BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelelahan Kerja 2.1.1. Pengertian Kelelahan Kata lelah (fatigue) menunjukan keadaan tubuh fisik dan mental yang berbeda, tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja. Terdapat dua jenis kelelahan,yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot ditandai antara lain oleh tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja, yang penyebabnya adalah keadaan persyarafan sentral atau kondisi psikispsikologis (Suma’mur, 2009). Kelelahan mental dapat bersumber dari overload ataupun underload ; dari suatu pekerjaan yang menghasilkan kebutuhan yang berlebihan dari pekerjaan yang tidak menarik dan mudah tersebut. Kedua kondisi tersebut dapat meningkatkan stress, akan tetapi jika diperpanjang, keduanya akan mengurangi gairah kerja ( Nurmianto, 2008). Kelelahan akibat kerja seringkali diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, kemampuan kerja, dan berkurangnya kekuatan/ ketahanan fisik yang dapat mendatangkan kecelakaan. Timbulnya rasa lelah dalam diri manusia merupakan
Universitas Sumatera Utara
proses yang terakumulasi dari berbagai faktor penyebab dan mendatangkan ketegangan atau stress (Sulistyadi dan susanti, 2003). Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga akan terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan secara umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja (Tarwaka, 2004). Sampai saat ini masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot, yaitu teori kimia dan teori syaraf pusat terjadinya kelelahan. Pada teori kimia secara umum menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangnya cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot, sedangkan perubahan arus listrik pada otot dan saraf adalah penyebab sekunder. Sedangkan pada teori syaraf pusat menjelaskan bahwa perubahan kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya rangsangan syaraf melalui syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot. Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel saraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat. Dengan demikian semakin lambat gerakan sesorang akan menunjukkan semakin lelah kondisi otot seseorang (Tarwaka, 2004). Ada beberapa macam kelelahan dan diakibatkan oleh faktor yang berbedabeda seperti :
Universitas Sumatera Utara
a. Lelah otot Kelelahan dapat dilihat dalam bentuk munculnya gejala kesakitan yang amat sangat ketika otot harus menerima beban yang berlebihan. b. Lelah visual Kelelahan yang diakibatkan ketegangan yang terjadi pada organ visual (mata) yang terkonsentrasi secara terus- menerus pada suatu obyek (layar komputer). Cahaya yang terlalu kuat yang mengenai mata juga akan menimbulkan gejala yang sama. c. Lelah mental Kelelahan datangnya bukan diakibatkan secara langsung oleh aktivitas fisik, melainkan lewat kerja mental (proses berpikir sebagai contoh). Lelah mental ini seringkali pula disebut sebagai lelah otak. d. Lelah monotonis Kelelahan yang disebabkan oleh aktivitas kerja yang bersifat rutin, monoton atau pun lingkungan kerja yang sangat menjemukan (Wignjosoebroto, 2008). Kelelahan yang disebabkan oleh sejumlah faktor yang berlangsung terus menerus dan terakumulasi akan menyebabkan apa yang disebut dengan “lelah kronis”. Gejala-gejala yang tampak jelas akibat lelah kronis ini dapat dicirikan seperti :
Universitas Sumatera Utara
1. Meningkatnya emosi dan rasa jengkel sehingga orang menjadi kurang toleran atau a-sosial terhadap orang lain. 2. Munculnya sikap apatis terhadap pekerjaan. 3. Depresi yang berat, dll( Wigjosoebroto, 2008) 2.1.2. Penyebab Kelelahan Faktor-faktor penyebab terjadinya kelelahan antara lain : a. Keadaan yang monoton Pekerjaan monoton, adalah suatu kerja yang berhubungan dengan hal yang sama dalam periode atau waktu yang tertentu, dan dalam jangka waktu yang lama dan biasanya oleh suatu produksi yang besar. b. Intensitas dan lamanya kerja fisik dan mental Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6-10 jam. Sisanya (14-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama kerja tersebut biasanya tidak disertai efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas dan hasil kerja serta bekerja dengan waktu yang berkepanjangan timbul kecenderungan untuk terjadinya kelelahan,penyakit dan kecelakaan serta ketidakpuasan (Suma’mur, 2009) c. Lingkungan fisik
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan fisik adalah salah satu faktor yang datang dari luar diri manusia dan berpengaruh terhadap aktivitas kerja. Beberapa kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi kerja manusia : a) Temperatur b) Siklus udara c) Pencahayaan d) Kebisingan e) Getaran d. Kondisi psikologis Faktor psikologis juga memainkan peran besar dalam menimbulkan kelelahan. Seringkali pekerja tidak mengerjakan sesuatu apapun juga, karena merasakan kelelahan. Sebabnya ialah adanya konflik mental (batin). Konflik mental mungkin didasarkan atas pekerjaan itu sendiri,mungkin bersumber kepada sesama pekerja atau atasan, mungkin pula berpangkal kepada peristiwa dirumah tangga atau dalam pergaulan hidup dalam masyarakat (Suma’mur, 2009) . e. Sikap kerja Sikap tubuh yang salah /janggal atau cara yang tidak ergonomik dalam melakukan pekerjaan dapat menimbulkan kelelahan fisik, keluhan dan gangguan kesehatan pada pekerja (Depkes RI, 2005). f. Status kesehatan dan keadaan gizi
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan pekerja dan produktifitas kerja erat bertalian dengan tingkat/ keadaan gizi. Pekerja memerlukan makanan yang bergizi untuk pemeliharaan tubuh, untuk perbaikan dari sel-sel dan jaringan, untuk pertumbuhan sampai masa-masa tertentu dan untuk melakukan kegiatankegiatan, termasuk pekerjaan.
Kekurangan
akan zat
gizi akan
mengakibatkan gangguan kesehatan dan juga produktifitas kerja (Budiono dkk, 2008). 2.1.3. Akibat Kelelahan Kelelahan yang berkadar tinggi dapat menyebabkan seseorang tidak mampu lagi bekerja sehingga berhenti bekerja oleh karena merasa lelah bahkan yang bersangkutan tertidur oleh karena kelelahan. Jika pekerja telah mulai merasa lelah dan tetap ia paksa untuk terus bekerja,
kelelahan akan semakin bertambah dan
kondisi lelah demikian sangat mengganggu kelancaran pekerjaan dan juga berefek buruk kepada pekerja yang bersangkutan (Suma’mur, 2009). Pada akhirnya kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti : melemahnya kemampuan pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja ( Ramandhani, 2008). 2.1.4. Pengukuran Kelelahan Untuk mengetahui tingkat kelelahan kerja dapat dilakukan dengan berbagai macam pendekatan yaitu : 1. Pengukuran waktu reaksi
Universitas Sumatera Utara
Waktu reaksi adalah jangka waktu pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Pengukuran waktu reaksi dilakukan dengan menggunakan alat Reaction Timer. Alat ini mengukur gerakan lambat, cepat dan reaksinya, dengan mengukur waktu respon dari keseluruhan tubuh atau tangan terhadap cahaya dan suara. Setyawati (1996) melaporkan bahwa dalam uji waktu reaksi, ternyata stimuli terhadap cahaya lebih signifikan daripada stimuli suara. Hal tersebut disebabkan karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada stimuli cahaya. 2. Uji hilangnya kelipan (Flicker Fusion Test) Dalam kondisi yang lelah, kemampuan pekerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antar dua kelipan. Uji kelipan disamping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan kewaspadaan pekerja. 3. Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. 4. Uji mental Pada metode ini, konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan.. 5. Kuesioner kelelahan 30 item, yang terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan, yaitu : (1) perasaan berat di kepala, (2) lelah seluruh tubuh, (3) berat di kaki, (4) menguap, (5) pikiran kacau, (6) mengantuk, (7) ada beban pada mata, (8) gerakan canggung dan kaku, (9) berdiri tidak stabil, (10) ingin berbaring 10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi : (11) susah berpikir, (12) lelah untuk berbicara, (13) gugup, (14) tidak berkonsentrasi, (15) sulit memusatkan konsentrasi, (16) mudah lupa, (17) kepercayaan diri berkurang, (18) merasa cemas, (19) sulit mengontrol sikap, (20) tidak tekun dalam pekerjaan. 10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan fisik :(21) sakit di kepala, (22) kaku di bahu, (23) nyeri di punggung, (24) sesak nafas, (25) haus, (26) suara serak, (27) merasa pening, (28) spasme dikelopak mata, (29) tremor pada anggota badan, (30) merasa kurang sehat (Tarwaka, 2004). 2.2. Sikap Kerja Sikap tubuh dalam bekerja adalah suatu gambaran tentang posisi badan, kepala dan anggota tubuh (tangan dan kaki) baik dalam hubungan antar bagian-bagian tubuh tersebut maupun letak pusat gravitasinya. Faktor- faktor yang paling berpengaruh meliputi sudut persendian inklinasi vertikal badan, kepala, tangan dan kaki serta derajat penambahan atau pengurangan bentuk kurva tulang belakang. Faktor-faktor tersebut akan menentukan efisiensi atau tidaknya sikap tubuh dalam bekerja (Community,2008)
Universitas Sumatera Utara
Sikap tubuh dalam bekerja yang dikatakan secara ergonomik adalah yang memberikan rasa nyaman, aman, sehat dan selamat dalam bekerja, yang dapat dilakukan antara lain dengan cara ; a. Menghindarkan sikap yang tidak alamiah dalam bekerja b. Diusahakan beban statis menjadi sekecil-kecilnya c. Perlu dibuat dan ditentukan kriteria dan ukuran baku tentang peralatan kerja yang sesuai dengan antropometri pekerja penggunanya. d. Agar diupayakan bekerja dengan sikap duduk dan berdiri secara bergantian (Ramandhani, 2008) Sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, susunan, dan penempatan mesin dan peralatan serta perlengkapan kerja; juga bentuk, ukuran dan penempatan alat kendali serta alat petunjuk, cara kerja mengoperasikan mesin dan peralatan yang merinci macam gerak, arah dan kekuatannya yang harus dilakukan (Suma’mur, 2009). 2.2.1. Sikap Kerja Duduk Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Namun sikap duduk yang keliru akan merupakan penyebab masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring (Nurmianto, 2008) Grandjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain : pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan
Universitas Sumatera Utara
keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi. Namun demikian sikap kerja duduk yang terlalu lama dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang melengkung sehingga cepat merasa lelah. Pulat (1992), memberikan pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk yaitu sebagai berikut : 1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki 2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan 3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar 4. Obyek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih dari 15 cm dari landasan kerja 5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi 6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama 7. Seluruh obyek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan posisi duduk ( Tarwaka, 2004) 2.2.2. Sikap Kerja Berdiri Selain posisi kerja duduk, posisi berdiri juga banyak ditemukan di perusahaan. Menurut Sutalaksana (2000), bahwa sikap berdiri merupakan sikap siaga baik fisik maupun mental, sehingga aktifitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan teliti. Namun demikian mengubah posisi duduk ke berdiri dengan masih menggunakan alat kerja yang sama akan melelahkan. Pada dasarnya berdiri itu sendiri lebih melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10-15% dibandingkan dengan duduk (Tarwaka, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai (Santoso, 2004). Untuk meminimalkan pengaruh kelelahan dan keluhan subyektif maka pekerjaan harus didesain agar tidak terlalu banyak menjangkau, membungkuk, atau melakukan gerakan dengan posisi kepala yang tidak alamiah. Untuk maksud tersebut Pulat (1992) dan Clark (1996) memberikan pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi berdiri adalah sebagai berikut : 1. Tidak tersedia tempat untuk kaki dan lutut 2. Harus memegang obyek yang berat ( lebih dari 4,5 kg) 3. Sering menjangkau keatas, kebawah, dan kesamping 4. Sering melakukan pekerjaan dengan menekan kebawah 5. Diperlukan mobilitas tinggi (Tarwaka, 2004) 2.2.3. Sikap Kerja Dinamis Sikap kerja dinamis yaitu sikap kerja duduk dan berdiri bergantian. Das (1991) dan Pulat (1992) dalam Tarwaka (2004) menyatakan bahwa posisi duduk – berdiri merupakan posisi terbaik dan lebih dikehendaki daripada hanya posisi duduk saja atau berdiri saja. Hal tersebut disebabkan karena memungkinkan pekerja berganti posisi kerja untuk mengurangi kelelahan otot karena sikap paksa dalam satu posisi kerja. Helander (1995) dan Tarwaka (1995), memberikan batasan ukuran ketinggian landasan kerja untuk pekerjaan yang memerlukan sedikit penekanan yaitu 15 cm di
Universitas Sumatera Utara
bawah tinggi siku untuk kedua posisi kerja. Menurut Helander (1995), posisi dudukberdiri yang telah banyak dicobakan di industri, ternyata mempunyai keuntungan secara biomekanis di mana tekanan pada tulang belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun berdiri terus menerus. 2.3 Metode Penilaian Postur Kerja Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan evaluasi ergonomi untuk mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan resiko keluhan otot skeletal. Alat ukur ergonomik yang dapat digunakan cukup banyak dan bervariasi. Namun demikian, dari berbagai alat ukur dan berbagai metode yang ada tentunya mempunyai kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Dibawah ini akan dibahas beberapa metode observasi postur tubuh yang berkaitan dengan resiko gangguan pada sistem muskuloskeletal (seperti metode OWAS, RULA, REBA) dan penilaian subjektif terhadap tingkat keparahan pada sistem muskuloskeletal dengan metode Nordic Body Map serta checklit sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi potensi bahaya pada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan resiko MSD’s. 2.3.1 Metode OWAS (Ovako Working Analysis Syistem) Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai postur tubuh saat bekerja. Metode OWAS ini merupakan metode yang sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisis suatu pembebanan pada postur tubuh. Metode ini awalnyaditujukan untuk mempelajari suatu pekerjaan di industri baja di Finlandia.
Universitas Sumatera Utara
Aplikasi metode OWAS didasarkan pada hasil pengamatan dari berbagai posisi yang diambil dari pekerja selama melakukan pekerjaannya. Langkah pertama dari metode ini adalah pengumpulan data
atau perekaman posisi yang dapat
dilakukan dengan melalui observasi pada pakerja, analisis foto, video atau melihat aktivitas yang sedang dilakukan untuk kemudian dibuat kode berdasarkan dta tersebut. Evaluasi penilaian didasarkan pada skor dari tingkat bahaya postur kerja yang ada dan selanjutnya dihubungkan dengan kategori tindakan yang harus diambil. Klasifikasi postur kerja dari metode OWAS adalah pada pergerakan tubuh bagian belakang (punggung), lengan (arms), dan kaki (legs). Setiap postur tubuh tersebut terdiri atas 4 postur bagian belakang, 3 postur lengan , 7 postur kaki dan berat beban yang dikerjakan juga dilakukan penilaian dengan 3 kisaran beban. 2.3.2 Metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment) Metode RULA merupakan suatu metode dengan menggunakan target postur tubuh untuk mengestimasi terjadinya resiko gangguan otot skeletal, khususnya pada anggota tubuh bagian atas (upper limb disorder), seperti adanya gerakan repetitif, pekerjaan diperlukan pengerahan kekuatan, aktifitas otot statis pada otot skeletal, dll. Penilaian dengan metode Rula ini merupakan penilaian yang sistematis dan cepat terhadap resiko terjadinya gangguan dengan menunjuk bagian anggota tubuh pekerja yang mengalami gangguan tersebut. Analisis dapat dilakukan sebelum dan sesudah intervensi, untuk menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan akan dapat menurunkan resiko cedera. Di samping itu , metode RULA merupakan alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh resiko pekerja yang
Universitas Sumatera Utara
terpengaruh oleh faktor-faktor penyebab cedera, yaitu postue tubuh, kontraksi otot statis, gerakan repetitif, dan pengerahan tenaga dan pembebanan. Pengukuran terhadap postur tubuh dengan metode RULA pada prinsipnya adalah mengukur sudut dasar yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota tubuh (limbs) dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai. Dalam mempermudah penilaiannya maka tubuh dibagi atas 2 segmen group yaitu group A dan group B. Postur tubuh group A terdiri atas lengan atas , lengan bawah, pergelangan tangan dan putaran pergelangan tangan, sedangkan group B meliputi leher, batang tubuh dan kaki. 2.3.3 Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) Metode REBA dirancang oleh Sue Hignet dan Lynn McAtamney (2000) sebagai sebuah metode penilaian postur kerja untuk menilai faktor resiko gangguan tubuh secara keseluruhan. Data yang dikumpulkan adalah data mengenai postur tubuh, kekuatan yang digunakan, jenis pergerakan atau aksi, pengulangan dan pegangan. Skor akhir REBA dihasilkan untuk memberi sebuah indikasitingkat resiko dan tingkat keutamaan dari sebuah tindakan yang harus diambil. Faktor postur tubuh yang dinilai dibagi atas dua kelompok utama atau group yaitu group A yang terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari batang tubuh, leher dan kaki. Sedangkan group B terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Pada masing-masing group diberikan suatu skala postur tubuh dan suatu pernyataan tambahan. Diberikan juga faktor beban/kekuatan dan pegangan (coupling).
Universitas Sumatera Utara
REBA dapat juga digunakan ketika penilaian postur kerja diperlukan dan dalam sebuah pekerjaan: 1. Keseluruhan bagian badan digunakan. 2. Postur tubuh statis, dinamis, cepat berubah atau tidak stabil. 3. Melakukan sebuah pembebanan seperti mengangkat benda baik secara rutin ataupun sesekali. 4. Perubahan dari tempat kerja, peralatan atau pelatihan pekerja sedang dilakukan dan diawasi sebelum atau sesudah perubahan. 2.3.4 Metode “Nordic Body Map” (NBM) Metode ‘Nordic Body Map” berbeda dengan ketiga metode yang telah dijelaskan sebelumnya. Metode ini, merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan atas terjadinya gangguan atau cedera pada otot-otot skeletal. Sementara itu, metode OWAS, RULA, dan REBA ditujukan untuk menilai postur tubuh selama periode kerja, menentukan tingkat risiko dan melakukan tindakan perbaikan, tanpa melihat tingkat keparahan atau keluhan yang dialami oleh pekerja. Dengan demikian metode ‘Nordic Body Map” merupakan metode lanjutan yang dapat digunakan setelah selesai melakukan observasi dengan metode OWAS, RULA, dan REBA. Dalam aplikasinya, metode “Nordic Body Map” dengan menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami, murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat (± 5 menit) per individu. Pengukuran gangguan otot skeletal dengan menggunakan kuesioner
Universitas Sumatera Utara
“Nordic Body Map” sebaiknya digunakan untuk menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam kelompok kerja yang cukup banyak atau kelompok sample yang dapat merepresentasikan populasi secara keseluruhan. 2.3.5 Metode Identifikasi Penilaian MSDs dengan Checklist Checklist merupakan alat ukur ergonomik yang paling sederhana dan mudah, oleh karena itu pada umumnya menjadi pilihan pertama untuk melakukan pengukuran yang masih bersifat umum. Checklist terdiri dari daftar pertanyaan yang diarahkan untuk mengidentifikasi sumber keluhan/penyakit. Untuk mengetahui sumber keluhan otot, pada umumnya daftar pertanyaan yang diajukan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertanyaan yang bersifat umum dan khusus. Pertanyaan umum biasanya mengarah pada pengumpulan tentang tingkat beban kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kondisi lingkungan kerja, waktu dan sikap kerja. Sedangkan pertanyaan khusus diarahkan untuk memperoleh data yang lebih spesifik seperti berat badan, jarak angkat, jenis pekerjaan dan frekwensi kerja. 2.4. Fasilitas Kerja Perancangan fasilitas kerja haruslah memperhatikan gerakan-gerakan kerja sehingga dapat memperbaiki dan mengurangi kelelahan kerja. Mengingat dimensi ukuran tubuh manusia berbeda-beda, maka diperlukan penyesuaian fasilitas kerja harus selalu mempertimbangkan antropometri pemakainya. Dengan fasilitas kerja yang ergonomis, maka karyawan dapat bekerja dengan nyaman, aman dan produktif. Apabila fasilitas kerja tidak ergonomis, maka akan timbul sikap kerja yang tidak
Universitas Sumatera Utara
benar, sehingga perfomansi kerja orang tersebut akan menurun, tidak efektif dan efisien (Sutalaksana, 1999). Suatu disain fasilitas kerja disebut ergonomis apabila secara antropometri, faal, biomekanik dan psikologis cocok dengan manusia pemakainya. Mendesain fasilitas kerja, yang sangat penting diperhatikan adalah suatu desain berpusat pada manusia pemakainya. (Sutalaksana, 1999) Menurut Wignjosoebroto (2008), dalam perancangan fasilitas kerja terdapat aspek-aspek yang mempengaruhi, meliputi : 1. Memperhatikan perbaikan-perbaikan metode atau cara kerja dengan menekan prinsip-prinsip ekonomi gerakan dengan tujuan pokok meningkatkan efisiensi dan produktifitas kerja. 2. Mempertimbangkan kebutuhan akan data yang menyangkut dimensi tubuh manusia. Data antropometri akan menunjang dalam proses perancangan fasilitas kerja dengan tujuan mencari keserasian hubungan fasilitas kerja dengan manusia yang memakainya. 3. Mempertimbangkan pengaturan tata letak fasilitas kerja yang digunakan, pengaturan ini pada prinsipnya bertujuan untuk mencari gerakan-gerakan yang efisien. 2.5. Antropometri dan Aplikasinya dalam Perancangan Fasilitas Kerja Istilah antropometri berasal dari kata antro yang berarti manusia dan metri yang berarti ukuran. Secara defenitif antropometri dapat dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Antropometri secara luas
Universitas Sumatera Utara
akan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal perancangan areal kerja, perancangan peralatan kerja, perancangan produk-produk konsumtif dan perancangan lingkungan kerja fisik (wingjosoebroto, 2008). Pengukuran antropometri tidak dapat dilakukan dengan mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi yaitu ukuran tubuh manusia yang beragam, dan tergantung pada umur, jenis kelamin dan suku bangsa. Berdasarkan kondisi tersebut maka antropometri dibagi menjadi 2 bagian
yaitu antropometri statis dan dan
antropometri dinamis. Antropometri statis adalah dimensi tubuh manusia yang diukur pada saat manusia dalam keadaan statis atau diam untuk posisi yang telah ditentukan atau standar. Antropometri dinamis adalah dimensi tubuh manusia yang diukur pada saat seseorang melakukan aktifitas atau sedang melakukan pekerjaan (Sulistyadi dan Susanti, 2003). Antropometri merupakan suatu pengukuran yang sistematis terhadap tubuh manusia, terutama seluk beluk dimensional ukuran dan bentuk tubuh manusia. Antropometri yang merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang atau menciptakan suatu sarana kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh pengguna sarana kerja tersebut (Ramandhani, 2008 ). Menurut Sulistyadi dan Susanti (2003), pengukuran antropometri pada hakekatnya adalah pengukuran jarak antara dua titik pada tubuh manusia yang ditentukan. Ada dua metode pengukuran antropometri yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Metode ukur dengan antropometer Antropometer adalah alat ukur dengan satuan panjang
sentimeter yang
dirancang secara khusus untuk digunakan dalam pengukuran ukuran-ukuran tubuh manusia, mulai dari tinggi badan tegak (berdiri), tinggi duduk tegak sampai dengan ukuran lainnya. Dengan bantuan alat ini diukur data antropometri dengan mudah. 2. Metode ukur tukang jahit Pengukuran antropometri dengan metode ukur tukang jahit adalah pengukuran terhadap ukuran bagian tubuh manusia dengan menggunakan pita atau rol ukur yang biasa digunakan oleh tukang jahit. Pada pengukuran antropometri tukang jahit, pengukuran yang biasa dilakukan dengan antropometer diselenggarakan dengan meteran ukur plastik biasa. Sulistyadi dan Susanti (2003) mengatakan bahwa hasil pengukuran data antropometri diaplikasikan untuk perancangan fasilitas kerja. Mengingat data ukuran data jenis kelamin yang berbeda pada tiap individu maka dalam merancang digunakan data antropometri berdasarkan : 1. Prinsip perancangan fasilitas kerja berdasarkan individu ekstrim dapat dibagi menjadi dua. Pertama, perancangan dengan data nilai persentil tinggi (90%, 95% atau 99%). Misalnya untuk merancangkan tinggi pintu diambil dari tinggi manusia persentil 99% ditambah dengan kelonggaran. Kedua, perancangan fasilitas dengan data persentil kecil atau rendah (10%, 5% atau
Universitas Sumatera Utara
1%). Misalnya membuat tinggi jemuran pakaian digunakan data tinggi jangkauan tangan persentil rendah. 2. Perancangan fasilitas kerja yang dapat disesuaikan Untuk fasilitas kerja yang dapat disesuaikan, dirancang memiliki daerah ukuran minimal (persentil 5%) sampai dengan ukuran maksimal (persentil (95% atau 99%). Perlu diperhatikan bahwa rancangan yang demikian ini biasanya memerlukan ongkos yang lebih mahal tetapi memiliki nilai fungsi yang lebih tinggi. 3. Perancangan fasilitas kerja berdasarkan data rata-rata pemakainya Perancangan fasilitas kerta berdasarkan data rata-rata bertujuan untuk memberikan kenyamanan atau nilai fungsi yang tinggi bagi banyak orang dengan biaya yang rendah. Misalnya tinggi kursi tempat duduk. 2.6.Landasan Teori Landasan teori pada penelitian ini mengacu pada teori kombinasi yang dikemukakan oleh Grandjean (1988), yang menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya kelelahan sangat bervariasi, dan untuk memelihara / mempertahankan kesehatan dan efisiensi proses penyegaran harus dilakukan. Faktor-faktor penyebab kelelahan digambarkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Penyembuhan
Tingkat Kelelahan
Gambar 2.1 Teori Kombinasi Penyebab Kelelahan Fasilitas kerja yang tidak ergonomis dapat menimbulkan penyesuaian sikap kerja seperti sikap kerja duduk membungkuk dan jongkok yang menyebabkan keluhan rasa sakit pada bagian tubuh dan terjadi peningkatan kelelahan pada pekerja (Sabrina, 2009). Samudro, dkk (2006) dalam penelitian pada pekerja di industri rumah tangga plastik Hasta Cipta Indoplast Surabaya mengatakan bahwa fasilitas kerja yang tidak
Universitas Sumatera Utara
ergonomis dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan dan keluhan rasa sakit di bagian tubuh serta postur kerja yang tidak alamiah. Hal ini diketahui setelah penilaian dengan metode Rula di dapat skor 7 yang berarti perlu segera dilakukan perbaikan postur kerja dengan perbaikan fasilitas kerja. Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan tersebut, maka peneliti akan memfokuskan untuk mengkaji tentang fasilitas kerja. Fasilitas kerja ini merupakan bagian dari faktor fisiologis kerja yang dapat menyebabkan munculnya sikap kerja tidak alamiah dan kelelahan kerja. 2.7. Kerangka Konsep Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independen
Variabel Dependen Sikap Kerja
Fasilitas Kerja Kelelahan Kerja
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara