.BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gaya Kognitif Teori belajar dan perkembangan intelektual merupakan dasar yang membantu guru dalam memahami perbedaan faktor internal dari keragaman karakteristik siswa dalam hal: mempersepsikan informasi, mengkodekan informasi, mentransfer informasi, memindai (scanning) representasi informasi, dan kapasitas kerja memori (Danili dan Reid, 2006). Selain itu, Kogan (Danili dan Reid, 2006) menyatakan ada perbedaan karakteristik siswa dalam hal gaya mengingat, berpikir, penilaian, dan keberagaman individu, secara tidak langsung merupakan bagian dari kepribadian, yang setidaknya sangat berkaitan erat dengan berbagai dimensi pada kepribadian non-kognitif. Adanya perbedaan pada faktorfaktor tersebut menunjukkan bahwa siswa memiliki gaya kognitif yang berbeda, yang menyebabkan adanya perbedaan dalam hal kecerdasan, kemampuan, kepribadian dan prestasi. Tampaknya bahwa gaya kognitif pada diri seseorang akan berpengaruh dalam hal kemampuan intelektual, keterampilan, kepribadian, belajar mengajar (teaching and learning), dan kinerja. Berdasarkan uraian di atas, muncul beberapa definisi gaya kognitif yang diungkapkan oleh para ahli, di antaranya adalah Witkin, Moore, Goodenough, dan Cox (Kozhevnikov, 2007), characterized cognitive styles as individual differences in the way people perceive, think, solve problems, learn, and relate to others. Menurut Messick (Danili dan Reid, 2006), cognitive styles are characteristic modes of perceiving, remembering, thinking, problem solving, decision making
12
13
that are reflective of information processing regularities that develop in congenial ways. Sedangkan Sarachoo (1997), menyatakan bahwa cognitive styles include stable attitudes, preferences, or habitual strategies that distinguish the individual styles of perceiving, remembering, thinking, and solving problems. Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam menggunakan fungsi kognitif: berpikir, mengingat,
memecahkan
masalah,
membuat
keputusan,
mengorganisasi,
memproses informasi, dan seterusnya yang bersifat konsisten dan berlangsung lama. Pemecahan masalah (problem solving), menurut Tsaparalis (2009) problem solving is well known as a composite activity involving various cognitive functions that depend on the number and quality of available operative schemata in long-term memory and on working memory capacity. Hal ini berarti pemecahan masalah merupakan bagian dari penggunaan informasi yang ada berdasarkan skemata operasional yang ada pada memori jangka panjang dan kapasitas kerja memori sesuai model pemrosesan informasi. Pemecahan masalah yang dimaksud adalah pemecahan soal, menurut Melters (Arifin, 1995), tahapannya adalah: 1. Tahap analisis masalah 2. Tahap pemecahan masalah yang meliputi memecahkan rumus standar, meneliti hubungan antarkonsep, membuat transformasi. 3. Tahap melakukan perhitungan 4. Tahap pengecekan
14
2.2 Perbedaan Gaya Kognitif Gaya kognitif mencerminkan cara seseorang menanggapi dan melakukan sesuatu dalam kondisi yang berbeda. Gaya kognitif dalam penelitian ini adalah gaya kognitif FD dan FI yang mencirikan satu dimensi persepsi, mengingat, dan berpikir setiap individu dalam hal mempersepsikan, menyimpan, mengubah dan memproses informasi (Saracho, 1997). Witkin, Moore, Goodenough, dan Cox (Ruttun, 2009) menyatakan bahwa siswa dengan gaya kognitif
FI dan FD
memiliki perbedaan. Implikasi gaya kognitif berdasarkan perbedaan psikologis pada siswa dalam pembelajaran menurut Thomas (Ardana, 2008) adalah sebagai berikut. 1) Siswa yang memiliki gaya kognitif FD cenderung memilih belajar dalam kelompok, sesering mungkin berinteraksi dengan guru, dan memerlukan penguatan yang bersifat ekstrinsik. 2) Siswa yang memiliki gaya kognitif FI cenderung
memilih belajar
individual, merespon dengan baik, dan independen. Di samping itu, mereka dapat mencapai tujuan dengan motivasi intrinsik. Sedangkan menurut Garger dan Guild (Chu, 2008), hasil kajiannya menyimpulkan bahwa ada perbedaan karakteristik siswa antara gaya kognitif FD dan FI yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Siswa Gaya Kognitif FD dan FI Karakteristik Siswa FD Siswa FI Cara menerima Penerimaan secara global Penerimaan secara analitis informasi Cara memahami Memahami secara global Memahami secara artikulasi struktur yang diberikan atau struktur informasi struktur yang diberikan
15
Karakteristik
Siswa FD
Siswa FI pembatasan.
Cara membuat Membuat perbedaan umum Membuat perbedaan konsep perbedaan konsep dan yang luas di antara konsep- tertentu dan sedikit tumpang konsep dan melihat tindih (overlap) keterkaitannya hubungannya Orientasi dan Orientasi sosial. Cenderung Orientasi personal. Cenderung dipengaruhi oleh teman- kurang mencari masukan dari kecenderungan siswa temannya temannya Kebutuhan konten Belajar materi dengan konten Belajar materi sosial jika hanya materi yang dipelajari sosial menunjukan hasil terbaik diperlukan Ketertarikan mempelajari materi
dalam Materi yang baik adalah materi Tertarik pada konsep-konsep suatu yang relevan dengan baru untuk kepentingannya pengalamannya sendiri
Cara penguatan diri
Memerlukan bantuan luar dan Tujuan dapat dicapai sendiri penguatan untuk mencapai dengan penguatan sendiri tujuan
Cara mengatur kondisi Memerlukan pengorganisasian Pengaruh kritikan
Lebih kritikan
dipengaruhi
Bisa dengan situasi struktur sendiri
oleh Kurang kritikan
terpengaruh
oleh
Metode dan cara Pasif, menggunakan pendekatan penonton belajar yang cocok (ekspositori, ceramah, demonstrasi) untuk mencapai konsep. Memperhatikan petunjuk awal yang menonjol di luar relevansi
Aktif, menggunakan pendekatan pengetesan hipotesis (discovery, inkuiri, eksperimen) dalam pencapaian konsep. Memperhatikan contoh awal di luar konsep penting
Cara memotivasi diri
Termotivasi secara intrinsik
Termotivasi secara ekstrinsik
Daya tarik dan minat Lebih menaruh perhatian pada Lebih berminat pada bidang dalam belajar hubungan social sains dan matematika. Cara menulis dan Cenderung mencatat seluruh isi materi, tanpa memilah mana memahami informasi bagian yang penting dan kurang penting
Cenderung akan memilih bagian-bagian yang amat penting dari isi materi untuk dicatat
16
Daniels (Altun dan Cakan, 2006) menyimpulkan secara umum kecenderungan siswa gaya kognitif FD dan FI. Siswa FD cenderung mengandalkan
persepsi
dari
lingkungan
sekitar;
memiliki
kesulitan
memperhatikan, mengambil intisari, menggunakan petunjuk yang kurang menonjol; sulit memberikan struktur informasi yang ambigu; sulit menyusun informasi baru dan membuat hubungan dengan pengetahuan sebelumnya; sulit mengambil informasi dari memori jangka panjang. Siswa FI cenderung mampu melihat bagian bayangan yang terpisah dari suatu bentuk; dapat memisahkan bagian yang relevan dari bagian yang tidak relevan pada suatu bentuk; menyediakan struktur informasi yang terpisah
dari informasi yang disajikan;
menyusun kembali informasi yang diberikan dari suatu konteks pengetahuan sebelumnya; cenderung lebih tepat dalam mengambil bagian dari ingatan. Sedangkan hasil temuan beberapa penelitian ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang yang memiliki kecenderungan bergaya kognitif FD atau FI, di antaranya yaitu usia, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, pengasuhan anak, dan keseimbangan bagian otak. 1. Usia: Penelitian Gurley (Chu, 2008) anak-anak pada umumnya adalah FD, namun kecenderungan FI mereka akan meningkat ketika semakin dewasa. Dewasa
(khususnya siswa dewasa) cenderung lebih bergaya kognitif FI.
Menurut Witkin, et al. (Chu, 2008) setelah proses pendewasaan tersebut, FI secara bertahap menurun sepanjang sisa hidupnya, pada orang tua cenderung menjadi lebih FD dibandingkan dengan yang lebih muda.
17
2. Jenis kelamin: Penelitian Musser (Chu, 2008) menunjukan bahwa laki-laki mendapatkan nilai tes FD/FI lebih baik daripada perempuan. Namun, pengaruh jenis kelamin pada FD/FI pengaruhnya sangat kecil sehingga faktor ini tidak terlalu signifikan. 3. Status sosial-ekonomi: Penelitian Forns-Santacana, et al. (Chu, 2008), siswa dari kalangan kelas sosial-ekonomi bawah ditemukan kecenderungannya lebih FD daripada siswa dengan latar belakang kelas sosial-ekonomi tinggi. 4. Pengasuhan anak: Penelitian yang dilakukan Witkin (Chu, 2008) menunjukan bahwa ketika
ada penekanan yang kuat agar anak patuh (taat) terhadap
pengawasan orang tua sebagai kontrol dorongan dari luar, anak-anak akan cenderung relatif menjadi FD. Ketika ada dorongan dalam keluarga bagi anak untuk berkembang secara terpisah, kemandiriannya berfungsi, anak akan relatif menjadi FI. 5. Keseimbangan otak kanan dan kiri: Penelitian Pizzamiglio dan Silverman, et al. (Chu, 2008), menemukan seseorang yang kidal cenderung FD daripada seseorang yang normal/menggunakan tangan kanan.
18
2.3 Belajar dan Hasil Belajar Belajar adalah proses modifikasi atau perubahan prilaku ke arah yang baik melalui pengalaman atau pelatihan. Belajar menurut teori kognitif adalah “a process of gaining or changing insights, outlooks, expectations, or thought patterns” (Yang, 2000). Teori ini mendefinisikan belajar dalam hal reorganisasi persepsi atau kognitif untuk memperoleh pemahaman (Bigge dan Shermis dalam Yang, 2000). Menurut Vygotsky (Yang, 2000), interaksi sosial dan budaya merupakan kunci sukses dalam belajar. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Depdiknas, 2008). Benyamin Bloom (1956) membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor yang digunakan dalam penilaian hasil belajar siswa di Indonesia. Pada penelitian ini, hasil belajar yang dimaksud adalah hasil belajar pada ranah kognitif. Hasil belajar tersebut meliputi pengetahuan level makroskopik, pemahaman level submikroskopik, dan penguasaan level simbolik pada materi sifat koligatif larutan. 2.4 Belajar Konsep Menurut Rosser (Dahar, 2006), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas obyek-obyek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut yang sama. Sehingga orang mempunyai stimulus yang berbeda dalam membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara tertentu. Gagne (Dahar, 2006), belajar konsep merupakan satu bagian dari suatu hierarki dari delapan bentuk
19
belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar tergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya. Berdasarkan delapan hierarki belajar Gagne, belajar konsep dapat dikemukakan dalam dua konsep yakni belajar konsep konkret dan dan belajar konsep terdefinisi. Menurut Gagne, belajar konsep konkret memiliki prosedur yaitu membuat respon yang sama pada stimulus-stimulus dengan atribut yang mirip.
Sedangkan
belajar
konsep
terdefinisi
memiliki
prosedur
yaitu
menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya untuk memperoleh suatu konsep yang mendefinisikan. Berdasarkan tingkat belajar yang telah disebutkan oleh Gagne, kedua konsep mengenai belajar konsep dapat diterapkan dalam pembelajaran kimia. Menurut Gagne, belajar konsep dibagi menjadi dua yaitu belajar konsep konkret dan belajar konsep terdefinisi. Belajar konsep yang konkret dalam tingkat hierarki Gagne dapat disejajarkan dengan konsep pembelajaran kimia pada level makroskopik. Prosedur dalam belajar konkret dalam Gagne diperoleh dengan pengamatan secara langsung melalui fenomena-fenomena yang ada, sedangkan belajar konsep terdefinisi dalam Gagne diperoleh berdasarkan fenomena yang telah dipelajari berupa definisi-definisi dari konsep awal. Belajar konsep terdefinisi dalam tingkat hierarki Gagne dapat disamakan dengan konsep pembelajaran kimia pada level submikroskopik dan simbolik yang bersifat abstrak diperoleh dari penurunan pengetahuan konsep level makroskopik yang bersifat konkret.
20
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar dan Hasil Belajar Hasil belajar siswa merupakan indikator atau gambaran keberhasilan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, sehingga proses belajar dan hasil belajar siswa merupakan salah satu problem yang tidak pernah habis dibicarakan dalam dunia pendidikan. Banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar dan hasil belajar antara lain faktor eksternal atau faktor dari luar diri siswa dan faktor internal atau faktor dari dalam diri siswa (Slameto, 2010). Beberapa faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1. Faktor eksternal meliputi faktor sekolah, faktor keluarga dan faktor masyarakat (Slameto, 2010; Djaramah, 2002). (1) faktor sekolah di antaranya adalah kurikulum, program, sarana dan fasilitas, guru, metode mengajar, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, pekerjaan rumah. (2) faktor keluarga diantaranya adalah cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, kondisi ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang budaya. (3) faktor masyarakat di antaranya adalah kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Faktor internal meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis (Slameto, 2010; Djaramah, 2002). (1) faktor fisiologis di antaranya adalah faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh. Kondisi panca indra (mata, hidung, pengecap, telinga, dan tubuh), buta, setengah buta, tuli, setengah tuli, patah kaki, patah tangan, dan lainlain akan berpengaruh pada saat belajar berlangsung seperti membaca, melihat
21
contoh atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, mendengarkan orang lain dalam diskusi dan sebagainya. (2) faktor psikologis di antaranya adalah minat, kecerdasan, bakat, motivasi, perhatian, kematangan, kesiapan, dan kemampuan kognitif. Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi, mengingat dan berpikir. Menurut Slameto (2010), kemampuan kognitif tersebut merupakan bagian dari gaya kognitif. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia (Djaramah, 2002). Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan melalui panca indra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman (Slameto, 2010). Mengingat adalah menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Mengingat merupakan proses kognitif yang paling rendah tingkatannya. Untuk mengkondisikan agar “mengingat” bisa menjadi bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan dengan aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu konsep yang lepas dan terisolasi (Widodo, 2005). Ada beberapa cara untuk dapat mengingat dan menyimpannya dalam ingatan seperti teknik memo, jembatan keledai, mengurutkan kejadian, membuat singkatan yang bermakna (Depdiknas, 2008). Pada prinsipnya mengingat adalah penarikan kembali informasi dalam bentuk
22
kesan-kesan yang tersimpan di alam bawah sadar yang pernah diperoleh sebelumnya. Kemampuan kognitif yang terakhir adalah berpikir. Menurut Presseisen (1985), berpikir merupakan suatu proses kognitif, yaitu suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan berpikir dikelompokkan menjadi keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks atau tingkat tinggi. Dalam hal ini keterampilan berpikir dasar meliputi: sebab-akibat,
menghubungkan
mentransformasi, serta menemukan hubungan dan memberikan
kualifikasi. Sedangkan proses berpikir tingkat tinggi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif (Costa dalam Liliasari, 2009). Perkembanagn berpikir seorang anak bergerak dari kegiatan berpikir konkret menuju berpikir abstrak (Djaramah, 2002). Perubahan berpikir ini bergerak sesuai dengan meningkatnya usia seorang anak.
23
Cara orang tua mendidik Relasi antaranggota keluarga Suasana rumah
Kegiatan siswa dalam masyarakat Media massa Teman bergaul
Keadaan ekonomi keluarga Pengertian orang tua
Bentuk kehidupan masyarakat
Latar belakang budaya Faktor Keluarga
Raw Input
Siswa
Faktor Masyarakat
Proses Belajar Mengajar
Faktor Sekolah Kesehatan
Fisiologis Cacat Tubuh
Out Put
Hasil Belajar
Kurikulum Program Sarana dan Fasilitas
Minat
Guru
Kecerdasan
Metode mengajar
Bakat Psikologis
Motivasi Perhatian
Relasi guru dengan siswa Relasi siswa dengan siswa Disiplin sekolah Alat pelajaran Waktu sekolah
Kematangan
Standar pelajaran di atas ukuran
Kesiapan
Keadaan gedung Metode belajar
Kemampuan Kognitif
Tugas rumah
Gambar 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar dan Hasil Belajar
24
2.6 Model Pemrosesan Informasi Sesuai dengan faktor kemampuan kognitif yang mempengaruhi hasil belajar, Johnstone (2006) membuat model pemrosesan informasi mulai dari tahapan persepsi, proses berpikir sampai cara mengingat kembali informasi yang disimpan pada memori jangka panjang dalam bentuk struktur kognitif (Johnstone, 2006). Pemrosesan informasi dilihat dari sudut pandang penelitian kognisi dan perkembangan kognitif dimana pikiran manusia diibaratkan sebagai komputer. Dasar model pemrosesan informasi adalah berkaitan dengan dasar pengoprasian mental: terutama bagaimana informasi diterima, diproses, disimpan dan diambil kembali dari pikiran tiap individu (Chu, 2008). Model pemrosesan informasi dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.
RUANG KERJA MEMORI MENYIMPAN
IDE
PERISTIWA
FILTER
PERSEPSI KONSEP
PROSES
PENYIMPANAN
PENGOLAHAN
MENGAMBIL INFORMASI EKSTERNAL
MEMORI JANGKA PANJANG KONTROL FILTER
Gambar 2.2 Model Pemrosesan Informasi Johnstone (Terjemahan dari Learning at the Macro Level: The Role of Practical Work. Tsaparalis, 2009)
25
Model pemrosesan informasi ini didasarkan pada ide-ide dari teori belajar Piaget. Selama belajar, informasi diperoses melalui tiga mode memori. Informasi dari lingkungan luar pertama kali akan dirasakan (dipersepsikan) oleh memori sensorik (panca indra), diolah dalam memori jangka pendek, kemudian berasimilasi dan diakomodasi ke dalam memori jangka panjang lalu disimpan sebagai struktur kognitif. Brunning, et al. (Chu, 2008), mengungkapkan bahwa memori adalah kemampuan otak untuk memilih, memproses, menyimpan, mempertahankan kemudian mengingat kembali informasi. Dari perspektif pemrosesan informasi, ada tiga tahap utama dalam pembentukan dan pengambilan memori: 1.
Pengkodean (pengolahan dan penggabungan informasi yang diterima).
2.
Penyimpanan (pembentukan memori permanen dari informasi yang dikodekan).
3.
Mengingat kembali (memanggil kembali informasi yang tersimpan dari sebagai respon dari beberapa isyarat untuk digunakan dalam beberapa proses atau aktivitas). Model pemrosesan informasi lain juga dikembangkan untuk memahami
level submikroskopik yang bersifat abstrak yang dikembangkan melalui model pengkodean berganda (dual coding model) dari teori Paivio. Teori ini menjadi dasar pengembangan pembelajaran menggunakan multimedia untuk membantu memahami level makroskopik, submikroskopik, dan simbolik berdasarkan teori
26
kognitif yang di dalamnya mengandung sistem pengolahan informasi visual dan verbal (Meyer, 2005). REPRESENTASI MULTIMEDIA
Pesan Visual
Pesan Verbal
Menyeleksi Kata-kata
Menyeleksi Gambar
Mata
Telinga
Pengorganisasian Gambar
SENSOR MEMORI
Pengorganisasian Kata-kata
Gambar
Suara KERJA MEMORI
Model mental visual
Model mental verbal
MEMORI JANGKA PANJANG Pengintegrasian
Penetahuan awal
Gambar 2.3 Teori Kognitif Pembelajaran Multimedia (Terjemahan dari Cognitif Theory of Multimedia Learning. Meyer, 2005)
27
2.7 Pengetahuan Level Makroskopik, Pemahaman Level Submikroskopik, dan Penguasaan Level Simbolik Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari tentang materi, sifat fisis dan kimia, perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi (Denniston, et al., 2007; Silberberg, 2007; Smith, 2010). Dalam mempelajari ilmu kimia, Kozma dan Russel (2005), mengkaitkannya dengan representasi kimia yaitu “representations often refer to entities or processes that can not be observed directly e.g., atoms, molecules, and reactions and can take a variety of forms e.g., structural diagrams, equations” (Mayer, 2005). Hal tersebut berarti representasi kimia lebih merujuk pada objek atau proses yang tidak dapat diamati secara langsung (misalnya atom, molekul, dan reaksi) dan dapat mengambil berbagai bentuk (misalnya diagram, persamaan). Konsep representasi merupakan salah satu pondasi praktik ilmiah, karena para ahli menggunakan representasi ini sebagai cara utama dalam berkomunikasi dan memecahkan masalah. Treagust, Chittleborough, dan Mamiala (Gilbert dan Treagust, 2009) membedakan representasi kimia ke dalam tiga level (tingkatan) yaitu level makroskopik, level submikroskopik, dan level simbolik. Kompetensi representasi pada mata pelajaran kimia pada level makroskopik, level submikroskopik, dan level simbolik menurut Kozma dan Russel (2005) merupakan “A set of skills and practices that allow person to use a variety of representations, singly and together, to think about, communicate, and act on aperceptual physical entities and processes, as such molecules and their reactions” (Mayer, 2005). Hal ini berarti kompetensi representasi dalam memahami tiga level representasi kimia
28
merupakan seperangkat keterampilan dan praktik yang memungkinkan seseorang untuk
menggunakan
berbagai
representasi
(level
makroskopik,
level
submikroskopik, dan level simbolik), baik secara tersendiri maupun secara bersamaan, memikirkannya, berkomunikasi dan melakukan pemahaman pada objek fisik dan prosesnya seperti molekul dan reaksinya. Hubungan pemahaman ketiga level tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini:
Level Makroskopik Nyata
Representasi Nyata
Level Submikroskopik
Level Simbolik
Nyata dan representasi dari model teoritis
Representasi
Gambar 2.4 Tiga Level Representasi Kimia pada Materi (Terjemahan dari Linking the Macroscopic and sub-microscopic Levels: Diagrams. Davidowitz dan Chittleborough, 2009)
Cakupan ketiga representasi kimia ini adalah: (1) Level makroskopik mengacu pada pengamatan fenomena kimia yang secara langsung dialami oleh siswa dari percobaan di labolatorium dan kehidupan sehari-hari seperti perubahan warna, terbentuknya gelembung gas, terbentuknya endapan, pelarutan garam, pH larutan dan perubahannya, dan perubahan suhu dalam reaksi kimia. Fenomena kimia yang terjadi dapat dijelaskan berdasarkan sifat, bentuk, gerakan dan interaksi partikel pada level submikroskopik seperti molekul, atom, ion dan
29
elektron. (2) Level submikroskopik merupakan penjelasan yang real dan tidak kasat mata melalui pendekatan konsep teori kimia yang dapat digunakan untuk menjelaskan susunan serta pergerakan partikel (ion, elektron, molekul, dan atom). (3) Representasi level simbolik yaitu representasi yang melibatkan penggunaan simbol-simbol kimia secara kualitatif dan kuantitatif, yang meliputi rumus kimia, persamaan reaksi, bentuk gambar, diagram, aljabar, grafik, mekanisme reaksi, simbol kimia, struktur kimia, nomor, stoikiometri, perhitungan matematik, analogi dan model kit (Treagust dan Chandrasegaran, 2009; Antonoglou, Charistos, dan Sigalas, 2006; Treagust, Chittleborough, dan Mamiala, 2003; Wu, Krajcik, dan Soloway, 2001). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar kimia adalah belajar ketiga level tersebut. Sesuai dengan karakteristiknya, bahwa ilmu kimia merupakan ilmu yang didasari oleh teori sifat partikulat dari suatu materi pada level submikroskopik dan makroskopik dimana tingkat submikrospiknya yang dapat dijelaskan menggunakan model untuk mewakilinya (level simbolik). Bila ada salah satu level yang tidak dipelajari di kelas berarti siswa belum belajar ilmu kimia secara utuh. Karena setiap level memiliki peranan penting dalam ilmu kimia, maka keberhasilan siswa dalam mempelajari ketiga level tersebut harus menjadi bagian yang dievaluasi setelah proses pembelajarn selesai (Sopandi, 2009)
30
2.7.1
Pengetahuan Level Makroskopik Menurut Johnstone (Savec, Sajovic dan Grm, 2009) pengetahuan siswa
pada level makroskopik diperoleh melalui fenomena yang dapat teramati langsung menggunakan panca indra, baik secara kasat mata (melihatnya), menyentuhnya dan membauinya seperti adanya perubahan warna, terbentuknya gelembung gas, terbentuknya endapan, pelarutan garam, pH larutan dan perubahannya, dan perubahan suhu dalam reaksi kimia. Kemampuan mengamati dan menghubungkan fenomena level makroskopik ini dapat dilakukan melalui persepsi manusia yaitu proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia (Djaramah, 2002). Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya sesuai model pemrosesan informasi Johnstone. Hubungan ini dilakukan lewat indranya, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciuman (Slameto, 2010). Kegiatan mengamati fenomena ini dapat mengetahui fenomena yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Fenomena ini dapat diamati siswa melalui kegiatan praktikum, demonstrasi guru, melihat video percobaan, atau mengamati peristiwa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Sopandi, 2009). Bagi siswa, kegiatan ini merupakan bagian yang paling menyenangkan.
Bila bagian
ini
dihilangkan
dari
pembelajaran,
diperkirakan akan menurunkan ketertarikan siswa untuk belajar kimia (Sopandi, 2009). Setelah kegiatan mengamati, guru dapat menggunakan metode tanya jawab untuk mengungkap pengetahuan yang berkaitan dengan hasil pengamatan dan penjelasan siswa. Bila ditemukan adanya miskonsepsi segera dilakukan langkah untuk mengoreksi miskonsepsi tersebut.
31
2.7.2
Pemahaman Level Submikroskopik Pemahaman level submikroskopik pada fenomena-fenomena yang dapat
diamati (level makroskopik) seringkali terabaikan karena berbagai alasan. Padahal, berbagai fenomena (seperti sifat-sifat materi dan fenomena lainnya yang menyertai perubahan materi) timbul karena adanya interaksi berbagai partikel pada level submikroskopik. Dengan demikian, fenomena atau gejala kimia yang teramati (level makroskopik) dapat dijelaskan berdasarkan susunan dan struktur partikel penyusun materi dan perubahannya (level submikroskopik). Bila pemahaman secara mikroskopik tidak diberikan guru di kelas, tentunya akan banyak
ditemukan
siswa
yang
sudah
mempelajari
berbagai
fenomena
(makroskopik) baik itu melalui praktikum di kelas atau berdasarkan pengalaman sehari-harinya, namun tidak dapat menjelaskan secara ilmiah fenomena yang terjadi secara mikroskopik (Sopandi, 2009). Pemahaman siswa mengenai penjelasan level submikroskopik memegang peranan yang sangat penting. Berbagai temuan penelitian menunjukan bahwa rendahnya pemahaman siswa akan struktur zat menjadi penyebab kesulitankesulitan siswa dalam mempelajari kimia. Dengan pemahaman ini, siswa dapat terhindar untuk menghapal penjelasan terhadap setiap fenomena dan memudahkan siswa untuk memahami arti dari simbol-simbol yang digunakan (level simbolik). Berdasarkan kajian terhadap berbagai hasil penelitian, Williamson dan Abraham (Sopandi, 2009). menyimpulkan bahwa kesukaran belajar kimia banyak disebabkan karena kurangnya pemahaman siswa mengenai apa yang terjadi pada level submikroskopik.
32
2.7.3 Penguasaan Level Simbolik Menurut Johnstone (Savec, Sajovic dan Grm, 2009) ilmu kimia lebih sering menggunakan lambang matematik, rumus dan persamaan untuk memperlihatkan hubungan level makroskopik dan submikroskopik. Penguasaan level simbolik akan lebih mudah jika siswa telah menguasai pengetahuan level makroskopik dan pemahaman level submikroskopik. Hal ini disebabkan karena level simbolik merupakan terjemahan dari pengalaman atau peristiwa yang teramati pada eksperimen dan representasi level submikroskopiknya ke dalam bentuk simbol-simbol, rumus-rumus dan perhitungan. Biasanya siswa akan merasa kesulitan jika pemahaman level simbolik ini tidak ditunjang oleh kedua level tersebut. Penguasaan level simbolik dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah soal perhitungan pada materi sifat koligatif larutan. Tahapan pemecahan masalah soal perhitungan, menurut Melters (Arifin, 1995) adalah: 1) Tahap analisis masalah 2) Tahap pemecahan masalah yang meliputi memecahkan rumus standar, meneliti hubungan antarkonsep, membuat transformasi. 3) Tahap melakukan perhitungan 4) Tahap pengecekan Bila ketiga level tersebut diperbandingkan, maka akan terlihat bahwa belajar level submikroskopik dan level simbolik merupakan bagian yang
33
menuntut kemampuan berpikir abstrak. Sedangkan level makroskopik hanya menuntut kemampuan berpikir konkret. Sehingga kemungkinan hasil belajar level makroskopik akan lebih baik dibandingkan dengan level submikroskopik dan simbolik. Walaupun demikian, jika melihat tingkat perkembangan intelektual siswa SMA kelas XII seharusnya mereka sudah mampu berpikir abstrak dengan baik. 2.8 Analisis Level Makroskopik, Submikroskopik dan Simbolik pada Materi Sifat Koligatif Larutan 2.8.1
Pengertian Sifat Koligatif Larutan Menurut Stoker (2010), A colligative property is a physical property of a
solution that depends only on the number (concentration) of solute particles (molecules or ions) present in a given quantity of solvent and not on their chemical identities. Sifat koligatif larutan mencakup penurunan tekanan uap (vapor-pressure lowering), kenaikan titik didih (boiling-point elevation), penurunan titik beku (freezing-point depression), dan tekanan osmotik (osmotic pressure). Pengetahuan level makroskopik pada materi sifat koligatif larutan meliputi pengamatan tekanan uap dan penurunannya, titik didih dan kenaikannya, titik beku dan penurunannya, serta peristiwa osmosis dan tekanan osmotik. Pengetahuan level makroskopik pada sifat koligatif larutan dapat diperluas melalui pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Penguasaan level simbolik yang sangat erat hubungannya dengan konsep sifat koligatif larutan yaitu kemolalan (m) dan fraksi mol (X).
34
1) Fraksi Mol Komposisi zat-zat dalam larutan dapat dinyatakan dalam satuan fraksi mol (x). Fraksi mol zat terlarut (x
zat terlarut)
menyatakan perbandingan jumlah mol zat
terlarut terhadap jumlah mol semua komponen dalam larutan.
x zat terlarut =
mol zat terlarut jumlah mol semua komponen
dan berlaku
x pelarut + x zat terlarut = 1
2) Konsentrasi Molal Kemolalan atau konsentrasi molal (m) adalah jumlah mol zat terlarut per satu kilogram pelarut. Kemolalan (m) =
2.8.2
mol zat terlarut (n) kg pelarut (w)
Sifat Koligatif Larutan Nonelektrolit
2.8.2.1 Penurunan Tekanan Uap Larutan Menguap adalah gejala yang terjadi pada molekul-molekul zat cair meninggalkan permukaan cairan membentuk fasa gas. Gejala ini disebabkan oleh molekul-molekul pada bagian permukaan cairan memiliki energi yang dapat mengatasi gaya antaraksi di antara molekul-molekul cairan. Gaya antaraksi antarmolekul pada permukaan cairan dinamakan tegangan permukaan. Jadi, molekul-molekul yang menguap memiliki energi lebih besar daripada tegangan permukaan. Penjelasan tersebut digambarkan secara mikroskopik pada Gambar 2.5 di bawah ini. Berdasarkan pemahaman level submikroskopik sesungguhnya dalam suatu wadah yang berisi air terjadi proses penguapan pada suhu tertentu.
35
Saat menguap, molekul meninggalkan cairan ke gas
Saat kondensasi, molekul meninggalkan gas ke cairan
Gambar 2.5 Proses Penguapan Air (Sumber: General, Organic, and Biological Chemistry. Smith, 2010)
1) Tekanan Uap Kemudahan suatu zat menguap ditentukan oleh kekuatan gaya antarmolekul (tegangan permukaan). Semakin lemah gaya antarmolekul semakin mudah senyawa itu menguap. Pada suhu rendah, molekul-molekul zat dapat meninggalkan permukaan cairan membentuk kesetimbangan dengan cairan yang berada di permukaannya. Molekul-molekul fasa uap menimbulkan tekanan yang disebut tekanan uap. Faktor-faktor yang memengaruhi tekanan uap salah satunya adalah suhu. Semakin tinggi suhu zat cair, semakin besar tekanan uapnya (lihat Tabel 2.2). Tabel 2.2 Suhu dan Tekanan Uap Air Suhu (oC) Po (H2O) (mmHg) Suhu (oC) Po (H2O) (mmHg) 0 4,58 50 92,57 6,54 60 149,4 5 10 9,21 70 233,7 20 17,54 80 355,1 30 31,82 90 525,7 40 55,35 100 760,0 Sumber: Chemistry Chemistry: The Practical Science. Kelter, et al., 2009
36
2) Penurunan Tekanan Uap (∆P) Apa yang terjadi dengan tekanan uap jika ke dalam suatu cairan (misalnya, air) dimasukkan zat yang tidak mudah menguap (misalnya, gula pasir)?
Air
Larutan Gula
Manometer
Gambar 2.6 Model Level Submikroskopik Proses Penguapan Air Murni dan Larutan Gula (Sumber: The Foundations of Chemistry. Whitten, et al., 2008)
Adanya zat terlarut nonvolatile (tidak mudah menguap) di dalam suatu pelarut dapat menurunkan tekanan uap pelarut. Akibatnya, tekanan uap larutan lebih rendah dari tekanan uap pelarut murninya. Fakta tersebut dapat dijelaskan jika tekanan uap air murni lebih besar dari tekanan larutan yang mengandung zat nonvolatile, dan adanya kesetimbangan dinamis antara fasa uap dan cairannya. Oleh karena tekanan uap air murni lebih besar dari tekanan uap larutan gula maka untuk mencapai keadaan kesetimbangan, uap air murni akan diserap oleh larutan gula sampai tekanan uap di atas permukaan kedua cairan itu sama dan setimbang. Proses tersebut secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2.6. Proses
37
tersebut menghasilkan perpindahan molekul-molekul air dari pelarut murni melalui fasa uap ke dalam larutan gula sampai tekanan uap pada kedua permukaan cairan mencapai kesetimbangan. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan zat terlarut yang sulit menguap menyebabkan tekanan uap larutan lebih rendah dibandingkan dengan pelarut murninya. Pengetahuan level makroskopik dalam kehidupan sehari-hari seharusnya mampu dipahami berdasarkan pemahaman level submikroskopik tersebut. Seperti terlihat pada Gambar 2.7, siswa seharusnya mampu berpikir abstrak pada dua botol yang berisi pelarut murni dan berisi larutan berdasarkan pemahaman level submikroskopik pada konsep penurunan tekanan uap.
(a)
(b)
Zat terlarut
Gambar 2.7 (a) Pelarut Murni (H2O), (b) Larutan Pemahaman Level Submikroskopik pada Pengetahuan Level Makroskopik Tekanan Uap antara Pelarut Murni dan Larutan (Sumber: General, Organic, and Biological Chemistry. Smith, 2010)
38
3) Hukum Raoult Semua larutan dengan zat terlarut nonvolatile (zat terlarut tidak dapat terevaporasi dari larutannya) memiliki tekanan uap yang lebih rendah dibandingkan dengan tekanan uap pelarut murninya (lihat Gambar 2.7). Suatu larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-partikelnya disebut larutan ideal, hukum yang mendasarinya adalah hukum Raoult, yang menyatakan bahwa tekanan uap larutan (Plarutan) sebanding dengan fraksi zat terlarut (xzat
terlarut)
dan tekanan uap pelarut murni (Popelarut). Secara matematis
(level simbolik) rumus hukum Raoult dapat dituliskan: Plarutan = xpelarut•P0pelarut Plarutan = (1- x zat terlarut)•P0pelarut Plarutan = P0pelarut - x zat terlarut•P0pelarut P0pelarut - Plarutan= x zat terlarut•P0pelarut ∆P
= x zat terlarut•P0pelarut
Perubahan tekanan uap berbanding lurus dengan fraksi mol zat terlarut. Keterangan
: Plarutan
= Tekanan Uap Larutan (atm)
xpelarut
= Fraksi mol Pelarut
P0pelarut
= Tekanan Uap Pelarut Murni (atm)
x zat terlarut
= Fraksi mol Zat Terlarut
∆P
= Penurunan Tekanan Uap (atm)
39
2.8.2.2 Kenaikan Titik Didih Larutan 1) Hubungan antara Titik Didih dan Tekanan Uap Titik didih adalah suhu dimana tekanan uap zat cair sama dengan tekanan udara luar seperti terlihat pada Gambar 2.8. Berdasarkan Tabel 2.2, jumlah tekanan uap air di atas permukaan cairannya bergantung pada suhu, semakin tinggi suhu maka tekanan uap airnya semakin tinggi.
Gambar 2.8 Proses Air Mendidih pada Level Makroskopik dan Submikroskopik Sumber: Chemistry Chemistry: The Practical Science. Kelter, et al., 2009
Apabila suatu larutan mempunyai tekanan uap yang tinggi pada suhu tertentu, ini berarti bahwa molekul-molekul yang berada dalam larutan tersebut melepaskan diri (menguap) dari permukaan larutan dengan mudahnya. Apabila pada suhu yang sama, suatu larutan lain mempunyai tekanan uap yang rendah, ini berarti bahwa molekul-molekul dalam larutan tersebut sulit melepaskan diri (menguap).
40
Efek dari fakta tersebut terhadap titik didih larutan. Apabila molekulmolekul dalam larutan sedang melepaskan diri dengan mudahnya dari permukaan larutan, ini berarti bahwa daya tarik intermolekuler relatif lemah. Dengan demikian, tidak perlu suhu terlalu tinggi untuk memutuskan semua daya tarik intermolekuler tersebut agar larutan mendidih. Larutan dengan tekanan uap yang lebih tinggi pada suatu suhu tertentu adalah larutan yang titik didihnya lebih rendah. Larutan akan mendidih ketika tekanan uapnya menjadi sama dengan tekanan udara luar. Apabila suatu larutan mempunyai tekanan uap yang tinggi pada suhu tertentu, maka tidak perlu menambahkan tekanan uap agar menjadi sama dengan tekanan udara luar. Di lain pihak, apabila tekanan uapnya rendah, maka harus meningkatkan tekanan uapnya setinggi-tingginya sampai besarnya menjadi sama dengan tekanan udara luar.
Dari kedua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika dua larutan pada suhu yang sama maka larutan dengan tekanan uap yang lebih tinggi adalah larutan yang titik didihnya lebih rendah.
Berdasarkan pernyataan di atas, jika suatu pelarut murni (misalnya, air) dibandingkan dengan suatu larutan (adanya zat terlarut) pada suhu yang sama maka akan terlihat fenomena seperti pada Gambar 2.7, tekanan uap pelarut lebih besar dibandingkan dengan larutannya. Artinya larutan memiliki tekanan uap yang lebih rendah daripada pelarut murninya, hal tersebut terlihat dengan adanya perbedaan dari tinggi air raksa di ruas kanan dan kiri manometer pada Gambar
41
2.6. Agar tekanan manometer pada ruas kanan dan kiri sama maka suhu pada larutan sebelah kanan harus dinaikan.
(a)
(b)
Gambar 2.9 (a) Pelarut Murni (H2O), (b) Larutan Gula Pemahaman Level Submikroskopik pada Pengetahuan Level Makroskopik Titik Didih antara Pelarut Murni dan Larutan Gula Sumber: Illustrated Guide to Home Chemistry Experiments. Thomson, 2008
Kesimpulannya
adalah
adanya zat
terlarut
yang sulit
menguap
menyebabkan tekanan uap larutan lebih rendah daripada pelarut murninya, maka larutan akan mendidih pada suhu yang lebih tinggi daripada titik didih pelarut murninya, pada tekanan luar yang sama. 2) Kenaikan Titik Didih Larutan Dengan demikian adanya zat terlarut akan mengakibatkan kenaikan titik didih latutannya. Perbedaan ini dapat digambarkan menurut diagram fasa pada Gambar 2.10 berikut ini.
42
1 atm
larutan
T e k a n a n
Titik beku larutan
padat
Pelarut murni
cair
suhu Titik beku pelarut murni Titik didih pelarut murni Titik didih larutan
∆Tf dan ∆Tb masing-masing merupakan perbedaan titik beku dan titik didih antara pelarut dan larutan
Gambar 2.10 Diagram Perubahan Fasa dari Pelarut dan Larutan Terjemahan dari Principles of general chemistry. Silberberg, 2007 Pada Gambar 2.10, titik didih larutan lebih besar daripada titik didih pelarut murninya. Perbedaan titik didih larutan dan pelarut murninya pada diagram perubahan fasa dinyatakan dengan simbol ∆Tb yang disebut kenaikan titik didih. Besarnya ∆Tb sebanding dengan jumlah molekul relatif zat terlarut dan pelarutnya. Molalitas (m) lebih digunakan untuk menyatakan konsentrasi (dari pada fraksi mol dan persen massa) karena dihasilkan persamaan yang lebih sederhana yang menghubungkan ∆Tb dan konsentrasi yang mengikuti persamaanpersamaan sebagai berikut: ∆Tb = m.Kb Keterangan
:
∆Tb
= kenaikan titik didih (oC)
m
= molalitas zat terlarut (molal)
Kb
= tetapan titik didih molal (oC/molal)
43
Kb merupakan konstanta tetapan kenaikan titik didih molal (oC/molal), konstanta kenaikan titik didih molal merupakan karakteristristik dari setiap pelarut (lihat Tabel 2.3). Tabel 2.3 Titik Didih, Tb (pada 1 atm) dan Harga Kb Beberapa Pelarut Pelarut Tb (oC) Kb (oC kg/mol) Air (H2O) 100,0 0,51 Karbon tetraklorida (CCl4) 76,5 5,03 Kloroform (CHCl3) 61,2 3,63 Benzena (C6H6) 80,1 2,53 Karbon disulfida (CS2) 46,2 2,34 Etil eter (C4H10O) 34,5 2,02 Kamfor (C10H16O) 208,0 5,95 Sumber: Chemistry: An Atoms First Approach. Zumdahl, 2010 2.8.2.3 Penurunan Titik Beku Larutan Perubahan wujud zat dari cair menjadi padat disebut pembekuan. Titik beku suatu cairan adalah suhu pada saat jumlah partikel-partikel pelarut yang membentuk fasa cair dan fasa padat berada dalam kesetimbangan. Berdasarkan diagram fasa pada Gambar 2.10 adanya zat terlarut menyebabkan titik beku larutan lebih rendah daripada pelarut murninya. Hal ini disebabkan karena partikel zat terlarut merupakan gangguan bagi partikel pelarut untuk saling berdekatan dan menyusun fasa padat yang teratur. Agar jarak partikel semakin dekat dan bisa menyusun fasa padat yang teratur, diperlukan penurunan suhu. Ketika suhu diturunkan maka akan terjadi kesetimbangan kembali antara jumlah partikel-partikel. Dalam fasa padat, partikel zat terlarut tidak ikut terlarut dalam padatan pelarut murni atau terpisah dari padatan pelarut murni, seperti terlihat pada Gambar 2.11.
44
es
molekul zat terlarut
Gambar 2.11 Titik Beku Larutan Level Makroskopik dan Submikroskopik Sumber: The Foundations of Chemistry. Whitten, 2008
Pada Gambar 2.11, ditunjukan model keadaan mikroskopik terjadinya kesetimbangan dinamis pada titik beku larutan sehingga terjadi penurunan titik beku larutan. Penurunan titik beku larutan adalah selisih antara titik beku pelarut dengan titik beku larutan yang dinyatakan dengan simbol ∆Tf. Hubungan antara ∆Tf dan konsentrasi mengikuti persamaan-persamaan sebagai berikut: ∆Tf = m.Kf Keterangan
:
∆Tf
= penurunan titik beku (oC)
m
= molalitas zat terlarut (molal)
Kf
= tetapan titik beku molal (oC/molal)
Kf merupakan konstanta tetapan penurunan titik beku molal (oC/molal), konstanta penurunan titik beku molal merupakan karakteristristik dari setiap pelarut (lihat Tabel 2.4).
45
Tabel 2.4 Titik Beku, Tf dan Harga Kf Beberapa Pelarut Pelarut Tf (oC) Kf (oC kg/mol) Air (H2O) 0 1,86 Karbon tetraklorida (CCl4) -22,99 30,0 Kloroform (CHCl3) -63,5 4,70 Benzena (C6H6) 5,50 5,12 Karbon disulfida (CS2) -111,5 3,83 Etil eter (C4H10O) -116,2 1,79 Kamfor (C10H16O) 179,8 40,0 Sumber: Chemistry: An Atoms First Approach. Zumdahl, 2010 2.8.2.4 Tekanan Osmotik Larutan Osmosis adalah proses spontan dimana molekul pelarut melewati membran semipermeabel dari larutan yang konsentrasi zat terlarutnya rendah ke larutan yang konsentrasi zat terlarutnya tinggi (Whitten, 2008). Membran semipermeabel adalah benda yang hanya dapat dilewati oleh molekul-molekul pelarut (air).
(a) (b) Gambar 2.12 Peristiwa Osmosis: (a) Keadaan Awal; dan (b) Keadaan Akhir Sumber: General, Organic, and Biochemistry. Denniston, 2008
Contoh peristiwa osmosis yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah mentimun yang ditempatkan dalam cairan garam akan kehilangan airnya akibat osmosis sehingga terjadi pengerutan. Peristiwa tersebut dapat dilihat pada
46
Gambar 2.12, terlihat ukuran mentimun pada keadaan awal lebih besar dibandingkan setelah terjadi peristiwa osmosis. Pada suatu percobaan, digunakan sebuah tabung U yang dipisahkan oleh membran semipermeabel untuk memisahkan larutan gula dengan air seperti yang terlihat pada Gambar 2.13. Pada Gambar (a) terlihat jumlah molekul air yang melewati membran semipermeabel lebih besar dibandingkan dengan jumlah molekul air dari larutan gula. Sehingga setelah selang beberapa waktu terjadinya pristiwa osmosis, volume larutan gula menjadi lebih besar namun konsentrasinya menjadi lebih kecil (Gambar b). Akibat adanya kenaikan volume larutan, maka ada tekanan yang menekan keluar molekul air dari larutan gula melewati membran. Tekanan pada saat tersebut dinamakan tekanan osmotik. Tekanan osmotik
Diberikan tekanan tambahan
Air murni Sukrosa
Membran semipermeabel Molekul air
Molekul sukrosa
(a) (b) (c) Gambar 2.13 Percobaan Osmosis: (a) Sebelum Peristiwa Osmosis, (b) Ketika Berlangsung Peristiwa Osmosis, dan (c) Setelah Terjadi Tekanan Osmotik Sumber: Chemistry: Concepts and Applications. Phillips, et al., 2002
47
Tekanan osmotik merupakan tekanan hidrostatik, yang dihasilkan dari proses osmosis, untuk mengimbangi tekanan dari molekul-molekul pelarut pada larutan yang konsentrasinya lebih rendah. Harga tekanan osmotik berbeda untuk setiap konsentrasi. Hubungan antara konsentrasi larutan dan tekanan osmotik pada suhu tertentu dirumuskan oleh Jacobus Henricus Van’t Hoff sebagai berikut. π = M.R.T Keterangan:
2.8.3
π
= tekanan osmotik (atm)
M
= molaritas larutan (molar)
T
= suhu mutlak (K)
R
=tetapan gas ideal (0,082 L atm mol-1 K-1)
Sifat Koligatif Larutan Elektrolit Elektrolit adalah suatu larutan yang dapat menghasilkan ion-ion dalam
larutan, yang ditunjukan dengan sifat larutannya yang dapat menghantarkan listrik. Berdasarkan daya hantarnya, elektrolit diklasifikasikan ke dalam elektrolit kuat dan elektrolit lemah. Sebagai contoh, gula termasuk nonelektrolit, CH3COOH termasuk elektrolit lemah dan K2CrO4 termasuk elektrolit kuat dengan air sebagai pelarut, seperti terlihat pada Gambar 2.14. Reaksi yang terjadi pada ketiga zat tersebut ketika dilarutkan dengan pelarut air adalah sebagai berikut: Larutan nonelektrolit:
C12H22O11 (s) → C12H22O11 (aq)
1 molekul
Larutan elektrolit lemah: CH3COOH (l) ↔ CH3COO- (aq) + H+ (aq) 2 ion
48
Larutan elektrolit kuat:
K2CrO4 (s) → 2K+ (aq) + CrO4-2 (aq)
3 ion
Secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2.14 di bawah ini.
(a) (b) (c) Gamabar 2.14 Daya Hantar Listrik Larutan: (a) Nonelektrolit, (b) Elektrolit Lemah, dan (c) Elektrolit Kuat Sumber: The Foundations of Chemistry. Whitten, 2008
Hubungan antara jumlah mol zat terlarut dan jumlah mol ionik yang terdapat dalam larutan telah dipelajari oleh Jacobus Henricus Van’t Hoff yang dilambangkan dengan (i). Hasil pengamatan hubungan harga i (faktor Van’t Hoff) dengan konsentrasi disajikan pada Tabel 2.4 berikut ini. Tabel 2.5 Hubungan Harga i (Faktor Van’t Hoff) dengan Konsentrasi Larutan Senyawa Perkiraan Konsentrasi (m) harga i 0,005 0,01 0,05 0,10 0,20 HCl 2 1,95 1,94 1,90 1,89 1,90 NH4Cl 2 1,95 1,92 1,88 1,85 1,82 CuSO4 2 1,54 1,45 1,22 1,12 1,03 CoCl2 3 2,80 2,75 2,64 2,62 2,66 K2SO4 3 2,77 2,70 2,45 2,32 2,17 Sumber : Chemistry: The Practical Science. Kelter, 2009
1,00 2,12 1,79 0,93 3,40 —
2,00 2,38 1,80 — 4,58 —
49
Dengan demikian, faktor i berhubungan dengan kekuatan elektrolit. Kekuatan elektrolit dicirikan oleh derajat ionisasi (α) dari senyawa elektrolit itu. Hubungan derajat ionisasi tersebut adalah sebagai berikut: i = {1+ (n-1)α}
dimana α =
Jumlah mol elektrolit yang terionisasi Jumlah mol elektrolit itu sebelum terionisasi
untuk nonelektrolit, nilai α = 0; dan untuk elektrolit kuat, nilai α = 1; sementara untuk elektrolit lemah berlaku : 0 < α < 1. Adanya faktor Van’t Hoff ini membedakan harga sifat koligatif antara larutan elektrolit dengan nonelektrolit. Perbedaan rumus perhitungan sifat koligatif larutan elektrolit dengan larutan non-elektrolit dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut ini. Tabel 2.6 Perbedaan Rumus Sifat Koligatif Larutan Nonelektrolit dan Elektrolit Konsep sifat koligatif Elektrolit Nonelektrolit Penurunan tekanan uap (∆P) ∆P = x 0 0 zat terlarutxP pelarut ∆P = x zat terlarutxP pelarutxi Kenaikan titik didih (∆Tb) ∆Tb = mxKb ∆Tb = mxKbxi Penurunan titik beku (∆Tf) ∆Tf = mxKf ∆Tf = mxKfxi Tekanan osmotik (π) π = MxRxT π = MxRxTxi
2.9 Hasil Penelitian yang Mendukung Menurut Overton dan Potter (2007), gaya kognitif FD/FI merupakan faktor penentu dalam prestasi akademik. Laporan beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa gaya kognitif menjadi salah satu faktor signifikan yang dapat mempengaruhi prestasi siswa pada mata pelajaran di sekolah (Altun dan Cakan, 2006). Menurut Witkin et al. (Kozhevnikov, 2007), individu dengan gaya kignitif
50
FI akan lebih kreatif dan cenderung mengalami banyak perubahan kreativitas yang lebih beragam dan dapat beradaptasi. Dalam sebuah penelitian, Dwyer dan Moore (Altun dan Cakan, 2006) melaporkan bahwa hasil tes siswa FI lebih unggul daripada siswa FD pada lembaga pendidikan yang berbeda di Amerika Serikat. Pada studi lain, Murphy, Casey, Day, dan Young (Altun dan Cakan, 2006), menemukan hubungan prestasi akademik dan gaya kognitif mahasiswa program manajemen informasi di Kanada, mahasiswa FI lebih baik daripada mahasiswa FD. Berdasarkan penelitian Tsaparalis (Overton dan Potter, 2007), siswa FD sulit memisahkan antara informasi yang relevan dengan yang tidak relevan atau sinyal noise. Sedangkan Niaz dalam Overton dan Potter, 2007), siswa FD akan memproses sinyal dan noise sehingga akan menggunakan lebih banyak fungsi kapasitas mental (M-capacity) dibandingkan dengan siswa FI yang hanya memproses sinyal. 2.9.1 Level Makroskopik Pada dasarnya level makroskopik merupakan kegiatan eksperimen atau pengalaman yang dapat dilihat siswa. Dasar dari ilmu sains adalah kemampuan dalam hal mengobservasi dan memahami suatu fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan level makroskopik diperoleh melalui pengamatan menggunakan panca indra baik secara kasat mata, menyentuh dan membauinya (Johnstone dalam Savec, Sajovic, dan Grm, 2009). Berdasarkan hasil penelitian dalam pendidikan sains (kimia, fisika, matematika, ilmu komputer dan IPA) menunjukan bahwa skor siswa FI secara signifikan lebih tinggi daripada siswa FD di tingkat universitas dan sekolah menengah (Danili, Bahar, Gray, Alamolhodaei,
51
Ziane, Al-Naeme, El-Banna dalam Chu, 2008). Selain itu, Tinajero dan Paramo (Ghani, 2004) meneliti hubungan antara gaya kognitif dan prestasi siswa pada beberapa pelajaran (Bahasa, Matematika, IPA dan IPS) memberikan hasil variasi yang signifikan dalam kinerja keseluruhan, siswa FI mengungguli siswa FD. 2.9.2 Level Submikroskopik
Level submikroskopik merupakan penjelasan yang real dan tidak kasat mata melalui pendekatan konsep teori kimia yang dapat digunakan untuk menjelaskan susunan serta pergerakan partikel (ion, elektron, molekul, dan atom) (Treagust dan Chandrasegaran, 2009; Antonoglou, Charistos, dan Sigalas, 2006; Treagust, Chittleborough, dan Mamiala, 2003; Wu, Krajcik, dan Soloway, 2001). Hasil penelitian Dickstein (Alamolhodaei, 1996), menemukan bahwa siswa FI menunjukkan kesiapan lebih besar secara signifikan pada pencapaian konsep daripada siswa FD. Penelitian lain dilakukan oleh Goodenough (Alamolhodaei, 1996), juga mencatat bahwa siswa FI umumnya lebih baik daripada siswa FD dalam pencapaian pemahaman konsep. Menurut Satterly (Thomas, 1990) bahwa FI berkorelasi dengan kemampuan ruang ketika IQ dikontrol (Ardana, 2008). Banyak penelitian menemukan bahwa siswa FI lebih tertarik pada pelajaran yang abstrak dan teoritis daripada siswa FD (Alamolhodaei, 1996). Hasil kajian Witkin (Alamolhodaei, 1996), menunjukan bahwa siswa FI lebih baik dalam kemampuan kognitif dan strukturisasi pelajaran sains dan abstrak daripada siswa FD yang lebih baik pada konteks sosial dan konkret.
52
2.9.3 Level Simbolik
Level simbolik yaitu representasi yang melibatkan penggunaan simbolsimbol kimia secara kualitatif dan kuantitatif, yang meliputi rumus kimia, aljabar, simbol kimia, struktur kimia, nomor, stoikiometri, dan perhitungan matematik, (Antonoglou, Charistos, dan Sigalas, 2006; Treagust, Chittleborough, dan Mamiala, 2003). Menurut Satterly (Thomas, 1990) bahwa FI berkorelasi dengan kemampuan matematika ketika IQ dikontrol (Ardana, 2008). Penelitain lain, Roberge dan Flexr (Alamolhodaei, 1996), menunjukan bahwa nilai siswa Sekolah Dasar (SD) bergaya kognitif FI secara signifikan lebih tinggi daripada siswa FD pada tes matematika dan problem solving. Sedangkan hasil penelitian Adams dan McLeod (Alamolhodaei, 1996), menemukan bahwa siswa FI lebih baik menggunakan metode belajar penemuan dan siswa FD lebih baik menggunakan metode ekspositori pada pelajaran matematika. Christou (Alenez, 2008), menemukan bahwa nilai siswa FI lebih baik daripada siswa FD pada soal cerita aljabar. Sedangkan Alenez menemukan hasil yang serupa dengan korelasi yang sangat signifikan perbedaan antara nilai siswa FD dan FI pada matematika (Alenez, 2008).