BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPPIKIR
A. Kajian Teori 1. Media Pembelajaran a. Pengertian media pembelajaran Penelitian tentang media pembelajaran telah banyak dilakukan oleh para ahli pendidikan atau pembelajaran. Karena dengan perkembangan jaman, penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran dirasa sangat penting. Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat diartikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima (dalam Daryanto, 2013:4). Association for Educational Communications and Technology (AECT) (dalam Anitah, 2008:1) mendefinisikan media sebagai segala bentuk saluran yang digunakan untuk menyalurkan informasi. NEA (National Education Assosiation) memberikan batasan bahwa media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak, audio-visual, serta peralatannya (dalam Agung dan Suryani, 2012:135). Secara lebih spesifik, Gerlach & Ely (dalam Anitah, 2008:2) mengatakan bahwa media adalah grafik, fotografi, elektronik, atau alat-alat mekanik untuk menyajikan, memproses, dan menjelaskan informasi lisan atau visual. Senada dengan itu, Smaldino dkk (2014) mengatakan istilah media merujuk pada apa saja yang membawa informasi antara sumber dan sebuah penerima. Enam kategori
14
15
media menurut Smaldino adalah teks, audio, visual, video, perekayasa (manipulative) (benda-benda), dan orang-orang. Sedangkan tujuan dari media adalah untuk memudahkan komunikasi dan belajar. Gagne (dalam Agung dan Suryani, 2012:135) mengatakan media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsang untuk belajar. Briggs (1985) juga menyatakan hal yang hampir sama, media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang peserta didik untuk belajar (dalam Sadiman, 2014:6). Rossi dan Breidle (dalam Sanjaya, 2014:58) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah dan sebagainya. Senada dengan Rossi dan Breidle, Gagne dan Briggs (dalam Arsyad, 2014:4) menyatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari buku, tape recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televise, dan komputer. Pengertian lain diberikan oleh Gerlach dan Ely (dalam Sanjaya, 2014:59), media bukan hanya berupa alat dan bahan saja, akan tetapi halhal yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan. “A medium, conceived is any person, material or even that establish condition which enable the learner to acquire knowledge, skill and attitude.” Media meliputi orang, bahan/peralatan, atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Agung dan Suryani (2012:136) mengatakan bahwa media pembelajaran
16
adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar atau peserta didik. Latuheru (1998) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi pendidikan antara guru dan peserta didik dapat dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna. (dalam Agung dan Suryani, 2012:137) Berdasarkan pengertian-pengertian dari para ahli tersebut, media pembelajaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran dan yang memungkinkan peserta didik mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai yang diharapkan. Orang, alat, bahan, atau apa saja yang dapat dimuati pesan pembelajaran maka dapat dikatakan sebagai media pembelajaran. Meskipun demikian masing-masing media tersebut memiliki keterbatasan masing-masing dalam menyampaikan pesan pembelajaran. b. Fungsi/kegunaan media Daryanto (2013:5) mengatakan bahwa media mempunyai beberapa kegunaan, antara lain: 1. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis; 2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra; 3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara peserta didik dengan sumber belajar; 4. Memungkinkan peserta didik belajar mandiri sesuai dengan bakat dan
17
kemampuan visual, auditori dan kinestiknya; 5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama; 6. Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, peserta didik (komunikan), dan tujuan pembelajaran. Munadi (2013:36-48) membagi fungsi media pembelajaran menjadi lima (5), yaitu: 1. Fungsi media pembelajaran sebagai sumber belajar; 2. Fungsi sematik (kemampuan media menambah perbendaharaan kata yang makna atau maksudnya benar-benar dipahami peserta didik); 3. Fungsi manipulatif (untuk mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan inderawi); 4. Fungsi psikologis (terkait dengan fungsi atensi, afektif, kognitif, imajinatif, motivasi); 5. Fungsi sosio-kultural (untuk mengatasi hambatan sosio-kultural antar peserta komunikasi pembelajaran). Sudjana dan Rivai (dalam Arsyad, 2014:28) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar peserta didik, yaitu: 1. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian peserta didik sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; 2. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami oleh peserta didik;
18
3. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak sekedar komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru; 4. Peserta didik dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan sebagainya. Kegunaan atau fungsi media pembelajaran seperti yang telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa media pembelajaran memiliki peran yang penting dalam membantu untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari pembawa pesan kepada peserta didik sebagai penerima pesan. Media pembelajaran yang baik dan efektif juga akan memudahkan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya oleh guru. Media pembelajaran dalam hal ini foto jejak kolonialisme akan lebih memudahkan peserta didik untuk memperoleh pengetahuan
dan
pemahaman
tentang
perkembangan
kolonialisme
dan
imperialisme Barat yang terjadi di eks-karesidenan Besuki. Media pembalajaran ini juga diharapkan akan membantu untuk meningkatkan keterampilan menulis peserta didik. c. Jenis-jenis media 1. Media Visual Media visual adalah media yang melibatkan indera pengelihatan (Munadi, 2013:81). Anitah (2008:7) membedakan media visual menjadi dua, yaitu: 1. Media visual yang tidak diproyeksikan; 2. Media visual yang diproyeksikan. Media visual yang tidak diproyeksikan tidak membutuhkan perlengkapan untuk
19
menampilkan media tersebut. Media ini dapat mengubah gagasan yang abstrak menjadi gagasan yang lebih realistic (Smaldino, 2014:325). Selanjutnya Smaldino membagi media visual yang tidak diproyeksikan ini menjadi beberapa jenis, yaitu: gambar diam, gambar (termasuk sketsa dan diagram), bagan, grafik, poster dan kartun. Secara lebih terperinci, Anitah (2008:7) membagi media visual yang tidak diproyeksikan menjadi sepuluh jenis, yaitu: gambar diam, ilustrasi, karikatur, poster, bagan, diagram, grafik, peta datar, realia dan model, serta berbagai jenis papan. Heinich, Molenda, dan Russel (dalam Sanjaya, 2014:125) membagi media yang tidak diproyeksikan menjadi empat jenis, yaitu: pertama realita, benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar; kedua model, benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda sesungguhnya; ketiga grafis, gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan; keempat display, medium yang penggunaannya dipasang di tempat tertentu sehingga dapat dilihat informasi dan pengetahuan di dalamnya. Media visual yang diproyeksikan merupakan format media gambar diam yang diperbesar dan ditampilkan di layar. Proyeksi tersebut diperoleh dengan mengirimkan gambar dari sebuah komputer atau kamera dokumen ke sebuah proyektor digital atau monitor televise atau menggunakan sebuah OHP (Smaldino, 2014:334). Termasuk dalam jenis media ini menurut Anitah (2008:29) yaitu: overhead projector (OHP), slide (film bingkai), filmstrip (film rangkai), dan opaque projector. Lebih khusus akan dijelaskan tentang media visual yang tidak
20
diproyeksikan berupa gambar diam atau foto. Gambar diam merupakan representasi dari fotografis (atau seperti foto) dari orang, tempat, dan benda-benda (Smaldino, 2014:325). Gerlach dan Ely (1980, dalam Anitah, 2008:7) mengatakan bahwa gambar tidak hanya bernilai seribu bahasa, tetapi juga seribu tahun atau seribu mil. Melalui gambar dapat ditunjukkan kepada peserta didik suatu tempat, orang, dan segala sesuatu dari daerah yang jauh dari jangkauan pengalaman peserta didik sendiri. Gambar juga dapat memberikan gambaran dari waktu yang telah lalu atau gambaran masa yang akan datang. Sedangkan Edgar Dale (1963, dalam Anitah, 2008:8) mengatakan, gambar dapat mengalihkan pengalaman belajar dari taraf belajar dengan lambang kata-kata ke taraf lebih konkrit (pengalaman langsung). Gambar diam atau foto sebagai media pembelajaran memiliki beberapa kelebihan dan juga kelemahan. Kelebihan dari media gambar diam atau foto, yaitu: 1. Dapat menghilangkan verbalisme, dengan menggunakan gambar atau foto dalam pembelajaran, maka persoalan yang dibicarakan akan lebih konkret dibandingkan dengan hanya menggunakan bahasa verbal; 2. Gambar atau foto dapat mengatasi batasan ruang dan waktu; 3. Gambar atau foto merupakan media yang mudah diperoleh, harganya murah serta ppenggunaannya tidak perlu menggunakan peralatan khusus; (Sanjaya, 2014:166) 4. Media gambar atau foto dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita; (Sadiman, dkk, 2014:31)
21
5. Gambar atau foto dapat dipakai untuk berbagai tingkat pelajaran dan bidang studi. (Anitah, 2008:8) Sedangkan kelemahan dari gambar diam atau foto sebagai media pembelajaran antara lain: 1. Gambar diam atau foto terkadang terlalu kecil untuk digunakan dalam kelas yang besar; 2. Gambar atau foto merupakan media dua dimensi, untuk menunjukkan dimensi ketiga harus digunakan satu seri gambar dari objek yang sama tetapi pengambilan gambarnya dari berbagai sudut yang berlainan 3. Gambar atau foto tidak menunjukkan gerak sebagaimana halnya gambar hidup, kecuali dibuat suatu rangkaian yang berurutan yang kemudian dapat menunjukkan suatu rangkaian peristiwa. (Daryanto, 2013:110) Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan gambar diam atau foto sebagai media pembelajaran, yaitu: harus memadai untuk tujuan pengajaran; harus memenuhi persyaratan artistik yang bermutu; untuk tujuan pengajaran harus cukup besar dan jelas; validitas atau kebenaran dari gambar atau foto harus dapat dipertanggungjawabkan; gambar atau foto harus dapat menarik perhatian peserta didik (Daryanto, 2013:112). Selain itu juga harus diperhatikan dari aspek peserta didik yang akan memanfaatkannya sebagai media pembelajarannya, antara lain hal-hal berikut: 1. Apa yang harus dicari oleh peserta didik dalam gambar atau foto tersebut; 2. Peserta didik harus mengerti bagaimana mempelajari gambar atau foto; 3. Bagaimana pebelajar memberikan kritik terhadap gambar atau foto;
22
4. Bagaimana hubungan gambar tersebut dengan materi pelajaran lain; 5. Bila gambar terlampau luas, berikan dalam seri-seri gambar atau foto yang mempunyai ukuran logis; 6. Waktu melihat gambar, mungkin tidak semua pebelajar dapat melihat dengan jelas, maka sesudah pembelajaran berakhir hendaknya gambar diletakkan ditempat yang dapat dijangkau oleh peserta didik. (Anitah, 2008:10) Penggunaan media gambar dan foto dalam proses pembelajaran diantaranya untuk meningkatkan kemampuan menulis cerpen. Media gambar atau foto dalam konteks pembelajaran sangat efektif sebagai media visual untuk merangsang kreatifitas imajinasi peserta didik. Kemampuan gambar atau foto untuk memberikan rangsangan imajinasi tersebut dapat membantu peserta didik dalam merangkai kata untuk menghasilkan cerpen sesuai dengan gambar atau foto yang tersedia. Penggunaan media gambar atau foto dalam proses pembelajaran juga dapat dijadikan sebagai photo story, yaitu bentuk penyajian gambar foto yang diambil berdasarkan topic atau peristiwa yang dibutuhkan sehingga tersusun dan setiap gambar foto tersebut dapat bercerita dengan maksud mengambil suatu makna yang ada pada gambar atau foto tersebut. (Daryanto, 2013:117) 2. Media audio Media audio berkaitan dengan indera pendengaran, pesan yang disampaikan dituangkan dalam lambang-lambang auditif, baik verbal maupun non verbal (Sadiman, dkk., 2011:49). Sanjaya (2014:118) mengemukakan bahwa media auditif adalah media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang
23
hanya memiliki unsur suara seperti radio, tape recorder, kaset, piringan hitam dan rekaman suara. Menurut Anitah (2008:37), media audio dibedakan menjadi media audio tradisional dan media audio digital. Media audio tradisional meliputi audio kaset, audio siaran, telepon. Media audio digital meliputi media optik, audio internet, radio internet. Media audio memiliki kelebihan dan kelemahan dalam penggunaannya, Munadi (2013:64) mengemukakan kelebihan dari media audio, yaitu: a. Mampu mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan memungkinkan menjangkau sasaran yang luas; b. Mampu mengembangkan daya imajinasi pendengar; c. Mampu memusatkan perhatian peserta didik; d. Sangat tepat untuk mengajarkan musik dan bahasa; e. Mampu mempengaruhi suasana dan perilaku peserta didik melalui musik latar dan efek suara; f. Dapat menyajikan program pendalaman materi yang dibawakan oleh guru atau orang-orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu; g. Dapat mengerjakan hal-hal tertentu yang sulit dikerjakan oleh guru. Kelemahan dari media audio menurut Anitah (2008:41), diantaranya: a. Terkadang dapat menimbulkan kebosanan; b. Tanpa ada penyaji yang bertatap muka langsung dengan peserta didik, menyebabkan beberapa peserta didik kurang memperhatikan; c. Pengembangan media audio yang baik akan banyak menyita waktu; d. Penentuan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan kesulitan bila
24
pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan mendengar yang berbeda; e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya satu jalur penyampaian informasi. 3. Media Audio-Visual Media audio-visual adalah hasil perpaduan dari audio (suara) dan visual (gambar), maka orang tidak hanya dapat melihat saja atau mendengar saja, tetapi orang dapat
melihat
dan sekaligus juga
mendengarkan sesuatu
yang
divisualisasikan (Anitah, 2008:49). Media audio-visual menurut Munadi (2013:113) dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) media audio-visual yang dilengkapi dengan fungsi peralatan suara dan gambar dalam satu unit yang dinamanakan media audio-visual murni; (2) media audio-visual yang tidak murni yaitu berupa slide, opaque, OHP dan peralatan visual lainnya bila diberi unsur suara. Terdapat banyak jenis dari media audio-visual, beberapa diantaranya: slide suara, televisi, film, dan video. Slide suara merupakan jenis media visual yang menampilkan sejumlah slide, dipadukan dalam suatu cerita atau suatu jenis pengetahuan yang diproyeksikan pada layar dengan iringan suara. Slide suara dibuat berdasarkan kerjasama dari beberapa komponen, yaitu: (1) graphic artist (ahli seni grafis), yang akan menyelesaikan bidang karya grafis dalam bentuk tulisan tangan, gambar, caption, judul, dan lain-lain; (2) photographer yang akan membantu memindahkan cerita dan ide penulis ke dalam karya fotonya; (3) Narator (pembaca narasi/kata—kata yang menyertai gambar), yang akan mendramatisasi
25
pesan naskah dengan ilustrasi musik, efek suara, dan lain-lain. (Anitah, 2008:49) Menurut sasarannya, slide suara dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, antara lain: (1) program slide untuk promosi; (2) program slide yang berupa anjuran; (3) program slide untuk penerangan; (4) program slide ilmu pengetahuan khusus; (5) program slide pengetahuan popular; (6) program slide yang bersifat dokumenter. (Anitah, 2008:50) Pengembangan media pembelajaran IPS dalam penelitian ini, seperti telah dipaparkan sejak awal dalam judul, akan menggunakan media visual berupa foto jejak kolonialisme di eks-karesidenan Besuki. Media pembelajaran tersebut diharapkan dapat menjalakan fungsi dan bermanfaat dengan baik dan efektif dalam pembelajaran IPS yang memiliki tujuan pencapaian aspek kognitif dan psikomotor.
2. Pembelajaran IPS a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerjasama antara guru dan peserta didik dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada, baik potensi yang bersumber dari dalam diri peserta didik sendiri maupun potensi yang ada di luar diri peserta didik. Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistik yang menyiratkan adanya interaksi dan komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara guru dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sudrajat, dalam
26
Agung&Wahyuni, 2013:4). Menurut Isjoni (2007:12) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran merupakan interaksi terus menerus yang dilakukan individu dengan lingkungannya, dimana lingkungan tersebut mengalami perubahan. Sedangkan menurut Achjar Chalil, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (dalam Hosnan, 2014:4). Pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik atau atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Schunk mengidentifikasi tiga kriteria dari pembelajaran itu sendiri, yaitu (1) pembelajaran melibatkan perilaku: (2) pembelajaran bertahan lama dengan waktu: (3) pembelajaran terjadi melalui pengalaman (Schunk, 2012:5). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru dan peserta didik dalam memanfaatkan semua komponen atau unsur yang tersedia baik dalam diri guru dan peserta didik maupun komponen atau unsur di luar diri guru dan peserta didik untuk mencapai tujuan belajar yang diinginkan. Langkah-langkah pembelajaran menurut teori kondisioning operan dari Skiner terdiri dari empat langkah, yaitu: 1. Mempelajari keadaan kelas;
27
2. Membuat daftar penguat positif; 3. Memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatnya; 4. Membuat program pembelajaran. Begitu juga dengan Piaget, yang membagi pembelajaran dalam empat langkah utama, yaitu: 1. Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik; 2. Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik yang telah ditentukan; 3. Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah; 4. Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi. (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009:9-15) b. Pembelajaran IPS IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri dalam Gunawan, 2013:17). Sumantri (dalam Sapriya, 2014:11) mendefinisikan pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yaitu: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi,
28
politik, hukum, dan budaya. Ilmu pengetahuan sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (Susanto, 2014:6). Secara lebih jelas diungkapkan oleh Susanto (2014:10) pengertian IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala, dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau satu perpaduan. Pendidikan IPS dalam kurikulum di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Undang-undang tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam sistem kurikulum di Indonesia. Dalam pasal 37 UU Sisdiknas dikemukakan bahwa mata pelajaran IPS merupakan muatan wajib yang harus ada dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Bahan kajian dari IPS antara lain ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat (dalam Gunawan, 2013:35). IPS sebagai sebuah program pendidikan memiliki ciri atau karakteristik tersendiri. Karakteristik mata pelajaran IPS dapat dikelompokkan menjadi beberapa aspek, diantaranya (Susanto, 2014:10): 1. Karakteristik dilihat dari aspek tujuan. Karakteristik pembelajaran IPS yang dilihat dari aspek tujuan yang cenderung mengarah kepada pemberdayaan intelektual peserta didik, maka dalam pelaksanaannya dapat digabungkan dengan pendekatan kontekstual, di mana salah satunya adalah dengan komponen-komponen yang dimiliki pada pendekatan kontekstual tersebut,
29
yaitu: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, permodelan, dan penilaian sebenarnya. Sejalan dengan itu, Sundawa (2006, dalam Susanto, 2014:12) menyebutkan karakteristik pembelajaran IPS yang dilihat dari aspek tujuan ini meliputi tiga aspek yang harus dituju dalam pengembangan pendidikan IPS yaitu: aspek intelektual, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. 2. Karakteristik dilihat dari aspek ruang lingkup materi. Berdasarkan ruang lingkup materinya, maka bidang studi IPS memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) menggunakan pendekatan lingkungan yang luas; (b) menggunakan pendekatan terpadu antarmata pelajaran yang sejenis; (c) berisi materi konsep, nilai-nilai sosial, kemandirian, dan kerjasama; (d) mampu memotivasi peserta didik untuk aktif, kreatif, dan inovatif dan sesuai dengan perkembangan anak; (e) mampu meningkatkan keterampilan peserta didik dalam berpikir dan memperluas cakrawala budaya. 3. Karakteristik dilihat dari aspek pendekatan pembelajaran. Pendekatan yang digunakan dalam bidang studi IPS sejak kurikulum tahun 1975 dan 1984 menggunakan pendekatan integratif. Pendekatan lain cenderung bersifat praktik di masyarakat dan keluarga atau antar teman di sekolah, aspek yang ditonjolkan adalah aspek perilaku dan sikap sosial serta nilai eksistensi peserta didik dalam menghadapi suatu nilai kebersamaan kepemilikan hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial. Sementara itu metodologi pembelajaran IPS dewasa ini terutama dalam kaitannya dengan kurikulum berbasis kometensi (KBK) dan KTSP dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan alokasi waktu serta
30
penetapan dan pengembangan kompetensi dasar yang mendukung pencapaian kompetensi lulusan, sedangkan dalam metodologi pembelajaran bersifat kontekstual. Pendidikan IPS selain memiliki karakteristik seperti yang telah disebutkan di atas, pendidikan IPS juga memiliki dimensi-dimensi, yaitu: 1. Dimensi pengetahuan, secara konseptual pengetahuan mencakup tentang fakta, konsep, dan generalisasi yang dipahami oleh siswa. 2. Dimensi keterampilan, kecakapan mengolah dan menerapkan informasi merupakan keterampilan yang sangat penting untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. Terdapat beberapa dimensi keterampilan dalam pembelajaran IPS,
diantaranya:
keterampilan
meneliti,
keterampilan
berpikir,
keterampilan partisipasi sosial, serta keterampilan berkomunikasi. 3. Dimensi nilai dan sikap, nilai dan sikap yang dimaksud adalah seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku yang telah melekat dalam diri seseorang dan masyarakat tertentu yang dapat dilihat dari cara berpikir dan cara bertindaknya. 4. Dimensi tindakan, tindakan sosial merupakan dimensi yang karena tindakan dapat memungkinkan peserta didik menjadi aktif. Pembelajaran sendiri menurut Gagne dan Briggs memiliki beberapa landasan proses. Pertama, pembelajaran bertujuan untuk memberikan bantuan agar belajar peserta didik menjadi efektif dan efisien. Kedua, pembelajaran bersifat terprogram, dirancang untuk tujuan jangka pendek, menengah ataupun
31
jangka panjang. Ketiga, pembelajaran dirancang melalui pendekatan sistem. Keempat, pembelajaran yang dirancang harus sesuai berdasarkan pendekatan sistem. Kelima, pembelajaran dirancang berdasarkan pengetahuan tentang teori belajar. Pembelajaran IPS yang berlandaskan pendekatan sistem berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Pembelajaran IPS merupakan kegiatan mengubah karakteristik peserta didik sebelum belajar IPS menjadi peserta didik yang memiliki
karakteristik
yang diinginkan.
Sehingga
dalam
merencanakan
pembelajaran IPS, yang pertama dilakukan adalah menentukan tujuan pembelajaran tersebut. (Gunawan, 2013:73) Selanjutnya tujuan dari pendidikan IPS, di tingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik (Sapriya, 2014:12). Hal tersebut sejalan dengan dimensi-dimensi yang ada dalam pendidikan IPS. Susanto (2014:1) mengatakan bahwa pembelajaran pendidikan IPS memiliki tujuan untuk memahami dan mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, keterampilan sosial, kewarganegaraan, fakta, peristiwa, konsep dan generalisasi serta mampu merefleksikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan Maryani seperti yang dikutip oleh Susanto (2014:2) mengatakan bahwa tujuan pembelajaran IPS adalah sebagai berikut: (1) mengembangkan
32
pengetahuan dasar ilmu-ilmu sosial; (2) mengembangkan kemampuan berpikir inquiry, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial; (3) membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan; (4) meningkatkan kemampuan berkompetensi dan bekerja sama dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun skala internasional. Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan dalam kurikulum tahun 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran IPS yaitu: 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan; 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiry, pemecahan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusian; 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan kompetensi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global. (Susanto, 2014:31) Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembelajaran IPS adalah untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, sikap dan nilai dari peserta didik dalam kehidupan sosialnya di masyarakat sehingga dapat menjadi warga negara yang baik. Sedangkan pembelajaran IPS adalah serangkaian
kegiatan
yang
terprogram
dalam
usaha
mengembangkan
33
pengetahuan, keterampilan, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, sikap dan nilai dari peserta didik dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. c. Pendekatan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran IPS Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis
bahwa
dengan
merefleksikan
pengalaman,
kita
membangun,
mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Landasan pemikiran konstruktivisme ialah bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang diberi/didapat begitu saja dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil bentukan (konstruksi) aktif dari manusia. (dalam Suyono dan Hariyanto, 2014:105) Konstruktivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan (Cobb dan Bowers, 1999). Konstruktivisme berlawanan dengan teori-teori pengkondisian yang menitikberatkan pengaruh dari lingkungan terhadap orangorang. Konstruktivisme juga bertentangan dengan teori-teori pengolahan informasi yang menempatkan fokus pembelajaran di dalam benak individu dan tidak terlalu memerhatikan konteks di mana pembelajaran itu terjadi. Tetapi konstruktivisme memiliki asumsi yang senada dengan teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa orang, perilaku,dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik (Bandura, 1986, 1997). (dalam Schunk, 2012:323) Konstruktivisme seperti yang dijelaskan oleh beberapa ahli di atas, menyebutkan bahwa pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan
34
yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek,
pengalaman,
maupun
lingkungannya.
Pengetahuan
adalah
suatu
pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. (dalam Budiningsih, 2005:56) Pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme menurut Matthews (1994) memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu: (1) orientasi, peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dan melakukan observasi; (2) elisitasi, peserta didik dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain; (3) rekonstruksi ide, meliputi klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen; (4) penggunaan ide dalam banyak situasi; (5) review, bagaimana ide berubah. (dalam Rusmono, 2012:17)
3. Keterampilan Menulis Narasi Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang tidak mudah untuk dilakukan. Keterampilan menulis dianggap paling sulit dan membosankan dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Oleh karena itu menulis memerlukan proses belajar yang panjang dan terus menerus dilatih untuk kemudian dapat menulis dengan baik. Abdul Hadi (dalam Sukino, 2012:7) menyatakan bahwa hanya lima persen faktor bakat yang mempengaruhi seseorang sukses menjadi penulis, sembilan puluh persen kerja keras, dan lima persen keberuntungan.
35
Namun demikian dibalik proses yang tidak mudah tersebut, menulis memiliki beberapa manfaat bagi proses belajar seseorang. Suparno (dalam Jauhari, 2013:14) menyebutkan empat manfaat dari menulis bagi seseorang, yaitu: 1. Untuk peningkatan kecerdasan; 2. Untuk pengembangan daya inisiatif dan kreativitas; 3. Untuk penumbuhan keberanian; 4. Untuk pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Akhadiah (1993, dalam Sukino, 2012:8) juga menyebutkan beberapa keuntungan dari keterampilan menulis, diantaranya: 1. Mengenali kemampuan dan potensi diri; 2. Mengembangkan berbagai gagasan; 3. Memaksa kita menyerap, mencari, dan menguasai informasi; 4. Mengorganisasikan gagasan sistematis serta mengungkapkan secara tersurat; 5. Meninjau serta menilai gagasan kita secara obyektif; 6. Memecahkan masalah secara konkret; 7. Mendorong kita belajar secara aktif; 8. Membiasakan berpikir dan berbahasa secara tertib. Keterampilan menulis adalah keterampilan proses karena hampir semua orang yang membuat tulisan, baik karya ilmiah, non-ilmiah, maupun hanya catatan pribadi, jarang yang melakukannya secara spontan dan langsung jadi. Untuk membuat tulisan sederhana pun membutuhkan sebuah perencanaan dan
36
juga perbaikan. Menuangkan ide, pikiran, gagasan, serta merangkai kata pun sudah merupakan proses. (Jauhari, 2013:16) Keterampilan menulis perlu ditunjang oleh keterampilan lain, salah satunya yaitu membaca. Dengan membaca maka akan menambah pengetahuan, dan paling tidak akan menambah kosa kata seseorang sehingga akan cukup membantu pemilihan dan penggunaan kosa kata dalam menulis. Membaca dan menulis saling berhubungan, namun demikian tidak semua orang suka membaca atau tidak semua orang suka menulis. Dua kemampuan tersebut hendaknya perlu dimiliki oleh seseorang, terlebih dalam konteks atau iklim akademis. Belum banyak masyarakat Indonesia yang memiliki dua kemampuan tersebut secara terpadu, terutama yang kurang adalah kemampuan menulis karena memang tidak terbiasa untuk melakukannya. Kleden (1999, dalam Kusmana, 2014:144) mengelompokkan masyarakat Indonesia menjadi tiga, yaitu: (1) dapat membaca dan menulis jika diminta; (2) dapat membaca dan menulis terkait pekerjaan; (3) dapat membaca dan menulis sebagai budaya. Jenis ketiga dalam pengelompokkan Kleden ini yang memang harus mulai dilakukan sejak dini pada anak-anak Indonesia agar kemudian masyarakat Indonesia secara umum memiliki budaya membaca dan menulis. Dalam penelitian ini, akan digunakan media foto untuk membantu peserta didik memiliki budaya membaca dan menulis. Dengan membaca penjelasan terkait dengan foto yang ada dan dengan “membaca” foto tersebut maka diharapkan menumbuhkan serta membelajarkan pada peserta didik keterampilan menulis. Terwujudnya budaya membaca dan menulis pada peserta didik tentu saja
37
tidak dapat lepas juga dari peran guru. Seorang guru harus secara berkesinambungan dan terus menerus memberikan dorongan pada peserta didik untuk terus membaca dan menulis. Menurut Aritonang (2013:93) motivasi sangat penting dilakukan oleh guru untuk mendorong, mengarahkan, dan menggerakkan peserta didik agar memiliki kemauan untuk menulis. a. Narasi Narasi berasal dari bahasa Inggris yaitu narration, yang berarti cerita, dan kata narrative yang berarti menceritakan. Karangan narasi adalah karangan yang menceritakan atau menyampaikan serangkaian peristiwa atau kronologi, sehingga terkait dengan waktu, tempat, dan peristiwa (Jauhari, 2013:48). Sukino (2012:57) menyebutkan bahwa narasi merupakan suatu cerita, cerita yang menuturkan atau menyajikan hal, kejadian, atau peristiwa secara berurutan dengan menonjolkan tokoh. Narasi menurut Keraf (1991:136) merupakan suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Pengertian lain menurut
Keraf,
narasi
adalah
suatu
bentuk
wacana
yang
berusaha
menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa narasi adalah sebuah cerita yang menggambarkan secara jelas tentang suatu peristiwa atau kejadian secara berurutan atau kronologis dalam suatu kesatuan waktu tertentu. Karangan narasi menurut Jauhari (2013:49) terkait dengan
38
pertanyaan: “apa yang terjadi, kapan terjadi, dan di mana terjadinya?”. Narasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu pertama narasi ekspositoris dan kedua narasi sugestif. Pertama narasi ekspositoris, narasi ini bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Narasi ekspositoris mempersoalkan tahap-tahap kejadian, rangkaianrangkaian perbuatan kepada para pembaca atau pendengar. Urutan kejadian yang disajikan dimaksudkan untuk memberikan informasi untuk memperluas pengetahuan seseorang, baik itu disampaikan secara tertulis ataupun secara lisan. Kedua narasi sugestif, narasi ini bertujuan untuk memberi makna pada suatu kejadian sebagai suatu pengalaman. Maka dari itu, narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal atau imajinasi seseorang untuk dapat memperoleh makna dari suatu kejadian. Melalui narasi sugetif, pembaca menarik suatu makna baru di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit. (Keraf, 1991:138) Pengertian tentang narasi
ekspositoris dan
narasi
sugestif juga
disampaikan oleh Jauhari (2013:49), yaitu: pertama narasi ekspositoris adalah narasi yang bermaksud memberitahukan suatu informasi faktual dan rasional kepada pembaca. Maksud dari faktual dan rasional adalah informasi yang berdasarkan fakta dan masuk akal. Kedua narasi sugestif adalah narasi yang didasarkan pada daya imajinasi penulis berupa khayalan. Narasi sugestif biasa digunakan dalam karangan non-ilmiah atau karangan sastra seperti prosa (novel dan cerpen) dan drama. b. Narasi dalam Sejarah Suatu yang tidak dapat dihindari adalah pendapat yang cenderung
39
menghubungkan istilah naratif (narrative) dengan hasil akhir karya sejarawan, yaitu presentasi hasil-hasil karyanya kepada pembaca; menafsirkan naratif hanya sebagai sebuah cerita (story) atau sebuah anekdot sejarah. Jan Pamorski mengatakan titik berangkat dari filsafat naratif sejarah adalah menerima premis bahwa problema-problema narasi sejarah tidak hanya dapat, tetapi harus dianalisis secara independen dari investigasi sejarah itu sendiri. Pamorski juga mengakui kenyataan bahwa di kalangan pendukung narativisme kategori narasi sejarah diartikan dan dianalisis dari berbagai perspektif, yaitu: (1) semacam wacana, menyingkap tujuan-tujuan komunikatif, ekspresif dan persuasive dari pengarang (sejarawan); (2) seperangkat kode-kode komunikatif; (3) ungkapan historis yang puitis; (4) ungkapan bahasa kiasan dan retoris, yang secara a priori mengendalikan penyajian sejarah; (5) sebuah struktur makna-makna dalam pengertian semiotic struktural (Topolski,ed.1990:43). (Sjamsuddin, 2012:268) Menurut Kuntowijoyo (2008:147) Sejarah naratif adalah menulis sejarah secara deskriptif, tetapi bukan sekedar menjejerkan fakta. Terdapat tiga syarat cara menulis sejarah naratif, yaitu colligation, plot, dan struktur sejarah. Pertama colligation (dikemukakan oleh W.H. Walsh dalam Philosophy of History: An Introduction) yaitu menulis sejarah itu adalah mencari inner connection (hubungan
dalam)
antar
peristiwa
sejarah.
Kedua
plot,
yaitu
cara
mengorganisasikan fakta-fakta menajadi satu keutuhan dan merupakan sebuah interpretasi dan eksplanasi. Ketiga struktur sejarah sebagai rekonstruksi yang akurat (dikemukakan oleh Michael Stanford dalam Nature of Historical Knowledge).
40
4. Desain Pengembangan Desain pembelajaran merupakan proses sistematis pengembangan paket pembelajaran menggunakan teori belajar dan teori pembelajaran untuk menjamin terwujudnya pembelajaran yang berkualitas. Desain pembelajaran merupakan praktik pembuatan alat dan isi materi pembelajaran agar proses belajar berlangsung seefektif mungkin. Sedangkan model desain pembelajaran adalah representasi visual dalam bentuk diagram, bagan, gambar yang menggambarkan langkah-langkah, proses atau prosedur penyusunan desain pembelajaran (Gafur, 2012:2). Terdapat beberapa jenis model desain pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan media pembelajaran, diantaranya model Kemp, model ADDIE, dan model ASSURE. a. Model Kemp Pada awalnya model Kemp berbentuk bagan atau diagram linear, namun kemudian pada tahun 1994 model kemp berubah menjadi bentuk lingkaran tidak linear (circular not linear). Model circular ini memiliki sebelas langkah pengembangan, yaitu: 1. Identifikasi masalah atau kebutuhan dan prioritas belajar, dan menentukan tujuan pembelajaran; 2. Mengkaji karakteristik siswa yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyusunan rencana pembelajaran; 3. Identifikasi materi pelajaran, dan analisis komponen tugas yang harus dipelajari yang relevan dengan maksud dan tujuan pembelajaran;
41
4. Merumuskan tujuan pembelajaran khusus yang diharapkan dicapai peserta didik; 5. Menyusun materi pelajaran menjadi urutan topik yang logis untuk dipelajari peserta didik; 6. Merencanakan strategi pembelajaran sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dapat menguasai tujuan pembelajaran khusus; 7. Merencanakan penyampaian pesan/materi pembelajaran; 8. Mengembangkan instrumen evaluasi untuk menilai pencapaian tujuan pembelajaran khusus; 9. Memilih sumber bahan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar; 10. Melaksanakan evaluasi formatif maupun sumatif; 11. Mengadakan revisi dengan menggunakan hasil evaluasi formatif sebagai umpan balik. (Gafur, 2012:35) b. Model ASSURE Model desain pembelajaran ini dikembangkan oleh Molenda, dkk. (2008, dalam Gafur, 2012:36). Terdapat enam langkah desain pembelajaran dalam model ini, yaitu: 1. Analisis pebelajar (analysis of learner), menganalisis
karakteristik
pebelajar yang sesuai dengan hasil belajar sebagai panduan dalam merancang pembelajaran; 2. Menentukan tujuan pembelajaran khusus (state objectives), tujuan yang dinyatakan dengan baik maka akan memperjelas tujuan, perilaku yang harus ditampilkan, kinerja yang diamati dan tingkat kemampuan atau
42
pengetahuan baru yang harus dikuasai peserta didik; 3. Memilih media dan paket pembelajaran (selection of media and materials), setelah menganalisis pebelajar dan menentukan tujuan, maka selanjutnya adalah memilih strategi pengajaran, teknologi, serta media yang sesuai dengan kedua hal tersebut dan sesuai dengan materi yang akan dipelajari; 4. Memanfaatkan
materi
pembelajaran
(utilization
of
instructional
materials), dalam tahap ini ada lima hal yang harus dilakukan, yaitu mengulas teknologi, media dan material; menyiapkan teknologi ,media, dan material; menyiapkan lingkungan belajar; menyiapkan pebelajar; memberikan pengalaman belajar; 5. Meminta respon peserta didik (require learner’s response), pengajaran sebaiknya meminta keterlibatan aktif mental dari pebelajar agar pembelajaran efektif; 6. Evaluasi (evaluation), tahap akhir adalah melakukan evaluasi secara keseluruhan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan terhadap pebelajar. (Smaldino,dkk. 2014:110) c. Model ADDIE Dalam model ADDIE terdiri dari lima langkah pengembangan desain pembelajaran, yaitu: 1. Analisis (Analysis), dilakukan untuk menentukan kebutuhan belajar, apa yang akan diajarkan, kompetensi apa yang harus dikuasai oleh peserta didik;
43
2. Desain (Design), dalam tahap ini yang dilakukan adalah merumuskan kompetensi, menentukan materi pembelajaran, strategi, media, evaluasi, dan sumber; 3. Pengembangan (Develop), yang dilakukan adalah membuat spesifikasi pembelajaran yang telah ditentukan dalam tahap desain; 4. Implementasi (Implementation), yang dilakukan adalah menggunakan paket pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran; 5. Evaluasi (Evaluation), meliputi evaluasi internal dan eksternal. Evalusi internal (evaluasi formatif) untuk mengetahui efektifitas dan kualitas pembalajaran; evalusi eksternal (evaluasi sumatif) untuk mengetahui tingkat penguasaan materi yang telah diajarkan pada peserta didik. (Gafur, 2012:39) Penelitian tentang media pembelajaran ini akan menggunakan model ADDIE
untuk
mengembangkan
produk
media
pembelajaran
dengan
menggunakan kumpulan foto-foto jejak kolonialisme. Model ADDIE dipilih karena model tersebut memiliki tahapan yang sederhana dan lebih mudah untuk digunakan dalam pengembangan media pembelajaran IPS berbasis foto jejak kolonialisme. Meskipun model ADDIE tersebut memiliki tahapan yang sederhana, tetapi tetap dapat menghasilkan media pembelajaran yang baik. Tahapan model tersebut dimulai dengan melakukan analisis kebutuhan peserta didik dan guru sampai pada tahap pengembangan media, kumpulan foto-foto tersebut kemudian dijadikan satu dalam bentuk buku, setelah melalui tahap pengembangan kemudian digunakan dalam pembelajaran IPS di kelas.
44
B. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan dengan ini diantaranya adalah penelitian dari Jean Gelman Taylor tentang “Aceh: Narasi foto, 1873-1930”, hasil penelitian ini dimuat dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia karya Nordholt, dkk. pada halaman 313. Jean Gelman Taylor melakukan penelitiannya tentang Aceh dengan menggunakan foto sebagai sumbernya. Foto-foto yang digunakan dasar untuk kajiannya ini tersimpan di pusat dokumentasi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde (KITLV). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jean Gelman Taylor tentang Aceh melalui kajian foto-foto, dapat dilihat bahwa ternyata foto dapat digunakan sebagai sumber bahan penelitian sejarah. Foto menampilkan keadaan apa adanya pada suatu tempat dan waktu tertentu sesuai dengan diambilnya foto tersebut, meskipun ada unsur campur tangan orang yang mengambil foto tersebut dalam hal ide atau keinginannya mengambil foto. Dalam penelitian Taylor ini, arsip visual dapat dijadikan alat penting untuk memahami kedudukan Aceh dalam sejarah Indonesia; arsip foto menawarkan ide-ide untuk menulis sejarah sosial untuk mengimbangi sejarah politik yang sudah ada. Berikutnya adalah penelitian dari Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen tentang “Don’t forget to remember me: Arsip audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad ke 21”, hasil penelitian ini juga dimuat dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia karya Nordholt, dkk. Nordholt dan Steijlen mengatakan bahwa proyek ambisius yang dilakukan ini bertepatan dengan semakin besarnya minat terhadap sejarah kehidupan sehari-hari dan upaya
45
sejarawan menekankan relevansi data visual. Pada tahun 2004 Program Sephis (South-South Exchange Programme for Research on the History of Development) mengadakan lokakarya “Visual Sources as Alternative History” dan pada tahun 2005 Institute for Historycal Studies dari University of Michigan, menghasilkan program “History and the Visual” untuk menggali hakikat dan peran gambar dalam pemahaman sejarah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa ada kesadaran bersama pentingnya gambar dalam sejarah, terutama dalam kaitan dengan upaya menangkap kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian berikutnya yang termuat dalam buku “Bahasa dan Sastra Dalam Berbagai Perspektif” yang ditulis oleh Sri Handayani, M.Hum. berjudul: Peningkatan Keterampilan Menulis dengan Metode Kooperatif Jigsaw pada Siswa SMPN 2 Tanon-Sragen. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa (1) penggunaan metode kooperatif jigsaw dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran menulis siswa; (2) penggunaan metode jigsaw dapat meningkatkan hasil tes keterampilan menulis siswa. Sedangkan Arief Bahari dalam tulisannya “Multimedia Interaktif Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Untuk SMP”, mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi, komputer tablet dan smartphone yang saat ini sedang berkembang pesat dan digemari oleh peserta didik di SMP menjadi peluang untuk mengembangkan multimedia interaktif sebagai media pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah. Penelitian tentang “Pengaruh Pemanfaatan Media Pembelajaran Film Animasi Terhadap Hasil Belajar” dilakukan oleh Muhammad Rahmattullah. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh penggunaan media
46
pembelajaran film animasi terhadap hasil belajar peserta didik ketika sebelum menggunakan media dan setelah menggunakan media. Perbedaan pengaruh terhadap hasil belajar juga dapat terlihat dari kelas yang menggunakan media dan kelas yang tidak menggunakan media tersebut. Tulisan A.A. Padi, dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang berjudul: Mengaktifkan Pengajaran Sejarah Melalui Media. Dalam hasil tulisannya, dikatakan bahwa media sangat penting dalam buku pelajaran sejarah dan tentu saja dalam pengajaran sejarah sebagai alat bantu untuk menghidupkan kembali peristiwa masa lampau. Maka sangat dianjurkan bagi para penulis buku sejarah untuk melengkapi bukunya dengan jenis-jenis media tertentu, dan kepada guru sejarah untuk selalu menggunakan media dalam pengajarannya. Tejo Nurseto dalam tulisannya “Membuat Media Pembelajaran Yang Menarik” pada bulan April 2011, mengatakan bahwa pengembangan media pembelajaran hendaknya memenuhi prinsip visuals (visible, interesting, simple, useful, accurate, legitimate, structured) dalam perencanaan sistematik untuk penggunaan media. Penelitian lain dilakukan oleh Rustono WS dengan judul “Pemanfaatan Media Alam sekitar Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pendidikan IPS” yang dimuat dalam jurnal UPI pada bulan April 2011. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan media alam dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan kegiatan belajar mengajar dan juga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Pemilihan dan Penggunaan Media Pembelajaran Yang Efektif, ditulis oleh
47
Onasanya pada Juni 2004. Onasanya memaparkan beberapa hal, diantarannya pertama pemilihan media pembelajaran mempengaruhi keefektifan pembelajaran di kelas, sebagai contoh: penambahan gambar atau foto, garis bawah pada tugas siswa hal tersebut dapat membantu guru lebih mudah dalam menyampaikan materi. Guru harus dapat menguasai prosedur media pembelajaran dalam kelas agar kegiatan pembelajaran menajadi efektif. Kedua dijelaskan oleh Onasanya tentang tipe-tipe media pembelajaran dan pengapliklasiannya. Rancangan Media Pembelajaran Dan Teknologi Professional Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik: Identifikasi Pengetahuan Dan Skill Menggunakan Multimedia Studi Kasus Siswa di Delphi, yang ditulis oleh William Sugar, dkk. pada tahun 2011. William mengatakan bahwa dengan mengkombinasikan antara rancangan media pembelajaran yang benar dan penguasaan teknologi ternyata mampu meningkatkan pengetahuan siswa tentang penggunaan media untuk pembelajaran. Kristien Marquez-Zenkov dan James A. Harmon menulis tentang “Menggunakan Fotografi Untuk Memberikan Atau Memudakan Pemahaman Siswa Agar Memahami Bahasa Atau Kultur di Kota” penelitian dilakukan di Inggris pada tahun 2007. Dalam kegiatan tersebut peserta didik diminta untuk memotret beberapa hal yang berada di lingkungan sekitar dan menuangkan hasil fotografi tersebut dalam bentuk narasi untuk kemudian hasil tulisan tersebut berguna bagi guru dalam memberikan pemahaman pembelajaran pada masingmasing peserta didik sesuai dengan kemampuan masing-masing. Produksi Foto Berseri Sebagai Media Pembelajaran Dengan Kemasan Seni
48
Yang Baik Untuk Siswa SMP Di Ilorin, Nigeria. Penelitian yang dilakukan oleh Olanrewaju dan Olatayo Solomon menunjukkan bahwa gambar atau foto yang didesain dengan menarik ternyata mampu meningkatkan motivasi dan memberikan pengaruh belajar mandiri pada peserta didik. Oleh karenanya perancangan media pembelajaran yang baik dan menarik menggunakan fotografi atau foto harus dipersiapkan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas memaparkan tentang: penggunaan media pembelajaran di sekolah secara umum; penggunaan media foto untuk menjelaskan suatu peristiwa masa lampau; penggunaan media pembelajaran dengan memanfaatkan gambar atau foto untuk motivasi belajar peserta didik dan untuk meningkatkan kemampuan tertentu yang dimiliki oleh peserta didik; serta penggunaan berbagai macam media pembelajaran dalam pembelajaran sejarah. Sedangkan penelitian yang dilakukan saat ini oleh peneliti lebih difokuskan pada penggunaan media foto jejak kolonialisme untuk meningkatkan keterampilan menulis pada peserta didik di SMP. Media pembelajaran foto jejak kolonialisme digunakan untuk membantu peserta didik berimajinasi tentang kolonialisme yang pernah terjadi disekitar peserta didik.
C. Kerangka Berpikir Kerangka pemikiran penelitian ini diawali dengan menganalisis kebutuhan dari peserta didik dan juga guru IPS di SMP. Selanjutnya melihat tujuan pembelajaran IPS, mata pelajaran IPS pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) salah satunya bertujuan agar peserta didik mengenal konsep-konsep yang
49
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Dalam silabus terdapat materi sejarah pada standar kompetensi (SK) 2: Memahami proses kebangkitan Nasional, kompetensi dasar (KD) 2.1: Menjelaskan proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat serta pengaruh yang ditimbulkannya
diberbagai
daerah.
Maka
dengan
menggunakan
media
pembelajaran berbasis foto jejak kolonialisme akan dipaparkan kepada peserta didik tentang kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial secara lebih spesifik di daerah eks karesidenan Besuki serta dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat dari penerapan kebijakan tersebut. Materi tentang kolonialisme yang pernah terjadi di eks-karesidenan Besuki tersebut ditampilkan dalam bentuk kumpulan foto-foto yang terkait dengan terjadinya praktek kolonialisme tersebut. Kemudian melalui penggunaan media pembelajaran berbasis foto jejak kolonialisme ini, diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis dalam diri peserta didik, selain untuk membantu belajarnya atau pemahaman peserta didik, memudahkan peserta didik untuk berimajinasi tentang kolonialisme dengan demikian akan memunculkan ide-ide atau gagasan untuk dituangkan dalam bentuk tulisan, dengan demikian juga diharapakan kegiatan menulis sebagai budaya baru bagi peserta didik.
50
Peninggalan kolonialisme di daerah eks karesidenan Besuki
Memotret
Pengembangan media foto
Menghasilkan
Analisis kebutuhan: Media pembelajaran IPS terbatas dan kemampuan menulis siswa kurang
Foto
Foto
Menghasilkan CL
Pendekatan Konstruktivisme CTL
Media pembelajaran IPS Berbasis foto jejak kolonialisme
Tujuan media pembelajaran IPS berbasis foto
Sumber belajar pendukung bagi peserta didik
Manfaat media pembelajaran
Peserta didik memahami tentang kolonialisme dan meningkatkan keterampilan menulis dalam diri peserta didik
Gambar 2.1: Kerangka Berpikir
51
D. Model Hipotetik Berdasarkan kajian teori dan observasi lapangan yang dilakukan, model hipotetik penelitian dan pengembangan media pembelajaran IPS berbasis foto jejak kolonialisme di eks-karesidenan Besuki ini menggunakan model ADDIE yang terdiri dari lima langkah, yaitu: 1. Analisis Tahap analisis yang dilakukan adalah analisis kebutuhan terhadap peserta didik serta guru untuk mengetahui kemampuan atau hasil belajar peserta didik dan apa yang dibutuhkan oleh guru untuk menunjang tujuan pembelajaran. Maka akan tampak permasalahan apa yang dihadapi oleh peserta didik dan guru di kelas. Selain itu juga dilakukan studi pustaka untuk membantu menemukan solusi yang dianggap dapat menyelesaikan masalah pembelajaran yang terjadi di kelas. 2. Desain Tahap desain ini merupakan tahap untuk membuat rancangan atau draf media yang akan dikembangkan sesuai dengan hasil analisis kebutuhan. Langkahlangkah yang dilakukan dalam tahap desain diantaranya menentukan materi yang akan digunakan sebagai dasar mengembangkan media, menyusun perangkat pembelajaran, menentukan foto-foto yang akan digunakan sebagai media pembelajaran sehingga menghasilkan desain awal dari media yang akan dikembangkan. 3. Pengembangan Tahap pengembangan ini dilakukan dengan melakukan validasi ahli terhadap draf atau desain awal media yang telah dibuat. Validasi dilakukan oleh
52
ahli media dan juga ahli materi atau isi, hasil validasi dan revisi kemudian dilakukan uji coba terbatas media pembelajaran yang dikembangkan tersebut. 4. Implementasi Tahap implementasi dilakukan dengan mempersiapkan semua perangkat pembelajaran yang dibutuhkan termasuk juga mempersiapkan peserta didik. Setelah semua persiapan selesai maka media pembelajaran yang dikembangkan dapat diimplementasikan di kelas. 5. Evaluasi Tahap evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah media yang dikembangkan telah sesuai tujuan, dan melakukan uji efektivitas media yang dikembangkan untuk mengetahui apakah media tersebut efektif untuk digunakan.
53
Analisis kebutuhan: Siswa dan guru; studi pustaka
Menentukan materi: Perkembangan kolonialisme
Desain media: Draf media & revisi Foto-foto: Peninggalan kolonialisme
Validasi ahli & revisi
Pengembangan media
Uji coba & revisi
CTL Implementasi & revisi
Evaluasi & uji efektifitas
Pembelajaran kooperatif
Media Pembelajaran IPS Berbasis Foto Jejak Kolonialisme di EksKaresidenan Besuki
Gambar 2.2: Model Hipotetik