-tanah di Kabupaten
Bandung seperti tanah Ultisol Cicalengka, Alfisol Ciwidey, dan Mollisol Cililin, P-tersedia semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman tanah (PPT 1993). Hasil penelitian Hussain et al. 1999 dan Ishaq et al. 2002 menunjukkan bahwa pada tanah yang diolah secara minimum maupun konvensional, P-tersedianya semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman tanah.
Kation-Kation Basa (Ca, Mg. K dan Na)
Kebakaran hutan cendemg memberikan pengaruh terhadap susunan kation yang dapat dipertukarkan dalam tanah baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali. Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar kalsium (Ca) pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, baik pada lereng 0-8% (17.02 me1100g) maupun pada lereng 15-25% (9.78 me1100 g) lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar dengan kandungan Ca sebesar 16.37 mellOOg pada lereng 0-8% dan 9.54 mellOOg pada lereng 15-25%. Sebaliknya, pada area bekas kebakaran 3 kali, kadar Ca lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar yaitu menjadi 9.92 me1100g pada lereng 0-8% dan 7.86 me1100g pada lereng 15-25%.
Gambar 11. Perubahan kalsium tanah akibat kebakaran lantai hutan. Demikian pula halnya dengan kation magnesium (Mg), cenderung lebih tinggi pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali clan lebih rendah pada area bekas kebakaran 3 kali
pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran jika
dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (Gambar 12).
Gambar 12. Perubahan magnesium tanah akibat kebakaran lantai hutan. Perubahan Ca dan Mg mempunyai pola yang sama dengan perubahan pH tanah. Pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, kadar kalsium dan magnesium pada area bekas kebakaran 1 kali relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar yang menyebabkan meningkatnya pH tanah. Hal ini diduga karena penambahan unsur kalsium dan magnesium dari serasah jati di permukaan tanah yang mengandung 1.43% Ca dan 0.41% Mg yang terbakar lebih besar jika dibandingkan dengan kehilangan kalsium dan magnesium yang dimanfaatkan oleh tanaman, proses pencucian, dan kehilangan melalui proses erosi setelah tejadi kebakaran. Pada area bekas kebakaran 3 kali, penambahan unsur kalsium dan magnesium dari abu sisa kebakaran tidak dapat mengimbangi kehilangan Ca dan Mg yang lebih besar, terutama kehilangan yang disebabkan oleh erosi yang intensif akibat terjadinya kebakaran yang berulang-ulang. Hal ini sejalan dengan pendapat Pritchett (1979) yang mengemukakan bahwa berkurangnya basa-basa tanah antara lain dapat disebabkan oleh penyerapan tanaman dan mikroorganisme tanah, diikat oleh koloid liat, dan hilang bersama air perkolasi dan aliran permukaan. Secara m u m , horison bawah pada setiap titik pengamatan cenderung mengandung kalsium dan magnesium lebih tinggi daripada horison atas. Hal ini diduga karena terjadinya pencucian kalsium dan magnesium pada horison atas
akibat curah hujan yang tinggi, dan yang paling utama adalah bahan induk yang berkembang pada daerah penelitian berasal dari batuan napal yang mengandung kalsit yang dicirikan oleh adanya konkresi kapur benvarna putih pada horison bawah, terutama pada lereng 0-8%. Pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, baik pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali pada berbagai tingkat kelerengan, kation kalium cenderung lebib rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar sebagaimana yang disajikan pada Gambar 13.
Kadar kalium pada horison atas area yang tidak terbakar sebesar 0.25 meI100g pada lereng 0-8% dan 0.30 me1100g pada lereng 15-25%. Pada area bekas kebakaran 1 kali kadar kalium mengalami penurunan menjadi 0.16 me1100g pada lereng 0-8% dan 0.21 meI100g pada lereng 15-25%. Dan pada area bekas kebakaran 3 kali penurunan semakin besar jika dibandingkan dengan area bekas kebakaran 1 kali yaitu menjadi 0.12 meI100g pada lereng 0-8% dan 0.1 1 me/100g pada lereng 15-25%.
Gambar 13. Perubahan kalium tanah akibat kebakaran lantai hutan. Perubahan natrium dalam tanah akibat kebakaran mempunyai pola yang sama dengan kalium. Kadar natrium pada horison atas area bekas kebakaran cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar seperti
yang disajikan pada Gambar 14. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Spurr dan Barnes (1980) bahwa kebakaran hutan yang menyebabkan terbakarnya serasah
dan vegetasi permukaan akan terjadi kehilangan beberapa kation terutama kalium
clan natrium.
Gambar 14. Perubahan Natrium Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan
Perubaban Sifat Fisika Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Bobot Isi, Porositas, dan Permeabilitas Tanab Hasil analisis sifat fisika tanah (lampiran 3) menunjukkan bahwa pada horison atas tanah terjadi perubahan bobot isi tanah (bulk density) akibat kebakaran yang terjadi. Sembilan bulan setelah teqadi kebakaran, bobot isi tanah pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar pada berbagai tingkat kelerengan (Gambar 15 ). Pada horison bawah cenderung tidak terjadi perubahan bobot isi tanah terutarna pada lereng 0-8%. Kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan bobot isi tanah menjadi lebih tinggi
seperti yang disajikan pada Gambar 15.
Pada lereng 0-8%,
peningkatan bobot isi tanah pada area bekas kebakaran 3 kali (1.96 g/cm3) lebih besar daripada bobot isi pada area bekas kebakaran 1 kali (1.86 g/cm3) jika
Gambar 15. Perubahan bobot isi tanah akibat kebakaran lantai hutan. dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (1.75 g/cm3). Hal yang sama juga terjadi pada lereng 15-25% yaitu bobot isi tanah pada area bekas kebakaran 3 kali meningkat menjadi 1.89 g/cm3, sedangkan pada area bekas kebakaran 1 kali peningkatan bobot isi tanah menjadi 1.74 g/cm3 jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (1.64 g/cm3). Peningkatan bobot isi tanah pada area bekas kebakaran menyebabkan porositas total tanah menurun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 16. Porositas total pada horison atas area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali bemuut turut adalah 31.64%, 27.73%, dan 23.44 % pada lereng 0-8%, dan 35.94 %, 32.03 %, dan 26.17% pada lereng 15-
25%. Sejalan dengan penurunan porositas tanah pada area bekas kebakaran juga terjadi penurunan permeabilitas tanah seperti yang disajikan pada Gambar 17. Perubahan bobot isi tanah, porositas total, dan permeabilitas tanah setelah terjadi kebakaran kemungkinan disebabkan oleh adanya penyumbatan atau penutupan ruang pori tanah di horison permukaan pada saat tunm hujan karena terjadi pukulan/tumbukan secara langsung pada permukaan tanah yang telah terbuka akibat kebakaran hutan oleh butir-butir air hujan yang dapat menghancurkan dan
mendispersikan
agregat-agregat tanah
yang
dapat
menyebabkan ruang pori tanah berubah menjadi berkurang ukurannya sehingga tanah menjadi lebih padat.
Gambar 16. Pembahan porositas total tanah akibat kebakaran lantai hutan
Gambar 17. Perubahan permeabilitas tanah akibat kebakaran lantai hutan. Dengan demikian semakin padat suatu tanah maka bobot isi tanah akan meningkat, sebaliknya porositas total dan permeabilitas tanah menurun. Selain itu pemadatan tanah juga dapat terjadi karena abu sisa kebakaran dapat memenuhi
atau menyumbat pori-pori tanah. Pemadatan tanah tersebut semakin meningkat dengan tejadinya kebakaran yang bemlang-ulang yang menyebabkan sering terbukanya lantai hutan pada saat musim hujan sehingga bobot isi tanah meningkat dan porositas tanah menurun.
Sebaliknya pada area yang tidak
terbakar, serasah dan tumbuhan permukaan &pat berfungsi sebagai mulsa yang dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan butir-butir hujan secara langsung, mengurangi erosi permukaan dan juga dapat mempengaruhi kemampuan tanah menahan air. Kapasitas Tanah Menahan Air Kebakaran hutan menyebabkan terjadinya pembahan kapasitas tanah menahan air yang ditunjukkan oleh perubahan kadar air tanah dalam keadaan kapasitas lapang dan kadar air tersedia di dalam tanah.
Pada area bekas
kebakaran, kadar air dalam keadaan kapasitas lapang cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar seperti yang disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Perubahan kadar air dalam keadaan kapasitas lapang akibat kebakaran lantai hutan. Kadar air tanah dalam keadaan kapasitas lapang pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali mengalami p e n m a n menjadi 27.47% jika dibandingkan
dengan area yang tidak terbakar (34.04%) pada lereng 0-8%, dan penurunan kadar air tanah pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar yaitu menjadi 21.05%. Untuk lereng 15-25%, kadar air tanah pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali juga mengalami penurunan menjadi 29.56% dan 26.39%jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar ( 33.17%). Gambar 19 menunjukkan bahwa air tersedia pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali (6.13%) lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (9.14%) pada lereng 0-8 %, dan penurunan air tersedia pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar yaitu menjadi 5.48%. Untuk lereng 15-25% kadar air tersedia pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali juga lebih rendah yaitu menjadi 6.14% dan 5.73% jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar ( 6.87%).
Gambar 19. Perubahan kadar air tersedia akibat kebakaran lantai hutan. Perubahan kapasitas tanah menahan air yang terjadi akibat kebakaran dipengaruhi oleh perubahan porositas tanah setelah terjadi kebakaran, disamping disebabkan oleh adanya perubahan kemampuan partikel tanah mengikat air. Dengan menurunnya porositas total tanah menyebabkan kapasitas tanah menahan air berkurang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh De Bano et al.
(1998) yang menyatakan bahwa kebakaran menyebabkan kemampuan partikel
tanah dalam memegang air menjadi berkurang, sehingga kapasitas tanah menahan air juga menurun. Berkaitan dengan kebakaran hutan, menurut Chandler et al. (1983a) kemampuan tanah menahan air dipengaruhi beberapa faktor penyebab antara lain: (1) Hubungannya dengan variabel faktor fisika tanah lainnya yang berpengaruh terhadap kemampuan partikel tanah dalam memegang air tersebut seperti perbedaan bobot isi dan porositas tanah. (2) Bentuk tipe dan vegetasi penutup tanah. (3) Bentuk penutupan tajuk tegakan hutan. (4) Variasi jenis jaringan tumbuhan baik yang masih hidup maupun yang telah menjadi limbah berupa serasah yang terbakar, sehingga mempengaruhi banyaknya volume dan biomassa jaringan tumbuhan yang ikut terbakar, dan akan m e m p e n g d besarnya sisa abu kebakaran yang dapat mempengaruhi besarnya porositas tanah dan selanjutnya akan m e m p e n g d kapasitas menyimpan air tanah. (5) Ketebalan serasah yang
menumpuk sesaat beberapa periode setelah tejadinya kebakaran yang mempengaruhi sifat fisik tanah di bawahnya. (6) Tipe kebakaran d m intensitas lama waktu kebakaran yang terjadi. (7) Temperatur panas api selama kebakaran tejadi pada horison permukaan tanah tersebut. (8) Faktor iklim terutama curah hujan selama beberapa periode setelah kebakaran tersebut terjadi dan (9) Rentang lama waktu kejadian kebakaran dengan waktu pengambilan contoh tanah. Distribusi dan Stabilitas Agregat Tanah Distribusi agregat tanah dari setiap titik pengamatan ditetapkan dalam 8 kelas ukuran agregat tanah seperti yang disajikan pada Lampiran 4. Data tersebut menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi menyebabkan perubahan distribusi agregat tanah. Hal ini dapat dilihat dari persentasi agregat tanah yang berukuran lebih dari 2 rnm pada area bekas kebakaran lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (Gambar 20), tetapi persentasi agregat tanah yang berukuran lebih dari 2 m m masih tetap lebih besar jika dibandingkan dengan agregat yang berukuran kurang dari 2 mrn. Demikian pula halnya dengan indeks stabilitas agregat mengalami p e n m a n (Gambar 21), akan tetapi stabilitas agregat tanah pada area bekas kebakaran tetap sangat stabil seperti pada area yang tidak terbakar (Lampiran 4).
Crambar 20. Perubahan distribusi agregat tanah akibat kebakaran lantai hutan.
Gambar 21. Perubahan stabilitas agregat tanah akibat kebakaran lantai hutan.
Hasil pengukuran laju infiltrasi di lapangan dengan menggunakan double ring inJilhometer pada masing-masing unit satuan lahan, baik pada area yang tidak terbakar maupun pada area bekas kebakaran 1 kali dm area bekas kebakaran
3 kali disajikan pada Lampiran 5-10. Dari hasil p e n g u k m tersebut ditetapkan
kapasitas infiltrasi berdasarkan persamaan Horton seperti yang terdapat pada Tabel 7 clan disajikan dalam bentuk kurva laju infiltrasi pada Gambar 22 untuk lereng 0-8 % dan Gambar 23 untuk lereng 15-25 %. Tabel 7. Kapasitas lnfiltrasi Berdasarkan Persamaan Horton Titik pengamatan
Laju infiitrasi awal (cdmenit)
Laju infibsi konstan (cdmenit)
KA Tanah awal
f = 0.2 +0.476 e6 0 4 2 1 t
0.676
0.20
24.26
6.03421
f = 0.1 +0.812 e
0.912
0.10
19.04
f = 0.1+1.033 ea0374'
1.133
0.10
15.92
f = 0.2 +0.540 e-"036n
0.740
0.20
24.19
f = 0.15 +0.729 eaMon
0.879
0.15
23.06
f = 0.1 +0.876 e"OM4'
0.976
0.10
18.03
Ka~asitasInfiltrasi
dengan Persamaan Horton
(%)
Lereng 0.8%
- area tidak terbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x Lereng 15-25%
- area tidak terbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x
Secara umum dapat dikatakan bahwa kapasitas infiltrasi pada masingmasing unit lahan menunjukkan perbedaan akibat kebakaran hutan. Kurva laju infiltrasi pada lahan area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali menggambarkan nilai-nilai dan pola penurunan laju infiltrasi yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan air tanah awal, sifat-sifat tanah, dan keadaan vegetasinya. Laju infiltrasi awal pada area bekas kebakaran 3 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju infiltrasi awal pada area bekas kebakaran 1 kali dan area yang tidak terbakar baik pada lereng 0-8 % maupun pada lereng 15-25 % (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena rendahnya kadar air tanah awal pada area bekas kebakaran 3 kali. Tingginya laju infiltrasi awal pada tanah yang kadar air awalnya rendah disebabkan oleh hisapan matrik yang tinggi pada saat tanah belum jenuh. Sebaliknya pada tanah yang berkadar air awal tinggi akan menyebabkan laju infiltrasi awal akan lebih rendah karena hisapan matrik tanah menjadi lebih rendah. Tingginya kandungan air tanah awal akan mempercepat tercapainya laju infiltrasi konstan seperti yang terjadi pada lahan area yang tidak terbakar. Hal ini
Gambar 21. Kuwa laju infiltrasi pada lereng 0-8%.
Gambar 22. Kuwa laju infiltrasi pada lereng 15-25%. terjadi karena berkurangnya volume ruang pori yang tersedia untuk infiltrasi (Skaggs dan Khaleel, 1982). Dengan demikian, hisapan matrik semakin cepat berkurang, dan pergerakan air ke bawah hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi (Phillips, 1986). Sedangkan pada area bekas kebakaran 3 kali, waktu yang
diperlukan untuk mencapai laju infiltrasi konstan lebih lama. Hal ini disebabkan oleh kandungan air tanah awal yang lebih rendah sehingga masih banyak volume ruang pori yang tersedia untuk infiltrasi. Gambax 22 dan 23 menunjukkan bahwa kebakaran hutan menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas infiltrasi tanah. Pembahan kapasitas infiltrasi tersebut akibat terjadinya perubahan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi setelah terjadiiya kebakaran hutan seperti bobot isi, porositas tanah, stabiltas agregat, serta kandungan bahan organik tanah yang telah dibahas sebelumnya. Kapasitas infiltrasi tanah pada area bekas kebakaran cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, baik pada lereng 0-8% maupun pada lereng 15-25%. Hal ini ditunjukkan oleh laju infiltrasi konstan yang lebih rendah pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Lebih rendahnya kapasitas infiltrasi pada area bekas kebakaran diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan, di antaranya terjadinya pemadatan tanah akibat kebakaran sehingga bobot isi tanah meningkat dan porositas tanah menurun, serta berkurangnya kandungan bahan organik d m serasah yang ada di permukaan tanah. Bahan organik yang tinggi secara tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi berkaitan dengan meningkatnya aktivitas makro dan mikroorganisme tanah untuk mendekomposisikan bahan organik, sebagai contoh meningkatnya aktivitas cacing tanah sehingga terbentuk lubang-lubang cacing yang akan berfungsi sebagai media salutan untuk meloloskan air ke horison tanah yang lebih dalam. Bahan organik tanah sebagai hasil proses dekomposisi juga
dapat berfimgsi sebagai bahan penyemen dalam pembentukan agregat tanah yang lebih mantap. Selain itu, banyaknya serasah di permukaan dapat berfungsi untuk melindungi permukaan tanah dari gaya pukul butir-butir hujan sehingga agregat tanah lebih stabil. Tanah-tanah yang mempunyai agregat yang stabil atau mantap akan mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanah yang agregatnya kurang stabil.
Perubahan Laju Erosi dan Erosi Potensial Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Penentuan laju erosi dan erosi potensial dilakukan di tiap-tiap titik pengamatan menggunakan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE). Untuk pendugaan laju erosi berdasarkan persamaan USLE terlebih dahulu ditetapkan faktor-faktor erosi yang terdapat pada persamaan tersebut yaitu faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor lereng, faktor pengelolaan tanaman, dan faktor konservasi tanah. Faktor Erosivitas Hujan (R) Faktor erosivitas hujan diasumsikan sama di setiap titik pengamatan. Faktor erosivitas hujan tersebut dihitung berdasarkan data curah hujan stasiun Tomo (Tabel 1). Tabel 8. Faktor erosivitas hujan daerah penelitian Bulan
Curah hujan (cm)
Eke
44.75
388.57
35.58
284.47
40.97
344.62
24.34
169.74
13.24
75.38
7.38
33.49
3.9
14.07
2.36
7.10
3.8
13.58
8.58
41.11
27.23
197.72
41.71
353.1 1
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total
1922.26
Faktor Erodibilitas Tanah (K) Faktor erodibilitas tanah menunjukkan tingkat kepekaan tanah terhadap daya perusak hujan Nilai erodibilitas tanah pa& area penelitian berkisar dari 0.23 sampai 0.39. Nilai K untuk tiap titik pengamatan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai faktor erodibilitas tanah (K) daerah penelitian Titik pengamatan
% psh
% debu
%liat
% BO
Kode Srmktur
Kode Pemeabiltas
Lereng 0-8 % - areahdakterbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x
1.17 3.04 11.78
28.06 34.55 36.50
72.12 61.54 42.74
3.163 2.630 2.638
4 4 4
6 6 6
0.23 0.28 0.39
Lereng 15-25 % -area tidak terbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x
1.30 3.42 14.94
26.14 40.33 36.26
70.35 55.04 44.88
2.829 2.620 2.348
4 4 4
6 6 6
0.24 0.32 0.40
K
Kererongon : psh = pasir sangat halus. B0= Bahm oorganik K = Faktor Ercdibilitas Tanah
Keragaman nilai K tersebut merupakan akibat dari perbedaan sifat-sifat tanah setiap titik pengamatan yang digunakan untuk menentukan nilai erodibilitas tanah karena terjadiiya kebakaran. Sifat-sifat tanah yang mengalami perubahan tersebut adalah persentasi kandungan liat dan persentasi kandungan bahan organik, sedangkan struktur dan permeabilitas tetap sama untuk setiap titik pengamatan. Faktor Lereng (LS) Faktor lereng diperoleh berdasarkan kemiringan lereng dan panjang lereng. Titik pengamatan yang ada mempunyai kelas kemiringan lereng 0-8% dan 15-25% baik untuk area yang terbakar maupun yang tidak terbakar dengan panjang lereng ditetapkan 20m.
Faktor lereng mempakan perkalian faktor
panjang dan faktor kemiringan lereng dan di sajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Faktor Lereng (LS) Daerah Penelitian. Kelas lereng
s (%)
Lo (m)
Ketemngon : s = Kemiringm lereng Lo = Panjmg iereng S = LS = Faktor Lereng
S
L
Faktor kemiringan lereng, S
LS
=
Faktor panjang lereng,
Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Tindakan Konservasi Tanah (P) Faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konsewasi pada setiap titik pengamatan sama. Daerah penelitian mempakan hutan produksi tebang pilih dengan tanaman utama jati yang mempunyai faktor pengelolaan tanaman 0.2 dan
tanpa tindakan konservasi tanah dengan nilai tindakan konservasi tanah 1. Penentuan nilai faktor CP berdasarkan data-data dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Dari hasil perkalian faktor-faktor erosi tersebut diperoleh besar laju erosi yang mungkin tejadi dan erosi potensial pada setiap titik pengamatan (Tabel 11). Tabel 11. Laju erosi, erosi potensial, erosi yang masih dapat dibiarkan (TLS) dan indeks bahaya erosi (IBE) pada tiap titik pengamatan Titik pengamatan
Lereng 0-8 % - area tidak terbakar - area terbakar 1 x - area terbakar 3x Lereng 15-25 % - area tidak terbakar - area terbakar l x - area terbakar 3x
Laju Erosi
Erosi Potensial
TSL
(tonlhallh) cmlth (ton/ha/th)
IBE
(tonhdth)
cmhh
27.05 32.93 45.87
0.15 0.18 0.23
135.25 164.65 229.35
0.77 0.89 1.17
39 39 39
0.69 0.84 1.18
268.90 358.53 448.16
1.54 1.94 2.29
1344.5 1792.6 2240.8
7.68 9.96 1 1.43
39 39 39
6.89 9.19 1 1.49
Keterangnn : TSL = Erosi yang Masih Dapal Dibiarkan, IBE = lndeks Bahaya Erosi
Laju erosi yang mungkin tejadi pada area yang terbakar 3 kali (45.87 todtahun) dan yang terbakar 1 kali (32.93 todtahun) lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (27.05 tonltahun) untuk area dengan kemiringan lereng 0-8%. Hal yang sama juga tejadi pada area dengan kemiringan lereng 15-25%, yaitu area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali perkiraan laju erosinya mencapai 268.90 tonltahun 358.53 tonhahun, dan 448.16 tonltahun. Demikian pula halnya dengan erosi potensial dengan faktor CP I juga lebih tinggi pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Erosi potensial pada area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran I kali dan area bekas kebakaran 3 kali adalah 135.25 ton/ha/th, 164.65 tonhdth, dan 229.35 ton/hdth untuk lereng 0-8 %, dan 1 344 ton/hdth 1 792.6 tonhdth, dan 2 240.8 ton/hdth untuk lereng 15-
25%. Pada lereng 0-8%, perbedaan hilangnya horison atas area bekas kebakaran 1 kali terhadap area yang tidak terbakar yang diperoleh dari hasil perhitungan
erosi potensial (0.12 c d t h ) lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (2 cmlth). Pada area bekas kebakaran 3 kali, hasil perhitungan erosi potensial (0.4 c d t h ) juga lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (5 c d 3 th atau rata-rata 1.65 c d t h ) . Hal yang sama juga terjadi pada lereng 15-25% area bekas kebakaran 1 kali yaitu perbedaan hilangnya horison atasnya terhadap area yang tidak terbakar yang diperoleh dari hasil perhitungan erosi potensial (2.1 cmlth) lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (3 cmlth). Hal ini dapat disebabkan karena tejadi pemadatan tanah pada area bekas kebakaran sehingga perbedaan ketebalan horison atas antara area bekas kebakaran dengan area yang tidak terbakar menjadi lebih besar. Sebaliknya pada lereng 15-25%, perbedaan hilangnya horison atas pada area bekas kebakaran 3 kali terhadap area yang tidak terbakar yang diperoleh dari hasil perhitungan erosi potensial (3.68 c d t h ) lebii besar dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (7 c d 3 t h atau rata-rata 2.33 cmlth). Rata-rata hilangnya horison atas pada lereng 15-25% area bekas kebakaran 3 kali yang diperoleh dari perhitungan erosi potensial sekitar 1.6 x lipat dari hasil pengukuran di lapangan. Perbedaan h a i l perhitungan erosi potensial dengan pengukuran di lapangan dapat disebabkan oleh perhitungan faktor-faktor erosi dalam persamaan USLE.
Di
antaranya dalam penilaian faktor lereng hanya memperhitungkan panjang dan kemiringan lereng, unsur topografi lainnya seperti bentuk lereng tidak diperhitungkan.
Selain itu, dalam penentuan faktor erosivitas hujan (EI3o)
berdasarkan curah hujan bulanan, berbeda dengan penentuan Eljo yang ditetapkan oleh Wischrneier dan Smith (1978) berdasarkan perkalian energi kinetik hujan dan intensitas hujan maksimum selama 30menit. Hal ini diduga dapat menyebabkan hasil perhitungan prediksi lebih besar dari pengukuran di lapangan. Meningkatnya laju erosi clan erosi potensial pada area bekas kebakaran 3 kali maupun area bekas kebakaran 1 kali disebabkan oleh faktor erodibilitas tanah tersebut lebih tinggi daripada area yang tidak terbakar, sedangkan faktor-faktor erosi yang lainnya sama. Peningkatan nilai erodibilitas tanah ini sebagai akibat dari kebakaran hutan yang terjadi. Peristiwa kebakaran tersebut menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat tanah seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
terutama persentasi fraksi liat dan persentasi bahan organik yang menentukan tingkat erodibilitas tanah. Pada area bekas kebakaran 3 kali terjadi p e n m a n persentasi liat dan persentasi bahan organik yang lebih besar dari area bekas kebakaran 1 kali. Penurunan tersebut sebagai akibat proses erosi dan pencucian yang tejadi sebelumnya karena terbukanya lantai hutan dan curah hujan yang tinggi setelah terjadi kebakaran. Rendahnya persentasi liat dan persentasi bahan organik menyebabkan tingginya nilai erodibilitas tanah sehingga tanah lebih peka terhadap erosi. Sebaliknya persentasi liat dan persentasi bahan organik yang tinggi akan memperkecil faktor erodibilitas tanah karena bahan organik dan liat berfungsi sebagai cementing agent sehingga tanah tidak mudah tererosi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kohnke dan Bentrand (1959) yang menggarnbarkan bahwa ketahanan tanah terhadap proses terlepasnya partikel tanah ditentukan oleh kandungan liat dan bahan organik tanah tersebut. Berdasarkan Tabel 11 juga diketahui bahwa laju erosi yang akan tejadi pada area kelas lereng 15-25% lebih tinggi dibandingkan dengan area kelas lereng 0-8% baik pada area yang terbakar maupun yang tidak terbakar. Hal ini selain disebabkan faktor lereng yang tinggi, pada area kelas lereng 15-25% faktor erodibilitas tanahnya juga lebih tinggi akibat dari proses erosi yang tejadi sebelumnya. Meningkatnya kemiringan lereng menyebabkan aliran permukaan meningkat, sehingga tanah lebih mudah terangkut karena energi angkutnya lebih besar dan kandungan liat dan bahan organik akan menurun yang menyebabkan erodibilitas tanah meningkat. Tabel 11 menunjukkan bahwa laju erosi pada lereng 0-8% area tidak
terbakar dan area bekas kebakaran 1 kali lebih kecil daripada erosi yang masih dapat dibiarkan (TSL) sehingga indeks bahaya erosinya <1 (rendah). Sebaliknya laju erosi yang mungkin tejadi pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar daripada TSL dan indeks bahaya erosinya meningkat menjadi 1.18 (sedang). Pada lereng 15-25%, laju erosi yang mungkin tejadi pada setiap titik pengamatan lebih besar dari pada TSL. Area tidak terbakar mempunyai indeks bahaya erosi 6.89 (tinggi), pada area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali indeks bahaya erosinya meningkat menjadi 9.19 (tinggi) dan 11.45 (sangat tinggi).
Area yang mempunyai indeks bahaya erosi yang tinggi menunjukkan bahwa area tersebut perlu dilakukan berbagai tindakan konservasi tanah untuk menekan laju erosi yang terjadi sehingga lebih rendah daripada TSL. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi degradasi lahan lebih lanjut sehingga terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman dan tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari.
PEMBAHASAN UMUM Kebakaran hutan merupakan suatu gangguan yang dapat mengancam kelestarian hutan yang pada akhirnya dalam jangka panjang akan menyebabkan degradasi lahan. Kebakaran hutan pada awalnya dapat meningkatkan kesuburan tanah karena adanya tambahan hara ke dalam tanah yang berasal dari abu serasah sisa kebakaran, tapi ha1 ini hanya bersifat sementara karena dengan terbukanya lantai hutan akibat kebakaran akan meningkatkan peluang terjadinya aliran permukaan pada saat turun hujan sehingga erosi yang terjadi tidak terkendali. Proses erosi tersebut akan membawa hara-hara yang berasal dari abu serasah sisa kebakaran tersebut sehingga kandungan hara pada area terbakar menjadi lebih rendah. Kemudian akan terjadi perubahan sifat-sifat tanah baik sifat fisik maupun kimia tanah dan akan mempengaruhi pertumbuhan pohon selanjutnya pada area bekas kebakaran tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadinya pembahan sifat kimia tanah pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran lantai hutan yang ditunjukkan oleh lebih rendahnya kadar C-organik total dan nitrogen total tanah pada horison atas area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, dan p e n m a n terbesar terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali. Lebih rendahnya kandungan C-organik total dan N-total pada area bekas kebakaran disebabkan karena hilangnya C-organik total dan N-total melalui proses volatilisasi pada saat kebakaran terjadi yang membakar serasah-serasah dan tumbuhan permukaan yang ada di lantai hutan. Kehilangan N-total juga dapat terjadi karena volatilisasi nitrogen yang ada di tanah akibat terjadi pemanasan tanah karena proses kebakaran. Selain melalui proses volatilisasi, kehilangan C-organik total dan Ntotal juga dapat terjadi melalui proses pencucian d m erosi yang intensif akibat terbukanya lantai hutan karena kebakaran yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran hutan menyebabkan kalsium dan magnesium pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali pada saat 9 bulan setelah kebakaran lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Lebih tingginya kalsium dan magnesium pada area bekas kebakaran 1 kali karena adanya penambahan unsur kalsium dan magnesium yang berasal dari
vegetasi dan serasah jati di permukaan tanah yang terbakar yang menyebabkan terjadinya peningkatan pH tanah. Penambahan unsur kalsium dan magnesium pada area bekas kebakaran 1 kali
lebih besar jika dibandingkan dengan
kehilangan kalsium dan magnesium yang dimanfaatkan oleh tanaman, proses pencucian, dan kehilangan melalui proses erosi setelah terjadi kebakaran. Sebaliknya, pada horison atas area bekas kebakaran 3 kali terjadi penurunan kandungan kalsium dan magnesium yang juga diikuti oleh penurunan pH tanah. Sesaat setelah terjadi kebakaran, diduga kalsium dan magnesium tanah pada area bekas kebakaran 3 kali mengalami peningkatan, tetapi dalam jangka waktu 9 bulan setelah terjadi kebakaran terakhir kadar kalsium dan magnesium pada horison atas area bekas kebakaran 3 kali mengalami p e n m a n .
Hal ini
disebabkan oleh proses erosi yang terjadi pada lahan tersebut sangat intensif sebagai akibat dari kebakaran yang berulang-ulang yang dapat menyebabkan terjadmya pemadatan tanah sehingga memperburuk sifat fisik tanah seperti porositas tanah menurun dan kemampuan tanah menyerap air menurun serta meningkatkan aliran permukaan. Erosi yang tinggi karena curah hujan yang tinggi setelah terjadi kebakaran pada area bekas kebakaran 3 kali menyebabkan abu serasah sisa kebakaran yang banyak mengandung unsur hara kalsium dan magnesium yang awalnya dapat meningkatkan pH tanah sebagian besar hilang bersamaan dengan aliran permukaan sehingga menurunkan pH tanah. Kebakaran hutan menyebabkan terjadinya peningkatan P-HCl25% tanah pada horison atas area bekas kebakaran. Penambahan P-HC1 25% berasal dari abu serasah dan jaringan vegetasi sisa kebakaran yang mengandung unsur hara fosfor.
Fosfor merupakan unsur yang sangat stabil dalam tanah sehingga
kehilangan melalui pencucian relatif tidak pernah terjadi. Hal ini menyebabkan kelamtan fosfor dalam tanah sangat rendah yang konsekuensinya ketersediaan fosfor untuk tanah relatif sangat sedikit. Berkaitan dengan P-tersedia dalam tanah, kebakaran butan cenderung menyebabkan tejadinya perubahan P-tersedia dalam tanah area bekas kebakaran. Kebakaran hutan cenderung menyebabkan tejadinya p e n m a n P-tersedia pada area bekas kebakaran, baik pada area bekas kebakaran
1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Lebih rendahnya
P-tersedia pada horison atas area bekas
kebakaran disebabkan karena P-tersedia yang hilang melalui proses erosi yang intensif lebih tinggi pada area bekas kebakaran daripada area yang tidak terbakar. Lebih rendahnya P-tersedia pada area bekas kebakaran dapat juga disebabkan oleh lebih rendahnya kandungan bahan organik pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar akibat kebakaran yang tejadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa P-HC125% pada horison atas area bekas kebakaran lebih tinggi daripada P-HC1 25% pada horison bawah, dan P-tersedia pada horison atas area bekas kebakaran lebih rendah daripada P-tersedia pada horioson bawah. Hal ini berbeda dengan area yang tidak terbakar dan tanah-tanah normal yang umumnya P-HC1 25% pada horison atas lebih rendah daripada PHC1 25% pada horison bawah, dan P-tersedia pada horison atas lebih tinggi daripada P-tersedia pada horison bawah.
Perubahan ini menunjukkan
karakteristik sifat tanah akibat kebakaran lantai hutan. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya perubahan sifat-sifat fisik tanah akibat kebakaran lantai hutan. Hal ini disebabkan oleh kebakaran yang tejadi menyebabkan terbukanya lantai hutan sehingga tidak ada perlindungan terhadap permukaan tanah dari pukulan air hujan pada saat terjadi hujan yang dapat meningkatkan peluang tejadinya aliran permukaan dan erosi yang intensif. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi sifat-sifat fisik tanah seperti tejadinya pemadatan tanah yang ditunjukkan oleh meningkatnya bobot isi tanah pada area bekas kebakaran. Pemadatan tanah ini terjadi karena adanya penyumbatan dan penutupan pori tanah di lapisan permukaan pada saat turun hujan karena terjadi pukulan atau tumbukan secara langsung pada permukaan tanah yang telah terbuka akibat kebakaran oleh butir-butir air hujan yang dapat menghancurkan dan mendispersikan agregat tanah. Pemadatan tanah juga dapat tejadi karena abu sisa kebakaran serasah dan vegetasi dapat memenuhi pori-pori tanah dan dapat menyebabkan ruang pori tanah berubah dan berkurang ukurannya sehingga tanah menjadi lebih padat.
Pemadatan tanah semakin meningkat dengan terjadinya
kebakaran yang berulang-ulang yang menyebabkan sering terbukanya lantai hutan pada saat musim hujan sehingga porositas tanah menurun, bobot isi tanah meningkat, dan kemampuan partikel tanah dalarn memegang air menjadi
berkurang. sehingga kapasitas tanah menahan air juga menurun seperti yang terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali. Pemadatan tanah akibat kebakaran hutan lebih lanjut menyebabkan penurunan permeabilitas dan infiltrasi tanah.
Hasil penelitian di lapangan
menunjukkan bahwa kebakaran hutan menyebabkan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah pada area bekas kebakaran. Penurunan kapasitas infiltrasi tersebut ditunjukkan oleh laju infiltrasi konstan yang diperoleh dari persamaan Horton pada area bekas kebakaran lebih rendah daripada area yang tidak terbakar. Lebih rendahnya kapasitas infiltrasi pada area bekas kebakaran disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan diantaranya terjadi pemadatan tanah sehingga meningkatkan bobot isi tanah dan menurunkan porositas tanah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, serta berkurangnya kandungan bahan organik tanah yang ditunjukkan dari analisis C-organik tanah dan berkurangnya serasah dan vegetasi penutup di permukaan tanah. Kapasitas infiltrasi tanah yang lebih rendah pada area bekas kebakaran menunjukkan bahwa tanah pada area bekas kebakaran mempunyai agregat yang kurang stabil jika dibandingkan area yang tidak terbakar.
Hasil penelitian
menunjukkan terjadi penurunan stabilitas agregat tanah dan perubahan distribusi agregat tanah akibat kebakaran yang terjadi. Penurunan stabilitas agregat dan perubahan distribusi agregat tanah dapat disebabkan oleh penurunan kandungan bahan organik tanah dan serasah serta vegetasi penutup yang ada di permukaan tanah akibat kebakaran hutan. Bahan organik tanah dapat berfungsi sebagai bahan penyemen dalam pembentukan agregat tanah dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas, dan intiltrasi rnenjadi lebih baik. Serasah dan vegetasi penutup tanah dapat berfungsi untuk melindungi permukaan tanah dari gaya-gaya pukul butir-butir air hujan sehingga agregat tanah lebih stabil. Pembahan distribusi agregat tanah akibat kebakaran ditunjukkan oleh berkurangnya proporsi agregat mantap yang bemkuran besar yang disebabkan karena berkurangnya kandungan bahan organik tanah. Menurut Zhang et al. (1997),
bahan organik dapat meningkatkan proporsi agregat mantap yang
berukuran besar dan m e n d a n agregat yang berukuran kecil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebakaran hutan menyebabkan persentasi penurunan
bahan organik pada agregat yang bemkuran lebih besar pada horison atas area bekas kebakaran terhadap area yang tidak terbakar lebih tinggi jika dibandingkan dengan agregat yang berukuran lebih kecil. Pembahan sifat-sifat tanah yang tejadi akibat kebakaran menyebabkan meningkatnya erosi. Hal ini dibuktikan dari tebal horison atas yaitu hilangnya horison atas pada area bekas kebakaran lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil prediksi laju erosi dan erosi potensial dengan menggunakan persamaan USLE pada area bekas kebakaran lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, temtarna pada area yang bemlang kali terbakar dan pada lereng yang lebih curam. Peningkatan erosi potensial berdasarkan persamaan USLE menyebabkan hilangnya horison atas sekitar 1.6 x lipat lebih besar dari hasil pengukuran di lapangan pada lereng 15-25 % area bekas kebakaran 3 kali, sebaliknya erosi potensial pada lereng 0-8 % area bekas kebakaran menyebabkan hilangnya horison atas lebih kecil dari basil pengukuran di lapangan. Peningkatan laju erosi dan erosi potensial pada area bekas kebakaran disebabkan oleh lebih tingginya faktor erodibilitas tanah pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, sedangkan faktorfaktor erosi lainnya sama.
Peningkatan erodibilitas tanah pada area bekas
kebakaran disebabkan karena tejadinya pembahan sifat-sifat tanah seperti yang telah diuraikan sebelumnya, temtarna persentasi fraksi liat dan persentasi bahan organik yang menentukan tingkat erodibilitas tanah. Penurunan persentasi liat dan persentasi bahan organik pada area bekas kebakaran sebagai akibat proses erosi dan pencucian yang tejadi sebelumnya karena terbukanya lantai hutan dan curah
hujan yang tinggi setelah tejadi kebakaran. Rendahnya persentasi liat dan persentasi bahan organik menyebabkan tingginya nilai erodibilitas tanah sehingga tanah lebih peka terhadap erosi. Sebaliknya persentasi liat dan persentasi bahan organik yang tinggi akan memperkecil faktor erodibilitas tanah karena bahan organik dan liat berfungsi sebagai cementing agent sehingga tanah tidak mudah tererosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan meningkatnya laju erosi akibat kebakaran hutan menyebabkan meningkatnya indeks bahaya erosi pada
area bekas kebakaran, terutama pada lereng 15-25 % area bekas kebakaran 3 kali yang indeks bahaya erosinya sangat tinggi jika dibandingkan dengan area bekas kebakaran 1 kali dan area yang tidak terbakar pada lereng yang sama. Area yang mempunyai indeks bahaya erosi yang tinggi menunjukkan bahwa area tersebut perlu dilakukan berbagai tindakan konsewasi tanah untuk menekan laju erosi yang tejadi sehingga lebih rendah daripada erosi yang masih dapat dibiarkan. Hal ini dilakukan agar tidak tejadi degradasi lahan lebih lanjut dan terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman dan turnbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebakaran hutan dalam jangka panjang menyebabkan memburuknya sifat-sifat tanah sehingga terjadi penurunan kualitas tanah pada area bekas kebakaran. Dan kebakaran yang berulang-ulang lebih memperburuk sifat-sifat tanah baik sifat fisik maupun sifat kimia tanah.
SIMPULAN Dari h a i l penelitian ini dapat ditarik simpulan umum bahwa tejadi pembahan sifat tanah akibat kebakaran lantai hutan yang dalam jangka panjang menyebabkan memburuknya sifat fisik dan sifat kimia pada horison atas tanah, dan sifat tanah tersebut semakin memburuk dengan terjadinya kebakaran yang bemlang-ulang. Simpulan umum tersebut didasarkan dari heberapa simpulan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan yaitu : 1.
Meningkatnya Ca dan Mg yang berasal dari abu sisa kebakaran yang dikuti dengan peningkatan pH tanah pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali, sebaliknya pada area bekas kebakaran 3 kali terjadi penurunan. Kandungan C-organik total tanah pada horison atas menurun pada area bekas kebakaran dan penurunan terbesar tejadi pada agregat yang berukuran besar. N-total, Ptersedia
dan kalium mengalami penurunan akibat kebakaran baik pada
horison atas area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali dan penurunan terbesar tejadi pada area bekas kebakaran 3 kali, sedangkan kandungan P-HC125% mengalami peningkatan. 2.
Berkaitan dengan sifat fisik tanah, pada horison atas area bekas kebakaran terjadi penurunan porositas total tanah, meningkatnya bobot isi ianah, berkurangnya kapasitas tanah menahan air, menumnnya infiltrasi dan permeabilitas tanah, serta berkumngnya stabilitas agregat akibat kebakaran, temtarna pada area bekas kebakaran 3 kali.
3.
Meningkatnya erosi pada area bekas kebakaran, temtama disebabkan karena tejadi penurunan
persentasi
bahan organik dan liat, dan peningkatan
terbesar terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali.
Dari berbagai pembahan sifat-sifat tanah akibat kebakaran yang diperoleh dari hasil penelitian ini, karaktetistik sifat tanah akibat kebakaran ditunjukkan oleh pembahan P-HCI 25 % dan P-tersedia, yaitu P-HCI 25 % pada horison atas area bekas kebakaran lebih tinggi daripada horison bawah, sebaliknya P-tersedia pada horison atas lebih rendah daripada horison bawah.
DAFTAR PUSTAKA Andreu, V., J.L. Rubio, J. Forteza and R. Cemi. 1996. Postfire effects on soil properties and nutrient losses. Int. J. Wildland Fire 6 : 53-58. Arsyad, S. 1989. Konsemasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Baird, M., D. Zabowski and R.L. Everett. 1999. Wildfire effects on carbon and nitrogen in inland coniferous forest. Plant and Soil 209 : 233-243. Baver, L.D., W.H. Garndner and W.R Gardner. 1972. Soil Physics. 4' ed. John Willey and Sons, Inc. New York. Belillas, C.M. and M.C. Feller. 1998. Relationships between fire severity and atmospheric and leaching nutrient losses in British Colombia's coastal western hemlock zone forest. Int. J. Wildland Fire 8 : 87-101. Binkley, D., D. Richter, M.B. David, and B. Caldwell. 1992. Soil chemistry in loblolly~longleafpine forest with interval burning. Ecol. Applic. 2 : 157164. Blank, R.R and D. C. Zamudio. 1998. The influence of wildfire on aqueousextractable soil solutes in forested and wet meadow ecosystem. h t . J. Wildland Fire 8 : 79-85. Bols, P.L. 1978. The Iso-eroden Map of Java and Madura. Soil Research Institute. Bogor. Indonesia. Brown, A.A and K.P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. Mc Graw Hill Book Company, New York. Caldwell, T.G., D.W. Johnson, W.W. Miller, and R.G. Qualls. 2002. Forest floor carbon and nitrogen losses due to prescription fire. Soil Sci. Soc. Am. J. 66 : 262-267. Chandler, C.P., P. Cheney, L. Taurbaund, and D. William. 1983a Fire in Forestry Volume I. Forest Fire Management and Organization. John Willey and Sons, h c . Canada and USA. 1983b. Fire in Forestry Volume 11. Forest Fire Management and Organization. John Willey and Sons, Inc. Canada and USA. .
Chow, V.T., D.R. Maidment and L.W. Mays. 1989. Applied Hidrology. Mc Graw Hill Book Company, New York. Daniel, T.W., J.A. Helms, and F.S. Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Djoko Marsono, penejemah. Gajah Mada University Press, Yokyakarta.
Davis, K.P. 1959. Forest Fire Control and Use, Mc Graw Hill Book Company, New York. De Bano, L.F. 1971. The effect of hydrophobic subtances on water movement in soil during infiltration. Soil Sci. Soc. Am. J. 35 : 340-343.
De Bano, L.F. and C.E. Conrad. 1978. The effect of fire on nutrient in a chaoarral ecosystem. Ecology 59 : 489-497. De Bano, L.F., and J. Hopatek. 1988. Phosphorus dynamics of pinyon-juniper soils following simulated burning. Soil Sci. Soc. Am. J. 52 : 271-277. De Bano, L.F., D.G. Neary and P.F. Folliot. 1998. Fire's Effect on Ecosystems. John Willey and Sons, Inc. New York. Ellingson, L.J., J.B. Kauffman, D.L. Cumrnings, R.L. Sanford Jr. and V.J. Jaramillo. 2000. Soil N dynamics associated with deforestation, biomass burning, and pature conversion in a Mexican tropical dry forest. For. Eco an Manag. 137 : 41-51. Ellis, R.C. and A.M. Graley. 1983. Gains and losses in soil nutrients associated with harvesting and burning eucalypt rainforest. Plant and Soil 74 : 437450. FAO. 1953. Element of Forest F i e Control. FA0 Forestry and Forest Product Studies, USA. Fuller, M. 1991. Forest fire; An Introduction to Wildland Fire Behavior Management, Fire Fighting and Prevention. John Willey and Sons, Inc. New York. Garcia, E.G., V. Andreu and J.L. Rubio. 2000. Changes in organic matter, nitrogen, phosphorus and cation in soil as a result of fire and water erosion in a Mediterranean landscape. Euro. J. Soil Sci. 51: 201-21 0. Giardina, C.P., R.L. Sanford, jr., and LC. D~ckersmith. 2000. Changes in soil phosphorus and nitrogen during slah-and-bum clearing of a dry tropical forest. Soil Sci. SOC.Am. J. 64 : 399-405. Giovannini, G. and S. Lucchesi. 1997. Modifications induced in soil physicochemical parameters by experimental fires at different intensities. Soil Science 162 :479-486. Giovannini, G., S. Lucchesi and M. Giachetti. 1990. Effect of heating on some chemical parameters related to soil fertility and plant growth. Soil Sciencel49: 344-350. Hafif, B., D.Santoso, S. Adiningsih, H. Suwardjo. 1993. Evaluasi penggunaan beberapa cara pengolahan tanah untuk reklamasi dan konservasi lahan terdegradasi. Pemberitaan Penelitian Tanah Pupuk 11 :7-12.
Hamzah, Z. dan A. Wibowo. 1985. Kebakaran Hutan-EvaIuasi dan Upaya Penanggulangannya. Jumal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1 (2). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Haryanto, E.T. 1994. Erosion Mapping and Monitoring Using Remote Sensing and GIs Techniques. A Case Study : of The North-Eastem Part of Bandung, West Java, Indonesia. MSc Thesis, ITC, Enschede, The Netherlands. Hungerford, R.D., M.G. Hanington, W.H. Frandsen, K.C. Ryan, and G.J. Niehoff. 1991. Influence of fire on factors that affect site productivity. In Proceedings Management and Productivity of Western-Montane Forest Soils. 254pp. USDA Forest Service General Technical Report INT280:32-50. Hussain, I., K.R. Olson and S.A. Ebelhar. 1999. Long-term tillage effects on soil chemical properties and organic matter fractions. Soil Sci. Soc. Am. J. 63 : 1335-1341. Ishaq, M., M. Ibrahim and R. Lal. 2002. Tillage effects on soil properties at different levels of fertilizer application in Punjab, Pakistan. Soil & Tillage Research 68:93-99. Kauffman, J.B., R.L. Sanford Jr., D.L. Cummings, I.H. Salcedo and E.V.S.B. 1993. Biomass and nutrient dynamics associated with slash fires in neotropical dry forests. Ecology 74 : 140-151. K e t t e ~ g s Q..M. , and J..M. Bigham. 2000. Soil color as an indicator of slahand-bum fire seventy and soil fertility in Sumatera, Indonesia. Soil Sci. Soc. Am. J. 64 : 1826-1833. Kim, C, W.K. Lee, J.K. Byun, Y.K. Kim and J.H. Jeong. 1999. Short-term effects fie on soil properties in Pinus densijlora stands. J. For. Res. 4:23-25. Kohnke, H. and A.R. Bertrand. 1959. Soil Conservation. Mc Graw-Hill Book Co. New York-Toronto-London. Little, S.N., and J. Ohmann. 1988. Estimating nitrogen lost from forest floor during prescribed fires in Douglas-fir/Western hemlock clearcuts. For. Sci. 34 : 152-164. Mroz, G..D., M.F. Jurgensen, A.E. Harvey and M.J. Larsen. 1980. Effects of fire on nitrogen in forest floor horizons. Soil Sci. Soc. Am.J. 44 : 395-400. Pennington, P., M. Laffan, R. Lewis and P. Otahal. 2001. Assessing the longtern impacts of forest harvesting and high intensity broadcast burning on soil properties at the Warra LTER Site. Tasforests Vol. 13 No. 2 : 291301
Phillips, J.R. 1986. The theory of infiltration 5. The influence of the initial moisture content. Soil Science 84 : 329-339. PPT. 1993. Penelitian Optimalisasi Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai. Bogor. Pritchett, W.L. 1979. Properties and Management of Forest Soils. John Willey and Sons, Inc. New York. Pujiyanto. 2004. Perbaikan Tanah Perkebunan Kakao dengan Penambahan Bahan Organik dan Penanaman Penutup Tanah. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rachmatsjah, O., E.Z. Latief, B. Sgihanto, clan A. Wibowo. 1985. Masalah Kebakaran Hutan dan Penanggulangannya Proyek Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber-Sumber Kehutanan. Fakultas Kehutanan. IPB. Raison, R. J., P.K. Khanna and P.V. Woods. 1985a Mechanisms of elemental transfer to the atmosphere during vegetation fires. Can. J. For. Res. 15:132-140. Raison, R. J.. P.K. Khanna and P.V. Woods. 1985b. Transfer of elements to the atmosphere during low-intensity prescribed fires in three Australian sulbalpine eucalypt forest. Can. J. For. Res. 15 :657-664. Schwab, G.O., R.K. Frevert, T.W. Edminster ,and K.K. Barnes. 1993. Soil and Water Conservation Engineering. John Willey and Sons, Inc. New YorkChichester-Brisbane-Toronto. Skaggs, R.W., and R. Khaleel. 1982. Miltration. In G. Haan, H.P. Johnson, and D.L. Brrikensiek (eds.) Hydrologyc modelliig of small watershed. ASAE Monograf no 5. Amer Soc. Agric. Engs. Spurr, H.S. and B.V. Barnes. 1980. Forest Ecology. Third Edition, John Wiley and Sons Inc, New York. Stalling, J.H. 1959. Soil Conservation. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs. New York. Stevenson. F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, Reaction. 2"d ed. John Wiley and Sons. New York. Sudmono. 1991. Pengaruh Tiga Cara Pengembalian Jerami ke Dalam Tanah Rendzina terhadap : (1) komposisi bahan organik tanah. J. 11. Pert. Indon. 1 : 79-84 Suharjo, B.H. 1995. The change in soil chemical properties following buring in shifting cultivation area in South Sumatera. Wallaceana 75: 23-26.
Suratmo, G.F. 1985. llmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tiedemann, A.R. 1987. Combustion losses of sulfur and forest foliage and litter. For. Sci. 33 : 2 16-223 Tisdale, S.1, W.L Nelson and J.D Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Mac Millan Publishing Co., New York. Tomkin, I.B., J.D. Kellas, K.G. Tolhurst and D.A. Oswin. 1991. Effects of fire intensity on soil chemistry in a eucalypt forest. Aust. J. Soil. Res. 29 : 2547. Wischmeier, W.H., and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses: Aguide Conservation Planning. Acricultural Handbook 537. U.S. Dept. of Agriculture : Washington, D.C. Wright, A.H. and A.W. Bailey. 1982. Fire Ecology. John Willey and Sons, Inc. New York. Zhang, H., K.H. Hartge and H. Ringe. 1997. Effectiveness of organic matter incorporation in reducing soil compactibility. Soil Sci. Soc. Am. J. 61: 239-245.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Deskripsi profil pada tiap titik pengarnatan a. Area yang tidak terbakar pada lereng 0-8 % Lokasi
:
DesaTomo
Koordinat
:
X=0180591 mT
Y = 9250635 mU Posisi lereng
:
Lereng atas
Bentuk lereng
:
Cembung
Elevasi
:
97mdpl
Bahan lnduk
:
Napal
Horizon
I
Kedalaman (cm) 0-23
Keterangan Coklat (7.5 YR 413) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan sedang, konsistensi lekat dan plastis (basah), sangat keras (kering), teguh (lembab), pH 5.5, perakaran sedang banyak, perakaran halus dan kasar sedikit. batas sangat jelas dan rata Coklat (7.5 YR 411) tekstur liat, struktur gumpal membulat, ukuran sedang, tingkat perkembangan lemah, konsistensi lekat dan agak plastis (basah), agak keras (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran sedang banyak, perakaran halus sedikit, batas sangat jelas dan rat& kongresi kapur benvarna putih. Coklat (7.5 YR 413) tekstur lempung liat berpasir, struktur gurnpal membulat, ukuran sedang, tingkat perkembangan lemah, konsistensi lekat dan agak plastis (basah), agak keras (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran sedang banyak, perakaran halus dan kasar sedikit, batas sangat jelas dan rata, kongresi kapur berwarna putih.
IV
69- 100
Coklat (7.5 YR 5/6) tekstur lempung liat berpasir, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan sedang, konsistensi lekat dan plastis (basah), agak keras (kering), gembur (lembab), pH 5.5, perakaran halus banyak, batas sangat jelas dan
b. Area yang tidak terbakar pada lereng 15-25 % Lokasi
:
DesaTomo
Koordinat
:
X=0180606 mT
Y = 9250627 mU Posisi lereng
:
Lereng tengah
Bentuk lereng
:
Cembung
Elevasi
:
82 mdpl
Bahan Induk
:
Napal
Horizon
I
Kedalarnan (cm) 0-33
Keterangan Coklai (7.5 YR 416) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan sedang, konsistensi agak lekat dan plastis (basah), keras (kering), teguh (lembab), pH 5, perakaran sedang banyak, perakaran halus dan sedang banyak, batas sangat jelas dan rata. Coklat (7.5 YR 411) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan sedang, konsistensi lekat dan agak plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran halus dan sedang banyak, batas sangat jelas dan rata, kongresi kapur benvama putih. Coklat (7.5 YR 414) tekstur lempung liat berpasir, struktur tiang, ukuran halus, tingkat perkembangan lemah, konsistensi lekat dan agak plastis (basah), agak keras (kering), gembur (lembab), pH 6 , perakaran halus dan sedang banyak, batas sangat jelas dan rata, kongresi kapur benvama putih.
86-100
Coklat (7.5 YR 416) tekstur liat berpasir, struktur gumpal membulat, ukuran sedang, tingkat perkembangan lemah, konsistensi lekat dan agak plastis (basah), agak keras (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran halus banyak, batas sangat jelas dan rata.
c. Area bekas kebakaran 1 kali pada lereng 0-8 %
Lokasi
:
Desa Karyarnukti
Koordinat
: X=0180942 m l
Y =9250015 mU Posisi lereng
:
Lereng atas
Bentuk lereng
:
Cembung
Elevasi
:
78 m dpl
Bahan Induk
:
Napal
Horizon I
Kedalaman (cm) 0-2 1
Keterangan Coklat (7.5 YR 413) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukutan sedang, tingkat perkembangan sedang, konsistensi agak lekat dan plastis (basah), keras (kering), teguh (lembab), pH 6, perakaran kasar banyak, perakaran halus sedang, batas beransur dan rata. Coklat (7.5 YR 411) tekstur liat, struktur tiang, ukuran sedang, tingkat perkembangan sedang, konsistensi lekat dan plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran kasar banyak, perakaran halus sedang, batas baur dan tidak teratur, kongresi kapur benvarna putih.
43-67
Coklat (7.5 YR 412) tekstur lempung berpasir, struktur gumpal bersudut, ukuran halus, tingkat perkembangan lemah, konsistensi lekat dan plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 7, perakaran kasar banyak, perakaran halus sedang, batas jelas dan rata, kongresi kapur benvama putih.
67-100
Coklat (7.5 YR 416) tekstur lempung liat berpasir, struktur tiang, ukuran halus, tingkat perkembangan kuat, konsistensi lekat clan plastis (basah), sangat keras sekali (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran halus banyak, perakaran kasar sedang, batas beransur dan berombak.
d. Area bekas kebakaran 1 kali pada lereng 15-25 % Lokasi
:
Desa Karyamukti
Koordinat
:
X=0180906 mT
Posisi lereng
:
Lereng tengah
Bentuk lereng
:
Cembung
Elevasi
:
83 m dpl
Bahan Induk
:
Napal
Horizon I
Kedalaman (em) 0-30
Keterangan Coklat (7.5 YR 416) tekstur liat berdebu, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan sedang, konsistensi sangat lekat dan plastis (basah), keras (kering), teguh (lembab), pH 5.5, perakaran kasar banyak, perakaran halus sedang, batas beransur dan berombak. Coklat (7.5 YR 412) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan lemah, konsistensi lekat dan plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran kasar banyak, perakaran halus sedang, batas beransur dan rata. Coklat (7.5 YR 411) tekstur lempung liat berpasir, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan lemah, konsistensi lekat dan plastis (basah), agak keras (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran kasar dan halus sedang, batas jelas dan rata.
81-100
Coklat (7.5 YR 412) tekstur liat berpasir, struktur gumpal bersudut, ukuran halus, tingkat perkembangan lemah, konsistemi sangat lekat dan plastis (basah), sangat keras sekali (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran kasar dan halus sedang, batas beransur dan rata.
e. Area bekas kebakaran 3 kali pada lereng 0-8 % Lokasi
:
Desa Karyamukti
Koordinat
:
X=0181146 mT
Posisi lereng
:
Lereng atas
Bentuk lereng
:
Cembung
Elevasi
:
84 m dpl
Bahan Induk
:
Napal
Horizon I
Kedalaman (cm) 0-18
Keterangan Coklat (7.5 YR 4/3) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan kuat, konsistensi agak lekat dan tidak plastis (basah), agak keras (kering), teguh (lembab), pH 6, perakaran halus banyak, perakaran kasar sedang, batas beransur dan berombak. Coklat (7.5 YR 411) tekstur liat berdebu, struktur gumpal bersudut, ukuran sedang, tingkat perkembangan kuat, konsistensi agak lekat dan sangat plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 6.5, perakaran kasar banyak, perakaran halus sedikit, batas beransur dan rata, kongresi kapur berwarna putih. Coklat (7.5 YR 412) tekstur lempung liat berdebu, struktur gumpal bersudut, ukuran kasar, tingkat perkembangan keras, konsistensi lekat dan plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 7, perakaran kasar banyak, perakaran halus sedang, batas jelas dan rata, kongresi kapur benvarna putih.
67-100
Coklat (7.5 YR 313) tekstur liat, struktur prisma, ukuran sangat kasar, tingkat perkembangan keras, konsistensi agak lekat dan plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 6.5, perakaran halus sedang, perakaran kasar sedang, batas sangat jelas dan rata, kongresi kapur benvarna putih.
f. Area bekas kebakaran 3 kali pada lereng 15-25 %
Lokasi
:
Desa Karyamukti
Koordinat
:
X=0181050 mT
Y = 9249792 mU Posisi lereng
:
Lereng tengah
Bentuk lereng
:
Cembung
Elevasi
:
84 m dpl
Bahan lnduk
:
Napal
Horizon
I
Kedalaman (cm) 0-26
Keterangan Coklat (7.5 YR 416) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukuran halus, tingkat perkembangan sedang, konsistensi agak lekat dan agak plastis (basah), agak keras (kering), teguh (lembab), pH 5.5, perakaran halus dan kasar sedang, batas beransur dan berombak. Coklat (7.5 YR 412) tekstur liat, struktur gumpal bersudut, ukuran halus, tingkat perkembangan sedang, konsistensi agak lekat dan plastis (basah), keras ( k e ~ g ) gembur , (lembab), pH 6, perakaran halus dan kasar sedang, batas beransur dan rata.
45-86 .
IV
86-100
Coklat (7.5 YR 411) tekstur lempung berliat, struktur tiang, ukuran halus, tingkat perkembangan lemah, konsistensi agak lekat dan plastis (basah), keras (kering), gembur (lembab), pH 6, petakaran kasar dan halus sedang, batas jelas dan rata Coklat (7.5 YR 414) tekstur liat berpasir, struktur p r i s q ukuran halus, tingkat perkembangan h a t , konsistensi sangat lekat dan plastis (basah), sangat keras sekali (kering), gembur (lembab), pH 6, perakaran kasar dan halus sedang, batas sangat jelas dan rata.
Lampiran 2. Hasil analisis sifat kimia tanah Titik Pengamatan Lereng 0 4 % 1. Horison atas - area tidak terbakar - area bekas kebakaran lx - area bekas kebakaran 3x 2. Horison bawah - area tidak terbakar - area bekas kebakaran 1x - area bekas kebakaran 3x
Lereng 1525% 1. Horison atas - area tidak terbakar - area bekas kebakaran lx - area bekas kebakaran 3x 2. Horison bawah - area tidak terbakar - area bekas kebakaran lx - area bekas kebakaran 3x
pH (Hz01
C-Org total
N-total
(%)
(%)
P-total
Ca (me1100g)
Mg (me1100g)
K (me1100g)
Na (me11OOg)
6.29(AM)
1.835 (R)
0.14 (R)
I88 (ST)
10.94 (S)
16.37 (T)
7.46 (T)
0.25 (S)
0.31(R)
6.84(N)
1.531(R)
0.12(R)
206 (ST)
5.22 (R)
17.02 (T)
10.04 (ST)
0.23(R)
0.09 (SR)
334 (ST)
5.29 (R)
9.92 (S)
5.21(T)
0.16 (R) 0.12(R)
6.20(AM)
1.529 (R)
7.65 (AA)
1.641 (R)
0.13 (R)
344 (ST)
8.58 (R)
19.58 (T)
8.24(ST)
0.16(R)
0.29(R)
7.87 (AA)
1.520 (R)
0.10 (R)
290 (ST)
6.20 (R)
20.24 (ST)
1 1.66(ST)
0. I5(R)
0.25(R)
7.24 (N)
1.362 (R)
0.07 (SR)
257 (ST)
7.36 (R)
10.50 (T)
5.41(T)
0.06(SR)
0.18(R)
5.93(AM)
1.641 (R)
0.17 (R)
I58 (ST)
6.56 (R)
9.54 (S)
6.81(T)
0.30(S)
0.28(R)
6.10(AM)
1.520 (R)
0.14 (R)
179 (ST)
4.61 (R)
9.78 (S)
9.84(ST)
0.2 1 (R)
0.25(R)
5.87(AM)
1.362 (R)
O.lO(R)
206 (ST)
4.52 (R)
7.96 (S)
6.53(T)
0.12(R)
0.2 1 (R)
6.57(N)
0.804 (SR)
0.10 (R)
295 (ST)
7.34 (R)
10.06 (T)
6.63(T)
0.17(R)
0.28(R)
6.63(N)
I .I 15 (R)
0.1 1 (R)
170 (ST)
5.90 (R)
10.08 (T)
10.79(ST)
0.14(R)
0.28(R)
5.81(AM)
1.236 (R)
0.10 (R)
193 (ST)
6.86 (R)
7.46 (S)
7.10(T)
O.ll(R)
0.22(R)
(PP~)
P-tersedia (PP~)
0.20(R)
4 -2
Keterangan: SR=Sangat Rendah, R=Rendah, S=Sedang, T=Tinggi. ST=Sangat Tinggi, AM=Agak Masam, N=Netral, AA=Agak Alkalis (KriferiaPenilaian Sifaf Kimia Tanah menurut SfafPusat Penelitian Tanah 1983)
Lampiran 3. Hasil analisis sifat fisika tanah Titik Pengamatam Lereng 0-8% 1. Horison atas - area tidak terbakar area bekas kebakaran I x - area bekas kebakaran 3x 2. Horison bawah - area tidak terbakar - area bekas kebakaran I x - area bekas kebakaran 3x
-
Lereng 15-25% 1. Horison atas - area tidak terbakar - area bekas kebakaran lx - area bekas kebakaran 3x 2. Horison bawah - area tidak terbakar - area bekas kebakaran l x - area bekas kebakaran 3x
Air tersedia
Indeks Stabilitas
(%)
Agregat
pasir
Tekstur (%) psh debu
24.90
9.14
120 (SS)
0.44
1.30
26.14
72.12
27.47 21.15
2 1.34 15.67
6.13 5.48
112(SS) 106 (SS)
0.87 8.98
3.04 34.55 11.78 36.50
61.54 42.74
0.42 0.39 0.38
27.61 26.52 23.52
21.34 20.42 17.07
6.27 6.10 6.45
66 (S) 60 (AS) 72 (S)
2.72 0.43 2.18
2.21 2.90 8.04
27.31 37.58 40.13
67.71 60.89 49.65
3 5.94 32.03 26.17
7.18 6.5 1 6.34
33.17 29.56 26.39
26.30 23.42 20.66
6.87 6.14 5.73
115 (SS) 109(SS) I I I (SS)
0.42 1.21 3.92
1.17 28.06 3.42 40.33 14.94 36.26
70.35 55.04 44.88
3 1.64 30.08 30.47
0.33 0.12 0.25
31.56 32.72 24.44
25.16 25.68 19.19
6.40 7.04 5.25
73 (S) 69 (S) 68 (S)
0.32 0.55 2.58
1.49 36.65 2.43 36.63 10.88 36.70
61.54 60.39 49.84
Bobot isi (p/cm3)
Porositas
Permeabilitas Kadar air (%) (cm/jam) PF 2.54 PF 4.2
1.75 1.85 1.96
3 1.64 27.73 23.44
6.09 5.08 4.99
34.04
1.86 1.88 1.87
27.34 26.56 26.95
1.64 1.74 1.89 1.75 1.79 1.78
liat
4
m
Keterangan: AS = Agak stabil, S = Stabil, SS = Sangat stabil
Lampiran 4. Distribusi ukuran agregat tanah Titik Pengamatan Lereng 0-8 1. Horison atas - area tidak terbakar - area terbakar l x - area terbakar 3x 2. Horison bawah - area tidak terbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x Lereng 15-25% 1. Horison atas - area tidak terbakar - area terbakar l x - area terbakar 3x 2. Horison bawah - area tidak terbakar - area terbakar I x area terbakar 3x
Distribusi Ukuran Agregat (%) 1-2 mm 0.5-1 mm 0.3-0.5 mm
4.8-8 mm
2.8-4.8 mm
2-2.8 mm
0.1-0.3 mm
G0.1 mm
48.72 46.32 47.55
28.78 26.94 24.06
7.44 8.58 8.45
2.50 4.41 3.68
2.82 3.20 2.92
0.1 1 0.08 0.25
6.88 5.84 9.02
2.75 4.63 4.07
33.10 33.10 38.04
24.15 24.36 25.02
12.18 9.80 7.69
8.38 10.13 7.19
8.40 8.82 6.95
0.20 0.62 0.63
8.90 7.91 10.84
4.69 5.26 3.64
49.66 47.72 46.96
27.74 27.63 25.96
8.24 7.58 6.53
2.55 3.12 5.74
3.56 3.1 1 4.58
0.15 1.10 0.59
4.58 5.72 6.70
3.52 4.02 2.94
39.05 36.96 38.12
23.46 29.28 26.92
8.20 8.13 6.33
8.03 6.06 6.21
8.98 6.3 1 10.99
0.3 1 0.1 1 0.24
7.00 7.19 7.84
4.97 5.96 3.35
Lampiran 5. Data pengukuran infiltrasi pada area tidak terbakar (lereng 0-8 %) dengan persamaan Horton --
t (menit) 2
dt (menit) 2
-
-- -
--
--
dF (cm)
dF/dt
ft-fc
Log(ft-fc)
14
0 700
0.5W
-0 301
-
Lampiran 6. Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 1 kali (lereng 0-8 %) dengan persamaan Horton t (menit) 2
dt (menit)
dF (cm)
dF/dt
ft-fc
Log(ft-fc)
2
2.1
1.050
0.950
-0.022
Lampiran 7. Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 3 kali (lereng 0-8 %) dengan persamaan Horton ~
t (menit) 2
~
~~
~~~
-
dt (menit)
dF (cm)
dF/dt
ft-fc
Log@-fc)
2
I .5
0.750
0.650
-0.187
Lampiran 8. Data pengukuran infiltrasi pada area tidak terbakar (lereng 15-25 %) dengan persamaan Horton t (menit) 2
dt (menit)
dF (cm)
dFIdt
ft-fc
Log@-fc)
2
2.5
1.250
1.050
0.021
Lampiran 9. Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 1 kali (lereng 15-25 %) dengan persamaan Horton ~
~
-~
t (menit)
dt (menit)
dF (cm)
d Fld t
2 4
2 2
2.2 1.5
1.100 0.750
ti-fc 0.950 0.600 0.375 0.300 0.325 0.300 0.167 0.200 0.083 0.117 0.1 10 0.070 0.080 0.040 0.010 0.010 0
0 0
0 0 0 0
Lampiran 10. Data pengukuran infiltrasi pada area bekas kebakaran 3 kali (lereng 15-25 %) dengan persamaan Horton t (menit) 2
dt (menit)
dF (cm)
dFldt
2
2.4
1.200
ti-fc I 100
Log(&-fc)
n 041