BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Nyeri Post Operasi
2.1.1
Defenisi Secara umum nyeri merupakan suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefenisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Nyeri post operasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri post operasi berbeda-beda dari pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri post operasi (Suza, 2007). Nyeri post operasi merupakan nyeri akut yang dapat diakibatkan oleh trauma, bedah atau inflamasi, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan, dan yang lainnya. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang, kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai (Prasetyo, 2010).
5 Universitas Sumatera Utara
6
2.1.2
Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Stimulus
penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri rmemasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta assosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dikutip dari Potter & Perry 2006). Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di daerah
yang terluka (Potter & Perry,
2006).
Universitas Sumatera Utara
7
Menurut Andormoyo (2013), dalam proses nyeri akan melewati beberapa tahapan yang diawali dengan stimulasi, transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Stimulasi, dimana pesepsi nyeri diantarkan oleh neuron yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat, dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Reseptor khusus tersebut dinamakan nociceptor. Nociceptor ini terdapat pada kulit, organ visceral dan permukaan sendi. Transduksi, merupakan proses ketika suatu stimuli nyeri diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (subtansi nyeri). Transmisi merupakan dimana terjadinya proses penerusan implus nyeri dari nociceptor saraf perifer melewati cornu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. Cornu dorsalis dari medulla spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dan dapat meningkatkan atau mengurangi penerusan dari implus nyeri. Persepsi merupakan hasil rekontruksi susunan saraf pusat tentang implus nyeri yang diterima. Rekonsrtuksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif dan pengalaman emosional. Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan. Setelah sampai ke otak, nyeri yang dirasakan secara sadar dan menimbulkan respon berupa perilaku dan ucapan yang merepons adanya nyeri. Perilaku yang ditunjukkan seperti menghindari stimulus nyeri, atau ucapan akibat respon seperti” aduh”, “auw”, dan “ah”. 2.1.3
Faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Potter dan Perry (2006)
dibedakan sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
8
a.
Usia Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter & Perry, 2006). b.
Jenis kelamin Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya dan faktor biokimia. Dari data diatas penulis menyimpulkan tidak pantas jika lakilaki mengeluh nyeri sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri (Potter & Perry, 2006). c.
Budaya Gureje & Gater (1996), menyatakan bahwa, keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu menyatakan atau mengekspresikan nyeri. Selain itu, latar belakang budaya dan sosial mempengaruhi pengalaman dan penanganan nyeri (Brannon & Feist, 2007 dikutip dalam Brunner & Suddart, 2002). Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang
Universitas Sumatera Utara
9
berperilaku dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Brunner & Sudart, 2002). d.
Perhatian Gill (1990) mengungkapkan bahwa tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (Potter & Perry, 2006).
e.
Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2006). Sama hubungan cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi, stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakinkan. f.
Dukungan keluarga dan support sosial Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry, 2006).
Universitas Sumatera Utara
10
2.2
Teori Nyeri
2.2.1
Teori pemisahan Teori ini digambarkan oleh “Descartes’’ pada abad ke-17. teori ini
didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikanya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke thalamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons nyeri (Tamsuri, 2006). 2.2.2
Teori pola Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang
mampu menghantarkan rangsangan dengan cepat dan mampu menghantarkan rangsangan dengan lambat. Kedua serabut saraf tersebut bersinapsis pada medulla spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri (Tamsuri, 2006). 2.2.3
Teori pengendalian gerbang Melzack & Wall (1965) pertama kali mengusulknan teori mekanisme
nyeri yakni teori “Gate Control” mereka menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri (Tamsuri, 2006). 2.3
Intensitas Nyeri
2.3.1
Defenisi intensitas nyeri Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
Universitas Sumatera Utara
11
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). 2.4
Pengukuran Intensitas Nyeri Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala
sebagai berikut: a.
Skala Deskriftif Skala deskriftif merupakan alat pengukuran ringkat keparahan nyeri yang
lebih objektif. Skala pendeskripsi Verbal Descriptor Scale (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien memilih intensitas nyeri yang ia rasakan. VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah katagorik untuk mendeskripsikan nyeri (Potter & Perry, 2006).
Universitas Sumatera Utara
12
b.
Skala Numerik Skala penilaian Numerical Rating Scales (NRS) lebih digunakan sebagai
alat pendeskripsi kata. Dimana menilai nyeri klien dengan menggunakan skala 0-10. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalan Potter & Perry, 2006).
c.
Skala Analog Visual Skala Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu garis llurus/horizontal
sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada nyeri” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri tidak tertahankan”. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam centimeter (Smelzer & Bare, 2002).
Universitas Sumatera Utara
13
d.
The Pain Numerical Rating Scale (PNRS)/ Skala Numerik PNRS digunakan untuk ukuran intensitas nyeri (segera atau sekarang).
Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada nyeri” dan 10 menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-9 untuk nyeri berat (Serlin dkk, 1995 dalam Harahap, 2007).
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak
Nyeri
Nyeri
Berat
2.4
Perilaku Nyeri
2.4.1
Defenisi Perilaku nyeri merupakan salah satu aspek dari pengalaman nyeri.
Perilaku ini terlihat dan dapat diobservasi, seperti ekspresi wajah (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Adanya suatu nyeri yang dirasakan biasanya ditandai dengan
semacam
perilaku
yang
terlihat
atau
terdengar
yang
dapat
diinterpretasikan sebagai suatu perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2006). Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh output individu yang terobservasi yang menunjukkan adanya nyeri seperti postur tubuh, ekspresi wajah, perkataan, berbaring, mengkonsumsi obat, mencari pengobatan, dan pencarian kompensasi (Harahap, 2006).
Universitas Sumatera Utara
14
Perilaku nyeri adalah suatu aktivitas individu untuk mengkomunikasikan ketidakberdayaan, ketidaknyamanan, dan berperan signifikan dalam penurunan tingkat fungsional individu (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). 2.4.2
Respon Perilaku Nyeri Respon perilaku nyeri yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam,
respon perilaku pasien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu yang tidak beres (Andarmoyo, 2013). Respon perilaku nyeri pada klien dapat dilihat pada table berikut. Tabel 2.1: Indikator Perilaku Nyeri Perilaku Nyeri pada Klien Vokalisasi
1. 2. 3. 4.
Ekspresi wajah
1. 2. 3. 4.
Gerakan tubuh
1. 2. 3. 4.
Mengaduh Menagis Sesak napas Mendengkur
Meringis Menggetukkan gigi Mengernyitkan dahi Menutup mata atau mulut dengan rapat atau membuka mata atau mulut dengan lebar 5. Mengigit bibir Gelisah Imobilisasi Ketengangan otot Peningkatan gerakan jari dan tangan 5. Aktivitas melangkah yang tunggal ketika berlari atau berjalan 6. Gerakan ritmik atau gerakan menggosok 7. Gerakan melindungi bagian tubuh
Universitas Sumatera Utara
15
Interaksi sosial
1. Menghindari percakapan 2. Fokus hanya paa aktivitas untuk menghilangkan nyeri 3. Menghindari kontak sosial 4. Penurunan rentang perhatian
Sumber: Potter & Perry, 2006 Menurut Brunner dan Suddart (2002) bahwa individu mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri. 2.5.2
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri 2.5.2.1 Jenis Kelamin Gill (1990) mengemukakan bahwa secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri, yang lebih mempengaruhi adalah budaya. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin, misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2006). 2.5.2.2 Usia Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Seperti cara lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang
Universitas Sumatera Utara
16
berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkan atau mencari perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2001). 2.5.2.3 Suku/budaya Budaya mempunyai pengaruh bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zborowski (1969, dalam Niven, 1994), ekspresi perilaku berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain di satu lingkungan rumah sakit. Perbedaan tersebut dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok etnik tersebut. 2.5.2.4 Ansietas Menurut Racham dan Philips (1975) ansietas mempunyai efek yang besar terhadap kualitas maupun terhadap intensitas pengalaman nyeri. Ambang batas nyeri berkurang karena adanya peningkatan rasa cemas dan ansietas menyebabkan terjadinya lingkaran yang terus berputar, karena peningkatan ansietas akan mengakibatkan peningkatan sensivitas nyeri (Aritonang, 2010). 2.5.2.5 Pasangan/anggota keluarga Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi kebutuhan kehidupan sosial pasien dan boleh juga disyaratkan sebagai syarat yang berbeda dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan sebuah perilaku nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap 2007). Pasangan dan anggota keluarga lain sering termasuk dalam pengobatan dan
Universitas Sumatera Utara
17
mengajarkan kepada pasien untuk berespon positif pada setiap aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang lainya bagi perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi peningkatan nyeri pasien (Harahap, 2007). 2.5.3
Instrumen Perilaku Nyeri Secara luas bahwa pasien yang berada dalam tingkat nyeri tertentu akan
menunjukkan perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari pengobatan, menjaga area tubuh yang sakit atau mengekspresikan raut wajah. Perilaku ini merupakan cara pasien berkomunikasi bahwa mereka sedang merasakan nyeri (Harahap, 2006). Behavioral Pain Scale yang diadopsi dari Dimateo & Dresziechek (1992), mengukur perilaku nyeri ketika sedang merasakan nyeri. Pengkajian perilaku nyeri meliputi, restlessness (kegelisahan), tense muscle (ketegangan otot), flowning atau grimacing (mengerut dahi atau meringis), dan patient sounds (suara pasien). Perilaku nyeri yang diadopsi dari University Health System Pain Management Pocket Reference, yaitu tidak nyeri (skala 0), nyeri ringan (skala 14), nyeri sedang (skala 5-8) dan nyeri berat (skala 9-12) (University Health System, 2013 dalam Aguspel, 2014).
Universitas Sumatera Utara