BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. AKTIVITAS FISIK II.1.1. Definisi Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global ( WHO, 2010; Physical Activity. In Guide to Community Preventive Services Web site, 2008).
II.1.2. Manfaat Aktivitas Fisik terhadap Kesehatan Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan yaitu :
Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah tinggi, kencing manis, dan lain-lain
Berat badan terkendali
Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat
Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional
Lebih percaya diri
Lebih bertenaga dan bugar
Universitas Sumatera Utara
Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006 )
II.1.3. Tipe-tipe Aktivitas Fisik Ada 3 tipe/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh yaitu: 1. Ketahanan (endurance) Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paruparu, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:
Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah
Lari ringan
Berenang, senam
Bermain tenis
Berkebun dan kerja di taman.
2. Kelenturan (flexibility) Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:
Universitas Sumatera Utara
Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai dari tangan dan kaki
Senam taichi, yoga
Mencuci pakaian, mobil
Mengepel lantai.
3. Kekuatan (strength) Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih eperti:
Push-up, pelajari teknik yang benar untuk mencegah otot dan sendi dari kecelakaan
Naik turun tangga
Angkat berat/beban
Membawa belanjaan
Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)
Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori), misalnya:
Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit)
Berkebun (5,6 kkal/menit)
Menyetrika (4,2 kkal/menit)
Universitas Sumatera Utara
Menyapu rumah (3,9 kkal/menit)
Membersihkan jendela (3,7 kkal/menit)
Mencuci baju (3,56 kkal/menit)
Mengemudi mobil (2,8 kkal/menit)
Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:
Menyapu
Mengepel
Mencuci baju
Menimba air
Berkebun/bercocok tanam
Membersihkan kamar mandi
Mengangkat kayu atau memikul beban
Mencangkul
Dan kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari.
Aktivitas fisik berupa olahraga yang dapat dilakukan antara lain:
Jalan sehat dan jogging
Bermain tenis
Bermain bulu tangkis
Sepakbola
Senam aerobik
Senam pernapasan
Berenang
Bermain bola basket
Bermain voli
Universitas Sumatera Utara
Bersepeda
Latihan beban: dumble dan modifikasi lain
Mendaki gunung, dll (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006).
II.2. FUNGSI KOGNITIF II.2.1. Definisi Kognitif berasal dari bahasa Latin, yaitu cognitio yang artinya adalah berpikir. Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang dan mengerti dunianya, yang dicapai dari sejumlah fungsi yang kompleks termasuk orientasi terhadap waktu, tempat dan individu; kemampuan aritmatika; pikiran abstrak; kemampuan fokus untuk berpikir logis (Pincus dkk, 203). Fungsi kognitif terdiri dari : 1. Atensi Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan. Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehavior karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga. Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.
Universitas Sumatera Utara
Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak. 2. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan. Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik anatara
sindroma
afasia
dengan
lesi
neuroanatomi.
Kemampuan
berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat menyebabkan gangguan berbahasa. 3. Memori Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui system limbik untuk terjadinya pembelajaran baru. Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall.
Universitas Sumatera Utara
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik. b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian seharihari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun. c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman). Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum mmerupakan efek fungsi memori. Ketidak mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory. 4. Visuospasial Kemampuan
visuospasial
dapat
dievaluasi
melalui
kemampuan
kontruksional seperti menggambar atau meniiru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal. Pasien diminta untuk menggambar jam berbentuk lingkaran kemudian dengan angkanya yang lengkap, jika gambar jam digambar terlalu kecil sehingga angka-angkanya tidak muat, hal ini mencermikan gangguan pada perencanaan. Jika terdapat neglek unilateral pasien menempatkan angka hanya pada satu sisi. Selanjutnya pasien diminta untuk menggambar jarum pada pukul 11:10. Pasien dengan gangguan fungsi eksekutif akan menunjuk jarum pada angka 10 dan 11. 5.Fungsi Eksekutif Fungsi eksekutif adalah keampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif (Modul Neurobehavior, 2008). Istilah penurunan kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif yang berkelanjutan; beberapa dianggap masih dalam spektrum penuaan normal, sementara yang lainnya dimasukkan dalam ketegori gangguan ringan. Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian terhadap satu domain atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai peneltian klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa faktor biologis, perilaku, sosial dan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan dapat berkontribusi terhadap esiko penurunan fungsi kognitif (Plassman dkk, 2010).
II.2.2. Pengaruh Pendidikan Terhadap Fungsi Kognitif Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang dapat terjadi lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Diduga ada beberapa mekanisme yang mendasari proses ini yaitu : a.
Hipotesis brain reverse, teori ini mengatakan bahwasannya tingkat pendidikan dan penurunan fungsi kognitif karena usia saling berhubungan karena keduanya didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak lahir.
b.
Teori “use it or lose it”, teori mengatakan stimulus mental selama dewasa merupakan proteksi dalam melawan penurunan fungsi kognitif yang prematur. Pendidikan pada awal kehidupan mempunyai pengaruh pada kehidupan selanjutnya jika
seseorang tersebut terus melanjutkan
pendidikan untuk menstimulasi mental yang diduga bermanfaat untuk neurokimia dan pengaruh struktur otak(Bosma Lee dkk 2003, Seeman dkk,2005) Satu teori menjelaskan tentang synaptic reserve hypothesis, dimana orang yang berpendidikan tinggi mempunyai lebih banyak synaps di otak dibanding orang yang berpendidikan rendah. Ketika synap tersebut rusak karena ada proses penyakit Alzheimer maka synap yang lain akan menggantikan tempat yang rusak tadi. Teori ini berhubungan dengan cognitive reserve hypothesis dimana orang yang beredukasi memiliki lebih banyak sinaps
Universitas Sumatera Utara
pada otak dan mampu melakukan mengkompensasi dengan baik terhadap hilangnya suatu kemampuan dengan menggunakan strategi alternative pada tes yang didapati selama pelatihan selama pendidikan, dengan demikian dapat diasumsikan orang yang berpendidikan tinggi menurun fleksibilitas ini dalam test-taking strategy (Dash dkk, 2005). Suatu studi yang dilakukan oleh Bennett dkk (2003) untuk mengetahui hubungan antara tingkat edukasi formal dan patologi AD. Ternyata dijumpai adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungsi kognitif yang berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal. Studi
yang
dilakukan
oleh
Seeman
dkk
(2005)
menyimpulkan
bahwasannya semakin tinggi pendidikan penderita Alzheimer maka semakin cepat penurunan fungsi kognitif. Hipotesis cognitive reserve (CR) dapat menjelaskan hal ini. Hipotesis ini menjelaskan bahwa ada perbedaan individu dalam kemampuan mengatasi patologis penyakit Alzheimer. Substrat neural dari CR dapat mengambil bentuk dari jumlah yang besar dari sinaps atau neuron yang sehat saat yang lainnya dipengaruhi proses patologis Alzheimer. Sehingga
penyakit
Alzheimer
pada
tingkat
pendidikan
tinggi
baru
bermanifestasi secara klinis setelah kelainan patologi otak cukup parah (patologis di otak yang berpendidikan tinggi lebih berat dari yang berpendidikan rendah saat penyakit Alzheimer terdeteksi). Dan pada saat patologis otak sudah berat dan meluas, substrat neural yang mengkompensasi tersebut tidak lagi tersedia dan penurunan fungsi kognitif yang cepat terjadi.
Universitas Sumatera Utara
II.2.3. Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Fungsi Kognitif Beberapa hipotesis yang menjelaskan tentang mekanisme yang mendasari hubungan antara aktivitas fisik dan fungsi kognitif masih belum dapat dipahami. Aktivitas fisik memperlihatkan dapat mempertahankan aliran darah otak dan mungkin juga meningkatkan persediaan nutrisi otak. Selain itu kegiatan
aktivitas
fisik
juga
diyakini
untuk
memfasilitasi
metabolisme
neurotransmiter, dapat juga memicu perubahan aktivitas molekuler dan seluler yang mendukung dan menjaga plastisitas otak. Bukti dari suatu studi hewan telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan seluler, molekul dan perubahan neurokimia.
Pengaruh yang diamati
berhubungan dengan
peningkatan vaskularisasi di otak, peningkatan level dopamin, dan perubahan molekuler
pada
faktor
neutropik
yang
bermanfaat
sebagai
fungsi
neuroprotective (Singh-Manoux dkk.2005; Hernandez dkk, 2010). Selain itu aktivitas fisik juga diduga menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth yang kemungkinan faktor-faktor ini yang menghambat penurunan fungsi kognitif dan demensia (Yaffe dkk,2001). Pada exercise beberapa sistem molekul yang dapat berperan dalam hal yang bermanfaat pada otak. Faktor-faktor neurotrofik kebanyakan yang berperan dalam efek yang bermanfaat tersebut. Faktor neurotrofik itu terutama BDNF, karena dapat meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan beberapa tipe dari neuron, meliputi neuron glutamanergik. BDNF berperan sebagai mediator utama dari efikasi sinaptik, penghubungan sel saraf dan plastisitas sel saraf (Cotman dkk, 2002) (Gambar 1).
Universitas Sumatera Utara
Diduga bahwa response neurotorphin yang diperantarai exercise mungkin terbatas pada sistem motorik, sensorik, dari otak, seperti serebellum, area korteks primer antara lain basal ganglia. Hasil yang dijumpai pada suatu penelitian beberapa hari setelah voluntany tral-runing dilakukan, mengingatkan kadar dari BDNF mRNA di hipokampus, struktur higly plastic yang secara normal berkaitan dengan fungsi kognitif dibandingkan aktifitas motorik. Perubahan kadar mRNA dijumpai di neuron, terutama di girus dentatus, hilus, dan regio CA3. Peningkatan terjadi dalam beberapa hari pada tikus jantan dan betina, menetap sampai beberapa minggu selama latihan dan bersamaan dengan peningkatan jumlah protein BDNF(Cotman dkk, 2002) . Meskipun faktor-faktor neurotrofik lain seperti NGF & FGF-2 juga diindukasi di hipokampus sebagai respon pada latihan, peningkatannya hanya sesaat dan kurang jelas/nyata dibanding BDNF, ini menunjukkan bahwa BDNF merupakan kandidat yang lebih baik dalam memediasi manfaat jangka panjang dari exercise pada otak (Cotman dkk, 2002) .
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Peranan BDNF dalam memediasi Exercise Dikutip dari : Cotman C. W, Berchtold N. C. 2002. Exercise: A Behavior Intervention
To
Enhance Brain Health and Plasticity. TRENDS in Neurosciences. 25(6):295-300
Aktivitas fisik kemungkinan menpertahankan kesehatan vaskular otak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan mendukung
profil lipoprotein,
produksi endotel nitrat oksidasi dan memastikan perfusi otak
cukup.Demikian pula, muncul bukti hubungan antara insulin dan amiloid menunjukkan bahwa manfaat aktivitas aerobik
pada resistensi insulin dan
glukosa intolerance, mungkin ini merupakan mekanisme yang lain dimana aktivitas fisik dapat mencegah atau menunda penurunan fungsi kognitif (Weuve dkk, 2004). Power, 2006 menjelaskan bahwa ada 3 mekanisme yang dapat menjelaskan
manfaat
pendidikan,
exercise
dan
lingkungan
yaitu
Universitas Sumatera Utara
angiogenesesis pada otak, perubahan synaptic reverse dan menghilangkan penumpukan amiloid. Suatu studi menjelaskan bahwasannya ada beberapa faktor yang mempengaruhi exercise terhadap fungsi kognitif : exercise menyebabkan hipertrofi hipokampus yang nantinya akan memiliki fungsi preventif terhadap degenerasi neuronal; exercise juga dapat menyebabkan produksi faktor pertumbuhan seperti BDNF yang telah diketahui untuk memperbesar neurogenesis dan efek positif terhadap kognitif; exercise juga dapat menyebabkan respon terhadap BDNF, neurogenesis dan fungsi kognitif melalui IGF-1; exercise tersebut juga berhubungan dengan inflamasi dimana kontraksi otak memproduksi IL6, IL8, IL15, TNF α yang selanjutnya mempengaruhi fungsi kognitif. Klotho protein/gen dapat dipengaruhi aktivitas fisik melalui faktor pertumbuhan seperti IGF-1 dimana efek klotho pada otak tampak seperti neuroprotektif
dan
mencegah
kehilangan
neuron
dopaminergik
dalam
substansia nigra. Dan yang terakhir exercise yang diperantarai oleh produksi IGF-1 meregulasi kadar β amiloid melalui peningkatan clearance plexus choroideus (Foster dkk, 2011) (Gambar 2).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Mekanisme Exercise mempengaruhi growth factor, klotho, myokines dan pengaruhnya pada otak Dikuti dari : Foster P. P, Rosenblatt K. P, Kuljiš R. O. 2011 . Exercise Induced Cognitive Plasticity, Implications For Mild Cognitive Impairment And Alzheimer’s Disease. Frontiers In Neurology Dementia:2:(28):1-10
II.3. LANJUT USIA II.3.1. Definisi Lanjut usia adalah dimana individu yang berusia di atas 60 tahun yang pada umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis, sosial, ekonomi. Sedangkan menurut United National (UN) menyetujui bahwa usia 60 merupakan cuttof untuk usia tua pada populasi tua
Universitas Sumatera Utara
(WHO,2010;Definition of an older or elderly person: Assosiasi Alzheimer Indonesia). Undang-undang Depkes RI , No. 4 tahun 1965 menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun ke atas, tidak mampu mencari nafkah sendiri dan memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan juga menerima nafkah. Sedangkan WHO dalam depkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut: middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun (Aging process 2010).
II.4. INSTRUMENT II.4.1. Mini Mental State Examination (MMSE) Pemeriksaan status mental mini Folstein (Mini Mental State Examination: MMSE) adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi. Penyandang d engan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia 2003). Pada penelitian Crum R.M (1993) diperoleh median skor MMSE 29 pada kelompok usia 18-24 tahun, median skor 25 pada kelompok usia
> 80 tahun,
Universitas Sumatera Utara
serta diperoleh data median skor 29 untuk
kelompok dengan lama masa
pendidikan >9 tahun, median skor 26 untuk kelompok dengan lama masa pendidikan 5-8 tahun dan median 22 untuk kelompok dengan lama masa pendidikan 0-4 tahun.
II.4.2. Addenbrookes’s Cognitive Examination (ACE) Addenbrookes’s Cognitive Examination adalah suatu instrument yang digunakan untuk mendeteksi demensia yang sensitif dan spesifik, dimana menggabungkan antara MMSE ,memperluas memori, bahasa, dan komponen visuospatial dan menambahkan tes kefasihan lisan (Bayer dkk, 2004). ACE ini mampu membedakan demensia termasuk penyakit Alzheimer dan frontotemporal demensia (FTD). ACER membutuhkan waktu antara 12 dan 20 menit (rata-rata 16 menit) untuk mengelola dan skor dalam setting klinis. ACER ini berisi 5 sub-skor, masing-masing mewakili satu kognitif/domain yaitu perhatian /orientasi (18 poin), memori (26 poin), kelancaran (14 poin), bahasa (26 poin)dan visuospatial (poin 16). ACER skor maksimum adalah 100. Untuk penilaian ACER mempunyai cut-off 88 dan 82 diidentifikasi berdasarkan perhitungan sensitivitas,spesifisitas dan nilai prediksi positif (PPV) ditingkat prevalensi yang berbeda. Jika nilai verbal+language/orientasi+memori (VLOM ratio) < 2,2 menunjukan frontotemporal demensia (FTD) dan VLOM ratio > 3,2 menunjukan suatu demensia Alzheimer (Mioshi dkk, 2006; Bier dkk, 2004).
II.4.3. The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ)
Universitas Sumatera Utara
The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ) adalah suatu instrument screening yang telah divalidasi yang dapat digunakan untuk menilai pencegahan primer. Instrument ini digunakan pada orang dewasa untuk melihat level aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang berisi tentang 4 level Physical Activity Index (PAI) dengan kategori Active, Moderately Active, Moderately Inactive, dan
Inactive. Instrument ini juga memberikan
informasi kepada dokter ketika ada peningkatan aktivitas fisik yang tidak sesuai. Jika semua pasien mempunyai score dibawah active maka perlu diberi dukungan untuk merubah kebiasaan agar lebih meningkatkan aktivitas fisik (The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ), 2009). Level Physical Activity Index (PAI) yang terdiri dari : 1.
In Active : Pekerjaan yang harus duduk terus, tanpa gerak badan atau bersepeda
2.
Moderately Active : Pekerjaan yang harus duduk terus, tetapi kurang dari 1 jam; badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU pekerjaan yang harus berdiri terus tanpa gerak badan atau bersepeda
3.
Moderately Inactive : Pekerjaan yang harus duduk terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus berdiri terus tetapi kurang dari 1 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik tanpa gerak badan atau bersepeda
4.
Active : Pekerjaan yang harus duduk terus dan lebih dari 3 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus berdiri terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per
Universitas Sumatera Utara
minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik, sedikit tetapi lebih dari 1 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang memerlukan tenaga berat.
Universitas Sumatera Utara
2.5. KERANGKA TEORI Pendidikan
Aktivitas Fisik Angiogenesis
synaptic reserve hypothesis Mental stimulation
synaptic reserve Penumpukan amiloid otak Powers, R.E., 2006: Aktivitas fisik diduga meningkatkan produksi neural, proliferasi glial, produksi faktot tropik dan meningkatkan neurotransmitter serta dapat menurunkan atau menghilangkan penumpukan amiloid pada otak
Lee dkk, 2003: pendidikan sejak dini memiliki efek langsung pada struktur otak melalui peningkatan jumlah sinaps atau vaskularisasi dan membentuk cognitive reserve, serta efek stimulasi mental pada usia tua dimana dapat mempengaruhi neurokemikal
Bennett dkk, 2003: dijumpai adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungssi kognitif yang berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal
Vaskularisasi Wueve dkk, 2004: hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif diduga melaui pemeliharaan vaskularisasi otak melalui penurunan tekanan darah, memperbaiki lipoprotein, menghasilkan endothelial nitric oxide dan perfusi serebral yang adekuat
Dash dkk, 2005: orang yang beredukasi memiliki lebih banyak sinaps pada otak dan mampu untuk mengkompensasi dengan baik terhadap hilanganya suatu kemampuan dengan strategi alternative pada test-taking srategy
Lambourne, K., 2006: exercise memiliki hubungan dengan kapasitas working memory pada dewasa muda
Yaffe dkk, 2001: aktivitas fisik menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth yang diduga dapat mencegah penurunan kognitif dan demensia
FUNGSI KOGNITIF
Universitas Sumatera Utara
2.6. KERANGKA KONSEPSIONAL
AKTIVITAS FISIK
FUNGSI KOGNITIF
TINGKAT PENDIDIKAN
Universitas Sumatera Utara