BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori-teori yang Relevan Teori-teori yang relevan merupakan teori yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Teori ini mencakup mengenai naskah kuno, pelestarian, tujuan pelestarian, fungsi pelestarian, pelestarian naskah, transformasi digital, prioritas utama transformasi digital, siklus digitalisasi, proses digitalisasi dan pelestarian naskah kuno dengan cara digital. 2.1.1 Pengertian Naskah Kuno Dalam dunia perpustakaan naskah kuno sering disebut dengan istilah manuskrip (manuscripts). Menurut Sudarsono (2009, 13) “manuskrip adalah unik dan biasanya memerlukan kehati-hatian dalam penanganan fisiknya karena perjalanan usia”. Kesusateraan, ilmu pengetahuan, sejarah sosial politik manusia hanya dapat ditulis secara objektif jika berdasarkan sumber asli yang dalam hal ini diantaranya termuat dalam naskah kuno. Naskah tulisan tangan ini dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otentik dalam memberikan berbagai informasi sejarah pada masa tertentu. Naskah Kuno atau Manuskrip adalah dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis dengan tangan atau diketik yang belum dicetak atau dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun lebih (UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992, Bab I Pasal 2). Naskah kuno adalah salah satu koleksi langka yang dimiliki oleh perpustakaan. Naskah kuno atau manuskrip merupakan rekaman informasi tertulis atau karya tulis yang dihasilkan sebagai produk kegiatan manusia, 8
yang merekam informasi antara lain berupa buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku di kalangan masyarakat tertentu. Feather yang dikutip dari artikel Erika (Erika 2011) menyatakan: Manuskrip adalah dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak. Kata tersebut juga berarti karangan, surat, dan sebagainya yang masih ditulis dengan tangan. Manuskrip mengenai informasi, karena manuskrip memiliki nilai informasi yang tentu sangat berharga baik ditinjau dari sejarah naskah itu sendiri maupun informasi yang tertulis di manuskrip. Naskah kuno tidak hanya ditulis pada kertas tetapi juga ditulis pada kain, lontar, lempeng tembaga, tulang, tanduk, kayu, bambu ataupun media lain juga dapat berupa lempeng batu atau tanah liat (Sudarsono 2009, 18). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan salah satunya mengatur tentang naskah kuno. Batasan dalam UU 43 Tahun 2007, yang dimaksud manuskrip adalah: Semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh tahun), dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan ilmu pengetahuan. Pada naskah kuno terdapat informasi mengenai masa lampau yang tercipta dari latar belakang sosial budaya yang tidak sama dengan latar belakang sosial budaya masyarakat sekarang. Selain itu, naskah kuno mengandung informasi yang berlimpah, tidak hanya sebatas pada kesusasteraan, tapi mencakup berbagai bidang seperti: agama, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan sebagainya.Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa naskah kuno adalah dokumen yang ditulis dengan tangan mengenai informasi masa lampau yang merupakan khazanah budaya yang 9
penting, baik secara akademis maupun sosial budaya yang lebih mengkhususkan ke bentuk asli dan tidak dicetak serta berumur di atas 50 tahun.
2.1.2 Pengertian Pelestarian Pelestarian merupakan hal yang penting dalam perpustakaan dan sudah menjadi kebutuhan perpustakaan. Menurut IFLA (International Federation of Library Association) dikutip Handayono (2012, 1) mendefinisikan “preservasi sebagai aspek-aspek yang mencakup usaha melestarikan bahan pustaka, keuangan, ketenagaan, metode, teknik serta penyimpanannya”. Preservasi dalam hal-hal tertentu seperti melakukan fumigasi, memperbaiki jilid yang rusak dan lain sebagainya memerlukan keterampilan dan ilmu yang khusus yang tidak semua orang dapat melakukannya, maka diperlukan sumber daya yang ahli dalam bidang preservasi. Sedangkan menurut Dureau dan Clements dikutip Handoyo (2012, 1) “preservasi mempunyai arti yang lebih luas yaitu mencakup unsur-unsur pengelolaan, keuangan, cara penyimpanan, tenaga, teknik dan metode untuk melestarikan informasi dan bentuk fisik bahan pustaka”. Pada dasarnya Preservasi itu upaya untuk memastikan agar semua bahan koleksi cetak maupun non cetak pada suatu perpustakaan bisa tahan lama dan tidak cepat rusak. Sutarno (2005, 109) menyatakan “pelestarian berasal dari kata “lestari” yang dapat diartikan selamat panjang umur, tetap permanen, abadi dan terus berguna bagi kehidupan manusia”. Pelestarian merupakan suatu tindakan yang dilakukan pada bahan pustaka atau arsip yang mempunyai nilai historis yang harus dilestarikan untuk 10
kepentingan sejarah, budaya atau peristiwa serta untuk benda itu sendiri agar dapat dimanfaatkan dimasa mendatang. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa pelestarian adalah kegiatan yang mencakup semua aspek dalam melestarikan baik itu bahan pustaka maupun arsip dan informasi yang dikandungnya.
2.1.3 Tujuan Pelestarian Tujuan pelestarian bahan pustaka adalah untuk mengusahakan agar bahan pustaka tidak cepat rusak. Selain itu dapat melestarikan bentuk fisik dan kandungan informasinya serta mengusahakan agar bahan pustaka selalu sedia dan siap pakai. Tujuan pelestarian bahan pustaka menurut Martoatmodjo yang dikutip Handoyo (2012, 2) adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Menyelamatkan nilai informasi dokumen Menyelamatkan fisik dokumen Mengatasi kendala kekurangan ruang Mempercepat perolehan informasi, dokumen yang tersimpan dalam CD (Compact Disk) sangat mudah untuk diakses, baik dari jarak dekat maupun jarak jauh. Sehingga pemakaian dokumen atau bahan pustaka menjadi lebih optimal.
Selain itu Yulia (2009, 9.3) menyatakan bahwa tujuan pelestarian bahan pustaka adalah “melestarikan kandungan informasi bahan pustaka dengan alih bentuk menggunakan media lain atau melestarikan bentuk aslinya selengkap mungkin untuk dapat digunakan secara optimal dalam jangka waktu yang cukup lama”.
11
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pelestarian adalah melestarikan fisik dan kandungan informasi dokumen, mengatasi kekurangan ruang serta mempercepat perolehan informasi.
2.1.4 Fungsi Pelestarian Fungsi pelestarian adalah untuk menjaga agar bahan pustaka tidak diganggu oleh tangan-tangan jahil, serangga, jamur dan sebagainya sehingga bahan pustaka dapat digunakan dalam waktu yang lama. Martoatmodjo dikutip Handoyo (2012, 2-3) menyatakan bahwa pelestarian memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu: 1. Fungsi Melindungi Bahan pustaka dilindungi dari serangga, manusia, jamur, panas matahari, air dan sebagainya. Dengan pelestarian yang baik serangga dan binatang kecil tidak akan dapat menyentuh dokumen. Manusia tidak akan salah dalam menangani dan memakai bahan pustaka. Jamur tidak sempat tumbuh dan sinar matahari serta kelembaban udara di perpustakaan mudah dikontrol. 2. Fungsi Pengawetan Dengan perawatan yang baik, bahan pustaka menjadi lebih awet, bisa lebih lama dipakai dan diharapkan lebih banyak pemustaka dapat memanfaatkan koleksi tersebut. 3. Fungsi Kesehatan Dengan pelestarian yang baik, bahan pustaka menjadi bersih, bebas dari debu, jamur, binatang perusak, sumber dan sarang berbagai penyakit, sehingga pemakai maupun pustakawan akan tetap sehat. Pembaca lebih bersemangat membaca dan mengunjungi perpustakaan. 4. Fungsi Pendidikan Pemakai perpustakaan dan pustakawan sendiri harus belajar bagaimana cara memakai dan merawat dokumen, misalnya dengan tidak membawa makanan dan minuman ke dalam perpustakaan, tidak mengotori bahan pustaka maupun ruangan perpustakaan, tidak melipat bahan pustakauntuk menandai batas bacaan, memberi tanda dengan warna (spidol, stabilo) pada kalimat yang ada dalam bahan pustaka dan sebagainya.
12
5. Fungsi Kesabaran Merawat bahan pustaka ibarat merawat bayi atau orang tua sehingga harus sabar. Bagaimana kita dapat menambal buku berlubang, membersihkan kotoran binatang kecil seperti kotoran kutu buku yang berupa noktah, dan menghilangkan noda-noda lainnya diperlukan kesabaran. 6. Fungsi Sosial Pelestarian tidak dapat dikerjakan oleh seorang diri. Pustakawan harus mengikutsertakan pemustaka untuk ikut merawat bahan pustaka dan perpustakaan. Rasa pengorbanan yang tinggi harus diberikan oleh setiap orang, demi kepentingan dan keawetan bahan pustaka. 7. Fungsi Ekonomi Dengan pelestarian yang baik, bahan pustaka menjadi lebih awet sehingga keuangan dapat dihemat. 8. Fungsi Keindahan Dengan pelestarian yang baik, penataan bahan pustaka yang rapi, perpustakaan tampak menjadi lebih indah, sehingga menambah daya tarik pemustaka dan mereka betah berada di perpustakaan.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa fungsi pelestarian antara lain adalah melindungi, mengawetkan, sebagai pendidikan, sosial, ekonomi, dan keindahan.
2.1.5 Pelestarian Naskah Preservasi pada dasarnya adalah upaya mempertahankan sumber daya kultural dan intelektual agar dapat digunakan sampai batas waktu yang selama mungkin. Secara filosofis, semua sumber daya yang mengandung nilai budaya dan intelektual dari masa lampau harus selalu tersimpan dengan baik, sehingga di masa kini dan mendatang orang selalu dapat melacak kembali apa saja yang sudah dikerjakan, dipikirkan, didiskusikan oleh sebuah masyarakat khususnya, atau sesama manusia pada umumnya. Pada UU 43 tahun 2007 pasal 6 ayat (1) huruf
13
b
menyebutkan
kewajiban
masyarakat
untuk
“menyimpan,
merawat,
dan
melestarikan naskah kuno yang dimilikinya dan mendaftarkannya ke Perpustakaan Nasional”. Selain itu pada pasal 7 ayat (1) huruf i disebutkan kewajiban pemerintah terhadap masyarakat yang menyimpan, merawat dan melestarikan naskah kuno. Berdasarkan buku Pedoman Pengelolaan Naskah Nusantara (2012, 19), preservasi naskah kuno adalah upaya mempertahankan naskah sebagai sumber daya kultural dan intelektual agar dapat digunakan sampai batas waktu yang selama mungkin. Preservasi bahan
kimia
naskah tidak hanya merupakan upaya pelestarian fisik dan
media
tulisnya,
tetapi
juga
mencakup pelestarian teks atau
kandungan informasinya. Menurut Erika (Erika, 2011) Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam preservasi fisik dan teks naskah kuno yaitu dengan melakukan konservasi, restorasi, digitalisasi dan katalogisasi. 1. Konservasi Konservasi adalah suatu bentuk upaya pemeliharaan terhadap keadaan naskah-naskah lama yang mulai tidak dapat bertahan lama hingga beratusratus tahun dengn tujuan agar naskah-naskah lama terawat dan masih dapat dipergunakan dengan dibaca dan dipahami oleh generasi penerus dan naskah disimpan agar tidak cepat rusak. Manuskrip atau naskah kuno mengandung kadar asam karena tinta yang digunakan. Tinta yang digunakan pada manuskrip terbuat dari karbon, biasanya jelaga dicampur dengan gum Arabic. Tinta ini menghasilkan gambar yang sangat stabil. Agar kondisinya tetap baik, keasaman yang terkandung dalam naskah tersebut harus dihilangkan. Setelah keasamannya hilang, manuskrip dibungkus dengan kertas khusus, lalu disimpan dalam kotak karton bebas asam. Ini merupakan salah satu cara melakukan konservasi terhadap manuskrip. 2. Setelah dilakukan konservasi, naskah kuno akan mengalami restorasi. Restorasi adalah mengembalikan bentuk naskah menjadi lebih kokoh. Ada teknik-teknik tertentu agar fisik naskah terjaga. 14
Untuk melakukan restorasi harus melihat keadaan manuskrip tersebut, karena tiap kerusakan fisik perlu ditangani dengan cara yang berbeda. Hal ini dikarenakan cara manuskrip rusak ada bermacam-macam, tergantung sebab dan jenis kerusakan. Langkah-langkah melakukan restorasi naskah kuno, antar lain: a. Membersihkan dan melakukan fumigasi minimal satu tahun sekali. b. Melapisi dengan kertas khusus (doorslagh) pada lembaran naskah yang rentan. c. Memperbaiki lembaran naskah yang rusak dengan bahan arsip. d. Menempatkan di dalam tempat aman (almari). e. Menempatkan pada ruangan ber-AC dengan suhu udara teratur. 3. Digitalisasi Digitalisasi ialah bagian dari pelestarian yang berupaya untuk menyelamatkan naskah-naskah kuno dengan memanfaatkan teknologi digitalseperti soft file, foto digital, mikrofilm, serta mengupayakan baik naskah asli atau naskah duplikatnya agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Digitalisasi manuskrip merupakan proses pengalihan manuskrip dari bentuk aslinya ke dalam bentuk digital atau menyalinnya dengan melakukan scanning (scanner) atau memfotonya dengan kamera digital. Digitalisasi naskah dilakukan agar isi kandungan dari naskah tetap terjaga jika sewaktu-waktu fisik naskah tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Digitalisasi memiliki manfaat antara lain: a. Mengamankan isi naskah dari kepunahan agar generasi seterusnya tetap mendapatkan informasi dari ilmu-ilmu yang terkandung dari naskah tersebut. b. Mudah digandakan berkali-kali untuk dijadikan cadangan (back up data). c. Mudah untuk digali informasinya oleh para peneliti jika di-upload ke sebuah alamat web. d. Dapat dijadikan sebagi obyek promosi terhadap kekayaan bangsa. 4. Katalogisasi Pada katalogisasi ini pendeskripsian isi naskah dibuat dalam bentuk abstrak atau penjelasan singkat mengenai isi naskah. Tujuannya adalah agar para peneliti, mahasiswa, atau siapapun yang ingin mengkaji suatu naskah yang dibutuhkan dapat dengan mudah melakukan penilaian sebelum membaca naskah asli. Manfaat lain dari pembuatan katalog naskah kuno ini untuk mengetahui keberadaan suatu naskah yang sudah didigitalkan. Biasanya berbentuk katalog online. Dalam buku Pedoman Pengelolaan Naskah Nusantara juga dijelaskan tujuan preservasi naskah antara lain adalah: (1) menyelamatkan nilai informasi dokumen; (2) 15
menyelamatkan fisik dokumen; (3) mengatasi kendala kekurangan ruang; (4) mempercepat perolehan informasi. Preservasi naskah memiliki fungsi antara lain yaitu: melindungi, pengawetan, kesehatan, pendidikan, kesabaran, sosial, ekonomi dan estetika. Berbagai unsur penting yang perlu diperhatikan dalam preservasi bahan pustaka adalah manajemen, SDM (Sumber Daya Manusia) dan anggaran. Kebijakan preservasi mencakup alih format/alih media dan konservasi.
2.2
Transformasi Digital Perpustakaan dengan koleksinya yang lengkap merupakan sumber utama
dalam pelayanan informasi. Sebagai sumber informasi, koleksi perpustakaan tidak hanya dalam bentuk tercetak atau tertulis saja, tetapi ada juga dalam bentuk mikro dan digital. Alih media bahan pustaka merupakan salah satu dari strategi perpustakaan dalam melestarikan koleksinya, terutama koleksi khusus seperti naskah, surat kabar, peta dan buku langka. Koleksi bahan perpustakaan dalam bentuk teks atau gambar dapat dialih mediakan menjadi 4 bentuk, yaitu: 1). Alih media ke dalam bentuk mikro; 2). Transformasi digital; 3). Fotografi dan 4). Fotokopi. Alih media dalam bentuk digital (digitalisasi) lebih dikenal dengan nama transformasi digital, yang merupakan kegiatan pelestarian untuk menyelamatkan kandungan informasi bahan pustaka dengan cara mengalihmediakan bahan pustaka asli melalui alih media digital ke bentuk media baru seperti CD-ROM, DVD dan sebagainya. Menurut Chowdury dikutip Husna (Husna 2013) “digitization is the process of taking a physical item, such as a book, manuscript or photograph, and making a 16
digital copy of it. Digitization entails creating a digital copy of an analogue object”. Maksudnya digitalisasi adalah suatu proses mengalih bentuk dari fisik suatu buku, manuskrip/naskah kuno dan foto ke dalam bentuk digital. Digitalisasi mencakup pembuatan kopi file digital dari suatu objek yang berbentuk analog (koleksi asli sebelum bentuk digital). Definisi lebih lengkap diungkapkan Smith dikutip Sari (Sari 2008) yang mengatakan digitalisasi adalah “the converting of a printed page to digital electronic form through scanning to create an electronic page image suitable for computer storage, retrieval and transmission”. Secara garis besar berarti bahwa digitalisasi adalah proses konversi bentuk tercetaak ke dalam bentuk elektronik melalui pemindaian (scan) untuk menciptakan halaman elektronik yang sesuai dengan penyimpanan, temu kembali dan transmisi komputer. Gardjito (2002, 13) mengatakan bahwa kelebihan bentuk digital dibandingkan dengan bentuk media lain adalah bahwa informasi digital ikut membentuk sebagian besar peningkatan budaya dan warisan intelektual bangsa serta memberikan manfaat yang penting bagi penggunanya. Kemampuan untuk menghasillkan, menghapus dan mengkopi informasi dalam bentuk digital, menelusuri teks dan pangkalan data, serta mengirim informasi secara cepat melalui sistem jaringan telah menciptakan suatu pengembangan yang luar biasa dalam teknologi digital. Salah satu contoh dari kelebihan produk digital ialah yang dikemas dalam bentuk CD-ROM dimana cara penelusuran informasinya berbeda dari cara pengaksesan informasi melalui jaringan internet. Pada umumnya pada CD-ROM
17
telah dilengkapi dengan perangkat lunak untuk pengoperasian penelusuran dan penganalisaannya.
2.2.1 Prioritas Utama Digitalisasi Langkah pertama dalam menentukan metode pelestarian yang tepat adalah dengan membuat suatu prioritas. Prioritas ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa perpustakaan tidak dapat menyimpan seluruh materi/koleksi. Atkinson dikutip Rachman (Rachman 2013) membagi tiga kelas utama materi perpustakaan yang dapat dilestarikan, yaitu: 1. Materi yang memiliki nilai ekonomi tinggi 2. Materi yang sering digunakan 3. Materi yang jarang digunakan namun berguna untuk penelitian Strategi lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan koleksi yaitu mengidentifikasi materi-materi perpustakaan dalam subjek tertentu. Oleh sebab itu, prioritas untuk materi yang bisa atau harus dilestarikan hendaknya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan: 1. Materi perpustakaan seperti apa yang harus dilestarikan? 2. Materi perpustakaan seperti apa yang harus ditransfer durable medium seperti microfilm, compact disk dan sebagainya? 3. Apakah materi yang terus diproduksi dapat dilestarikan dengan alih media dari bentuk asli ke bentuk lain? 4. Metode khusus apa yang harus ditentukan dalam menangani perbaikan materi? Sedangkan menurut Seadle (2004, 119), selection materials for digital preservation depends on there criteria: 1. Whether the materials are both valuable and endangered; 18
2. Whether appropriate digitization procedures and standards for these materials exits; and 3. Whether copyright allows reasonable access for educational and research purposes. Maksud dari uraian tersebut adalah pemilihan bahan untuk dialihmediakan ke dalam bentuk digital bahan pustaka tergantung pada tiga kriteria, yaitu: 1. Apakah bahan pustaka merupakan bahan pustaka yang rusak dan berharga; 2. Apakah prosedur digitalisasi bahan pustaka ini sesuai dengan standar yang ada; dan 3. Apakah hak cipta memberikan akses untuk tujuan pendidikan dan penelitian. Selain faktor tersebut, faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pelestarian digitalisasi adalah gedung dan tempat penyimpanan. Hal ini tergantung pada dana yang tersedia untuk pelestarian serta fasilitas penyimpanan yang cocok.
2.2.2 Siklus Digitalisasi Ada beberapa tahap dalam melakukan proses konversi digital. Menurut Beagrie and Greenstein dikutip Latief (Latief 2014) istilah ini dikenal dengan siklus digitalisasi. Berawal dari identifikasi kategori, menghimpun/mengumpulkan koleksi, digitalisasi, pengatalogan, pengelolaan dan terakhir pendistribusian. 1. Identifikasi Kategori Penetapan kategori dari pemilihan informasi harus dipertimbangkan berdasarkan kebutuhan yang dapat mewakili kepentingan berbagai sektor. Setelah penetapan kategori tersebut dipilih maka harus melihat pada hak cipta. Jika dilindungi 19
oleh hak cipta maka kita harus mendapatkan izin dari pemilik hak cipta tersebut. Menurut Gardjito (2002, 15) berdasarkan beberapa kategori ini ditetapkan kategori pokok yang dibedakan dari sumber informasi tingkat pertama, kedua dan ketiga. Sebagai contoh terdapat beberapa area pokok yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan kategori dari informasi yang dipilih antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Pendidikan dan penelitian Bahasa dan informasi umum Kesehatan publik dan fasilitas kesehatan Sumber-sumber pemasukan pemerintah Sumber-sumber pemasukan non-pemerintah Sejarah dan sumber budaya Kependudukan dan sensus penduduk Perkotaan dan pengembangannya Perdagangan dan perniagaan Perundang-undangan dan masalah politik
2. Menghimpun/Mengumpulkan Koleksi Kemudian menghimpun/mengumpulkan koleksi yaitu dengan menyiapkan akses untuk dijadikan koleksi digital. Gardjito (2002, 15) mengatakan bahwa terdapat banyak organisasi maupun kelompok tertentu yang menghimpun kandungan informasi lokal dan mengolahnya dalam bentuk informasi digital, mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam memanfaatkannya, ada yang secara murni untuk kepentingan pelestarian dan ada pula yang lebih mementingkannya untuk keperluan akses. Agar penghimpunan dapat dilakukan dapat dilakukan secara optimal, seharusnya setiap pusat dokumentasi dan informasi (Pusdokinfo) mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mengumpulkan kandungan informasi. Hal ini
20
berarti bahwa mereka juga mempunyai tanggung jawab pula dalam menyiapkan akses koleksi digital yang mereka miliki melalui situs web. 3. Digitalisasi Melakukan digitalisasi/proses digital. Pengalihmediaan informasi dari berbagai jenis media dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam alat perekam, poses yang paling sederhana adalah dengan memakai bantuan alat perekam (scanner) atau kamera digital untuk menghasilkan gambar elektronik (bitmap images). Kualitas gambar sangat tergantung dari jumlah titik yang terekam oleh scanner. Faktor lain dalam menentukan kualitas gambar dalam bentuk digital adalah jenis alat perekam yang digunakan yang mampu merekam secara optimal seluruh detail gambar dari fisik aslinya (Gardjito 2002, 17). Adapun prosedur yang diperlukan pada saat pengalihmediaan meliputi: a. Pengecekan kelengkapan sumber informasi apakah telah memenuhi syarat sebagai dokumen. b. Pemilihan perangkat rekam dan perangkat lunak yang sesuai untuk proses pengalihmediaan. Beberapa pertimbangan dalam memilih perangkat perekam ditentukan oleh: 1) Kategori dokumen yang akan direkam 2) Kelengkapan dokumen 3) Resolusi yang diperlukan 4) Jumlah dokumen yang akan direkam 5) Kualitas, keadaan fisik dokumen 6) Kemampuan perangkat lunak yang digunakan c. Pembuatan kopi untuk pengganti apabila terjadi kerusakan pada media. 4. Pengatalogan Agar informasi tersebut berupa data yang telah direkam dan dapat ditelusuri kembali maka diperlukanlah metadata. Metadata dapat diartikan sebagai data tentang 21
data yang mempunyai kemampuan dalam menemukan suatu sumber, menunjukkan lokasi data/dokumen serta memberikan ringkasan tentang apa yang perlu dimanfaatkan. Terdapat 3 hal yang diperlukan dalam pembuatan metadata untuk sebuah informasi, yaitu penyandian (encoding), pembuatan deskripsi untuk informasi dan preservasi serta penyediaan akses untuk deskripsi tersebut. 5. Pengelolaan Gardjito (2002, 17) mengatakan keterlibatan dan dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam pengelolaan informasi digital. Hal ini penting untuk dilaksanakan agar pengelolaan informasi tetap terus berjalan dan dipertahankan kelangsungannya. Tahap pengelolaan informasi digital dapat dilakukan oleh pemrakarsa, pembuat peraturan, pembuat/pencipta, pemilik hak cipta, penyandang dana, pendukung, pembaca dan konsevator. a. Pemrakarsa yaitu pengembangan koleksi; mengumpulkan materi/informasi mutakhir baik tercetak/terekam yang perlu dialihmediakan dalam bentuk digital. b. Pembuat peraturan yaitu undang-undang deposit; kewajiban menyerahkan karya cetak dan karya rekam ke lembaga yang berwenang, untuk disimpan, dilestarikan dan didayagunakan. c. Pembuat/pencipta yaitu pembuat digital record. Kurangnya pengawasan terhadap format yang digunakan mengakibatkan tidak dapat dimanfaatkan informasi digital untuk kepentingan lain yang berbeda. d. Pemilik hak cipta yaitu menegakkan keberadaan hak cipta. Pemilik berhak untuk menuntut atas hak cipta dari karyanya yang dialihmediakan. e. Penyandang dana, mengupayakan ketersediaan dana untuk penyeleksian, penghimpunan, pengalihmediaan, dan pengemasannya dan pendistribusiannya. f. Pendukung, mengupayakan bentuk dan media baru dari berbagai sumber informasi yang diproduksi dari berbagai macam media. g. Pembaca, yang mendapatkan akses informasi. Pembaca akan menuntut materi dalam format yang mutakhir untuk ditayangkan termasuk juga bentuk digital dalam kemasan lain. 22
h. Konservator, menjaga kelestarian bentuk fisik asli dialihmediakan informasinya untuk kepentingan penelitian.
dokumen
yang
6. Pendistribusian Tahap akhir dari proses digitalisasi ini adalah tahap pendistribusian. Sistem pendistribusian informasi digital dapat dilakukan melalui situs web dari masingmasing perwakilan atau dari badan/asosiasi yang menjadi pusat pengelolaan kandungan informasi lokal. Informasi yang dilayankan dapat berupa teks dan gambar. Untuk karya yang berupa teks yang sudah dikategorikan wewenang publik (public domain) maka secara penuh/keseluruhan (fulltext) dapat dilayanankan kepada masyarakat, demikian pula halnya untuk karya lukisan maupun gambar. Lain halnya dengan apabila karya tersebut masih dilindungi hak cipta untuk mendistribusikannya secara luas dalam bentuk digital (Gardjito 2002, 19).
2.2.3 Proses Digitalisasi Menurut Pendit (2007, 103) proses digitalisasi adalah proses mengubah dokumen tercetak menjadi dokumen digital. Proses digitalisasi dapat dilakukan terhadap berbagai bentuk bahan pustaka seperti peta, naskah kuno, foto, karya seni patung, lukisan dan sebagainya. Proses digitalisasi untuk naskah kuno atau buku yang sudah sangat tua dapat dilakukan dengan kamera khusus beresolusi tinggi yang mampu memotret setiap detail dari naskah tersebut. Untuk naskah yang sudah sangat rapuh dibutuhkan proses laminating dengan plastik khusus sebelum dokumen tersebut di scan atau difoto.
23
Saleh (2010, 13) berpendapat bahwa proses pembuatan dokumen digital secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Seleksi dan pengumpulan bahan yang akan dibuat koleksi digital, bahanbahan yang akan dikonversi dari tercetak menjadi digital perlu diseleksi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan digitalisasi koleksi perpustakaan. 2. Pembongkaran jilid koleksi agar bisa dibaca alat pemindaian (scanner), proses ini perlu dilakukan untuk memudahkan operator pemindai melakukan proses pemindaian lembar demi lembar dari bahan tersebut. 3. Pembacaan halaman demi halaman dokumen menggunakan alat pemindai yang kemudian disimpan dalam format file PDF. Hasil proses ini adalah dokumen dalam bentuk elektronik atau file komputer. 4. Pengeditan, hasil pemindaian tadi masih perlu diedit, terutama jika ukuran kertas yang ditentukan pada saat scanning tidak tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan editing seperti pemotongan pinggiran halaman, pembalikan halaman dan lain-lain. Selain itu juga perlu dilakukan penggabungan halaman jika pemindaian dilakukan secara sepotong-sepotong. 5. Pembuatan serta pengelolaan metadata (basis data) agar dokumen tersebut dapat diakses dengan cepat. Pembuatan basis data ini dapat menggunakan perangkat lunak apa saja yang dapat dikenal dan biasa digunakan oleh manajer sistem. 6. Melengkapi basis data dokumen dengan abstrak jika diperlukan. Terutama untuk dokumen-dokumen yang berisi informasi ilmiah serta monograf lainnya. Sedangkan untuk dokumen yang berisi informasi singkat dan semacamnya, cukup ditambahkan keterangan atau anotasi. 7. Proses selanjutnya adalah pemindaian dokumen PDF serta basis data ke CDROM atau DVD. Setelah dokumen digital selesai, maka tahap berikutnya adalah mengumpulkan dokumen tersebut, menata serta mengkopinya ke dalam CD-ROM atau DVD. 8. Penjilidan kembali dokumen yang sudah dibongkar dan dokumen tersebut dapat dikembalikan ke tempat penyimpanannya. Hartinah (2009, 15) berpendapat bahwa kegiatan alih media koleksi perpustakaan antara lain adalah: 1. Pembuatan daftar pengelompokan koleksi yang akan dilakukan alih media. 2. Pengambilan koleksi dari ruang koleksi. 3. Melakukan scan menggunakan scanner terhadap koleksi sesuai urutan dalam daftar dan kelompok koleksi. 24
4. Pengecekkan dan pencocokan kelengkapan hasil scan dan koleksi yang di scan. 5. Pengembalian koleksi ke ruang koleksi. 6. Hasil scan koleksi disimpan ke dalam database dan server termasuk membuat back up data, pemberian nama-nama khusus terhadap file-file untuk memudahkan proses temu kembali. 7. Hasil scan koleksi disiapkan dalam CD atau DVD untuk disimpan dalam ruang koleksi atau untuk kebutuhan diseminasi informasi. 8. File-file hasil scan koleksi dihubungkan ke dalam website perpustakaan agar bisa diakses oleh pengguna. 9. Membuat buku petunjuk bagi pengguna tentang cara melakukan temu kembali atau akses informasi dan peraturan-peraturan terhadap hak kekayaan intelektual (HaKI) terhadap koleksi bentuk digital. Selain itu Pendit (2007, 106) mengatakan bahwa proses digitalisasi dibedakan menjadi 3 (tiga) kegiatan utama, yaitu: (1) scanning, yaitu proses memindai (menscan) dokumen dalam bentuk cetak dan mengubahnya ke dalam bentuk berkas digital; (2) editing, adalah proses mengolah berkas PDF di dalam komputer dengan cara memberi password, watermark, catatan kaki, daftar isi, hyperlink dan sebagainya. Kebijakan mengenai hal-hal apa saja yang perlu diedit dan dilindungi di dalam berkas tersebut disesuaikan dengan kebijakan yang telah ditetapkan perpustakaan; (3) uploading, adalah proses pengisian (input) metadata dan mengupload berkas dokumen tersebut ke digital library. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa proses digitalisasi antara lain adalah seleksi koleksi yang akan didigitalisasikan, mengumpulkan koleksi yang akan didigitalisasikan, melakukan scan, membuat back up, memberi nama-nama khusus agar mudah ditemu kembalikan dan dihubungkan ke dalam website apabila diperlukan.
25
2.2.4 Pelestarian Naskah dengan Proses Digital Menurut Darmono (2007, 102) preservasi secara digital atau digital preservation adalah pelestarian isi dokumen (koleksi perpustakaan) dengan cara dialihkan ke dalam bentuk digital. Kegiatan ini banyak dilakukan oleh perpustakaan untuk melestarikan kandungan isi dokumen. Melalui preservasi digital maka diharapkan kebertahanan koleksi digital dapat terjamin. Pada UU 43 tahun 2007 pasal 9 huruf c menyebutkan “Pemerintah berwenang mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat untuk dilestarikan dan didayagunakan”. Hartinah (2009, 16) juga berpendapat bahwa tujuan alih media dokumen langka dan dokumen kuno dimaksudkan untuk melestarikan nilai atau kandungan informasi, meningkatkan akses pada informasi dan pengetahuan yang tersembunyi, mempromosikan sumber daya yang pernah ada (sejarah, budaya, pengetahuan dan lain-lain) serta mempromosikan instansi atau lembaga sumber dokumen. Dalam buku Pedoman Pengelolaan Naskah Nusantara dijelaskan bahwa digitalisasi merupakan proses konversi naskah bermedia kertas, bambu, lontar atau media lain ke dalam bentuk elektronik atau digital melalui proses transformasi atau alih media berbasis komputer. Setiap kegiatan digitalisasi merupakan upaya melestarikan kandungan teks dalam naskah. Selain itu, digitalisasi mengacu pada perkembangan akses melalui internet atau mengurangi intensitas sentuhan langsung pengguna terhadap koleksi yang berdampak pada kerusakan. Adapun perlakuan dokumen langka dan kuno menuju koleksi digital menurut Hartinah (2009, 16) antara lain adalah seleksi dokumen berdasarkan prioritas 26
kepentingan dan kualitas informasi, identifikasi setiap halaman untuk melihat kualitas fisik, lakukan konservasi bila diperlukan, lakukan alih media atau digitalisasi, organisasikan sesuai aturan pengolahan dokumen digital serta kontrol kualitas informasi dan kelengkapannya. Transformasi atau alih media berbasis komputer memerlukan perangkat keras, seperti komputer, pemindaian, pengonversi dan operator. Perangkat lunak seperti perangkat lunak pemindai dan pengonversi, perangkat lunak pembaca, perangkat lunak pengolah dan penyunting dan perangkat lunak penyimpan. Di samping itu diperlukan pula sumber daya manusia sebagai pembuat, pengelola dan perawat objek digital. Sangat penting untuk menyusun kriteria dalam memilih materi yang akan didigitalisasi. Dalam buku Pedoman Pengelolaan Naskah Nusantara dijelaskan bahwa secara umum semua naskah perlu didigitalisasi, namun skala prioritas dapat ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) tingginya frekuensi penggunaan naskah oleh pemustaka; (2) kerentanan naskah terhadap kemusnahan sehingga mengancam pengaksesan naskah (misalnya karena kondisi rusak); (3) keunikan teks naskah (tidak mempunyai versi lain); (4) koleksi khusus yang tidak terdapat di tempat lain; (5) memudahkan dan meluaskan akses masyarakat terhadap naskah yang telah populer. Pastikan bahwa perlengkapan yang dibutuhkan untuk program digitalisasi telah tersedia seperti perangkat keras untuk proses digitalisasi (contoh: scanner, kamera digital, lampu kamera dan lain-lain), infrastruktur komputer yang terhubung 27
dengan perangkat keras, perangkat lunak pengambil gambar dan perangkat lunak pemproses gambar, perangkat lunak untuk metadata dan kontrol kualitas. Lingkungan harus sesuai dengan kondisi preservasi. Pastikan bahwa setiap proses digitalisasi, seperti penanganan, penekanan terhadap cahaya dalam proses pemindaian (scanning), pemotretan, penyimpanan sementara dan sebagainya tidak mempunyai dampak negatif terhadap naskah. Produk digitalisasi disimpan dalam mesin server, bagaimanapun mesin ini membutuhkan back up yaitu konten digital yang disimpan dalam media yang dapat dipindahkan (CD, DVD, cakram padat, dan sebagainya). Dalam menentukan media, harus difikirkan bahwa media tersebut akan usang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Perlu dilakukan perpindahan data ke media penyimpanan baru setiap lima tahun sekali. Perpindahan master naskah digital dilakukan agar tidak mengalami kehilangan informasi. Selanjutnya mempublikasikannya dengan menampilkannya melalui internet. Menurut Mafar (2012, 9) hal terpenting dalam rangka preservasi digital adalah proses back up. Beberapa kejadian seperti hilangnya data yang menyebabkan terhentinya proses pelayanan terjadi akibat kelalaian pengelola perpustakaan dalam membuat cadangan data. Oleh karena itu, proses back up perlu dilakukan secara berkala. Dengan demikian, terhambatnya pelayanan akibat kehilangan data dapat segera diatasi. Dari penjabaran tersebut dapat dikatakan bahwa proses digitalisasi naskah antara lain adalah: (1) penelusuran dari tempat penyimpanan atau lokasi asal; (2) 28
pembersihan dan persiapan; (3) pemindaian atau fotografi; (4) pengembalian terhadap lokasi asal; (5) penamaan berkas; (6) pembuatan berkas versi online dari berkas master: (7) back up server atau media penyimpanan.
2.3 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Rujukan penelitian pertama yaitu skripsi Andri Priyatna mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2008 dengan judul Transformasi Digital sebagai Proses Pelestarian Kandungan Informasi Intelektual (Studi Kasus di Perpustakaan Nasional RI). Dalam penelitiannya peneliti menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan melalui wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive sampling serta dengan melakukan kajian pustaka terhadap literatur yang terkait. Hasil wawancara dengan informan Perpustakaan nasional RI melakukan pelestarian bahan pustaka dengan cara mengalihmediakan kandungan informasi bahan pustaka dengan melalui 3 tahapan utama, yaitu pertama proses pemindaian (scanning), kedua proses penyuntingaan (editing) dan ketiga proses pengemasan (packaging). Rujukan penelitian kedua yaitu skripsi Yusika Putriani mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2012 dengan judul Kebijakan Digitalisasi Naskah Kuno di Perpustakaan Museum Negeri SonobudoyoYogyakarta. Dalam penelitiannya peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Untuk 29
menganalisis data didasarkan pada teori Miles dan Huberman dengan tiga langkah (1) reduksi data: memfokuskan pada tema penelitian, (2) penyajian data: menjelaskan berdasarkan observasi, wawancara dan dokumentasi, serta (3) penarikan kesimpulan: menyimpulkan hasil analisis setelah tahapan analisis selesai. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kebijakan digitalisasi di Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta ada bentuk tertulis dan lisan yang tertuang dalam SOP (Standard Operating Procedure), prosedur tetap, surat perjanjian, Undangundang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, peraturan Gubernur DIY No. 54 Tahun 2008 dan Undang-undang No. 75 tahun 2008 tentang tata cara pengolahan dan pembinaan kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya. Proses alur kerja dalam kegiatan digitalisasi naskah kuno di Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta yang pada saat ini masih mengambil dari berbagai sumber baik dari lembaga dan museum proses digitalisasi dengan cara pengumpulan, pendataan, scan, edit dan penyimpanan. Kendala yang dihadapi antara lain adalah masih kurang sumber daya manusia, peralatan yang digunakan dan waktu yang sangat terbatas. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu untuk mengetahui bagaimana proses transformasi digital yang dikhususkan untuk koleksi naskah kuno yang dilakukan oleh Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan melalui wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive sampling, observasi dan dokumentasi.
30