BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi Anak TK Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dan status gizi dibedakan antara status gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk. Disamping ini juga status gizi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
antara
lain:
Tingkat
pendidikan
atau
pengetahuan,
budaya,
tingkat
pendapatan/ekonomi, dan lain-lain (Almatsier, 2002). Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Menurut Depkes (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan. Untuk mengetahui status gizi seseorang perlu dibedakan beberapa ukuran. Menurut Supariasa (2002) penilaian status gizi dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi empat penilaian yaitu: Antropometri, Klinis, Biokimia dan Biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi 3 yaitu: Survey konsumsi makanan, Statistik Vital dan Ekologi. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan pengukuran beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia yaitu seperti umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit. Kombinasi antara beberapa parameter
Universitas Sumatera Utara
disebut indeks antropometri, beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu : yakni Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Saat ini pengukuran antropometri (ukuran-ukuran tubuh) digunakan secara luas dalam penilaian status gizi, terutama jikat terjadi ketidak seimbangan kronik antara energi dan protein. Ketidak seimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Komposisi tubuh mencakup komponen lemak tubuh ( fat mass ) dan bukan lemak tubuh ( non-fat mass) (Baliwati, 2010). Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahanperubahan mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Pengukuran ini lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, dan sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan, indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Tinggi badan merupakan antropometri yang manggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal, pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh berat badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau.
Universitas Sumatera Utara
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan dalam keadaan normal, perkembangan tinggi badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu, indeks ini untuk mengidentifikasi status gizi. Indeks BB/TB merupakan untuk
status gizi saat kini. Keuntungan indeks BB/TB yaitu tidak
memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan gemuk, normal, dan kurus. Keuntungan Indeks BB/TB: a. Tidak memerlukan data umur b. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, kurus). Kelemahan Indeks BB/TB: a. Tidak dapat memmberikan gambaran apakah anak pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur anak dipertimbangkan. b. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dan melakukan pengukuran panjang/ tinggi badan pada kelompok balita. c. Membutuhkan dua macam alat ukur. d. Pengukuran relatif lama. e. Membutuhkan dua ornag untuk melakukannya. f. Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama bila dilakukan oleh kelompok non-profesional.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi 1. Penyebab langsung, yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makananya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan pada akhirnya mempengaruhi status gizinya. 2. Penyebab tidak langsung, yang terdiri dari: a. Ketahanan pangan dikeluarga, terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. b. Pola pengasuhan anak, berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal keterdekatannya dengan anak, memberikan makan, marawat, kebersihan, memberi kasih saying dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuhan anak. c. Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan status gizi, seta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta
Universitas Sumatera Utara
makin dekat jangkauan keluraga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Soekirman, 2000). 2.1.3 Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Status gizi anak erat kaitannya dengan status sosial ekonomi keluarga, pendapatan yang rendah tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga susunan makanan di dalam keluarga tidak beraneka ragam yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi status sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi di dalam keluarga antara lain pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga, pengetahuan gizi dan sikap terhadap makanan yang tergantung terhadap lingkunagan baik masyarakat maupun keluarga. Status Gizi Anak didalam keluarga di pengaruhi juga oleh tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan (Suhardjo, 1989).
2.2. Status Sosial Ekonomi Keluaraga Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan (Syafik, 2007). Karakteristik ekonomi keluarga merupakan hal yang sangat penting, di Negara-negara berkembang orang miskin hampir membelanjakan semua pendapatannya untuk makan lebih baik. Tingkatan pendapatan menentukan makanan apa yang dibeli, semaking tinggi pendapatan semakain bertambah pula presentasi pembelanjaanya (Nursanti dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tingkat pedidikan termasuk dalam faktor sosial ekonomi karena tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi yaitu dengan meningkatkan pendidikan kemungkinan akan dapat meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan daya beli makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi. Berbagai faktor sosial ekonomi keluarga ikut mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain: pendidikan, pekerjaan, tehknologi, budaya, dan pendapatan keluarga. Faktor tersebut diatas akan mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi. 2.2.1
Pendapatan Keluarga Salah satu ukuran standar ekonomi keluarga adalah tingkat pendapatan yang
diterima keluarga atau jumlah pengeluaran totalnya setiap bulan, setiap pendapatan yang tinggi akan member peluang yang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan dalam jumlah maupun jenisnya (Roedjito, 1989). Menurut hukum engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya menurun, persentase yang dibelanjakan pendapatnnya untuk pangan dengan persentase yang semakin mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan akan meningkat. Sedangkan menurut hukum Bennet menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih unit zat gizinya. Pada tingkat pendapatan perkapita yang lebih rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan padat energi yang berasal dari hidrat arang, terutama padipadian (Astuti, 2002). Apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan akan beragam, serta umunya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai
Universitas Sumatera Utara
gizi tinggi. Keluarga atau masyarakat yang berpenghasilan rendah menggunakan sebagian besar dari penghasilannya untuk membelikan makanan dan bahan makanan, dan semakain tinggi penghasilan semakin menurun jumlah yang digunakan untuk membeli makanan. Rumah tangga yang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan akan berakibat buruk pada status gizi anggota rumah tangga. Pendapatan akan mempengaruhi
statatus sosial seseorang, terutama akan
ditemui dalam masyarakat yang materialis dan tradisional yang menghargai status sosial ekonomi yang tinggi terhadap kekayaan (Hafiaradin, 2009). Dalam Worsley (2003), disebutkan bahwa pendapatan per kapita secara luas terkait dengan konsumsi makanan individu dan indeks total makanan berbagai kelompok. Umumnya, rumah tangga berpenghasilan rendah memiliki makanan yang kurang bervariasi dari pada rumah tangga dengan pendapatannya tinggi. Bahkan rumah tangga dengan penghasilan tinggi khususnya wanita telah menolak sejumlah makanan tradisional. Tingkat pendapatan menentukan pola makan apa yang dibeli, semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula presentasi pembelanjaannya. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor yang paling menetukan kuantitas dan kualitas hidangan makanan (Nursanti dkk, 2005). Di Negara seperti di Indonesia jumlah pendapatan penduduknya sebagian besar adalah golongan rendah dan menengah akan berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi. Keterbatasan ekonomi yang berarti tidak mampu membeli bahan makanan yang berkualitas baik, maka pemenuhan gizinya akan terganggu (Budiyanto, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Aceh Nanggroe Aceh Darussalam dalam upaya peningkatan hidup layak bagi masyarakatnya mengeluarkan keputusan dalam menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) daerah untuk
tahun 2013 yaitu sebesar Rp.1.550.000. Ketetapan
tersebut dimaksudkan untuk penyesuaian antara naiknya harga barang kebutuhan pokok masyarakat dengan pendapatan minimum keluarga. Ketetapan yang dikeluarkan agar masyarakat yang memiliki pekerjaan yang tidak tetap dan dengan pendapatan yang rendah masih dapat dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Walaupun dalam kenyataanya masih banyak kebutuhan hidup masyarakat yang memiliki tingkat pekerjaan dan pendapatan yang rendah belum secara optimal melengkapi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ini terlihat dari penggunaan dan pemamfaatan sarana prasarana penunjang seperti sarana dan prasarana kesehatan dalam masyarakat tidak terjangkau oleh mayarakat karena dengan daya beli yang begitu rendah (Rarumangkay, 2008). Menurut Berg (1986) terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menetukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Adapun menurut Sayogyo, Goenardi, Roesli, Haryadi, dan Khunaidi (1983) rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang dapat menyebabkan rumah tngga tidak mampu membeli makanan dalam jumlah yang diperlukan sehingga kebutuhan anggota kelurga tidak terkecukupi. 2.2.2
Pendidikan Orangtua Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi tentang gizi. Masyarakat
dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang Gizi (Suharjo, 1992). Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin mudah dia menyerap informasi yang diteima termasuk pendidikan dan informasi gizi yang mana pendidikan gizi tersebut diharapkan akan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat (Handayani, 1994). Dalam Apriadji (1986), disebutkan perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Dalam kepentingan gizi keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya. Tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga juga berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga. Sumarwan (2003), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka kemungkinannya akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif tinggi pula sehingga pola konsumsi rumah tangga yang bersangkutan juga akan berubah (Sjirat, 2012). Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1986). Namun seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu memilih makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun pendidikannya rendah,
Universitas Sumatera Utara
kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Hasil penelitian Widjaya (1986) mengungkapakan bahwa kecenderungan semakin tinggi pendidikan formal yang diterima oleh seseorang, semakin tinggi pula status sosial ekonominya dan semakin otoritatif pola asuhnya. Hal ini disebabkan mereka lebih terbuka terhadap pembaharuan. Mereka lebih memperoleh informasi tentang perkembangan anak dari majalah, surat kabar, radio, dan televise, sehingga mereka menjadi lebih mengerti mengenai perkembangan anaknya. Keadaan ini berbeda dengan orang tua yang berpendidikan rendah, yang mempunyai pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai perkembangan anaknya, sehingga kurang menunjukkan pengertian dan cenderung untuk mendominasi anak-anaknya. 2.2.3 Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Kartasapoetra (2008) apabila keluarga memmiliki pengetahuan terhadap bahan makanan yang bergizi, maka setiap keluarga bisa menyusun hidangan makanan yang mempunyai nilai atau kandungan gizi setiap harinya dari bahan-bahan makanan yang diperoleh sesuai dengan kemampuannya. Menurut Hidayat (2006), pengetahuan yang kurang tentang mamfaat makanan, hal tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya informasi sehingga dapat terjadi kesalahan dalam memahami kebutuhan gizi. Bagi masyarakat yang berpendidikan dan cukup pengetahuan tentang nilai gizi lebih banyak menggunakan pertimbangan rasional dan pengetahuan tentang nilai gizi makanan atau pertimbangan fisiologik lebih menonjol dibandingkan dengan kebutuhan kepuasan psikis. Masyarakat awam yang tidak mempunyai cukup pengetahuan gizi,
Universitas Sumatera Utara
akan memilih makanan yang paling menarik dan tidak mengadakan pilihan berdasarkan zat gizi makanan (Paath, 2005). Orang tua memberi bimbingan anak agar menyukai makanan lengkap empat sehat lima sempurna. Makanan yang mengandung semua zat gizi sesuai kebutuhan (mencakup karbohidrat, protein, vitamin dan mineral). Apabila seseorang anak kurang makan dan nilai gizinya juga kurang, maka anak akan mudah sakit dan kurus. Dengan kemajuan teknologi, harus lebih hati-hati dalam memilih makanan. Belum tentu makanan yang tampak cerah karena warna menarik memberikan dampak yang tidak merugikan. Banyak makanan yang diberi zat warna yang sebenarnya bukan untuk makanan dan juga sering makanan dibubuhi dengan bahan pengawet seperti formalin dan lain-lainnya (Irianto dan Waluyo, 2007). 2.2.4 Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumber daya manusia yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga (Sanjur, 1982 diacu dalam Sukandar, 2007). Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikomsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982 diacu dalam sukandar 2007). Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Sukandar (2007)
jumlah
anggota
keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi. Keluarga yang memiliki anggota
Universitas Sumatera Utara
keuarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Besar keluarga akan memengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Hal ini disebabkan oleh besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi di dalam suatu keluarga. Selain itu, besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukami 1989 diacu dalam Sukandar 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dini Latief, dkk (2000) menunjukkan adanya penurunan rata-rata intake energi dan protein selama terjadi krisis moneter. Distribusi pangan yang dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang mempunyai anggota yang cukup besar. Pada rumah tangga yang beranggotakan 6 orang atau lebih menunjukkan tingkat konsumsi pangan yang memburuk. Pada rumah tangga yang beranggotakan 3-5 orang rata-rata intake energi dan protein masih mendekati nilai yang dianjurkan.
2.3. Kebiasaan Makan Anak TK Menurut Suhardjo (2009), bahwa kebiasaan makan mempelajari cara yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak bentuk atau jenis pangan tertentu dimulai dari permulaan hidup dan menjadi bagian perilaku yang berakar di antara kelompok penduduk. Kebiasaan makan dapat dinilai dari frekuensi konsumsi sayur, buah, makanan sumber protein hewani dan nabati dalam seminggu terakhir (Atmarita dan Fallah, 2004). Kebiasaan makan yang terbentuk selama masa kanak-
Universitas Sumatera Utara
kanak akan bertahan sampai dewasa. Anak-anak lebih memilih makanan yang sebelumnya mereka telah kenal. Pilihan makanan anak-anak juga dipengaruhi oleh faktor individu, sosial dan budaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Crockett et al dalam Shi et al (2005), bahwa kebiasaan makan dipengaruhi beberapa faktor selain faktor endogen (individu si anak), tetapi juga oleh karena lingkungan. Termasuk makanan yang tersedia untuk anak-anak di dalam dan luar rumah dan juga perilaku makan contoh seperti pengasuh terutama orang tua. Menurut Kardjati (2001) kebiasaan makan adalah berhubungan dengan tindakan untuk mengkonsumsi pangan, dan berapa banyaknya, dengan mempertimbangkan dasar yang lebih terbuka dalam hubungannya dengan apa yang orang biasa makan. Kebiasan makan merupakan cara individu atau kelompok memilih makanan yang akan dikonsumsi, dan kesemuanya dipengaruhi oleh gaya hidup dan perilaku kelurga, dan merupakan bagian dari budaya masyarakat, (Sediaoetama, 2008). Mengembangkan kebiasaan makan, mempelajari cara yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak bentuk atau jenis pangan tertentu, dimulai dari permulaan hidupnya dan akan merupakan bagian prilaku yang berakar diantara kelompok penduduk. Dimulai sejak dilahirkan, untuk beberapa tahun makanan anak tergantung pada orang lain. Bersamaan dengan pangan yang disajikan dan diterima langsung atau tidak langsung anak menerima pula informasi yang berkembang menjadi perasaan, sikap, tingkah laku dan kebiasaan mereka yang berkaitan dengan pangan, (Suhadjo, 2003). Kebiasaan makan
dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk
pendapatan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Aranceta et al (2003), terdapat model dan teori yang berbeda-beda yang telah menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan. Ketersediaan pangan dalam keluarga terhadap keberagaman pangan diindentifikasi sebagai kunci utama yang secara bersama-sama dengan proses psikologi tingkat individu maupun kelompok mempengaruhi dalam pemilihan makanan. Disamping itu juga dipengaruhi aspek sosial ekonomi dan gaya hidup. Pangan merupakan
istilah
umum
yang
digunakan untuk semua bahan yang dapat dijadikan makanan, sedangkan makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi yang berguna bagi tubuh.. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan za-zat gizi essensial yang merupakan zat gizi yang merupakan zat gizi yang harus diperoleh dari makanan (Almatsier, 2002). Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, serta memperbaiki jaringan serta pertumbuhan. Pada dasarnya keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut (Sukandar, 2007). Bahan makanan dapat dikelompokkan berdasarkan tiga fungsi utama yaitu sumber energi atau tenaga seperti padi-padian atau serela, umbi-umbian dan hasil olahannya; sumber protein yaitu protein hewani dan protein nabati seperti ikan, daging, tempe, dan sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah-buahan. Lemak murni seperti minyak goreng, margarine, mentega, serta karbohidrat murni seperti gula pasir, gula
Universitas Sumatera Utara
merah, madu, dan sirup (Almatsier , 2004). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah, 2004). Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan sesorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan bagi yang masih dalam taraf pertumbuhan (bayi, anak-anak, dan remaja) atau untuk aktivitas dan pemeliharaan tubuh bagi orang dewasa dan lansia (Hardinsyah & Martianto, 1992). Penilaian konsumsi pangan atau survei diet adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supariasa et al 2002). Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang baik kualitatif maupun kuantitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi. Dari informasi ini akan dapat dihitung konsumsi gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi
Zat Gizi Makanan (Daftar Komposisi Bahan
Makanan) dan daftar-daftar lain bila diperlukan (Suhardjo, 1989). Survei konsumsi secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekwensi makanan, frekwensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit ) serta cara memperoleh pangan.
Universitas Sumatera Utara
Supariasa et al. (2002) menyebutkan prinsip dari metode recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturutturut dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake individu.
2.4. Perilaku Makan Anak TK Anak TK sering tidak berselera untuk makan sehingga orang tua sering menjadi was-was. Dalam memberikan makanan pada anak, orang tua harus memperhatikan porsi maksimal disajikan dalam sekali makan. Cara lain juga dianggap baik ialah dengan mengizinkan mereka mengambil sendiri porsi yang mereka inginkan. Hal ini akan membuat anak merasa dihormati dan memiliki hak yang sama dengan orang tuanya saat dimeja makan. Pada kelompok usia ini, anak sudah dapat memilih serta menyukai makanan yang manis seperti permen, cokelat dan eskrim. Bila tidak diperhatikan dan dibatasi dapat menyebabkan karies dentis atau nafsu makan berkurang (Markum, 2002). 2.4.1 Masalah Gizi Anak TK Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, maka anak usia TK adalah anak yang rentan gizi, kelompok masyarakat yang paling mudah terkena kelainan gizi, sedang mengalami proses pertumbuhan yang relative pesat, dan memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relativ besar (Santoso, 2004). Pemberian makan pada anak sering menjadi masalah buat orang tua atau pengasuh anak. Kesulitan makana karena sering dan berlangsung lama dianggap biasa. Sehingga akhirnya timbul komplikasi dan gangguan tumbuh kembang lainnya pada anak. Salah satu keterlambatan penanganan masalah
Universitas Sumatera Utara
tersebut adalah pemberian vitamin tanpa mencari penyebab sehingga kesulitan makan tersebut terjadi berkepanjangan. Kesulitan makan merupakan gejala atau tanda adanya penyimpangan, kelainan dan penyakit yang sedang terjadi pada tubuh anak. Pengertian kesulitan makan adalah jika anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan hingga sampai terserap di pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu. Gejala kesulitan makan pada anak adalah (Judarwanto, 2007) : 1.
Kesulitan mengunyah, menghisap, menelan makanan atau hanya biasa makan makanan lunak cair.
2.
Memuntahkan atau menyembur-menyembur makanan yang sudah masuk di mulut anak.
3.
Makan berlama-lama dan memainkan makanan.
4.
Sama sekali tidak mau memasukkan makanan kedalam mulut atau menutup mulut rapat.
5.
Memuntahkan atau menumpahkan makanan, menepis suapan dari orang tua
6.
Tidak menyukai banyak variasi
7.
Kebiasaaan makan yang aneh dan ganjil Walaupun kebutuhan nutrisi relativ kurang, golongan umur ini masih rawan
terhadap infeksi dan penyakit kurang gizi. Karena itu nutrisinya di utamakan terhadap
Universitas Sumatera Utara
kalori dan protein, ditambah dengan perlunya perhatian terhadap masukan vitamin A dan mineral. Jenis makanan keras dapat diberikan seperti pada orang dewasa. Makanan yang dihidangkan hendaknya bervariasi dengan bahan makanan hewani dan nabati yang selalu bergantian (Markum, 2002). Dalam memberikan makanan, hendaknya diperhatikan hal-hal berikut: (Santoso, 2009). 1.
Porsi makanan tidak terlalu besar. Untuk anak yang banyak makannya, dapat diberikan tambahan makanan.
2.
Makanan cukup basah (tidak terlalu kering) agar mudah ditelan anak.
3.
Potongan makanan dan ukuran makanan cukup kecil sehingga mudah dimasukkan ke dalam mulut anak dan mudah dikunyah.
4.
Tidak berduri atau bertulang kecil.
5.
Sedikit atau tidak terasa pedas, asam dan berbumbu tajam.
6.
Bersih, rapi dan menarik dari segi warna dan bentuk.
7.
Cukup bervariasi bahan dan jenis hidangannya sehingga anak tidak bosan dan anak belajar mengenal berbagai jenis bahan makanan dan hidangan.
8.
Menggunakan alat makan dengan ukuran yang sesuai untuk anak TK. Tidak berbahaya (dapat pecah dan tajam seperti kaca), dan juga dapat dibersihkan dan disimpan dengan mudah dan baik. Jadwal pemberian makan sama dengan orang dewasa, yaitu tiga kali makanan utama (pagi, siang dan malam) dan dua kali makanan selingan (di antara dua kali makanan utama). Makanan yang dikonsumsi, yang dianjurkan adalah makanan seimbang yang terdiri
Universitas Sumatera Utara
atas: (Santoso, 2009). a) Sumber zat tenaga, misalnya nasi, roti, mie, bihun, jagung, ubi, singkong, tepungtepungan, gula dan sebagainya. b) Sumber zat pembangun, misalnya ikan, telur, ayam, daging, susu, kacangkacangan, tahu, tempe dan sebagainya. c) Sumber zat pengatur, misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan terutama yang berwarna hijau dan kuning. Susunan makanan seimbang bagi tumbuh kembang anak yang baik terdiri atas sumber zat tenaga (karbohidrat), zat pembangun (protein), dan zat pengatur (vitamin dan mineral). Anak usia 1 - 3 tahun membutuhkan: sumber zat tenaga tiga porsi, sumber zat pembangun enam porsi, sumber zat pengatur dua porsi, ditambah gula dua sendok makan, dan dua sendok makan minyak. Anak usia 4 - 6 tahun membutuhkan: sumber zat tenaga enam porsi, sumber zat pembangun lima porsi, sumber zat pengatur empat porsi, ditambah gula dua sendok makan, dan dua sendok makan minyak. Makanan yang masuk golongan sumber zat tenaga: beras, kentang, roti, mi, makaroni, bihun, ubi, singkong, talas, dan gula. Makanan golongan sumber zat pembangun: ikan, daging, ayam, susu, keju, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Makanan golongan sumber zat pengatur: sayuran hijau tua seperti daun singkong, bayam, kangkung, daun kacang panjang, daun katuk, sawi hijau, dsb. Sayuran berwarna kuning jingga: wortel, tomat, ubi kuning, labu kuning, dan lain-lian. Sayuran kacang-kacangan, misalnya kacang panjang, buncis, kapri. Buah-buahan: pepaya, nanas, mangga, pisang, nangka, jambu, dan laian-lain. Jangan biasakan anak terlalu banyak
Universitas Sumatera Utara
makan makanan yang mengandung gula-gulaan macam permen, coklat, es krim, dll. Itu menyebabkan anak cepat kenyang sebelum makan betulan. Gula-gulaan akan meningkatkan cairan gastric sehingga memperlambat pengosongan perut. 1. Energi Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam bahan makanan menentukan energinya. Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (2005) adalah konsumsi energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktifitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada keadaan kronis akan mengakibatkan penyakit gizi yang disebut dengan marasmus dan bila disertai kekurangan protein menyebabkan kwashiorkor.
Sedangkan kelebihan
energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan diubah menjadi lemak tubuh, akibatnya terjadi berat badan lebih atau kegemukan. 2. Protein Protein adalah molekul makro dan bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Nilai gizi protein ditentukan oleh kadar asam amino
Universitas Sumatera Utara
esensial. Sumber protein dapat berasal dari protein nabati dan hewani. Protein hewani biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan protein nabati. Protein memiliki fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Disamping itu protein berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, mengatur keseimbangan air, pembentukan gizi dan mengangkut zat-zat gizi.
2.4.2 Kecukupan Gizi Anak TK Angka kecukupan gizi (AKG) adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus dipenuhi dari makanan untuk mencukupi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Untuk Indonesia, AKG yang digunakan saat ini secara nasional adalah Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012. Tujuan utama penyusunan AKG ini adalah acuan perencanaan makanan dan menilai tingkat konsumsi makanan individu/masyarakat (Almatsier, 2001). Kebutuhan untuk bayi dan anak merupakan kebutuhan zat gizi yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan. Anak yang tidak mendapat gizi akan mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya sel otak dengan konsekuensi sel lebih sedikit. Sebaliknya anak yang mendapat gizi lebih tinggi akan memperoleh kalori yang lebih tinggi juga. Dengan kata lain konsumsi yang melebihi kebutuhan akan menyebabkan gizi lebih, sebaliknya konsumsi gizi yang kurang menyebabkan kondisi kurang dan defisiensi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X tahun 2012, angka kecukupan gizi (AKG) kebutuhan energi untuk anak usia 4-6 tahun dengan BB 19 kilogram dan TB 112 centimeter, energi 1600 kkal/hari dan kebutuhan protein 39 gram/hari. Tabel 2.1 Tingkat Kecukupan Gizi Anak TK (4-6 Tahun) Golongan Umur
Berat Badan (kg)
4-6 Tahun
19
Tinggi Badan (cm) 112
Energi (kkal) 1600
Protein (Gram) 39
Bagi anak TK makanan sehari-harinya dapat terdiri dari : 1. Makan Pagi a) Nasi/bubur beras atau roti disemir dengan mentega atau margarine b) Telur, daging atau ikan c) Satu gelas susu 2. Makan Siang a) Nasi b) Daging, ayam, ikan, tahu atau tempe c) Sayur seperti tomat, wortel, bayam d) Buah seperti pisang, jeruk, pepaya, apel 3. Makan Sore/Malam a) Nasi atau roti disemir dengan mentega atau margarine b) Daging, ayam, ikan,telur, tahu atau tempe c) Sayur mayur d) Buah atau pudding
Universitas Sumatera Utara
e) Satu gelas susu Di antara makan pagi dan makan siang, juga antara makan siang dan makan malam, anak dapat diberi snack seperti biskuit, keju, kue basah, es krim. Jangan memberikan makanan terlalu banyak hingga mengganggu nafsu makannya pada saat makan siang atau makan malam (santoso,2009).
2.5. Landasan Teori Berdasarkan kajian masing-masing variabel; status sosial ekonomi keluarga, dan kebiasaan makan dengan status gizi selanjutnya perlu dikembangkan suatu kerangka pemikiran. Diduga ada kaitan antara variabel independen status sosial ekonomi keluarga (pendapatan, pekerjaan, pengetahuan, besar keluarga) dan kebiasaan makan dengan status gizi anak. Secara teoritis faktor-faktor seperti pendapatan rumah tangga, pekerjaan kepala rumah tangga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu dan jumlah anggota rumah tangga di duga akan mempengaruhi kebiasaan makan dengan status gizi anak TK. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi antara lain makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Penyebab masalah gizi kurang dapat dibagi dua bagian yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung seperti makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi, dan diantara keduanya saling berhubungan. Pada anak yang konsumsi makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya lemah. Pada keadaan tersebut mudah terserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Sedangkan untuk faktor penyebab tidak langsung berupa ketersediaan
Universitas Sumatera Utara
makanan, pola asuh serta sanitasi dan pelayanan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Keadaan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsumsi makanan dan tingkat kesehatan, sedangkan konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, dan tersedianya bahan makanan. Ada beberapa faktor yang berkaitan erat dengan status gizi antara lain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan dan kemiskinan. Status gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama. Keadaan gizi dapat berupa gizi baik (seimbang), gizi kurang, gizi buruk dan gizi lebih, (Supariasa, 2002). Keadaan gizi merupakan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat gizi tersebut, atau keadaan fosiologisk akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Penentuan gizi seseorang ditentukan oleh beberapa kejadian antara lain pola makan, ketersediaan pangan keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan orang tua dan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Kerangka Konsep Variabel Independen Status Sosial Ekonomi Keluarga : • Pendapatan Keluarga • Pekerjaan Kepala Rumah Tangga • Tingkat Pendidikan • Pengetahuan Gizi Ibu • Besar Keluarga
Variabel Dependen
Status Gizi Anak TK
Kebiasaan Makan: - Keberagaman Makanan - Tingkat Kecukupan (Energi dan Protein))
a
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Variabel yang dianalisis dalam kerangka konsep meliputi variabel status sosial ekonomi keluarga yang dilihat cara atau tindakan orang tua dalam memberikan dan memilih makanan untuk anak yang meliputi pendapatan keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga. variabel kebiasaan
makan untuk
melihat keaneka ragaman jenis susunan makanan yang dikonsumsi oleh anak prasekolah. Variabel tingkat kecukupan energi dan protein untuk melihat kecukupan energi dan protein di dalam susunan makanan sehari-hari. Variabel
status sosial
ekonomi keluarga, kebiasaan makan dan tingkat kecukupan energi dan protein saling berhubungan dengan status gizi anak anak TK.
Universitas Sumatera Utara