BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Status Kesehatan Pengertian sehat menurut WHO (1975) adalah suatu kondisi yang terbebas
dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial. Batasan kesehatan ini mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik, mental, dan sosial. Dalam UndangUndang No. 36 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 mengenai kesehatan, dikatakan sehat adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No. 36, 2009). Status kesehatan seseorang terwujud oleh ke empat dimensi kesehatan tersebut antara fisik, mental, sosial dan ekonomi yang saling memengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang. Pengertian sehat tersebut tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batasan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki dunia kerja, anak dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau lansia, berlaku arti produktif secara sosial. Misalnya produktif secara sosialekonomi bagi siswa sekolah atau mahasiswa adalah mencapai prestasi yang baik,
Universitas Sumatera Utara
sedang produktif secara sosial-ekonomi bagi lansia atau para pensiunan adalah mempunyai kegiatan sosial dan keagamaan yang bermanfaat, bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain atau masyarakat (Darmojo, 1999). Keempat dimensi kesehatan tersebut saling memengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok atau masyarakat. Seseorang yang sehat fisik nya belum tentu sehat mental nya, demikian juga orang yang sehat fisik dan mental nya belum tentu sehat spiritual nya, sebaliknya orang yang sehat fisik, mental dan spiritual nya belum tentu sehat sosial nya. Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung ke empat aspek. Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut: 1. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan. 2. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual. a. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran. b. Emosional
sehat
tercermin
dari
kemampuan
seseorang
untuk
mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya. c. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana
Universitas Sumatera Utara
seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya. 3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai. 4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Pengertian sehat lansia mengacu pada rumusan sehat WHO tersebut yang maknanya bagi lansia adalah kemandirian dalam perikehidupan biopsikososiologiknya. Seorang lansia untuk terbebas sama sekali dari penyakit dan kelemahan adalah merupakan hal yang hampir mustahil. Namun yang terpenting, apapun penyakit yang menyertai lansia, penyakit itu dapat dikelola dengan baik sehingga lansia mampu mandiri secara paripurna (bio-psiko-sosiologik).
Secara
sosial pengertian sehat bagi lansia diartikan mempunyai kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya (Darmojo, 1999; Maryam, 2008). Dalam penelitian ini peneliti hanya mengambil 2 asfek fisik (badan) dan asfek mental dalam status kesehatan lansia, dimana kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit atau tidak ada keluhan dan memang secara klinis tidak adanya penyakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak ada gangguan fungsi tubuh. Sedangkan kesehatan mental dapat terlihat dari 3 komponen, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
pikiran, emosional dan spiritual (Notoatmodjo, 2007). Status kesehatan dikatakan baik apabila sewaktu diadakan pemeriksaan secara fisik tidak ada keluhan penyakit, tekanan darah normal, status mental emosional negatif (tidak ada gangguan) sesuai dengan data yang didapatkan dari KMS lansia. Sebaliknya status kesehatan lansia dikatakan tidak baik adalah apabila kondisi kesehatan lansia secara menyeluruh baik fisik maupun mental sewaktu diadakan pemeriksaan kesehatan fisik ada keluhan penyakit, tekanan darah tidak normal (tekanan darah tinggi/rendah), status mental emosional positif, ada gangguan (Nugroho, 2008). Menurut Mc. Kenzie (2006), banyak yang beranggapan bahwa status kesehatan lansia telah membaik selama beberapa tahun ini karena banyak lansia yang hidup lebih lama, namun di sisi lain menurut Darmojo (1999) penduduk lansia sangat rentan terhadap infeksi, mudah terserang penyakit. Faktor resiko yang paling konsisten dari sakit dan kematian untuk seluruh penduduk adalah usia, dan secara umum, status kesehatan lansia tidak sebaik saat mereka muda. Seperti sudah dikemukakan di atas oleh Nugroho (2008) bahwa pada lansia akan terjadi berbagai kemunduran organ tubuh. Jadi yang diharapkan pada lansia walaupun usia sudah lanjut, harus tetap menjaga kesehatan dengan memperhatikan gaya hidup seperti pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan istirahat, tidak merokok dan lain-lain (Sediaoetama, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Indikator Status Kesehatan Indikator status kesehatan lansia ataupun gambaran kondisi kesehatan lansia dapat dilihat dari mortalitas (angka kematian), morbiditas (angka kesakitan) dan Perilaku Kesehatan serta pilihan Gaya Hidup. 1. Mortalitas (Angka Kematian) Pada tahun 1998, lima penyebab utama kematian untuk lansia berdasarkan jumlah kematian adalah: penyakit Jantung, Kanker, Stroke, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dan Pneumonia serta Influenza. Penyakit Jantung, Stroke, dan PPOK merupakan penyebab kematian tertinggi, hampir tujuh dari setiap sepuluh kematian. Selama 50 tahun terakhir angka mortalitas keseluruhan lansia menurut usia secara kontinu menunjukkan penurunan. Alasan utamanya adalah menurunnya angka kematian akibat penyakit jantung dan stroke. Walaupun menurun, penyakit jantung tetap menjadi penyebab utama kematian untuk kelompok lansia, sekitar 35% dari seluruh kematian. Tidak seperti angka kematian untuk penyakit jantung dan stroke, angka kematian akibat kanker tetap sama setiap tahun. Peningkatan tertinggi angka kematian untuk lansia terjadi pada kasus Diabetes dan PPOK. Antara tahun 19801997, angka kematian menurut usia akibat Diabetes meningkat 32%, sementara akibat PPOK 57% (Depkes RI, 2008; Bustan, 2007; Mc. Kenzi, 2003). Makna penting penyebab utama lainnya terhadap kematian lansia bervariasi bergantung pada ras, etnis dan jenis kelamin. Pada tahun 1997, Diabetes merupakan penyebab utama ketiga untuk kematian di kalangan penduduk Indian Amerika dan penduduk asli Alaska serta yang keempat untuk orang Amerika keturunan Hispanik,
Universitas Sumatera Utara
sementara untuk ras lainnya pada urutan keenam. Penyakit Alzaimer menempati urutan kesembilan untuk kematian di kalangan orang Amerika kulit putih dan yang ke enam di kalangan wanita kulit putih usia di atas 85 tahun, tetapi tidak termasuk dalam sepuluh besar penyebab kematian untuk ras lainnya (Bustan, 2007). 2. Morbiditas (Angka Kesakitan) Mutu kehidupan lansia menurun jika lansia sering sakit, dan jika kondisi sering kronis atau cedera yang mengakibatkan selalu membatasi kemampuan. Jika lansia dapat mempertahankan kemandirian mereka tentu akan menghindari jasa perawatan yang mahal, misalnya belanja sendiri, masak sendiri makanan mereka, mandi dan berpakaian sendiri, dan berjalan serta menaiki tangga tanpa bantuan orang lain. Untuk lansia umur 70 tahun ke atas yang tidak dirawat, hampir sepertiganya mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan seperempatnya tidak dapat melakukan aktivitas sedikitnya satu dari aktivitas fisik (misalnya: berjalan seperempat mil, berjalan menanjak sepuluh langkah tanpa beristirahat, berdiri atau bertumpu pada kedua kaki selama dua jam duduk selama dua jam, membungkuk, berjongkok atau berlutut, menjangkau sesuatu yang tinggi, menjulurkan tangan seolah-olah hendak menjabat tangan orang dengan menggunakan jari-jari untuk menggenggam atau memegang, mengangkat atau membawa sesuatu seberat 5 kg). Keterbatasan aktivitas fisk pada lansia semakin bertambah seiring dengan semakin bertambahnya usia dan wanita lebih berkemungkinan daripada pria untuk mengalami keterbatasan fisik. Berkurangnya aktivitas itu dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe, kondisi kronis dan kerusakan.
Universitas Sumatera Utara
3. Prilaku Kesehatan dan Pilihan Gaya Hidup Prilaku kesehatan dan faktor sosial merupakan hal yang memengaruhi lansia dalam hal membantu lansia memelihara kesehatan dan menjalani hidup sehari-hari. Beberapa lansia percaya bahwa mereka terlalu tua untuk mendapatkan manfaat apapun dari perubahan perilaku kesehatan mereka. Hal itu tentu saja tidak benar, tidak pernah ada kata terlambat untuk melakukan perubahan untuk kebaikan. Pada umumnya lansia memiliki lebih banyak perilaku kesehatan yang baik daripada orang yang lebih muda. Lansia akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Pada tahun 1995, didapatkan data bahwa 28% pria lansia dan 39% wanita lansia lebih banyak duduk daripada mereka yang aktif, tipe aktivitas yang paling umum dilakukan adalah aktivitas ringan sampai menengah, misalnya berjalanjalan, berkebun, dan melemaskan diri (Koswara, 2011). Berikut ini adalah patofisiologi dari beberapa penyakit degeneratif pada lansia, yaitu: a. Diabetes Mellitus (DM). Perubahan gaya hidup dan pola makan meningkatkan timbulnya penyakit degeneratif, seperti Diabetes Melitus (DM), Hipertensi dan Jantung Koroner. Prevalensi penderita DM di Indonesia diperkirakan mencapai 5 juta pada tahun 2020 (Bustan, 2007). Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2003, DM adalah penyakit kronik yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah, membutuhkan perawatan medis berkelanjutan dan memerlukan kerjasama dengan
Universitas Sumatera Utara
penderitanya untuk dapat mengelola secara mandiri, dalam rangka mencegah komplikasi akibat penyakitnya. Keadaan ini disebabkan karena adanya faktor yang menghambat kerja insulin atau jumlah insulin menurun. Insulin merupakan salah satu hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas. Hormon insulin berfungsi mengendalikan kadar gula darah dalam tubuh. Bila kadar gula berlebihan akan menimbulkan hiperglikemia, sedangkan pada kekurangan atau cukup tetapi tidak efektif akan menyebabkan hipoglikemia. Selanjutnya menurut ADA (2003), dikenal ada 4 jenis DM, yaitu DM tipe I disebabkan karena kerusakan sel beta pancreas sehingga penderita mengalami kekurangan insulin, DM tipe II disebabkan karena gangguan pengeluaran insulin secara progresif dengan latar belakang resistensi insulin, DM tipe khusus disebabkan karena beberapa hal, misalnya gangguan genetik fungsi sel beta pancreas, gangguan genetik kerja insulin, karena obat-obatan atau zat kimia, dan DM Gestasional, yaitu DM pada kehamilan. Penyebab penyakit DM terutama karena faktor keturunan, namun keturunan DM belum tentu akan mengidap penyakit DM, karena ada kemungkinan bakat DM ini tidak tampak secara klinis bila tidak ada faktor lain, seperti kurang gerak, makanan berlebihan, kehamilan, kekurangan hormon insulin yang disebabkan oleh pankreatomi atau pankreatitis, dan hormon insulin yang terpacu berlebihan. Pembagian DM tersebut berdasarkan insulin terbagi atas dua jenis yaitu: IDDM (insulin dependent diabetes melitus) dan NIDDM (Non-insulin dependent diabetes melitus). IDDM atau juvenil DM merupakan penyakit DM yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
karena kerusakan sel beta penghasil insulin, sehingga dalam pengobatannya selalu tergantung pada ketersediaan insulin. DM IDDM biasanya timbul sebelum usia 40 tahun, sering mengalami komplikasi ketosis, dan biasanya dihubungkan dengan morfologi sel beta dan kandungan insulin yang normal bila sel beta tidak mengalami kelelahan. Hampir semua penderita dengan DM IDDM badannya gemuk dan toleransi glukosanya kembali normal atau mendekati normal bila berat badannya dikurangi. Sebaliknya DM NIDDM merupakan penyakit DM yang terjadi karena pola makan yang tidak seimbang sehingga dalam pengobatannya tidak selalu tergantung pada ketersediaan insulin tetapi dengan merubah pola makannya. NIDDM biasanya timbul setelah usia lanjut. Hampir semua penderita DM NIDDM berat badannya kurus (Bustan, 2007). Gejala khas seperti poliuria, polidipsi, polifagia, rasa lemas, dan turunnya berat badan merupakan petunjuk penting disamping rasa kesemutan, gatal, dan mata kabur serta impotensia pada pria dan pruitosvulvae pada wanita. Dibandingkan dengan non-DM, penderita DM mempunyai kecenderungan mengidap penyakit menahun seperti trombosis serebri, kebutaaan, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, selulitis, dan gangren. Berdasarkan fenomena tersebut perlu adanya tindakan preventif terhadap timbulnya penyakit degeneratif terutama hipertensi dan DM. Salah satu usaha untuk mengatasi penyakit tersebut adalah dengan mengatur diet pada pasien atau penderita dan latihan fisik sederhana yang semua bertujuan meminimalkan komplikasi yang mungkin timbul. Tubuh manusia membutuhkan aneka ragam makanan untuk
Universitas Sumatera Utara
memenuhi semua zat gizi. Agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan zat gizi, perlu diterapkan kebiasaan makanan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu agar tercapainya kondisi kesehatan yang prima (Depkes, 2008): (Supariasa, 2002). Mengatur menu makanan sangat dianjurkan bagi penderita DM untuk menghindari dan membatasi fluktuasi kadar glukosa darah yang tidak terkontrol sehingga penderita tidak mengalami hipoglikemia atau koma karena hiperglikemia. Menurut Harvey (2003), tujuan terapi diet DM adalah untuk mencapai kadar gula darah normal, melindungi jantung, mengontrol kadar kolesterol dan tekanan darah, mencapai berat badan ideal, mencegah timbulnya komplikasi. Menu makanan yang dianjurkan adalah karbohidrat dari biji-bijian, kacang-kacangan, sayuran, buah, dan susu rendah lemak atau tanpa lemak. Karbohidrat dan lemak tidak jenuh sebaiknya menyediakan 60-70% kebutuhan kalori. Lemak jenuh harus dihindari. Protein dibatasi, menyediakan 15-20 % kebutuhan kalori. Protein ikan dan kedelai lebih baik bagi penderita DM. Kebutuhan gula dari makanan sebaiknya dipenuhi dari buahbuahan dengan jumlah sesuai kebutuhan (Bustan, 2007). b. Hipertensi Hipertensi adalah suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah melebihi batas normal, yang diperoleh dari dua kali pengukuran tekanan darah pada dua kesempatan yang berbeda. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Hipertensi bisa menyerang semua usia. Jenis kelamin laki-laki lebih cenderung mengalami hipertensi dari pada wanita. Derajat hipertensi dapat dibagi menjadi
Universitas Sumatera Utara
ringan, sedang, dan berat. Pembagian tersebut digunakan untuk menentukan intervensi yang akan digunakan. Semua tingkat hipertensi membutuhkan penanganan yang komprehensif, bukan mengandalkan pengobatan medis semata. Intervensi dalam hal pola makan dan aktivitas fisik/olah raga juga memegang peranan penting. Berbagai faktor diketahui dapat menyebabkan terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi esensial). Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) pembuluh darah tepi dan peningkatan volume aliran darah. Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui berbagai mekanisme. Faktor penyebab utama terjadinya hipertensi adalah aterosklerosis yang didasari dengan konsumsi lemak berlebih. Oleh karena itu untuk mencegah timbulnya hipertensi adalah mengurangi konsumsi lemak berlebih disamping pemberian obatobatan bila perlu. Pembatasan konsumsi lemak sebaiknya dimulai sejak dini sebelum hipertensi muncul, terutama pada orang yang mempunyai riwayat keturunan hipertensi dan pada orang menjelang usia lanjut. Sebaiknya mulai umur 40 tahun pada wanita agar lebih hati-hati dalam mengkonsumsi lemak pada usia mendekati menopause (Anie Kurniawan, 2002). Hal ini ditegaskan lagi oleh Federal Bureau of Prison (2004), bahwa saat hipertensi sudah terdiagnosis, maka modifikasi gaya hidup harus menjadi terapi awal. Mengurangi berat badan bagi yang kegemukan, membatasi asupan garam, dan melakukan latihan fisik/olah raga adalah bagian dari modifikasi gaya hidup. Pembatasan kolesterol dan lemak jenuh harus dilakukan. Sementara
Universitas Sumatera Utara
asupan kalium dan kalsium harus tetap ada, yaitu dengan banyak mengkonsumsi buah dan sayuran. Di sisi lain, rokok dan alkohol harus dihindari karena akan meningkatkan risiko timbulnya komplikasi. Hipertensi
merupakan
keadaan
yang
bersifat
kronis,
membutuhkan
pengobatan kontinyu, dan sering menimbulkan berbagai komplikasi. Penyakit tersebut juga dikenal sebagai silent killer, karena jika tak terdeteksi dengan baik, sewaktu-waktu bisa menimbulkan keadaan emergensi seperti stroke, penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal (Dennysantoso, 2011): (Bustan, 2007). C. Penyakit jantung (cardiovasculer) Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit penyebab kematian utama di negara maju. Namun ternayata penyakit ini sekarang juga mulai mendominasi angka mortalitas dan morbiditas negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi penyakit kardiovaskular pada tahun 1972 adalah 1,1 per 1000 penduduk dan meningkat 5 kali menjadi 5,9 per 1000 penduduk pada tahun 1980. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1986, 1992, dan 1995 menunjukkan adanya peningkatan proposi kematian akibat penyakit kardiovaskular masing-masing 9,7%, 16,4%, dan 24,5%. Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa proporsi penyakit kardiovaskular sebesar 24,5% menduduki tempat teratas sebagai penyebab kematian. Penyakit tersebut timbul karena berbagai faktor risiko, seperti kebiasaan merokok, hipertensi, dislipidemia (konsumsi makanan yang banyak mengandung lemak), DM, usia lanjut, dan riwayat keluarga (Annie Kurniawan, 2002). Menurut Maria C. Linder, Ph.D dari California State University, Fullerton, CA, masih menjadi
Universitas Sumatera Utara
perdebatan tentang pengaruh faktor diet dan cara hidup terhadap terjadinya penyakit jantung, namun beberapa penelitian menduga bahwa penyebab utama terjadinya penyakit jantung adalah karena pola makan yang berhubungan dengan diet seseorang, walaupun faktor usia juga berperan, karena pada usia lanjut pembuluh darah cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang. Pembuluh darah jantung yang mengalami ateroklerosis, akan mengalami peningkatan resistensi. Hal ini akan memicu jantung untuk meningkatkan denyutannya agar aliran darah dapat mencapai seluruh bagian tubuh. Merokok, tekanan darah tingi, dan peningkatan kadar kolesterol plasma/serum adalah faktor risiko utama terjadinya aterosklerosis, sedangkan penyebab sekunder adalah stres, kurang gerak, pola makan yaitu terlalu banyak mengkonsumsi lemak yang akan meningkatkan trigiserida plasma ditambah dengan konsumsi kolesterol. Rasio kolesterol HDL (high density level) dengan LDL (low density level) berbanding terbalik dengan terjadinya aterosklerosis dan ini lebih berarti daripada hubungan dengan total kolesterol serum LDL yang berlebihan memicu terjadinya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah. Selain konsumsi lemak yang berlebih, kekurangan konsumsi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis, seperti vitamin C, vitamin E, dan vitamin B6 yang dapat meningkatkan kadar homosistein (Bustan, 2007): (Sunita, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Gaya Hidup 2.2.1. Pengertian Gaya Hidup Menurut Kotler (2002), Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Minor dan Mowen gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana orang membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu (Tamher, 2009). Gaya hidup individu, yang dicirikan dengan pola perilaku individu, akan memberi dampak pada kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang lain. Dalam kesehatan, gaya hidup seseorang dapat diubah dengan cara memberdayakan individu agar merubah gaya hidupnya, tetapi merubahnya bukan pada si individu saja, tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi kehidupan yang memengaruhi pola perilakunya. Dan tidak ada aturan ketentuan baku tentang gaya hidup yang berlaku untuk semua orang. Budaya, pendapatan, struktur keluarga, umur, kemampuan fisik, lingkungan rumah dan lingkungan tempat kerja yang berbeda, menciptakan berbagai gaya yang berbeda pula ( Hadywinoto, 1999). Dalam Deklarasi Vientiane dikatakan gaya hidup adalah sebagai praktek perilaku dan praktek sosial yang mendukung kesehatan dan merupakan cerminan dari nilai-nilai dan jati diri dari kelompok dan masyarakat dimana penduduk hidup dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memenuhi kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan fisik (Darmojo, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Belloc & Breslow (1972), yang termasuk gaya hidup sehat adalah: 1. Pola makan yang baik 2. Aktivitas fisik 3. Olahraga 4. Istirahat/tidur 7 – 8 jam perhari 5. Tidak merokok 6. Tidak minum-minuman keras 7. Tidak mengonsumsi obat-obatan (Watson, 2003). 2.2.2. Pola Makan Pola makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang yang memilih dan mengkonsumsi makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, budaya dan sosial. Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan kebiasaan makan setiap harinya (Sediaoetama, 2000). Menurut Sri (2007) yang mengutip pendapat Khumaidi dan Suhardjo menyatakan bahwa pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah berbagai informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai jumlah, jenis dan frekwensi bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk satu kelompok masyarakat tertentu (Supariasa dkk, 2002). Pola makan individu meliputi bahan makanan pokok (sumber karbohidrat), lauk pauk (sumber protein hewani dan nabati), sayur dan buah. Susunan makanan
Universitas Sumatera Utara
lansia harus mengandung semua unsur gizi yaitu: karbohidrat, protein, lemak, mineral, air dan serat dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan serta seimbang dalam komposisinya. Menurut Sediaoetama (2000) pola makanan yang tidak baik akan menimbulkan beberapa gangguan seperti kolesterol tinggi, tekanan darah meningkat dan kadar gula yang meningkat (Maryam, 2008; Sediaoetama, 2004). Belum ada standard menu untuk lansia di Indonesia. Tetapi sebagai bahan acuan dapat dibuat menu makanan lansia dalam sehari berdasarkan konsep “empat sehat lima sempurna” atau konsep “gizi seimbang”. Sebagai contoh menu berdasarkan “empat sehat lima sempurna” terdiri atas kelompok makanan pangan pokok (utama = sumber karbohidrat) yaitu nasi (1 porsi), kelompok lauk pauk (protein nabati atau protein hewani) misalnya daging (1 potong) atau tahu (1 potong), kelompok sayuran misalnya sayur bayam (1 mangkok), kelompok buah-buahan misalnya pepaya (1 potong) dan susu (1 gelas). Menu seimbang untuk lansia adalah susunan makanan yang mengandung semua unsur zat gizi yang dibutuhan lansia (Denysantoso, 2011; Nugroho, 2008). Kebutuhan akan serat yang dapat larut dalam air seperti apel, jeruk, pir, kacang merah dan kedelai juga perlu untuk lansia. Selain sebagai sumber serat, buah dan sayuran juga merupakan sumber vitamin dan mineral. Mengonsumsi Serat dan buah sangat penting untuk lansia untuk mencegah sulit buang air besar. Selain itu konsumsi susu dapat menambah kebutuhan air yang kurang pada lansia. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan makan untuk lansia adalah: porsi
Universitas Sumatera Utara
makan jangan terlalu kenyang akan lebih baik jika porsi makannya sedikit tapi sering, banyak minum air putih sekitar 7-8 gelas/hari dan batasi minum kopi dan teh, kurangi garam, makanan hendaknya mudah dicerna lembek tidak keras, hindari makanan yang terlalu manis, terlalu asin dan yang terlalu gurih/gorengan (Nugroho, 2008; Rimbana, 2004; Sunita, 2003; Supariasa, 2002). Berdasarkan konsep “gizi seimbang”, seperti tersebut di atas sebagai contoh menu lansia dalam sehari disajikan pada Tabel 2.1. berikut: Tabel 2.1. Pola Susunan Makanan Lansia dalam Sehari Berdasarkan Menu Seimbang
No. 1. 2.
Kelompok Makanan Bahan Pokok (Sumber Karbohidrat) Lauk pauk/sumber protein hewani/nabati
3.
Sayuran
4.
Buah-buahan
Jenis Pangan per Porsi Nasi (1 piring) Daging (1 potong) Tahu (1potong) Bayam (1 mangkok) Pepaya (1 potong )
Jumlah Porsi per Hari LakiLaki
Perempuan
3
2
1,5 5
2 4
1,5
1,5
2
2
5. Susu Skim (1 gelas) 1 Sumber : Ditjen Binkesmas, Depkes RI (1992); Leaflet Depkes RI(2008)
1
Menu ini disusun berdasarkan kecukupan energi dan gizi bagi lansia dalam sehari, 3 kali makanan pokok/utama dan 2 kali makanan selingan. Makanan selingan dikonsumsi untuk menunggu jadwal makanan pokok. Hal ini perlu dilakukan supaya jangan samapi perut kosong yang dapat menyebabkan peningkatan asam lambung.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Menu untuk Lansia dalam Sehari No.
Waktu makan
1.
Pagi
2.
Selingan
3.
Siang
4.
Selingan
Menu
Porsi
Sumber karbohidrat Protein Susu
1piring 1 potong 1 gelas
Makanan jajajan
1 potong
Karbohidrat Protein nabati/hewani Sayuran Buah-buahan
1piring 1 potong 1 mangkok 1 buah
Makanan jajanan
1 potong
Karbohidrat Protein nabati/hewani Sayuran Buah-buahan Sumber : Amini Nasoetion dan Dodik Briawan (1993) 5.
1piring 1 potong 1 mangkok 1 buah
Malam
Menurut Nugroho (2008) untuk menjaga agar menu harian tidak monoton, tetapi bervariasi maka perlu menyajikan berbagai bahan makanan pengganti atau penukar bagi kelompok makanan yang akan disajikan pada Tabel 2.3. Variasi dalam menu harian sangat diperlukan karena dapat menghindari rasa bosan dan baik bagi kelengkapan zat gizi (komplementasi zat gizi). Pola makanan yang tidak seimbang antara asupan dengan kebutuhan baik jumlah maupun jenis makanannya, seperti makan makanan tinggi lemak, kurang mengonsumsi sayuran, buah dan sebagainya juga makan makanan yang melebihi kebutuhan tubuh bisa menyebabkan obesitas atau kegemukan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Berbagai Kelompok Makanan Pengganti/Penukar Kelompok Makanan
Jenis Makanan
Sumber Karbohidrat
Nasi, jagung, ketan, bihun, biskuit, kentang, mie instan, mie kering, roti tawar, singkong, talas, ubi jalar, pisang nangka, makaroni Sumber Protein Hewani Daging ayam, daging sapi, hati (ayam atau sapi), telur unggas, ikan mas, ikan kembung, ikan sarden, bandeng, baso daging Sumber Protein Nabati Kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, tahu, tempe, oncom Buah-buahan Pepaya, belimbing, alpukat, apel, jambu biji, jeruk, mangga, nangka, pisang ambon, sawo, semangka, sirsak, tomat Sayuran Bayam, buncis, beluntas, daun pepaya, daun singkong, katuk, kapri, kacang panjang, kecipir, sawi, wortel, selada Makanan Jajanan Bika ambon, dadar gulung, getuk lindri, apem, kroket, kue pia, kue putu, risoles Susu Susu sapi, susu kambing, susu kerbau, susu kedelai, skim Sumber : Amini Nasoetion dan Dodik Briawan (1993) Kejadian penyakit infeksi dan kekurangan gizi dapat diturunkan jika pola makan seimbang sebaliknya penyakit degeneratif dan penyakit kanker meningkat jika pola makan tidak seimbang. Di beberapa daerah masalah penyakit infeksi masih menonjol sehingga dalam transisi epidemiologi kita menghadapi beban ganda (Double Burden), peningkatan kemakmuran diikuti oleh perubahan gaya hidup karena pola makan, di kota-kota besar berubah dari pola makanan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat, serat dan sayuran, ke pola makanan masyarakat barat yang komposisinya terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula dan garam tetapi rendah serat (Mien, 1998; Darmojo, 1999; Depkes RI, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut WHO (2003) meningkatnya industrialisasi, urbanisasi, mekanisasi yang terjadi di sebagian besar negara di dunia, berhubungan dengan perubahan makanan dan perilaku, termasuk ke dalamnya makanan yang tinggi lemak dan tinggi energi serta gaya hidup yang lebih santai, melakukan aktivitas bisa dibantu dengan peralatan yang tidak banyak mengeluarkan energi. Tingginya kandungan sukrosa dalam makanan meningkatkan tekanan arteri pada beberapa orang dengan tensi normal yang kemudian memberikan efek meningkatkan penyerapan NaCl (natrium klorida) pada orang yang memiliki tekanan darah normal dan hipertensi (Kotchen dan Jane,1995). Sukrosa mungkin dapat menurunkan kadar lemak darah dan memiliki efek merugikan pada toleransi glukosa (Willet, 1990). Konsumsi lemak mempunyai pengaruh kuat pada resiko penyakit kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner dan stroke, efek lain pada lipid darah, trombosis, tekanan darah tinggi (Tamher, 2009). Sedangkan menurut Willet (1990) efek dari protein dan jenis protein pada manusia belum jelas dan hubungan jenis protein dengan resiko PJK (Penyakit Jantung Koroner) diterima dengan sedikit perhatian pada studi-studi epidemiologi (Wirakusumah, 2002). Konsumsi natrium dari berbagai sumber makanan memengaruhi tekanan darah dan seharusnya membatasi konsumsi Natrium untuk mengurangi resiko hipertensi yang dapat berakibat pada Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan stroke, dianjurkan komsumsi tidak lebih dari 1,7 gr Natrium per hari. Konsumsi Serat,
Universitas Sumatera Utara
sayuran dan buah setiap hari akan memberi perlindungan terhadap PJK dan juga menurunkan tekanan darah dan stroke (Maryam, 2008). Menurut Depkes RI (2008), dengan bertambahnya usia seseorang, kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun. Kebutuhan kalori pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya kalori dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya: untuk jantung, usus, pernafasan, ginjal, dan sebagainya. Jadi kebutuhan kalori bagi lansia harus disesuaikan dengan kebutuhannya Gaya hidup pada zaman modern ini telah mendorong orang mengubah gaya hidupnya seperti makan makanan siap saji, makanan kalengan, sambal botolan, minuman kaleng, buah dan sayur yang memakai bahan pengawet, makanan kaya lemak, makanan kaya kolesterol. Gaya hidup seperti ini tidak baik untuk tubuh dan kesehatan karena tubuh kita menjadi rusak karena makan yang tidak sehat sehingga tubuh menjadi lembek dan rentan penyakit (Depkes RI, 2008). Pada lansia akan tejadi berbagai macam kemunduran organ tubuh, sehingga metabolisme di dalam tubuh menurun. Hal tersebut menyebabkan pemenuhan kebutuhan sebagian zat gizi pada sebagian besar lansia tidak terpenuhi secara adekuat dan lengkap. Untuk itu perlu mengonsumsi suplemen makanan tetapi harus sesuai dengan anjuran dokter (Depkes RI, 2008). 2.2.3. Aktifitas fisik Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara sederhana yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik,
Universitas Sumatera Utara
mental dan kualitas hidup yang sehat dan bugar (Mien, 1998). Perubahan gaya hidup ” sedentary” merupakan gaya hidup dimana gerak fisik yang dilakukan minimal sedang beban kerja mental maksimal. Keadaan ini besar pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan termasuk keadaan gizi seseorang dan selanjutnya berakibat sebagai penyebab dari berbagai penyakit. Latihan fisik secara teratur ke dalam kegiatan sehari-hari adalah penting untuk mencegah hipertensi dan penyakit jantung (Sunita, 2003). Gaya hidup juga bisa memengaruhi kerentanan fisik terutama karena kurangnya aktivitas fisik akibatnya timbul penyakit yang sering diderita antara lain diabetes melitus atau kencing manis, penyakit jantung, hipertensi, kanker atau keganasan dan lain-lain. Gaya hidup pada jaman modern ini telah mendorong orang mengubah gaya hidupnya seperti jarang bergerak karena segala sesuatu atau pekerjaan dapat lebih mudah dikerjakan dengan adanya teknologi yang modern seperti mencuci dengan mesin cuci, menyapu lantai dengan mesin penyedot debu, bepergian dengan kendaraan walupun jaraknya dekat dan bisa dilakukan dengan jalan kaki. Gaya hidup seperti itu tidak baik untuk kesehatan karena tubuh kita menjadi manja, karena kurang bergerak, sehingga tubuh menjadi lembek dan rentan penyakit. Untuk menciptakan hidup yang sehat segala sesuatu yang kita lakukan tidak boleh berlebihan karena hal tersebut bukannya menjadikan lebih baik tetapi sebaliknya akan memperburuk keadaan. Jadi lakukan atau kerjakanlah sesuatu hal itu sesuai dengan kebutuhan. (Depkes RI, 2008). Olahraga dapat digolongkan dalam bentuk statis dan dinamis. Olahraga
Universitas Sumatera Utara
dinamis mampu meningkatkan aliran darah sehingga sangat menunjang pemeliharaan jantung dan sistem pernafasan. Sedangkan olahraga apapun baik untuk kesehatan kita seperti senam, berenang, jalan kaki, yoga, waitangkung, karena dapat bersosialisasi, berjumpa dengan teman-teman, dan mendapat kenalan baru, mengadakan kegiatan lainnya, seperti bisa berwisata dan makan bersama. Kebanyakan olahraga dilakukan pada pagi hari setelah subuh. Dimana udara masih bersih. Berolah raga dapat menurunkan kecemasan dan mengurangi perasaan depresi dan merasa rendah diri. Selain fisik sehat jiwa juga terisi, membuat kita merasa mudah dan sehat di usia tua (Koswara, 2011). Sejumlah studi menunjukkan bahwa olahraga teratur, mengurangi faktor resiko terhadap penyakit jantung koroner, termasuk hipertensi (Soerharto, 2000). Kemampuan aktivitas fisik yang berhubungan dengan kesehatan akan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk berfungsi secara baik, komponen tersebut antara lain efisiensi kardiovaskuler, kelenturan, pengendalian gerak badan dan pengurangan stress (Mien, 1998). Usia bertambah, tingkat jasmani akan turun. Penurunan kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat lansia kemampuan akan turun antara 30-50%. Oleh karena itu, bila usia lanjut ingin berolahraga harus memilih sesuai dengan umur kelompoknya, dengan kemungkinan adanya penyakit. Olahraga usia lanjut perlu diberikan dengan berbagai patokan, antara lain beban ringan atau sedang, waktu relatif lama, bersifat aerobik dan atau kalsistenik, tidak kompetitif atau bertanding. Beberapa contoh olah raga yang sesuai dengan batasan diatas yaitu, jalan
Universitas Sumatera Utara
kaki, dengan segala bentuk permainan yang ada unsur jalan kaki misalnya golf, lintas alam, mendaki bukit, senam dengan faktor kesulitan kecil dan olahraga yang bersifat rekreatif dapat diberikan. Dengan latihan otot manusia lanjut dapat menghambat laju perubahan degeneratif (Depkes, 2008). 2.2.4. Kebiasaan Istirahat Menurut Maryam (2008), istirahat dapat berarti bersantai menyegarkan diri atau diam tidak melakukan aktivitas apapun setelah melakukan kerja keras. Istirahat dapat berarti pula menghentikan sementara semua kegiatan sehari-hari bahkan sampai tertidur. Istirahat yang cukup diperlukan agar tubuh dapat kembali ke kondisi normal setelah digunakan untuk beraktifitas. Istirahat terbaik adalah tidur. Kebutuhan tidur untuk lansia adalah 6-8 jam sehari. Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah yang terkadang mengganggu kenyamanan anggota keluarga yang lain yang tinggal serumah. Perubahan pola tidur dapat berupa tidak bisa tidur sepanjang malam dan sering terbangun pada malam hari. Tidur terlalu lama, akan cenderung mengganggu kesehatan. Sebagaimana dijelaskan diatas, saat tidur pun tubuh butuh nutrisi. Bila tidur terlalu lama, tubuh akan mengalami katabolik. Akibatnya, akan semakin merasa malas, tidak bertenaga, dan memboroskan waktu. Kurang tidur dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang lengkap atau kompleks. Penelitian di Universitas de Lille, Prancis, mengindikasikan bahwa otak memerlukan tidur untuk mempertahankan kemampuan mengingat informasi yang kompleks. Umumnya manusia bisa tidur dalam 6-8 jam sehari. Tetapi ada orang yang bisa tidur dibawah 6 jam. Kurang tidur berdampak negatif terhadap tubuh kita seperti kurang
Universitas Sumatera Utara
konsentrasi, cepat marah, lesu, lelah (Maryam, 2008). Istirahat yang cukup sangat dibutuhkan badan kita. Banyak orang yang tidur jadi lemas, tidak ada semangat, lekas marah dan stress. Hasil riset terbaru para ahli di Chicago membuktikan, 3 hari mengalami kurang tidur, kemampuan tubuh dalam memproses glukosa akan menurun secara drastis, sehingga dapat meningkatkan resiko mengidap diabetes. Selanjunya menurut mereka, tidur tidak nyenyak selama 3 hari berturut-turut akan menurunkan toleransi tubuh terhadap glukosa, khususnya pada orang muda dan orang dewasa (Santoso, 2009). Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur. Diyakini bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan penyakit, karena tidur bermanfaat untuk menyimpan energi, menigkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit juga pada saat tidur tubuh mereparasi bagiaan-bagian tubuh yang sudah aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat dan tidur yang cukup sangat penting untuk kesehatan ( Depkes RI, 2008). 2.2.5. Riwayat Merokok Merokok bukanlah gaya hidup yang sehat. Merokok dapat menganggu kerja paru-paru yang normal, karena Hemoglobin lebih mudah membawa Karbondioksida daripada membawa Oksigen. Jika terdapat Karbondioksida dalam paru-paru, maka akan dibawa oleh Hemoglobin sehingga tubuh memperoleh oksigen yang kurang dari biasanya. Kandungan nikotin dalam rokok yang terbawa dalam aliran darah dapat mempengaruhi berbagai bagian tubuh yaitu mempercepat denyut jantung sampai 20
Universitas Sumatera Utara
kali lebih cepat dalam satu menit daripada dalam keadaan normal. Menurunkan suhu kulit sebesar setengah derajat karena penyempitan pembuluh darah kulit dan menyebabkan hati melepaskan gula ke dalam aliran darah (Bustan, 2007). Merokok merupakan faktor resiko terpenting untuk terjadinya penyakit tidak menular, karena dapat menyebabkan Arterio Skleorosis dini, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru, larynx, rongga mulut, pancreas, dan Osephagus, selain itu juga dapat meningkatkan tekanan darah dan kadar lemak dalam darah sebagai faktor resiko terjadinya Stroke, penyakit jantung dan pembuluh darah (Bustan, 2007; ). Merokok sigaret dengan kandungan nikotin menyebabkan peningkatan frekuensi denyut jantung serta meningkatkan tekanan sistolik dan diastolik, meskipun nikotin dan merokok menaikkan tekanan darah secara akut, namun tidak selalu muncul pada perokok (Kaplan dan Stamle,1994). Zat-zat kimia beracun yang terdapat dalam rokok seperti nikotin dan karbondioksida yang diisap melalui rokok dibawa masuk kedalam aliran darah. Selanjutnya zat ini merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, sehingga mengakibatkan proses Aterosklerosis dan tekanan darah tinggi. Selain itu dapat meningkatkan tekanan darah, merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung (Karyadi, 2002). Farmingham Heart Study menemukan bahwa merokok menurunkan kadar kolesterol baik High Density Level (HDL). Penurunan HDL ini berbeda, pada perempuan penurunannya lebih tinggi dari pada laki-laki. Pada laki-laki rata-rata 4,5 mg/dl dan pada perempuan 6,5 mg/dl.
Universitas Sumatera Utara
Perokok dikategorikan sebagai berikut: 1. Perokok ringan
: <10 batang/hari
2. Perokok sedang
: 10-20 batang/hari
3. Perokok berat
: > 20 batang/hari
Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalance Study menunjukan bahwa mereka yang merokok dua puluh batang atau lebih perhari, mengalami penurunan kadar HDL sekitar 11% pada laki-laki dan 14% pada perempuan. Merokok juga mengurangi usia harapan hidup, rata-rata 10 tahun. Atau apabila tidak merokok berarti menambah usia harapan hidup rata-rata 10 tahun. Demikian antara lain hasil penelitian selama 50 tahun di Inggris mengenai dampak merokok terhadap kesehatan (Depkes RI, 2008). 2.3. Pengertian dan Batasan Lanjut Usia (Lansia) Menurut pengertian gerontologi, lansia adalah suatu tahap dalam hidup manusia mulai dari bayi, anak-anak, remaja, tua dan lansia dan bukan penyakit malainkan suatu proses alami yang tidak bisa dihindarkan. Tidak ada batasan yang pasti mengenai umur lansia (Nugroho, 2008). Menurut Undang-Undang R.I. No. 13 / tahun 1998, Bab I pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut WHO, Lansia dikategorikan menjadi 4 golongan usia yaitu: usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia 60-74 tahun, usia (old) adalah kelompok usia 75-90 tahun
Universitas Sumatera Utara
sedangkan usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun (Maryam, 2008; Nugroho, 2008, Darmojo, 1999). Menurut Watson (2003), lansia adalah kelompok penduduk yang rentan terhadap masalah baik masalah ekonomi, sosial budaya, kesehatan maupun psikologis. Dari beberapa pengertian lansia diatas disimpulkan bahwa untuk penelitian ini pembagian usia yang dipakai adalah lansia dengan kelompok umur ≥ 60 Tahun ke atas. Tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tetapi tetap sehat (healthy aging). Healthy aging artinya menjadi tua dalam keadaan sehat. Menurut Darmojo (1999), menjadi tua harus disertai dengan usaha menjaga kesehatan untuk mencegah agar proses menua tidak disertai dengan proses patologik atau sakit. 2.3.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penuaan Proses menua dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor dari dalam tubuh individu (endogenic aging) dan faktor dari luar individu (exogenic aging). 1. Endogenic aging, terjadi dari dalam tubuh individu yang secara alami tubuh akan mengalami kemunduran terus menerus. Proses ini terjadi seperti jam yang terus berputar. 2. Exogenic aging, yaitu lingkungan (environment) dimana seseorang hidup dan faktor sosio budaya yang disebut dengan gaya hidup (life style). Faktor exogenic aging lebih dikenal dengan faktor resiko. Faktor-faktor exogenic ini yaitu lingkungan dan gaya hidup (pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan istirahat dan kebiasaan merokok) saling memengaruhi satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor endogenic aging dan exogenic aging ini sulit untuk dipisahkan karena saling memengaruhi dengan erat. Bila faktor tersebut tidak dapat dicegah terjadinya maka orang tersebut akan lebih cepat meninggal dunia (Darmojo, 1999; Tamher, 2009). 2.3.2. Permasalahan yang Terjadi pada Lansia 1. Permasalahan Fisiologis Menurut Hadi Martono (1997), dalam Darmojo (1999) terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang berakibat pada masalah fisik usia lanjut. Masalah tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ tubuh seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban dan rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh, pendengaran berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman berkurang, tinggi badan menyusut karena proses osteoporosis yang berakibat badan menjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan kekuatannya berkurang dan mudah patah, elastisitas paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi organ didalam perut, dinding pembuluh darah menebal dan menjadi tekanan darah tinggi otot jantung bekerja tidak efisien, adanya penurunan organ reproduksi, terutama pada wanita, otak menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria (Maryam, 2008; Darmojo, 1999). 2. Permasalahan Psikologis Menurut Hadi Martono (1997) dalam Darmojo (1999), beberapa masalah psikologis lansia antara lain: a. Kesepian (loneliness), sering sendiri karena keluarga yang lain bekerja.
Universitas Sumatera Utara
b. Duka cita (bereavement), duka cita terjadi karena ditinggal mati oleh pasangannya. c. Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun. d. Gangguan
cemas,
lansia
sering
mengalami
kecemasan
mengenai
kesehatannya. 3. Permasalahan Sosial Menurut Setiabudhi (1999), permasalahan sosial lansia secara umum yaitu: a. Masih besarnya jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan. b. Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah pada bentuk keluarga kecil. c. Lahirnya kelompok masyarakat industri yang memiliki cirri kehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia. d. Masih rendahnya kuantitas tenaga professional dalam pelayanan lansia dan masih terbatasnya sarana pelayanan pembinaan kesejahteraan lansia. e. Serta belum membudayanya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia.
Universitas Sumatera Utara
4. Permasalahan Ekonomi Menurut Setiabudhi (1999), masalah lanjut usia merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari kodisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, para lanjut usia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kependudukan dan merupakan unsur penting dalam proses pembangunan ekonomi. Ada beberapa hal yang yang berkaitan dengan masalah ekonomi yaitu : a. Kedudukan lanjut usia dalam pranata sosial/masyarakat b. Masalah perumahan dan transportasi c. Kedudukan lanjut usia dalam keluarga d. Jaminan hari tua atau jaminan sosial, pemeliharaan e. Penyaluran kegiatan bagi lanjut usia. f. Masalah kesehatan dan gizi. 2.3.3. Karakteristik Lansia Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui beberapa masalah kesehatan lansia adalah: 1. Jenis Kelamin; Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan wanita. Misalnya: lansia laki-laki sering menderita sakit hipertrofi prostat, maka wanita mungkin menghadapi osteoporosis. 2. Status Perkawinan; Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda/duda akan memengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis.
Universitas Sumatera Utara
3. Living Arrangement; Keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama istri, suami, anak atau keluarga lainnya. Tanggungan keluarga, masih menanggung anak atau anggota keluarga. Tempat tinggal, rumah sendiri, tinggal dengan anak. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga ataupun bagian dari keluarga anaknya. Namun akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam rumah yang berbeda. 4. Kondisi Kesehatan; Kondisi umum, kemampuan untuk tidak tergantung kepada orang lain dalam kegiatan sehari-hari seperti: mandi, buang air kecil dan besar. Frekwensi sakit, frekwensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain. Bahkan ada yang karena penyakit kroniknya sudah memerlukan perawatan khusus. Secara individu pengaruh proses ketuaan menimbulkan berbagai masalah. Salah satu adalah permasalahan yang berkaitan dengan penduduk lansia adalah permasalahan kesehatan, sebab perjalanan penyakit lansia mempunyai ciri tersendiri yaitu bersifat menahun, semakin berat dan sering kambuh. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk mengetahui penyakit/masalah sedini mungkin. Dengan demikian proses penyakit dapat dihambat atau dicegah sedini mungkin agar tetap dalam keadaan sehat, baik fisik maupun mental serta sosial, sehingga masih berguna bagi masyarakat dan sesedikit mungkin merupakan beban keluarganya. Usia lanjut adalah suatu fenomena alamiah sebagai akibat proses menua. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan yang wajar yang bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik serta sosiobudaya. 5. Keadaan Ekonomi; Sumber pendapatan resmi, pensiunan ditambah sumber pendapatanan lain kalau masih aktif. Penduduk lansia di daerah pertanian menunjukkkan proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah non pertanian. Lapangan kerja sektor pertanian cukup banyak menyerap tenaga kerja lansia, disamping sektor perdagangan dan jasa. Sumber pendapatan keluarga, ada tidaknya bantuan keuangan dari anak/keluarga lainnya, atau bahkan masih ada anggota keluarga yang tergantung padanya. Kemampuan pendapatan, lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi, sementara pendapatan semakin menurun sampai sebera besar pendapatan lansia dapat memenuhi kebutuhannya (Bustan, 2007). 2.4. Landasan Teori Berdasaarkan tinjauan pustaka tersebut di atas status kesehatan pada lansia dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu, faktor dari dalam tubuh individu (endogenic aging) dan faktor dari luar individu (exogenic aging). 1. Endogenic aging, terjadi dari dalam tubuh individu yang secara alami tubuh akan mengalami kemunduran terus menerus. Proses ini terjadi seperti jam yang terus berputar. 2. Exogenic aging, yaitu lingkungan (environment) dimana seseorang hidup dan
Universitas Sumatera Utara
faktor sosio budaya yang disebut dengan gaya hidup (life style). Faktor exogenic aging lebih dikenal dengan faktor resiko. Faktor-faktor exogenic ini yaitu lingkungan dan gaya hidup. Faktor-faktor endogenic aging dan exogenic aging ini sulit untuk dipisahkan karena saling memengaruhi dengan erat. Bila faktor tersebut tidak dapat dicegah terjadinya maka orang tersebut akan lebih cepat meninggal dunia (Darmojo, 1999; Tamher, 2009). Menurut Belloc & Breslow (1972), yang termasuk gaya hidup sehat adalah: 1. Pola makan yang baik 2. Aktivitas fisik 3. Olahraga 4. Istirahat/tidur 7 – 8 jam perhari 5. Tidak merokok 6. Tidak minum-minuman keras 7. Tidak mengonsumsi obat-obatan (Watson, 2003). Maka dalam penelitian ini dengan berbagai pertimbangan bahwa variabel yang diambil harus dapat diukur dan sesuai dengan kepustakaan yang ada menurut peneliti yang menjadi variabel diambil hanya variabel gaya hidup yang terdapat pada exogenic aging yaitu: (pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan istirahat dan kebiasaan merokok). Jika kesehatan lansia akan diperbaiki dengan membantu lansia mengubah gaya hidupnya, maka kegiatan yang dilakukan bukan hanya ditujukan terhadap lansia saja namun juga pada kondisi sosial dan kondisi kehidupan yang membuat lansia dapat mempertahankan gaya hidupnya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Gaya Hidup 1. Pola Makan 2. Aktifitas Fisik Status Kesehatan 3. Kebiasaan istirahat 4. Riwayat Merokok
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara