BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran Sejarah Lokal a. Model Pembelajaran 1) Pengertian model pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun telah meninjau model-model pembelajaran yang dianggap bermanfaat dan mengujinya pada siswa. Menurut Joyce, dkk. (2011:1), model-model pembelajaran (models of teaching) merupakan salah satu cara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan (intelligence-oriented education) dan memberikan keluasan pada siswa untuk mendidik diri mereka sendiri. Kunci dari efektivitas modelmodel pengajaran ini adalah melatih siswa untuk menjadi pembelajar yang handal (more powerful learners). Ditegaskan kembali oleh Joyce, dkk. (Porda, 2009:42-43) bahwa model pembelajaran merupakan perencanaan suatu pola yang dapat digunakan sebagai desain dan petunjuk pembelajaran dalam ruang kelas. Model pembelajaran merupakan bentuk nyata belajar sehingga dapat membantu siswa mendapatkan informasi, ide, keterampilan, nilai, pandangan berpikir, dan cara pemahaman diri, serta membantu siswa bagaimana belajar. Model-model pembelajaran yang dikembangkan oleh Joyce, Weil dan Calhoun (Huda, 2014:75) memiliki struktur yang jelas. Implementasi setiap model dideskripsikan dalam struktur ini, antara lain: a) Sintak (syntax), merupakan tahapan-tahapan atau langkah-langkah model pembelajaran yang mendeskripsikan implementasi model di lapangan. Sintak merupakan rangkaian sistematis aktivitas-aktivitas dalam model tersebut. Setiap model memiliki aliran tahap yang berbeda.
9
10
b) Sistem sosial (social system) mendeskripsikan peran dan relasi antara guru dan siswa. Dalam beberapa model, guru sangat berperan dominan. Dalam sebagian model, aktivitas ini lebih dipusatkan pada siswa, dan dalam sebagian yang lain aktivitas tersebut didistribusikan secara merata. c) Prinsip reaksi (principles of reaction) mendeskripsikan bagaimana seorang guru harus memandang siswanya dan merespons apa yang dilakukan siswanya. Prinsip-prinsip ini merefleksikan aturan-aturan dalam memilih model dan menyesuaikan respons intruksional dengan apa yang dilakukan siswa. d) Sistem dukungan (support system) mendeskripsikan kondisi-kondisi yang mendukung yang seharusnya diciptakan atau dimiliki oleh guru dalam menerapkan model tertentu. Dukungan yang dimaksudkan ialah prasyratprasyarat tambahan di luar skill-skill, kapasitas-kapasitas manusia pada umumnya dan fasilitas-fasilitas teknik pada khususnya. Dukungan tersebut berupa buku, film, perangkat laboratorium, materi-materi rujukan, dan sebagainya. e) Pengaruh baik yang berupa instruksional dan pengiring (instructional and nurturant effects) merupakan efek-efek yang ditimbulkan oleh setiap model. Pengaruh instruksional merupakan pengaruh langsung dari model tertentu yang
disebabakan
oleh
konten
atau
skill
yang
menjadi
dasar
pelaksanaannya. Pengaruh pengiring merupakan pengaruh yang sifatnya implisit dalam lingkungan belajar; pengaruh ini merupakan pengaruh tidak langsung dari model pengajaran tertentu. Eggen dan Kauchak (2012:7) menambahkan pengertian model mengajar atau model pengajaran sebagai pendekatan spesifik dalam mengajar yang memiliki tiga ciri yaitu tujuan, fase, dan fondasi. Tujuan model mengajar dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan memperoleh pemahaman mendalam tentang bentuk spesifik materi. Model mengajar mencakup serangkaian langkah yang disebut fase dan bertujuan membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang
11
spesifik. Model mengajar didukung teori dan penelitian tentang pembelajaran dan motivasi sebagai fondasinya. Eggen dan Kauchak (2012:8) menganalogikan penggunaan model mengajar seorang guru dengan cetak biru seorang insinyur. Sebagaimana cetak biru memberikan struktur dan arahan bagi insinyur, model memberikan struktur dan arahan bagi guru. Akan tetapi, cetak biru tidak mendiktekan semua tindakan seorang insyur dan sebuah model tidak bisa mendiktekan semua tindakan seorang guru. Cetak biru bukanlah pengganti bagi keahlian teknik dasar sebagaimana model pengajaran bukanlah pengganti bagi keahian mengajar dasar. Model tidak bisa menggantikan kualitas-kualitas yang harus dimiliki guru ahli, seperti pengetahuan profesi, sensitivitas terhadap murid dan kemampuan untuk membuat keputusan dalam situasi gawat. Model sebenarnya sebuah alat untuk membantu guru menjadikan pengajaran mereka sistematis dan efisien. Model memberikan cukup banyak fleksibilitas untuk memungkinkan guru menggunakan kreativitas mereka sendiri, sebagaimana insinyur menggunakan kreativitas dalam kegiatan membangun. Sebagaimana cetak biru, model mengajar adalah rancangan untuk mengajar di mana guru menggunakan segala kehalian dan pengetahuan yang mereka miliki. Sutikno (2014:58) menyimpulkan pengertian model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam pengorganisasian pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model pembelajaran menggambarkan keseluruhan urutan alur atau langkah-langkah yang pada umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran. Dalam model pembelajaran ditunjukkan secara jelas kegiatankegiatan tersebut, dan tugas-tugas khusus apa yang perlu dilakukan oleh peserta didik. Selanjutnya, dalam satu model pembelajaran bisa terdiri atas beberapa pembelajaran. Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah perencanaan atau kerangka konseptual yang memiliki prosedur sistematik antara lain sintak, sistem sosial, tugas atau peran guru, sistem dukungan, dan pengaruh yang berupa intruksional dan
12
pengiring yang diiukuti pada kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran membantu mencapai tujuan belajar tertentu sesuai dengan kebutuhan pembelajaran di kelas. 2) Model latihan penelitian (inquiry training model) Pada penelitian pengembangan ini, peneliti menggunakan model yang termasuk dalam kelompok model pemerosesan informasi (formal cooperative learning group) yaitu latihan penelitian (inquiry training). Model latihan penelitian (inquiry training) digunakan karena struktur pengajaran (syntax) pada model ini sesuai dengan penggunaan arsip koran sebagai sumber pembelajaran. Artikel pada arsip koran dapat digunakan untuk membangun peristiwa-peristiwa yang merangsang berpikir mahasiswa. Peristiwa-peristiwa tersebut akan dijadikan sebagai situasi permasalahan yang dapat berupa pernyataan permasalahan (problem statement) atau lembaran fakta/bukti (fact sheet) (Joyce, dkk., 2011:210). Selain itu, model ini dapat membantu mahasiswa untuk melatih kemampuan penelitian mereka. Model latihan penelitian telah dikembangkan oleh Richard Suchman (1926) untuk mengajarkan siswa tentang proses dalam meneliti dan menjelaskan fenomena asing. Model Suchman ini melibatkan siswa dalam versi-versi kecil tentang jenis-jenis prosedur yang digunakan oleh para sarjana untuk mengolah pengetahuan dan menghasilkan prinsip-prinsip. Didasarkan pada konsepsi metode ilmiah, metode ini mencoba mengajarkan siswa keterampilan dan bahasa penelitian siswa. Model latihan penelitian dirancang untuk membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan-latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke dalam periode waktu yang singkat (Joyce, dkk., 2011: 200). Tujuan
umum
latihan
peneltian
adalah
membantu
siswa
mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan yang mumpuni untuk meningkatkan pertanyaan-pertanyaan dan pencarian jawaban yang terpendam dari rasa keingintahuan mereka (Joyce, dkk., 2011: 202). Tujuan intinya adalah memberikan siswa pengalaman dalam membangun pengetahuan baru, pertentangan-pertentangan yang dimunculkan seharusnya didasarkan pada
13
gagasan-gagasan yang dapat diteliti (Joyce, dkk., 2011: 203). Model latihan penelitian ini menekankan pada kesadaran dan penguasaan pada proses penelitian, dan bukan pada isi (content) dari situasi masalah tertentu (Joyce, Weil dan Calhoun, 2011: 204). Suchman (dalam Joyce, dkk., 2011: 203) mengutarakan teorinya mengenai model latihan penelitian, antara lain: a) Siswa meneliti secara alamiah ketika mereka sedang menghadapi persoalan (kebingungan). b) Mereka dapat sadar dan belajar menganalisis strategi-strategi berpikirnya. c) Strategi-strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan dapat ditambahkan pada strategi yang telah dimiliki siswa sebelumnya. d) Penelitian kooperatif dapat memperkaya pemikiran dan membantu siswa belajar tentang ketidakmestian, sifat pengetahuan yang selalu berkembang, dan menghargai penjelasan alternatif. Wiriaatmadja dalam Porda (2009: 56-57) menambahkan dengan pendapatnya bahwa pembelajaran inkuiri merupakan suatu proses, siswa dibimbing mencari makna lebih dalam dengan aktivitas intelektual agar menghayati bukan hanya mendengarkan. Tujuan pembelajaran inkuiri tidak hanya beyond knowing dan beyond understanding, tetapi juga domain kognitif tinggi (analisis dan sintesis). Domain afektif terjadi dalam aktivitas menjabarkan nilai dan membentuk sikap, domain motorik terjadi dalam bentuk keterampilan aspek-aspek teknis inkuiri. Proses inkuiri dalam pembelajaran adalah: (1) perumusan masalah; (2) memperkenalkan konsepkonsep; (3) memformulasikan hipotesis; (4) mengumpulkan data dan informasi untuk menguji hipotesis; dan (5) penarikan kesimpulan. Selain itu, pembelajaran model inkuiri memiliki beberapa kelebihan, antara lain: a) Informasi akan lama diingat karena dicari sendiri oleh siswa. b) Siswa akan mampu menghadapi permasalahan dan situasi baru c) Siswa didorong oleh motivasi instrinsik.
14
d) Siswa mengembangkan keterampilan (nilai dan sikap) yang diperlukan dalam belajar sendiri. e) Mengembangkan daya kognitif sampai tingkat tinggi dan mengembangkan berpikir intuitif. f) Siswa dilatih berpikir induktif dan deduktif karena belajar mengambil kesimpulan secara logis dari hasil inferensi dan data yang dikumpulkan (Wiriaatmadja dalam Porda, 2009: 57). Menurut Ellis (dalam Porda, 2009: 57), bahwa sumbangan utama belajar dengan model inkuiri adalah memberi kesempatan pada siswa terlibat dalam proses mendapatkan pengetahuan melalui kontak mendalam dengan informasi sehingga memperoleh perspektif penting dari yang dibaca, dilihat, menunjukkan dan menceritakan seperti dalam buku, film, ceramah, dan sumber informasi yang lain. Pada pembelajaran dengan model inkuiri seluruh aspek pembelajaran dikembangkan, siswa tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga sikap dan keterampilan. Model latihan penelitian (inquiry training) memiliki struktur model yang jelas. Adapaun struktur tersebut ialah struktur pengajaran atau sintak, sistem sosial, peran atau tugas guru, sistem pendukung, serta dampak-dampak instruksional dan pengiring. Lebih terperinci, sebagai berikut: a) Struktur pengajaran atau sintak (syntax) Model latihan penelitian (inquiry training) (Joyce, Wdkk., 2011: 206-209) memiliki lima tahapan struktur pengajaran, antara lain: 1) Menghadapkan pada masalah Tahap pertama ini dilakukan dengan mengonfrontasikan siswa dengan situasi yang membingungkan. Mengharuskan guru untuk menyajikan situasi permasalahan dan menjelaskan prosedur-prosedur penelitian pada siswa (objek-objek dan prosedur pertanyaan Ya/Tidak). 2) Pengumpulan data – verifikasi Tahapan ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan memverifikasinya. Siswa mengajukan serangkaian pertanyaan apa saja
15
yang dapat dijawab guru dengan kata ya atau tidak. Verifikasi pada tahap kedua ini, merupakan proses dimana siswa mengumpulkan informasi tentang suatu peristiwa yang mereka lihat atau alami. Seorang guru bertugas memperluas penelitian siswa dengan cara mengembangkan jenis informasi yang mereka peroleh. Selama verifikasi, siswa mungkin mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang objek, sifat/karakteristik, kondisi, dan kejadian. Pertanyaan tentang objek dimaksudkan untuk menentukan sifat atau identitas objek. Pertanyaan tentang peristiwa berusaha untuk memverifikasi terjadinya atau sifat suatu tindakan. Pertanyaan tentang kondisi berhubungan dnegan situasi objek atau sistem pada waktu tertentu. Pertanyaan tentang sifat/karakteristik bertujuan untuk memverifikasi perilaku objek di bawah kondisi-kondisi tertentu sebagai cara memperoleh informasi baru untuk membantu membangun suatu teori. 3) Pengumpulan data – eksperimentasi Pada tahapan ini siswa mulai melaksanakan serangkaian ujicoba pada situasi permasalahan. Dalam eksprimentasi pada tahap ketiga ini, siswa
memperkenalkan
elemen-elemen
baru
ke
dalam
situasi
permasalahan untuk mengetahui mungkinkah terjadi hal lain ketika data penelitian mereka ujicoba dengan cara yang berbeda. Eksperimentasi memiiki dua fungsi : eksplorasi (exploration) dan pengujian langsung (direct testing). Eksplorasi - mengubah sesuatu untuk melihat apa yang akan terjadi - tidak semestinya dibimbing oleh sebuah teori dan hipotesis, tapi bagaimana eksperimentasi tersebut dilaksanakan untuk menawarkan gagasan-gagasan baru bagi suatu teori. Pengujian langsung muncul ketika siswa mengujicoba teori dan hipotesis. Proses konversi hipotesis ke dalam ujicoba tidak mudah dan membutuhkan banyak praktik. Untuk meneliti suatu teori, kita perlu mengajukan banyak pertanyaan verifikasi dan eksperimentasi. Oleh karena itu, salah satu tugas kita sebagai guru adalah berusaha mengendalikan siswa kapan pun mereka berasumsi bahwa sebuah variabel tidak dapat dibuktikan meskipun kita tahu sebenarnya
16
variabel tersebut bisa dibuktikan. Walaupun verifikasi dan eksperimentasi digambarkan sebagai tahap yang terpisah dari model ini, pemikiran siswa dan jenis-jenis pertanyaan yang mereka utarakan biasanya bergantian dan bergiliran antara dua tahap pengumpulan data tersebut. 4) Mengolah dan merumuskan penjelasan Siswa mengolah informasi yang mereka dapatkan selama pengumpulan
data
dan
mencoba
menjelaskan
ketidaksesuaian-
ketidaksesuaian atau perbedaan-perbedaan. Pada tahapan ini, guru meminta siswa mengolah data dan merumuskan suatu penjelasan. Beberapa siswa memiliki kesulitan dalam membuat “lompatan intelektual” (the intellectual leap) antara memahami informasi yang telah mereka kumpulkan dengan membangun penjelasan yang jelas mengenai informasi itu. Siswa mungkin
memberikan penjelasan
yang tidak sesuai,
meninggalkan rincian-rincian yang sebenarnya esensial. Terkandang, beberapa teori atau penjelasan bisa didasarkan pada data yang sama. Dalam beberapa kasus, kondisi ini acap kali berguna auntuk meminta siswa mengutarakan penjelasan mereka sehingga jangkauan hipotesis-hipotesis yang mungkin ada bisa menjadi lebih jelas. Begitu pula, dengan mengelompokkan teori-teori tersebut, siswa dapat lebih mudah memberikan penjelasan yang seluruhnya bisa merespons situasi permasalahan.
5) Analisis proses penelitian Siswa menganalisis strategi-strategi pemecahan masalah yang telah mereka gunakan selama penelitian. Singkatnya, siswa diminta untuk menganalisis pola penelitian mereka. Siswa mungkin menentukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat efektif, cara-cara bertanya yang produktif dan tidak, atau jenis informasi yang mereka butuhkan dan tidak mereka dapatkan. tahap ini pentingseandainya kita ingin membuat proses
17
penelitian
sebagai
suatu
kesadaran
dan
mulai
mencoba
untuk
mengembangkannya secara sistematis. Sederhananya tahapan struktur pengajaran pada model latihan penelitian (inquiry training) dapat diamati dari bagan berikut: Tahap Satu: Menghadapkan Pada Masalah Menjelaskan prosedur-prosedur Menjelaskan perbedaanperbedaan atau kejadian yang aneh.
Tahap Dua: Pengumpulan Data - Verifikasi Memverifikasi hakikat objek dan situasinya. Memverifikasi terjadinya situasi permasalahan.
Tahap Empat: Mengolah, Merumuskan penjelasan Merumuskan aturan-aturan dan penjelasan-penjelasan.
Tahap Tiga: Pengumpulan Data - Eksperimentasi Memisahkan variabe yang relevan. Menghipotesis (serta menguji) hubungan kausal atau sebab-akibat.
Tahap Lima: Analisis Proses Penelitian Menganalisis strategi penelitian dan mengembangkan yang lebih efektif. Bagan 2.1 Skema Struktur Pengajaran Model Latihan Penelitian (Inquiry Training) Sumber: Joyce, dkk., 2011: 207 b) Sistem sosial (social system) Model latihan penelitian (inquiry training) dapat dirancang dengan baik, dengan guru yang mengontrol interaksi dan meresapkan prosedurprosedur penelitian. Meski demikian, standar penelitian adalah kerja sama, kebebasan intelektual, dan keseimbangan. Lingkungan intelektual terbuka untuk semua gagasan yang relevan, guru, dan siswa seharusnya berpartisipasi secara sejajar dimana gagasan-gagasan bisa saling terhubung satu sama lain (Joyce, dkk., 2011: 215). Dalam tahap-tahap penelitian, peran
18
guru adalah memilih (atau membangun) situasi permasalahan, menengahi penelitian menurut prosedur-prosedur penelitian, merespons penjajakan penelitian siswa dengan informasi mereka, dan memfasilitasi diskusi antara siswa tentang situasi permasalahan tersebut (Joyce, dkk., 2011: 209). c) Prinsip reaksi (principles of reaction) Tugas terpentig dari seorang guru berada selama tahap kedua hingga ketiga. Selama tahap kedua, tugas guru adalah membantu siswa untuk meneliti, bukan melakukan penelitian untuk mereka. Jika guru ditanyai pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kata Ya dan Tidak, dia harus meminta siswa untuk menyusun kembali pertanyaan mereka agar mereka bisa melanjutkan upayanya untuk mengumpulkan data dan menguhubungkannya dengan situasi permasalahan. Jika perlu, guru bisa menjaga pergerakan penelitian dengan membuat informasi baru yang tersedia pada kelompok dan memfokuskan diri pada peristiwa-peristiwa permasalahan terntentu atau dengan mengajukan pertanyaan. Selama tahap terakhir, tugas guru adalah menjaga penelitian untuk tetap diarahkan pada proses penyelidikan itu sendiri (Joyce, dkk., 2011: 208). Secara lebih rinci, tugas atau peran guru pada model latihan penelitian (inquiry training) ialah: 1) Meyakinkan bahwa pertanyaan-pertanyaan diutarakan dengan baik sehingga pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan “Ya” atau “Tidak” dan substansi pertanyaan itu tidak mengharuskan guru melakukan penelitian. 2) Meminta siswa untuk mengutarakan kembali pertayaan yang kurang baik. 3) Menegaskan/menunjukkan poin-poin yang tidak disahkan. 4) Menggunakan bahasa proses penelitian. 5) Mencoba menyediakan lingkungan intelektual yang bebas dengan tidak menilai teori-teori siswa secara keras. 6) Mendesak siswa untuk membuat pernyataan-pernyataan teori lebih jelas dan menyediakan dukungan dalam menggeneralisasi teori itu. 7) Mendorong interaksi antara siswa (Joyce, dkk., 2011: 209).
19
d) Sistem dukungan (support system) Dukungan maksimal dalam model latihan penelitian (inquiry training) ini adalah seperangkat materi-materi yang dapat mengonfrontasi persoalan, seorang guru yang dapat memahami proses-proses intelektual dan strategi-strategi penelitian, dan materi-materi sumber yang mengandung beberapa masalah tertentu yang unik (Joyce, dkk., 2011: 209). e) Pengaruh baik yang berupa instruksional dan pengiring (instructional and nurturant effects), antara lain: 1) Dampak instruksional: (a) Proses-proses ilmiah. (b) Strategi-strategi penelitian kreatif. 2) Dampak pengiring: (a) Spirit kreativitas. (b) Kemandirian dan otonomi dalam pembelajaran. (c) Toleran pada ambiguitas. (d) Sifat pengetahuan yang tentatif (Joyce, dkk., 2011: 209). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa model latihan penelitian dirancang untuk melatih siswa dalam proses ilmiah dengan memadatkan proses ilmiah tersebut. Model ini menekankan pada kesadaran dan penguasaan pada proses penelitian, dan bukan pada isi (content) dari situasi masalah tertentu. Model latihan penelitian terdiri dari struktur pengajaran atau sintak, sistem sosial, peran atau tugas guru, sistem pendukung, serta dampak-dampak instruksional dan pengiring. Adapun struktur pengajaran dari model latihan penelitian ialah: (a) menghadapkan pada masalah; (b) pengumpulan data-verifikasi; (c) pengumpulan dataeksperimen; (d) mengolah, merumuskan penjelasan; dan (e) analisis proses penelitian.
20
b. Sejarah lokal 1) Pengertian sejarah lokal Pengertian sejarah lokal tidak dapat dipisahkan dengan pengertian sejarah dan lokal itu sendiri. Pengertian pertama ialah pengertian sejarah, sejarah yang dimaksudkan ialah tentang ilmu sejarah. Jika ditelaah dari istilahnya, maka history berasal dari kata istoria dalam bahasa Yunani yang berarti “informasi” atau “penelitian yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran”. Sejarah pada masa itu hanya berisi tentang “kisah manusia”, kisah tentang usaha-usahanya dalam memenuhi kebutuhannya (Kochhar, 2008:1). Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak didalam pertelaan; penggunaan itu, meskipun jarang, masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris didalam sebutan natural history (Gottschalk, 2006: 33). Pengertian sejarah secara sederhana dijelaskan oleh Pranoto (2010:1) sebagai “dongeng” atau cerita belaka. Begitu halnya dengan “story” atau “history” yang tidak berbeda dengan cerita. Apa yang diceritakan tidak lain adalah pengalaman tentang kejadian masa lampau manusia (post human events). Selain itu, Kartodirdjo (2014: 16-17) mengungkapkan bahwa umunya orang memakai istilah sejarah untuk menunjuk cerita sejarah, pengetahuan sejarah, gambaran sejarah, yang kesemuanya itu sebenarnya adalah sejarah dalam arti subjektif. Kartodirdjo (2014: 16-17) kemudian membagi arti sejarah menjadi dua yaitu subyektif dan obyektif. Disebut subjektif karena sejarah memuat unsur-unsur dan isi subjek (pengarang, penulis). Baik pengetahuan maupun gambaran sejarah adalah hasil penggambaran atau rekonstruksi dari pengarang, maka mau tak mau memuat sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, pandangannya, dan lain sebagainya. Sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses
21
sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi tidak dapat diulang atau terulang lagi. Istilah sejarah pada masa sekarang digunakan untuk bidang studi yang memperlakukan sejarah sebagai sebuah “aktualitas” atau ilmu (Kochhar, 2008: 12). Lebih spesifik Pranoto (2010: 2) menjelaskan sejarah adalah ilmu pengetahuan dari subjek yang definit disyaratkan oleh metode yang bebas dan teratur atau proses dan diatur dalam ketentuan yang dapat diterima. Selanjutnya, sejarah dapat diberi definisi yang membedakan dengan batasan imu sosial dan ilmu lain. Batasan tersebut dijelakan oleh Pranoto (2012: 2), bahwa sejarah dapat dibedakan menjadi kejadian masa lampau manusia, catatan aktualitas masa lampau, serta proses dan teknik pembuatan catatan. Menurut Agung dan Wahyuni (2013: 55), sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan sejarah pada penelitian dan pengembangan ini adalah sejarah sebagai mata kuliah atau ilmu. Sehingga sejarah dapat diartikan sebagai mata kuliah atau ilmu yang mempelajari kejadian masa lampau manusia baik secara subyektif maupun obyektif. Sejarah juga mata kuliah yang mengajarkan tentang pengetahuan, sikap dan nilai-nilai pada mahasiswa. Pengertian selanjutnya ialah pengertian tentang lokal. Menurut Priyadi (2012: 6), istilah lokal mempunyai arti suatu tempat atau ruang, sehingga sejarah lokal menyangkut lokalitas tertentu yang disepakati oleh para penulis sejarah atau sejarawan dengan alasan-alasan ilmiah. Contoh alasan-asalan ilmiah adalah suatu ruang tempat tinggal suku bangsa atau subsuku bangsa. Ruang itu bisa lintas kecamatan, kabupaten, atau propinsi dan dapat pula berbentuk suatu kota. Dengan begini “sejarah lokal” dengan sederhana dapat dirumuskan sebagai kisah di kelampauan dari kelompok atau
22
kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada “ daerah geografis” yang terbatas (Abdullah, 2010: 15). Ruang sejarah lokal merupakan lingkup geografis yang dapat dibatasi sendiri oleh sejarawan dengan alasan yang dapat diterima semua orang (Priyadi, 2012: 7). Sedangkan, masalah lokal adalah segala soal yang menyangkut dan berkisar pada dirinya. Karena itu pertanyaan pokoknya lebih sederhana ‘Apakah hal-hal ini, proses dan kecenderungan struktural, dapat menjelaskan perkembangan dari masyarakat di daerah ini?, dilokalitas ini?” Sekali lagi masalah pokok ialah bersumber pada logika ruang yang dimunculkan oleh realitas lokal (Abdullah, 2010: 18-19). Jadi, sejarah lokal dapat diartikan sebagai kejadian dimasa lampau manusia atau kelompok manusia secara subyektif maupun obyektif yang berada pada lokalitas tertentu dapat berupa kecamatan, kabupaten, kota, atau propinsi. Pada penelitian dan pengembangan ini, sejarah lokal dapat pula diartikan sebagai mata kuliah atau ilmu yang mempelajari kejadian masa lampau manusia maupun kelompok masyarakat yang berada lokalitas tertentu. 2) Konstruktivisme dalam pembelajaran sejarah lokal Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivisme adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (penciuman, penglihatan, perabaan, dan lainnya). Senada dengan tersebut di dalam dunia pendidikan ide-ide konstruktivis diterjemahkan bahwa semua siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri (Muijis dan Reynolds, 2008: 95-96). Konstruktivisme berkaitan dengan bagaimana individu belajar aktif dalam proses berpikir dan belajar. Dalam konstruktivisme, peserta didik adalah pemain kunci dengan berpartisipasi dalam mencari makna atau pemahaman belajar. Peserta didik tidak pasif menerima informasi, melainkan mampu mengkontruksi atau mengubah
informasi
yang
diberikan.
Peserta
didik
juga
dapat
menghubungkan pembelajaran yang baru dengan pengetahuan yang sudah
23
ada. Peserta didik harus menarik persepsi mereka tentang konteks, masa lalu, dan sekarang. Mereka dapat menggunakan konteks yang relevan dengan pembelajaran mereka guna memahami konsep-konsep dan ide-ide dalam pembelajaran (Ornsteins dan Hunkins, 2013: 110-111). Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kaum konstruktivis mengusulkan
sejumlah
metode
yang
dapat
membantu
penggunaan
konstruktivisme di kelas. Ini termasuk modelling (menunjukkan kepada siswa tentang bagaimana cara melakukan atau memikirkan tentang tugas yang sulit); scaffolding (menyediakan banyak dukungan pada awal belajar, kemudian ditarik kembali sedikit demi sedikit); coaching (membantu siswa ketika mereka sedang menyelesaikan sebuah masalah); artikulasi (meminta siswa
mengekspresikan
ide-idenya
dan
refleksi
terhadap
aktivitas-
aktivitasnya); kolaborasi, melakukan kegiatan belajar dengan siswa-siswa lain; kegiatan eksplorasi dang mengatasi masalah; memberi pilihan kepada siswa yang mendorong siswa untuk menghasilkan beragam opsi dan jawaban; bersikap fleksibel; adaptif dan bukan mengikuti rencana pelajaran yang telah diterapkan secara kaku; dan menekankan adanya multiple realities (Muijis dan Reynolds, 2008: 111). Menurut
sifatnya,
konstruktivisme
seharusnya
mendorong
eksperimentasi, kontingensi, dan kecairan dalam pelajaran (Muijis dan Reynolds, 2008: 104). Sehingga para pakar konstruktivisme mengusulkan beberapa format pelajaran konstruktivis di kelas. Salah satu contohnya ialah model empat langkah yang disajikan sebagai berikut. a) Fase start Guru mungkin ingin mulai dengan mengukur pengetahuan siswa sebelumnya dan menetapkan berbagai kegiatan. Guru dapat mulai dengan pertanyaan umum terbuka lalu mendorong siswa untuk memberikan jawaban-jawaban terbuka dan mendiskusikan tentang subjek ini. Sebagai alternatif adalah mulai dengan sebuah masalah yang relevan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Setelah itu topik pembelajaran yang dimaksud dapat
diintroduksikan.
Guru
mungkin
juga
memutuskan
untuk
24
mengintroduksikan sebuah situasi yang membingungkan atau mengejutkan, yang menyebabkan siswa memikirkan tentang situasi tersebut. Alih-alih langsung mengintroduksikan sebuah definisi atau konsep kepada siswasiswa, guru akan berusaha membuat mereka menemukan berbagai aturan dan definisi, dan akan menetapkan sebuah kegiatan yang memungkinkan mereka untuk melakukan itu (Muijis dan Reynolds, 2008: 105-106). b) Fase eksplorasi Siswa sekarang mengerjakan kegiatan yang ditetapkan guru di fase pertama. Kegiatan ini biasanya bersifat eksploratik, melibatkan situasi atau bahan-bahan riil, dan memberikan kesempatan untuk kerja kelompok. Kegiatannya mestinya distrukturisasik sedemikian rupa sehingga para siswa menghadapi isu-isu yang memungkinkan mereka mengembangkan pemahaman, da mestinya juga cukup menantang. Ada baiknya untuk mengingatkan siswa tentang proses-proses metakognitif yang mungkin mereka terapkan ketika menyelesaikan masalah (Muijis dan Reynolds, 2008: 106). c) Fase refleksi Selama fase ini, siswa mungkin diminta untuk menengok kembali kegiatan itu dan menganalisis serta mendiskusikan apa yang telah mereka kerjakan, baik dengan kelompok-kelompok lain atau dengan guru. Guru dapat memberikan scaffolding yang bermanfaat selama fase ini, melalui pertanyaan dan komentar yang dirancang untuk mengaitkan eksplorasi itu dengan konsep kunci yang sedang dieksplorasi (Muijis dan Reynolds, 2008: 106). d) Fase aplikasi dan diskusi Setelah itu guru dapat meminta seluruh kelas untuk mendiskusikan berbagai temuan dan menarik kesimpulan. Langkah berikutnya dapat diidentifikasi oleh guru atau siswa, dan poin-poin kunci direkap. Meskipun ini adalah sebuah contoh struktur yang mungkin diterapkan, kami harus mengulangi lagi bahwa tidak ada yang dapat dikatakan sebagai itulah yang
25
disebut struktur pelajaran konstrktivis, dan karena konsep-konsep dipelajari secara mendalam, maka sebuah eksplorasi dapat berlangsung selama beberapa waktu pelajaran (Muijis dan Reynolds, 2008: 106). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kontuktivisme dalam pembelajaran adalah kegiatan siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, mencari makna atau pemahaman dalam pembelajaran, mampu menghubungkan pembelajaran yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada, dan mampu menggunakan konteks yang relevan. Di kelas, guru menggunakan sejumlah
metode
yang dapat
membantu
penggunaan
konstruktivisme dan menggunakan format pelajaran kontruktivis, seperti fase start, eksplorasi, refleksi, serta aplikasi dan diskusi. Konstruktivisme
dalam
pembelajaran
sejarah
lokal
yang
dimaksudkan ialah sejarah lokal sebagai mata kuliah di Prodi Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Pada perkuliahan, dosen biasanya mengajar dengan cara “teacher center”. Materi sejarah lokal pun berdasarkan pada buku-buku yang sudah langka. Kurangnya sumber pembelajaran membuat mahasiswa menjadi pasif pada perkuliahan. Oleh karena itu, diperlukannya kontruktivisme dalam pembelajaran sejarah lokal. Mahasiswa pun dapat mengkonstruksikan pengetahuan sejarah lokal untuk dirinya sendiri, mencari makna atau pemahaman dalam pembelajaran sejarah lokal, mampu menghubungkan sejarah lokal dengan sejarah nasional, dan mampu menggunakan konteks yang relevan. c. Model pembelajaran sejarah lokal Dari
beberapa
pendapat
sebelumnya
baik
mengenai
model
pembelajaran dan sejarah lokal. Maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran sejarah lokal adalah perencanaan dari mata kuliah atau ilmu yang mempelajari kejadian masa lampau manusia maupun kelompok masyarakat yang berada lokalitas tertentu, serta memiliki prosedur sistematik antara lain sintak, sistem sosial, tugas atau peran guru, sistem dukungan, dan pengaruh yang berupa intruksional dan pengiring yang diiukuti pada kegiatan pembelajaran.
26
Model pembelajaran sejarah lokal berdasarkan konstruktivisme dalam pembelajaran. Mahasiswa dapat mengkonstruksikan pengetahuan sejarah lokal untuk dirinya sendiri, mencari makna atau pemahaman dalam pembelajaran sejarah lokal, mampu menghubungkan sejarah lokal dengan sejarah nasional, dan mampu menggunakan konteks yang relevan. Model pembelajaran sejarah lokal pada penelitian dan pengembangan ini adalah bentuk kombinasi dari model latihan penelitian dengan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Model latihan penelitian dirancang untuk melatih siswa dalam proses ilmiah dengan memadatkan proses ilmiah tersebut. Model latihan penelitian terdiri dari struktur pengajaran atau sintak, sistem sosial, peran atau tugas guru, sistem pendukung, serta dampak-dampak instruksional dan pengiring. Adapun struktur pengajaran dari model latihan penelitian ialah: (a) menghadapkan pada masalah; (b) pengumpulan data-verifikasi; (c) pengumpulan data-eksperimen; (d) mengolah, merumuskan penjelasan; dan (e) analisis proses penelitian. 2. Metode Sejarah a. Pengertian metode sejarah Pengertian metode sejarah tidak dapat dipisahkan dari pengertian metode dan sejarah itu sendiri. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yakni methodos yang berarti cara atau jalan (Hamid dan Madjid, 2011:40). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam kaidah ilmiah, metode berkaitan dengan cara kerja atau prosedur untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Hamid dan Madjid, 2011:40). Senada dengan pendapat sebelumnya, Daliman (2012:27) menambahkan bahwa metode itu sendiri berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai sesuatu tujuan secara efektif dan efesien. Metode merupakan salah satu ciri kerja ilmiah. Lebih sederhananya Pranoto (2010:11)
27
berpendapat bahwa metode selalu erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknik yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin tertentu. Pengertian sejarah yang dimaksudkan ialah sejarah sebagai ilmu yang disyaratkan oleh metode yang dapat diterima. Sejarah yang diartikan sebagai mata pelajaran atau ilmu yang mempelajari kejadian masa lampau manusia baik secara subjektif maupun objektif. Sejarah juga mata pelajaran yang mengajarkan tentang pengetahuan, sikap dan nilai-nilai kepada siswa maupun mahasiswa. Metode sejarah menurut Gottschalk (2006:39) adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses itu disebut historiografi (penulisan sejarah). Hal ini senada dengan pendapat Hamid dan Madjid (2011: 43) yang mengemukakan bahwa metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan metode sejarah adalah cara kerja, prosedur, atau teknik untuk mencapai suatu tujuan pada penelitian sejarah. Metode sejarah juga merupakan ciri kerja ilmiah untuk menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. b. Tahapan pada metode sejarah Metode sejarah memiliki beberapa tahapan yang harus dilaksanakan sebagai ciri kerja ilmiah. Menurut Sjamsuddin (2012: 70), beberapa tahapan tersebut meliputi: (1) memilih topik; (2) mengusut semua bukti yang relevan dengan topik; (3) membuat catatan-catatan yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang dipilih; (4) mengevaluasi secara kritis semua bukti yang sudah dikumpulkan; (5) menyusun hasil penelitian berupa catatan fakta-fakta ke dalam suatu pola yang sudah disiapkan sebelumnya; dan (6) menyajikan dalam suatu cara yang menarik perhatian dan mengkomonikasikannya kepada pembaca sehingga dapat dipahami sejelas mungkin.
28
Senada dengan tahapan tersebut, Gottschalk (2006: 42) membagi metode sejarah menjadi empat tahapan, yaitu: (1) pemilihan subjek untuk diselidiki; (2) pengumpulan sumber-sumber informasi yang mungkin diperlukan untuk subjek tersebut; (3) pengujian sumber-sumber tersebut untuk mengetahui sejati-tidaknya; (4) pemetikan unsur-unsur yang dapat dipercaya daripada sumber-sumber (atau bagian dari sumber-sumber) yang terbukti sejati.; dan (5) historiografi berupa sintesis daripada sumber-sumber yang telah diperoleh dengan metode tersebut. Lebih sederhana Kuntowijoyo (1995: 89), membagi metode sejarah menjadi empat tahapan, yaitu: (1) pemilihan topik; (2) pengumpulan sumber; (3) verifikasi yang terdiri kritik sejarah dan keabsahan sumber; (4) interprestasi: analisis dan sintesis; dan (5) penulisan. Empat tahapan metode sejarah terebut senada dengan pembagian menurut Hamid dan Madjid (2011: 43), yaitu: (1) heuristik (pengumpulan sumber); (2) kritik sumber (eksternal/bahan dan internal/isi); (3) interpretasi (penafsiran); dan (4) historiografi (penulisan kisah sejarah). Senada dengan pembagian tersebut, Daliman (2012:27) juga membagi metode sejarah menjadi empat tahapan, yaitu: (1) heuristik, ialah kegiatan menghimpun sumber-sumber sejarah; (2) kritik (verifikasi), meneliti apakah sumber-sumber itu sejati, baik bentuk maupun isinya; (3) interpretasi, untuk menetapkan makna dan salinghubungan dari fakta-fakta yang telah diverifikasi; dan (5) historiografi, penyajian hasil sintesis yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah sejarah. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tahapan pada metode sejarah terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Heuristik merupakan tahapan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Verifikasi adalah tahapan kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang sudah dikumpulkan untuk mengetahui sejati atau tidaknya. Interpretasi adalah tahapan penafsiran dengan menganalisis dan mensintesiskan fakta-fakta yang telah diverifikasi. Historiografi adalah tahapan akhir pada metode sejarah berupa penulisan kisah sejarah yang menyajikan hasil analisis dan sintessis dari fakta-fakta sejarah.
29
3. Arsip Koran a. Pengertian arsip koran Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, arsip adalah dokumen tertulis (surat, akta, dan sebagainya), lisan (pidato, ceramah, dan sebagainya), atau bergambar (foto, film, dansebagainya) dari waktu yang lampau, disimpan dalam media tulis (kertas), elektronik (pita kaset, pita video, disket komputer, dan sebagainya), biasanya dikeluarkan oleh instasi resmi, disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, koran adalah lembaranlembaran kertas yang bertuliskan kabar (berita) dan sebagainya yang terbagi dalam kolom-kolom (8-9 kolom), terbit setiap hari atau secara periodik. Istilah koran sama dengan surat kabar yang merupakan bentuk dari media pers cetak yang berkala harian dan mingguan. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers BAB I Pasal 1 Ayat (7), surat kabar harian ialah penerbitan setiap hari atau sekurang-kurangnya enam kali dalam seminggu. Lebih spesifik Djuroto dalam Naldi (2008:4) menjelaskan pengertian surat kabar yang merupakan kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran plano, terbit secara teratur, bisa tiap hari atau seminggu sekali. Priyadi (2012:27) menekankan pentingnya surat kabar bagi penelitian sejarah dimungkinkan karena peristiwa yang terjadi pada masa lampau diberitakan tidak jauh dari waktu kejadiannya. Laporan atau berita surat kabar menjadi penting berkaitan dengan suatu proses terjadinya peristiwa. Masalah kronologi bisa direkonstruksikan melalui pembacaan surat kabar setiap hari. Selain berita, surat kabar juga membawa jiwa zamannya dengan melihat kecenderungan-kecenderungan masyarakat, seperti selera makan, model berpakaian, harga tanah, rumah, mobil, atau secara keseluruhan sebagai gaya hidup, yang tertangkap melalui iklan-iklan yang terpasang.
30
Senada
dengan
pendapat
diatas,
Sjamsuddin
(2012:88-89)
mengartikan surat kabar sebagai sumber pertama yang amat penting bagi sejarawan. Surat kabar bagi sejarawan memiliki lima fungsi, yaitu: 1) Sebagai sebuah medium advertensi (iklan), surat kabar diklasifikasi sebagai sebuah peninggalan, serta kertas, tipe dan formatnya dianggap sebagai relik atau peninggalan. 2) Kronik dari kejadian-kejadian terakhir. Surat kabar mencatat peristiwa seharihari. Sebagai sumber laporan langsung, surat kabar akan menjadi lebih berharga bagi sejarawan di kemudian hari. 3) Mencatat pandangan-pandangan politik dan sosial yang mempunyai dampak yang besar pada waktu itu. Surat kabar menjadi pembentuk pendapat umum atau sebuah medium propaganda. Membentuk pendapat umum adalah satu bentuk yang menonjol pada surat kabar, apalagi sebagai organ politik. Sebagai sebuah kronik dari berita-berita dan sebagai sebuah register bagi pendapat umum maka surat kabar diklasifikasikan sebagai sebuah catatan tertulis. 4) Dari waktu ke waktu surta kabar menampilkan hasil-hasil dari penelitian yang lebih menyeluruh mengenai isu-isu yang terletak jauh di balik ruang lingkup laporan-laporan berita rutin. 5) Surat pembaca dalam surat kabar yang tertulis oleh seseorang, memuat opini, keluhan, kemarahan, atau harapan-harapannya sebagai anggota masyarakat. Surat pembaca ini kelak dapat menjadi rujukan bagi sejarawan sosial mengenai keadaan masyarakat dan negara pada suatu periode tertentu. Sjamsuddin (2012:89-90) menegaskan bahwa surat kabar tidak dapat digeneralisasi karena terdapat perbedaan-perbedaan tertentu. Surat kabar berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain; surat kabar berubah dari tahun ke tahun; surat kabar dari periode yang sama berbeda tajam dengan yang lain. Jika pers tidak mempunyai kebebasan, maka surat kabar hanyalah sekedar kronik berita-berita yang dapat diandalkan. Surat kabar semacam ini dapat menjadi media propaganda saja.
31
Sebaliknya di mana terdapat pers bebas, surat kabar itu mungkin pertama-tama adalah organ politik tertentu dan hanya sedikit memuat pemberitaan yang tidak memihak. Begitu pula jika surat kabar itu bukan organ politik tertentu dan hanya sedikit memuat pemberitaan yang tidak memihak. Begitu pula jika surat kabar itu bukan organ politik tertentu, maka harus tetap diingat bahwa hanya sedikit dari surat kabar itu yang benar-benar tidak memihak dalam pemberitaannya, apalagi jika menyangkut masalah-masalah sosial, ekonomi, politik atau ideologi tertentu (Sjamsuddin, 2012:90). Jadi, koran atau surat kabar atau harian adalah lembaran-lembaran kertas yang berisi berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya yang mencatat pandanganpandangan politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya, serta dapat berupa kronik dari kejadian-kejadian terakhir yang terbit setiap hari. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka arsip koran adalah dokumen tertulis berupa surat kabar harian yang digunakan sebagai referensi. Arsip koran berisikan pandangan-pandangan politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya, serta dapat disebut sebagai kronik dari kejadian-kejadian terakhir yang terbit setiap hari. b. Jenis koran atau surat kabar Menurut Tebbel (1997:45), surat kabar terbagi atas dua berdasarkan waktu terbitnya, antara lain: 1) Surat kabar harian, ialah surat kabar yang terbit tiap hari. Hanya saja perbedaan yang paling mencolok ialah waktu terbitnya yaitu terbit pagi dan sore. Di Indonesia, umumnya surat kabar Harian berukuran penuh (“full size”). 2) Surat kabar mingguan, ialah surat kabar yang terbit satu minggu sekali. Sebagai cover, agar surat kabar mingguan ini menarik, maka akan dicetak warna-warni pada kulit luarnya yakni pada halaman paling depan dan paling belakang.
32
4. Berpikir Historis (Historical Thinking) a. Pengertian berpikir historis (historical thinking) Menurut Wineburg (2006: 17-18), berpikir historis (historical thinking) mengharuskan kita mempertemukan dua pandangan yang saling bertentangan: pertama, cara berpikir yang kita gunakan selama ini adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, dan, kedua, jika kita tidak berusaha menyingkirkan warisan itu, mau tidak mau kita harus menggunakan “presentism” yang melihat masa lalu dengan kacamata masa sekarang. Dengan demikian kita harus memahami bahwa ada kesinambungan masa lalu yang membentuk masa kini, dan adanya perubahan unsur-unsur, nilai dan tatanan masyarakat sebagai bentuk reinterpretasi terhadap perubahan zaman (Susanto, 2014: 59). Berdasarkan video “What is Historical Thinking” yang diproduseri oleh Martin, Preperato dan Schrum (http://www.teachinghistory.org/historicalthinking-intro) dijelaskan bahwa, “Historical thinking is reading, analysis and writing the necessary to tell this stories. Historical thinking is not only about what we know about the past, is how we know it. Thinking historically helps us get closer to the past, to retrieve and construct more complicate picture, what happen and what a mean.” Berdasarkan video tersebut maka dapat disimpulkan berpikir historis adalah membaca, menganalisis dan menulis hal yang perlu disampaikan dari cerita tersebut. Berpikir historis juga tentang bagaimana kita mengetahui masa lalu, sehingga berpikir historis membantu kita lebih dekat dengan masa lalu. Senada dengan video “What is Historical Thinking”, Martin, dkk (http://teachinghistory.org/historical-thinking-intro)
menambahkan
bahwa
“Historical thinking as the reading, analysis, and writing that is necessary to develop our understanding of the past. The past is difficult to retrieve and historical thinking helps us write accurate stories about what happened and what those events meant.” Berdasarkan pendapat tersebut, berpikir historis adalah
membaca,
menganalisis,
dan
menulis
guna
mengembangkan
33
pemahaman kita tentang masa lalu. Berpikir historis juga membantu kita menulis cerita akurat tentang apa yang terjadi dan apa arti peristiwa tersebut. Menurut UCLA (University of California, Los Angeles) Department of
History
(http://www.nchs.ucla.edu/history-standards/historical-thinking-
standards) berpikir historis adalah: “True historical understanding requires students to engage in historical thinking: to raise questions and to marshal solid evidence in support of their answers; to go beyond the facts presented in their textbooks and examine the historical record for themselves; to consult documents, journals, diaries, artifacts, historic sites, works of art, quantitative data, and other evidence from the past, and to do so imaginatively-taking into account the historical context in which these records were created and comparing the multiple points of view of those on the scene at the time.” Berdasarkan pada pernyataan tersebut, pemahaman sejarah yang benar adalah menuntut siswa untuk terlibat dalam kegiatan berpikir historis antara lain; mengajukan pertanyaan dan mengumpulkan bukti kuat untuk mendukung jawaban mereka; melampaui fakta-fakta yang disajikan dalam buku teks dan memeriksanya pada catatan sejarah; mengkonsultasikan dokumen, jurnal, buku harian, artefak, situs bersejarah, karya seni, data kuantitatif, dan bukti lain dari masa lalu; dan melakukannya dengan memperhitungkan konteks sejarah saat catatan ini dibuat dan membandingkan beberapa poin dari pandangan orangorang yang berada di tempat kejadian pada saat itu. Beberapa negara di Barat menganggap historical thinking (berpikir historis) penting untuk dikembangkan pada pembelajaran sejarah. Salah satunya di Kanada, pada tahun 2006 didirikanlah The Benchmark of Historical Thinking Project kemudian berubah nama menjadi The Historical Thinking Project pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2014. Dijelaskan oleh Seixas (2012: 2) dalam laporan pertemuan The Historical Thinking Project di Toronto, bahwa “The Historical Thinking Project (The HT Project, formerly Benchmarks of Historical Thinking) aims to foster a new approach to history education—with the potential to shift how teachers teach and how students learn, in line with recent international research on history learning.”
34
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa proyek The Historical Thinking Project bertujuan untuk menumbuhkan pendekatan baru pada pendidikan sejarah dengan potensi menggeser pandangan bagaimana guru mengajar dan bagaimana siswa belajar, kemudian menjadikannya sejalan dengan penelitian internasional terbaru pada sejarah pembelajaran. Dapat disimpulkan berpikir historis (historical thinking) adalah cara berpikir dengan menuntun siswa untuk memahami peristiwa sejarah. Siswa dapat membaca, menganalisis dan menulis cerita akurat tentang apa yang terjadi dan arti dari peristiwa sejarah guna mengembangkan pemahaman mereka. Berpikir historis juga merupakan upaya mengetahui apa dan bagaimana kita tahu tentang masa lalu melalui komponen berpikir historis. b. Komponen berpikir historis Para peneliti telah mengidentifikasi “struktural” konsep sejarah yang menjadi dasar berpikir historis. “Struktural” konsep sejarah ini selanjutnya digunakan sebagai pendekatan pada The Benchmarks of Historical Thinking Project (2006), dengan enam konsep berpikir historis yang berbeda tetapi saling berkaitan. Siswa harus mampu: 1) Membangun
signifikansi
sejarah
(establish
historical
significance),
bagaimana kita peduli, hari ini, tentang peristiwa tertentu, tren dan permasalahan dalam sejarah? 2) Menggunakan bukti sumber utama (use primary sources evidence), bagaimana menemukan, memilih, mengotekstualisasikan, dan menafsirkan sumber untuk argumen sejarah? 3) Mengidentifikasi kontinuitas dan perubahan (identify continuity and change), apa yang telah berubah dan apa yang tetap sama dari waktu ke waktu? 4) Menganalisis penyebab dan konsekuensi (analyze cause and consequence), bagaimana dan kenapa kondisi dan tindakan tertentu berimbas kepada orang lain?
35
5) Mengambil perspektif sejarah (take historical perspective), memahami “masa lalu sebuah negara asing” dengan konteks sosial, kebudayaan, intelektual, dan bahkan emosional yang berbeda yang membentuk kehidupan dan tindakan. 6) Memahami dimensi moral dari interpretasi sejarah (understand the moral ethical dimension of historical interpretations), bagaimana kita, pada saat ini, menghakimi pelaku pada keadaan yang berbeda di masa lalu, bagaimana interpretasi yang berbeda dari masa lalu mencerminkan sikap moral yang berbeda hari ini? (Seixas, 2006: 1-2). Seixas dan Morton (2013: 10-11) menegaskan kembali aspek-aspek enam konsep berpikir historis tersebut dalam bentuk petunjuk untuk berpikir historis (guideposts to historical thinking), sebagai berikut: 1) Historical signifance, bagaimana kita memutuskan apa yang penting untuk dipelajari? a) Guidepost 1
Peristiwa, orang-orang, atau perkembangan memiliki signifikansi sejarah jika mereka menghasilkan perubahan. Oleh karena itu, mereka memiliki konsekuensi yang dalam, untuk banyak orang, selama periode waktu yang panjang.
b) Guidepost 2
Peristiwa, orang-orang, atau perkembangan
memiliki
signifikansi sejarah jika mereka mengungkapkan. Oleh karena itu, mereka menyoroti masalah yang abadi atau muncul pada sejarah dan kehidupan kontemporer. c) Guidepost 3
Signifikansi sejarah adalah gagasan. Oleh karena itu, peristiwa, orang-orang, dan perkembangan memenuhi kriteria dari signifikansi sejarah hanya kapan mereka akan muncul untuk menempati sebuah tempat yang berarti dalam sebuah narasi (a meaningful place in a narrative).
d) Guidepost 4
Signifikansi sejarah beragam dari waktu ke waktu dan dari kelompok ke kelompok.
2) Evidence, bagaimana kita mengetahui apa yang kita tahu tentang masa lalu?
36
a) Guidepost 1
Sejarah adalah interpretasi berdasarkan pada kesimpulan yang berdasarkan pada sumber-sumber primer. Sumbersumber pertama dapat berupa catatan, tetapi dapat pula berupa jejak, barang peninggalan, atau rekaman.
b) Guidepost 2
Pertanyaan yang baik tentang sumber yang dapat berubah menjadi bukti.
c) Guidepost 3
Pengumpulan sumber sering kali dimulai sebelum sumber tersebut dibaca, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang membuatnya dan kapan dibuatnya. Hal tersebut melibatkan kesimpulan dari sumber antara lain tujuan penulisnya atau pembuatnya, nilai-nilai, dan pandangan dunia, baik secara sadar atau tidak sadar.
d) Guidepost 4
Sumber harus dianalisis dalam kaitannya dengan konteks seting sejarah: kondisi dan pandangan dunia pada umumnya saat itu.
e) Guidepost 5
Kesimpulan yang dibuat dari sumber tidak dapat berdiri sendiri. Mereka harus selalu diperkuat – dicek dengan sumber-sumber lain (primer atau sekunder).
3) Continuity and change, bagaimana kita dapat memahami arus komplek sejarah? a) Guidepost 1
Kontinuitas dan perubahan yang terjalin: keduanya bisa hidup bersama-sama. Kronologis – urutan dari peristiwaperistiwa - dapat menjadi titik pangkal yang baik.
b) Guidepost 2
Perubahan merupakan proses, dengan langkah-langkah dan pola-pola yang beragam. Titik balik merupakan momen dimana proses perubahan bergeser dalam arah dan langkah.
c) Guidepost 3
Kemajuan dan kemunduran merupakan evaluasi yang luas mengenai perubahan dari waktu ke waktu. Tergantung pada dampak dari perubahan, kemajuan bagi satu orang mungkin kemunduran bagi yang lain.
37
d) Guidepost 4
Periodisasi membantu kita mengatur pikiran kita tentang kontinuitas dan perubahan. Hal tersebut adalah proses dari interpretasi, dimana kita memutuskan peristiwa atau perkembangan mana yang merupakan periode sejarah.
4) Cause and consequence, kenapa peristiwa terjadi, dan apa dampaknya? a) Guidepost 1
Perubahan
didorong
oleh
beberapa
penyebab,
dan
menghasilkan beberapa konsekuensi. Hal ini membuat jaringan internasional yang kompleks baik sebab dan akibat pada jangka pendek dan jangka panjang. b) Guidepost 2
Penyebab yang mengarah kepada peristiwa sejarah tertentu yang bervariasi dalam sebuah pengaruh, dengan beberapa atau lebih penting dari yang lain.
c) Guidepost 3
Peristiwa-peristiwa meruapkan hasil dari interaksi dua jenis faktor: (1) pelaku-pelaku sejarah, yang merupakan orangorang (individu atau kelompok) yang melakukan tindakan yang menyebabkan peristiwa sejarah, dan (2) kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam pelaku yang menjalaninya.
d) Guidepost 4
Pelaku sejarah tidak dapat selalu meramalkan efek dari kondisi, menentang tindakan dan reaksi yang tidak terduga. Hal tersebut menghasilkan efek berupa konsekuensi yang tidak diinginkan.
e) Guidepost 5
Peristiwa-peristiwa
sejarah
tidak
dapat
dihindari,
dibandingkan dengan masa depan. Mengubah sebuah tindakan atau kondisi, dan peristiwa ternyata berbeda. 5) Historical perspectives, bagaimana kita dapat lebih memahami orang-orang pada masa lalu? a) Guidepost 1
Lautan perbedaan dapat berbohong antara pandangan dunia saat ini (kepercayaan, nilai-nilai, dan motivasi) dan periode awal sejarah.
38
b) Guidepost 2
Penting untuk menghindari presentism – pembebanan pada ide-ide saat ini pada pelaku di masa lalu. Meskipun demikian, berhati-hati menggunakan referensi tentang pengalaman universal manusia yang dapat membantu kita menghubungkan pengalam pelaku sejarah.
c) Guidepost 3
Perspektif pelaku sejarah yang baik untuk dipahami ialah dengan mempertimbangkan konteks sejarahnya.
d) Guidepost 4
Menggunakan perspektif dari pelaku sejarah berarti menyimpulkan
bagaimana
orang-orang
rasakan
dan
pikirkan di masa lalu. Bukan berarti mengidentifikasi kepada para pelaku. Kesimpulan yang valid adalah yang didasarkan pada bukti-bukti. e) Guidepost 5
Pelaku-pelaku sejarah yang berbeda memiliki bermacammacam perspektif tentang peristiwa dimana mereka terlibat didalamnya. Mengeksplorasi adalah kunci untuk memahami peristiwa sejarah.
6) The ethical dimension, bagaimana sejarah dapat membantu kita untuk hidup pada masa sekarang? a) Guidepost 1
Penulis membuat penilaian etis implisit atau eksplisit dalam menulis narasi sejarah.
b) Guidepost 2
Penilaian etis beralasan pada tindakan masa lalu yang dibuat dengan memperhatikan konteks sejarah dari pelaku tersebut.
c) Guidepost 3
Ketika membuat penilaian etis, hal tersbeut penting untuk berhati-hati tentang memaksakan standar kontemporer tentang yang benar dan salah pada masa lalu.
d) Guidepost 4
Penilaian yang adil dari implikasi etis dari sejarah dapat menginformasikan kepada kita tentang tanggung jawab kita untuk mengingat dan menangapi kontribusi, pengorbanan, dan ketidakadilan pada masa lalu.
39
e) Guidepost 5
Pemahaman kita tentang sejarah dapat membantu kita penilaian informasi tentang isu-isu kontemporer, tetapi hanya jika kita mengakui keterbatasan setiap “pelajaran” sebenarnya dari masa lalu.
Sedikit berbeda dengan guidepost Seixas dan Morton, Seixas dan Peck (2004:110-114) menambahkan beberapa elemen pada berpikir historis (historical thinking). Adapun elemen berpikir historis antara lain: 1) Kebermaknaan (significance), dapat diartikan dengan mengorganisasikan kejadian dalam sebuah narasi yang dapat memberikan kepada kita sesuatu yang penting tentang posisi kita di dunia. 2) Epistimologi dan bukti (epistemology and evidence). Pada dasarnya kita memiliki dua cara untuk mengetahui masa lalu yaitu; (a) traces adalah pelacakan berbagai dokumen baik publik (resmi) atau pribadi (tidak resmi); dan (b) accounts adalah penggalian laporan yang bersifat narasi terhadap apa yang terjadi di masa lalu. 3) Kontinuitas dan perubahan (continuity and change). Memahami tentang perubahan dari waktu ke waktu adalah inti dari historical thinking, sebagaimana pentingnya memahami konsep asumsi kontinuitas. 4) Kemajuan dan kemunduran (progress and decline). Permasalahan tentang kemajuan dan kemunduran (progress and decline) erat kaitannya dengan kontinuitas dan perubahan (continuity and change). Setiap perubahan tidak bisa lepas dari adanya kemajuan atau kemunduran. Hal ini tentunya akan terus berlangsung terus menerus (kontinuitas) dari masa lalu sampai ke masa sekarang. 5) Empati (mengambil perspektif sejarah) dan penilaian moral (empathy (historical perspective taking) and moral judgement). Empati atau menempatkan diri dari sudut pandang orang lain, pada dasarnya adalah kemampuan untuk melihat dan memahami dunia, bukan dari sudut pandang diri sendiri. Dalam kemampuan ini, kita memerlukan suatu imajinasi untuk menempatkan diri kita dari sudut pandang orang lain. Dari sudut pandang
40
sejarah, ”imajinasi” ini memerlukan adanya bukti sejarah. Adapun penilaian moral pada dasarnya adalah penilaian berdasarkan pemahaman terhadap aktor sejarah sebagai agen yang mengambil keputusan, baik secara individual atau kolektif yang mana memiliki konsekuensi secara etika. Penilaian moral ini memerlukan pemahaman terhadap sudut pandang pelaku (empathetic understanding). Pemahaman tersebut membedakan antara moral yang berlaku secara umum dengan moral yang berlaku pada zaman tersebut. 6) Agen kesejarahan (historical agency). Permasalahan pada agen kesejarahan adalah cara berpikir tentang kausalitas sejarah. Konsep agen bagaimanapun juga berpusat pada sejarah dan hubungannya dengan kekuasaan. Ketika, seoarang sejarawan berhubungan dengan pemegang kekuasaan, maka ia dapat menjadikan sejarah sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan tersebut. The Historical Thinking Project menggunakan enam konsep berpikir historis (historical thinking) yang telah dikembangkan sejak The Benchmarks of Historical Thinking Project. Enam konsep berpikir historis (historiscal thinking) yang dimaksudkan seperti yang telah dijelaskan di atas antara lain historical significance; primary sources evidence; continuity and change; cause and consequence; historical perspective-taking; dan the ethical dimension of history. Kemudian enam konsep berpikir historis (historical thinking) tersebut berfungsi sebagai kerangka The Historical Thinking Project (HTP) guna memetakan berpikir historis. Kemudian berpikir historis tersebut dikelola oleh guru untuk kegiatan belajar dan mengajar sejarah di kelas. Meskipun telah memiliki enam konsep berpikir historis (historical thinking) tersebut, Seixas merasa kehilangan konsep lain yang belum dapat terangkum dalam enam konsep. Seixas (2013:14) mengungkapkan bahwa: “First, we may be missing a key concept of “interpretation”, or the closely related concept “contestability” (which appears in the new Australian curricula). Second, we have said little about the way that the concepts link to the events, topics, people and places (what some refer to as “content”) of history. Finally, we have not articulated how they relate to developing students’ competencies in questioning, researching, reading, and communicating history.”
41
Berdasarkan pernyataan Seixas tersebut dapat disimpulkan konsep yang hilang dari bepikir historis (historical thinking) antara lain interpretasi, konten dan kompetensi sejarah. Interpretasi (interpretation) merupakan konsep kunci yang hilang dari berpikir historis. Konten (content) merupakan konsep yang berhubungan dengan peristiwa, topik, orang dan tempat sejarah. Kompetensi
(competencies)
siswa
guna
mengembangkan
kemampuan
bertanya, meneliti, membaca, dan berkomunikasi sejarah. Berdasarkan video “What is Historical Thinking” yang diproduseri oleh Martin, Preperato dan Schrum (http://www.teachinghistory.org/historicalthinking-intro), terdapat lima aspek kunci dari berpikir historis antara lain multiple accounts and perspectives, analysis of primary sources, sourcing, understanding historical context, dan claim-evidence connection. Selain lima aspek kunci tersebut, terdapat elemen konsep lain seperti penyebab (causation), signifikansi (significance), dan perubahan dari waktu ke waktu (change over time). Adapula strategi membaca seperti corroboration. Lima aspek kunci dari berpikir historis, antara lain: 1) Beberapa laporan/catatan dan perpektif (multiple accounts and perspectives). Beberapa laporan/catatan (multiple accounts) dapat berupa buku teks, dokumen asli, foto, lukisan, film, dan sebagainya. Kemudian, siswa mempelajarinya untuk dianalisis dan disintesiskan. Tidak ada satu laporan/catatan dari satu perspektif yang dapat merangkum rumitnya masa lalu. 2) Menganalis sumber primer (analysis of primary sources). Berpikir historis termasuk
dalam
belajar
bagaimana
membaca,
menanyakan,
mengkontekstualisasikan, dan menganalisis sumber. Sumber primer perlu ditanyakan dan dibaca lebih dekat karena sumber primer dapat mengatakan cerita berbeda dari peristiwa yang sama.
42
3) Pencarian data (sourcing). Mengidentifikasi dan menanyakan pertanyaan yang penting pada sumber tentang tujuan dan perpektif penulis ketika sumber tersebut dibuat dan untuk siapa. 4) Memahami konteks sejarah (understanding historical context). Konteks sejarah tentang lokasi peristiwa dan sumber pada waktu dan tempat dan menanyakan pertanyaan untuk itu. 5) Mengklaim–hubungan bukti (claim-evidence connection). Untuk disebut sejarah, cerita harus didukung oleh bukti. Ketika kita membaca sejarah, kita menyampaikan cerita dan menjawab pertanyaan. Berdasarkan standar berpikir historis yang ditetapkan oleh UCLA (University
of
California,
Los
Angeles)
Department
of
History
(http://www.nchs.ucla.edu/history-standards/historical-thinking-standards), terdapat lima dimensi yang saling berhubungan dari berpikir historis yaitu chronological
thinking (berpikir kronologi), historical comprehension
(pemahaman sejarah), historical analysis and interpretation (analisis dan interpretasi sejarah), historical research capabilities (kemampuan penelitian sejarah), dan historic al issues-analysis and decision-making (permasalahan sejarah-analisis dan pengambilan keputusan). 1) Berpikir kronologi (chronological
thinking), siswa mampu untuk
membedakan antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan; mengidentifikasi struktur temporal dari narasi atau cerita sejarah; membangun narasi sejarah berdasarkan dunia siswa sendiri; mengukur dan menghitung kalender waktu; menginterpretasi data yang disajikan dalam pada garis waktu dan membuat garis waktu; merekonstruksi pola suksesi dan durasi sejarah; dan membandingkan model alternatif dari periodisasi. 2) Pemahaman sejarah (historical comprehension), siswa mampu untuk mengidentifikasi penulis atau sumber dari dokumen atau narasi sejarah; mengrekonstruksi arti harfiah dari bagian sejarah; mengidentifikai pertanyaan utama; membedakan antara fakta sejarah dan interpretasi sejarah; membaca narasi sejarah imajinatif; menghargai perpektif sejarah; memanfaatkan data
43
dalam peta sejarah; menggunakan data visual dan matematik; memanfaatkan sumber visual, sastra, dan musik. 3) Menganalisis dan interpretasi sejarah (historical analysis and interpretation), membandingkan dan membedakan kumpulan ide-ide; mempertimbangkan berbagai perspektif; menganalisis hubungan sebab dan akibat dengan beberapa penyebab yaitu pentingnya individu dan pengaruh ide-ide; menarik perbandingan melintasi era dan daerah dalam rangka menentukan permasalahan; membedakan antara ekspresi yang tidak didukung opini dan hipotesis informasi yang didasarkan pada bukti sejarah; membandingkan narasi sejarah; menantang argumen sejarah yang tidak dapat dihindari; menahan interpretasi sejarah sebagai tentative; mengevaluasi perdebatan besar diantara sejarawan; dan menghipotesis pengaruh pada masa lalu. 4) Kemampuan
penelitian
sejarah
(historical
research
capabilities),
merumuskan pertanyaan sejarah; mendapatakan data sejarah; menginterogasi data sejarah; mengidentifikasi kesenjangan dalan catatan yang tersedia dan memimpin pengetahuan kontekstual dan perspektif waktu dan tempat; menggunakan analisis kuantitatif; dan mendukung interpretasi dengan bukti sejarah. 5) Permasalahan sejarah-analisis dan pengambilan keputusan (historical issuesanalysis and decision-making), mengidentifikasi isu-isu dan permasalahan di masa lalu; memimpin bukti sebelum keadaan; mengidentifikasi sebelum (antesenden) sejarah yang relevan; mengevaluasi jalan alternatif dari tindakan; merumuskan posisi atau jalan tindakan pada permasalahan; dan mengevaluasi pelaksanaan keputusan. Dapat disimpulkan komponen berpikir historis (historical thinking) memiliki bermacam-macam komponen tergantung pada pengembangnya. Pertama, berdasarkan The Historical Thinking Project (sebelumnya bernama The Benchmarks of Historical Thinking Project) komponen berpikir historis (historical thinking) terdiri dari enam komponen yaitu signifikansi sejarah (historical significance), bukti sumber utama (primary sources evidence), kontinuitas dan perubahan (continuity and change), penyebab dan konsekuensi
44
(cause and consequence), perspektif sejarah (historical perspective-taking), dan dimensi etis sejarah (the ethical dimension of history). Kedua, berdasarkan video “What is Historical Thinking” komponen berpikir historis dibagi menjadi lima yaitu beberapa laporan/catatan dan perpektif (multiple accounts and perspectives), menganalis sumber primer (analysis of primary sources), pencarian data (sourcing), memahami konteks sejarah (understanding historical context), dan mengklaim–hubungan bukti (claim-evidence connection). Ketiga, berdasarkan standar berpikir historis yang ditetapkan oleh UCLA (University of California, Los Angeles) Department of History terdapat lima komponen berpikir historis yaitu berpikir kronologi (chronological thinking), pemahaman sejarah (historical comprehension), menganalisis dan interpretasi sejarah (historical analysis and interpretation), kemampuan penelitian sejarah (historical research capabilities), dan permasalahan sejarah-analisis dan pengambilan keputusan (historical issuesanalysis and decision-making). Mengingat banyaknya komponen berpikir historis, maka peneliti menggunakan komponen berpikir historis yang dikembangkan oleh The Historical Thinking Project. Pemilihan komponen berpikir historis tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, komponen berpikir historis yang dikemukakan adalah hasil penelitian dan pengembangan para ahli di Kanada sejak tahun 2006-2014. Kedua, komponen historis telah memiliki guidepost dan lembar kerja sebagai panduan mengimplementasikan enam komponen berpikir historis. Ketiga, hasil penelitian dan pengembangan tersebut dilaporkan pada sebuah pertemuan setiap tahunnya dan hasil pertemuan diterbitkan menjadi buku. Keempat, pada tahun 2014 penelitian dan pengembangan tentang berpikir historis berakhir dengan hasil layak untuk digunakan secara umum. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, dipilihlah komponen berpikir historis yang dikembangkan oleh The Historical Thinking Project yaitu signifikansi sejarah, bukti sumber utama, kontinuitas
45
dan perubahan, penyebab dan konsekuensi, perspektif sejarah, dan dimensi etis. c. Penilaian Berpikir Historis (Assessment of Historical Thinking) Menurut Peck dan Seixas (2008: 1019): “Assessment is, therefore, a key component, driving what is taught and learned in classrooms. Classroom assessment in history lags far behind recent developments in history education research. Much current assessment practice revolves around factual recall on multiple choice tests, composition skills on essays, and presentation and appearance of projects. None of these is unimportant, but if factual recall is the predominant mode of history assessment, then memorization becomes the core of the learned history curriculum. If English skills weigh heavily in history essay tests, then writing skills – not the tools of historical thinking – become the central curricular focus. If appearance and presentation are a substantial component of history project assessments, then that is where students’ attention will lie. History students need both factual knowledge and composition skills, and appearance and presentation deserve attention, but these do not add up to history’s distinctive disciplinary concepts and modes of inquiry.” Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penilaian merupakan komponen kunci dalam pembelajaran sejarah untuk mengetahui apa yang sudah dipelajari di kelas. Kebanyakan penilaian sejarah hanya berkisar pada ingatan faktual pada tes pilihan ganda, keterampilan mengkomposisi pada esai, dan penampilan atau presentasi pada proyek sejarah. Semua penilaian tersebut penting, tetapi jika ingatan faktual menjadi model dominan pada penilaian sejarah, maka menghafal menjadi inti kurikulum pembelajaran sejarah. Jika kemampuan berbahasa memiliki bobot yang berat pada tes esai sejarah, maka keterampilan menulis menjadi fokus penilaian. Jika penampilan dan presentasi adalah komponen subtansi dari penilaian proyek sejarah, maka hanya sebagian siswa saja yang memperhatikan. Siswa mata pelajaran sejarah membutuhkan pengetahuan faktual dan keterampilan komposisi, dan penampilan serta presentasi. Namun, perlu pula ditambahkan konsep disiplin dan model penyelidikan khas sejarah.
46
Seixas dan Colyer (2010: 10) menyatakan: “New ways of teaching history will have to be accompanied by new ways of assessing history learning. Assessments should support and promote learning while providing information for reporting how well students are doing. As well, we need system-wide assessments to monitor uptake by teachers and improvement in student competencies… Focus on formative assessment, but also… Teachers need to be able to convert competency in historical thinking into summative data for the purpose of reporting.” Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa cara baru dalam pembelajaran sejarah harus diikuti dengan cara baru menilai pembelajaran sejarah tersebut. Penilaian harus mendukung pembelajaran dan memberikan informasi sebagai laporan seberapa baik siswa dalam berpikir historis. Dibutuhkannya sistem penilaian keseluruhan guna memonitor serapan guru dan peningkatan kompetensi siswa. Penilaian sejarah dianjurkan fokus pada penilaian formatif, tetapi guru juga harus mampu mengkonversi kompetensi berpikir historis menjadi data sumatif untuk tujuan laporan. Breakstone dan Smith (2012: 15) berpendapat bahwa “ The history education community wants students to thinking critically, contend with competing interpretations, and use evidence to support arguments. Good assessments are necessary in order to achieve these goals. Unfortunately, there is a poverty of imagination in history testing in the United States. Teachers are primarily presented with two disparate models: the multiple-choice question and the document-based question (DBQ).” Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan di Amerika Serikat, komunitas pendidikan sejarah menginginkan siswa untuk berpikir kritis, bersaing dengan interpretasi, dan menggunakan bukti untuk mendukung argument mereka. Penilaian yang baik adalah penialian yang diperlukan guna mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Namun, kebanyakan guru hanya menyajikan dua model penilaian sejarah yaitu pertanyaan pilihan ganda dan pertanyaan berbasis dokumen. Selajutnya, Breakstone dan Smith (2012: 15) menambahkan bahwa kebanyakan standar ujian sejarah di Amerika Serikat hanya menggunakan pertanyaan pilihan ganda untuk mengukur pemahaman sejarah. Pertanyaan
47
pilihan ganda mungkin cukup untuk menilai pengetahuan faktual, tetapi tidak dapat mengukur keterampilan tingkat tinggi siswa. Penilaian berbasis dokumen atau DBQ (document-based question) kaya akan latihan untuk siswa. Jika, siswa sudah mampu mengerjakan tugas kompleks seperti membaca berbagai sumber, merumuskan argumen, dan menyusun sebuah esai analisis dalam satu jam. Seixas dan Colyer (2012: 28) berpendapat bahwa setiap konsep berpikir historis meminta kita untuk mengatasi sebuah masalah: 1) Dari seluruh masa lalu manusia, apa yang patut dipelajari tentangnya? Masalah signifikansi sejarah. 2) Bagaimana kita tahu apa yang kita tahu; bagaimana kita dapat menggunakan jejak, sisa, dari masa lalu untuk mendukung klaim tentang apa yang terjadi? Masalah bukti. 3) Bagaimana perubahan sejarah terjalin dengan kontinuitas? Masalah kesinambungan dan perubahan. 4) Apa saja lapisan-lapisan penyebab yang menyebabkan, dari waktu ke waktu, untuk setiap peristiwa tertentu? Apa konsekuensi yang bergelombang setelah itu? Masalah sebab dan akibatnya. 5) Apa rasanya hidup di zaman sangat berbeda dari kita sendiri; Bisakah kita benar-benar memahami? Masalah mengambil perspektif sejarah. 6) Dan akhirnya, bagaimana bisa kita, di masa sekarang, menghakimi pelaku dalam berbagai keadaan di masa lalu; kapan dan bagaimana kejahatan dan pengorbanan pada masa lalu melahirkan konsekuensi hari ini; dan kewajiban apa kita miliki saat ini sehubungan dengan konsekuensi tersebut? Etis dimensi sejarah. Berdasarkan enam konsep berpikir historis (historical thinking), maka The Benchmarks of Historical Thinking Project menetapkan tingkatan paling tinggi yang siswa mampu lakukan dan tugas-tugas siswa yang disarankan
48
(Seixas, 2006: 1-2). Adapun tingkatan paling tinggi yang siswa mampu lakukan dan tugas-tugas siswa yang disarankan tersebut, sebagai berikut: 1) Signifikansi sejarah (historical significance) a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk: (1)Menunjukkan bagaimana suatu peristiwa, seseorang atau perkembangan memberikan pengaruh yang baik dengan menunjukkan bagaimana hal tersebut dapat tertanam dalam hal- hal yang lebih besar, narasi yang bermakna atau dengan menunjukkan bagaimana hal tersebut dapat digunakan untuk menyoroti suatu isu yang sedang berlangsung atau akan terjadi. (2)Menjelaskan bagaimana dan mengapa signifikansi sejarah dapat bervariasi dari waktu ke watu atau dari satu kelompok dengan kelompok yang lain b) Tugas siswa yang disarankan: (1) Menjelaskan apa yang membuat [X] bermakna. (2) Memilihlah “peristiwa yang paling bermakna” dan menjelaskan pilihan tersebut. (3) Mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan yang signifikan dari waktu ke waktu atau dari kelompok ke kelompok. 2) Bukti (Evidence) a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk: (1) Menggunakan beberapa sumber utama untuk membangun sebuah laporan asli dari peristiwa sejarah. b) Tugas siswa yang disarankan: (1) Merumuskan pertanyaan tentang sumber utama, dimana jawabannya akan membantu menjelaskan kontek sejarah. (2) Menganalisis sumber utama untuk melihat tujuan, nilai-nilai dan pandangan penulis. (3) Membandingkan sudut pandang dan kegunaan dari beberapa sumber primer. (4) Menilai apa yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sumber primer tertentu.
49
(5) Menggunakan sumber primer untuk membangun sebuah argumen atau narasi. 3) Kontinuitas dan perubahan (continuity and change) a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk: (1)Menjelaskan bagaiman beberapa hal berlanjut dan berubah, dalam periode sejarah. (2)Mengidentifikasi perubahan dari waktu ke waktu dalam aspek-aspek kehidupan
yang
biasanya
diasumsikan
berlanjut;
dan
untuk
mengidentifikasi kontinuitas dalam aspek-aspek kehidupan kita yang biasanya diasumsikan memiliki perubahan dari waktu ke waktu. (3)Memahami periodisasi dan penilaian atas kemajuan dan kemunduran yang dapat bervariasi tergantung tujuan dan perspektifnya. b) Tugas siswa yang disarankan: (1)Tempatkan serangkaian gambar secara kronologi, menjelaskan kenapa ditempatkan pada urutan tersebut. (2)Membandingkan dua (atau lebih) dokumen dari masa periode yang berbeda dan menjelaskan perubahan apa dan apakah tetap sama dari waktu ke waktu. (3)Menilai kemajuan dan kemunduran dari sudut pandang dari berbagai kelompok pada titik waktu tertentu. 4) Penyebab dan konsekuensi (cause and consequence) a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk: (1)Mengidentifikasi pengaruh dari tindakan manusia yang disengaja, dan batas dari tindakan manusia yang menyebabkan perubahan. (2)Mengidentifikasi berbagai jenis penyebab dari peristiwa tertentu, menggunakan satu atau lebih laporan dari peristiwa tersebut. (3)Dapat membangun pendapat tandingan yang faktual (misalnya, jika Inggris tidak menyatakan perang terhadap Jerman pada tahun 1914, maka…) b) Tugas siswa yang disarankan: (1)Memeriksa peristiwa sehari-hari (misalnya kecelakan mobil) untuk
50
mengetahui kemungkinan penyebabnya. (2)Menganalisis bagian dari sejarah, dan mengidentifikasi “jenis-jenis penyebab,” (misalnya, ekonomi, politik, budaya; kondisi, tindakan individu) yang disarankan sebagai penyebab. (3)Memeriksa hubungan antara motivasi dan niat seorang pelaku, dan konsekuensi dari tindakan mereka. (4)Membuat bagan penyebab [X] dan menjelaskan susunannya. (5)Bagaimana mungkin seseorang pada saat itu dapat menjelaskan penyebab [X] dan bagaimana dapat berbeda dari apa yang kita jelaskan sekarang? 5) Mengambil sebuah perspektif sejarah (taking an historical perspective) a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk: (1) Mengenali presentism di dalam laporan sejarah. (2) Menggunakan bukti dan pemahaman dari konteks sejarah untuk menjawab pertanyaan tentang kenapa orang-orang bertindak seperti yang mereka lakukan (atau berpikir apa yang mereka lakukan) bahkan ketika tindakan mereka tampak pada mulanya irasional atau tidak dapat dipahami atau berbeda dari yang kita lakukan atau pikirkan. b) Tugas siswa yang disarankan: (1)Menulis sebuah surat, catatan harian, poster (dll) dari perspektif [X], berdasarkan salah satu pada beberapa sumber yang disediakan oleh guru, atau sumber yang siswa temukan. (2)Membandingkan sumber primer yang ditulis (atau digambar, dilukis, dll) dari dua perspektif yang bertentangan atau berbeda tentang peristiwa yang diberikan. Menjelaskan perbedaan pada mereka. 6) Dimensi etis (the ethical dimension) a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk: (1)Membuat penilaian tentang tindakan orang-orang di masa lalu, mengenali konteks sejarah dimana mereka beroperasi. (2)Menggunakan narasi sejarah untuk menginformasikan penilaian tentang etika dan pertanyaan politik pada masa sekarang. b) Tugas siswa yang disarankan:
51
(1)Memeriksa isu sejarah yang melibatkan, mengidentifikasi perspektif yang hadir pada saat itu, dan menjelaskan bagaimana konflik sejarah dapat mendidik kita saat ini. (2)Siswa mengidentifikasi etika sebuah isu saat ini, aspek penelitian meliputi latar belakang sejarah, menjelaskan implikasi dari sejarah pada saat ini. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka penilaian berpikir historis yang akan digunakan oleh peneliti adalah lembar kerja berdasarkan arsip koran sebagai sumber sejarah dan sumber belajar mahasiswa Prodi Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat pada mata kuliah sejarah lokal. Adapun lembar kerja tersebut didasarkan pada tugas siswa yang disarankan oleh The Benchmarks of Historical Thinking Project berdasarkan pada signifikansi sejarah (historical significance), bukti sumber utama (primary sources evidence), kontinuitas dan perubahan (continuity and change), penyebab dan konsekuensi (cause and consequence), mengambil perspektif sejarah (historical perspective-taking), dan dimensi etis sejarah (the ethical dimension of history). B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian dan pengembangan ini, antara lain berupa tesis, jurnal internasional dan laporan pertemuan. Adapun penelitian yang relevan berupa tesis yaitu tesis yang berjudul “Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Arsip-Dokumen untuk Meningkatkan Eksplanasi Sejarah Mahasiswa STKIP-PGRI Pontianak Kalimantan Barat” oleh Fandri Minandar. Penelitian pada tesis ini mengembangkan model pembelajaran sejarah berbasis arsip-dokumen sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan eksplanasi mahasiswa. Hasil uji kelayakan para ahli materi memberikan nilai 4,96 (sangat baik) dan ahli model 4,78 (sangat baik). Sedangkan, hasil uji efektivitas menunjukkan hasil perhitungan uji T 2,510 dengan taraf signifikansi 0,016 < 0,025, yang artinya model pembelajaran
sejarah
yang
dikembangkan
kemampuan eksplanasi mahasiswa.
efektif
untuk
meningkatkan
52
Adapula tesis yang berjudul “Penerapan Metode Inkuiri dalam Pembelajaran Sejarah melalui Novel Penakluk badai untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Historis pada Siswa Kelas XIII IPS MAN 1 Karanggede” oleh Anyta Khafiyah. Pembelajaran sejarah menggunakan metode inkuiri melalui novel dapat meningkatkan prestasi dan kemampuan berpikir historis siswa. Dalam penelitian tersebut pada setiap siklus dilakukan post test dan pemberian angket untuk mengetahui tingkat prestasi belajar dan kemampuan berpikir historis siswa. Berdasarkan hasil post test nilai prestasi belajar siswa mengalami peningkatan pada tiap siklusnya yaitu pada siklus I rata kelas 69,5 siklus II 76,5 dan siklus III 81. Sedangkan pada angket berpikir historis juga mengalami peningkatan, siswa mulai mampu mengidentifikasi kondisi sejarah, merekonstruksi peristiwa sejarah, dan memiliki kesadaran tentang adanya perbedaan rentang waktu masa lampau. Selain itu dilihat dari angket yang diberikan juga mengalami peningkatan pada siklus I 70,3% siklus II 77,05% dan siklus III 86,30%. Penelitian yang relevan berupa jurnal internasional yaitu tulisan dari Seixas dan Peck pada tahun 2004 yang berjudul “Teaching Historical Thinking”. Tulisan ini menyebutkan dan menjelaskan elemen dari berpikir historis (elements of historical thinking) yang terdiri dari significance; epistemology and evidence; continuity and change; progress and decline; empathy (historical perspectivetaking) and moral judgement; dan historical agency. Selain itu, Seixas dan Peck juga memberikan beberapa contoh topik bagi guru yang menerapkan berpikir historis (historical thinking) di kelas. Jurnal internasional yang ditulis oleh Peck dan Seixas pada tahun 2008 yang berjudul “Benchmarks of Historical Thinking: First Steps”. Tulisan ini berisikan awal berdirinya The Benchmarks of Historical Thinking Project pada tahun 2006. Penilaian merupakan poin awal dari proyek tersebut, yang kemudian dibangunlah sebuah model kognitif kesejarahan pada The April Symposium di Kanada. Selain itu, adapula contoh studi di kelas dengan penggunaan signifikansi sejarah (historical significance).
53
Penelitian yang relevan berupa laporan pertemuan yaitu laporan pertemuan yang berjudul “”Scaling Up” the Benchmarks of Historical Thinking” pada tanggal 14-15, Februari 2008 di Vancouver, Kanada. Laporan tersebut menjelaskan tujuan dan sejarah singkat berdirinya The Benchmarks of Historical Thinking Project. Pada laporan pertemuan ini dilampirkan pula “Benchmarks of Historical Thinking: A Framework for Assessment in Canada” yang berupa penjelasan dan kerangka kerja untuk penilaian enam konsep dari berpikir historis (historical thinking) antara lain establish historical significance; use primary sources as evidence; identify continuity and change; analyze cause and consequence; take a historical perspective; dan understand the moral dimension in history. Laporan pertemuan yang berjudul “A Big Step Forward Historical Thinking in Provincial Curricula, Assessments and Professional Development” pada tanggal 18-20 Februari 2010 di Toronto, Kanada. Laporan ini berisikan penjelasan mengenai kurikulum provinsi yang memiliki kontrol dalam pendidikan, penilaian berpikir historis berupa formatif dan sumatif menggunakan kerangka yang sudah ada dan pengembangan professional khususnya ditujukan pada guru. Laporan pertemuan yang berjudul ”Assessment of Historical Thinking” pada tanggal 18-20, Januari 2012 di Toronto, Kanada. Laporan pertemuan tersebut menjelaskan secara singkat mengenai The Historical Thinking Project sebagai lanjutan dari The Benchmarks of Historical Thinking Project. Selain itu, adapula abstrak dari para penyaji pada pertemuan tersebut yang merupakan hasil penelitian mengenai Assessment of Historical Thinking. Laporan pertemuan yang berjudul ”Linking Historical Thinking Concepts, Content and Competencies” pada tanggal 15-17, Januari 2013 di Toronto, Kanada. Laporan pertemuan ini membahas pemikiran ulang berpikir historis. Selain enam konsep berpikir historis seperti historical significance; evidence; continuity and change; cause and consequence; historical perspectivetaking; dan the ethical dimension of history, mungkin saja hilangnya konsep kunci
54
lain seperti konten (content), interpretasi (interpretation), dan kompetensi (competencies) sejarah pada berpikir historis tersebut. C. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dalam penelitian dan pengembangan ini dapat digambarkan sebagai berikut: Permasalahan Pembelajaran Sejarah
1. Teacher center 2. Metode yang digunakan seperti seperti ceramah, presentasi media powerpoint, tanya jawab dan diskusi 3. Mahasiswa yang pasif 4. Keterbatasan sumber belajar primer
Solusi: Model pembelajaran sejarah yang berpusat pada mahasiswa (student centered)
Berpikir Historis (Historical Thinking)
1. Membangun makna sejarah 2. Menggunakan bukti sumber utama 3. Mengidentifikasi kesinambungan dan perubahan 4. Menganalisis penyebab dan konsekuensi 5. Mengambil perspektif sejarah memahami dimensi 6. Moral dari interpretasi sejarah
Arsip koran sebagai sumber belajar
Model pembelajaran berpusat kepada mahasiswa dengan mengggunakan koran sebagai sumber belajar
Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Arsip Koran Untuk Meningkatkan Berpikir Historis (Historical Thinking) (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat) Bagan 2.2 Skema Kerangka Berpikir Penelitian dan Pengembangan
55
D. Model Hipotetik Pada penelitian dan pengempangan ini, model pengembangan yang digunakan ialah model Four-D (4D) yang dikembangkan oleh Sivasailam Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Model hipotetik dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan 2.3. DEFINE STUDI PENDAHULUAN
Analisis Permasalahan
Analisis Peserta Didik
Analisis Kompetensi
Analisis Konsep
PENENTUAN TUJUAN PEMBELAJARAN
DESIGN TUJUAN PEMBELAJARAN
Penyusunan Tes
Pemilihan Model Pembelajaran
Tes Penguasaan Konsep dan Berpikir Historis (Historical Thinking)
Pemilihan Format
Dasar Teoritik Pengembangan Draf Model Pembelajaran
DRAF AWAL MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL BERBASIS ARSIP KORAN UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR HISTORIS (HISTORICAL THINKING)
56
DEVELOPMENT DRAF AWAL MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL BERBASIS ARSIP KORAN UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR HISTORIS (HISTORICAL THINKING)
Validasi Model Pembelajaran
Pretes
Validasi Materi
Draf Awal Revisi I
UJI COBA KELOMPOK KECIL
UJI COBA KELOMPOK BESAR
Draft Revisi II
Penggunaan Model Pembelajaran
Postes
Draft Revisi III UJI EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL BERBASIS ARSIP KORAN UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR HISTORIS Pretes
Penggunaan Model Pembelajaran
Postes
HASIL UJI EFEKTIVITAS Draft Revisi IV
DRAF AKHIR MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL BERBASIS ARSIP KORAN UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR HISTORIS (HISTORICAL THINKING)
DISSEMINATION Bagan 2.3 Model Hipotetik Penelitian dan Pengembangan