TINJAUAN PUSTAKA Daya lngat
Penelitian terhadap memori sangat dipengaruhi oleh the work of learning theorists dan juga penemuan Herrnann Ebbinghaus, yaitu seberapa banyak materi verbal yang dipelajari dengan baik akan disirnpan, yakni dipertahankan, oleh memorinya selama berbagai periode waktu (Best 1992). Ada dua pendekatan dalam mempelajari ingatan manusia, yaitu pendekatan struktural dan pemrosesan. Pendekatan struktural temadap ingatan manusia kerfokus pada pengorganisasiannya, sifat-sifatnya dan hubungan antar keduanya. Sedangkan pendekatan pemmsesan lebih menekankan pada kegiatan yang digunakan untuk mentransformasi informasi yang diingat manusia, menyingkat atau mengelaborasinya. Berdasarkan aspek strukturalnya, ingatan manusia adalah berbeda secara jelas sifat dan organisasinya. Sebagai contoh adalah durasi ingatan manusia untuk dapat dipsrtahankan. lnformasi dapat hilang dan bersifat rentan, namun informasi lainnya dapat bersifat lebih permanen. Oengan demikian, informasi
yang berbda disimpan pada lokasi berbeda dan sifat dari informasi tersebut merefleksikan sifat dari lokasi penyimpanan dimana informasi ditempatkan. lnformasi dapat disimpan pada lokasi permanen, tetapi informasi tersebut harus melewati lokasi sementara (temporary) lebih dulu.
Sedangkan bedasarkan
aspek pemrosesan, maka informasi-informasi yang ditransfer dan diubah disimpan pada lokasi berbeda.
Pengertian lngatan (Memory) Awalnya ingatan manusia dianggap sebagai asosiasi atau hubungan antara stimuli (S) dan respon (R), sehingga disebut hubungan S-R. Dalam
perkernbangannya, pengertian tersebut dianggap kurang memadai secara
psikologis untuk rnenggarnbarkan kekayaan dan Reksibiiitas ingafan manusia.
Kecenderungan saat ini, studi ingatan manusia dititikberatkan pada kognitif yang lebih luas dari hubungan stimuli dan respon (Morgan, King, Weisz & Schopler 1986).
Ada tiga jenis pemrosesan informasi yang berbeda, yaitu proses encoding,
proses storagelpenyirnpanan, dan proses retrieval. Encoding mempakan proses
penerimaan input sensori dan transformasi input tersebut menjadi format atau
kode yang dapat disimpan, atau proses persiapan stimulus agar dapat disimpan. Persiapan tersebut melibatkan pengorganisasian stimuli untuk kemudian dilanjutkan dengan proses penyirnpanan. Proses e d i n g sangat berpengaruh
terhadap kemudahan pemanggilan kembali (retn'eval) sebuah informasi. Penyimpanan merupakan proses peletakan informasi yang tebh dikode ke dalam memori. Retrieval merupakan proses untuk mendapatkan akses pada informasi yang telah disimpan dan dikode ketika informasi tersebut diperlukan. Dengan demikian, tujuan pengkodean adalah membuat informasi menjadi siap untuk disimpan dalam sistem penyimpanan dan memperrnudah pemanggilan infomasi tersebut pada saat diperlukan (Morgan et a/., 1986). Craik dan Lockhart (1972) rnenyatakan ada dua kernungkinan level
pemrosesan dalam pengkodean, yaitu semantik dan kedabman pemrosesan. Analisis semantik menghasilkan pernmsan yang lebih dalam sehingga tebih bermakna daripada analisis non semantik. Pengkodean yang lebih mendalam betdampak terhadap sernakin baik ingatan. Dengan demikian, proses pengkodean sangat ditentukan oleh strategi yang dipilih oleh individu dan informasi lain yang menyertai stimulus.
Strategi ini sangat terkait dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh individu.
Selanjutnya, faktor yang berperan
adalah seberapa besar usaha yang dilakukan untuk melakukan proses
pengkodean tersebut. Hasil studi Sperling (1960) menunjukkan bahwa manusia merniliki memori yang sangat akurat dan komplit bagi stimuli visual, meskipun durasi memori tersebut adalah singkat. Neisser (1967) telah mengembangkan istilah icon dan
echo. Icon adalah memori visual yang singkat dan echo, adalah stimulasi auditory yang disimpan dalam sensory register (SR) (8est 1992). Hasil penelitian pada proses lupa dalam short-fern memory (STM), menunjukkan bahwa recall menukrn sebagairnana fungsi dari retention interval(Peterson & Peterson 1959). Studi Sperling (1960) awal tentang visual sensory memory. ahli psikologis kognitif telah mempelajari secara mendalam tentang icon.
Pertama, icon
memiliki beberapa jenis organisasi dan icon adalah kode kognitif yang sesungguhnya.
lnformasi tidak sekedar disimpan dalam format kasar atau
precafegotfcal. Kapasitas penyimpanan sensori visual adafah terbatas.
Psikologis kognitif juga menernukan bahwa informasi dapat dievakuasi dari
memori sensori pada laju yang berbeda tergantung pada materi dan pemilihan strategi (Best 1992). Kedua, tentang mntent (kandungan) dari short-term storage (STS) dan
long-term storage (LTS).
Pada awalnya aspek struktural dari penyimpanan
diyakini dipengaruhi oleh contentny a. Dengan kata lain, acoustic emrs akan terlihat ketika seseorang diminta untuk meretrieve materi dari STS, karena STS mengorganisasikan materi berdasarkan bunyi/suara. Namun sekarang diketahui bahwa stimuli dapat dikode melalui berbagai cara pemrosesan pada sistem
memori, karena pengorganisasian materi dapat dilakukan secara akustik dan semantik (Best 1992). Berdasarkan teori pemrosesan informasi (information processing theory), perkembangan daya ingat ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu strategi
(strategies), pengetahuan (knowledge), metamemori (metamemory) dan kapasitas (capacity) (Miller 1993). Strategi yang semakin terdiferensiasi akan menyebabkan daya ingat yang semakin baik. Perkembangan besar terjadi pada saat anak usia sekolah dan
remaja yang melibatkan pembelajaran untuk memaksimalkan penggunaan kapasitas seseorang yang terbatas. Sebagai contoh, anak pada usia sekolah menjadi lebih efisien dalam rnenggunakan waktu belajarnya. Pada anak yang lebih besar dapat memilih bahan yang penting dan tidak penting dibandingkan anak yang lebih kecil (Miller 1993). Pengetahuan dapat berpengaruh terhadap perkembangan rnemon' yang
dapat dijelaskan melalui anak yang lebih mampu mengingat materi yang bermakna baginya. Hal ini sesuai dengan apa yang diketahui dan apa yang
harus diingat (headfitfing) oleh anak. Dengan kata lain, kemampuan anak untuk mengingat akan berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuannya
(Miller 1993). ,
Menurut Miller (1993), metamemori merupakan pengetahuan tentang
informasilmateri dan merupakan ha1 khusus dari metacognition yang merupakan pengetahuan tentang proses kognitif. Sebagai contoh adalah mencatat sambil mendengarkan kuliah, menggarisbawahi teks dan membuat daftar barang yang
akan dibeli sebelum ke supermarket. Berbagai bukti menunjukkan bahwa pematangan sistem saraf selama masa anak-anak menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas mental.
Dengan demikian, anak yang lebih tua dapat menggunakan kapasitas yang lebih
besar untuk mempertahankan informasi di dalam ingatan sesaat dan
rnenginvestasikannya untuk strategi meningkatkan daya ingat dan aktifitas metamemori (Miller 1993). Beberapa permasalahan akibat adanya asumsi bahwa memori jangka panjang (LTM) menyimpan semua pengetahuan perrnanen kita, yakni LTM dapat menjadi tempat menyimpan declarative knowledge, yaitu pengetahuan yang dapat mendiskusikan atau menjelaskan secara verbal. Namun, sedikit lebih sulit untuk melihat bagaimana LTM dapat menjadi tempat menyimpan procedural
knowledge, yaitu pengetahuan yang diekspresikan dalam bentuk ketrampilan (skill) atau aktivitas (action).
Dasar dari pengkodean dalam LTM adalah
semantik atau berdasarkan makna. Dengan demikian, skilled actions sulit dipahami apa rnaknanya (Best 1992).
Beberapa permasalahan lain contohnya adalah kemampuan manusia untuk menggunakan perceptual processes pada representasi berupa images karena seseorang dapat menyimpan dan me#t#eve
images tersebut.
Berdasarkan beberapa teori, images yang disimpan dan diretrieve, pertamatama dikonversi menjadi format yang tidak bersifat spatial. Hal ini menunjukkan bahwa pengorganisasian secara semantik dari LTS adalah tidak hanya verbal tapi juga visual.
Fakta ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang
mengindikasikan bahwa ada dua jenis rnateri yang dapat disimpan datam
penyimpanan permanen, y aitu materi verbal dan visual (Best 1992). Pemrosesan lnformasi Teori pernrosesan informasi sudah dikembangkan puluhan tahun yang latu oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pada Gambar
7
dapat dilihat bahwa rnemori merupakan sistem dari komponen-
komponen yang saling berkaitan. Masing-masing komponen, yang disebut
tempat penyimpanan (storage), memiliki kapasitas berbeda, masing-masing diorganisasikan secara berbeda, dan rnekanisme yang menghasilkan proses lupa juga berbeda. Teori tersebut juga menyatakan bahwa kode kognitif dapat ditransfer dari satu tempat penyimpanan ke tempat penyimpanan lainnya dengan menggunakan proses kontrol.
,
Response Output
Response generator
[ Stimulus Input
I
4
~ebearsa,buffer ---- ------SHORT-TERM STORE -----a
Self-addressable memory bank
ry
I Z I
not subject
I
;
decay
1
A
Control Processes Stimulus analyzer programs Alter biases of sensory channels Activate rehearsal mechanism Modify information flow from SR to STS Cude and transfer information from STS to LTS Initiate or rnodij, search of L TS Heuristic operations on stored information Set decision criteria Initiate msponse generator Ket : SR = Sensory Register STS = Short-Term Store LTS = Long-Term Store I
Gambar 1 Sistem memori (Atkinson & Shiffrin 1968). ,
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa paparan informasi (stimulus input)
merupakan proses awal dari sistem memori. Paparan informasi tersebut berlangsung pada waktu yang sangat singkat dan umumnya berlangsung dalam waktu beberapa detik. lngatan sensorik berhubungan dengan sensory channel (penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan lain-lain). Apabila informasi dari
ingatan sensorik tidak diperhatikan, maka akan hilang dalam beberapa detik. Namun, apabila informasi tersebut menarik perhatian seseorang, maka paling tidak akan dirnasukkan ke dalam ingatan sesaat (Miller 1993).
Salah satu tempat penyimpanan dikenal sebagai SR, dimana proses deteksi dan pengenalan dengan cepat menghasilkan kode kognitif yang dapat
disimpan dalam periode singkat yakni sampai dengan beberapa detik (Miller 1993). Kerja SR tidak tergantung pada alokasi sumberdaya.
Hal ini berarti
bahwa seseorang tidak hams rnemberikan perhatian pada stimuti yang datang untuk memberikan kode kognitif pada SR, karena ha1 ini terjadi secara otomatis. lmplikasi dari ha1 ini adalah bahwa kapasitas SR adalah besar, karena semua stimuli yang datang diasumsikan disimpan, paling tidak dalam waktu yang singkatlsementara. Selain itu, SR
menyimpan stimuli sensori dalam bentuk
kasar, yang berarti tidak ada pengkodean pada materi yang disimpan dalam SR (Best 1992). Menurut Miller (19931, kapasitas SR pada anak-anak adalah sama dengan orang dewasa. Stimuli visual bertahan dalam SR sekitar 250 sampai 300 milidetik dan stimuli auditory bertahan sampai sekitar 10 kalinya. Materi yang disimpan dalam SR dipengaruhi oleh berjalannya
waktu. Dalam durasi yang
telah disebutkan, materi dalam SR akan hilang (decay). Untuk mentransfer materi dari SR ke STS, seseorang hams mengalokasikan beberapa sumberdaya sebelum materilinformasi tersebut lenyap (Best 1992).
Short-term storage (STS) atau penyimpanan sesaat merupakan tempat penyirnpanan yang lebih lama yang mampu mempertahankan materi selama 20 sampai 30 detik (Morgan et al. 1986). Materi tersebut diorganisasikan secara akustik dan kapasitas dari STS adalah terbatas, yakni sekitar tujuh unit (chunks). Materi yang tidak diutang-ulang dalam STS akan hilang (Atkinson & Shiffrin 1968; Best 1992). lnformasi dalam ingatan sesaat yang tidak mengalami
pernrosesan lebih lanjut akan hilang dalam waktu sekitar 15 detik. lnformasi tersebut akan dipertahankan sedikit lebih lama apabita mengalami pemrosesan I
secara dangkal, namun informasi tersebut akan dipertahankan jauh lebih lama apabila mengalami pemrosesan yang lebih mendalam (Craik & Lockhart 1972). ,
Ada tiga perbedaan antara STS dengan SR. Pertama, kapasitas datam
STS diasumsikan sangat terbatas, yakni berkisar antara 5 sampai 9 unit (Miller 1993). Kedua, informasi dalam STS diorganisasikan secara akustik, verbal atau
linguistik.
Pengorganisasian tersebut bahkan berlaku pada informasi yang
sedang datang, yakni materi yang dibawa dari SR, yang telah dipresentasikan
secara visual.
Ketiga, materi dapat bertahan dalam STS jauh !ebih lama
daripada dalarn SR. Durasi materi berada dalam STS adalah sekitar 15 sampai
30 detik. STS dan SR adalah serupa datam satu aspek yaitu rnateri yang tidak dielaborasi dan ditransfer akan hilang (Best 1992; Miller 1993). Materi dalam STS dapat ditransfer pada LTS yang mempunyai kapasitas sangat besar dan dapat mempertahankan atau menampung materi yang
jumlahnya tidak terbatas. Materi dalam LTS diorganisasikan secara semantik, yakni dengan memberi makna (Craik & Lockhart 1972; Best 1992; Miller 1993).
Proses kontrol yang rnemungkinkan transfer materi yahg telah dikode antar STS dan LTS ini disebut rehearsal. Ada dua macam pengertian rehearsal dalam ha1 ini. Pertama, rehearsal bermakna pada prosedur untuk mernpertahankan vitalitas kode dalam STS. Dengan cara pengulangan, maka kode tersebut akan dapat
bertahan dalam STS untuk p r i d e waktu yang lama.
Kedua, rehearsal
bermakna kegiatan yang membangun kode materi sebelumnya yang berasal dari STS di dalam LTS. Pada pengertian ini, informasi dalam STS tidak ditransfer
sepenuhnya ke dalam LTS. Disamping itu, kegiatan rehearsal dapat dilakukan dengan penduplikasian reptesentasi dari materi STS di dalam LTS. Hal ini dapat diillustrasikan ketika seseorang mencoba untuk mempertahankan pengetahuan
yang tidak familiar, maka orang tersebut sering rnenyebutkan kepada dirinya sendiri secara berujang-ulang. Namun, sekali kode materi disimpan dalam LTS,
maka kode tersebut akan menjadi permanen. Kegagalan untuk meretrieve1 memanggil informasi yang telah ditransfer ke dalam LTS merupakan akibat dari kode lain yang merupakan efek dari pemblokan atau penghambatan pada materi yang sedang dicari (Best 1992; Miller 1993). Penyimpanan merupakan proses peletakan informasi yang telah dikode ke dalam sistem penyimpanan. Sedangkan pemanggilan kembali merupakan proses untuk mendapatkan akses pada inforrnasi yang telah disimpan dan I
dikode ketika informasi tersebut diperlukan (Morgan ef a/. 1986). Seseorang
yang berusaha keras untuk mengorganisasikan materi akan dapat meretrieve materi lebih banyak daripada seseorang yang usahanya kurang (Best 1992). lnformasi yang mengalami pemrosesan lebih mendalarn, yakni perhatian yang terfokus pada informasi tersebut (mungkin melalui pengulanganpengutangan) atau dihubungkannya informasi tersebut dengan informasi lain
yang telah tersimpan dalam memori, maka akan dimasukkan ke dalam ingatan
jangka panjang. lnformasi yang sudah ditempatkan di dalam ingatan jangka panjang biasanya merupakan informasi yang sudah terorganisasi ke dalam
kategori. Informasi tersebut akan bertahan selama beberapa hari hingga selama hidup (Morgan et a). 1986). Perangkat pemrosesan informasi yang juga penting adalah contrdprmess
yang dianggap sebagai bagian yang mengatur semua aktivitas pada pemrosesan informasi. Seperti halnya program komputer, control process dapat mengarahkan aktivitas pada setiap tahapan pemrosesan informasi, menjaga agar informasi tetap berada ditempatnya yang merupakan bagian sistem memori dan memastikan seluruh sistem kekerja secara harmonis. Dengan demikian,
control process membantu manusia untuk mengatasi keterbatasan yang tetkait dengan seberapa banyak informasi yang dapat ditangani (Miller 1993). Pengukuran Daya lngat
Ada dua metode dasar yang dapat digunakan dalam mengukur ingatan manusia
(Lindsay
&
Norman 1977), yaitu mengingat kembali (recall)
dan mengenali kembali (recognition). Mengingat kembali (recall) merupakan
kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang telah dipelajati tanpa informasi tambahan lainnya kecuali instruksi yang diberikan saat penelitian dilaksanakan. Mengingat kembali (recalo dibedakan menjadi dua, yaitu mengingat kembali secara berumtan (serial recall) dan secara bebas (free
recall). Di dalam penelitian ilmiah di laboratoilurn, psikolog sering menggunakan
dua istilah yang saling mengaburkan maknanya agar ingatan dapat diukur secara murni. Sebagai contoh, seseorang diminta untuk mengingat kembali
(recall) sebuah asosiasi pasangan kata, yaitu guppy watermelon atau violin daffodil. Orang tersebut biasanya sangat tergoda untuk segera mengingat kembali kata-kata tersebut. Untuk menghindari efek latihan, maka peneliti memjnta kepada orang tersebut untuk melakukan tugas lain, seperti rnenghitung mundur. Contoh lainnya adalah apabila seseorang diminta untuk mempelajari
daftar kata dan kemudian diminta untuk mengingat kembali daftar kata tersebut. Orang tersebut kemungkinan besar akan melupakan satu atau beberapa kata yang telah dipelajari pada saat harus mengingat kembali (Lindsay & Norman
1977).
Recall test memerlukan usaha pencarian yang ekstensif terhadap informasi yang harus diingat kembali. Usaha pencarian tersebut pertama-tama adalah dengan cara menemukan konteks yang tepat terhadap informasi yang
haws dicari dan kemudian barn melakukan pemanggilan (retrieve) terhadap informad yang dimaksud (Lindsay & Norman 1977). Metode pengukuran temadap ingatan manusia yang kedua adalah mengenali kembali (recognition]. Hal ini biasanya diukur dengan cara memilh jawaban yang paling tepat dari altematif jawaban yang telah disediakan atau dipelajari sebelumnya untuk pertanyaan y ang diberikan. Sebagai contoh,
apakah kata Tangerang berada diantara daftar kata yang telah disajikan. Adapun daftar kata yang telah disajikan sebefumnya misalnya adalah Semarang, Jakarta, Magelang, Tangerang, dan Pemalang. Jika menghadapi pertanyaan tersebut, maka seseorang akan mernbandingkannya dengan informasi yang sudah ada di dalam sistem ingatannya. Berdasarkan hasil penelitian laboratoris,
menunjukkan bahwa mengenali kembali (mmgnition) adalah relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan mengingat kembali/recall (Lindsay & Norman 1977). Secara umum, menurut Lindsay & Norman (1977), recognition test dianggap sebagai metode pengukuran daya ingat yang lebih sensitif daripada metode lainnya datam mengukur seberapa banyak seseorang telah menyimpan informasi. Hal ini karena informasi yang disajikan kepada seseorang adalah lebih banyak dan tugas orang tersebut hanyalah menentukan bahwa apakan informasi yang ditanyakan sesuailcocok dengan apa yang telah ada dalam sistem ingatannya, yakni yang tetah dipelajari sebelumnya. Lebih lanjut Lindsay & Norman (1977) menyatakan bahwa ada beberapa
cara untuk memperrnudah mengingat sesuatu, diantaranya adalah dengan usaha, pemahaman, dan pengorganisasian.
Mengingat sesuatu seringkaE
bukan merupakan ha1 yang mudah untuk dilakukan. Hal ini terjadi karena untuk mengingat memerlukan perhatian terhadap materi yang hams diingat, usaha, dan beb&apa ketrampilan. Pemahaman adalah mengetahui apa yang harus dilakukan. Hal ini dapat
dicapai antara lain melalui paraphrase terhadap materi yang harus diingat dan mengetahui kaitan antara materi satu dengan materi lainnya (Lindsay & Norman 1977).
Pengorganisasian dapat dilakukan antara lain dengan cara membagi materi menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya adalah berusaha untuk mengkombinasikan bagian tersebut dengan apa yang telah
diketahui
sebelumnya. Sesuatu yang terisolasi adalah lebih sulit untuk diingat (Lindsay & Norman 1977).
Salah satu cara standar untuk mengukur efektivitas memori adalah
dengan menggunakan explicit memory task.
Misalnya dengan memberikan
daftar kata-kata untuk dipelajari dan kemudian memtrievenya. Cara lain adalah dengan implicit memory task, y akni memberikan daftar kata-kata, tanpa instruksi eksplisit, namun akan diminta untuk meretrievmya (Best 1992). Zat Girl dalam Hubungannya dengan Glukosa Darah dan Daya lngat
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam, y ang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dan pada waktu tertentu (Hardinsyah 8 Martianto 1992; Hardinsyah & Briawan 1994). Sedangkan perilaku konsumsi pangan (food consumption
behavior) dapat dirumuskan sebagai cara-cara atau tindakan yang dlakukan oleh individu, keluarga atau rnasyarakat di daiarn pemilihan makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan tersebut (Susanto 1987).
Konsumsi pangan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan dan
secara langsung dapat rnempengaruhi status gizi. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan pada tingkat individu atau rumahtangga dapat diterjemahkan ke dalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin, dan mineral per orang per hari. Rasia energi dan zat gizi lainnya terhadap kecukupan
yang dianjurkan menggambarkan tingkat kecukupan individu atau rumahtangga. Agar dapat hidup sehat dan sekaligus mempertahankan kesehatan, manusia memerlukan sejumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang I
harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatanlaktivitas, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan. , Setiap
orang
dianjurkan
mengkonsumsi
makanan
yang
cukup
mengandung energi, agar dapat hidup dan melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti bekerja, belajar, berolahraga, berekreasi, kegiatan sosial dan kegiatan
yang lain. Kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, protein dan lemak. Tercukupinya konsumsi energi bagi
seseorang ditandai oleh berat badan yang normal. Mengkonsumsi makanan
yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan, sebab kekurangan zat gizi tertentu pada satu jenis makanan akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari
makanan yang lain. Jadi masing-masing makanan dalam susunan aneka ragam menu seimbang akan saling melengkapi.
Dengan mengkonsumsi makanan
yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan surnbr zat tenaga,
rat pembangun, dan zat pengatur bagi kebutuhan seseorang
(Hardinsyah & Martianto 1992).
Konsumsi
pangan
dipengaruhi oleh
banyak
faktor,
diantaranya
pendapatan, pengetahuan gizi, ketersediaan pangan dan kebiasaan makan. Kebiasaan makan seringkali merupakan suatu pola yang berulang atau bagian dari rangkaian panjang kebiasaan hidup secara keseluruhan yang dapat diukur dengan pola konsumsi pangan. Kebiasaan makan adalah cara-cara seseorang
atau sekelompok orang dalam memilih dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh psikologis, fisiologis, serta budaya dan sosial (Harper, Deaton & Driskel 1986).
Pada dasarnya ada tiga fungsi makanan bagi anak, yaitu menyediakan
tenaga (fuel)untuk aktifitas muskular, menyediakan unsur dan senyawa kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh anak dan pemeliharaan jaringan yang rusak, serta memberikan kenyamanan dan kepuasan kepada anak (Villavieja,
Barba, Valdecanas & Santos 1987). Villavieja et al. (1987) lebih lanjut menyatakan bahwa ada lima faktor yang
harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak sekolah, yaitu energi, protein, vitamin larut lemak, vitamin tarut air dan mineral. Kebutuhan energi anak sekolah ditentukan oleh usia, metabolisme basal dan aktifitas. Untuk anak usia 7-9 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin, kebutuhan energinya adalah 1740
kkal. Anak laki-laki usia 10-12 tahun memerlukan energi sebesar 2090 kkal dan anak perempuan usia 10-42 tahun memertukan energi sebesar 1910 kkal. 0
Sementara itu, angka kecukupan energi untuk Indonesia pada anak usia 7-9 tahun adalah 1900 kkal tanpa membedakan jenis kelamin.
Sedangkan
kecukupan anak usia 10-12 tahun untuk jenis kelamin laki-laki adalah 2000 kkat
dan perempuan sebesar 1900 kkal (LIP1 1998). Dalam kaitannya dengan berat badan, kebutuhan protein pada anak-anak relatif lebih besar daripada orang dewasa.
Hal ini terkait dengan periode
pertumbuhan yang cepat. Konsumsi protein yang memadai merupakan ha1 yang penting, yaitu harus mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah yang cukup karena diperlukan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan (Villavieja et a/. 1987; Gibney, Vorster & Kok 2002).
Lebih !anjut, Villavieja et al. (1987) menyatakan bahwa kebutuhan vitamin larut lemak, terutama vitamin A, perlu mendapat perhatian ekstra karena tingginya kasus defisiensi vitamin A pada anak usia sekolah. Demikian pula dengan kebutuhan vitamin larut air, khususnya vitamin C, harus diperhatikan karena vitamin C berperan dalam pembentukan dan pemeliharaan material interselluler dan meningkatkan daya tahan tubuh melawan penyakit infeksi. Mineral diperlukan oleh anak-anak terutama penting untuk fisiologi normal. Elektrolit seperti Na dan K, terutama berguna dalam mengatur keseirnbangan air tubuh. Sedangkan mineral tulang, yaitu Ca dan P, berperan sangat penting
sebagai kofaktor protein, mengatur fungsi otot, pembekuan darah, dan penggunaan energi seluler.
Mineral Fe diperlukan untuk transpor oksigen.
Mineral Zn adalah vital untuk metabolisme energi, sintesis protein, pertumbuhan dan pematangan seksual (Villavieja et al. 1987; Smith 1988):
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan konsumsi makanan anak sekolah, yaitu selera, ukuran tubuh, dan keperluan psikologis. Jenis aktifitasnya sangat beragam, mulai dari aktifitas dalam kelas, olah raga sampai aktifitas sosial, sehingga relatif sedikit waktu yang tersisa untuk istirahat. Anak-anak membutuhkan zat gizi yang bagus agar terpenuhi kebutuhannya untuk pertumbuhan dan perkembangannya serta ketahanannya terhadap infeksi (Villavieja et a/. 1987). Makanan bagi anak sekolah tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan zat gizi, tetapi juga harus diperhatikan dalam ha1 palatabilitas, mengenyangkan serta nilai emosi dan sosialnya. Anak-anak harus dibimbing dalam memilih makanan agar mendapatkan zat gizi yang memadai. Selain itu, usia sekolah merupakan
masa yang penting untuk pembentukan perilaku dan kebiasaan makan. Dengan demikian,'selain harus memenuhi nilai gizinya, makanan anak sekolah sebaiknya mempertimbangkan variasi agar dapat memenuhi seleranya (Villavieja et a/. f987).
Hubungan antara Makanan dengan Kadar Glukosa Darah
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan antara pernberian makanan dengan kadar glukosa darah. Hasil penelitian Indar-Brown, Norenberg dan Madar (1992) rnenunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dari konsentrasi glukosa plasma di antara subyek (17 orang) NlDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus) saat puasa (8.4 k 0.2 rnmollL).
Konsentrasi
glukosa, seteiah pemberian kugel, rnelawach, couscous, standar, dan glukosa, mencapai puncaknya setelah pada menit ke 60. Pemberian glukosa dan kugei menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa yang tajam. Sebaliknya, menu standar, melawach, couscous, dan rnajadra berpengaruh moderat terhadap respon glukosa.
Hasil kajian respon glukosa terhadap pernberian berbagai
menu etnik pada subyek NlDDM disajikan pada Gambar 2. (*) Makanan Standar
(A)Melewech (A)Majjedrs (0) Kugel
30
120
60
Waktu (menlt)
Gambar 2 Respon glukosa terhadap berbagai jenis makanan etnis yang diberikan kepada subyek NIDDM (Indar-Brown et al. 1992). Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi glukosa plasma setelah
pernberian glukosa adalah nyata lebih tinggi daripada setelah pemberian
melawach, couscous, menu standar dan majadra pada menit ke-30, 60 dan 120. Meskipun kurva glukosa setelah pemberian kugel adalah lebih rendah
daripada setelah pemberian glukosa, namun tidak ada perbedaan yang nyata.
Majadra memberikan respon glukosa yang terendah. Tidak ada perbedaan yang nyata di antara konsentrasi glukosa setelah pemberian rnelawach, couscous, dan menu standar pada setiap selang waktu. Konsentrasi glukosa plasma setelah pemberian menu standar atau couscous adalah lebih rendah daripada setelah pemberian glukosa atau kugel pada menit ke-60 (pe0.05). Pemberian majadra menyebabkan respon glukosa lebih rendah daripada terhadap kugel pada menit ke-30, 60 dan 120. Komposisi
zat gizi dari setiap jenis makanan etnis tersebut disajikan pada Tabel I.
Tabel 1 Komposisi rat gizi dari makanan etnis (Indar-Brown eta!. 1992) Energi Komposisi Makanan (Kkal) Sarapan Standar Roti 148.4 Keju Putih 49.9 SUSU 57.8 Jeruk 44.0 Coklat 37.3 Margarin 58.8 Total 398.2 Mdawach (Yaman) Tepung Terigu 213.4 Gula 4.8 Minyak Ksddai 10.8 Margarin 87.9 Tomat 21.0 Susu 65.0 Total 402.9 Majadm (Slria) Nasi 77.9 Lentil 144.3 Bawang Merah 39.4 Minyak Kedelai 98.0 Margarin 36.6 Total 398.2 Kugel (Polandia) Mia Telur 104.9 Gula 65.9
Kismis KOJUPutih
55.0
56.6 Telur 23.9 Krim 29.4 Mentega 59.3 Total 395.0 Couscous (Maroko) Semolina 148.4 52.3 Labu Kuning 7.4 Zucchini 22.7 Minyak 79.8 Pasta Tomat 8.1 Telur 48.0 Susu 28.9 Total 395.7
-
Karbohidrat
Serat (g)
GI' (%)
Proponi Karbohidrat
GI Temitung (%)
1.7
0.60 0.02 0.09 0.19 0.10
42
-
70 35 34 40 68
3.9
-
1.4
69
-
1.2
9.7 0.3
0.9
38
Protein Iq)
Lemak
5.5 5.5 2.9
0.6 2.5
0.9 0.5
0.2 1.8
50.9
15.3
6.5 14.6
43.4 1.2
7.5
0.7
(a ) 30.4 1.2 4.6 9.6 4.8
h)
-
3.0
2.2
59 1
0.04 0.09
2
34
4.6 2.7
72 29 70
0.35 0.49 0.15
7.6
-
0.9 3.0 11.4
17.6 24.3 7.7
1.7 10.9 1.2
50.0
13.8
0.1 0.4 0.2. 10.9 4.0 15.6
20.2 16.5 12.5 1.7 0.1 0.4
3.6
1.1
1.0
0.4 6.t 1.9 0.6
1.0
50.3
15.3
0.1 2.8 1.8 2.9 6.6 15.2
31.6 8.5 3.5 2.5
4.4 3.1 1.0 0.5
1.6 0.3 2.3 50.3
0.3 3.7 1.5 14.5
-
59 0.85 0.02
1.8 4.6 51.0
3.0 14.8
1 3 7 7
-
2.3 0.3
-
-
59
-
-
50 59 64
35
3 65 25 14 10 49
0.40 0.33 0.25 0.02
20 29 16 1
2.0
-
0.9 1.4 1.1 0.8
69
36
0.63 0.17 0.07 0.05
43 6 4 2
-
0.1
38
0.03
1
3.6 1.5 15.6
-
34
0.05
4.3
2 58
0.5 0.7 0.2 0.1 9.0
Ket : GI = Glycemic Index
50 50
-
56
Indar-Brown ef al. (7992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap respon glukosa antara lain adalah komposisi zat gizi dari
makanan, pengolahan pangan, asal Uenis dan komposisi) pati, dan subyek yang diuji.' Sebagai contoh, makanan yang banyak mengandung asam fitat berperan dalam penurunan respon glukosa dan insulin. Demikian juga makanan yang
banyak mengandung amilosa berperan terhadap rendahnya respon glukosa dan insulin. Rasio amilopektin dengan arnilosa dapat mempengaruhi pencernaan di
dalam usus halus. Granula pati yang tinggi kandungan arnilosanya dihidrolisis lebih lambat oleh enrim pencernaan di dalam usus.
Hasil penelitian Kaplan, Greenwood, Winacur dan Wolever (2000) terhadap 10 laki-laki dan 10 wanita (usia 60-82 tahun) setelah semalam berpuasa dan pada jam 9 pagi harinya d i k r i 50 gram karbohidrat, diperoleh
hasit yang menunjukkan bahwa respon glukosa plasrnanya mencapai puncaknya pada menit ke-60 seperti terlihat pada Gambar 3.
-
Glukosa
= Kentang
-
* Barley
Plasebo
1
-
-
Waktu (menit) Gambar 3
Respon glukosa terhadap berbagai jenis makanan yang diberikan kepada subyek dewasa (Kaplan et a]. 2000).
Pengukuran glukosa plasma tersebut dilakukan pada menit ke-15, 60 dan
105 setelah pemberian karbohidrat. Karbohidrat yang diberikan berupa glukosa, kentang, barley dan plasebo.
Setiap subyek mendapatkan empat jenis
makananlminuman tersebut pada empat hari yang berbeda yang bersetang sembilan hari untuk setiap perlakuan.
Komposisi zat gizi dari setiap jenis
makanan tefsebut disajikan pada Tabel 2 (Kaplan et a/. 2000).
Tabel 2 Komposisi zat gizi dari makanan (Kaplan et at. 2000) I
lndikator Berat (g) Volume (ml) Protein (g) Karbohidrat (g) Lernak (g) Energi (kkal)
Plasebo 300 300
0 0
0 0
Glukosa 300 300 0 50 0 200
Kentang 31 2
Barley 196
325
200
4
5
50
50
2
2
234
238
19
Berdasarkan berbagai penelitian (Kaplan et al. 2000; Indar-Brown et a/. 1992) menunjukkan bahwa puncak konsentrasi glukosa dicapai 1 jam setelah
konsumsi makanan. Hat ini mengindikasikan bahwa sumber glukosa tersebut terutama berasal dari karbohidrat (Anonim 2003~).Adapun proses pencernaan karbohidrat hingga pemanfaatannya diuraikan seperti berikut ini. Berbagai karbohidrat sederhana dan kompleks terdapat pada diet manusia.
Karbohidrat yang dapat dicema merupakan sumber energi yang
penting bagi tubuh. Karbohidrat kompleks yang tidak dapat dicerna dari pangan
nabati merupakan komponen utama dari serat makanan (Stipanuk 2000). Tujuan akhir dari proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat adalah mengubah karbohidrat menjadi senyawa lebih kecil, yaitu glukosa, fruktosa, dan galaktosa, sehingga dapat diserap melalui dinding usus halus (Almatsier 2002).
Proses pencernaan karbohidrat terjadi dengan cara pemotongan ikatan antar unit penyusunnya secara enzimatik dan dimulai dari mulut (Stipanuk 2000). Makanan yang telah dikunyah akan bercampur dengan ludah yang mengandung enzim a-amilase. Almatsier (2002) menyatakan bahwa a-amilase ini mampu menghidrolisis pati menjadi dekstrin. Stipanuk (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa aktivitas a-amilase ini akan terhenti jika makanan sudah
rnencapai lambung yang memiliki pH rendah, karena untuk aktivitas a-amilase dibutuhkan pH netral. Selanjutnya makanan masuk ke dalam duodenum dan di sini terjadi komplementasi antara a-amilase dari ludah (salivary a-amilase) dan a-amilase pankreas (pancreatic a-amilase) dalam rnelanjutkan pemotongan pati. Enzirn a-amilase dari pankreas mampu mencerna pati menjadi dekstrin dan maltosa (Almatsier 2002). Enzim a-amilase ini hanya mampu memotong ikatan a-1.4 raGai lurus dari glukosil polisakarida (amilosa).
Sedangkan dalam
makanan justru lebih banyak dijumpai pati dengan ikatan a-1.6 yang bercabang (amjlopektin) yang merupakan 80 persen dari polisakarida makanan. Produk hasill hidrolisis a-amilase yang berupa oligosakarida dan disakarida selanjutnya dipecah oleh oligosakaridase dan disakaridase.
Oligosakaridase akan
mengkatalisis pemotongan akhir oligosakarida dalam makanan (Stipanuk 2000). Penyelesaian pencernaan karbohidrat dilakukan oleh enzim-enzirn disakaridase yang diproduksi oleh sel-sel mukosa usus halus berupa maltase, sukrase dan laktase.
Maltase mengkatalisis pemotongan maltosa menjadi
glukosa, sukrase mengkatalisis pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa, dan laktase mengkatalisis pemecahan taktosa menjadi glukosa dan galaktosa (Tortora & Anagnostakos 1990). Ketiga jenis monosakarida, yaitu glukosa, fruktosa, dan galaktosa diabsorpsi melalui sel epitel usus halus dan diangkut oleh sistem sirkulasi darah melalui vena porta ke dalam hati. Di dalam hati, fruktosa dan galaktosa diubah menjadi glukosa. Dengan demikian, pada akhirnya semua disakarida diubah menjadi glukosa (Tortora & Anagnostakos 1990). Pemanfaatan glukosa yang telah diabsorpsi tergantung pada energi yang dibutuhkan oleh sel (Tortora & Anagnostakos 1990). Jika sel memerlukan energi segera, maka glukosa akan dioksidasi oleh sel. Sedangkan jika glukosa tidak diperlukan segera, maka glukosa akan dikelola melalui beberapa cara. Pertama, hati dapat mengkonversi kelebihan glukosa menjadi glikcgen (glikogenesis) dan kemudian menyimpannya di hali dan atau otot. Kemudian jika sel memerlukan energi lebih banyak, maka glikogen dapat dikonversi kernbali menjadi glukosa, kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga glukosa dapat diangkut ke
datam sel untuk dioksidasi.
Kedua, jika area penyimpanan glikogen penuh,
maka sel-sel hati dan sebsel lemak dapat mengubah glukosa menjadi lemak
yang dapat disimpan dalam jaringan adiposa. Ketiga, kelebihan glukosa dapat diekskresikan melalui urin. Secara normal, ha1 ini hanya terjadi jika makanan terutama mengandung karbohidrat dan tidak ada lemak yang dimakan. Tanpa efek penghambatan dari lemak, lambung akan mengosongkan
isinya secara cepat dan karbohidrat seluruhnya dicerna pada saat yang bersamaan. Dengan demikian, akan diperoleh sejumlah besar monosakarida
yang secara tiba-tiba berada pada aliran darah. Jika hati tidak mampu untuk memproses semuanya secara simultan, maka kadar glukosa darah akan meningkat'{~ortora8 Anagnostakos 1990). Hiperglikemia dapat merangsang pembentukan glikogen dari glukosa, sintesis asam lemak dan kolesterol dari glukosa. Kadar glukosa darah yang lebih tinggi dapat menimbulkan glikosuria yang terjadi setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat tinggi. Glikosuria ini terjadi karena
adanya defisiensi insulin yang dapat meningkatkan penyimpanan glukosa, asam lemak dan asam amino (Tortora & Anagnostakos 1990). Glukosa darah yang melebihi kadarnya, yaitu ketika karbohidrat dan zat gizi lain lain sebagai asupan kalori melebihi kebutuhan energi tubuh serta kapasitas penyimpanan glikogen otot dan hati, maka glukosa dapat dishpan
sebagai lemak di dalam jaringan adiposa. Selain itu, jika jumlahnya berlebihan dapat dikeluarkan dalam urin (Tortora & Anagnostakos 1990). Untuk mencegah hiperglikemia, maka kadar glukasa sesudah makan (post-pandria) diusahakan + 10 gramljam. Hampir semua glukosa yang didapat oleh tubuh harus diubah dulu
menjadi glikogen dan disimpan dalam hati dan otot (Flatt 1995). Peningkatan glukosa dalam plasma darah bisa tetap terjadi meskipun penderita hiperglikemia tidak makan apa-apa, karena proses pemecahan karbohidrat masih terus berlangsung. Keadaan abnormal ini mengakibatkan hipoglikemia yaitu bila glukosa darah berada pada 60 mgldL. Hipoglikemia dapat dibagi menjadi dua, yakni hip0 selama puasa dan hip0 setelah makan (post-
pandria). Hipoglikemia selama puasa bersifat lebih serius, karena penyebabnya bisa karena penyakit tertentu yang menyerang hati, pembesaran neoplasms, insulinomas, atau gangguan metabolisme karbohidrat yang bersifat bawaan. Gangguan metabolisme karbohidrat lazim terjadi pada anak-anak, misalnya gangguan terhadap penyimpanan glikogen (Wise 1990).
Hubungan anbra Zat Gizi dengan Fungsi Sistem Saraf Pusat, Kecerdasan dan Daya lngat Defisiensi rat gizi esensial dapat mengganggu fungsi dan perkembangan
sistem saraf pusat (SSP). Manifestasi gangguan fungsi otak dapat diakibatkan
oleh defisiensi zat gizi dan paparan terhadap racun-racun lingkungan dalam
waktu yang lama (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Namun demikian, bukti baru menunjukkan bahwa kekurangan zat gizi dalam jangka pendek juga dapat mempengaruhi fungsi otak. Dengan demikian, perubahan ketersediaan rat gizi dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi sintesis nebrotranstniter dan aktivitas dalam SSP (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
Diperkirakan ada sekitar 30-40 substansi yang dapat berperan sebagai neurotransmiter pada SSP mamalia. Substansi tersebut secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu asam amino-asam amino, seperti glisin, glutamin, dan aspartat; peptida-peptida, seperti kolesistokinin; dan monoamin-monoamin, seperti asetilkolin, dopamin, norepineprin, dan serotonin (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sintesis neurotransmiter di dalam neuron antara lain adalah keberadaan prekursor dan enzim-enzim.
Prekursor tersebut tidak dapat disintesis oleh otak, sehingga harus diperoleh dari sirkulasi darah.
Kadar prekursor dalam plasma secara normal adalah
beduktuasi sebagai fungsi dari konsumsi makanan.
Pada kondisi yang
memadai, peningkatan konsumsi makanan yang mengandung prekursor akan menstimulasi pernbentukan neurotransmiter. Selain itu, laju prekursor memasuki otak adalah bervariasi sesuai dengan konsentrasinya di dalam plasma (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
Selain prekursor, keberadaan enzim juga berpengaruh terhadap laju sintesis neurotransmiter. Enzim-enzim ini digunakan untuk mentransformasi prekursor menjadi neurotransmiter. Dengan demikian, enzirn-enzim tersebut haruslah bersifat tidak jenuh, sehingga ketika tersedia prekursor lebih banyak
maka enzim-enzim neurotransmiter.
ini dengan segera
dapat
mengakselerasi sintesis
Kecuali tidak jenuh, enzim-enzim tersebut harus tidak
dimodifikasi oleh pengharnbatan balik yang dapat menurunkan aktivitasnya setelah kadar neurotransmiter meningkat (Growden 1979). Lipid
Kolin merupakan komponen penting untuk rnensintesis neurotransmiter asetilkolin (Ach). Kolin dapat diperoleh dari dua surnber, yaitu dari rnakanan dan dapat disintesis di dalam hati. Kolin, sebagai konstituen dari fosfolipid lesitin (fosfatidil kolin) terdapat dalam berbagai makanan, seperti telur, ikan, hati, kecambah gandum, dan kacang tanah. tesitin sering ditambahkan pada produk olahan makanan yang berfungsi sebagai agen ernulsi dan antioksidan. Lesitin makanan atau dalam suplemen diabsorpsi dalam mukosa usus dimana lesitin
dengan cepat dihidrolisis menjadi kolin bebas. Lesitin yang tidak dihidrolisis #
memasuki aliran darah dan diangkut ke sirkulasi limfatik, dimana lesitin tersebut dipecah dengan lebih lambat menjadi kolin. .Neurotransmiter asetilkolin disintesis dari kolin dan asetil koenzim A. Kolin memasuki otak melalui sistem transpor yang memungkinkan untuk melewati blood-brain barrier.
Di dalam otak, kolin diambil oleh neuron dan
dengan
adanya enzirn kolin asetikransferase (CAT) ion asetat ditransfer dari asetil koenzim A ke molekul kolin, sehingga dihasilkan satu molekul Ach dan satu koenzim A (Gambar 4).
Kolin Asetittransferase (CAT) b Asetilkotin + KOA
Asetil KoA + Kolin
Gambar 4 Sintesis neurotransmiter asetilkolin (Kanarek & Marks-Kaufman 1991) Konsumsi makanan yang mengandung kolin atau lesitin dalam jumlah yang banyak menyebabkan peningkatan kadar kolin plasma dan lebih lanjut
berakibat pada peningkatan kadar kolin dalam otak. Oleh karena itu, dengan tersedianya enrim CAT, maka akan menstimulir sintesis Ach (Growden 1979; Fernstrom 1981; Wurtman, Hefti & Melamed 7981; Wurtman 1987; Wecker
1990). Asam Amino
Tahap pertama daiam sintesis neurotransmiter serotonin (juga disebut 5hidroksitriptamin atau 5-HT) adalah uptake asam amino triptofan dari darah ke
dalam otak (Gambar 5).
Di dalam otak, triptofan masuk ke datam neuron
dimana triptofan dikonversi menjadi 5-hidroksitriptofan (5-HTP) pada reaksi yang dikatalisis oleh enzim triptofan hidroksilase. Kemudian, 5-HTP dikonversi menjadi serotonin pada reaksi yang dikontrol oleh entim 5-HTP dekarboksilase.
Triptofan
1 1 1
Triptofan-hidroksilase
5-Hidroksitriptofan (5-HTP) 5-HTP dekarboksilase
Serotonin (5-Hidroksitriptamin15-HT) Monoamin oksidase
Asam 5-hidroksjindolasetat
Garnbar 5 Sintesis neurotransmiter serotonin (Kanarek 8 Marks-Kaufman 1991).
Tahap penghambatan laju dalam pembentukan 5-HT adalah hidroksilasi triptofan rnenjadi 5-FITP. Triptofan hidroksilase adalah tidak jenuh pada konsentrasi triptofan yang secara normal ditemukan dalam otak, sehingga kadar triptofan otak rnernpengaruhi laju sintesis 5-HT. Studi pada binatang percobaan di Massachusetts Institute of Technology
(MIT) pada awal tahun 1970-an menunjukkan bahwa kadar triptofan otak, dan selanjutnya sintesis 5-HT, adalah bervariasi sebagai fungsi dari kadar triptofan plasma. Pemberian triptofan periferal menyebabkan percepatan peningkatan kadar triptofan dan 5-HT dalam otak (Fernstrom & Wurtman 1971). Sejak diketahuinya bahwa peningkatan kadar triptofan plasma dapat meningkatkan kadar triptofan otak dan memacu sintesis 5HT, maka peneliti pada MlT menduga bahwa hasil serupa akan terjadi mengikuti konsurnsi
makanan yang tinggi protein yang secara atamiah mengandung triptofan. Namun demikian, dugaan tersebut tidak terbukti. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian pada tikus yang puasa dan diberi makanan yang mengandung banyak protein ternyata kadar triptofan dan 5-HT otaknya ditekan meskipun kadar triptofan plasmanya meningkat.
Paradoks ini timbul karena triptofan relatif
jarang terdapat dalam protein dibandingkan dengan asam amino netral besar lainnya (LNAAs : valin, tirosin, leusin, isoleusin, dan fenilalanin) (Gambar 6).
tTr ipt an
plasma Triptofan Protein
LNM
+
t
Triptofan otak
+
Gambar 6 Pengaruh konsumsi protein terhadap kadar serotonin otak (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Triptofan dan LNAAs lainnya berbagi mekanisme transpor umum untuk melewati
blod-brain
barrier.
Setelah
mengkonsumsi
makanan
yang
mengandung protein tinggi, kadar LNAAs lainnya dalam plasma meningkat lebih
besar daripada kadar triptofan plasma. Dengan demikian, makanan berprotein
tinggi memberikan L
W lain keuntungan kompetitif untuk masuk ke dalam
otak
Penelitian berikutnya ternyata memberikan hasil yang berlawanan dengan penelitian sebelumnya terhadap makanan y ang berprotein tinggi. Makanan yang mengandung banyak karbahidrat (bebas protein) meningkatkan kadar triptofan dan 5-HT otak.
Kadar triptofan dan 5-HT otak meningkat pada binatang yang
puasa karena konsumsi karbohidrat dapat menstimulasi sekresi insulin. Insulin menurunkan kadar LNAAs plasma melalui stimulasi uptake-nya ke dalam otot. Ada satu perkecualian, yaitu triptofan tetap bertahan di dalam plasma. Sebagai akibat dari perubahan yang dipicu oleh insulin tersebut, rasio triptofan terhadap
LNAAs lainnya dalam plasma adalah meningkat dengan pesat, sehingga lebih banyak triptofan yang masuk ke dalarn otak untuk dikonversi menjadi 5-HT
(Gambar 7). Sejumlah kecil protein yang berkuaritas tinggi, seperti kasein pada
makanan dapat memblok pengaruh karbohidrat terhadap kadar triptofan otak (Yokogoshi & Wurtman 7986). Lebih lanjut ditunjukkan bahwa pengaruh makanan yang banyak mengandung karbohidrat terhadap peningkatan kadar triptofan otak juga ditentukan oteh keberadaan makanan lain di dalam lambung. Sebagai contoh, apabila protein di dalam lambung terdapat dalam jumlah yang cukup maka pengaruh karbohidrat terhadap kadar triptofan dan 5-HT otak dapat dikurangi.
Triptofan Triptofan Karbohidra LNAA
I)
~ r i ~ t a f ofak an
+
t
5-HT otak
LNAAs lain
Gambar 7 Pengaruh konsumsi karbohidrat terhadap kadar serotonin otak (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Penemuan tersebut menunjukkan bahwa kadar triptofan dan 5-HT otak
lebih ditentukan oleh rasio konsentrasi antara triptofan dengan konsentrasi LNAAs lainnya dalam plasma daripada kadar absolut triptofan plasma. Dengan
demikian, apabila kadar triptofan plasma meningkat tapi LNAAs lainnya juga
meningkat, maka triptofan dan 5-HT otak akan menurun.
Oleh karena itu, jika
kadar triptofan dan L N M s lainnya dalarn darah meningkat secara ekivalen, maka tidak akan terjadi perubahan pada triptofan dan 5-HT otak (Fernstrom &
Wurtman 1971; Fernstrom & Wurtrnan 1974; Fernstrom 1986; Wurtman 1987).
Vitamin Vitamin merupakan senyawa organik yang esensial untuk metabolisme tat
gizi lain dan rnemelihara berbagai fungsi fisiologis. Fungsi utama dari berbagai vitamin adalah katalitik. Vitamin-vitamin tersebut sering berperan sebagai koenzim yang memfasilitasi aksi enzim yang terlibat di dalam reaksi-reaksi metabolik. Sejurnlah vitamin juga mempunyai peranan penting di dalam mendukung berfungsinya sistem syaraf pusat dan perkembangan manusia.
Vitamin ini rneliputi-tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, dan asam folat (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
Gejala ketidakcukupan konsumsi tiamin (vitamin B1) adalah penyakit beriberi. Ada dua jenis beri-beri, yaitu beri-beri basah dan kering. Beri-kri basah khususnya dikaitkan dengan defisiensi tiamin yang berat dan umumnya konsumsi karbohidrat yang banyak dan tingginya aktivitas fisik. Sedangkan beriberi kering yang dikaitkan dengan malnutrisi dan rendahnya aktifitas terutama berpengaruh terhadap sistem syaraf. Gejala klinis awal dari beri-beri kering adalah menurunnya inisiatif, meningkatnya iritabiiitas, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kelelahan, dan depresi (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Lebih
lanjut
dinyatakan
tentang
hasil
studi
ekperimental
yang
menunjukkan bahwa tiamin berperan penting untuk fungsi neurotransmitter
secara normal. Defisiensi tiamin menyebabkan pengurangan turnover dari asetilkolin behingga mengganggu fungsi kolinergik neuron. Rusaknya sistem kolinergik sentral ditunjukkan oleh terganggunya berbagai bentuk koordinasi motor binatang yang defisien tiamin (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Konsentrasi tiga macam asam amino neurotransmitter, yaitu asam gamaamino butirat (GABA), glutamat, dan aspartat adalah berkurang pada tikus yang defisien tiamin. Selain itu, defisiensi tiamin juga mengurangi metabolisme serotonin di dalam sistem saraf pusat (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Niasin (vitamin 83) merupakan bentuk umum dari asam nikotinat dan nikotinamid. Niasin diperlukan oleh semua sel hidup. Vitamin ini merupakan komponen dari koenzim nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) dan nikotinarnid
adenin dinukleotida fosfat (NADP). NAD berperan penting bagi metabolisme
lernak, karbohidrat dan asam amino. Sedangkan NADP berperan penting di dalarn sintesis lemak dan steroid (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
Defisiensi niasin yang berat (dan kronik) menyebabkan terganggunya fungsi sistern saraf.
Manifestasi awal dari abnormalitas sistem saraf pusat
adalah iritabilitas, sulit tidur, pusing, kehilangan memori, kebingungan dan pertanda ketidaksabilan emosi (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Hasil percobaan terhadap binatang menunjukkan bahwa defisiensi niasin dikaitkan dengan penurunan kadar NAD dan NADP di dalam otak. Pengurangan koenzim tersebut adalah kritis bagi metabolisme zat gizi secara normal dan ha1 ini berpengaruh terhadap terganggunya fungsi sistem saraf (Lipton, Mailman 8
Nemeroff 1979). Piridoksin (vitamin B6) merupakan kelornpok dari tiga senyawa yang terkait, yaitu piridoksin, piridoksal, dan piridoksamin. Bentuk aktif dari vitamin ini adalah koenzim piridoksal fosfat (PLP) yang dapat dibentuk dari ketiga senyawa tersebut (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
PLP merupakan koenzim bagi sejumlah besar sistem enzim, mayoritas terlibat dalarn metabolisme protein. PLP berperan pada proses transminasi, deaminasi, dekarboklisasi, dan konversi asam amino triptofan menjadi niasin.
Proses yang berkaitan dengan berfungsinya sistem saraf adalah dekarboksilasi. Dekarboksilasi merupakan pelepasan grup karboksil (COOH) dari asam amino
dan
merupakan tahapan
yang
penting
di
dalam
sintesis
beberapa
neurotransmitter, termasuk GABA, serotonin, norepineprin, dan histamin (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Defisiensi piridoksin dikaitkan dengan sejurnlah besar abnormalitas di dalam met*abolisme asam amino dan protein. Pada bayi bersifat lebih sensitif terhadap defisiensi vitamin B6 daripada orang dewasa. Bayi yang diberi formula dengan kandungan vitamin B6 yang tidak memadai dapat lahir normal dan
kesehatannya baik sampai usia 8-16 rninggu, namun tiba-tiba rnenunjukkan iritabilitas saraf dan convulsive seizures. Salah satu bentuk konsekuensi dari defisiensi vitamin B6 adalah lebih rendahnya jumlah neurotransmitter, termasuk serotonin. Penurunan kadar serotonin di dalarn sistem saraf pusat diimplikasikan sebagai penyebab depresi (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
Kobalamin (Vitamin 012) dapat disimpan di dalam tubuh sehingga perkembangan defisiensinya relatif lambat. Oleh karena itu, membutuhkan waktu
bertahun-tahun pada orang dewasa untuk mengalami defisiensi vitamin tersebut. Sedangkan pada anak-anak, defisiensi vitamin 812 dapat terjadi 2-3 tahun setelah diet vegetarian dengan ketat karena mereka tidak mempunyai simpanan vitamin B12 (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Vitamin 812 terlibat di dalam sintesis DNA dan berperan penting dalam pertumbuhan yang normal, metabolisme karbohidrat dan lipid, pembentukan darah yang normal, dan berfungsinya sistem saraf dengan baik (Food and
Nutrition Board 1989). Hasil penelitian tindenbaum et al. (1988) terhadap 141 pasien yang defisiensi vitamin 812 menunjukkan adanya abnormalitas neuropsikiatrik tanpa anemia. lndikasi dari kerusakan dari sistem saraf pusat adalah adanya bukti bahwa sejumlah pasien kehilangan memori, halusinasi, dan perubahan personalitas atau mood (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Folasin merupakan istilah yang digunakan bagi asam folat dan senyawa kimia lainnya yang memiliki keaktifan asam folat. Asam folat dapat diubah menjadi folasin (asam folinat). Asam folinat merupakan koenzim beberapa sistem enzirn. Peranan utama dari asam folinat antara lain adalah biosintesis dan pemindahan satu satuan karbon seperti gugus metil. Aksi asam folinat banyak berkaitan dengan aksi vitamin B12. Asam folat juga terlibat dalam proses oksidasi fenilalanin menjadi tirosin (Winarno 1988).
Asam folat dapat
mempengaruhi perkembangan fungsi neuropsikologis dan gejala dari affective
disorder. Mineral Mineral sangat vital di dalam fungsi normal dari sistem saraf. Perambatan impuls saraf sepanjang benang saraf tergantung pada keberadaan natrium dan kalium. Sgdangkan kalsium berperan dalam pelepasan neurotransmitter. Mineral yang penting bagi fungsi normal dari sistem saraf adalah zat besi, seng, dan iodium (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). f a t besi terutama berperan di dalam memfasilitasi transfer oksigen dan karbondioksida dari satu jaringan ke jaringan lainnya. Selain itu, zat besi juga
rnerupakan komponen struktural atau kofaktor dari sejumlah enzim yang esensial dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, serta sintesis dan degradasi neurotransmitter (Hallberg 1984; Fairbanks & Beutler 1988; Burton & Foster 1988; Guthrie 1989).
Defisiensi zat besi dapat mengganggu fungsi sistem saraf pusat. Zat besi ini rnerupakan kofaktor bagi enzim tirosin hidroksilase dan triptofan hidroksilase yang penting bagi sintesis neurotransmitter dopamine, norepineprin, dan serotonin (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Meskipun defisiensi zat besi brpengaruh terhadap sintesis dan pemecahan neurotransmitter, namun efek yang paling utama adalah pada pengikatan senyawa tersebut pada sisi reseptor
postsynaptic. Hasil percobaan pada tikus menunjukkan bahwa defisiensi zat besi dikaitkan dengan pengurangan sisi pengikatan reseptor dopamine maupun serotonin (Tucker & Sandstead 1982; Youdim, Yehuda, Ben-Shachar & Ashkenazi f982; Dallman 1986). Dengan demikian, jelas bahwa defisiensi zat
besi dikaitkan dengan defisit dalam fungsi otak dan perilaku kognitif.
Seng adalah esensial bagi semua organisme hidup. Pada manusia, seng merupakan komponen dari sejumlah besar enzim yang rnengkatalisis reaksi rnetabolik vital. Enzim-enzim tersebut memfasilitasi sintesis DNA dan RNA sehingga berpartisipasi dalam metabolisme protein. Seng juga esensial bagi perkembangan manusia (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Defisiensi seng yang parah dapat berakibat pada gangguan pertumbuhan dan hypogonadism (Prasad 1981). Selain itu juga terjadi keterlambatan pematangan seksual, anemia, dermatitis, terganggunya fungsi hati, anoreksia, serta abnormalitas neomsensory. Defisiensi seng dicirikan oleh iritabilitas, gangguan emosi, tremors, dan kadang-kadang cerebellar ataxia dengan problem kontrol keseimbangan dan motor. Komplikasi neurosensory terrnasuk adaptasi
abnormal terhadap kegelapan dan problem visual lainnya (Kanarek & MarksKaufman 1991). lodium merupakan kornponen hormon tiroid, yaitu triiodotironin (T,) dan 0
tetra iodotironin (T4 atau tiroksin) yang mengatur laju oksidasi di dalam sel sehingga mempengaruhi perkembangan fisiologis dan mental, fungsi dari saraf dan jaringan otot, serta metabolisme energi. lodium khususnya penting selama
perkembangan janin dan kritis bagi pematangan sistem saraf pusat yang normal (Robinson & Lawler 1982; Burton & Foster 1988; Stanburry 1988). Kekurangan iodium prenatal dan postnatal dapat sangat mengganggu prduksi hormonhormon tiroid yang esensial bagi perkembangan otak yang normal (Stanburry
1977; Hetzel, Chavedej & Potter 1988). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa zat
giri berperan penting
pada
perkembangan otak yang normal. Faktor-faktor zat gizi dapat mempengaruhi
perkembangan otak dengan cara rnernodifikasi jumlah neuron, ukuran neuron, posisi neuron dalam sistem saraf pusat, perkembangan dendrit dan akson, perkembangan synaptic connections, produksi neurotransrniter, perkembangan sel-sel glial, dan myelinasi akson (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
Pada manusia, periode pertumbuhan otak paling cepat merupakan saat paling rentan terhadap malnutrisi. Hal ini terjadi pada akhir masa keharnilan dan beberapa bulan awal dari kehidupan bayi setelah tahir (Dobbing 1976). Malnutrisi selama kehamilan dan dua tahun awal kehidupan bayi dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen.
Penemuan Winnick dan
Rosso (1969) menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang nyata pada berat otak, protein total, serta kandungan DNA dan RNA total pada bayi yang rneninggal akibat marasmus selama tahun pertama kehidupannya (Kanarek 8 Marks-Kaufman 1991). Pada bayi yang
berat
lahimya rendah, yang
mengindikasikan malnutrisi pada saat prenatal, mempunyai kandungan DNA otak yang iebih rendah daripada bayi yang kekurangan gizi namun dengan berat waktu lahir lebih tinggi. Pengurangan DNA mengindikasikan penurunan jumlah neuron dan gliat.
Malnutrisi dini pada manusia dikaitkan dengan gangguan
myelinasi pada sistem saraf pusat (Winnick 1976).
Hasil penelitian Nowak dan Munro (1977) menunjukkan bahwa malnutrisi pada saat postnatal umumnya tidak berkaitan dengan pengurangan jumfah neuron, tetapi lebih pada jumlah sel-set gliat yang mungkin berkurang secara permanen. Dampak utama dari malnutrisi postnatal adalah pengurangan ukuran neuron dan sel-sel glial. Selain itu, proses sinaptogenesis dan myelinasi akson juga terhambat.
Dampak malnutrisi postnatal ini sebagian dapat diputihkan
dengan cara pernberian diet yang memadai (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). ?e;kembangan
anak-anak yang kekurangan gizi secara nyata adalah
terhambat. Secara umum, ha1 yang paling terpengaruh akibat malnutrisi adalah perkembangan bahasa atau verbal (Guthrie, Masangkay & Guthrie 1976; Cravioto 1979). Hasil penelitian Grantham-McGregor st
at. (1978) menunjukkan
bahwa terhambatnya perkembangan adalah lebih parah terjadi pada anak yang dirawat di rumah sakit akibat kekurangan gizi daripada akibat sakit lainnya. Berdasarkan hasil berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa efek dari malnutrisi dapat dianggap sebagai faktor pembatas dari interaksi anak dengan lingkungan fisik dan sosialnya.
Kendala ini dapat berpengaruh pada fungsi
intelektual dan perilakunya di kemudian hari (Kanarek & Marks-Kaufman 1991).
Pengaruh jangka panjang akibat malnutrisi dini dari mayoritas studi adalah terganggunya perhatian dan ingatan sesaatnya. Selain itu, juga terjadi deftsit IQ dan prestasi sekolah (Richardson, Birch, Grabie & Yoder 1972; Pollitt & Thomson 1977).
Selain itu, hasil penelitian Pollit (2000) menyatakan bahwa
defisiensi zat besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ), dan prestasi belajar anak di sekolah. Dengan pemberian zat besi, nilai kognitif tersebut akan naik secara nyata. Hasil penelitian terhadap
anak balita dan anak sekolah disimpulkan bahwa penderita anemia gizi besi akan mengalami gangguan intelektual, seperti kemampuan verbal, mengingat, berkonsentrasi, berfikir analog dan sistematis serta prestasi belajar yang rendah. Sedangkan hasil studi intervensi yang dilakukan oleh Rush (1984) menunjukkan bahwa suplementasi gizi dapat meningkatkan aktivitas dan waktu untuk memperhatikan. Namun demikian,
suplementasi tersebut hanya sedikit
pengaruhnya jika tanpa dibarengi dengan stimulasi kognitif. Penemuan tersebut mengindikasikan bahwa defisit perilaku yang berkaitan dengan matnutrisi bukan merupakan akibat dari kekurangan protein atau energi semata, tetapi metwpakan
konsekuensi dari kombinasi terganggunya ketersediaan gizi, sosial, intelektual, dan emosional. Prevalensi anemia gizi besi yang tertinggi adalah pada anak baljta karena kebutuhan pertumbuhan, pada perempuan dewasa akibat kehilangan ketika menstruasi dan melahirkan (CDC 1998), serta pada bayi dan anak pra-sekolah. Anemia besi dapat memperlambat perkembangan dan gangguan perilaku,
seperti aktivitas motorik, interaksi sosial dan perhatian (Idjradinata 8 Pollit 1993). Anak sekolah yang mengalami anemia akan mempengaruhi aktifitas belajar dan selanjutnya akan berdampak pada rendahnya prestasi belajar (Stoltzfus, Albonico, iielsch, Hababn & Chwaye 1997).
Bsberapa studi rnenunjukkan
bahwa anak yang mengalami anemia ketika bayi akan memiliki kemampuan kognjtif dan prestasi sekolah yang rendah, serta masalah perilaku ketika
memasuki masa pertengahan kanak-kanak (Grantham-McGregor & Ani 2001). Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa kekurangan gizi tidak terjadi secara tunggal, namun merupakan bagian dari struktur sosial yang kompleks,
termasuk kemiskinan, penyakit, dan terbatasnya sistern penyangga yang memadai. Berdasarkan struktur yang kompleks tersebut, maka malnutrisi dapat berpengaruh negatif terhadap perilaku.
Pada anak-anak yang menderita
marasmus atau kwasiorkor dini dapat berpengaruh secara permanen dan nyata
pada pengurangan berat otak, terganggunya myelinasi dan pengurangan proses sinaptogenesis. Gangguan-gangguan tersebut pada sistem saraf pusat lebih lanjut dapat menimbulkan berbagai masatah perilaku, termasuk penurunan kemampuan intelektual, pengurangan waktu untuk memperhatikan, lemahnya ingatan (memory) dan instabilitas emosi. Oleh karena itu, gizi yang memadai bagi seluruh populasi, baik miskin atau tidak miskin, adalah penting untuk
memaksimalkan potensi intelektual (Kanarek & Marks-Kaufman 1991). Sarapan Pagi dan Konsumsi Kudapan dalam Hubungannya dengan Performans Anak Sekolah Sarapan pagi merupakan makanan yang dimakan pada pagi hari sebelum beraktifitas, yang terdiri dari makanan pokok dan lauk pauk atau makanan kudapan. Jumlah yang dimakan adalah sekitar sepertiga dari makanan sehari.
Manfaat sarapan pagi, khususnya bagi anak sekolah, adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi, memetihara ketahanan tubuh, agar dapat bekerja atau belajar dengan baik; membantu memusatkan pikiran untuk betajar dan memudahkan penyerapan pelajaran. Sementara dampak yang ditimbutkan jika tidak sarapan pagi adalah badan terasa lemah karena kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk tenaga; tidak dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan pagi had dengan baik,
anak sekolah tidak dapat berpikir dengan baik dan malas,
serta orang dewasa akan rendah produktivitas kerjanya (Anonim 2004a). Pada tahun 1990, studi yang dilakukan oteh Carnegie Foundation di Amerika Serikat rnenyebutkan bahwa lebih dari setengah hasil survai guru
melaporkan adanya masalah kurang gizi pada murid-muridnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang tidak sarapan pagi sulit berkonsentrasi di sekolah dhn gelisah menjelang siang. Studi lain yang dilakukan oteh Universitas
Tufts menemukan bahwa anak sekolah yang sarapan pagi rnemiliki performans yang lebih baik pada test yang dilakukan dan lebih jarang terlambat atau absen dibandingkan anak yang tidak sarapan pagi. Berbagai studi pada anak usia sekolah menunjukkan bahwa konsumsi sarapan yang bergizi berdampak pada
peningkatan atensi pada tugas-tugas menjelang siang hari, penerimaan kembali
informasi yang lebih cepat dan lebih akurat, lebih sedikit melakukan kesalahan pada aktivitas pemecahan masalah serta konsentrasi yang lebih baik dan lebih mampu melakukan tugas-tugas yang rumit (Anonim 2003~).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sarapan pagi pada anak sekolah dapat meningkatkan performans kognitif anak.
Peningkatan performans
tersebut antara lain adalah anak yang sarapan sebelum berangkat sekolah menunjukkan peningkatan pada skor matematika dan membaca; anak yang sarapan pagi lebih sering meningkat nlai matematikanya, anak yang sarapan
dengan menu makanan lengkap (meal) dibandingkan dengan yang tidak lengkap melakukan lebih sedikit kesalahan serta bekerja dengan lebih cepat pada test matematika dan nomor. Selain itu, sekolah yang menyediakan sarapan pagi untuk semua muridnya di kelas menunjukkan peningkatan skor test pada anak-
anak yang sarapan pagi di sekolah. Hal ini berarti bahwa waktu sarapan yang lebih dekat dengan waktu masuk sekolah dan test yang diberikan, menyebabkan
performans yang lebih baik pada test yang diberikan dibandingkan anak yang tidak sarapan atau makan di rumah, serta pemberian sarapan pada anak yang
kurang gizi moderat di sekolah mampu memperbaiki kecepatan dan memori mereka datam test kognitif yang dilakukan (Food Research and Actjon Center 2000). Secara ideal, sarapan harus mencukupi 114 sampai 113 dari kecukupan gizi hariannya (Anonim 2004a; Viltavieja et al. 1987; Depkes 1995). Namun ha1 ini sering tidak terpenuhi akibat tidak sarapan atau makan yang terburu-buru. Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya anak dibangunkan lebjh pagi sehingga memiliki cukup waktu untuk makan pagi. Makan siang juga sering menjadi
masalah karena malas membawa bekal sehingga rnembeli jajan di sekolah yang seringkali tidak tepat pemilihannya atau bahkan
tidak rnakan siang.
Agar
makan sjang tidak terlewat, maka sebaiknya anak diberi bekal yang memenuhi syarat gizi dan menimbulkan selera serta mudah dirnakan. Hal lain yang perlu I
diperhatikan adalah variasi makanan (Anonim 2004a; Villavieja et a/. 1987). Makan pagi atau sarapan merupakan salah satu waktu makan yang
sangat penting. Saat beristirahat di malam hari tubuh tetap bekerja untuk rnenggerakkan organ-organ tubuh seperti jantung dan paru-paru. Kegiatan ini membutuhkan energi yang diambil dari sumber energi dalam darah sehingga cadangan energi dalam darah menurun dan menimbulkan rasa lapar di pagi hari.
Dengan sarapan, tubuh mendapat energi untuk beraktivitas di hari itu. Sarapan membantu memenuhi kecukupan gizi sehari-hari. Untuk itu hidangan saat sarapan sebaiknya terdiri dari makanan sumber zat tenaga,
sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur (Depkes 1995) dalam jumlah seimbang serta mengandung sekitar sepertiga kecukupan gizi dalam sehari. Sarapan sangat berguna bagi anak sekolah. Dengan sarapan anak sekolah akan memiliki cukup tenaga untuk melakukan aktivitasnya, seperti belajar dan bermain, serta untuk pertumbuhannya (Villavieja et at. fg87). Survei yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa anak sekolah yang makan pagi
akan memiliki sikap dan catatan sekolah yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak makan pagi (Riyadi 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak sekolah yang tidak sarapan, ternyata daya tangkap terhadap pelajarannya tidak sebaik mereka yang melakukan sarapan. Selain itu, anak yang tidak sarapan umumnya kurang kreatif dan agak lamban dalam berpikir. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh
rendahnya kadar glukosa darah. Apabila kadar glukosa darah berada di bawah
normal, maka akan timbul gejala hipoglikernia. Berat ringannya hipoglikemia tergantung pada tingkat seberapa rendah kadar glukosa darahnya (Riyadi 1995). Gejala-gejala hipoglikemia antara lain adalah cepat lelah, mengantuk, dan daya kerja serta konsentrasi berpikir menjadi turun. Dengan demikian, anak-
anak yang tidak sarapan pagi, daya tangkap terhadap pelajarannya pun akan menurun. Energi dari sarapan dianjurkan mencukupi sekitar 20-25 persen dari kebutuhan energi tubuh per hari, dimana untuk anak sekolah dasar berkisar antara 300-400 kkal. Dalam menyusun menu sarapan, perlu diperhatikan kelengkapan gizi yang dikandungnya, terutama karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan sera!. Karbohidrat sangat penting karena zat ini sebagai sumber utama glukosa darah. Setelah karbohidrat dicerna tubuh, dengan cepat kadar glukosa darah akan naik. Namun, karbohidrat tidak bertahan lama, hanya
bisa bertahan sekitar 1-2 jam sajs. Dengan demikian, bila sarapan anak hanya terdiri dari karbohidrat saja, maka anak akan cepat merasa kenyang, tetapi cepat pula merasa lapar (Riyadi 1995). Hal ini akan berbeda bila dalam menu sarapan
dilengkapi pula dengan protein dan lemak yang dapat meningkatkan waktu merasa kenyang, yakni 4 jam atau lebih (Anonim 2003~). Hanya sekitar 50 persen saja protein yang diubah menjadi glukosa darah. Protein menjadi glukosa darah melalui proses yang lebih kompleks dan
memakan waktu lebih lama. Tetapi glukosa darah yang berasal dari protein, dapat bertahan lebih lama, yaitu sampai empat jam. Oleh karena itu, sarapan
perlu dilengkapi dengan protein yang cukup, agar rasa kenyang dapat bertahan lebih lama (Anonim 2 0 0 3 ~ ) .
Selain protein, lemak juga penting dalam sarapan pagi. Selain sebagai
sumber energi, lemak juga merupakan sumber asam lemak esensial, yaitu tinoleat, linolenat, dan arakidonat. Asam-asam lernak esensial ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan anak. Lemak nabati pada umumnya lebih banyak
mengandung asam lemak esensial dibandingkan hewani, kecuali yang berasal dari kelapa. Bahan yang sangat baik dipakai untuk membuat sarapan pagi, antara lain minyak jagung, minyak kedele dan minyak bunga matahari. Fungsi
lain dari lemak adalah sebagai peiarut beberapa vitamin, yaitu vitamin A, D, E dan K. Dengan demikian, sarapan pagi adalah penting dan hams seimbang gizinya. Sarapan harus berpegang pada pola gizi seimbang, yaitu karbohidrat sekitar 60-70 persen, protein 10-15 persen, dan lemak 20-30 persen dari total energi hidangan sarapan (Anonim 2004a). Hasil penelitian Powell, Walker, Chang dan Grantham-McGregor (1998) menunjukkan bahwa anak yang mendapat sarapan memperlihatkan sedikit peningkatan tapi nyata terhadap kehadiran ke sekolah dan status gizi dibandingkan dengan grup kontrol. Pemberian sarapan bagi anak yang lebih muda (kelas 2 dan kelas 3) juga berakibat pada peningkatan kemampuan dalarn aritmatika. Kelompok anak yang mengkonsumsi sarapan akan mengkonsumsi makan siang sekitar 54 kkal lebih rendah daripada kontrol. Hal
ini mencerminkan
terjadinya substitusi (Walker, Powell, Hutchinson, Chang & Grantham-MeGregor 1997). Tetapi penurunan konsumsi makan siang jauh tebih rendah dibandingkan
sarapan, sehingga secara kumulatif terjadi peningkatan konsumsi energi. *
Meskipun peningkatan dalam aritmatika sebagai akibat dari pernberian sarapan cukup kecil, namun peningkatannya mencerminkan sekitar 30 persen
dari ,rata-rata kemajuan tahunan (Powell el al. 7998). Peningkatan dalarn aritmatika mungkin disebabkan oleh terjadinya pemulihan rasa lapar jangka pendek (Simeon & Grantham-McGregor 1989) atau perbaikan status gizi.
Sarapan menyebabkan sedikit peningkatan dalam kehadiran di sekolah dan pada gilirannya a kan memberikan manfaat bagi prestasi belajar ana k (Powell et al. 1998). Anak yang mendapat sarapan bertambah sekitar 0.25 cm tingginya
selama 8 bulan intervensi atau dengan ekstrapolasi sekitar 0.4 cm per tahun
lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat sarapan. Peningkatan dalam berat badan adalah setara 2-3 bulan pertambahan berat
badan pada populasi NCHS sehingga pertambahan berat badan lebih besar dibandingkan dengan tinggi badan dan ha1 ini menyebabkan sedikit peningkatan
Body Mass index (BMI) pada anak yang mendapat sarapan (Powell et al. 1998). Peningkatan status kesehatan dan gizi dapat menyebabkan perbaikan pertumbuhan pada masa anak-anak di kemudian hari (Powell el a/. f998;
Stoltrfus et at. 1997). Lebih lanjut Powell et a/. (1998) menyatakan bahwa pemberian sarapan telah menyebabkan perbaikan status giri. Oleh karenanya, program pemberian makanan sekolah dapat efektif dalam memperbaiki status gizi masyarakat terutama pada daerah dimana kurang gizi merupakan masalah yang serius. Kelompok yang kurang gizi mendapat manfaat yang relatif lebih rendah
dari sarapan dibandingkan dengan kelompok yang bergizi cukup. Penyimpangan ini mungkin disebabkan oleh anak pada penelitian tersebut hanya masuk
kategori kurang gizi yang moderat (sedang). Kemampuan kognisi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi di sekolah. Faktor penting lainnya adalah keluarga dan sekolah (Simmons & Alexander 1978). Anak
kurang gizi yang memiliki prestasi belajar yang kurang berasal dari keluarga yang lebih miskin dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi baik (Powell et
a/. 1998). Hasil penelitian Senton dan Parker (1998) yang pertama menunjukkan
bahwa subyek (mahasiswa) yang puasa
mem butuhkan waktu y ang nyata lebih
lama dalam spatial memory task dan word list recall daripada subyek yang
sarapan. Namun demikian, sarapan tidak mempengaruhi jumlah kesalahan pada I
kedua test tersebut. Pada spatial memon task, koefisien korelasi antara
konsentrasi glukosa darah dan waktu yang dibutuhkan adalah negatif nyata (r=0.48,. p4.004). Dengan demikian semakin tinggi konsentrasi glukosa darah
maka semakin baik pelformansnya. Sedangkan koefisien korelasi antara word list recall performans dan konsentrasi glukosa darah adalah tidak nyata. Jika antara yang puasa dan yang sarapan dipisahkan, maka terdapat hubungan yang
nyata (r=-0.05; p< 0.02) antara konsentrasi glukosa darah dengan waktu yang dibutuhkan untuk spatial memory task pada kelompok yang sarapan juga terdapat hubungan yang nyata (r=-0.45; p< 0.03)antara konsentrasi glukosa darah dan jumlah kesalahan pada spatial memory task. Kecepatan merecall
cenderung lebih berkaitan dengan sarapan dan konsentrasi glukosa darah daripada jumlah item yang direcall dengan benar. Hasil penelitian Benton dan Parker (1998) yang ketiga menunjukkan
bahwa terdapat interaksi yang nyata antara tipe minuman yang dikonsumsi dan apakah subyek sarapan atau tidak (p<0.002). Kelompok yang sarapan dan minum minuman plasebo merecall kata lebih banyak daripada kelompok yang
puasa dan minum minuman plasebo (p<0.01). Pada kelompok yang sarapan, tipe minuman tidak mempengaruhi jumlah kata yang dimall. Kelompok yang
sarapan merecall lebih banyak Wechsler Story (p<0.02) daripada yang puasa.
Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorption) dan penggunaan (utjlizatjon) zat gizi makanan.
Dengan menilai status gizi
seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik buruk status gizinya (Gibson 1990). Menurut Tarwotjo dan Soekirman (1987) status gizi merupakan tandatanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi. Dapat disebutkan pula bahwa status gizi seseorang pada dasarnya merupakan gambaran
kesehatan
sebagai
refleksi
dari
konsumsi
pangan
dan
penggunaannya oleh tubuh.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, yaitu
cara konsumsi makanan, antropometri, biokimia dan klinis. lndikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga dan tingkat ketelitian penelitian
yang dihardpkan serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya. Status Gizi Antropometri
rAntropometri (anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran) menurut Jelliffe (1966) merupakan pengukuran berbagai dimensi dan komposisi tubuh
dari beberapa tingkat umur dan giri. Dimensi tubuh yang dimaksud antara lain adalah berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas (LLA) dan tebal lemak di bawah kulit. lndeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TSIU) dan berat badan menurut tinggi badan (BBITB).
lndeks BBtU adalah
pengukuran total berat badan termasuk air, lemak, tulang dan otot. lndeks tinggi badan menurut umur adalah pertumbuhan linier dan L I A adalah pengukuran terhadap otot, lemak, dan tulang pada area yang diukur. Menurut Riyadi (19951, pengukuran status gizi anak sekolah secara antropometri dapat dilakukan dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TBIU) dan berat badan menurut tinggi badan (BBTTB), dan
indeks gabungan (BBIU, TSlU dan BBTTB).
BBlU merupakan indikator yang paling umum digunakan sejak tahun 1972 dan dianjurkan juga menggunakan indeks TBIU dan BBrr8 untuk membedakan apakah kekurangan gizi tejadi secara kronis atau akut. Keadaan gizi kronis
atau akut berturut-turut dikaitkan masing-masing dengan keadaan gizi pada
masa lalu dan sekarang. Pada keadaan kurang gizi kronis, maka BBiU dan TBlU rendah, tetapi BBlTB normal. Kondisi ini sering disebut dehgan stunting. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertarnbahan umur. Pertumbuhan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama (Riyadi 1995). Penilaian status gizi berdasarkan 2-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan seseorang. Nilai ini menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi
distribusi normal. Penilaian status gizi berdasarkan 2-skor masing-masing individu dihitung berdasarkan hasit pengukuran individu (berat badan ataupun tinggi badan) yang dibandingkan dengan distribusi rujukan WHO-NCHS (Atmarita & Jalal 1991). Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai beberapa keuntungan, yaitu batas ambang yang digunakan untuk I)
masing-masing indeks antropometri adalah sama; hasil pethitungan telah
dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelom,pok umur dan indeks antropometri; dapat digunakan untuk penilaian status
gizi secara darurat guna melihat perbandingan antar waktu, wilayah, kelompok umur dan jenis kelamin; dan dapat mengetahui populasi yang mengalami kekurangan gizi kronis dan akut (stunting dan wasting). 2-skor adatah nilai standarisasi berat dan tinggi badan anak terhadap median berat dan tinggi badan dan standar deviasinya pada masing-masing
umur menurut rujukan baku WHO-NCHS. Nilai 2-skor yang digunakan untuk memantau pertumbuhan dapat berdasarkan BBIU, TB/U dan BBITB (WHO
1995). Rendahnya nilai BBlU dapat digunakan sebagai indikator kekurangan gizi kronik maupun akut, rendahnya nilai TBIU (stunting) sebagai indikator kekurangan gizi kronik dan rendahnya nilai BBrrB (wasting) sering digunakan sebagai indikator kekurangan gizi akut (Gibson 1990). Stunting pada rnasa anak-
anak dapat rnengakibatkan gangguan perkembangan kognitif dan terhambatnya perkembangan mental dan motorik (Pollitt 2000; Hautvast, Tolboom, Kafwembe, Musonda & Mwanakasale 2000).
Beragamnya istilah gizi yang banyak dijumpai di lapangan telah mendorong tertaksananya Diskusi Pakar di bidang gizi yang diselenggarakan
oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) pada tanggal 17-19 Januari 2000 bekej a sama dengan UNICEF-Indonesia dan LIPI. Salah satu agenda diskusi adalah tentang keseragaman istilah status gizi dan baku antropometri yang dipakai. Diskusi pakar telah menyepakati bahwa (Jahari, ~andjaja.Sudiman, Soekirman, Jus1at1Jalal 8 Atmarita 2000) baku antropometri yang digunakan
adatah WHO-NCHS. Status Gizi Biokimia Tahapan perkembangan kekuarangan gizi dapat ditentukan dengan cara biokimia atau laboratorium. Melalui cara tersebut dapat ditentukan status gizi
secara obyektif, yakni bebas dari emosi dan faktor subyektif lainnya (Gibson 1990). Defisiensi zat gizi dalam tubuh biasanya berlangsung secara bertahap. Untuk mengetahui seberapa berat defisiensi
rat gizi tersebut, maka dapat
dilakukan dengan uji biokimia dalam cairan dan jaringan tubuh tertentu. Untuk fungsi kognitif, maka uji biokimia yang umum dilakukan adalah analisis zat besi dalam daratf yang dapat didekati dengan pengukuran kadar hemoglobin (Gibson
1990). Berdasarkan kadar Hb, maka individu dapat dikelompokkan rnenjadi anemia dan normal.
Anemia gizi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yaitu kurang dari 12 gldl (INACG 1985) dan berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Soekirman 2000).
Dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam hemoglobin pada sel-sel darah merah, dan bernama mioglobin apabila berada dalam sel-sel otot.
Hemoglobin berfungsi untuk mengangkut oksigen dari pam-paru ke seluruh sel tubuh dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paw. Sedangkan mioglobin berperan untuk mengangkut dan menyimpan oksigen untuk set-sel otot (Soekirman 2000). Hemoglobin (Hb)merupakan substansi di dalam eritrosit (set darah merah) yang mengandung protein globin dan pigmen rnerah heme yang mengandung zat besi dan rnerupakan 33 persen dari volume sel dan terlibat dalarn transport oksigen (02)dan karbondioksida (C02) (Torlora & Anagnostakos 1990). Pengukuran konsentrasi Hb dalam darah merupakan test screening anemia
akibat defisjensi zat besi yang paling banyak digunakan, karena tat besi merupakan komponen esensial dari molekul Hb. Konsentrasi Hb yang rendah
dikaitkan dengan hypochmrnia, yaitu gambaran karakteristik dari anemia akibat defisiensi zat besi (Gibson 1990).
Hb mengandung protein yang terdiri dari empat rantai polipeptida dan empat komponen nonprotein dalam pigmen merah (heme), masing-masing polipeptida tersebut rnengandung zat besi ( ~ e ' ~ )Masing-masing . zat besi dalam
Hb dapat berikatan dengan molekul oksigen pada saat eritrosit melewati paruparu. Pada tahap ini oksigen diangkut ke jaringan lain dalam tubuh. Di dalam jaringan tersebut reaksi zat besi-oksigen berbalik, sehingga oksigen dibebaskan untuk berdifusi ke dalam sel. Pada perjalanan sebaliknya, globin berkornbinasi dengan karbondioksida. Kompleks ini diangkut ke paw-paru dan di dalam paruparu karbondioksida dibebaskan dan kemudian dikeluarkan dari tubuh (Tortora &
Anagnostakos 1990). Penggunaan Hb sebagai indeks status zat besi memiliki beberapa keterbatasan (Gibson 1990), yaitu ketergantungan terhadap usia, jenis kelamin, dan ras; insensitivitas; spesifisitas; serta faktor-faktor lainnya. Nilai median dari Hb meningkat selama 10 tahun pertama masa anak-anak dan meningkat lebih besar pada saat pubertas. Perbedaan jenis kelamin terlihat pada dekade kedua dari kehidupan dan paling menonjol pada saat dewasa muda ketika konsentrasi Hb rata-rata untuk laki-laki adalah sekitar 2.0g l d l lebih tinggi daripada perempuan. Perbedaan yang terkait dengan jenis kelamin ini berkurang secara gradual dengan meningkatnya usia (Yip, Johnson & Dallman 7984). Berkaitan dengan ras, individu keturunan Afrika memiliki kadar Hb yang
0.3 sampai 1.0 gldL lebih rendah daripada keturunan kulit putih Eropa (Garn, Ryan, Owen & Abraham 1981).
Nilai Hb relatif tidak sensitif dan konsentrasinya baru jatuh jika defisiensi zat besi sudah mencapai tahap tiga. Jadi sangat besar kemungkinan terjadinya
overlap ni!ai Hb antara individu yang normal non anemia dengan individu yang defisiensi zat besi. Rendahnya spesifisitas ditunjukkan oteh nilai Hb rendah yang juga terjadi pada individu yang mengalami infeksi kronik dan peradangan,
hemorrhage, protein-energy malnutrifion, defisiensi vitamin 812 dan kehamilan (INACG 1985). Konsentrasi Mb juga
berubah akibat pengaruh beberapa faktor,
diantaranya kehamilan, variasi diurnal, merokok dan ketinggian. Pada wanita hamil yang cukup konsumsi zat besinya, akan mulai menurun konsentrasi H b nya selama awal trismester pertama dan mencapai titik terendah mendekati
akhir trimester kedua, kemudian meningkat secara gradual selama trimester ketiga (INACG 1985). Nilai Hb cenderung lebih rendah pada malam daripada pagi hari, yaitu sebesar 1.0 g/dL (Gibson 1990). Selain itu, konsentrasi Hb rneningkat pada perokok karena menghirup karbon monoksida sehingga meningkatkan karboksihemoglobin y ang tidak memiliki kapasitas untuk mengangkut oksigen.
Sebagai kompensasinya, kadar Hb akan mengalami peningkatan (INACG 1985). lndividu dewasa yang merokok dikaitkan dengan konsentrasi Hb yang lebih tinggi sebesar 0.3 sampai 0.5 g/dL (Gibson 1990). Pada ketinggian di atas 1000 m, konsentrasi Hb meningkat sebagai
respon adaptif terhadap lebih rendahnya tekanan oksigen dan berkurangnya penjenuhan oksigen dalam darah. Sebagai kompensasi adalah meningkatnya produksi sel-sel darah merah untuk menjamin kecukupan oksigen yang disuplai
ke jaringan (INACG 1985). I
Kekurangan hemoglobin dalam darah dapat mengakibatkan kurangnya
oksigen yang ditransportasi ke sel tubuh maupun otak, sehingga menimbulkan gejala~gejala letih, lesu, dan cepat lelah. Hal ini dapat beraktbat pada menurunnya kebugaran dan prestasi atlit, sedangkan pada anak sekolah dapat menurunkan prestasi belajar dan pada pekerja dapat berakibat pada menurunnya produktivitas kerja sehingga berdampak pada rendahnya tingkat ekonomi (Soekirman 2000). Lebih lanjut, penderita kekurangan zat besi akan mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit infeksi (Oepkes RI 1995).
Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan rat besi. Penyebab terjadinya anemia gizi besi adalah tidak cukupnya zat-zat gizi terutama yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah sehingga tejadi keseimbangan negatif antara
pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh. Selain itu, zat-rat penyerta
yang dapat meningkatkan daya serap, seperti protein dan vitamin C, juga tidak cukup jumlahnya. Husaini (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya anemia,
yaitu kehitangan darah karena
pendarahan, kerusakan sel darah merah dan produksi darah merah yang tidak mencukupi. Pendapat lain (CDC 1998) menyatakan bahwa anemia gizi dapat disebabkan oleh defisiensi zat gizi, infeksi dan pendarahan. Defisiensi zat besi dapat disebabkan oteh konsumsi pangan sumber zat gizi (termasuk
rat besi) yang kurang, baik dalam kuantitas maupun kualitas.
Bioavalaibilitas zat besi dalam bahan pangan tergantung pada sumber pangan
atau bentuk rat besinya.
Besi heme, yang hanya ditemukan pada daging,
unggas dan ikan, lebih mudah diserap dua hingga tiga kali dibanding besi nonheme pada pangan nabati (Finch & Cook 1984). Bioavalaibilitas besi non-heme sangat dipengaruhi jenis pangan lain yang dikonsumsi, yaitu pangan sumber besi heme dan vitamin C yang dapat meningkatkan absorpsinya. Sedangkan polifenol (sayuran tertentu), tanin (dalam teh), fitat (dalam biji-bijian) dan kalsium (dalam produk susu) akan menghambat absorpsi zat besi (Siegenberg 1994). Defisiensi zat besi merupakan defisiensi paling umum terjadi di dunia dan menjadi perhatian utama bagi 15 persen penduduk dunia (Beard & Tobin 2000). Defisiensi besi ditunjukkan mulai dari berkurangnya simpanan zat besi yang tidak menydbabkan gangguan fisiologis, hingga anemia defisiensi zat besi yang mempengaruhi fungsi beberapa sistern organ. Anemia defisiensi besi merupakan bentuk defisiensi yang paling berat, yang dapat menyebabkan berkurangnya
produksi hemoglobin. Selain dengan menggunakan kadar hemoglobin, status anemia dapat ditentukan pula dengan kadar hernatokrit.
Kadar hematokrit akan menurun
hanya jika pembentukan hemoglobin terganggu selama defisiensi rat besi yang berat. Penurunan yang nyata pada kadar hematokrit menyebabkan berbagai tingkat anemia, yakni dari yang ringan sampai dengan yang parah. Anemia yang ringan biasanya ditandai dengan kadar hematokrit y'ang rendah, yakni 35
persen, sedangkan yang parah ditandai dengan kadar hematokrit kurang dari 15 persen. Darah dinyatakan pdycylhemic, apabila kadar hematokrit lebih besar atau sama dengan 65 persen (Tortora & Anagnostakos 1990).
Dengan
demikian, penentuan status anemia berdasarkan kadar hematokrit adalah kurang sensitif jika dibandingkan dengan menggunakan kadar hemoglobin.