BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, penelitian yang relevan dengan
penelitian ini yaitu: Venesianty Jafar Tuna tahun 2005 tentang Analisis Kohesi Cerpen “Ibu” Karya Sumartono. Penelitian ini terfokus dalam kajian tentang kohesi pada cerpen “Ibu” karya Sumartono, yang sarana-sarana kohesi itu terdiri dari prominal, subsitusi, elipsis, konjungsi, dan leksikal. Metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan teknik dokumentasi. Hasil analisis yang diuraikan pada bab pembahasan mennguraikan jumlah penggunaan pada kohesi yang terdiri atas promina, subsitusi, elipsis, konjungsi dan leksikal. Berdasarkan hasil penelitian relevan oleh Venesianty Jafar Tuna. Penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan yang terdapat pada penelitian Venesianti Jafar Tuna dan penelitian ini yaitu samasama mengkaji tentang kohesi, metode yang digunakan pun sama, yaitu menggunakan metode deskriptif dan tekhnik dokumentasai, dan sama-sama menggunakan karya sastra sebagai objek penelitian. Perbedaan dari penelitiannya Venesianty Jafar Tuna dengan penelitian ini adalah penelitian tersebut mengangkat judul tentang kohesi, sedangkan penelitian ini terfokus pada kohesi gramatikal saja. Objek yang digunakan pada penelitian diatas adalah cerpen “Ibu” Karya Sumartono sedangkan penelitan ini menggunakan novel autobiografi “Habibie dan Ainun”.
2.2 Kajian Teori 2.2.1 Pengertian Kohesi Kohesi adalah suatu konsep semantik yang menampilkan hubungan makna antar unsur teks, dan menyebabkannya dapat disebut teks. Kohesi terjadi apabila interpretasi salah satu unsur teks tergantung dari unsur lainnya. Unsur yang satu berkaitan dengan yang lain. Unsur tersebut benar-benar dapat dipahami tanpa yang lain. Kaitan makna yang ini disebut kohesi. Menurut Halliday dan Hasan (dalam Zaimar dan Harapan 2009:115), kohesi adalah keterkaitan semantis antar unsur pembentuk wacana. Kohesi merupakan konsep semantik yang juga merujuk kepada perkaitan kebahasaan yang didapati pada suatu ujaran yang membentuk wacana. Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa.Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah kalimatkalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sedangkan Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa. (Gutwinsky dalam Yayat Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi mengacu pada hubungan antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun tataran leksikal. Contoh (Rani, dkk 2006: 88): “Perkuliahan Bahasa Indonesia acapkali sangat membosankansehingga tidak mendapat perhatikan sama sekali dari mahasiswa. Hal Itu disebabkan bahkan kuliah yang disajikan dosen sebenarnya merupakan masalah yang sudah diketahui oleh mahasiswa atau merupakan masalah yang tidak diperlakukan mahassiswa. Di samping itu, mahasiswa sudah mempelajari Bahasa Indonesia sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar atau sekurang-kurangnya sudah mempelajari Bahasa Indonesia selama dua belas tahun, mersa sudah mampu menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, memilih atau menentukan bahan
kuliah yang akan diberikan kepada mahasiswa merupakan kesulitan tersendiri bagi paa pengajar Bahasa Indonesia”.
Kata Penghubungkan informasi antarkalimat dalam wacana di atas digunakan kata hal itu, di samping itu, dan akibatnya. Kata-kata pengikat ide itu dapat dilihat dengan jelas. Oleh sebab itu, kata-kata itu disebut penanda katon atau pengikat formal. Selanjutnya, istilah yang digunakan untuk mengacu penanda katon pengikat formal itu disebut Piranti Kohesi 2.2.1.1 Kohesi Gramatikal Kohesi gramatikal adalah kohesi yang terbentuk oleh tata bahasa. Menurut Halliday dan Hasan (dalam Zaimar dan Harapan 2009:117) kohesi gramatikal dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yaitu referensi, subsitusi, elipsis, konjungsi. 1.
Kohesi Referensi Referensi menampilkan hubungan antara bahasa dan dunia. Dalam setiap
bahasa yang tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri, melainkan merujuk (mengacu) pada hal untuk pemahamannya, informasi yang diberikannya rergantung pada hal lain. Ini adalah salah satu alat kohesi, yaitu yang disebut referensi. Dalam hal ini, informasi yang didapat kembali itu adalah identitas sesuatu yang diacu, yang bersifat khas. Kohesi terletak pada kontinuitas acuan. Ketika hal yang sama masuk ke dalam wacana untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnnya. Suatu unsur yang mempraanggapkan, mempunyai makna yang sesuai dengan hal lain yang dipraanggapkan. Di sini terdapat pertautan makna antar unsur teks yang mengacu
dengan hal lain yang diacu. Untuk dapat memahami referensi, terlebih dahulu kita perlu mengenal sistem rujukannya, yaitu referensi tekstual (endofora) dan referensi situasional (eksofora). Sebelum penjelasannya, terlebih dahulu di sini akan dikemukakan bagan referensi menurut Halliday dan Hasan: 1976(dalam Zaimar dan Harapan, 2009:18): REFERENSI
Refernesi Tekstual (endofora)
Anafora
Acuan tetap
a.
Referensi Situasional (eksofora)
Katafora
acuan Berfariasi
Kohesi Referensi Situasional (Eksofora) Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap antiseden di luar bahasa,
yaitu pada konteks situasi. Contoh: “Itu matahari”. Kata itu pada tuturan tersebut mengacu pada sesuatu diluar teks, yaitu „benda yang berpijar yang menerangi alam ini‟(Rani dkk, 2006:99). Teks ada unsur yang tidak dipahami apabila tidak dibantu oleh informasi (sesuatu) yang lain. Teks itu tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri, melainkan harus mengacu pada sesuatu yang lain. Apabila yang diacu itu berada di luar teks, maka biasanya disebut referensi situasional. Hal ini terdapat dalam komunikasi langsung, jadi melibatkan pengirim dan penerima dalam komunikasi,
juga hal-hal yang berada di sekitar tempat berlangsungnya komunikasi (Zaimar dan Harapan, 2009:118). b. Referensi Tekstual (Endofora) Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam bahasa (ekstratekstual), seperti manusia, hewan, alam sekitar pada umumnya, atau acuan kegiatan. Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks (intertekstual) dengan menggunakan pronomina, baik pronomina persona, pronomina demonstrativa, maupun pronomina komparatif. Pengacu dan yang diacu adalah koreferensial (halliday dan Hasan:1979, lyons:1985, Dardjowidjojo, 1986, Malmkjaer, 1991 dalam Rani dkk, 2006:98). Berdasarkan arah acuannya, referensi endofora dibedakan menjadi dua macam, yaitu referensi anafora dan katafora (Halliday dan Hasan dalam Rani, dkk,2006:98). Referensi anafora adalah pengacuan oleh pronomina terhadap antiseden yang terletak di kiri. Sebaliknya, referensi katafora adalah pengacuan pronomina terhadap anteseden yang terletak di kanan. Dalam analisis wacana, referensi katafora dianggap sebagai tanduk si penutur. Contoh: (Rani, dkk, 2006:98) “Yang merah yang aku senangi” maksud dari kata yang merah hanya dapat ditafsirkan dengan melihat tuturan sebelumnya. Akan tetapi, jika ada kalimat: Ton, di lemari ada celana, kemeja, rok, dan jilbab. Itu boleh kamu pakai. Yang dimaksud dengan itu adalah celana dan kemeja dan bukan rok dan jilbab karena dari pengetahuan tentang dunia bahwa Tono sebagai laki-laki tidak mingkin memakai busana rok dan jilbab. Disamping hubungan antarkalimat,
pengetahuan tentang dunia ini pun juga menentukan referensi itu sekaligus menentutukan makna tuturan. Referensi endofora yaitu referensi kepada sesuatu (anteseden) yang berada di dalam teks. Dengan kata lain, sesuatu yang diacu dapat ditemukan di dalam teks. Jika yang diacu (antiseden) lebih dahulu dituturkan atau ada pada kalimat yang lebih dahulu sebelum pronomina dinamakan anafora sedangkan antiseden yang ditemukan sesudah pronomina dinamakan katafora. Baik referensi yang bersifat anafora maupun katafora menggunakan pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronomina komparatif. Pronomina persona adalah deiktis yang mengacu pada orang secara berganti-ganti bergantung pada “topeng” yang diperankan oleh partisipan wacana. Pronomina yang berfungsi sebagai alat kohesi adalah pronomina persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik tunggal maupun jamak, baik anafora maupun katafora. Pronomina demonstratif adalah kata deiktis yang dipakai untuk menunjuk (menggantikan) nomina. Dilihat dari segi bentuknya, promina demonstrasi dibedakan antara promina demonstrasi tunggal, seperti ini dan itu, promina demonstrasi turunan, seperti berikut dan sekian, pronomina demonstrasi gabungan seperti di sini, di situ, di sana, di sana sini, pronomina demonstrasi reduplikasi, seperti begitu-begitu (Kridalaksana, dkk 1985 dalam Rani, dkk, 2006:102). Pronomina komperatif adalah deiktis yang menjadi bandingan bagi antisedennya. Kata-kata yang termasuk kategori pronomina komparatif antara lain: sama, persis, identik, serupa, selain, berbeda, dan sebagainya (Rani, dkk, 2006:104)
Ada dua jenis referensi dalam teks, yaitu referensi pronomina dan referensi demonstratif. Referensi pronomina persona 1 tunggal, berbentuk bebas, yaitu saya dan referensi ponomina persona 1 jamak yaitu kami Sumarlan:2005( dalam Darma 2009:37) 2.
Kohesi Subsitusi Subsitusi adalah penyulihan suatu unsur wacana dengan unsur lain yang
acuannya tetap sama. Dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang lebih besar daripada kata, seperti frase atau klausa (Halliday dan Hasan 1978 dalam Rani, Dkk,2006: 105). Subsitusi adalah penggantian suatu unsur dalam teks oleh unsur lain. Seperti dalam referensi, dalam subsitusi juga dikenal sistem rujukan, meskipun terutama rujukan tekstual saja (endofora) baik yang berupa anafora maupun katafora. Sistem rujukan situasional jarang ada dalam kategori ini. Hal ini mudah dipahami karena subsitusi adalah penyulihan (penggantian) suatu unsur bahasa sebabnya sering ada kesulitan dalam membedakan referensi dengan subsitusi. Untuk itu, perlu dikemukakan persamaan dan perbedaan di antara kedua kategori kohesi ini ( dalam Zaimar dan Harapan, 2009: 124), yaitu: a)
Subsitusi lebih mengemukakan hubungan kata-kata (baik gramatikal maupun leksikal), sedangkan referensi mengemukakan hubungan makna. Dengan demikian, subsitusi adalah hubungan antar unsur linguistik, misalnya hubungan antar kata, frase, atau klausa. Itu berarti subsitusi merupakan hubungan yang ada pada tataran lexico-Grammatikal, yaitu tataran tata bahasa dan kosa kata, jadi tataran bentuk linguistik. Padahal, referensi berada pada tataran semantik, kohesinya terletak pada identitas semantik.
b) Subsitusi adalah hubungan antarunsur yang berada dalam teks, sesuatu yang digunakan untuk menggantikan pengulangan. Dalam persyaratan wacana yang baik, selalu ada pengulangan. Suatu unsur teks seringkali diulang-ulang untuk memperjelas makna. Itulah sebabnya maka diperlukan unsur-unsur bahasa yang lain untuk menggantikan pengulangan kata, antara lain dengan unsur gramatikal agar tidak membosankan, dan wacana tampak lebih bervariasi, tidak memberikan kesan”berat” sedangkan dalam referensi, yang penting adalah bahwa baik unsur yang mengacu maupun unsur yang diacu mempunyai referen (acuan) yang sama dalam dunia”nyata”. c)
Subsitusi memiliki kemiripan dengan referensi karena keduanya secara potensial bersifat anaforis pada dasarnya, referensi merupakan hubungan semantik. Dalam referensi, suatu unsur bahasa dapat mengacu ke unsur bahasa yang sudah disebut sebelumnya (anafora) atau keunsur bahasa yang dituturkan sesudahnya (katafora) maupun keluar teks (eksofora) (Zaimar dan Harapan,2009: 124).
3.
Kohesi Elipsis Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak
hadir dalam komunikasi tetapi dapat dipahami. Pengertian itu tentunya didapat dari konteks pembicaraan, terutama konteks tekstual. Dalam elipsis, ada unsur yang hilang, dan unsur itu merupakan celah dalam struktur yang harus diisi dari bagian lain teks itu. Jadi elipsis mengacu pada kalimat, klausa, frasa ataupun kata yang hadir dalam teks sebelumnya, yang kemudian menjadi sumber bagi informasi yang hilang (Zaimar dan Harapan, 2009:127).
Yayat Sudaryat (2008: 155) mengatakan elipsis merupakan penghilangan satu bagian dari unsur kalimat. Sebenarnya ellipsis sama dengan subtitusi, tetapi elipsis disubtitusi oleh sesuatu yang kosong. Elipsis biasanya dilakuakan dengan menghilangkan unsur-unsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan pendapat harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana,2005:280) elipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan dapat diperkirakan wujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa. Menurut Halliday dan Hasan (dalam Zaimar & Harapan 2009:127) elipsis ini sama betul dengan subsitusi, hanya saja, bila dalam subsitusi ada unsur bahasa yang menggantikan dalam elipsis sama sekali tidak ada. Jadi dikatakan bahwa elepsis adalah subsitusi kosong. Ducrot dan Todorov (dalam Tarigan, 1985: 144) menyatakan elipsis merupakan penghilangan salah satu unsur penting dalam konstruksi sintaksis yang lengkap. Contoh: Tuhan selalu memberikan kekuatan, ketenangan, ketika saya menghadapi saat-saat yang menentukan dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih.
Kalimat kedua yang berbunyi terima kasih merupakan elipsis. Unsur yang hilang adalah subjek dan predikat. Kalimat tersebut selengkapnya berbunyi: Tuhan selalu memberikan kekuatan, ketenangan, ketika saya menghadapi saatsaat yang menentukan dalam penyusunan skripsi ini. Saya mengucapkan terima kasih. 4.
Kohesi Konjungsi Konjungsi adalah partikel yang dipergunakan untuk menggambungkan kata
dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat,
atau paragraf dengan paragraf Kridalaksana (dalam Zaimar dan Harapan, 2009:130). Konjungsi berfungsi untuk merangkaikan atau mengikat beberapa proposisi dalam wacana agar perpindahan ide di dalam wacana itu terasa lembut. Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan untuk merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antarkalimat. Klasifikasi kohesi konjungsi berdasarkan hubungan proposisi yang diwujudkan dalam dua kalimat. Pengklasifikasi piranti kohesi tersebut berdasarkan jenis hubungan yang diciptakan: 1)
Piranti Penambahan Penambahan berguna untuk menghubungkan bagian yang bersifat
menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk merangkaikan dua proposisi atau lebih. Kata yang digunakan yaitu dan, juga, baik, maupun, lagi pula, selain, itu, tambahan pula. Contoh: Tingkah lakunya menawan. Tutur katanya sopan. Murah senyum, jarang marah, dan tidak pernah berbohong. Juga tidak mau mempercakapkan orang lain. Selain itu, ia suka menolong sesama teman. Dan dia penyabar.
2)
Piranti Penegasan Piranti ini digunakan untuk usaha menyampaikan proposisi kepada
penerima, pengirim pesan agar dapat dipahaminya. Kata yang digunakan yaitu: bahkan, malahan, lebih-lebih, apalagi (Rani, dkk, 2006). Contoh: Demikian juga dengan pilihan kata penggunakan struktur kalimat, antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki cara yang berbeda-beda. Bahkan, dapat terjadi bahwa bahasa-bahasa orang yang satu daerah juga banyak memiliki perbedaan.
3)
Piranti Pertentangan (Kontras). Piranti pertentangan terjadi apabila ada dua ide atau proposisi yang
menunjukkan kebalikan atau kekontrasan. Piranti yang digunakan yaitu tetapi, padahal, meskipun, biarpun, sekalipun, namun, walaupun, sedangkan, sebaliknya, kendatipun,
kendatipun demikian,
biarpun demikian/begitu, sungguhpun,
demikian/begitu, meskipun demikian/ begitu (Rani, dkk, 2006:120). Contoh: Nyamuk berseliweran, pengemis, pelacur, pencoleng, dan gelandangan berkeliaran. Namun, di kampung kumuh tersebut sedang dibangun sekolah mewah”.
4)
Piranti Pilihan Piranti Pilihan digunakan menyatakan pilihan antara dua hal. Konjungsi
yang digunakan yaitu : atau, entah...entah. contoh: Fitri bingung ingin mencari pekerjaan atau menenurskan studinya.
5)
Piranti Waktu Piranti waktu merupakan proposisi yang menunjukkan suatu hubungan
kesejajaran atau urutan waktu (Rani, dkk, 110). Konjungsi yang digunakan yaitu: Sesudah, setelah, sebelum, sehabis, sejak, selesai, ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selama, hingga, sampai kemudian, sesudah itu, selanjutnya, sebelum itu, akhirnya”. Contoh: Yanti bangun tidur pukul 05.00, kemudian ambil air wudhu. Setelah itu dia menunaikan sholat subuh dengan khusyuk. Lalu tak lupa ia mengaji.
6)
Piranti Syarat Piranti syarat merupakan proposisi yang menunjukkan suatu hubungan
syarat. Kata yang digunakan yaitu: jika, kalau, asalkan, bila, manakala, seharusnya (Zaimar dan Harapan, 2009135). Contoh: Jika bulan ini aku bisa bekerja lebih giat maka gajiku akan bertambah.
7)
Piranti Misalan atau Contohan Piranti misalan atau contohan berguna untuk menghubungkan bagian yang
satu dengan bagian lain yang menunjukkan contoh atau misalan. Kata yang digunakan yaitu: Andaikan, seandainya, umpamanya, misalnya, contohnya (Rani, dkk, 2006: 124). Contoh: Departemen Tenaga Kerja bisa juga menyidik seseorang hingga jadi terdakwa di meja hijau. Contohnya, Hakim Kuastin Efendi dari Pengadilan Negeri Medan telah memvonis Nyonya Tio Kaso, 4 tahun, dengan hukuman denda p 10 ribu atau kurungan selama tujuh hari pada 6 Maret silam. Padahal, yang menyidik Nyonya Tio itu adalah M. Puba, seorang pegawai pada Dinas Tenaga Kerja Medan.
8)
Piranti Tujuan Piranti tujuan terjadi sebagai pewujudan untuk menyatakan tujuan yang
ingin dicapai. yang digunakan yaitu: agar, supaya, untuk. Contoh: Pemerintah hendaknya membangun sekolah, agar rakyat menjadi pandai.
9)
Piranti Konsesif Dalam memberikan penjelasan, adakalanya, pengirim pesan mengakui
sesuatu kelemahan atau kekurangan yang terjadi di luar jalur yang dibicarakan. Pengakuan itu disadari oleh pengirim pesan, tetapi yang bersangkutan. Pengakuan itu dapat dinyatakan dengan kata memang atau tentu saja. Proposisi pengakuan itu disadari oleh pengirim pesan, tetapi yang bersangkutan tidak dapat mengatasi hal yang diakui itu( Rani, dkk, 2006:126). Contoh: Apabila terdapat bahasa Indonesia logat yang bersifat geografis atau horisontal atau lebih dapat bersifat etnis, tedapat pula bahasa Indonesia logat yang bersifat sosial atau vertikal atau besifat profesi. Para pemuda, misalnya, memakai bahasa Indonesia yang tercampur dengan istilah dan ungkapan yang khusus mereka pahami sendiri, sedangkan orang lain, terlebih orang-orang tua, sukar sekali atau tidak dapat memahami bahasa pemuda semacam itu. Memang, dapat dipahami bahwa kelompok-kelompok sosial tertentu seperti wartawan, dokter, pedagang, makelar, nelayan, pelaut, seniman-seniwati, dan kelompok sosial yang lain mempeergunakan banyak istilah dan ungkapan profesi tertentu sehingga menyebabkan orang lain di luar kelompok mereka sukar memahami bahasa Indonesia mereka.
Kata piranti lainnya yang digunakan yaitu: biarpun, meskipun, sekalipun, walaupun, sungguhpun, kendatipun.
10) Piranti Pemiripan. Kata yang digunakan yaitu: seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti, sebagai, laksana ( Zaimar dan Harapan, 2009:236). Contoh: Kedua sejoli itu merasa seakan-akan dunia milik mereka.
11)
Piranti Kausal/Sebab-Akibat. Terjadi apabila salah satu proposisi menunjukkan penyebab terjadinya suatu
kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya. Kata yang digunakan yaitu: Oleh sebab itu, oleh karena itu, sehingga, maka, sampai-sampai, karena itu, oleh sebab itu, konsekuensinya. Contoh: Adik sakit sehingga tidak masuk sekolah.
12)
Piranti Penjelasan. Dalam menyampaikan pikiran, perasaan, peristiwa, keadaan, dan sesuatu
hal, adakalanya, seorang penyampai merasa belum puas dalam penyampaiannya. Ia merasa apa yang disampaikan belum seluruhnya dipahami oleh penerima, untuk itu perlu ada penjelasan agar apa yang disampaikan dipahami oleh penerima. Kata yang digunakan yaitu: yang dimaksud, Artinya. Contoh: Faktor yang keempat, yaitu saluran. Yang dimaksud saluran dalam pembicaraan ini adlah alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam suatu kegiatan bertutur.
13)
Piranti Ragu-Ragu (Dubitatif)
Piranti tersebut digunakan untuk mengantarkan bagian yang masih menimbulkan keraguan. Kata yang digunakan adalah jangan-jangan, barangkali, mungkin, kemungkinan besar dan sebagainya (Rani, dkk, 2006: 125) contoh: Tidak banyak tokoh yang tampil dua kali dalam kulit muka majalah Tempoh. Yustedjo Tarik termasuk dalam jumlah sedikit itu. Kali pertama, ketika ia membawa mendali emas dari Asian Games di New Delhi 1982. Kali keduannya, padaa pekan ini. Mungkin, karena Yustedjo mempunyai daya tarik kuat untuk menjadi berita.
14)
Piranti Ringkasan dan Simpulan Piranti ini beguna untuk mengantarkan ringkasan dari bahwa bagian yang
berisi urasian. Biasanya, ringkasi berupa simpulan yang ditarik dari sejumlah data yang telah diungkapkannya. Kata-kata yang biasanya digunakan untuk mengantarkan ringkasan dan simpulan misalnya singkatannya, pendeknya, pada umumnya, jadi kesimpulannya, dengan ringkasnya dan sebagainya ( Rani, dkk, 2006:123). Contoh: Hukum tidak hanya untuk orang kaya. Semua orang mempunyai derajat yang sama di depan hukum. Hukum tidak memandang kaya atau miskin, pria atau wanita, tua atau muda, pembesar atau rakyat jelata, dan ABRI atau bukan ABRI. Jadi, hukum berlaku untuk siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Ada dua jenis konjungsi menurut Sumarlan: 2005 ( dalam Darma, 2009: 39) yaitu konjungsi sekuensial dan konjungsi optatif. Konjungsi sekuensi menyatakan hubungan makna urutan antara tuturan sebelum konjungsi dansesudahn konjungsi misalnya “ Terima kasih Pak, lalu adalah konjungsi sekuensial. Konjungsi optatif menyatakan hubungan makna harapan, yaitu harapan si penerima pesan, misalnya: semoga orang yang meninggal itu tergolong khusnul khotimah.” Konjungsi semoga merupakan konjungsi optatif. 2.2.1 Konsep Novel
Novel merupakan suatu ragam sastra yang memberikan gambaran pengalaman manusia, yang disusun berdasarkan peristiwa, tingkah laku tokoh, waktu dan plot, suasana dan latar Watt (dalam Tuloli, 2000:17). Dalam arti luas adalah cerita berbentuk prosa dalam bentuk luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “ukuran luas” di sini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temanya, sedang karakter, seting, dan lain-lainnya hanya satu saja (Sumardjo dan Saini, 1986:29). Novel merupakan salah satu ragam sastra yang yang diciptkan pengarang berdasarkan pengalaman yang dialaminya berupa suatu peristiwa.