Rona Lingkungan Hidup
3.4.2. Status Gizi Masyarakat Status Gizi merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat dalam upaya pencapaian Indonesia sehat 2010. Status gizi masyarakat dalam hal ini adalah adanya tingkat kecukupan gizi atau energi protein pada balita. Kesehatan balita merupakan salah satu indikator penting untuk melihat rawan tidaknya kesehatan masyarakat, maka Dinas Kesehatan setempat melalui Puskesmas yang ada terus melakukan program perbaikan gizi. Beberapa jenis program tersebut adalah upaya peningkatan penyuluhan para kader gizi kepada ibu‐ibu balita tentang konsumsi gizi dan upaya peningkatan Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada balita. Data bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan Status giji balita di Kecamatan Batui dapat dilihat pada Tabel.3.37 dan Tabel 3.38 Tabel.3.37. Persentasi Kelahiran Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBBLR) di Puskemas Batui Tahun 2007 2008 2009
Jumlah Bayi yang Lahir 206 206 209
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBBLR) 3 ‐ ‐
Persentase
Prevalensi*
100 0 0
65.49 65.49 64.55
Sumber : Data Binkenmas Kecamatan Batui * Jumlah penduduk (13490 jiwa) / jumlah bayi yang lahir
Tabel 3.38. Persentase Rata‐rata Status Gizi Balita di Kecamatan Batui No 1 2 3
Status Gizi Balita Di atas garis merah (berat badan bagus) Normal (gizi cukup) Di bawah garis merah (kurang gizi) Jumlah
Frekuensi 49 42 2 93
Persentase 52,68 45,16 2,15 100,00
Prevalensi* 275.31 321.19 6745.00 7341.50
Sumber : Data Primer, 2007 (AMDAL PPGM, 2008) * Jumlah penduduk (13490 jiwa) / frekuensi
3.4.3. Kondisi Lingkungan Lingkungan yang sehat adalah satu bagian dari fungsi kesehatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja Puskesmas Batui. Kondisi lingkungan masyarakat yang diduga dapat berpengaruh terhadap proses penyebaran penyakit antara lain adalah kondisi bangunan tempat tinggal dan kondisi sanitasi. Data sarana sanitasi dasar pengelolaan kesehatan lingkungan Kecamatan Batui tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel. 3.39 s.d Tabel. 3.43 Tabel 3.39. Persentase Sumber Air Minum yang Digunakan Masyarakat No 1 2 3 4
Sumber Air Minum Sumur gali Air hujan, sungai Pipa desa Lainnya Jumlah
Persentase 70 25 3 2 100,00
Prevalensi 1.43 4.00 33.33 50.00 88.76
Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
III‐37
Rona Lingkungan Hidup Tabel 3.40. Persentase Kepemilikan Jamban yang dimiliki Masyarakat No 1 2 3 4 5
Sumber Air Minum Leher angsa Plengsengan MCK Cemplungan lainnya Jumlah
Persentase 65 3 3 1 28 100,00
Prevalensi 1.54 33.33 33.33 100.00 3.57 171.78
Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009
Tabel 3.41. Persentase Sarana Pembuangan Air limbah yang dimiliki Masyarakat No 1 2 3
Sumber Air Minum Memenuhi syarat Tidak memenui syarat Tidak ada sarana pembuangan air libah Jumlah
Persentase 72 24
Prevalensi 1.39 4.17
4
25.00
100,00
30.56
Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009 V
Tabel 3.42. Persentase Kondisi Lingkungan Ternak Masyarakat No 1 2 3
Sumber Air Minum Terpisah Tidak terpisah Tidak ada ternak Jumlah
Persentase 49 32 19 100,00
Prevalensi 2.04 3.13 5.26 10.43
Tabel 3.43. Persentase Kondisi Kesehatan Pekarangan Masyarakat No 1 2
Sumber Air Minum Pekarangan bersih Pekarangan kotor Jumlah
Persentase 63 73 100,00
Prevalensi` 1.59 1.37 2.96
Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Batui, Tahun 2009
Gambaran tentang keadaan tandon tinja (jamban) keluarga khususnya dilihat dari jaraknya dengan sumur yang merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air sehari‐hari dalam keluarga, disajikan pada Tabel 3.44. Tabel 3.44. Rata‐rata Jarak Tandon Tinja (Jamban) dengan Sumur Keluarga No 1 2 3
Jarak Tandon Tinja – Sumur Kurang dari 7 m 7,1 – 10 m Lebih dari 10 m Jumlah
Jumlah 10 37 127 174
Persentase 5,74 21,26 72,98 100,00
Sumber : Data Primer, 2007 (AMDAL PPGM, 2008)
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
III‐38
PT. Pertamina EP PPGM
BAB IV RUANG LINGKUP DAN METODE STUDI
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Ruang Lingkup dan Metode Studi
BAB IV RUANG LINGKUP DAN METODE STUDI 4.1. Lingkup Rencana Kegiatan Rencana produksi gas di Block Station Matindok semula sebesar 45 MMSCFD, telah dilingkup dalam dokumen AMDAL Proyek Pengembangan Gas Matindok dengan surat kelayakan lingkungan Nomor 863 Tahun 2008. Produksi gas sebesar 45 MMSCFD di Block Station Matindok belum beroperasi. Secara umum fasilitas produksi yang akan digunakan untuk menyokong produksi gas sebesar 45 MMSCFD tersebut adalah gas plant, trunkline, flowlines, wells, dan fasilitas lainnya. Peningkatan produksi gas sebesar 20 MMSCFD hingga produksi gas total menjadi 65 MMSCFD, tidak diperlukan penambahan peralatan dan bahan. Jenis, jumlah, kapasitas peralatan yang digunakan pada produksi gas 65 MMSCFD ini pada prinsipnya sama seperti pada produksi gas 45 MMSCFD. Mengingat kegiatan operasi untuk memproduksi gas sebesar 45 MMSCFD belum dilakukan, maka belum tersedia data yang terkait dengan pemantauan lingkungan, seperti yang direkomendasi dalam dokumen AMDAL sebelumnya (2008). Oleh karena itu, data kualitas lingkungan yang dibahas dalam dokumen ini mengacu pada hasil pengamatan lapang yang dilakukan pada Bulan Februari 2011 dan dokumen AMDAL (2008) serta dokumen RKL‐RPL Tambahan (2010). Pendekatan studi yang diadopsi dalam kajian RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) disajikan pada Gambar 4.1. Rencana Kegiatan di Blok Station Matindok
Dokumen Lingkungan Pendukung
Rencana Produksi 45 MMSCFD
1. Amdal Proyek Pengambangan Gas Matindok (2008) 2. RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan Gas Melalui Suaka Margasatwa Bakiriang
Rencana Peningkatan Produksi Menjadi 65 MMSCFD
Dampak yang Muncul Terhadap Komponen Lingkungan Rencana Pengelolaan & Pemantauan Lingkungan (RKL ‐ RPL)
RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Implementasi RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Gambar 4.1. Pendekatan Studi RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD)
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐1
Ruang Lingkup dan Metode Studi Uraian pendekatan studi (Gambar 4.1) yang diterapkan dalam kajian RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Gas Matindok ini adalah : Uraian deskripsi kegiatan dikompilasi dari deskripsi kegiatan pada dokumen AMDAL Proyek Pengembangan Gas Matindok (2008), uraian deskripsi kegiatan pada RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan pada Suaka Margasatwa Bakiriang (2010), dan pasokan data untuk menunjang peningkatan produksi menjadi 65 MMSCFD oleh Pertamina EP. Deskripsi kegiatan dikelompokan menjadi beberapa tahapan yakni: pra‐konstruksi, tahap konstruksi, operasi, dan pasca operasi. Uraian tahapan kegiatan tersebut akan dibatasi hanya pada kegiatan yang terkait langsung dengan peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD. Uraian secara terperinci keempat tahapan kegiatan tersebut sebenarnya telah dijelaskan pada kedua dokumen lingkungan sebelumnya. Uraian rona lingkungan hidup dikompilasi berdasarkan observasi di lapangan, rona lingkungan hidup yang dibahas dalam AMDAL PPGM (2008), rona lingkungan hidup pada RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan pada Suaka Margasatwa Bakiriang (2010). Identifikasi, prakiraan dan evaluasi dampak penting mengacu pada kaidah yang berlaku yaitu metode perhitungan matematis, dan penilaian ahli (profesional judgement), perbandingan nilai kualitas lingkungan dengan baku mutu, keterkaitan (linkage) antar komponen lingkungan, serta pendekatan holistik. RKL‐RPL Tambahan ini didasarkan pada penambahan volume produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD. Oleh karena itu, setelah dilakukan telaahan dampak penting melalui proses pelingkupan, prakiraan dampak, dan evaluasi dampak, tidak menutup kemungkinan ternyata komponen lingkungan yang terkena dampak sama dengan yang ditimbulkan pada produksi gas 45 MMSCFD, atau intensitasnya berbeda, maka langkah‐langkah yang ditempuh dalam pengelolaan dan pemantauan pun akan serupa dengan dokumen lingkungan sebelumnya, atau mengalami modifikasi.
4.2. Pelingkupan Bahan rujukan yang dijadikan acuan dalam proses pelingkupan ini adalah PerMenLH No. 8 tahun 2006 tentang Panduan Penyusunan AMDAL. Selain itu, “Panduan Pelingkupan dalam AMDAL” (2007) yang dipublikasi oleh Deputi Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan (KLH) dengan dukungan Danish International Development Agency (Danida) melalui Environmental Sector Programme Phase 1 juga dikutip sebagai referensi. Pelingkupan merupakan suatu proses awal dalam penyusunan dokumen lingkungan yang digunakan untuk menentukan lingkup permasalahan, mengidentifikasi dampak penting hipotetik yang terkait dengan rencana kegiatan, menentukan batas wilayah studi, menentukan lama dampak berlangsung dengan adanya kegiatan, dan menentukan metode prakiraan dampak yang akan diterapkan dalam mengevaluasi dampak penting hipotetik. Pelingkupan dampak penting hipotetik dilakukan melalui tiga tahap yaitu: identifikasi dampak potensial, evaluasi dampak potensial, dan prioritas dampak penting hipotetik. Pada proses pelingkupan RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD Menjadi 65 MMSCFD) dicermati beberapa hal yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan dampak potensial, dampak penting hipotetik, dan prioritas dampak penting hipotetik, yakni: deskripsi kegiatan, rona lingkungan hidup, kegiatan lain di sekitarnya, dan saran serta tanggapan masyarakat terhadap kegiatan. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐2
Ruang Lingkup dan Metode Studi Deskripsi kegiatan yang dijabarkan dalam Bab II merupakan deskripsi kegiatan pada produksi gas 45 MMSCFD dan pada produksi gas 65 MMSCFD. Rona lingkungan yang dijabarkan pada Bab III merupakan hasil pengamatan langsung di lapang dan data yang diekstrak dari dua buah dokumen lingkungan sebelumnya. Pada bagian ini dibahas karakteristik komponen geofisik‐kimia (iklim, kualitas udara, geologi, tanah, dan kualitas air), komponen biologi (vegetasi dan satwa liar), dan komponen sosekbud serta kesehatan masyarakat (kependudukan, sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan masyarakat, dan persepsi masyarakat terhadap perusahaan). Di sekitar Block Station Matindok tidak terdapat kegiatan industri. Pemukiman penduduk terdekat adalah Desa Nonong, sekitar 1,2 km di sebelah tenggara Block Station Matindok. Kegiatan peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dilakukan sepenuhnya di Block Station Matindok dengan memanfaatkan peralatan dan bahan yang sama untuk memproduksi gas 45 MMSCFD.
a. Identifikasi Dampak Potensial Identifikasi dampak potensial dilakukan dengan mempertimbangkan hasil pengamatan langsung di lapangan dan studi pustaka dokumen AMDAL Proyek Pengembangan Gas Matindok (2008), RKL‐RPL Tambahan Perubahan Jalur Pemipaan Gas Melalui Suaka Margasatwa Bakiriang (2010). Matrik identifikasi dampak potensial disajikan pada Tabel 4.1. Kegiatan lain di sekitar dan saran serta masukan masyarakat yang diperoleh pada saat dilakukan wawancara juga menjadi pertimbangan dalam menentukan dampak potensial. Metode yang ditempuh dalam menentukan dampak potensial ini adalah: diskusi antar tenaga ahli, studi pustaka, dan observasi lapang. Pada proses identifikasi dampak potensial diperoleh 6 dampak potensial yakni: penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan, penurunan kualitas air, peningkatan pendapatan masyarakat, gangguan kesehatan masyarakat, dan persepsi masyarakat. Tabel 4.1. Matrik Dampak Potensial Komponen Lingkungan A. Aspek FisikKimia 1. Penurunan Kualitas Udara 2. Peningkatan Kebisingan 3. Penurunan Kualitas Air B. Aspek SosekbudKesmas 1. Peningkatan Pendapatan Masyarakat 2. Gangguan Kesehatan Masyarakat 3. Persepsi Masyarakat
Rencana Kegiatan Pra Konstruksi
v v
Konstruksi
Operasi
Pasca Operasi
v v v
v v v
Keterangan: V = Diprakirakan terkena dampak
Penurunan Kualitas Udara: Untuk meningkatkan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dibutuhkan peningkatan fuel gas (3 MMSCFD menjadi 5 MMSCFD) untuk menggerakkan berbagai peralatan. Gas yang dibakar di flare juga terjadi peningkatan dari 0,4 MMSCFD menjadi 0,65 MMSCFD. Peningkatan konsumsi fuel gas dan juga peningkatan pembakaran gas di flare diprakirakan akan meningkatkan jumlah emisi, yang selanjutnya mungkin berpengaruh terhadap kualitas udara ambien di sekitarnya. Peningkatan Kebisingan: Dengan adanya peningkatan produksi gas menjadi 65 MMSCFD, diprakirakan akan terjadi peningkatan kerja mesin, sehingga akan meningkatkan kebisingan di sekitar lokasi Block Station Matindok. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐3
Ruang Lingkup dan Metode Studi Penurunan Kualitas Air: Peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD tidak akan meningkatkan volume air terproduksi. Volume air terproduksi yang dihasilkan pada 45 MMSCFD dan 65 MMSCFD yaitu sama sebesar 1.300 BWPD. Setelah melalui proses pengolahan agar kualitas air terproduksi memenuhi baku mutu, maka hasil olahan air terproduksi tersebut akan dibuang ke badan air di sekitarnya. Penampungan air terproduksi yang belum diolah di dalam tangki penampungan berpotensi mencemari air permukaan seperti sungai dan sumur dangkal, jika air terproduksi tersebut tidak dikelola dengan baik. Pembuangan secara terus‐menerus air terproduksi yang telah diolah ke badan air akan menimbulkan dampak terhadap kualitas badan air penerima dan biota air yang hidup di dalamnya. Sumber dampak lainnya terhadap kualitas air adalah kegiatan pemeliharaan fasilitas produksi berupa pemeliharaan tangki penampung air terproduksi. Kegiatan pemeliharaan ini berpotensi meningkatkan volume sludge akibat bertambahnya produksi gas. Peningkatan Pendapatan Masyarakat: Peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD diperlukan lahan untuk Block Station Matindok + 20 ha. Lahan yang sudah dibebaskan untuk Block Station dengan kapasitas produksi 45 MMSCFD adalah seluas sekitar 15 Ha. Konsekuensinya, dibutuhkan tambahan lahan + 5 ha. Penambahan lahan ini memerlukan pembebasan lahan dan tanam tumbuh. Oleh karena itu, berpotensi menimbulkan dampak pada peningkatan pendapatan masyarakat yang memiliki lahan. Gangguan Kesehatan Masyarakat: Merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara dan penurunan kualitas air, sekiranya kedua komponen lingkungan tersebut tidak dikelola dengan seksama. Dengan adanya peningkatan produksi diprakirakan dampak terhadap penurunan kesehatan masyarakat akan lebih banyak, walaupun lokasi pemukiman terdekat berjarak sekitar 1,2 km. Persepsi masyarakat: Merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara (dampak primer), penurunan kualitas air (dampak primer), peningkatan pendapatan masyarakat (dampak primer), dan gangguan kesehatan masyarakat (dampak sekunder) yang bermuara pada terbentuknya baik persepsi positif maupun negatif masyarakat terhadap peningkatan produksi menjadi 65 MMSCFD.
b. Evaluasi Dampak Potensial Evaluasi dampak potensial dimaksudkan untuk meniadakan dampak yang dianggap tidak relevan atau tidak penting. Pada evaluasi dampak potensial, komponen lingkungan yang menjadi dampak potensial bisa menjadi berlanjut sebagai dampak penting hipotetik atau hilang. Bisa juga dampak potensial tersebut berlanjut menjadi dampak penting hipotetik, namun sumber dampaknya berkurang. Metode yang diterapkan dalam proses evaluasi dampak potensial ini berupa diskusi antar tenaga ahli yang lebih intensif. Adapun kriteria yang dipakai dalam proses evaluasi dampak penting potensial ini adalah: 1. Apakah beban terhadap komponen lingkungan tertentu sudah tinggi? Hal ini dapat ditentukan dari analisis data sekunder. 2. Apakah komponen lingkungan tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan sehari‐hari masyarakat (keterkaitan dengan sosial ekonomi masyarakat) dan terhadap komponen lingkungan lainnya (keterkaitan ekologis). Hal ini bisa tampak dari analisis data sekunder. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐4
Ruang Lingkup dan Metode Studi 3. Apakah ada kekhawatiran masyarakat yang tinggi terhadap komponen lingkungan tersebut? Hal ini bisa diidentifikasi dari hasil analisis data sekunder dan wawancara singkat. 4. Apakah ada aturan atau kebijakan yang dilanggar oleh dampak tersebut? Hal ini dapat ditelaah dari adanya peraturan seperti baku mutu yang terkait dengan komponen lingkungan yang terkena dampak. Setiap komponen lingkungan yang menjadi dampak potensial ditapis dengan keempat pertanyaan tersebut. Jika salah satu pertanyaan dijawab ya, maka dampak potensial tersebut akan berlanjut menjadi dampak penting hipotetik. Penurunan kualitas udara: Penurunan kualitas udara ambien akibat peningkatan kandungan CO, NO2, dan SO2 pada udara emisi. Untuk meningkatkan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dibutuhkan peningkatan fuel gas (3 MMSCFD menjadi 5 MMSCFD) untuk menggerakkan berbagai peralatan (turbin, heater, dan generator). Gas yang dibakar di flare juga terjadi peningkatan dari 0,4 MMSCFD menjadi 0,65 MMSCFD. Peningkatan konsumsi fuel gas dan peningkatan pembakaran gas di flare diprakirakan akan meningkatkan jumlah emisi yang dikeluarkan oleh mesin‐mesin pembangkit energi yang melepaskan emisi, flare, dan emisi fugitive yang kemungkinan berasal dari leakage (kebocoran). Oleh karena itu penurunan kualitas udara menjadi dampak penting hipotetik. Peningkatan kebisingan akibat peningkatan kinerja mesin: Melalui penelaahan lebih lanjut ternyata peningkatan kebisingan yang pada awalnya merupakan dampak potensial, karena dugaan adanya peningkatan kerja mesin‐mesin produksi, tidak menjadi dampak penting hipotetik. Hal ini mengingat jarak permukiman terdekat dengan lokasi rencana kegiatan adalah sekitar 1,2 km yang berada di sebelah tenggara dari Block Station Matindok. Dampak terhadap kebisingan akibat pengoperasian fasilitas produksi, juga tidak berlanjut menjadi dampak penting hipotetik. Kajian tereliminasinya dampak potensial kebisingan tersebut dijelaskan secara rinci pada uraian berikut. Peningkatan kebisingan akibat pengoperasian mesin dan peralatan yang terkait dalam peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD, ditentukan berdasarkan agregasi tingkat kebisingan keseluruhan dari semua peralatan yang menjadi sumber bising. Perubahan tingkat kebisingan dalam ruang udara ambien karena menjauhi sumber bising dihitung dengan menggunakan persamaan penurunan kebisingan (noise attenuation) sebagai berikut (Canter, 1996; Kiely, 1998):
r LP2 = LP1 − 20 * log 2 r1 Keterangan:
LP1 LP2 r1 r2
= Tingkat kebisingan pada jarak r1 (dBA) = Tingkat kebisingan pada jarak r2 (dBA) = Jarak pengukuran ke‐1 dari sumber kebisingan (m) = Jarak pengukuran ke‐2 dari sumber kebisingan (m)
Bila masing‐masing sumber bising yang berasal dari mesin‐mesin produksi menghasilkan tingkat kebisingan sebesar 90 dBA, maka tingkat kebisingan akhir secara keseluruhan (Davis and Cornwell, 1998) yang dihasilkan adalah sebesar 96,9 dBA (Gambar 4.2). Jika tingkat kebisingan secara keseluruhan dari sumbernya sebesar 96,9 dBA, maka perubahan tingkat kebisingan menjauhi sumber dengan mengikuti persamaan di atas (Gambar 4.3).
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐5
Ruang Lingkup dan Metode Studi Pada Gambar 4.3 tersebut tampak bahwa tingkat kebisingan telah mencapai baku mutu kawasan industri yakni 70 dBA pada jarak sekitar 220 meter dari sumbernya, dan baku mutu kebisingan pemukiman yakni 55 dBA pada jarak sekitar 1.100 m. Baku mutu tingkat kebisingan daerah industri sebesar (70 dBA) dan pemukiman (55 dBA) tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. Kegiatan operasi produksi yang menimbulkan kebisingan berlangsung cukup lama (> 10 tahun). Berdasarkan data akumulasi kebisingan, jika diasumsikan semua sumber dampak bising beroperasi secara bersamaan, maka kebisingan akan melampaui baku mutu daerah industri sesuai KepMenLH Nomor 48 tahun 1996 (70 dBA) hingga jarak 220 m dari sumber bunyi, sehingga luas sebaran dampak relatif kecil. Pemukiman terdekat (Desa Nonong) terletak cukup jauh sekitar ± 1,2 km dari Block Station Matindok. Bagi karyawan yang bekerja di area proses Block Station Matindok, nilai tingkat kebisingan ini juga masih memenuhi baku mutu persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan atau industri sesuai KepMenKes Nomor 261 Tahun 1998 (85 dBA).
Gambar 4.2. Tingkat Kebisingan Agregasi dari Lima Mesin dan Peralatan di Block Station Matindok
Gambar 4.3. Perubahan Tingkat Kebisingan Menjauhi Sumber Bising di Block Station Matindok Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐6
Ruang Lingkup dan Metode Studi Penurunan kualitas air akibat pengoperasian fasilitas produksi: Peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD tidak akan meningkatkan volume air terproduksi. Volume air terproduksi yang dihasilkan pada 45 MMSCFD dan 65 MMSCFD yaitu sama sebesar 1.300 BWPD. Setelah melalui proses pengolahan agar kualitas air terproduksi memenuhi baku mutu, maka hasil olahan air terproduksi tersebut akan dibuang ke badan air di sekitarnya. Mengingat volume air terproduksi yang dihasilkan sama, maka kemungkinan terjadinya penurunan kualitas air adalah sama baik pada saat produksi 45 MMSCFD maupun 65 MMSCFD. Maka dari itu, sumber dampak kualitas air akibat air terproduksi pada kajian ini tidak berlanjut menjadi dampak penting hipotetik, karena telah dikaji pada dokumen AMDAL sebelumnya. Penurunan kualitas air akibat pemeliharaan fasilitas produksi: Mengingat kegiatan di Block Station Matindok hanya memproduksi gas dengan hasil sampingan berupa kondensat, maka diprakirakan pembentukan sludge relatif sedikit, sehingga pemeliharaan tangki penampung air terproduksi hanya akan dilakukan secara berkala setiap sekitar 4 ‐ 5 tahun atau apabila berdasarkan hasil inspeksi dinyatakan bahwa perawatan tangki perlu dilakukan. Sludge dikeluarkan dari tangki timbun untuk selanjutnya dikelola sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Sludge yang dihasilkan akan dikirim ke perusahaan yang telah memiliki ijin penanganan limbah B3. Penanganan sementara terhadap sludge mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 01/ BAPEDAL/9/1995, 02/BAPEDAL/9/1995, 03/BAPEDAL/9/1995, dan 05/BAPEDAL/9/1995. Oleh karena itu, kegiatan pemeliharaan fasilitas produksi tidak menimbulkan dampak penting hipotetik terhadap kualitas air. Peningkatan pendapatan masyarakat akibat proses pembebasan lahan dan kompensasi tanam tumbuh: Lahan yang diperlukan untuk Block Station Matindok adalah + 20 ha. Lahan yang telah dibebaskan adalah + 15 ha. Penambahan lahan adalah + 5 ha. Penambahan lahan ini memerlukan pembebasan lahan dan tanam tumbuh. Lahan yang akan dibebaskan dan diberikan kompensasi tanam tumbuh adalah lahan kebun milik masyarakat. Namun demikian, proses pembebasan lahan ini hanya berlangsung sekali pada tahap pra konstruksi, sehingga dampak kegiatan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat hanya sesaat, tidak kontinyu, dan relatif tidak besar kuantitasnya. Selain itu, proses pembebasan lahan (+ 15 Ha) telah dilakukan dengan baik, sehingga proses pembebasan lahan tambahan seluas + 5 Ha akan dilakukan sesuai dengan prosedur pembebasan sebelumnya, sehingga diprakirakan akan juga dapat berjalan dengan lancar. Berdasarkan hal di atas, maka peningkatan pendapatan masyarakat yang berasal dari proses pembebasan lahan dan kompensasi tanam tumbuh bukan merupakan dampak penting hipotetik. Dengan tereliminasinya peningkatan kebisingan, penurunan kualitas air, serta peningkatan pendapatan, maka dampak penting hipotetik pada studi RKL‐RPL Tambahan ini yaitu: Penurunan kualitas udara ambien akibat peningkatan kandungan CO, NO2, dan SO2 pada udara emisi. Untuk meningkatkan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD dibutuhkan peningkatan fuel gas (3 MMSCFD menjadi 5 MMSCFD) untuk menggerakkan berbagai peralatan (turbin, heater, dan generator). Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐7
Ruang Lingkup dan Metode Studi Gas yang dibakar di flare juga terjadi peningkatan dari 0,4 MMSCFD menjadi 0,65 MMSCFD. Peningkatan konsumsi fuel gas dan peningkatan pembakaran gas di flare diprakirakan akan meningkatkan jumlah emisi yang dikeluarkan oleh mesin‐mesin pembangkit energi yang melepaskan emisi, flare, dan emisi fugitive yang kemungkinan berasal dari leakage (kebocoran). Gangguan terhadap kesehatan masyarakat merupakan dampak sekunder akibat penurunan kualitas udara. Hal ini karena emisi yang dikeluarkan terus menerus dari Block Station Matindok. Persepsi masyarakat merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara (dampak primer), dan gangguan kesehatan masyarakat (dampak sekunder). Persepsi masyarakat terhadap perusahaan bisa berupa persepsi positif atau persepsi negatif, tergantung pada dampak primer dan sekunder yang menjadi sumber dampak persepsi ini. Tiga dampak penting hipotetik pada studi RKL‐RPL Tambahan ini juga menjadi dampak penting hipotetik pada dokumen AMDAL Tahun 2008 (Tabel 4.4).
c. Prioritas Dampak Penentuan prioritas dampak penting hipotetik tidak mengurangi atau mengubah nama komponen lingkungan yang menjadi dampak penting hipotetik. Hal yang dilakukan adalah menyusun dampak penting tersebut berdasarkan prioritasnya. Dampak penting hipotetik ditentukan prioritasnya dengan tujuan untuk mengurutkan dampak penting berdasarkan prioritasnya. Pendekatan yang dilakukan dalam menentukan prioritas dampak adalah dengan menggunakan metode yang memprakirakan besarnya peluang terjadinya dampak (probability) dan besarnya akibat atau konsekuensi (consequences) (Tabel 4.2). Proses pemberian skala prioritas dampak pada tahap operasi disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.2. Prioritas Dampak Berdasarkan Probabilitas dan Konsekuensi Peluang Kejadian/Akibat Besarnya Peluang Kejadian
Besarnya Akibat (Konsekuensi) Kecil Menengah Insidental (1) (2) (3)
Kemungkinan Sedang (3) Kemungkinan Kecil (2) Jarang Sekali (1)
3 2 1
6 4 2
9 6 3
Tabel 4.3. Proses Pemberian Skala Prioritas Dampak pada Tahap Operasi Dampak Penting Hipotetik Penurunan Kualitas Udara Terganggunya Kesehatan Masyarakat Persepsi Masyarakat
Skala Prioritas Peluang Konsekuensi Total Skala = 6 (2x3) Peluang Konsekuensi Total Skala = 4 (2x2) Peluang Konsekuensi Total Skala = 2 (2x1)
1
Penilaian 2
3
Berdasarkan penentuan skala prioritas, maka diperoleh prioritas dampak penting hipotetik berikut ini yang disusun berdasarkan tahapan kegiatan. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐8
Ruang Lingkup dan Metode Studi Prioritas dampak penting hipotetik pada RKL‐RPL Tambahan ini adalah: 1) Penurunan kualitas udara (akibat peningkatan kandungan CO, NO2, dan SO2 pada udara emisi yang secara terus menerus di lepas ke ruang udara ambien, 2) Gangguan terhadap kesehatan masyarakat berupa dampak turunan akibat penurunan kualitas udara ambien, dan 3) Persepsi masyarakat yang merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara (dampak primer), dan gangguan kesehatan masyarakat (dampak sekunder). Bagan alir proses pelingkupan disampaikan pada Gambar 4.4. Perbandingan dampak potensial, dampak penting hipotetik, dan prioritas dampak penting hipotetik antara AMDAL (2008) dan RKL‐RPL tambahan peningkatan produksi gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) disampaikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Perbandingan Dampak Potensial, Dampak Penting Hipotetik, dan Prioritas Dampak Penting Hipotetik antara AMDAL (2008) dan RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) AMDAL PPGM (2008)
RKLRPL Tambahan (2011) DAMPAK POTENSIAL
FisikaKimiaGeologi:
FisikaKimiaGeologi:
1) Perubahan iklim mikro, 2) Penurunan kualitas udara ambien (debu dan gas), 3) Terjadi kebisingan, 4) Perubahan sifat tanah, 5) Terjadi erosi tanah, 6) Gangguan sistem irigasi dan drainase, 7) Penurunan debit air sungai, 8) Penurunan kualitas air permukaan, 9) Penurunan kualitas air laut, 10) Penurunan kuantitas air tanah, 11) Penurunan kelancaran lalu lintas, 12) Penurunan keselamatan berlalulintas, 13) Kerusakan jalan dan jembatan.
1) Penurunan kualitas udara, 2) Peningkatan kebisingan, 3) Penurunan kualitas air.
Biologi:
Biologi: ‐
1) Gangguan vegetasi, 2) Gangguan satwa, 3) Gangguan biota air tawar, 4) Gangguan biota air laut, 5) Peningkatan keanekaragaman dan kerapatan vegetasi, 6) Peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan satwa. Sosekbud:
Sosekbud:
1) Perubahan kependudukan, 2) Perubahan pola kepemilikan lahan, 3) Peningkatan pendapatan masyarakat, 4) Adanya kesempatan berusaha, 5) Gangguan proses sosial, 6) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat.
Persepsi Masyarakat
Kesehatan Masyarakat: 1) Penurunan kualitas sanitasi lingkungan, 2) Penurunan tingkat kesehatan masyarakat.
Kesehatan Masyarakat: Gangguan Kesehatan Masyarakat
DAMPAK PENTING HIPOTETIK FisikaKimiaGeologi: 1) Penurunan kualitas udara ambien (debu dan gas),2) Terjadi kebisingan, 3) Terjadi erosi tanah, 4) Penurunan kualitas air permukaan, 5) Gangguan sistem irigasi dan drainase, 6) Penurunan kualitas air laut, 7) Penurunan kelancaran lalu lintas, 8) Penurunan keselamatan berlalulintas, 9) Kerusakan jalan dan jembatan.
FisikaKimiaGeologi: Penurunan kualitas udara
Biologi:
Biologi: ‐
1) Gangguan vegetasi, 2) Gangguan satwa, 3) Gangguan biota air tawar, 4) Gangguan biota air laut, 5) Peningkatan keanekaragaman dan kerapatan vegetasi, 6) Peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan satwa.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐9
Ruang Lingkup dan Metode Studi AMDAL PPGM (2008)
RKLRPL Tambahan (2011)
Sosial, Ekonomi, Budaya:
Sosial, Ekonomi, Budaya:
1) Perubahan kependudukan, 2) Perubahan pola kepemilikan lahan, 3) Peningkatan pendapatan masyarakat, 4) Adanya kesempatan berusaha, 5) Gangguan proses sosial, 6) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat.
Persepsi Masyarakat
Kesehatan Masyarakat: 1) Penurunan kualitas sanitasi lingkungan, 2) Penurunan tingkat kesehatan masyarakat.
Kesehatan Masyarakat: Gangguan Kesehatan Masyarakat
PRIORITAS DAMPAK PENTING HIPOTETIK Pra Konstruksi: 1) Perubahan pola kepemilikan lahan 2) Gangguan proses sosial 3) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat Konstruksi: 1) Perubahan Kualitas udara ambien (debu dan gas) 2) Terjadi kebisingan 3) Terjadi erosi tanah 4) Gangguan sistem irigasi dan drainase 5) Gangguan kelancaran lalulintas 6) Gangguan keselamatan berlalulintas 7) Kerusakan jalan dan jembatan 8) Penurunan kualitas air permukaan 9) Penurunan kualitas air laut 10) Gangguan vegetasi 11) Gangguan satwa 12) Gangguan biota air tawar 13) Gangguan biota air laut 14) Peningkatan pendapatan masyarakat 15) Adanya kesempatan berusaha 16) Gangguan proses sosial 17) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat 18) Penurunan kualitas sanitasi lingkungan Operasi: 1) Penurunan kualitas udara ambien (debu dan gas) 2) Peningkatan kebisingan 3) Penurunan kualitas air permukaan 4) Penurunan kualitas air laut 5) Gangguan keselamatan berlalulintas 6) Kerusakan jalan dan jembatan 7) Gangguan biota air tawar 8) Perubahan kependudukan 9) Peningkatan pendapatan masyarakat 10) Adanya kesempatan berusaha 11) Gangguan proses sosial 12) Munculnya pelapisan sosial 13) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat 14) Penurunan kualitas sanitasi lingkungan 15) Penurunan tingkat kesehatan masyarakat Pasca Operasi: 1) Peningkatan kualitas udara ambien 2) Penurunan kebisingan 3) Peningkatan kualitas air permukaan 4) Peningkatan kualitas air laut 5) Keselamatan berlalulintas 6) Kerusakan jalan dan jembatan 7) Peningkatan keanekaragaman dan kerapatan vegetasi 8) Peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan satwa 9) Penurunan pendapatan masyarakat 10) Penurunan kesempatan berusaha 11) Perubahan sikap dan persepsi masyarakat
Tahap Operasi: 1) Penurunan kualitas udara, 2) Gangguan Kesehatan Masyarakat, 3) Persepsi Masyarakat
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐10
Ruang Lingkup dan Metode Studi
4.3. Lingkup Wilayah Studi Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi luas wilayah studi dokumen RKL‐RPL Tambahan ini.
a. Batas Proyek Batas tapak proyek adalah ruang dimana suatu rencana kegiatan akan dilakukan. Batas proyek studi RKL‐RPL Tambahan yaitu luas Block Station Matindok ( + 20 Ha). Penentuan batas proyek dalam studi ini hanya didasarkan pada kegiatan yang akan dikembangkan di Block Station Matindok yaitu peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD.
b. Batas Ekologis Batas ekologis didasarkan kepada sebaran kualitas udara emisi dalam ruang udara ambien yang diakibatkan oleh peningkatan produksi gas. Sebaran tersebut mengikuti arah angin dominan yaitu dari arah barat. Dengan asumsi kecepatan angin rata‐rata 2,7 m/detik, maka sebaran emisi berjarak sekitar 1 km ke arah barat.
c. Batas Sosial Batas sosial adalah ruang di sekitar rencana kegiatan yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan, termasuk sistem dan struktur sosial, sesuai dengan proses dinamika sosial suatu kelompok masyarakat, yang diprakirakan akan mengalami perubahan mendasar akibat suatu rencana kegiatan. Batas sosial ditekankan dengan memperhatikan batas kedekatan dengan permukiman yang berpeluang terjadinya interaksi sosial antara pekerja di Block Station Matindok dengan masyarakat di desa terdekat. Oleh karena itu, batas sosial adalah desa yang berdekatan dengan Block Station Matindok yaitu Desa Nonong berjarak sekitar 1,2 km dari Block Station Matindok.
d. Batas Administrasi Batas administrasi adalah ruang dimana masyarakat dapat secara leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku di dalam ruang tersebut. Secara administratif, lokasi kegiatan peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD ini masuk ke dalam Desa Nonong (Kecamatan Batui).
e. Batas Wilayah Studi Batas wilayah studi RKL‐RPL Tambahan ini merupakan resultan dari batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif pemerintahan yang secara lengkap disampaikan pada Gambar 4.5. Dibandingkan dengan batas wilayah studi AMDAL Pengembangan Produksi Gas Matindok, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (2008), maka batas wilayah studi RKL‐RPL Tambahan ini lebih sempit dan berada di dalam batas wilayah studi AMDAL (2008).
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐11
Ruang Lingkup dan Metode Studi
4.4. Batas Waktu Kajian Batas waktu kajian dalam memprakirakan dan juga mengevaluasi dampak penting hipotetik yang dikemukakan dalam dokumen ini diprakirakan berlangsung selama proses produksi (20 tahun). Pertimbangan ini didasarkan pada durasi produksi gas sebesar 65 MMSCFD. Lamanya dampak berlangsung ini tak akan mengalami perubahan selama tidak terjadi perubahan rona lingkungan (antara lain: munculnya permukiman, pabrik atau perusahaan non migas, perusahaan migas, pertambangan, pertanian, perkebunan, dan sebagainya), tidak ada perubahan proses, bahan baku, dan bahan tambahan lainnya yang signifikan yang mengakibatkan dampak yang ditimbulkannya juga berbeda secara signifikan, serta tidak ada kegiatan lain yang signifikan di dalam batas wilayah studi. Selama volume gas yang digunakan untuk menjalankan mesin‐mesin produksi tidak melebihi asumsi yang dipakai pada prakiraan dampak yakni 5 MMSCFD, dan pembakaran di flare 0,65 MMSCFD, maka durasi dan dinamika dampak yang ditimbulkan dari emisi gas buang terhadap kualitas udara ambien di sekitarnya akan terus berlangsung selama proses produksi. Lamanya dampak berlangsung untuk aspek gangguan kesehatan masyarakat dan persepsi masyarakat adalah selama tidak ada desa dan atau pemukiman yang lokasinya berdekatan dengan Block Station Matindok. Desa terdekat yaitu Desa Nonong berjarak 1,2 km ke arah tenggara dari Block Station Matindok.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐12
Ruang Lingkup dan Metode Studi
Dampak Potensial
Kondisi Rona Lingkungan
FisikKimia, Geologi:
• Komponen Fisika‐ Kimia, Geologi • Komponen Sosekbud • Komponen Kesmas
IDENTIFIKASI DAMPAK POTENSIAL
• Penurunan kualitas udara • Peningkatan kebisingan • Penurunan kualitas air Sosekbud: • Peningkatan Pendapatan Masyarakat • Persepsi Masyarakat
Rencana Kegiatan Tahap Pra Konstruksi Tahap Konstruksi Tahap Operasi Tahap Pasca Operasi
Kesehatan Masyarakat: • Gangguan kesehatan masyarakat Studi Pustaka, Metode Matriks
Wawancara dengan Masyarakat (Kep.Ka BAPEDAL No. 08/2000)
EVALUASI DAMPAK POTENSIAL
Kegiatan Lain di Sekitar Lokasi Rencana Kegiatan
Dampak Penting Hipotetik GeofisikKimia, • Penurunan kualitas udara akibat peningkatan emisi gas CO, NO2, dan SO2 Sosekbud: • Persepsi masyarakat (dampak turunan) Kesehatan Masyarakat: • Gangguan kesehatan masyarakat (dampak turunan) Diskusi, Penilaian Pakar, Studi Pustaka, Data Pengamatan Lapang
PRIORITAS DAMPAK PENTINGHIPOTETIK
Prioritas Dampak Penting Hipotetik • Penurunan kualitas udara • Gangguan kesehatan masyarakat • Persepsi masyarakat
Gambar 4.4. Bagan Alir Proses Pelingkupan
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐13
Ruang Lingkup dan Metode Studi Batas Proyek Batas Ekologis Batas Sosial dan Administrasi Batas Wilayah Studi Baru (RKL RPL Tambahan) Batas Wilayah Studi Lama (AMDAL)
RKL RPL Tambahan Peningkatan Kapasitas Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Prov. Sulawesi Tengah
BATAS WILAYAH STUDI
Gambar 4.5. Batas Wilayah Studi RKL‐RPL Tambahan Peningkatan Produksi Gas (2011) dan AMDAL PPGM (2008)
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐14
Ruang Lingkup dan Metode Studi
4.5. Metode Studi 4.5.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Data yang disajikan dalam dokumen ini bersumber dari pengamatan langsung di Block Station Matindok dan beberapa pustaka. Data komponen lingkungan yang diamati mencakup aspek kualitas udara, geologi, kualitas air, kualitas tanah, vegetasi dan satwa liar, plankton dan benthos, sosial‐ekonomi‐budaya, dan kesehatan masyarakat. Peta lokasi pengambilan sampel disampaikan pada Lampiran 3. Adapun pustaka yang diacu adalah: 1. AMDAL Pengembangan Produksi Gas Matindok. Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (2008) 2. RKL‐RPL Tambahan Pemindahan Jalur Pipa Melalui Suaka Margasatwa Bakiriang (2010). Lokasi pengamatan komponen lingkungan dan pertimbangannya disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Lokasi Pengamatan Beberapa Komponen Lingkungan dan Alasannya. No 1
2
Komponen Lingkungan Kualitas Udara
Kualitas Air Sungai
Lokasi Pengambilan Sampel Sumur Matindok #2 Block Station
Pertimbangan Lokasi Pengambilan Sampel Mewakili udara ambien dekat sumur. Mewakili udara ambien dekat Block Station Matindok. Mewakili udara ambien dekat pemukiman.
Pemukiman (simpang menuju Block Station Matindok) Jalan akses menuju ke Block Station (di sekitar dam) Hutan (di tepi Sungai Kayowa bagian hulu) Sungai Kayowa Hulu
Mewakili udara ambien di jalan akses menuju Block Station Matindok. Mewakili udara ambien di hutan. Mewakili kualitas air yang kemungkinan bisa terpengaruh oleh aktivitas sumur. Mewakili kualitas air yang kemungkinan terpengaruh oleh aktivitas sumur dan Block Station Matindok. Mewakali kualitas air di sekitar jalan akses menuju Block Station Matindok. Mewakili kualitas air sumur penduduk.
Sungai Kayowa Hilir Saluran irigasi 3
Kualitas Air Sumur
Pemukiman (simpang menuju Block Station Matindok) Sumur di sekitar saluran irigasi
4
Kualitas Tanah
Block Station Matindok
5
Vegetasi dan Satwa Liar
Block Station Matindok Hutan (di tepi Sungai Kayowa bagian hulu) Sumur Matindok #2
6
Sosekbud dan Kesmas
Desa Nonong Desa Kayowa Desa Masing
Mewakili kualitas air sumur penduduk di sekitar jalan akses menuju Block Station Matindok. Mewakili kondisi tanah pada calon lokasi pemrosesan gas. Mewakili calon lokasi pemrosesan gas yang ada semak belukar dan tanah lapang. Mewakili vegatasi dan satwa liar di sekitar hutan. Mewakili vegetasi dan satwa liar dekat sumur. Mewakili masyarakat di Desa Nonong Mewakili masyarakat di Desa Kayowa Mewakili masyarakat di Desa Masing
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐15
Ruang Lingkup dan Metode Studi
A. Kualitas Udara Pengumpulan Data Pengumpulan data kualitas udara ambien di lapangan dilakukan dengan mengambil sampel udara di lokasi studi, kemudian menganalisisnya di laboratorium. Sampling kualitas udara ambien dilakukan pada 5 titik (UL‐01 s.d. UL‐05) dengan keterwakilan yaitu UL‐01: area proyek, UL‐02: permukiman, UL‐03: akses mobilisasi, UL‐04: hutan, UL‐05: Matindok‐2. Sampel udara ambien dikumpulkan secara langsung dari lapangan dengan cara mengisap udara ambien dengan menggunakan pompa vakum (vacuum pump) dan kemudian melewatkannya pada bahan penyerap (absorber) dalam impinger. Durasi pengambilan sampel dicatat bersama‐sama dengan laju alirnya untuk mengetahui jumlah total udara ambien yang diambil. Sampel udara ambien yang terserap ini kemudian dianalisis di laboratorium. Metode, parameter, dan peralatan yang diperlukan untuk analisis kualitas udara ambien disajikan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Metode dan Peralatan Analisis Kualitas Udara Ambien Parameter SO2 CO NO2 O3 PM10 TSP Pb
Metode Analisis Pararosanilin NDIR Saltzman Chemiluminescent Gravimetrik Gravimetrik Gravimetrik
Peralatan Spektrofotometer NDIR Analyzer Spektrofotometer Spektrofotometer Hi‐Vol Sampler Dust Sampler Hi‐Vol Sampler
Debu jatuh
Gravimetrik
Cannister
Baku Mutu 365 µg/Nm3 10.000 µg/Nm3 150 µg/Nm3 235 µg/Nm3 150 µg/Nm3 230 µg/Nm3 2 µg/Nm3 2 10 ton/km /bulan (Pemukiman) 20 ton/km2/bulan (Industri)
Keterangan: Baku Mutu berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Analisis Data Data dibandingkan dengan baku mutu yang terkait dengan kualitas udara ambien yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
B. Tingkat Kebisingan Pengumpulan Data Data tingkat kebisingan lokasi studi dikumpulkan secara langsung di lapangan dengan mencatat tingkat kebisingan di setiap lokasi sampling menggunakan alat sound level meter. Data tingkat kebisingan dicatat setiap lima (5) detik dalam waktu sepuluh (10) menit untuk setiap titik pengamatan. Catatan data ini kemudian dianalisis secara statistik guna memperoleh nilai rata‐rata tingkat kebisingan di suatu lokasi. Titik lokasi dan jumlah sampel kebisingan pada prinsipnya disesuaikan dengan pengambilan sampel kualitas udara ambien termasuk dari hasil pemantauan. Analisis Data Baku mutu tingkat kebisingan yang dipakai sebagai acuan adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐16
Ruang Lingkup dan Metode Studi
C. Kualitas Air Pengumpulan Data Data untuk parameter kualitas air yang dikumpulkan bersumber dari data pengambilan sampel secara langsung pada sumber air (sungai maupun sumur). Selain itu, juga dilakukan penyajian hasil analisis dari kualitas air sungai pada pengamatan yang lalu (AMDAL PPGM tahun 2008). Lokasi pengambilan sampel terdiri dari 3 titik yaitu air sungai (Sungai Kayowa hulu dan hilir dari Block Station Matindok), air irigasi, dan air sumur penduduk. Beberapa parameter kualitas air yang cepat berubah sifatnya karena bertambahnya waktu dianalisis di lapangan (in situ), sedangkan parameter kualitas air lainnya dianalisis di laboratorium. Metode yang digunakan untuk menganalisis sampel disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Metode Analisis Parameter Kualitas Air Permukaan Parameter
Satuan
Metoda dan Alat Analisis*
Sungai Sumur Keterangan
Sifat Fisik Suhu Air Muatan Padatan Tersuspensi (TSS) Muatan Padatan Terlarut (TDS)
C
Pemuaian, Termometer
v
v
In situ
mg/l
Gravimetrik, Timbangan Analitik
v
v
Lab. Induk
mg/l
Gravimetrik, Timbangan Analitik
v
v
Lab. Induk
°
Sifat Kimia pH
‐
Klorida
mg/l
Oksigen Terlarut (DO)
mg/l
Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD5) Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) Minyak dan lemak Nitrit (NO2‐N) Ammonia (NH3‐N) Total Fospat‐P Besi (Fe) Sulfida (H2S) Fenol**) Nikel (Ni) Air Raksa (Hg) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah Hitam (Pb) Kadmium (Cd)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l µg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Deterjen (MBAS)
mg/l
mg/l
Elektroda Hidrogen, pH Meter
v
v
In situ
Titrimetrik, Peralatan Titrasi Winkler dengan modifikasi Azide, Peralatan Titrasi Winkler dengan modifikasi Azide, inkubasi, Peralatan Titrasi Brusin, Spektrofotometer Ekstraksi Freon, Spektrofotometer Nessler, Spektrofotometer Stanus Klorida Spektrofotometrik Spektrofotometrik Argentometrik, Peralatan Titrasi GLC, Spektrofotometer Spektrofometrik, AAS Spektrofotometrik, AAS Spektrofotometrik, AAS Spektrofotometrik, AAS Spektrofotometrik, AAS Spektrofotometrik, AAS
v
v
Lab. Induk
v
‐
Spektrofotometrik, Spektrofotometer
In situ
v
v
v v v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v v v
In situ & Lab. Lapangan Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk Lab. Induk
Lab. Induk
v
v
Lab. Induk
v
v
Lab. Induk
Mikrobiologi Fecal Coliform/ Koliform Tinja Total Coliform
MPN/ 100 ml MPN/ 100 ml
Botol steril tabung ganda, inkubator Botol steril tabung ganda, inkubator
Catatan : *Standard Methods for Examination of Water and Waste Water, American Public Health Association, APHA (1987) V = dilakukan pengukuran, ‐ = Tidak dilakukan pengukuran, Pada lokasi sumur tidak dilakukan pengambilan biota
Analisis Data Data kualitas air permukaan dibandingkan dengan nilai Baku Mutu pada PP Nomor 82 Tahun 2001 Lampiran II (kualitas air sungai/anak sungai). Data kualitas air sumur dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 Tentang Syarat‐Syarat dan Pengawasan Kualitas Air (Lampiran II. Daftar Persyaratan Kualitas Air Bersih). Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐17
Ruang Lingkup dan Metode Studi
D. Kualitas Tanah Pengumpulan Data Sampel tanah diambil secara langsung pada saat survei lapang. Sampel tanah yang telah diambil dari lapang kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui beberapa sifat fisika dan kimia tanah yang berkaitan dengan pengaruh dan rencana kegiatan. Pengambilan sampel tanah dilakukan sesuai dengan prosedur pengambilan contoh tanah utuh dengan ring sampel dan contoh tanah terganggu dengan cangkul atau sekop. Sampel tanah yang diambil berbobot sekitar 1 kg yang dimasukkan ke dalam kantong plastik. Contoh tanah utuh dianalisis di laboratorium untuk penetapan sifat fisika tanah yaitu tekstur (fraksi pasir, debu, liat), bobot isi tanah (BI), dan permeabilitas. Struktur dan konsistensi tanah diamati secara langsung di lapang. Analisis contoh tanah terganggu dilakukan untuk penetapan sifat kimia tanah yaitu pH, C‐organik, N‐total, P‐tersedia, Kapasitas Tukar Kation (KTK), basa‐basa (K, Na, Ca, Mg) dan kejenuhan basa, dan Aluminium dapat ditukar. Metode yang digunakan pada penetapan dan analisis laboratorium sampel tanah disajikan pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Metode Analisis Parameter Kualitas Tanah Sifatsifat Tanah
No
Metode dan Alat
Sifat Fisik 1 2 3
Bobot isi (g/cc) Permeabilitas (cm/jam) Tekstur (% pasir, pasir halus, debu , liat)
Gravimetrik Lambe (1957) Pipet
Sifat Kimia 1 2 3 4 5 6 7 8 9
pH‐H2O dan pH‐KCl C‐organik (%) N‐total (%) C/N P‐tersedia (ppm) K‐, Na‐, Ca‐, Mg‐ dapat ditukar (me/100g) KTK (me/100g) KB (%) Al‐dd
Elektroda gelas Walkley dan Black Kjeldahl Perhitungan Bray‐1 Ekstaksi NNH4OAc pH 7.0, fotometer nyala, AAS Ekstaksi NNH4OAc pH 7.0, titrasi HCl Perhitungan Ekstraksi HCl 25%
Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dianalisis atau diintrepretasikan sesuai dengan data yang ada dan arahan prakiraan dampak dari rencana kegiatan. Data hasil analisis sifat kimia dari sampel tanah diintrepretasikan untuk menggambarkan atau mengetahui kondisi kesuburan tanah terutama pada lokasi kegiatan. Tingkat kesuburan tanah dapat ditentukan dari beberapa parameter kimia tanah. Hasil analisis sampel beberapa parameter kimia tanah diintrepretasikan dan dibandingkan sesuai dengan Kriteria Penilaian Data Analisis Sifat Kimia Tanah (PPT, 1983). Sedangkan hasil analisis sampel beberapa sifat fisik tanah diintrepretasikan dengan Kriteria Penilaian Beberapa Parameter Sifat Fisika Tanah.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐18
Ruang Lingkup dan Metode Studi
E. Vegetasi dan Satwa Liar Pengumpulan Data Pengamatan berdasarkan atas keterwakilan vegetasi seperti hutan, perkebunan, persawahan, dan pekarangan. Dasar pengambilan sampel adalah hilangnya flora di sekitar kawasan tersebut apabila rencana kegiatan telah berlangsung. Pengamatan terhadap tanaman budidaya dilakukan dengan inventarisasi, pengamatan langsung, dan wawancara tentang jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat di sekitar wilayah studi. Observasi satwaliar dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan langsung dilakukan dengan point count technique, sedangkan pengamatan tidak langsung dilakukan dengan pengamatan footprint dan tanda‐tanda yang lain (kotoran/feces dll), juga wawancara dengan masyarakat. Pada pengamatan point count technique, species dan jumlahnya ditentukan dari species yang dapat dilihat dan atau didengar pada satu interval waktu tertentu. Parameter yang diamati adalah spesies, jumlah individu, dan status spesies. Selain itu juga dipertimbangkan aspek pengelolaan dan pemantauan spesies tersebut. Analisis Data Jenis data yang dicatat dalam pengamatan vegetasi meliputi jumlah jenis. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga dapat disimpulkan kualitas lingkungan flora di lokasi kegiatan dan sekitarnya. Demikian halnya dengan status kelangkaan atau konservasinya berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, CITES (Convention for International Trade on Endangered Species), dan Redlist IUCN. Data satwa kemudian dilakukan analisis yang ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai mengenai jenis dan jumlah jenis. Data yang terkumpul kemudian digunakan untuk mengidentifikasi fauna yang memiliki status dilindungi pemerintah Indonesia (PP No. 7/1999 serta berbagai peraturan dan undang‐undang lainnya yang relevan) atau yang dianggap terancam punah dalam daftar Redlist Data Book IUCN dan CITES.
F. Plankton dan Benthos Pengumpulan Data Sampel plankton (phytoplankton dan zooplankton) diperoleh dengan cara menyaring 30‐ 50 liter air permukaan menggunakan plankton net. Pada sampel plankton yang diperoleh diberi lugol dan kemudian dianalisis di laboratorium. Sampel benthos diperoleh dari sedimen yang diambil di dasar air menggunakan alat Petersen Grab. Sampel kemudian dimasukkan dalam kantong plastik dan dipelihara menggunakan larutan formalin 4%, selanjutnya sampel dianalisis di laboratorium. Analisis Data Analisa data plankton (fitoplankton dan zooplankton) dilakukan untuk mendapatkan parameter struktur komunitasnya seperti kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks dominasi, dan indeks keseragaman. Data struktur komunitas plankton dianalisis secara relatif inter lokasi (perairan) dan nilai‐nilai indeks struktur komunitasnya dibandingkan. Analisis data benthos dilaksanakan untuk mendapatkan beberapa parameter tentang struktur komunitasnya seperti kelimpahan, Indeks keanekaragaman, indeks dominasi, dan indeks keseragaman. Data yang telah dianalisis dibandingkan dengan kriteria nilai indeks untuk komunitas benthos atau indeks relatif. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐19
Ruang Lingkup dan Metode Studi
G. Geologi Pengumpulan Data Pengumpulan data geologi dan kegempaan dilakukan dengan cara penelaahan data sekunder berupa peta topografi, peta geologi, dan laporan‐laporan hasil penelitian terdahulu. Untuk melengkapi dan penyempurnaan data sekunder tersebut, dilakukan pengamatan langsung di lapangan. Untuk itu dikaji kondisi morfologi wilayah studi dan sekitarnya. Komponen yang diamati meliputi, bentuk dan karakteristik bentang alam, disamping itu dikaji juga jenis batuan dan struktur geologi khususnya karakteristik batuan, lokasi bahan galian mata air dan sebagainya. Pengamatan aspek fisiografi dilakukan pada seluruh wilayah studi dan sekitarnya yang diprakirakan akan terkait dengan rencana kegiatan. Lingkup kajian fisiografi dan geologi secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.9. Tabel 4.9. Lingkup Kajian Geologi dan Fisiografi Parameter Morfologi lahan Struktur geologi dan jenis batuan Hidrogeologi Bahan galian
Metode yang Digunakan Data sekunder peta topografi, disempurnakan dengan pengamatan lapangan Data sekunder peta geologi, disempurnakan dengan pengamatan lapangan Data sekunder peta hidrogeologi, disempurnakan dengan pengamatan lapangan Data sekunder dari laporan yang sudah ada, disempurnakan dengan pengamatan lapangan
Analisis Data Data fisiografi (topografi, morfologi dan geologi) yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Analisis data fisiografi dan geologi meliputi lereng, bentang alam atau morfologi, dan geologi. Parameter ini ditelaah dengan metode analisis peta topografi dan bentuk bentang alam dengan cara sederhana atau konvensional.
H. Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kesehatan Masyarakat Pengumpulan Data Data diperoleh melalui sumber primer dan sekunder. Data primer ditangkap melalui metode survei dan wawancara mendalam yang dilengkapi dengan observasi. Adapun data sekunder diperoleh melalui pengumpulan desa dan kecamatan atau institusi yang terkait. pengumpulan data mengacu pada Keputusan Kepala BAPEDAL No. 124/1997. Jenis data yang dikumpulkan meliputi:
Profil kependudukan di wilayah studi dan Struktur mata pencaharian penduduk Beban tanggungan, jumlah usia produktif Peluang bekerja dan berusaha, dinamika pola usaha Prasarana dan sarana transportasi Komunitas masyarakat adat/lokal, sistem nilai dan norma dikalangan masyarakat Pola kepemilikan lahan Potensi kerjasama, persaingan dan konflik dikalangan komunitas masyarakat adat/lokal, dan antara masyarakat adat/lokal dengan masyarakat pendatang.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐20
Ruang Lingkup dan Metode Studi Analisis Data Data kuantitatif dan kualitatif yang terkumpul diolah dan dianalisis. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan kaidah‐kaidah statistika atau ditelaah melalui tabulasi silang dua atau tiga variabel. Sedangkan data kualitatif diolah dengan analisis induktif dan analisis isi. Metode analisis untuk aspek kesehatan masyarakat mengacu pada Keputusan Kepala BAPEDAL No. 124/1997.
4.5.2. Metode Prakiraan Dampak Metode prakiraan dampak diperlukan untuk menguji hipotesis tentang adanya dampak penting. Dengan menggunakan perhitungan matematis, sebaran dampak terkadang dapat dikuantifikasi. Akan tetapi tak semua dampak dapat ditentukan besarannya. Dampak terhadap sosekbud biasanya ditentukan dengan pendekatan penilaian ahli (professional judgement). Metode prakiraan dampak untuk penurunan kualitas udara, terganggunya kesehatan masyarakat, dan persepsi masyarakat dikemukakan pada uraian berikut. 1. Metode Perhitungan Matematis, untuk prakiraan dampak terhadap kualitas udara Untuk kualitas udara dilakukan permodelan sebaran kualitas udara emisi dalam ruang udara ambien, sehingga dapat diketahui dalam radius berapa jauh kualitas udara telah memenuhi baku mutu. Rumus Gaussian adalah: Model persamaan dispersi gas menurut Gauss (Peavy et al., 1985; de Nevers, 1995; Kiely, 1998; LaGrega et al., 2001): C ( x, y, z )
⎡ 1⎛ y exp ⎢− ⎜ = 2πσ yσ zU ⎢ 2 ⎜⎝ σ y ⎣ Q
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
2
⎤⎧ ⎡ ⎛ ⎥ ⎪⎨exp ⎢ − 1 ⎜ z − H ⎜ ⎥⎪ ⎢⎣ 2 ⎝ σ z ⎦⎩
⎞ ⎟⎟ ⎠
2
⎡ 1⎛ z+H ⎤ ⎥ + exp ⎢ − ⎜⎜ ⎢⎣ 2 ⎝ σ z ⎥⎦
⎞ ⎟⎟ ⎠
2
⎤ ⎫⎪ ⎥⎬ ⎥⎦ ⎪⎭
Konsentrasi polutan di permukaan tanah (ground level concentration) dengan tinggi plume H, y=0, z=0, maka persamaan diatas menjadi sebagai berikut:
C( x, y,z )
⎡ 1⎛ H exp ⎢ − ⎜⎜ = πσ yσ zU ⎢⎣ 2 ⎝ σ z Q
⎞ ⎟⎟ ⎠
2
⎤ ⎥ ⎥⎦
Keterangan: C(x,y,z)
Q σy ; σz U y z H
= Konsentrasi gas pada suatu tempat berkoordinat (x,y,z) [g/m3]
= Laju emisi stack [g/s] = Koefisien dispersi sesuai dengan kurva Pasquill‐Gifford [m] = Kecepatan angin [m/s] = Jarak pada arah sumbu y dari centerline [m] = Jarak vertikal pada arah sumbu z dari centerline [m] = Tinggi plume dari permukaan tanah [m]
2. Metode penilaian ahli (professional judgement), digunakan dalam memprakirakan dampak terhadap gangguan kesehatan masyarakat dan persepsi masyarakat terhadap kegiatan peningkatan produksi gas menjadi 65 MMSCFD.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐21
Ruang Lingkup dan Metode Studi Sifat penting dampak ditetapkan dengan mengacu pada Keputusan Kepala Bapedal Nomor 56 Tahun 1994 tentang Pedoman Penetapan Dampak Penting dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, serta UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sifat penting dampak ditentukan berdasarkan pada tujuh kriteria dampak penting berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah manusia yang terkena dampak Intensitas dan lamanya dampak berlangsung Luas daerah penyebaran dampak Sifat kumulatif dampak Berbalik atau tidak berbaliknya dampak Jumlah komponen lingkungan lain yang terkena dampak Kriteria lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Sekiranya salah satu dari enam kriteria dampak penting tersebut terkena, maka komponen lingkungan yang ditelaah sifat pentingnya, dikatagorikan sebagai terkena dampak penting baik positif maupun negatif. Melalui prakiraan dampak inilah, dampak penting hipotetik yang telah diperoleh pada pelingkupan akan ditentukan apakah akan berlanjut menjadi dampak positif atau negatif penting.
4.5.3. Metode Evaluasi Dampak
Evaluasi dampak penting secara holistik dari berbagai perubahan lingkungan yang bersifat mendasar, pada ruang dan waktu tertentu akibat adanya proyek, dilakukan untuk mendapatkan gambaran keterkaitan antara komponen lingkungan terkena dampak dengan rencana kegiatan peningkatan produksi, serta keterkaitan antar komponen lingkungan itu sendiri. Selain itu, metode bagan alir dampak juga diterapkan dalam melakukan evaluasi terhadap dampak penting ini. Metode yang digunakan untuk kualitas udara adalah dengan melakukan telaahan terhadap hasil pemodelan yang dibuat. Pemodelan dispersi kualitas udara emisi dalam ruang udara ambien dilakukan untuk beberapa parameter kualitas udara emisi (CO dan NO2). Uraian deskripsi kegiatan dalam rangka peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD juga dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengevaluasi dampak. Selain itu penjelasan deskriptif dengan menguraikan dan mengkaitkan data rona lingkungan hasil pengamatan lapang dengan rona lingkungan pada dokumen lingkungan sebelumnya seperti: AMDAL Pengembangan Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD) Tahun 2008, dan data RKL‐RPL Tambahan Perubahan Pemipaan Melalui Suaka Margasatwa Bakiriang (2010), juga akan dilakukan untuk mengkaji keterkaitan antara rencana kegiatan dan dampak yang akan ditimbulkannya.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
IV‐22
PT. Pertamina EP PPGM
BAB V PRAKIRAAN DAN EVALUASI DAMPAK PENTING
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting
BAB V PRAKIRAAN Dan EVALUASI DAMPAK PENTING 5.1. Prakiraan Dampak Penting 5.1.1. Kualitas Udara Tahap Operasi Pengoperasian Fasilitas Produksi Peningkatan produksi gas dari semula 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD diprakirakan akan berdampak pada perubahan kualitas udara emisi dan kualitas udara ambien. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan fuel gas (3 MMSCFD menjadi 5 MMSCFD) untuk menggerakkan berbagai peralatan. Gas yang dibakar di flare juga terjadi peningkatan dari 0,4 MMSCFD menjadi 0,65 MMSCFD. Peningkatan konsumsi fuel gas dan juga peningkatan pembakaran gas di flare diprakirakan akan meningkatkan jumlah emisi. Kuantitas dan kualitas gas buang berubah sesuai dengan peningkatan jumlah konsumsi bahan bakar gas. Sumber penyebab dampak meliputi: (1) Sumber emisi proses pembakaran gas yang menjadi bahan bakar operasi turbin, heater, generator, dan sistem flare. Hal ini akibat reaksi exothermic antara bahan bakar dengan oksigen, (2) Sumber emisi proses produksi adalah sumber emisi sebagai akibat reaksi antara bahan‐bahan (senyawa) atau perubahannya termasuk proses dekomposisi bahan secara thermal dan pengolahan bahan baku (raw gas), (3) Sumber emisi fugitive adalah emisi yang secara teknis tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan yang setara. Jenis gas buang penting yang dibahas adalah polutan utama dalam udara ambien yang mencakup: karbon mono‐oksida (CO), nitrogen oksida (NO₂), sulfur oksida (SO₂). Pada prinsipnya, jumlah produksi ketiga polutan utama ini diprakirakan berdasarkan konsumsi bahan bakar gas (natural gas) dan faktor emisi yang telah umum dipergunakan, yaitu faktor emisi menurut US‐EPA (United States Environmental Protection Agency). Jumlah emisi polutan gas disajikan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1. Perhitungan Emisi Polutan Berdasarkan Konsumsi Bahan Bakar Gas Konsumsi Gas* Fuel gas system Flare system Total Besaran Faktor emisi** Emisi Laju emisi stack
Satuan
Skenario 45 MMSCFD
Skenario 65 MMSCFD
[MMSCFD] [MMSCFD] [MMSCFD] Satuan [lb/MMSCF] [lb/day] [µg/s]
3 0,4 3,40
5 0,65 5,65
NO₂ 280 952 5.002.407
CO 84 286 1.500.722
NO₂ 280 1.582 8.312.824
CO 84 475 2.493.847
* = Referensi Pertamina EP, 2011 ** = USEPA Standard, AP42. Chapter 1.4, Natural Gas Combustion
Perhitungan jumlah polutan gas yang keluar dari sumber emisi (Tabel 5.1) menjadi input bagi simulasi dispersi gas‐gas polutan (CO dan NO₂) dalam ruang udara ambien.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐1
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting Simulasi dispersi dibuat dengan menggunakan model dispersi Gauss atau Gaussian dispersion model (Peavy et al., 1985; de Nevers, 1995; Kiely, 1998; LaGrega et al., 2001) serta data arah dan kecepatan angin yang dicatat oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) di stasiun meteorologi/klimatologi terdekat. Untuk kegiatan ini stasiun terdekat yang menjadi acuan adalah Stasiun Klimatologi Bandara Syukuran Aminuddin Amir Luwuk. Hasil simulasi selengkapnya disajikan pada Gambar 5.1. sampai Gambar 5.4. Distance from centerline [m]
200
100
0
-100
-200 100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Distance from source [m] Keterangan kondisi: • Polutan gas = CO • Laju emisi stack = 1.500.722 µg/s • Kec. angin rata‐rata = 2,7 m/s (Ref. BMKG Luwuk) • Baku mutu = 10.000 µg/Nm3 • Skenario = 45 MMSCFD. • Stabilitas atmosfer B.
Gambar 5.1. Simulasi Dispersi CO dalam Udara Ambien dengan Skenario 45 MMSCFD.
Distance from centerline [m]
200
100
0
-100
-200 100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Distance from source [m] Keterangan kondisi: • Polutan gas = CO • Laju emisi stack = 2.493.847 µg/s • Kec. angin rata‐rata = 2,7 m/s (Ref. BMKG Luwuk) • Baku mutu = 10.000 µg/Nm3 • Stabilitas atmosfer B. • Skenario = 65 MMSCFD.
Gambar 5.2. Simulasi Dispersi CO dalam Udara Ambien dengan Skenario 65 MMSCFD.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐2
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting
Distance from centerline [m]
200
100
0
-100
-200 100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Distance from source [m] Keterangan kondisi: • Laju emisi stack = 5.002.407 µg/s • Polutan gas = NO2 • Kec. angin rata‐rata = 2,7 m/s (Ref. BMKG Luwuk) • Baku mutu = 150 µg/Nm3 • Stabilitas atmosfer B. • Skenario = 45 MMSCFD.
Gambar 5.3. Simulasi Dispersi NO₂ dalam Udara Ambien dengan Skenario 45 MMSCFD
Distance from centerline [m]
200
100
0
-100
-200 100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Distance from source [m] Keterangan kondisi: • Laju emisi stack = 8.312.824 µg/s • Polutan gas = NO2 • Kec. angin rata‐rata = 2,7 m/s (Ref. BMKG Luwuk) • Baku mutu = 150 µg/Nm3 • Stabilitas atmosfer B. • Skenario = 65 MMSCFD.
Gambar 5.4. Simulasi Dispersi NO₂ dalam Udara Ambien dengan Skenario 65 MMSCFD Untuk parameter CO dengan skenario produksi 45 MMSCFD (Gambar 5.1) tampak bahwa konsentrasi CO dalam udara ambien sangat jauh dibawah baku mutunya (10.000 µg/Nm3), meskipun pada jarak yang sangat dekat dengan sumber. Hal ini terjadi karena konsentrasi CO tertinggi pada jarak terdekat dengan sumber telah sangat rendah, yaitu hanya sekitar 70 µg/Nm3. Demikian pula yang terjadi bila skenario produksi gas naik menjadi 65 MMSCFD (Gambar 5.2). Konsentrasi gas CO dalam udara ambien tetap berada jauh di bawah baku mutunya. Hasil ini memberi indikasi bahwa bila produksi gas naik menjadi 65 MMSCFD konsentrasi gas CO dalam udara ambien tetap memenuhi baku mutu. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐3
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting Pada tingkat produksi 45 MMSCFD, konsentrasi NO2 mencapai baku mutunya, yaitu sebesar 150 µg/Nm3, setelah mencapai jarak sekitar 330 meter (Gambar 5.3) dari sumbernya. Bila produksi gas naik menjadi 65 MMSCFD maka baku mutu NO2 tercapai pada jarak sekitar 400 meter (Gambar 5.4) dari sumbernya, atau sekitar 70 meter lebih jauh dari jarak semula. Perbedaan antara kedua bilangan jarak tersebut (70 meter) relatif sangat kecil mengingat konteks udara ambien yang sangat dinamis. Sebaran dampak tersebut mengikuti arah angin dominan yaitu dari arah barat. Jarak pemukiman terdekat dari Block Station Matindok adalah 1,2 km ke arah tenggara (Desa Nonong). Skenario dispersi emisi gas ini berdasarkan asumsi bahwa kenaikan jumlah gas yang akan diproduksi berimplikasi pada kenaikan konsumsi bahan bakar gas yang dikonsumsi. Namun demikian, kapasitas terpasang dari peralatan sebetulnya melebihi konsumsi bahan bakar gas yang diasumsikan tersebut ketika terjadi peningkatan produksi gas. Kriteria dalam menentukan sifat penting dampak terhadap kualitas udara ambien disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Kriteria Dalam Penentuan Sifat Penting Dampak Terhadap Kualitas Udara. No
Kriteria Dampak Penting
Keterangan
1
Jumlah manusia yang terkena dampak
Lokasi pemukiman (Desa Nonong) berjarak sekitar 1,2 km ke arah tenggara dari Block Station.
2
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
Dampak yang ditimbulkan akan berlangsung selama masa produksi.
3
Luas daerah penyebaran dampak
Dampak menyebar dalam radius 400 m dari sumbernya.
4
Sifat kumulatif dampak
Dampak tidak bersifat kumulatif, karena udara emisi akan terdispersi dalam ruang udara ambien.
5
Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
Mengingat udara emisi akan terdispersi dalam ruang udara ambien, maka dampak akan berbalik setelah udara emisi tersebut terdispersi.
6
Jumlah komponen lingkungan lain yang terkena dampak
Jika tidak dikelola dengan baik, kemungkinan berdampak tidak baik terhadap kesehatan masyarakat, akibat penurunan kualitas udara ambien. Namun lokasi pemukiman penduduk relatif jauh.
7
Kriteria lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
‐
Mengingat pengoperasian fasilitas produksi berlangsung relatif lama (>10 tahun), maka dampak pengoperasian fasilitas produksi terhadap kualitas udara adalah langsung/primer dan tergolong negatif penting. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Dampak turunan dari penurunan kualitas udara (primer) adalah gangguan kesehatan masyarakat (sekunder), yang berdampak lanjutan lagi ke persepsi masyarakat (tersier).
5.1.2. Kesehatan Masyarakat Terganggunya kesehatan masyarakat berkaitan dengan kemungkinan penurunan kualitas udara di sekitar pemukiman. Dampak penurunan kualitas udara tidaklah begitu berarti, karena letak Block Station Matindok relatif jauh dari pemukiman penduduk yaitu 1,2 km. Menurut pemodelan yang dilakukan terhadap CO dan NO₂, nilai baku mutu CO sudah tercapai semenjak dari sumber emisi, sedangkan baku mutu NO₂ terpenuhi pada jarak sekitar 400 m dari sumber emisi.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐4
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting Kriteria dalam menentukan sifat penting dampak terhadap kesehatan masyarakat disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Kriteria Dalam Penentuan Sifat Penting Dampak Terhadap Kesehatan Masyarakat. No
Kriteria Dampak Penting
Keterangan
1
Jumlah manusia yang terkena dampak
Lokasi pemukiman (Desa Nonong) berjarak sekitar 1,2 km ke arah tenggara dari Block Station. Kemungkinan terganggunya kesehatan masyarakat akibat penurunan kualitas udara akan kecil kemungkinannya.
2
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
Dampak yang ditimbulkan akan berlangsung selama masa produksi. Namun mengingat jauhnya lokasi pemukiman, maka relatif kecil pengaruhnya terhadap kemungkinan terganggunya kesehatan masyarakat.
3
Luas daerah penyebaran dampak
Dampak menyebar dalam radius 400 m dari sumbernya dan tak akan sampai ke pemukiman penduduk. Penyebaran dampak cenderung akan mengarah ke barat, sedangkan pemukiman di arah tenggara.
4
Sifat kumulatif dampak
Dampak tak akan mengalami kumulatif, karena sifat sumber dampak yakni udara emisi yang terdispresi dalam ruang udara ambien.
5
Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
Mengingat sumber dampak berupa udara emisi yang akan terdispresi dalam ruang udara ambien, maka dampak akan segera berbalik.
6
Jumlah komponen lingkungan lain yang terkena dampak
‐
7
Kriteria lain sesuai perkembangan ilmu ‐ pengetahuan dan teknologi
Dengan demikian, mengingat dampak yang muncul terhadap penurunan kualitas udara telah dikelola dengan baik dan jarak lokasi rencana kegiatan dengan permukiman terdekat relatif jauh (1,2 km), maka dampak terhadap kesehatan masyarakat yang merupakan dampak turunan tergolong negatif tidak penting (TP).
5.1.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Pertamina EP Persepsi masyarakat terhadap BPMIGAS‐Pertamina EP merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara (dampak primer, lihat butir 5.1.1.) dan gangguan kesehatan masyarakat (dampak sekunder, lihat butir 5.1.3.). Persepsi masyarakat terhadap BPMIGAS‐Pertamina EP merupakan muara dari semua dampak yang terjadi. Persepsi masyarakat bisa positif, jika semua dampak primer dan sekunder yang menjadi sumber penyebab dampak ini dikelola dengan baik. Sebaliknya persepsi negatif akan muncul, jika sumber dampak tak dikelola dengan seksama. Kriteria dalam menentukan sifat penting dampak terhadap persepsi masyarakat disajikan pada Tabel 5.4.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐5
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting Tabel 5.4. Kriteria Dalam Penentuan Sifat Penting Dampak Terhadap Persepsi Masyarakat. No
Kriteria Dampak Penting
Keterangan
1
Jumlah manusia yang terkena dampak
Lokasi pemukiman (Desa Nonong) berjarak cukup jauh yakni sekitar 1,2 km ke arah tenggara dari Block Station.
2
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
Mengingat dampak terhadap persepsi masyarakat ini merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara dan terganggunya kesehatan masyarakat, maka jika kedua sumber dampak tersebut telah dikelola dengan baik , maka intensitas dampak akan kecil.
3
Luas daerah penyebaran dampak
Persepsi masyarakat hanya akan tersebar pada penduduk yang berdekatan dengan rencana kegiatan yakni Desa Nonong.
4
Sifat kumulatif dampak
Dampak tak akan mengalami akumulasi mengingat sumber dampaknya akan dikelola dengan baik.
5
Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
Persepsi masyarakat yang positif terhadap rencana kegiatan akan terbentuk jika sumber dampak dikelola dengan baik.
6
Jumlah komponen lingkungan lain yang terkena dampak
‐
7
Kriteria lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
‐
Jarak lokasi rencana kegiatan (Block Station Matindok) relatif jauh dari pemukiman penduduk yaitu 1,2 km. Menurut pemodelan yang dilakukan terhadap CO dan NO₂, nilai baku mutu CO sudah tercapai semenjak dari sumber emisi, sedangkan baku mutu NO₂ terpenuhi pada jarak sekitar 400 m dari sumber emisi. Selain itu, persepsi masyarakat merupakan dampak turunan dari penurunan kesehatan masyarakat yang mana telah diprakirakan merupakan dampak negatif tidak penting (TP). Berdasarkan hal di atas, maka dampak terhadap persepsi masyarakat yang merupakan dampak turunan dari penurunan kualitas udara dan penurunan kesehatan masyarakat tergolong negatif tidak penting (TP). Matrik prakiraan dampak penting dari tahap operasi (pengoperasian fasilitas produksi) terhadap komponen lingkungan disajikan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Matrik Prakiraan Dampak Penting. Kegiatan
Tahap Operasi Pengoperasian Fasilitas Produksi
Komponen Lingkungan GeoFisikKimia Sosekbud dan Kesmas 1 1 2 ‐P ‐TP ‐TP
Keterangan: ‐TP = Negatif Tidak Penting Komponen GeoFisikKimia 1. Penurunan Kualitas Udara
‐P = Negatif Penting Komponen Sosekbud dan Kesmas 1. Gangguan Kesehatan Masyarakat 2. Persepsi masyarakat
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐6
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting
5.2. Evaluasi Dampak Penting 5.2.1. Telaahan Secara Holistik Dampak Penting Berdasarkan telaahan pada prakiraan dampak penting, kegiatan peningkatan produksi gas dari 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD di Block Station Matindok berdampak negatif penting terhadap penurunan kualitas udara ambien. Data rona awal dari beberapa parameter kualitas udara ambien di lokasi Block Station Matindok memperlihatkan bahwa semua kisaran parameter kualitas udara memenuhi nilai baku mutunya masing‐masing. Sebaran gas CO dan NO₂ hasil pemodelan pada saat produksi gas sebesar 65 MMSCFD lebih jauh dibandingkan dengan hasil pemodelan pada saat produksi gas sebesar 45 MMSCFD. Sebagai contoh konsentrasi gas CO sebesar 20 µg/Nm3 pada produksi 45 MMSCFD dicapai pada jarak sekitar 480 m, sedangkan pada produksi 65 MMSCFD dicapai pada jarak sekitar 630 m. Dalam hal ini terjadi perbedaan jarak sejauh sekitar 150 m. Kondisi ini tidak akan menjadi masalah karena nilai baku mutu untuk gas CO adalah 10.000 µg/Nm3. Tercapainya baku mutu CO ini telah berlangsung sejak dari sumbernya. Keadaan yang mirip terjadi untuk gas NO₂. Sebaran gas untuk mencapai nilai baku mutu (150 µg/Nm3), saat produksi sebesar 45 MMSCFD dicapai pada jarak sekitar 330 m dari sumber emisi. Sementara pada saat produksi sebesar 65 MMSCFD dicapai pada jarak 400 m. Terjadi penambahan jarak sebesar 70 m. Namun demikian keadaan ini tidak akan menjadi masalah karena pemukiman penduduk terdekat (Desa Nonong) berjarak sekitar 1,2 km dari Block Station Matindok ke arah Tenggara. Keadaan demikian tentu saja tidak akan menimbulkan dampak turunan kepada kesehatan masyarakat, dan juga ke persepsi masyarakat. Perbandingan konsentrasi dan jarak dari sumber peningkatan sebaran gas CO dan NO₂ pada produksi gas 45 MMSCFD dan 65 MMSCFD disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6. Konsentrasi dan Jarak dari Sumber Peningkatan Sebaran Gas CO dan NO₂ pada Produksi Gas 45 MMSCFD dan 65 MMSCFD Gas
CO NO2
45 MMSCFD Konsentrasi, Jarak Dari Sumber 30 µg/Nm3, 40 µg/Nm3, 50 µg/Nm3, 380 m 310 m 260 m Baku Mutu CO = 10.000 µg/Nm3 90 µg/Nm3, 120 µg/Nm3, 150 µg/Nm3, 400 m 340 m 330 m Baku mutu NO₂ = 150 µg/Nm3
65 MMSCFD Konsentrasi, Jarak Dari Sumber 30 µg/Nm3, 40 µg/Nm3, 50 µg/Nm3, 500 m 370 m 300 m 90 µg/Nm3, 530 m
120 µg/Nm3, 150 µg/Nm3, 450 m 400 m
Kesehatan masyarakat terkait dengan kualitas udara ambien (yang sehari‐hari dihirup). Dari uraian evaluasi kualitas udara di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa komponen lingkungan tersebut di atas tidak akan menimbulkan dampak yang berarti terhadap kesehatan masyarakat. Kelestarian fungsi ekologis diupayakan dipertahankan kualitas dan keberlangsungannya (sustainablity), sehingga dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Kelestarian fungsi ekologis merupakan jaminan berjalannya fungsi‐fungsi ekologis secara normal tanpa mengalami gangguan yang berarti oleh adanya kegiatan di sekitarnya. Oleh karena itu terjaganya kelestarian fungsi ekologis menjadi keinginan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dalam peningkatan produksi gas menjadi 65 MMSCFD Block Station Matindok, tanpa menimbulkan pengaruh yang berarti terhadap fungsi ekologis lingkungan di sekitarnya. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐7
Prakiraan & Evaluasi Dapak Penting
5.3. Pemilihan Alternatif Terbaik Di dalam peningkatan volume produksi Block Station Matindok dari semula 45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD tidak ada alternatif lokasi, tata letak bangunan atau sarana pendukung lainnya, atau teknologi proses produksi. Oleh karena itu, pada dokumen RKL‐RPL tambahan ini tidak ada proses pemilihan alternatif.
5.4. Arahan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Arahan pengelolaan kualitas udara ditujukan untuk menjaga kualitas udara ambien di sekitar lokasi Block Station Matindok, agar kualitasnya tidak memburuk akibat emisi gas buang dari pengoperasian fasilitas produksi. Oleh karena itu, arahan pengelolaan kualitas udara dilakukan pada peralatan yang menghasilkan emisi gas buang. Arahan rencana pengelolaan lingkungan dan arahan rencana pemantauan lingkungan disajikan pada Tabel 5.7. dan Tabel 5.8. Tabel 5.7. Arahan Rencana Pengelolaan Lingkungan No. 1
Komponen Lingkungan
Kualitas Udara
Arahan Pengelolaan Pemeliharaan mesin‐mesin seperti: turbin, heater, generator, dan flare agar gas‐gas yang diemisikan masih berada dalam kisaran baku mutu emisi, serta emisi gas buang tidak mencapai pemukiman penduduk. Pengecekan dan pengulangan emisi fugitive yang meliputi: emisi akibat kebocoran katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, kebocoran peralatan proses, dan emisi dari tangki timbun.
Lokasi Block Station Matindok
Tabel 5.8. Arahan Rencana Pemantauan Lingkungan No. 1
Komponen Lingkungan
Kualitas Udara
Arahan Pemantauan
Lokasi
Pemantauan dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas udara kualitas udara emisi dan ambien sesuai peraturan yang berlaku.
Block Station Matindok dan Pemukiman penduduk (Desa Nonong)
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
V‐8
PT. Pertamina EP PPGM
BAB VI RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) & Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
BAB VI RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL) RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL) 6.1. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) 6.1.1. Pendahuluan a. Latar Belakang Peningkatan produksi gas menjadi 65 MMSCFD di Block Station Matindok diprakirakan akan menimbulkan dampak negatif penting terhadap lingkungan hidup. Komponen lingkungan yang terkena dampak tersebut adalah penurunan kualitas udara yang terjadi pada tahap operasi produksi gas. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengelolaan. Pengelolaan dilakukan terhadap sumber dampaknya. Upaya pengelolaan tersebut dituangkan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan yang memuat upaya‐upaya pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan dampak lingkungan hidup. Dokumen RKL ini merupakan kebijakan BPMIGAS–Pertamina EP dalam menjalankan kegiatan operasi yang selalu berupaya untuk memenuhi ketentuan perundang‐undangan yang berlaku dalam rangka memperhatikan kelestarian lingkungan guna mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dokumen RKL ini berisi pokok‐pokok arahan, prinsip‐prinsip, kriteria atau persyaratan untuk pelaksanaan pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan dampak. Dokumen RKL telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan rancangan detail rekayasa selanjutnya dan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan pemantauan lingkungan. Seiring dengan kegiatan operasional yang akan terus berkembang, BPMIGAS‐Pertamina EP juga akan melakukan penyempurnaan terhadap upaya rencana pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan. Rencana pengelolaan yang dituangkan di dokumen menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan yang dimandatkan pada dokumen AMDAL Pengembangan Produksi Gas Matindok (2008). Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan untuk mengadopsi dan memasukkan teknologi mutakhir pengelolaan untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
b. Kebijakan Lingkungan Produksi gas di Block Station Matindok menjadi 65 MMSCFD diprakirakan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Namun demikian, kegiatan tersebut sangat diperlukan bagi peningkatan pembangunan nasional, terutama sebagai pemasok gas untuk kebutuhan nasional dan keperluan ekspor. Mengingat pentingnya peranan, fungsi, dan manfaat lingkungan di dalam dan di sekitar Block Station Matindok, maka diperlukan upaya‐upaya pengelolaan yang dilaksanakan secara bijaksana, terencana dan terkendali. Upaya pengelolaan ini diarahkan untuk mempertahankan keberadaan dan keseimbangan ekosistem, dan kondisi sosial ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi kegiatan.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐1
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) & Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Pengelolaan dilaksanakan melalui berbagai kebijakan dan tindakan yang tepat, sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menyusun RKL kegiatan produksi gas di Block Station Matindok.
6.1.2. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Penanganan dampak yang timbul akibat kegiatan peningkatan produksi gas menjadi 65 MMSCFD di Block Station Matindok, dilakukan melalui tiga pendekatan yakni: pendekatan teknologi, sosial ekonomi, dan pendekatan institusi. Sasaran pengelolaan lingkungan ini adalah komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak dan kegiatan yang menjadi sumber penyebab dampak. Berbagai upaya pencegahan, pengendalian dan penanggulangan dampak ini didasarkan pada ketersediaan ilmu dan teknologi, kelayakan secara ekonomi, dan kesesuaian dengan kemampuan sumberdaya (tenaga, waktu, dan biaya) yang dimiliki oleh BPMIGAS‐Pertamina EP.
a. Pendekatan Teknologi Dalam merencanakan pengelolaan lingkungan, hal yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah sasaran pengelolaan lingkungan agar pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan secara terarah, efisien, dan efektif. Pendekatan teknologi adalah cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola dampak terhadap lingkungan. Pendekatan teknologi yang digunakan antara lain: teknologi untuk menjaga kualitas udara ambien akibat emisi gas adalah amine treating, control dewpoint HC, dan dehidrasi.
b. Pendekatan Sosial Ekonomi Pendekatan ini berupa langkah yang akan ditempuh dalam upaya menanggulangi dampak melalui tindakan yang berlandaskan pada interaksi sosial, stimulasi pada aktivitas ekonomi, hubungan yang sinergis antara masyarakat, pemrakarsa, dan instansi terkait (pemerintah). Mengingat pada studi RKL‐RPL Tambahan ini, dampak yang muncul adalah hanya terhadap komponen fisik‐kimia (kualitas udara) maka tak ada pendekatan sosial ekonomi yang diadopsi dalam dokumen ini.
c. Pendekatan Institusi Pendekatan institusi berupa pendekatan melalui mekanisme kelembagaan dalam rangka menanggulangi dampak lingkungan hidup, seperti: Kerjasama dengan instansi terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Pemerintah Kabupaten Banggai, dan lembaga swadaya masyarakat lingkungan hidup. Pengawasan terhadap hasil pengelolaan lingkungan hidup oleh badan lingkungan hidup. Koordinasi dengan instansi teknis dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas).
6.1.3. Pengelolaan Lingkungan Komponen lingkungan yang dikelola adalah penurunan kualitas udara. Pengelolaan komponen lingkungan ini dilakukan pada sumber penyebab dampak yang terjadi pada tahap operasi produksi gas. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐2
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) & Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
Komponen FisikKimia
A. Kualitas Udara Dampak Penting dan Sumber Dampak Penting Dampak yang timbul berupa peningkatan kadar emisi (CO, NO2, dan SO2) yang dapat menyebabkan penurunan kualitas udara ambien. Sumber penyebab dampak mencakup: 1) Sumber emisi proses pembakaran gas yang menjadi bahan bakar operasi turbin, heater, generator, dan sistem flare. Hal ini akibat reaksi exothermic antara bahan bakar dengan oksigen. 2) Sumber emisi proses produksi adalah sumber emisi sebagai akibat reaksi antara bahan‐ bahan (senyawa) atau perubahannya termasuk proses dekomposisi bahan secara thermal dan pengolahan bahan baku (raw gas). 3) Sumber emisi fugitive adalah emisi yang secara teknis tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan yang setara. Tolok Ukur Dampak Tolok ukur kualitas udara emisi adalah baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2009). Tolok ukur kualitas udara ambien adalah baku mutu udara ambien (Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Tujuan pengelolaan adalah meminimalisir konsentrasi gas dari kualitas udara emisi yang masuk ke ruang udara ambien dengan teknologi yang tersedia, sehingga memenuhi baku mutu seperti ditetapkan dalam peraturan. Pengelolaan Lingkungan (1) Pemeliharaan teratur (berkala) dengan mengikuti petunjuk teknis standar operasi peralatan, terhadap seluruh mesin dan peralatan yang menghasilkan emisi gas yaitu: turbine, heater, generator, dan sistem flare. Petunjuk teknis dan frekuensi pemeliharaan mesin sesuai manual yang dikeluarkan oleh pabrikannya. (2) Menyediakan ruang terbuka yang cukup luas di sekitar sumber gas, guna menjamin dispersi gas dalam udara bebas, serta mengurangi potensi keracunan pada manusia. Jarak dari gas plant ke pagar terluar yang harus terbuka adalah sekitar 50 m. (3) Memelihara semua peralatan untuk menghindari kebocoran yang dapat menghasilkan emisi fugitive akibat: kebocoran katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, kebocoran peralatan proses, dan emisi dari tangki timbun. (4) CO2 dan SO2 akan diventing melalui stack dari incinerator.
Lokasi Pengelolaan Lingkungan Pengelolaan kualitas udara dilakukan pada beberapa lokasi yaitu: (1) Peralatan yang mengeluarkan emisi pada proses pembakaran seperti: turbine, heater, generator, dan sistem flare. (2) Peralatan yang menghasilkan emisi fugitive seperti: katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, peralatan proses, dan tangki timbun. (3) Penyediaan ruang terbuka pada Block Station Matindok. Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐3
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) & Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Periode Pengelolaan Lingkungan Pengelolaan kualitas udara dilakukan secara terus menerus (setiap hari) selama tahap operasi produksi berlangsung, atau secara berkala mengikuti petunjuk teknis standar operasi peralatan yang dikeluarkan oleh produsen peralatan tersebut. Institusi Pengelolaan Lingkungan Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Pelaksana pengelolaan lingkungan di Block Station Matindok berada di bawah koordinasi BPMIGAS‐Pertamina EP. Pengawas dan Penerima Laporan Pengelolaan Lingkungan Instansi pengawas dan penerima laporan pengelolaan lingkungan adalah:
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM Kementerian Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup (Provinsi Sulawesi Tengah) Badan Lingkungan Hidup Daerah (Kabupaten Banggai)
6.2. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) 6.2.1. Pendahuluan a. Latar Belakang Peningkatan produksi gas Matindok menjadi 65 MMSCFD diprakirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, berupa penurunan kualitas udara yang terjadi pada tahap operasi. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan lingkungan seperti dituangkan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL). Untuk mengetahui efektivitas pengelolaan lingkungan, perlu dilakukan pemantauan lingkungan yang langkahnya dituangkan dalam dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Pemantauan komponen lingkungan yang diperlukan yaitu pemantauan kualitas udara emisi dan ambien diperlukan untuk mengetahui efektivitas pengelolaan kualitas udara dan untuk antisipasi apabila ada komplain dari masyarakat terkait dengan penurunan kualitas udara ambien. Hasil pemantauan lingkungan dijadikan sebagai evaluasi terhadap hasil pengelolaan yang telah dilakukan, dalam rangka menekan dampak negatif yang mungkin timbul akibat proses produksi gas sebanyak 65 MMSCFD. Dokumen RPL ini menjadi instrumen pengikat bagi BPMIGAS‐Pertamina EP dalam pelaksanaan pemantauan lingkungan. Rencana pemantauan yang dituangkan di dokumen ini menjadi bagian tak terpisahkan dengan rencana pemantauan lingkungan yang dimandatkan pada dokumen AMDAL Pengembangan Gas Matindok (2008). Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan untuk mengadopsi dan memasukkan teknologi mutakhir untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
b. Maksud dan Tujuan RPL Maksud penyusunan RPL peningkatan produksi gas Matindok menjadi 65 MMSCFD ini adalah untuk mematuhi peraturan perundangan mengenai pengelolaan lingkungan dan melaksanakan kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐4
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) & Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Tujuan penyusunan RPL adalah: Untuk mengetahui efektivitas pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh BPMIGAS‐ Pertamina EP. Merumuskan sistem pemantauan lingkungan yang akan dilaksanakan di dalam dan di luar batas kegiatan proyek sejauh batas persebaran dampak. Merumuskan pihak‐pihak yang terlibat dalam pelaksanaan, koordinasi, dan pengawasan kegiatan pemantauan lingkungan dalam rangka peningkatan produksi gas Matindok.
6.2.2. Pemantauan Lingkungan Komponen FisikKimia
A. Kualitas Udara Dampak Penting Yang Dipantau Peningkatan kadar emisi (CO, NO2, dan SO2) dan opasitas serta penurunan kualitas udara ambien. Sumber Dampak (1) Sumber emisi proses pembakaran gas yang menjadi bahan bakar operasi turbin, heater, generator, dan sistem flare. Hal ini akibat reaksi exothermic antara bahan bakar dengan oksigen. (2) Sumber emisi proses produksi adalah sumber emisi sebagai akibat reaksi antara bahan‐ bahan (senyawa) atau perubahannya termasuk proses dekomposisi bahan secara thermal dan pengolahan bahan baku (raw gas). (3) Sumber emisi fugitive adalah emisi yang secara teknis tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan yang setara. Parameter Lingkungan Yang Dipantau Parameter lingkungan yang dipantau adalah: Parameter kualitas udara emisi berupa: CO, NO2, SO2, dan opasitas dari turbin, heater, generator, dan sistem flare. Parameter kualitas udara ambien berupa: karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), partikulat <10 µm (PM10), dan hidrogen sulfida (H2S), Oksidan (O3), dan debu (TSP). Tujuan Pemantauan Lingkungan Tujuan pemantauan lingkungan adalah untuk mengukur konsentrasi kualitas udara emisi, kualitas udara ambien, dan untuk mengetahui efektivitas pengelolaan kualitas udara. Metode Pemantauan Lingkungan a. Metode Pengumpulan dan Analisis Data 1) Pengumpulan Data Parameter dan metode pemantauan kualitas udara emisi berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2009 disajikan pada Tabel 6.1.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐5
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) & Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Tabel 6.1. Parameter dan Metode Pengukuran Kualitas Udara Emisi No.
Parameter
Satuan
Metode
1
Nitrogen Oksida (NO2)
µg/Nm3
SNI 19‐7117.5‐2005
2
Karbon Monoksida (CO)
µg/Nm3
SNI 19‐7117.10‐2005
3
Sulfur Dioksida (SO2)
µg/Nm3
SNI 19‐7117.3.1‐2005
4
Opasitas
%
SNI 19‐7117.11‐2005
Pengambilan contoh udara ambien dilakukan dengan mengoperasikan impinger untuk contoh gas dan dust sampler untuk pengukuran debu. Parameter dan Metode analisis kualitas udara ambien disajikan pada Tabel 6.2. Tabel 6.2. Parameter dan Metode Analisis Kualitas Udara Ambien No. 1
Parameter SO2 (Sulfur Dioksida)
Baku Mutu
Metode Analisis
Peralatan
365 µg/Nm3
Pararosanilin
Spektrofotometer
2
CO (Karbon Monoksida)
3
NO2 (Nitrogen Dioksida)
10.000 µg/Nm3 150 ug/Nm3
4
PM10 (Partikel < 10 um)
150 µg/Nm3
5
Hidrogen Sulfida (H2S)
24 µg/Nm3
6
O3 (Oksidan)
235 µg/Nm3
7
TSP (Debu)
230 µg/ Nm3
NDIR
NDIR Analyzer
Saltzman Gravimetric
Spektrofotometer Hi – Vol Air Sampler
Mercury thiocyanate Chemiluminescent Gravimetric
Spektrofotometer Spektrofotometer Hi – Vol Air Sampler
Keterangan: Baku mutu kualitas udara ambien sesuai PP 41/1999 Baku mutu H2S sesuai KepMenLH No. 50 Tahun 1996 Baku mutu Opasitas sesuai KepMen LH No.129 Tahun 2003
Pengecekan secara berkala sumber emisi fugitive di Block Station Matindok, untuk menghindari kemungkinan terjadinya emisi fugitive. 2) Analisis Data Data kualitas udara emisi (CO, NO2, SO2), dan opasitas ditabulasikan, dibandingkan dengan baku mutu, selanjutnya dilakukan analisis deskriptif. Data kualitas udara ambien ditabulasikan, dibandingkan dengan baku mutu udara ambien, dan dilakukan analisis deskriptif. Evaluasi hasil pengelolaan dilakukan berdasarkan hasil pemantauan berkesinambungan di lokasi yang sama selama tahap operasi produksi berlangsung. Tolok Ukur Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Lokasi Pemantauan Lingkungan Lokasi pemantauan emisi udara adalah di Block Station Matindok (01° 19’ 52,9” S ‐ 122° 29’ 31,3” E) pada cerobong alat penghasil emisi (turbin, heater, generator, dan sistem flare).
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐6
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) & Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Lokasi pemantauan kualitas udara ambien adalah di sekitar Block Station Matindok (01° 19’ 52,3” S ‐ 122° 29’ 31,7” E) dan pemukiman terdekat yaitu Desa Nonong (01° 20’ 13,4”S ‐ 122° 30’ 13,9”E). Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan Pemantauan kualitas udara emisi udara dilakukan setiap 6 bulan atau dua kali setahun. Pemantauan kualitas udara ambien dilakukan setiap 6 bulan sekali atau dua kali setahun selama tahap operasi produksi. Pemantauan yang dilakukan mewakili musim hujan (misalnya bulan Januari) dan mewakili musim kemarau (misalnya bulan Juli). Institusi Pemantauan Lingkungan Pelaksanaan Pemantauan Lingkungan Pelaksana pemantauan kualitas udara emisi dan ambien di Block Station Matindok dikoordinasikan oleh BPMIGAS‐Pertamina EP. Pengawas dan Penerima Laporan Pemantauan Lingkungan Instansi pengawas dan penerima laporan kegiatan pemantauan kualitas emisi dan ambien di Block Station Matindok adalah:
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM Kementerian Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup (Provinsi Sulawesi Tengah) Badan Lingkungan Hidup Daerah (Kabupaten Banggai)
Matrik Rencana Pengelolaan Lingkungan dan matrik Rencana Pemantauan Lingkungan disajikan pada Tabel 6.3. dan Tabel 6.4.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐7
Matriks Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
Tabel 6.3. Matriks Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) Kualitas Udara Dampak Penting yang Ditimbulkan Peningkatan kadar emisi (CO, NO₂, dan SO₂). Penurunan kualitas udara ambien.
Sumber Dampak Sumber emisi proses pembakaran gas yang menjadi bahan bakar operasi turbin, heater, generator, dan sistem flare. Hal ini akibat reaksi exothermic antara bahan bakar dengan oksigen. Sumber emisi proses produksi adalah sumber emisi sebagai akibat reaksi antara bahan‐bahan (senyawa) atau perubahannya termasuk proses dekomposisi bahan secara thermal dan pengolahan bahan baku (raw gas). Sumber emisi fugitive adalah emisi yang secara teknis tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan yang setara.
Tolok Ukur Dampak Tolok ukur kualitas udara emisi adalah baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi (PerMenLH No. 13 Tahun 2009). Tolok ukur kualitas udara ambien adalah baku mutu udara ambien (PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).
Tujuan Pengelolaan Lingkungan Meminimalisir konsentrasi gas dari kualitas udara emisi yang masuk ke ruang udara ambien dengan teknologi yang tersedia, sehingga memenuhi baku mutu seperti ditetapkan dalam peraturan.
Pengelolaan Lingkungan Upaya Pengelolaan
Lokasi
Pemeliharaan teratur (berkala) dengan mengikuti petunjuk teknis standar operasi peralatan, terhadap seluruh mesin dan peralatan yang menghasilkan emisi gas yaitu: turbin, heater, generator, dan sistem flare. Petunjuk teknis dan frekuensi pemeliharaan mesin sesuai manual yang dikeluarkan oleh pabrikannya.
Peralatan yang mengeluarkan emisi pada proses pembakaran seperti: turbin, heater, generator, dan sistem flare.
Menyediakan ruang terbuka yang cukup luas di sekitar sumber gas, guna menjamin dispersi gas dalam udara bebas, serta mengurangi potensi keracunan pada manusia. Jarak dari gas plant ke pagar terluar yang harus terbuka adalah sekitar 50 m. Memelihara semua peralatan untuk menghindari kebocoran yang dapat menghasilkan emisi fugitive akibat: kebocoran katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, kebocoran peralatan proses, dan emisi dari tangki timbun.
Peralatan yang menghasilkan emisi fugitive seperti: katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, peralatan proses, dan tangki timbun. Penyediaan ruang terbuka di Block Station Matindok.
Institusi Waktu dan Frekuensi Pengelolaan kualitas udara dilakukan secara terus menerus (setiap hari) selama tahap operasi produksi berlangsung , atau secara berkala mengikuti petunjuk teknis standar operasi peralatan yang dikeluarkan oleh produsen peralatan tersebut.
Pengawas
Pelaksana
BPMIGAS‐ Direktorat Pertamina Jenderal EP. Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM
Pelaporan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM
Kementerian Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup Hidup Badan Lingkungan Hidup (Provinsi Sulawesi Tengah) Badan Lingkungan Hidup Daerah (Kabupaten Banggai)
Badan Lingkungan Hidup (Provinsi Sulawesi Tengah) Badan Lingkungan Hidup Daerah (Kabupaten Banggai)
CO₂ dan SO₂ akan diventing melalui stack dari incinerator.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐8
Matriks Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
Tabel 6.4. Matrik Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Kualitas Udara Dampak Penting yang Dipantau
Sumber Dampak
Parameter Lingkungan yang Dipantau
Tujuan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan Lingkungan Metode
Lokasi
Institusi Waktu dan Frekuensi
Pemantauan Parameter Lokasi Pengumpulan Data Peningkatan Sumber emisi Untuk pemantauan kualitas udara proses pembakaran kualitas udara mengukur kadar emisi Parameter dan metode pemantauan emisi emisi berupa: konsentrasi emisi udara (CO, NO₂, dan gas yang menjadi kualitas udara emisi berdasarkan dilakukan CO, NO₂, SO₂, adalah di bahan bakar SO₂) dan kualitas udara PerMenLH No. 13 Tahun 2009 yang Block Station setiap 6 bulan operasi turbin, opasitas. dan opasitas emisi dan meliputi: NO₂ (SNI 19‐7117.5‐2005), CO atau dua kali Matindok heater, generator, dari turbin, kualitas udara (SNI 19‐7117.10‐2005), SO₂ (SNI 19‐ Penurunan setahun. (01° 19’ dan sistem flare. heater, ambien. kualitas 7117.3.1‐2005), Opasitas (SNI 19.7117.11‐ 52,9” S ‐ 122° Pemantauan Hal ini akibat generator, dan Mengetahui udara 2005). 29’ 31,3” E) reaksi exothermic sistem flare. kualitas udara ambien. efektivitas Metode pemantauan kualitas udara ambien pada antara bahan bakar Parameter ambien pengelolaan (CO, NO 2, SO2, PM10, O3, TSP). mengacu pada cerobong alat dilakukan dengan oksigen. kualitas udara kualitas udara. PerMenLH No. 41 Tahun 1999 tentang penghasil setiap 6 bulan Sumber emisi ambien Pengendalian Pencemaran Udara, emisi (turbin, sekali atau proses produksi berupa: KepMenLH No. 50 Tahun 1996 tentang heater, dua kali adalah sumber karbon Baku Tingkat Kebauan (H₂S), dan generator, setahun emisi sebagai monoksida KepMenLH No.129 Tahun 2003 (opasitas). dan sistem selama tahap akibat reaksi (CO), nitrogen Analisis Data flare). operasi antara bahan‐ dioksida Data kualitas udara emisi ditabulasikan, produksi. Lokasi bahan (senyawa) (NO₂), sulfur dibandingkan dengan baku mutu, dan pemantauan Pemantauan atau perubahannya dioksida (SO₂), selanjutnya dilakukan analisis deskriptif. kualitas termasuk proses partikulat <10 yang udara dekomposisi bahan µm (PM₁₀), Data kualitas udara ambien ditabulasikan, dilakukan ambien secara thermal dan dan hidrogen dibandingkan dengan baku mutu udara mewakili adalah di pengolahan bahan sulfida (H₂S), ambien, dan dilakukan analisis deskriptif. musim hujan sekitar Block (misalnya baku (raw gas). Oksidan (O3), Evaluasi hasil pengelolaan dilakukan Station dan debu bulan Januari) Sumber emisi berdasarkan hasil pemantauan Matindok (TSP). dan mewakili fugitive adalah berkesinambungan di lokasi yang sama (01° 19’ musim emisi yang secara selama tahap operasi produksi 52,3” S ‐ 122° kemarau teknis tidak dapat berlangsung. 29’ 31,7” E) (misalnya melewati cerobong, Tolok Ukur dan bulan Juli). ventilasi atau PerMenLH No. 13 Tahun 2009 tentang Baku pemukiman sistem terdekat Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi pembuangan yang yaitu Desa Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas setara. Nonong (01° Bumi. 20’ 13,4”S ‐ Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 122° 30’ tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 13,9”E).
Pelaksana BPMIGAS‐ Pertamina EP.
Pengawas
Pelaporan
Direktorat Direktorat Jenderal Jenderal Minyak dan Minyak dan Gas Bumi, Gas Bumi, Kementerian Kementerian ESDM ESDM Kementerian Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup Hidup Badan Lingkungan Hidup (Provinsi Sulawesi Tengah)
Badan Lingkungan Hidup (Provinsi Sulawesi Tengah)
Badan Badan Lingkungan Lingkungan Hidup Daerah Hidup (Kabupaten Daerah Banggai) (Kabupaten Banggai)
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
VI‐9
PT. Pertamina EP PPGM
daftar pustaka
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA Abdulsyanai. 1994. Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta APHA, 1980. Standard Methods For The Examination Of Water and Waste Water. American Public Health Association, Washington D.C. Arsyad. S, 1986. Pengawetan Tanah dan Air, Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, IPB‐ Bogor. Badan Pusat Statistik, 2010. Kabupaten Banggai Dalam Angka 2010. Provinsi Sulawesi Tengah. Badan Pusat Statistik, 2005. Kabupaten Banggai Dalam Angka 2005. Provinsi Sulawesi Tengah. Badan Pusat Statistik, 2010. Kecamatan Batui dan Kecamatan Batui Selatan Dalam Angka 2010. Provinsi Sulawesi Tengah. Canter, Canter, L.W. 1996. Environmental Impact Assessment. McGraw Hill International Edition. Singapore. Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. Mc Graw Hill Book Company, N.Y. Cox, C.W., 1976. Laboratory Manual of General Ecology, Santiago State College W.M.C. Brawn Company Published, Iowa. Davis, M.L. and Cornwell, D.A. 1998. Introduction to Environmental Engineering. WCB Mc Graw‐Hill. Singapore. Dombais, D.M. and H. Ellenberg, 1974; Aims and Methods of Vegetation Ecology, John Willey & Sons, New York. Edmonson, W.T., 1959 Freshwater Biology, John Willey and Sons, Inc., New York. Hammer, W.I. 1980, Soil Conservation Consultant Report. Soil Research Institute, Indonesia Technical. Hardjowigeno, 1987. Klasifikasi Tanah, Pusat Penelitian Tanah, Bogor. James, A and Evison. 1978. River Biological Indicator of Water Quality. John Wiley and Sons. Toronto. Kiely, G. 1998. Environmental Engineering. McGraw‐Hill International Editions. Singapore. Krebs, C.J, 1989. Ecological Methodology. Harper Collin Publishers. University of British Columbia. Lee, C.D. et.al, 1978. Benthic Macroinvertebrata and Fish as Biological Indicators of Water Quality with Reference to Community Diversity Index. International Conference on Water Pollution Control, Bangkok. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi‐UI, 2000. Dasardasar Demografi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Magrab, Edward B. 1975. Environmental Noise Control. John Wiley & Sons, New York. Nazir, Moh, PhD, 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta Needham, J.G and P.R. Needham, 1962. A Guide to the Study of Fresh Water Biology, Holden‐ Day Inc, San Fransisco.
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
DP‐1
Daftar Pustaka Odum, E.P. 1975. Ecology. The Link Between The Natural and Social Sciences. Oxford & IBA Publishing Co., New Delhi. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology 3rd edition. W.E. Sanders Company, Tokyo, Japan. Pardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Cetakan Pertama. Kanisius, Jogyakarta. Pennak, R.W, 1978. Fresh Water Intervetebrates of the United States, 2nd edition, John Wiley and Sons, New York. Pertamina, 2008. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Pengembangan Gas Matindok, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Jakarta. Richards, P.W. 1952. The Tropical Rain Forest and Ecological Study. The University Press, Cambridge. Ryadi, S, AL., 1982. Pencemaran Udara. Usaha Nasional, Surabaya. Soekanto, Soejono, 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta. Soemarwoto, Otto. 2001. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Cetakan ke7. Gadjah Mada University Press, Jogyakarta Soerianegara dan Indrawan, 1988. Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Stern, Arthur C., R.W. Boubel, D.B. Turner, D.L. Fox. 1984. Fundamental of Air Pollution. Second Edition. Academic Press. Inc. Orlando‐Florida. Susanto, Astrid.S, Dr.Phil. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Penerbit Bina Cipta, Jakarta. Ward, H.B. and G.C. Whipple, 1965. Fresh Water Biology (Editor. W.T. Edmonson), 2nd Edition. John Willey and Sond Inc. N.Y. Wardhana, W.A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta Whittaker, R.H. 1975. Communities and Ecosystem, 2nd Edition, Mac. Milland Publisihing Co. Inc. New York
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
DP‐2
PT. Pertamina EP PPGM
LAMPIRAN 1 Surat Pernyataan (Testimonial)
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
PT. Pertamina EP PPGM
LAMPIRAN 2 Surat-Surat dan Perijinan
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Lampiran 2 SuratSurat dan Perijinan
rl
t
BIIPATI
BANGGN
SURAT IZIN BUPATI BA}TGGAI NOMOR: 593.+ I 168o / Bae.Adm. Pertanahan TENTANG PEMBERIANIZIN LOKASI KEPADAPT. PERTAMINAE P UNTUKKEPERLUANFASILITAS PRODT'I(SIMATINDOK DI DESANONONGKECAMATAN BATUI KABUPATENBANGGAI BUPATIBANGGAI, Dasar
:
l.
Surat Edaran Menteri Negara Agranz / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nornor : 460-572-Dl l-1995 tentangpetunjuk PelaksananPemberianIzin Lokasi, Teguran dan Pelaporan; Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 863
nqgal l0 November
2008 tentang Persetujuan AMDAL PPGM dan Perseh.rjuanPOD Matmdok oleh BP MIGAS tanggal 24 Desember 2008 Surat Pertamina EP Nomor : I74IEPOOO0/2O09-SItanggal 25 Februari 2009
3
Perihal Izin Pembebasan llhan
Untuk Proyek Pengembangan Gas Matindok
( PPGM ); Surat Keterangan dari Instansi terkait (Terlampir).
4.
MENGIZINKAN: Kepada Nama
TRI SIWINDONO SelakuPresidenDirektur PERTAMINA E P, Alamat Menara StandardCharteredLt. 2l Jl. Prof.Dr. SarrioKav 164Jakartaselatan12950
Untuk
l- Diberikan Izin l-okasi guna keperluanFasilitas Produksi Matindok denganletak, luas dan bataslokasi sebagaiberikut : DesaNonong,KecamatanBatui LuasLokasi: 150.000M2 Batas- Batas: .
Sebelah Utara dengan
: Tanah Maryarakat
r
Sebelah Timur dengan
: Tanah Masyarakat
.
Sebelah Selatan dengan
: Tanah Masyarakat
o
Sebelah Barat dengan
: Jalan
2. Pemberian Izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dilengkapi dengan syaratsyarat sebagaiberikut : l)
Perolehan tanah harus dilakukan
secara langsung antara pihak-pihak
yang
berkepentingan, yaitu rnelalui Akta Jual Beli di hadapan PPAT atau Akta Pelepasan Hak di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banggai dengan pemberian ganti rugi yang bentuk dan besarnya ditentukan secaramusyawarah. 2) Pembayaran Ganti Rugi tanah serta tanaman dan ata'ubangunan yang ada di *asnya ataupun barang-barang lain milik pemegang Hak Atas Tanah, tidak dibenarkan dilaksanakan melalui perantara dalam bentuk dan nama apapun juga, melainkan harus dilakukan langsung kepada yang berhak. 3) Perolehan Tanah harus dilakukan dalam jangka waktu Izin Lokasi dan dapat diperpanjangpaling lama I (satu)tahun. 4) Untuk Tanah yang sudah diperoleh, Pemegarg Izin Lokasi wajib mengajukan permohonan Hak Atas Tanah kepada pejabat yang berwenang. Izin Lokasi ini hanya diperuntukan bagi keperluan Fasilitas Produksi Matindok beserta bangunan dan fasilitas sanrnaprasarananya.
6) Pemegang Izin Lokasi wajib memberikan laporan perkembangan perolehan dan pemanfaatan tanah atas Izin Lokasi yang telah diperoleh setiap 3 (tiga) bulan kepada Bupati Banggai dan tembusannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banggai.
7) PemegangIzin Lokasi dilarang menutup assebilitas masyarakat sekitar lokasi. 8) Izin Lokasi ini tidak mengurangi hak keperdataan bagi pemilik tanah yang berada di dalarnlokasi. 9) Izin Lokasi ini batal dengan sendirinya apabila dialihkan/atau dipindahkan kepada pihak lain. 10) Izin Lokasi ini berlaku selama I (satu) tahun terhitung mulai tanggal ditetapkan. 1l) Bahwa
dalam pembebasan lahan /
pengadaan tanah untuk
lokasi
proyek
pengembangan sas matindok bersedia mengadakan lahan pengganti apabila ada areal persawahanyang terkena dampak dan atau di pakai oleh perusahaan.
18Maret2009
* / l{&/\ f Tembusan di sampaikaa keoada Yth: 1. 2. 3. 4. 56. 7. 8. 9. 10. 11.
-
^t\----
r-€gG
Gubernur SulawesiTeneah di Palu. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi tengah di Palu. Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah di Palu. Kepala Bappeda Kabupaten Banggai di Luwuk. Kepata Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Banggai di Luwuk. Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Banggai di Luwuk. Kepala BPLH Kabupaten Banggai di Luwuk. Kepala Kantor Badan PertanahanNasional Kabupaten Banggai di Luwuk. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banggai di Luwuk. Camat Batui KadesNonons
PT. Pertamina EP PPGM
LAMPIRAN 3 Peta Lokasi RKL-RPL Peta Lokasi Sampel
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Lampiran 3a Peta Lokasi Rencana Pengelolaan Lingkungan
RKL RPL Tambahan Peningkatan Kapasitas Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Prov. Sulawesi Tengah
LOKASI RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Kode
Pengelolaan Lingkungan
UKLU1
Kualitas Udara Emisi
UKLU2
Kualitas Udara Ambien
Lampiran 3b Peta Lokasi Rencana Pemantauan Lingkungan
RKL RPL Tambahan Peningkatan Kapasitas Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Prov. Sulawesi Tengah
LOKASI RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN
Kode
Pemantauan Lingkungan
UPLU1
Udara Emisi
UPLU2
Udara Ambient & Kebisingan
UPLU3
Udara Ambient & Kebisingan
Rekapitulasi Lokasi RKL dan RPL Parameter
Lokasi RKL
Lokasi RPL
Peralatan yang mengeluarkan emisi pada proses pembakaran seperti: turbine, heater, generator, dan sistem flare.
Penurunan Kualitas Udara
Lokasi pemantauan emisi udara adalah di Blok Station Matindok (01° 19’ 52,9” S ‐ 122° 29’ 31,3” E) pada cerobong alat penghasil emisi (turbin, heater, generator, dan sistem flare).
Peralatan yang menghasilkan emisi fugitive seperti: katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, peralatan proses, dan tangki timbun.
Lokasi pemantauan kualitas udara ambien adalah di sekitar Blok Station Matindok (01° 19’ 52,3” S ‐ 122° 29’ 31,7” E) dan pemukiman terdekat yaitu Desa Nonong (01° 20’ 13,4”S ‐ 122° 30’ 13,9”E).
Penyediaan ruang terbuka pada Blok Station Matindok.
Peta Lokasi Pengambilan Sampel RKL RPL Tambahan Peningkatan Kapasitas Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Kabupaten Banggai, Prov. Sulawesi Tengah
LOKASI PENGAMBILAN SAMPEL
Kode
Sampling
U1
Udara Ambient & Kebisingan
U2
Udara Ambient & Kebisingan
U3
Udara Ambient & Kebisingan
U4
Udara Ambient & Kebisingan
U5
Udara Ambient & Kebisingan
WL01
Air Sungai Kayowa (Hulu)
WL02
Air Sumur Penduduk
WL03
Air Sumur Penduduk
WL04
Air Sungai Kayowa (Hilir)
WL05
Air Irigasi Teknis
SO1
Tanah
Koordinat Lokasi Pengambilan Sampel Kode
Lokasi
Sampling
S
E
U1 U2 U3 U4 U5 WL01 WL02 WL03 WL04 WL05 SO1
Area Tapak Proyek
Udara Ambient & Kebisingan
01o 19’ 52,9”
122 o 29’ 31,3”
Permukiman
Udara Ambient & Kebisingan
01o 20’ 13,4”
122 o 30’ 13,9”
Akses Mobilisasi + 2 km dari Tapak Proyek
Udara Ambient & Kebisingan
01o 20’ 11,9”
122 o 29’ 54,8”
Area Hutan
Udara Ambient & Kebisingan
01o 17’ 21,6”
122 o 27’ 47,1”
Sumur Matindok‐2
Udara Ambient & Kebisingan
01o 19’ 07,7”
122 o 27’ 27,6”
Hulu Sungai Kayowa
Air Sungai
01o 17’ 21,6”
122 o 27’ 47,1”
Sumur Penduduk (Perempatan)
Air Sumur
01o 20’ 13,4”
122 o 30’ 13,9”
Sumur Penduduk (+2 km dari Tapak Proyek)
Air Sumur
01o 20’ 11,9”
122 o 29’ 54,8”
Hilir Sungai Kayowa
Air Sungai
01o 19’ 19,5”
122 o 30’ 26,7”
Saluran Irigasi
Air Irigasi
01o 20’ 11,9”
122 o 29’ 54,8”
Tapak Proyek
Tanah
01o 19’ 52,9”
122 o 29’ 31,3”
PT. Pertamina EP PPGM
LAMPIRAN 4 Peta RTRW Kabupaten Banggai
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Lampiran 4 Peta RTRW KabupatenBanggai REVISI RTRW KABUPATEN BANGGAI 2003 - 2013
Lokasi Fasilitas Produkasi Matindok
PT. Pertamina EP PPGM
LAMPIRAN 5 Tata Kerja Penanggulangan Keadaan Darurat
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
PT. Pertamina EP PPGM
LAMPIRAN 6 Struktur Organisasi Penanggulangan Keadaan Darurat PPGM
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Lampiran 6 Struktur Organisasi KPKD PPGM
PT. Pertamina EP PPGM
LAMPIRAN 7 Daftar Riwayat Hidup Surat Pernyataan Sertifikat Tenaga Ahli
Peningkatan Kapasitas Produksi Gas Matindok (45 MMSCFD menjadi 65 MMSCFD) Proyek Pengembangan Gas Matindok (PPGM), Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi Nama Tanggal lahir
: Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil : 13 Februari 1964
Pendidikan Pendidikan Formal 1. Heinrich‐Heine University, Duesseldorf, Germany, 1999 ‐ 2004 (Doctor) Subject : Aquatic Toxicology and Marine Natural Product 2. The University of Sheffield, England, 1991 ‐ 1993 (M.Phil) Subject : Aquatic Toxicology and Pollution 3. Institut Pertanian bogor (IPB), 1983 ‐ 1987 (Sarjana) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Subject : Aquatic Resources Management Pendidikan Tambahan (Training and Workshop) 1.
First Aid and Fire Fighter Training, Bogor, 3 Maret 2011.
2.
Pemenang Lomba Tulis Lingkungan Hidup 2010 untuk kategori akademisi. KLH.
3.
Sertifikasi Kompetensi Ketua Tim Studi AMDAL, Jakarta, 13 – 14 Maret 2010.
4.
Winner of FraunhoferDAAD Technopreneur Award. Oberhausen. Jerman. 3 Oktober 2009 – 30 Januari 2010.
5.
Post Doctoral Research. Institut fuer Pharmazeutische Biologie and Biotechnologie, Heinrich‐Heine Universitaet. Jerman. Juni – September 2008.
6.
Training Sea Survival. Jakarta, 2010.
7.
Asian‐Link Workshop for Marine Natural Products and Medicinal Plants Workshop, Beijing, 21 – 24 Agustus 2007
8.
Peserta Kursus TOT Penilai Amdal. KLH. Serpong 29 Mei – 9 Juni 2007.
9.
Peserta pelatihan ISO 14001. PPLH, IPB. Bogor, 22 – 24 Agustus 2006.
10. Peserta workshop Health, Safety, and Enviroment. PPLH, IPB. Bogor, 29 Juni 2006. 11. Peserta workshop “ISO 17025, on laboratory management”. PPLH, IPB. Bogor, 22 April 2006. 12. Regional Seminar on Engineering for Environment. DAAD. Bandung, 27 – 29 Desember 2005. 13. International training workshop on marine biotechnology and marine drugs. Institute of Oceanology, Chinese Academy of Science. Qingdao, China. 12 – 23 September 2005. 14. Sharing session on Environmental management of drilling and seismic survey of oil and gas. Institute of National and Regional Resources. Bogor, 13 Agustus 2005. 15. T‐BOSIET (Tropical Basic Offshore Safety Induction and Emergency Training). Merak, 2005. 16. Sharing session of UKL and UPL. Institute of National and Regional Resources, IPB. Bogor, 4 December 2004.
1
17. Refreshing course on EIA of oil and gas. Institute of National and Regional Resources, IPB. Bogor, October 2004. 18. Peserta pada Kursus Selam (SCUBA), PADI (Profesional association of diving instructor). Duesseldorf, 2002. 19. Peserta pada Kursus Bahasa Jerman Grundstufe 3. Goethe Institut, Bremen, 30.11.1999 – 29.01.2000. 20. Peserta Kursus Bahasa Jerman Grundstufe 1. Goethe Institut, Bremen, 04.10.1999 – 25.11.1999. 21. Peserta pada Kursus Penyusun Amdal (B). Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB dengan BAPEDAL. Bogor, 27 Oktober ‐ 1 Desember 1997. 22. Peserta pada Kursus Amdal Dasar (A). Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB dengan BAPEDAL. Bogor, 13 ‐ 23 Oktober 1997. 23. Peserta pada Workshop on Water Quality Research and Development (Indonesia Australia). Organized by Institute of Ecology, Universitas Pajajaran in coperation with Australian‐Indonesian Water Quality R and D Project, Australian Department of Education, Employment, Training and Youth Affairs (DEETYA), and Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Bandung, 24 ‐ 26 Februari 1997. 24. Peserta Training Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Kerjasama Proyek Pengembangan PSL Ditjen Dikti. Depdikbud dengan ITS. Surabaya, 2 ‐ 11 Januari 1997. 25. Peserta Traning of Trainers (TOT) Pengelolaan Pelatihan. Kerjasama Proyek Pengembangan PSL Ditjen Dikti Depdikbud dengan Bina Swadaya. Cimanggis, Bogor, 8 ‐ 20 Juli 1996. 26. Peserta Training Penerjemahan Buku Ajar Perguruan Tinggi. Ditjen Dikti Depdikbud. Bali, 4 ‐ 16 Desember 1995. 27. Peserta Lokakarya dan Rekonstruksi Kuliah Dalam Rangka Pendekatan Terapan. Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Bogor, 31 Januari ‐ 19 Februari 1994. 28. Peserta Short Training on Environmental Pollution. The University of Sheffield, Inggris. 1993. 29. Peserta Workshop IlmuIlmu Perairan. Kerjasama British Council dengan Universitas Diponegoro. Semarang, 24 ‐ 26 Oktober 1989.
Pengalaman Studi 1.
AMDAL Pengembangan Gas Suban Fase 3. ConocoPhillips. 2011.
2.
Biodiversity Pre Assessment di Sepanjang Jalur Pipa Sumur Suban 12, 13, 14 ConocoPhillips. 2011.
3.
Model Dispersi Cuttings dan Lumpur Pemboran Pada Pemboran Lepas Pantai. Hess (Semai V) Ltd. 2011.
4.
RKL‐RPL Tambahan Kegiatan Pengembangan Eksploitasi Gas, Kabupaten Banggai. Pertamina EP. 2011.
5.
Implementasi UKL‐UPL Pemboran Lepas Pantai dan SPPL, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Hess (Semai V) Ltd. 2011.
6.
UKL‐UPL Eksploitasi Air Bersih, Bogor. PT. Tirta Investama. 2011.
2
7.
Studi Pasokan Air Bersih, Rumah Sakit PMI. Bogor. 2011.
8.
AMDAL Eksploitasi Minyak dan Gas, Laut Timor. Inpex. 2011.
9.
UKL‐UPL Pemboran Sumur Delineasi Ario Damar#3, Blok Pandan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. PT Tropik Energi Pandan. 2010.
10. Laporan Pelaksanaan UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi Ganesha#1, Blok Pandan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. PT Tropik Energi Pandan. 2010. 11. Laporan Pelaksanaan UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi Sriwijaya#3 dan Sriwijaya#4, Blok Pandan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. PT Tropik Energi Pandan. 2010. 12. Laporan Pelaksanaan UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi Ario Damar#1 dan Sriwijaya#2, Blok Pandan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. PT Tropik Energi Pandan. 2010. 13. Laporan Pelaksanaan UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi Sriwijaya#1, Blok Pandan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. PT Tropik Energi Pandan. 2010. 14. Laporan Pelaksanaan UKL‐UPL Survei Seismik 2D 2008, Blok Pandan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. PT Tropik Energi Pandan. 2010. 15. Laporan Pelaksanaan UKL‐UPL Survei Seismik 2D 2005, Blok Pandan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. PT Tropik Energi Pandan. 2010. 16. RKL‐RPL Tambahan Pengembangan Blok Corridor. Kabupaten Musi Banyuasin. Provinsi Sumatra Selatan. ConocoPhillips. 2010. 17. AMDAL Tambang Terbuka (Open Pit) Timah, Pemali, PT Timah. 2010 18. Penanaman 5000 pohon Mangrove (Rhizophora mucronata). ORF Kodeco, Desa Amak Kasim. Kabupaten Gresik. Kodeco. 2010. 19. Environmental Baseline Assessment (EBA) of Semai V. Provinsi Papua Barat Hess. 2010. 20. UKL‐UPL Pemboran, Semai V. Provinsi Papua Barat. Hess. 2010. 21. Implementasi UKL‐UPL Pemboran Lepas Pantai Madura. KNOC. 2010. 22. Environmental Baseline Assesment (EBA) Blok Banjar 1, Banjar 2, dan Barito Tapin, Kabupaten Banjar, Barito Kuala, dan Tapin, Kalsel. Exxon. Mei 2010. 23. UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi CBM (Coal Bed Methane) Darat di Blok Banjar 1, Kabupaten Banjar dan Barito Kuala, KalSel. PT Indobarambai Gas Methan. Mei 2010. 24. UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi CBM (Coal Bed Methane) Darat di Blok Banjar 2, Kabupaten Banjar dan Barito Kuala, KalSel. PT Barito Basin Gas. Mei 2010. 25. UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi CBM (Coal Bed Methane) Darat di Blok Barito Tapin, Kabupaten Barito Kuala dan Tapin, KalSel. PT Trikaskti Gas Methan. Mei 2010. 26. DPPL Corridor Block. ConocoPhillips. 2010. 27. DPPL South Jambi Block. ConocoPhillips. 2010. 28. UKL‐UPL Pengembangan Tangki Minyak, Tanjung Uban. Pertamina. 2010. 29. UKL‐UPL Pengembangan Tangki Gas, Sangrahan. Bali. Pertamina. 2010. 30. UKL‐UPL Pemboran Sumur Eksplorasi. Buton Block. Japex. 2010. 31. Environmental Baseline Assessment (EBA). South Kalimantan Block. Exxon. 2010. 32. Environmental Baseline Assessment (EBA). Banten Block. Lundin. 2010.
3