BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kesehatan Jiwa Kesehatan jiwa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan
atau bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Kesehatan jiwa menurut UU No 23 tahun 1966 tentang kesehatan jiwa didefenisikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan secara selaras denngan keadaan orang lain, bahwa kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental yang sejahtera (mental wellbeing) yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif, sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang, mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Sumiati,et.al, 2009). Menurut UU No 18 Tahun 2014, kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
dan mampu memberikan kontribusi
untuk komunitasnya (Anonimus, 2009). Kesehatan jiwa remaja merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas bangsa. Remaja yang tumbuh dalam lingkungan kondutif dan mendukung
5 Universitas Sumatera Utara
6
merupakan sumber daya manusia yang dapat menjadi aset bangsa yang tidak ternilai. Untuk menciptakan remaja berkualitas perlu dilakukan berbagai upaya tindakan nyata dengan cara mempersiapkan generasi muda yang kuat dan tahan dalam menghadapi berbagai macam tantangan hidup. Agar dapat melalui masa remajanya dengan baik, sangat penting peran orang tua, guru, tokoh masyarakat dan masyarakat sekitarnya dalam memberikan bimbingan dan teladan. ( Indarjo, 2009).
2.2
Defenisi Remaja Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin yaitu adolescene yang berartii to
grow maturity. Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefenisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Papilia dan Olds (2001), tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence) ( Jahja, 2011). Masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja berada dipertigaan antara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisi pasi dalam masyarakat dewasa. Dan masa remaja adalah masa dimana para remaja terlibat dalam perilaku yang menyempitkan pandangan dan membatasi pilihan mereka (Papalia, 2011). Menurut WHO dalam buku Sarwono(2002), mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga kriteria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: a.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
Universitas Sumatera Utara
7
b.
Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
2.3
Ciri-Ciri Masa Remaja Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1999), adalah:
a.
Masa remaja adalah masa peralihan Yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya
secara berkesinambungan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan seorang dewasa dan merupakan masa yang sangat strategis, karena memberi waktu kepada remaja untuk membentuk gaya hidup dan menentukan pola perilaku, nilai-nilai dan sifat-sifat yang sesuai dengan yang diinginkannya. b.
Masa remaja adalah masa terjadi perubahan Sejak awal remaja, perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku
dan sikap juga berkembang. Ada empat perubahan besar yang terjadi pada remaja, yaitu perubahan emosi, perubahan peran dan minat, perubahan pola perilaku dan perubahan sikap menjadi ambivalen. c.
Masa remaja adalah masa yang banyak masalah Masalah remaja sering menjadi masalah yang sullit untuk diatasi. Hal ini
terjadi karena tidak terbiasanya remaja menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain sehingga kadang-kadang terjadi penyelesaian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Universitas Sumatera Utara
8
d.
Masa remaja adalah masa mencari identitas Identitas diri yang dicari remaja adalah berupa kejelasan siapa dirinya dan
apa peran dirinya di masyarakat. Remaja tidak puas dirinya sama dengan kebanyakan orang, ia ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia ingin mempertahankan dirinya terhadap kelompok sebaya. e.
Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan kekuatan Ada stigma dari masyarakat bahwa remaja adalah anak yang tidak rapi,
tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, sehingga menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Dengan adanya stigma ini akan membuat masa peralihan remaja ke dewasa menjadi sulit, karena peran orang tua yang memiliki pandangan seperti ini akan mencurigai dan menimbulkan pertentangan antara orang tua dengan remaja serta membuat jarak diantara keluarga.
2.4
Tugas-Tugas Perkembangan Masa Remaja Tugas-tugas perkembangan masa remaja diantaranya adalah: menerima
keadaan jasmani yang sebenarnya dan memanfaatkan, memperoleh hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya antara dua jenis kelamin, memperoleh kebebasan emosional dari orang tua, mendapatkan perangkat nilai hidup dan falsafah hidup, memiliki citra-diri yang realistis.Remaja diharapkan memiliki gambaran diri yang realistis, tidak lagi berdasarkan khayal (fantasi) tentang gambaran yang muluk-muluk seperti apa yang sering kali mereka pikirkan dan alami pada masa pubertas atau masa kanak-kanak (Pieter dan Lumongga, 2010).
Universitas Sumatera Utara
9
Tugas-tugas perkembangan remaja menurut William Kay dalam Jahja (2011) adalah sebagai berikut: a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya. b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas. c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok. d. Menentukan manusia model yang dijadikan identitasnya. e. Menerima
dirinya
sendiri
dan
memiliki
kepercayaan
terhadap
kemampuannya sendiri. f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip,-prinsip, atau falsafah hidup. g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanakkanakan.
2.5
Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Jiwa Remaja Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, di satu pihak
remaja mempunyai keinginan kuat untuk mengadakan interaksi sosial dalam upaya mendapatkan kepercayaan dari lingkungan, di lain pihak ia mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, terlepas dari pengawasan orang tua dan sekolah. Salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan interpersonal yang awalnya belum pernah ada, juga harus menyesuaikan diri
Universitas Sumatera Utara
10
dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai hubungan polo sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Ia harus mempertimbangkan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, membentuk kelompok sosial baru dan nilai-nilai baru dalam memilih teman . 2.5.1
Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan
anak. Usia 4-5 tahun dianggap sebagai titk awal proses identifikasi diri menurut jenis kelamin. Peranan ibu dan ayah atau orang tua pengganti (nenek, kakek, dan orang dewasa lainnya)sangat besar. Apabila proses identifikasi ini tidak berjalan dengan lancar, maka dapat timbul proses identifikasi yang salah. Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan sekitar Hurlock (1973) dalam Sumiati,et.al (2009). Menambahkan anak yang mempunyai penyesuaian diri yang baik di sekolah, biasanya memiliki latar belakang keluarga yang harmonis, menghargai pendapat anak dan hangat. Hal ini disebabkan karena anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan mempersepsikan rumah sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena semakin sedikit masalah antara oranngtua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya berntakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh oarangtuuanya tersebut, Tallent (1978) dalam Sumiati,et.al (2009).
Universitas Sumatera Utara
11
Lingkungan keluarga yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja adalah: a.
Pola Asuh Keluarga Setiap orang tua bertanggung jawab memikirkan san menguasahakan agar
senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan juga dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis (Papalia, 2011). Gaya pengasuhan otoritatif masih yang tebaik dalam pengasuhan remaja. Orang tua otoritatof akan bersikapptegas terhadap nilai penting pengaturan, norma, dan nilai tetapi bersedia mendengar, menjelaskan, dan bernegosiasi. Mereka melatih kontrol yang tepat terhadap perilaku anak tetapi tidak mengatur pemahaman eksistensi diri sang anak. Orang tua menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kesalahan perilaku remaja akan lebih efektif memotivasi mereka untuk berperilaku yang benar ketimbang orang tua yang menghukum mereka dengan kejam. Remaja dengan tua yang ketat cenderung mengembangkan kontrol diri, disiplin diri, dan pelajaran dan kebiasaan personal yang baik. Mereka yang memberikan otonomi psikologid oleh orang tuanya cenderung menjadi percaya diri dan kompeten dalam bidang akademis dan sosial (Papalia, 2011). b.
Kondisi Keluarga Hubungan orang tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan
emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak. Sebaliknya
Universitas Sumatera Utara
12
orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga dan anak akan “melarikan diri” dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa remaja (Sumiati,et.al, 2009). Problem utama dalam keluarga berorang tua tunggal adalah kekurangan uang. Kemiskinan dapat merumitkan hubungan keluarga dan juga membahayakan perkembangan remaja melalui pengaruhnya terhadap kondisi emosional orang tua (Papilia, 2011). c.
Pendidikan Moral Dalam Keluarga
Pendidikan moral dalam keluarga adalah upaya menanamkan nilai-nilai akhlak atau budi pekerti kepada anak di rumah. Pengertian budi pekerti mengandung nilai-nilai: 1.
Keagamaan yaitu sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan.
2.
Kesusilaan yaitu meliputi nilai-nilai yang berkaitan dengan orang lain, misalnya sopan santun, kerjasama, tenggang rasa, saling menghayati, saling menghormati, menghargai orang lai, dsb.
3.
Kepribadian memiliki nilai dalam kaitan pengembangan diri, misalnya keberanian, rasa malu, kejujuran, kemandirian, dsb.
2.5.2 Lingkungan sekolah Pengaruh yang juga cukup kkuat dalam perkembangan remaja adalah lingkunngan sekolah. Umumnya orang tua menaruh harapan yang besar pada
Universitas Sumatera Utara
13
pendidikan di sekolah. Oleh karena itu dalam memilih sekolah, orang tua perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a.
Suasana Sekolah Persyaratan terciptanya lingkungan kondusif bagi kegiatan belajr mengajar
adalah suasana sekolah. Baik buruknya suasana sekolah sangat tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah, komitmen guru, sarana pendidikan dan disiplin sekolah. Suasana sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja, yaitu dalam hal kedisiplinan, kebiasaan belajar, pengendalian diri (Sumiati,et.al, 2009). b.
Bimbingan Guru Untuk menyalurkan minta, bakat, dan hobi siswa perlu dikembangkan
kegiatan ekstrakulikuler dengan bimbingan guru. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak sekedar mengalihkan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam kurikulum terlutis, melainkan juga memberikan nilai yang terkandung di dalamnya (hidden curriculum), misalnya kerjasama, sikap empati mau mendengarkan orang lain, menghargai dan sikap orang lain yang dapat membuahkan kecerdasan emosional.
2.5.3 Lingkungan Teman Sebaya Ketika anak-anak memasuki masa remaja, perubahan hakikat persahabatan juga terjadi. Pada umumnya, jumlah waktu yang dihabiskan bersama teman meningkat tajam, remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebaya mereka daripada bersama anggota keluarga atau sendirian, menurut Ambert (1997) dalam Slavin (2011).
Universitas Sumatera Utara
14
Remaja yang mempunyai persahabatan yang memuaskan dan harmonis juga melaporkan tingkat harga diri yang lebih tinggi, kurang merasa kesepian, mempunyai kemampuan sosial yang lebih matang, dan bekinerja lebih baik di sekolah daripada remaja yang tidak mempu nyai persahabatan yang mendukung (Slavin, 2011). Selain teman-teman dekat mereka, kebanyakan remaja juga memberikan nilai yang tinggi kepada kelompok sebaya yang lebih luas sebagai sumber gagasan, nilai, persahabatan dan hiburan. Hakikatnya hubungan dengan teman sebaya pada masa remaja dicirikan berdasarkan status sosial dan pertemanan akrab sebaya. Status sosial, atau tingkat penerimaan teman oleh teman sebaya, dipelajari dalam kaitannya dengan kelompok status yang sama, yang diidentifikasikan pada masa anak- anak pertengahan. Seperti pada anak-anak usia sekolah dasar, remaja yang populer dan diterima dengan baik cenderung memperlihatkan penyelesaian konflik dan kemampuan akademis yang positif, perilaku prososial dan sifat kepemimpinan (Slavin, 2011).
2.5.4 Lingkungan Masyarakat Tanggapan positif dari lingkungan terhadap keadaan remaja akan menimbulkan rasa puas dan menerima keadaan dirinya, sedangkan tanggapan negatif dari lingkungan akan menimbulkan perasaan tidak puas pada dirinya dan individu cenderung tidak menyukai dirinya yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Sumiati,et.al, 2009).
Universitas Sumatera Utara
15
Lingkungan masyarakat menurut Sumiati,et.al (2009) terdiri dari: a.
Sosial Budaya Bagi remaja yang sedang dalam mencari identitas dan penyesuaian sosial,
situasi ini merupakan titik kritis, yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik kejiwaan pada sebagian remaja. Kebudayaan memberikan pedoman arah, persetujuan, pengingkaran, dukungan, kasih sayang, dan perasaan aman kepada remaja, tetapi mereka juga mempunyai keinginan untuk madiri yang berbeda dari tolak ukur orang dewasa. Mereka membuat kebudayaannya sendiri yang berbeda dari kebudayaan masyarakat pada umumnya. Kebudayaan yang menyimpang inilah yang dikenal sebagai kebudayaan anak muda (Youth culture). Nilai yang dominan dalam budaya anak muda adalah keunggulan dalam olahraga, disenangi teman, senang hura-hura, senang pesta, tidak dianggap pengecut,dsb. b.
Media Massa Kemajuan tekhnologi yang luar biasa membawa kegembiraan yang
menyenangkan serta wawasan yang lebih luas. Tetapi juga membawa kesedihan, betapa tidak, krena hubungan antara manusia bergeser menjadi hubungan antar mesin. Hubungan antar keluarja menjadi minim. Komunikasi dalam keluarga yang bisa menumbuhkan saling pengertian, kasih sayang, kerja sama menjadi surut. Tidak sekedar kehilangan waktu luang yang berharga, tetapi remaja lebih rugi karena menikmati program yang sering kurang mendidik, misalnya tayangan kekerasan dan kehidupan seksual.
2.6
Masalah Kesehatan Jiwa Remaja Pada masa transisi ini, kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang
ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi
Universitas Sumatera Utara
16
tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu. Melihat kodisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan atau norma yang ada di masyarakat. Diantaranya adalah bingung peran, kesulitan belajar, kenakalan remaja, perilaku seksual yang menyimpang (Sumiati, 2009). Adapun beberapa konflik ataupun masalah yang dialami oleh remaja adalah konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dan kebutuhan untuk bebas dan merdeka, konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan ketergantungan kepada orang tua, konflik antara kebutuhan seks dan agama serta nilai sosial, konflik antara prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh remaja ketika kecil dahulu dengan prinsip dan nilai yang dilakukan oleh orang dewasa di lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari, konflik menghadapi masa depan (Jahja, 2011).
2.6.1 Bingung Peran Bingung
peran
adalah
karakteristik
penyimpangan
perilaku
yang
menunjukkan terjadinya resolusi negatif pada seorang remaja ketika mengalami bingung, ragu-ragu dan perilaku anti sosial. Penyebab terjadinya penyimpangan perkembangan psikososial/bingung peran adalah tidak menemukan ciri khas (kekuatan dan kelemahan) dirinya, tidak diterima lingkungan pada setiap tahapan usia. Masalah-masalah yang sering di hadapi remaja, diantaranya adalah keliru dengan peran dan tanggung jawab dirinya sendiri, sering merasa disalahkan, merasa dirinya di layani secara tidak adil, tidak di pedulikan, sukar memahami emosi dirinya sendiri, susah membuat keputusan (Sumiati,et.al, 2009).
Universitas Sumatera Utara
17
Usaha remaja untuk memahami diri bukan “sejenis rasa tidak nyaman akibat menjadi dewasa”. Tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam masyarakat. “Krisis identitas” ini jarang teratasi pada masa remaja. Remaja tidak membentuk identitas mereka dengan meniru orang lain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi dan menyintesis identifikasi lebih awal ke dalam “struktur psikologi baru yang lebih besar”, Menurut Erikson (1950) dalam Papalia (2011). Ciri-ciri individu yang memiliki identitas diri yakni individu tersebut memiliki karakteristik seperti konsep diri, evaluasi diri, harga diri, efikasi diri, kepercayaan
diri,
tanggung
jawab,
komitmen,
ketekunan,
kemandirian
(Dariyo,2004). a.
Konsep diri, yakni gambaran diri tentang aspek fisiologis maupun
psikologis yang pengaruh pada perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan orang lain. Sejauh mana individu menyadari dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan yang ada pada dirinya, maka akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya. Kalau dia mampu menerima kelebihan dan kekurangan tersebut, dalam diri individu akan tumbuh konsep diri positif, sebaliknya bagi yang tak mampu menerimanya, maka cenderung menumbuhkan konsep diri yang negatif. Konsep diri yang baik, akan mempengaruhi kemampuan individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik. Sebaliknya, yang konsep dirinya negatif, cenderung menghambat dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya.
Universitas Sumatera Utara
18
b.
Evaluasi diri, penerimaan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
individu yang baik, berarti ia memiliki kemampuan untuk menilai, menaksir, mengevaluasi potensi diri sendirinya. Kemampuan evaluasi diri tumbuh karena ada kesadaran akan segala potensi yang dimilikinya. Justru mereka yang memiliki konsep diri yang baik, karena memang ia telah mampu mengevaluasi/ menilai aspek-aspek dalam dirinya. c.
Harga diri, seseorang yang memiliki harga diri yang baik akan dapat
menghargai diri secara proporsional. Ia tidak akan mengukur dirinya lebih tinggi dari yang seharusnya, kalau memang saat ini belum saatnya. Namun penghargaan dirinya tidak serendah dari apa yang seharusnya. penghargaan diri yang wajar dan proporsional merupakan tindakan yang tepat bagi seseorang individu yang mempunyai identitas diri matang. d.
Efikasi-diri, kemampuan menyadari, menerima dan mempertanggung
jawabkan semua potensi, keterampilan atau keahlian secara tepat. Orang yang memiliki self-efficacy, akan menempatkan diri pada posisi yang tepat. Efikasi diri akan mendorong individu untuk menghargai dan menempatkan diri pada posisi yang
tepat.
Karena
itu,
ia
tahu
dimana
dan
kapan
ia
harus
mempertanggungjawabkan kapasitas bakat-bakatnya dengan baik. e.
Kepercayaan diri ialah keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki
kemampuan dan kelemahannya, dan dengan kemampuan tersebut ia merasa optimis dan yakin akan mampu menghadapi masalah dengan baik. Dengan kepercayaan diri, seseorang dapat berfikir dan bertindak antisipatid, artinya apa yang dipikirkan cenderung melihat kearahg masa depan.
Universitas Sumatera Utara
19
f.
Tanggung
jawab,
seseorang
yang
bertanggung
jawab
biasanya
melaksanakan kewajiban dan tugas-tugasnya sampai selesai. Ia tidak akan mundur atau melarikan diri dari tanggung jawab tersebut. Dengan selesainya tanggung jawab tersebut akan menumbuhkan harga diri, kebanggaan dan kepuasan batin, kesenangan, dan kebahagiaan hidup. g.
Komitmen, yakni tekad atau dorongan internal yang kuat untuk
melaksanakan suatu janji, ketepatan hati yang telah disepakati sebelumnya sampai benar-benar selesai dengan baik. h.
Ketekunan, untuk meakukan suatu tanggung jawab dan komitmen sampai
tuntas, dibutuhkan sifat yang setia dan tekub untuk tetap bertahan pada kewajibannya. i.
Kemandirian, merupakan salah satu sifat dalam diri orang yang memiliki
identitas diri (jati diri). Kemandirian sifat yang tidak bergantung pada diri orang lain. Ia akan berusaha menyelesaikan masalah dalam hidupnya sendiri. Ada 4 status identitas remaja menurut James Marcia dalam Papalia (2011), yaitu: 1.
Identity Achievement (krisis yang mengarah kepada komitmen). Seorang
individu dikatakan telah memiliki identitas (jati diri), kalau dalam dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik. Justru, adanya krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun dalam kenyataannya, ia harus mengalai kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari dari upaya untuk mewujudkan potensi pribadinya.
Universitas Sumatera Utara
20
2.
Foreclosure (komitmen tanpa krisis). Individu yang memiliki identitas ini,
ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiiki komitmen atau tekad. Sehingga orang ini, seringkali banyak angan-angan yang akan dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan masalah yang dihadapinya. Akibatnya, orang tipe ini ketika dihadapkan dengan masalah realitas, tidak akan mampu menghadapi dengan baik. 3.
Moratorium (krisis tanpa komitmen). Orang dengan tipe ini, ditandai
dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat (tekad untuk) menyelesaikan masalah krisis tersebut. Ada 2 kemungkinan tipe orang ini yaitu, individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus diselesaikan tetapi ia tidak mau menyelesaikannya, dan individu yang memang tidak menyadari tugasnya namun juga tidak memiliki komitmen. 4.
Identity diffusion (tidak ada komitmen, tidak ada krisis). Orang tipe ini,
yaitu orang yang mengalami kebingungan dalam mencapai identitas. Ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki kemauan (tekad, komitmen) untuk menyelesaikannya.
2.6.2 Kesulitan Belajar Pelajar yang mengatur pembelajarannya sendiri menentukan target yang menantang dan menggunakan strategi yang tepat untuk mencapainya. Mereka berusaha keras, bertahan di hadapan kesulitan, dan mencari bantuan jika memang diperlukan. Siswa yang tidak yakin akan kemampuan mereka untuk sukses cenderung menjadi frustasi dan tertekan perasaan yang membuat kesuksesan sulit untuk dicapai. Beberapa faktor termasuk keyakinan dan praktik orang tua, status sosioekonomi, dan pengaruh teman sebaya, mempengaruhi kekuatan orang tua
Universitas Sumatera Utara
21
dalam menguatkan prestasi anak. Pengaruh teman sebaya mungkin dapat menjelaskan penurunan tren dalam motivasi dan prestasi akademis yang bagi banyak siswa dimulai pada awal masa remaja. Dalam studi longitudinal terhadap siswa yang memasuki sekolah menengah urban setelah tingkat ke enam, motivasi dan peringkat mengalami penurunan, secara rata-rata, sepanjang tingkat ketujuh. Akan tetapi, siswa dengan kelompok teman sebaya yang sangat menerima menunjukkan penurunan pada prestasi yang lebih sedikit dan menikmati sekolah, sedangkan mereka yang diasosiasikan dengan low achiever menunjukkan penurunan yang besar (Papalia,et.al, 2011). Penggunaan waktu, motivasi akademis dan keyakinan akan kecakapan diri mungkin memengaruhi cara remaja tersebut menggunakan waktu mereka. Sebagian di antara mereka tampak terlalu sibuk dengan aktivitas ekstrakkulikuler, pekerjaan rumah tangga, dan dan pekerjaan sampingan ketimbang harapan untuk mendapatkan peringkat yang baik. Tetapi banyak yang kekurangan waktu dapat dan benar-benar berhasil dalam studi, sedangkan banyak murid yang tampak memiliki banyak waktu luang justru ridak terlalu berprestasi (Papalia,et.al, 2011). Status sosioekonomis dan lingkungan keluarga. Status sosioekonomi bisa menjadi faktor kuat dalam prestasi melalui pengaruhmya terhadap atmosfer keluarga, pemilihan lingkungan sekitar, dan pada caraorang tua membesarkan anak. Anak-anak miskin, dengan orang tua yang tidak berpendidikan, memiliki kecenderungan yang lebih besar merasakan atmosfer negatif keluarga dan sekolah serta peristiwa yang menekan. Lingkungan yang dapat diberikan oleh keluarga secara umum menentukan kualitas pendidikan dan peluang terhadap pendidikan yang lebih tinggi, dan ketersediaan peluang seperti itu, bersama dengan sikap
Universitas Sumatera Utara
22
kelompok teman sebaya lingkungan sekitar, dapat memengaruhi motivasi (Papalia,et.al, 2011). Keterlibatan orang tua dan gaya pengasuhan,. Orang tua dapat memengaruhi prestasi pendidikan anak dengan melibatkan diri dalam pendidikan anak; bertindak sebagai penasihat bagi anak-anak mereka dan memberi kesan pada guru dengan keseriusan target pendidikan keluarga. Siswa dengan orang tua yang amat terlibat dalam kehidupan sekolah dan memonitor perkembangan mereka biasanya menjadi siswa yang terbaik di sekolah menengah atas. Kesulitan belajar adalah suatu keadaan (kondisi) dimana remaja tidak menunjukkan prestasi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kesulitan belajar atau “Learning Disabilities (LD)” adalah hambatan atau gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akan akademik yang seharusnya dicapai. Hali ini disebabkan oleh gangguan di dalam sistem saraf pusat otak (gangguan neurobiologis) yang dapat minimbulkan gangguan perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman, dan berhitung. Bila tidak ditangani dengan baikdan benar akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosional (psikiatrik) yang akan berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidupnya di kemudian hari (Sumiati,et.al, 2009). Adapun faktor penyebab terjadinya kesulitan belajar adalah: a.
Faktor internal siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang muncul dari siswa
sendiri, yang meliputi gangguan atau kekurangan maupun psikofisik siswa yang terdiri dari bersifat kognitif (ranah cipta) seperti merendahkan kapasitas intele ktual/ inteligensi siswa, bersifat afektif (ranah rasa) antara lain labilnya emosi dan
Universitas Sumatera Utara
23
sikap, bersifat psikomotor (ranah karsa) anatara lain terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran ( mata dan telinga). b.
Faktor eksternal siswa, yakni hal-hal ata keadaan yang datang dari luar diri
siswa, yaitu kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas belajar siswa, yang terdiri dari lingkungan keluarga, contohnya ketidak harmonisan hubungan antara ayah dan ibu, rendahnya kehidupan ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat, contohnya wilayah perkampungan kumuh dan teman sepermainan yang nakal, lingkungan sekolah, contohnya kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang kurang berkualitas. Kesulitan belajar kadang-kadang tidak terdeteksi dan tidak dapat terlihat secara langsung. Setiap individu yang memiliki kesulitan belajar sangatlah unik. Seperti misalnya, seorang anak “dyslexia”, yang sulit membaca, menilis dan mengeja, tetapi sangat pandai dalam matematika. Pada umumnya, individu dengan kesulitan belajar memiliki intelegensi rata-rata bahkan diatas rata-rata. Seseorang terlihat “normal” dan tampak sangat cerdas tetapi sebaliknya ia mengalami hambatan dan menunjukkan tingkat kemampuan yang tidak semestinya dicapai dibandingkan dengan yang seusia dengannya.
2.6.3 Kenakalan remaja Kenakalan remaja adah salah satu masalah yang paling berbahaya pada masa remaja ialah permulaan kenakalan serius. Masalah tersebut jauh lebih umum ditemukan dikalangan pria daripada perempuan. Anak-anak nakal biasanya adalah orang yang berpencapaian rendah yang diberi sedikit alasan untuk percaya bahwa mereka dapat berhasil dengan mengikuti jalur yang ditentukan bagi mereka oleh
Universitas Sumatera Utara
24
sekolah. Kenakalan pada remaja sangat banyak merupakan fenomena kelompok. Tindakan yang paling nakal dilakukan dalam kelompok atau dengan dukungan aktif subkelompok yang nakal (Slavin, 2011). Kenakalan remaja adalah tingkah laku yang melampaui batas toleransi orang lain dan lingkungannya. Tindakan ini dapat merupakan perbuatan yang melanggar hak azasi manusia sampai melanggar hukum. Kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran situs sehingga tindakan kriminal, menurut Kartono (2003) dalam buku Sumiati,et.al (2009). Remaja terlibat dalam perilaku kekerasan diakibatkan karena ketidak dewasaan otak para remaja, khususnya prefrontal cortex, yang merupakan bagian penting untuk melakukan menilai dan memicu kekerasan. Remaja yang berkecenderungan melakukan kekerasan sering kali menolak mendengarkan figur otoritas seperti orang tua dan guru; mengacuhkan perasaan dan hak orang lain; memperlakukan orang lain dengan tidak benar, bergantung kepada kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyelesaikan masalah, dan percaya bahwa kehidupan telah memperlakukan mereka dengan tidak adil (Papalia, 2011). Mereka sering kali tampak lebih tua dari teman sebaya mereka. Mereka berkelakuan buruk di sekolah seperti cut classes (cabut dari kelas) atau bolos sekolah, tidak naik kelas atau ditunda kenaikannya atau keluar dari sekolah,
Universitas Sumatera Utara
25
menggunakan alkohol,obat terlarang, bergabung dengan geng, berkelahi, mencuri, atau menghancurkan properti. Remaja lebih berkecenderungan lebih besar untuk melakukan kekerasan jika mereka memilih model panutan atau menjadi korban kekerasan, seperti pelecehan fisik atau tawuran antar kampung. Informasi kekerasan dari media berpengaruh signifikan terhadap pandangan pemirsa tentang pembenaran tindak kekerasan (Papalia, 2011). Bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat, yaitu: kenakalan terisolir (delinkuensi terisolir), kenakalan neurotik (delinkuensi neurotik), kenakalan psikotik (delinkuensi psikopatik), dan kenakala defek moral (delinkuensi defek moral). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja adalah identitas, kontrol diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, proses keluarga, pengaruh teman sebaya, kelas sosial ekonomi, kualitas lingkungan sekitar tempat tingggal. menurut Kartono (2003) dalam Sumiati,et.al (2009). Menurut Willis, 2014. Ada empat sumberk kenakalan remaja yaitu faktorfaktor di dalam diri anak itu sendiri, faktor-faktor di rumah tangga, faktor-faktor di masyarakat, dan faktor-faktor yang berasal dari sekolah. 1.
Faktor-faktor di dalam diri anak itu sendiri. Terbagi atas
a.
Predisposing Factor, faktor-faktor yang memberi kecenderungan tertentu
terhadap remaja. Kecenderungan kenakalan adalah dari faktor bawaan bersumber dari kelainan otak. Menurut pemahaman Freudian (aliran psikoanalisis), bahwa kepribadian jahat (delinquent) bersumber dari id (bagian kepribadia yang bersumber dari hawa nafsu).
Universitas Sumatera Utara
26
b.
Lemahnya pertahanan diri, adalah faktor di dalam diri untuk mengontrol dan
mempertahankan diri terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan. Lemahnya kepribadian remaja disebabkan faktor pendidikan di keluarga. c.
Kurangnya kemampuan penyesuaian diri, keadaan ini amat terasa di dunia
remaja. Banyak remaja yang kurang pergaulan. Inti dari persoalannya adalah ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial, karena dengan mempunyai daya pilih dengan teman bergaul akan membantu pembentukan perilaku positif. Anak-anak yang terbiasa dengan pendidikan kaku dan dengan disiplin ketat dari keluarga akan menyebabkan masa remajanya juga kuku dalam bergaul, dan tidak pandai memilih teman yang bisa membuat doa berkelakuan baik. d.
Kurangnya dasar-dasar keimanan dalam diri remaja, agama adalah benteng
diri remaha dalam menghadapi berbagai cobaan yang datang padanya sekarang dan dimasa yang akan datang. Karena saat ini banyak orang yang berusaha agar agama remaja makin tipis. Orang-orang tersebut adalah kelompok sekuler dan orang-orang yang ingin agar para remaja tidak lagi menghiraukan agamanya. Oleh karena itu, pendidikan agama harus diberikan kepada remaja dengan menarik dan ridak membosankan. 2.
Faktor-faktor di rumah tangga Keluarga merupakan sumber utama atau lingkungan yang utama penyebab
kenakalan remaja. Hal ini disebabkan karena anak itu hidup dan berkembang permulaan sekali dari pergaulan keluarga yaitu hubungan antara orangtua dengan anak, ayah, dengan ibu dan hubungan anak dengan anggota keluarga lainnya.
Universitas Sumatera Utara
27
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Turner dan Helms (1995) dalam Dariyo (2004),sebagai berikut: a.
Kondisi keluarga yang berantakan (Broken Home) Kondisi
keluarga
yang
berantakan
merupakan
cermin
adanya
ketidakharmonisan individu (suami-istri atau orang tua anak) dalam lembaga rumah tangga. Kondisi ini membuat anak tidak merasakan perhatian, kehangatan kasih sayang, ketntraman, maupun kenyamanan dalam lingkungan keluarganya. Akibatnya mereka melarikan diri untuk mencari kasih sayang dan perhatian dari pihak lain, dengan cara melakukan kenakalan-kenakalan di luar rumah. b.
Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua Kebutuhan hidup seorang anak tidak hanya bersifat materi saja, tetapi lebih
dari itu. Ia juga memerlukan kebutuhan psikologis untuk pertumbuhan dalam perkembangan kepribadiannya. Anak yang kurang diperhatikan bahkan kasih sayang akan cenderung memiliki dampak buruk bagi perkembangan pribadi dan perlakuannya. Misalnya, melakukan tindakan yang melanggar norma masyarakat (mencuri, merampok, menodong, mabuk-mabukan di jalan, sambil mengendarai motor/ mobil). c.
Status sosial ekonomi orang tua rendah Kehidupan sosial-ekonomi yang mapan merupakan salah satu penunjang
yang membentuk kebahagian hidup keluarga. Kehidupan ekonomi yang terbatas atau kurang, menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan makanan yang bergizi, kesehatan, pendidikan, dan sarana penunjangnya, dan bahkan orangtua pun kurang optimal dalam memberikan perhatian kasih sayang pada anak. Hal ini dapat terjadi karena seluruh waktu dan
Universitas Sumatera Utara
28
perhatiannya, cenderung tercurah untuk bekerja agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya. Tiadanya pekerjaan yang baik, akan menyebabkan mereka dapat membentuk kelompok pengangguran dan mungkin menyalurkan energinya untuk melakukan hal-hal yang melanggar norma masyarakat. d.
Penerapan disiplin keluarga yang tidak tepat Sebagian dari oranng tua beranggapan bahwa penerapan disiplin terhadap
anak harus dilakukan secara tegas, keras, tidak kenal kompromi serta tidak mengenal belas kasihan kepada anaknya. Ketika anak sering mendapatkan perlakuan kasar dari orang tuanya, mungkin anak akan patuh dihadapan orang tuanya. Akan tetapi kepatuhan itu semu dan sementara, mereka cenderung akan melakukan tindakan-tindakan yang negatif, sebagau pelarian maupun protes terhadap orang tuanya. 3.
Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat Masyarakat dapat pula menjadi penyebab bagi berjangkitnya kenakalan
remaja, terutama sekali di lingkungan masyarakat yang kurang sekali melaksanakan ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Dapat juga timbul konflik dalam diri para remaja sendiri, yakni norma-norma yang dianutnya dari rumah (keluarga) bertentangan dengan norma masyarakat yang menyimpang dari norma keluarga. 4.
Faktor-faktor kenakalan yang bersumber dari sekolah Sekolah merupakan tempat pendidikan kedua setelah rumah tangga. Karena
itu ia cukup berperanan dalam membina anak untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
29
2.6.3 Perilaku Seksual Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Karakteristik seksual masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda (Sumiati,et.al, 2009). Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksual dapat berupa orang baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri, sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah, dan agresi (Sumiati,et.al, 2009). Menurut Willis (2014), adapun beberaapa ciri utama dari pada masa remaja atau pubertas yang sehubungan dengan masalah seksual yaitu, pertama, ciri primer, yaitu matangnya organ seksual yang ditandai dengan adanya menstruasi (menarche) pertama pada anak wanita dan produksi cairan sperma pertama (noctural seminal emission) pada anak laki-laki. Kedua, ciri sekunder. Meliputi perubahan pada bentuk tubuh pada kedua jenis kelamin itu. Anak wanita mulai tumbuh buah dada dan tumbuhnya bulu-bulu pada alat kelamin dan ketiak. Pada anak laki-laki terjadi perubahan otot, bahu melebar, suara mulai berubah, tumbuh bulu-bulu pada alat kelamin dan ketiak, serta kumis pada bibir. Di samping itu
Universitas Sumatera Utara
30
terjadi pula pertambahan berat badan pada kedua jenisa kelamin itu. Ketiga, ciri tersier. Yang dimaksud dengan ciri tersier ialah ciri-ciri yang tampak pada perubahan tingkah laku. Perubahan itu erat juga sangkut pautnya dengan perubahan psikis, yaitu perubahan tingkah laku yang tampak seperti perubahan minat, antara lain minat belajar berkurang, timbul minat terhadap jenis kelamin lainnya, juga minat terhadap kerja menurun. Kehidupan seksualitas remaja, istilah seks lebih tepat untuk menunjukkan alat kelamin. Namun, seringkali masyarakat umum (awam) memiliki pengertian bahwa istilah seks lebih mengarah pada bagaimana masalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis kelamin. Remaja memasuki usia subur dan produktif. Artinya secara fisiologis, mereka telah mencapai kematangan organorgan reproduksi, baik remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Kematangan organ reproduksi tersebut, mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Dariyo, 2004). Menurut Dariyo (2004), hal-hal yang mendorong remaja melakukan hubungan seksual di luar pernikahan adalah diantaranya adalah: 1.
Hubungan seks, bentuk penyaluran kasih sayang yang salah dalam masa
pacaran. Seringkali remaja mempunyai pandangan yang salah bahwa masa pacaran merupakan masa di mana seseorang boleh mencintai dan dicintai kekasihnya. Dalam hal ini, bentuk ungkapan rasa cinta (kasih sayang) dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya pemberian hadiah bunga, berpelukan, berciuman, dan bahkan melakukan hubungan seksual. Dengan anggapan yang salah ini, maka juga akan menyebabkan tindakan yang salah.
Universitas Sumatera Utara
31
2.
Kehidupan iman yang rapuh. Kehidupan beragama yang baik dan benar
ditandai dengan pengertian, pemahaman dan ketaatan dalam menjalankan agama dengan baik, tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Dalam keadaan apa saja, orang yang taat beragama, selalu dapat menempatkan diri dan mengendalikan diri agar tidak berbuat hal-hal yang dapat bertentangan dengan ajaran agama. Dalam hatinya, selalu ingat terhadap Tuhan, sebab mata Tuhan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia. Oleh sebab itu, ia tidak akan melakukan hubungan seksual dengan pacarnya sebelum menikah secara resmi. 3.
Faktor kematangan biologis, dapat diketahui bahwa masa remaja ditandai
dengan adanya kematangan biologis. Dengan kematangan biologis, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi sebagaimana layaknya orang dewasa lainnya, sebab fungsi organ seksualnya bekerja secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan mudah terpengaruh oleh stimulasi yang merangsang gairah seksualnya, misalnya dengan melihat film porno, cerita cabui. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan mengendalikan diri, cenderung berakibat negatif, yakni terjadinya hubungan seksual pranikah di masa pcaran remaja. Adapun beberapa penyimpangan seks pada remaja adalah onani; kelainan perilaku seks biasanya dilakukan laki-laki yang merasa ingin memenuhi kebutuhan seksnya, dilakukan dengan cara mengeluarkan air mani oleh tangan. Biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau pada waktu tidur. Onani dapat megakibatkan lemah syahwat dan bahkan melemahkan sperma sehingga tidak sanggup membuahi sel telur wanita (Willis, 2014).
Universitas Sumatera Utara
32
Homoseksual, kelainan perilaku seks yang dilakukan oleh dua individu yang berjenis kelamin sama dinamakan homoseksual. Laki-laki dengan laki-laki dinamakan male sexuality atau lebih umum disebut homoseksual saja. Wanita dengan wanita disebut dengan lesbian. Pelacuran, perilaku seks bebas dilakukan secara tidak sah menurut hukum dan agama, yang terjadi di dalam masyarakat. Pornografi dan pornoaksi, hal-hal yang berusaha merangsang dorongan seks dengan tulisan atau gambar. Pengaruhnya cepat meluas terutama dikalangan remaja yang sedang berada pada masa pubertas. Hal ini bisa berakibat menimbulkan krisis moral dikalangan remaja itu, terutama apabila dasar-dasar agama kurang sekali dilatih sejak kecil. Istilah pornoaksi adalah baru. Mungkin tidak ada di dalam kamus. Akan tetapi maksudnya adalah aksi atau perbuatan yang merangsang orang lain terutama lawan jenis (Willis, 2014). Bestiality, mengadakan hubungan seks dengan binatang. Ini sering kejadian di daerah-daerah pertanian dimana jumlah wanita agak kurang. Gerontoseksual, kecenderungan melakukan hubungan kelamin dengan wanita-wanita yang lebih tua atau lanjut usia. Incest, hubungan kelamin terjadi antara dua orang diluar nikah sedangkan mereka adalah berkerabat dekat sekali (Willis, 2014).
Universitas Sumatera Utara