BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Penelitian Yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang perlindungan anak sudah ada yang melakukan penelitian, akan tetapi
yang meneliti tentang implementasi undang-undang perlindungan anak dalam proses litigasi ( studi kasus) belum ada sehingga sangat berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Dwi H. Retnaningrum ( 2008 ) dengan judul skripsi Perlindungan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana ( Studi Tentang Penyelesaian Secara Non-Litigasi Dalam Perkara Tindak Pidana Anak Di Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen Dan Cilacap ). Berdasakan hasil penelititan bahwa anak yang tersangkut dengan perkara hukum di wilayah BAPAS Purwokerto yang meliputi Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Cilacap menunjukkan trend penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak secara kekeluargaan (Wahyudi, Hapsari, et.al., 2007). Perkara tidak dilimpahkan ke pengadilan untuk diperiksa dan diputus oleh pengadilan dan praktik yang dikenal dengan penyelesaian non-litigasi. Penyelesaian konflik yang lebih banyak dikehendaki para pihak ini justru disarankan oleh penegak hukum maupun pihak Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Manunggal K. Wardaya ( 2008 ) dengan judul skripsi Perlindungan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana ( Studi Tentang Penyelesaian Secara Non-Litigasi Dalam Perkara Tindak Pidana Anak. Menurut hasil penelitian ini bahwa Salah satu persoalan besar dalam pemidanaan terhadap anak adalah efek buruk pemidanaan terhadap perkembangan anak. Pemidanaan kerap mendatangkan cap buruk pada seseorang, yang dalam konteks anak, akan amat destruktif terhadap kehidupannya yang masih panjang diharapkan. Penyelesaian non-penal menjadi ide yang mengemuka yang kerap lebih disukai para pihak. Di pihak pelaku, stigmatisasi bisa dihindarkan, sementara pihak korban mendapat kepuasan dengan kompensasi dan atau kesepakatan tertentu dengan pelaku. Badhar, Nurul Sofyan (2010) Efektivitas uu ri no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak di wilayah surakarta. Menurut penelitian ini Bagaimanakah efektivitas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Pelindungan Anak dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak, Hambatanhambatan apa saja yang dalam penegakkan Undnag-Undang Perlindungan anak. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa penelitian yang dilakukan sebelumnya memiliki persamaan. Persamaannya adalah menyangkut tentang perlindungan anak yang membedakan dengan penelitian ini adalah implementasi undang-undang perlindungan anak dalam proses litigasi. Menurut penelitian ini lebih menitik beratkan pada undang-undang perlindungan anak dalam proses litigasi. Persoalan yang timbul adalah apakah anak yang melakukan tindak pidana diperlakukan sama dengan orang dewasa? Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan.
2.2
Pengertian Implementasi Undang-Undang Menurut kamus besar bahasa indonesia Implementasi berarti pelaksanaan, penerapan.
Kamus webster merumuskan secara pendek bahwa to implement adalah mengimplementasikan berarti to previde the means for carying out adalah menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu, to give practical effect yaitu menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini implementasi diberikan batasan sebagai berlakunya sesuatu hukum atau peraturan perundang-undangandi
dalam masyarakat.
Memperhatikan pendapat tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan semua sumber-sumber yang didalamnya termasuk manusia, dana, kemampuan, organisasiinal baik oleh pemerintah maupun swasta (indvidu atau kelompok) untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan sebenarnya oleh pembuat kebijakan, Joko ( Maisara Sunge 2006:9). Pengertian undang-undang secara umum diartiakan sebagai keseluruhan peratura perundang-undangan yang di buat oleh subtansi yang berwewenang, dan mengikat setiap orang secara umum. ( Budiyono 2005: 80 ) . Konstitusi atau Undang Undang Dasar sebuah negara diartikan sebagai suatu bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kespakatan masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek social maupun aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu.
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080921195822AAIdJKz di akses tanggal 11 Januari 2013) KC Wheare, mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuanketentuan yang memiliki sifat hokum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hokum (non legal). Berdasarkan pengertian ini, konstitusi merupakan bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kespakatan masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek social maupun aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu. (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080921195822AAIdJKz di akses tanggal 11 Januari 2013) C.F. Strong mengatakan bahwa konstitusi memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hokum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara. (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080921195822AAIdJKz di akses tanggal 11 Januari 2013) James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hokum. Dengan kata lain, hokum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanent dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak pihak yang diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Konstitusi bisa berupa sebuah catatn tertulis; konstitusi dapat diketemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan hokum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum konstitusi. (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080921195822AAIdJKz di akses tanggal 11 Januari 2013) Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi undang-undang adalah menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu dalam masyarakat yang mengikat setiap orang secara umum.
2.3
Pengertian Anak Menurut Prespektif Hukum Anak adalah sebuah anugerah sekaligus amanat yang dititipkan Tuhan kepada
orangtua (wali)nya.
Tiap
anak
adalah
anugerah
karena
tidak
setiap
orang
dapat
“memilikinya”. Setiap anak adalah amanat karena ia dilahirkan ke dunia dan Tuhan memilihkan “pendamping” yang merawat dan membesarkannya sebagai penentu
generasi kesadaran
universal
ini
dari
waktu
calon pengisi, dan pelanjut ke
waktu menyentuh
relung
kemanusiaan dengan segalacerita lengkap yang dihiasi antara duka dan bahagia. (undangundang nomor 23 tahun 2002) Demikianlah setiap periode waktu manusia selalu berupaya untuk memperbaiki dan menyempurnakan cara bagi pengisi generasi. Dibuatlah berbagai peraturan yang mendukung dan menopangnya. dilandasi dengan kesadaran tersebut di atas, sebagai sebuah produk zaman dan tempat bangsa inipun telah melahirkan peraturan sebagai wujud perhatiannya terhadap identitas anak. Peraturan dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Memperhatikan pasal-pasal serta ayat yang memenuhi undang-undang ini terbaca dengan terang bahwa bangsa ini benar-benar kuat untuk melahirkan anak yang berkualitas. Dari keseluruhan pasal yang tersedia menarik untuk menelaah pasal 2 dan 3 undang-undang ini mengingat kedua pasal tersebut membicarakan asas dan tujuan. Dua buah pasal yang sesungguhnya menjadi jiwa dari pasal-pasal lain. Karena kedua pasal ini sangat membantu untuk memahami keseluruhan pasal-pasal lain dalam undang-undang dimaksud. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberikan batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.
Seperti
yang
dinyatakan
dalam
Pasal
330
yang
berbunyi
:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”. Sedangkan menurut pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak adalah : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) Tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.
Jadi, sangat jelas bahwa menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, bagi seorang anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Akan tetapi bila si anak tersebut melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka ia tetap dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak.
2.3.1
Pengertian Anak Tinjauan Secara Kronologis Dan Psikologis Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain
untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Augustinus (dalam Suryabrata, 1987), yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Pengertian anak juga mencakup masa anak itu exist (ada). Hal ini untuk menghindari keracunan mengenai pengertian anak dalam hubugannya dengan orang tua dan pengertian anak itu sendiri setelah menjadi orang tua. Kasiram (1994), mengatakan anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuannya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
2.3.2 Pengertian Anak dalam Perspektif Dokumen Internasional dan Hukum
Pidana
Positif Indonesia Terdapat banyak sekali definisi yang menjabarkan atau memberikan batasan mengenai siapakah yang disebut dengan ”anak” ini. Masing-masing definisi ini memberikan batasan yang berbeda disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Pasal 1 Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa anak adalah:
“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. (C.De Rover, 2000:369) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak merumuskan dalam pasal 1 nomor 1 bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak dalam kandungan” Di antara undang-undang yang lain, Undang-undang perlindungan anak ini lebih rigid dan limitatif dalam membatasi pengertian anak dengan memasukkan anak yang dalam kandungan sebagai kategori anak juga. Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1 nomor 1 bahwa: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”.
2.4
Signifikansi Kedudukan Khusus Anak Di Mata Hukum Sama halnya dengan orang dewasa, anak dengan segala keterbatasan biologis dan
psikisnya mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam, dan hukum. Prinsip kesamaan hak antara anak dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur internal dan ekternal yang melekat pada diri anak tersebut, Unsur internal pada diri anak, meliputi: a. Bahwa anak tersebut merupakan subjek hukum sama seperti orang dewasa, artinya sebagai seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dengan ketentuan perundang-undangan, b. Persamaan hak dan kewajiban anak. Maksudnya adalah seorang anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukumnya. Hukum
meletakkan anak dalam reposisi sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak atau melakukan kewajiban-kewajiban; dan atau untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa; atau disebut sebagai subjek hukum yang normal. Unsur eksternal pada diri anak, meliputi: a. Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equaliy before the law), memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untk berbuat peristiwa hukum; yang ditentukan oleh ketentuan peraturan hukum sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan, b. Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. Meskipun pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama di mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa (khusus). Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada anak dibedakan dengan ketentuan hukum yang diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya terdapat jaminan-jaminan khusus bagi anak dalam proses acara di pengadilan.
2.5
Perlindungan Anak Dalam Prespektip Hukum Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkannya
perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age, yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “Melindungi anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”. Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai
kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: Pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari
sesuatu yang
membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak. Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina. Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.
Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik. Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan hukum. Menurut Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.(Arief, 1998:156) Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum perdata yang mengatur mengenai anak seperti, (1) Kedudukan anak sah dan hukum waris; (2) pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin; (3) kewajiban orang tua terhadap anak; (4)kebelumdewasaan anak dan perwaliaan. Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara lain pasal 278, pasal 283, pasal 287, pasal 290, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 341 dan pasal 356 KUHP. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak. Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya peningkatan kesehatan dan
gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan canggih. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: 1. Prinsip-prinsip non-diskriminasi (non-discrimination), 2. Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the child, 3.
Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan (the right to life, survival and development),
4. Prinsip menghormati pandangan anak (respect to the views of the child). 2.6
Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Ditinjau dari Perspektif KUHP, Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 Peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk perlindungan yang
diberikan hukum kepada anak yang telah melakukan tindak pidana. Orientasi dari keseluruhan proses peradilan pidana anak ini harus ditujukan pada kesejahteraan anak itu sendiri, dengan dilandasi prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest for children). Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ (Beijing Rules) dalam rule 5.1 bahwa: “The juvenile justice system shall emphasize the well – being of the juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumtances of both the offender and the offence”.(Rule 5.1. SMR JJ dalam Muladi, 1992:112). Dari Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran dibentuknya peradilan anak, yaitu: (a) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile), Artinya, Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat menghukum. (Muladi, 1992:113). Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un Rules For The Protection Of Juveniles Deprived Of Thei Liberty. (Barief, 1996:13); (b) Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip yang kedua
ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa pengadilan anak janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi semata-mata sebagai suatu lembaga sosial.(Muladi, 19992:114). Sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses perlindungan hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan dan jaminan-jaminan khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini tentunya tidak mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi setiap orang.
Jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang bersifat prosedural yang paling mendasar, antara lain: a. Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges), b. Hak untuk tetap diam (the right to remain silent), c. Hak untuk memperoleh penasehat hukum (the right to councel), d. Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent of guardian), e. Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the right to confront and cross-examine witness), f. Hak untuk banding ke tingkat yang lebih tinggi (the right to appeal to a higher authority). (Muladi, 1992:117) Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan perlindungan terhadap anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana, seyogyanya dimulai dari ketentuanketentuan hukum yang seoptimal mungkin menjamin hak-hak anak, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar perlindungan anak yang berlaku universal, yakni: a. Non-diskriminasi, b. Kepentingan terbaik bagi anak, c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam lingkup nasional, jaminan hukum secara khusus yang diberikan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Sedangkan, secara Internasional diatur dalam The Beijing Rules.
Sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminan-jaminan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya substansi undang-undang peradilan anak tersebut belum cukup memberikan jaminan perlindungan. Dalam hal ini, terdapat beberapa ketentuan yang inkonsistensi dengan peraturan induknya (KUHP) dan Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dan mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for children). Berikut ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak: (1) Mengenai batasan minimum usia minimal pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal responsibility) bagi anak yang terlampau rendah. Undangundang Peradilan Anak menetapkan batasan usia minimal anak untuk dapat dihadapkan ke pengadilan adalah 8 (delapan) tahun (Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997). Meskipun sanksi yang ditetapkan bagi anak usia 8 – 12 tahun hanya berupa tindakan, namun dengan batasan usia minimal pertanggunjawaban pidana yang terlampau rendah ini memungkinkan timbulnya ekses-ekses negatif yang dirasakan anak, yakni pengalaman selama proses diajukan ke persidangan
akan menimbulkan stigma dan trauma yang akan dirasakan anak. Hal ini jelas
merupakan dampak yang tidak dapat dihindari anak yang diajukan ke persidangan, mengingat anak masih terus tumbuh berkembang dalam masyarakat, sedangkan stigma “jahat” dari masyarakat akan terus dirasakan anak selama tumbuh kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak pengabaian prinsip terbaik bagi anak; (2) Adanya inkonsistensi dengan peraturan induknya, yakni KUHP. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku (Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997). Ketentuan ini jelas akan menimbulkan implikasi yuridis tersendiri, mengingat ketentuan yang terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP tidak hanya terletak pada Pasal 45, 46, 47 KUHP saja, melainkan terkait pula dengan pasal-pasal lain dalam buku II dan III KUHP. Dengan tidak adanya penegasan dalam Undang-undang Pengadilan anak tersebut maka dapat dikatakan bahwa ketentuan selain pasal 45, 46, 47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku untuk anak. (Disarikan dalam Arief, 2005). Di sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan aturan/sistem pemidanaan umum, Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 harus tetap berpedoman pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum yang diatur dalam peraturan induknya (KUHP) sepanjang tidak diatur tersendiri dalam
undang-undang yang bersangkutan. Mengingat beberapa ketentuan dalam buku I (khususnya Bab II dan Bab III) KUHP semisal ketentuan mengenai pidana, percobaan, konkursus, recidive, dan ketentuan lainnya tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka aturan dalam KUHP tetap berlaku bagi anak karena merupakan bagian sistem yang tidak terpisahkan. Hal ini sungguh merugikan anak, karena untuk beberapa ketentuan seperti yang disebutkan di atas, terhadap anak tetap dikenakan ketentuan yang berlaku pula untuk orang dewasa pada umumnya. Dalam undang-undang pengadilan anak tersebut juga tidak diatur mengenai kewenangan hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan
Isi UU Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997: Batas usia Anak yang diatur dalam peradilan anak adalah 8 hingga 18 tahun Pelaku tindak pidana anak di bawah usia 8 tahun diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak: “Akan diproses penyidikannya, namun dapat diserahkan kembali pada ortunya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada Dep Sosial. “ Aparat hukum yang menjalankan proses peradilan anak adalah aparat hukum yang mengerti masalah anak terdiri dari Penyidik anak, Penuntut Umum anak, Hakim anak, Hakim Banding anak dan Hakim Kasasi anak. Orang tua/wali/orang tua asuh dan petugas kemasyarakatan yang berwenang dapat mendampingi anak selama proses pemeriksaan anak di persidangan. Petugas pada Balai Pemasyarakatan (BAPAS)adalah petugas kemasyaratan yang berwenang untuk memberikan hasil penelitian atas segi ekonomi, kehidupan sosial kemasyarakatan dan motivasi anak yang melakukan perbuatan pidana. Penjatuhan pidana penjara pada anak dalam perkara anak adalah separoh dari ancaman maksimal orang dewasa Masa penahanan anak lebih singkat dari masa penahanan orang dewasa. Sidang anak ialah sidang tertutup untuk umum dengan putusan terbuka bagi umum. Pemberian kesempatan pembebasan bersyarat dengan masa percobaan bagi anak yang menjalani pidana, apabila telah menjalani sekurang-kurangnya sembilan bulan dan telah menjalani 2/3 dari pidana penjara yang dijatuhkan dan berkelakuan baik, serta; Adanya kesempatan Anak untuk dilepas dari penjara setelah menjalani hukumannya, dengan permohonan izin dari Kalapas yang menyampaikan permohonannya kepada
Menteri Kehakiman dengan permohonan izin agar anak dapat dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan dengan tanpa syarat, apabila Kalapas berpendapat bahwa anak negara tidak memerlukan pembinaan lagi setelah menjalani masa pendidikannya dalam lembaga paling sedikit satu tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan lagi. Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: "Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat." Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Penegak hukum harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses penegakan hukum. Salah satunya dengan menggunakan alternatif hukuman lain selain pidana formal. Misalnya dengan mengembalikan kepada orangtua atau menempatkan mereka di pusat-pusat pembinaan. Jadi anak yang tertangkap tangan melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, ditahan dan diajukan ke pengadilan, tetapi harus menjalani proses-proses tertentu seperti pendampingan dan konseling untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi mereka.
2.7
Pengertian Litigasi Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke
pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan. Proses pengadilan
juga
dikenal
sebagai
tuntutan
hukum
dan istilah biasanya mengacu pada persidangan pengadilan sipil. Mereka digunakan terutama ketika sengketa atau keluhan tidak bisa diselesaikan dengan cara lain. Proses pengadilan tidak
selalu terjadi dalam gugatan penggugat. Dalam beberapa kasus, tuduhan palsu dan kurangnya fakta-fakta dari orang-orang yang terkait, menyebabkan akan cepat menyalahkan, dan ini menyebabkan litigasi atau tuntutan hukum. Sayangnya, orang juga tidak mau bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, jadi bukannya menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, mereka mencoba untuk menyalahkan orang lain dan yang hanya bisa memperburuk keadaan. (http://www.google.com/search?q=pengertian%20litigasi&ie=utf-8&oe=utf- di akses tanggal 22 Juli 2012)