TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai merupakan tanaman semusim dengan beragam morfologi. Tinggi tanaman berkisar antara 10-200 cm dapat bercabang sedikit atau banyak tergantung kultivar dan lingkungan hidup. Daun pertama keluar dari buku sebelah atas. Kotiledon pada kedelai berupa daun tunggal berbentuk sederhana dan letaknya berseberangan. Daun kedelai terdiri dari dua bentuk yaitu stadia kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) dan letaknya berselangseling. Batang, polong, dan daun ditumbuhi bulu berwarna abu-abu atau coklat namun terdapat pula tanaman yang tidak berbulu. Bunga kedelai berkelompok dua tergantung tipe tumbuh, kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai.(Hidayat, 1985). Penelitian terdahulu menemukan bahwa varietas kedelai berbiji sedang atau kecil umumnya memiliki kulit berwarna gelap, tingkat permeabilitas rendah, dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi penyimpanan yang kurang optimal dan tahan terhadap deraan cuaca lapang dibanding varietas yang berbiji besar dan berkulit biji terang (Mugnisyah, 1991). Sukarman dan Raharjo (2000) melaporkan bahwa varietas kedelai berbiji kecil dan kulit berwarna gelap lebih toleran terhadap deraan fisik (suhu 42oC dan kelembaban 100%) dibanding varietas berbiji besar dan berkulit terang. Varietas Cikuray (berbiji sedang, kulit berwarna hitam) dan varietas Tidar (berbiji kecil, kulit berwarna kuning) memiliki daya simpan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas Wilis (berbiji sedang, berkulit kuning). Daya tumbuh benih varietas Wilis menurun hingga 60% setelah lima bulan penyimpanan, sedangkan daya berkecambah benih varietas Cikuray dan varietas Tidar masih lebih dari 80% setelah lima bulan penyimpanan.
Vigor Benih, Kemunduran dan Daya Simpan Benih Vigor benih merupakan kemampuan benih untuk mampu tumbuh normal pada kondisi suboptimum. Sadjad (1999) mengkategorikan vigor benih menjadi
dua yaitu vigor kekuatan tumbuh dan vigor daya simpan. Keduanya merupakan parameter viabilitas yang dapat mencerminkan kondisi vigor benih. Menurut Copeland dan Mc Donald (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi vigor benih adalah kondisi lingkungan selama perkembangan benih, kondisi genetik benih, dan lingkungan penyimpanan. Faktor genetik meliputi tingkat kekerasan benih, vigor tanaman induk, daya tahan terhadap kerusakan mekanik, dan komposisi kimia benih. Faktor lingkungan perkembangan benih meliputi kelembaban, kesuburan tanah, dan pemanenan benih. Faktor penyimpanan benih meliputi waktu penyimpanan, dan lingkungan penyimpanan (suhu, kelembaban, dan persediaan oksigen). Benih memiliki vigor jika benih mampu menumbuhkan tanaman normal, meski kondisi alam tidak optimum atau sub optimum. Benih yang vigor akan menghasilkan produk di atas normal kalau ditumbuhkan pada kondisi optimum. Vigor benih yang mencapai tingkatan maksimum saat benih masak fisiologis harus dipertahankan selama proses pemanenan dan proses pengolahan. Benih yang memiliki vigor yang tinggi pada saat masak fisiologis akan memiliki daya simpan yang panjang (Sadjad et al., 1999). Kemunduran benih merupakan proses penurunan mutu secara berangsurangsur dan kumulatif serta tidak dapat balik (irreversible) akibat perubahan fisiologis yang disebabkan oleh faktor dari dalam benih. Proses penuaan atau mundurnya vigor secara fisiologis ditandai dengan penurunan daya berkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penurunan pemunculan kecambah di lapangan (field emergence), terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman, meningkatnya kepekaan terhadap lingkungan yang ekstrim yang akhirnya dapat menurunkan produksi tanaman (Copeland dan McDonald, 2001). Benih bervigor tinggi mempunyai laju kemunduran benih lebih lambat dibanding benih bervigor rendah. Menurut Tatipata (2004) kemunduran benih dapat ditengarai secara biokimia dan fisiologi. Indikasi biokimia kemunduran benih dicirikan antara lain penurunan aktivitas enzim, penurunan cadangan makanan, meningkatnya nilai konduktivitas (daya hantar listrik). Indikasi fisiologi kemunduran benih antara lain penurunan daya berkecambah dan vigor.
Menurut Copeland dan McDonald (2001) gejala kemunduran pada benih dapat dicirikan sebagai berikut: terjadinya perubahan morfologi seperti perubahan warna kulit benih menjadi lebih gelap dan terjadinya nekrosis kotiledon, perubahan ultrastruktural seperti: penggabungan tubuh lemak (lipid bodies) dan plasmalemma, ketidakmampuan benih untuk menahan metabolit seluler yang bocor ketika terjadi imbibisi, kehilangan aktivitas enzim, dan respirasi yang menurun. Menurut Ali et al. (2003) kemunduran benih dapat terjadi ketika benih masih berada di tanaman induk maupun pada saat penyimpanan, laju kemunduran benih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, suhu dan kelembaban (RH). Laju kemunduran pada benih dipengaruhi oleh autoxidasi lipid, degradasi struktur fungsi, ribosom tidak mampu berdisosiasi, degradasi dan inaktivasi enzim, pengaktifan/ pembentukan enzim-enzim hidrolitik, degradasi genetik sebagai penyebab utama ketuaan perubahan sifat kromosom (selaras dengan penuaan), habisnya cadangan makanan, kelaparan sel meristematik dan akumulasi senyawa beracun (Copeland dan McDonald, 2001). Menurut Tatipata (2004) benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 8 dan 10% di dalam kantong plastik polietilen dan kantong aluminium foil dapat mempertahankan mutu yang tetap tinggi selama penyimpanan 6 bulan. Kemunduran yang terjadi pada benih kedelai dicerminkan dengan menurunnya kadar fosfolipid, protein membran, fosfor anorganik mitokondria, aktivitas spesifik suksinat dehidrogenase dan sitokrom oksidase serta laju respirasi.
Klorofil dalam Benih Klorofil merupakan pigmen utama berwarna hijau pada semua makhluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Menurut Gross (1991), klorofil berwarna hijau karena menyerap secara kuat daerah merah dan biru dari spektrum sinar tampak. Klorofil merupakan ester dan larut pada pelarut organik. Klorofil pada benih canola (Brassica campestris)
yang sedang
berkembang berguna dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan ATP dan NADPH, yaitu energi yang dibutuhkan untuk mengkonversi suplai sukrosa dari tanaman menjadi lemak yang berguna dalam sintesis dan penyimpanan minyak dalam benih (Signal et al., 1987; Asokanthan et al., dalam Suhartanto 2003).
Rendahnya kandungan klorofil pada benih diduga berperan penting menunda kemunduran karena klorofil merupakan sumber utama singlet oksigen ( 1O2), yang merupakan agen oksidasi yang sangat kuat (Thomshon et al., dalam Suhartanto 2002). Menurut Suhartanto (2002) rendahnya perkecambahan pada benih yang masih hijau atau belum masak diduga disebabkan oleh kemunduran oksidatif oleh radikal bebas yang akhirnya mengarah pada kematian sel benih. Menurut Wards et al. (1992) kandungan klorofil benih rapeseed (Brassicaa oleraceae) menurun pada saat masak, dan laju penurunan tersebut lebih rendah bila suhu lingkungan rendah. Penelitian pada benih rapeseed menunjukkan penurunan kandungan klorofil pada benih seiring dengan penurunan kadar air benih tersebut. Hasil penelitian Almela et al. (1996) pada cabai varietas Negral menunjukkan bahwa pada saat proses pemasakan buah terjadi perubahan komposisi klorofil. Kandungan klorofil pada buah berwarna hijau dan setengah masak masih tinggi dan pada saat buah mencapai masak fisiologis kandungan klorofil berkurang hanya tinggal sekitar 14%. Berdasarkan penelitian pada benih tomat, Suhartanto (2002) menegaskan bahwa kandungan klorofil menurun seiring dengan bertambahnya tingkat kemasakan benih. Fluoresen klorofil pada seed coat dapat digunakan sebagai metode untuk menentukan kemasakan dan kualitas benih. Hasil penelitian Jalink et al., (1998) menunjukkan kualitas benih Brassica oleraceae meningkat dengan menurunnya fluoresen klorofil pada seed coat, ditunjukkan dengan
persentase daya
berkecambah dan jumlah kecambah normal yang tinggi. Selanjutnya Jalink et al. (1999) melakukan penelitian pada benih tomat dengan metode LIF (Laser Induced Fluorescence) untuk mendeteksi fluoresen dari klorofil. Hasilnya menunjukkan kualitas benih tomat mencapai maksimum ketika fluoresen klorofil minimum. Suhartanto (2002) melaporkan bahwa proses degradasi klorofil pada benih tomat masih terjadi meskipun benih sudah dikeringkan. Benih yang disimpan dalam ruang simpan dengan cahaya merah menurun kandungan klorofilnya, namun bila disimpan di ruang gelap kandungan klorofilnya relatif tetap. Daya simpan benih tomat dalam ruangan dengan cahaya merah lebih baik dibanding di ruang gelap diduga klorofil dari benih dapat menjadi sumber radikal bebas yang dapat mempercepat penurunan viabilitas benih.
Suhartanto (2003) menyimpulkan bahwa klorofil dibutuhkan dalam pembentukan benih, namun sangat tidak diharapkan dalam tahap pemasakan. Kehadiran klorofil dalam tahap pemasakan tampaknya berhubungan erat dengan rendahnya mutu benih, khususnya daya simpan benih. Benih dengan kandungan klorofil tinggi memiliki mutu benih rendah dibanding dengan benih dengan kandungan klorofil rendah. Fluoresen klorofil benih dapat digunakan sebagai indikator masak fisiologis benih. Berkaitan dengan sifat genetik benih, penelitian Suhartanto (2002) menunjukkan benih-benih tomat yang berasal dari turunan varietas liar memiliki kandungan klorofil dan aktivitas fotosintesis yang lebih tinggi dibanding varietas yang telah dibudidayakan. Hal ini merupakan indikasi bahwa kandungan klorofil dan fungsinya mengalami penurunan selama proses domestikasi.
Uji Pengusangan Cepat Terkontrol (Controlled Deterioration) Uji pengusangan cepat merupakan salah satu uji vigor daya simpan benih. Uji ini tergolong dalam metode uji vigor benih dengan lingkungan sub optimum, tetapi lingkungan tersebut diberikan sebelum benih dikecambahkan. Uji ini bermanfaat untuk menduga berapa lama lagi benih dapat disimpan sehingga sangat berguna bagi produsen, pedagang atau penyalur benih. Lingkungan suboptimum yang diberikan kepada benih dianggap sebagai suatu cara simulasi lingkungan yang dapat menyebabkan kemunduran benih dalam penyimpanan yang lazim dalam praktek. Mengingat lingkungan simpan yang lazim adalah dalam suhu kamar dengan komponen lingkungan simpan utama berupa suhu dan kelembaban nisbi atmosfer, maka metode uji pengusangan dipercepat merupakan metode uji simulasi yang lebih sesuai. Controlled Deterioration merupakan sebuah metode pengujian vigor yang dikeluarkan oleh 1STA (1995) untuk memperkirakan umur fisiologi dari benih. Controlled Deterioration digunakan untuk mengevaluasi potensial fisiologis benih, khususnya pada tanaman pangan (Hamton dan TeKrony, dalam Silva et al., 2006). Uji pengusangan cepat ini pada prinsipnya sama dengan Accelerated Ageing Test. Hal yang membedakan adalah teknik yang digunakan selama pelaksanaannya. Accelerated Ageing Test menggunakan seperangkat alat
pengusangan khusus. Pada Accelerated Ageing Test benih didera pada suhu dan RH tinggi, sehingga kadar air benih meningkat selama proses pengusangan. Sedangkan pada uji pengusangan
Controlled Deterioration kadar air benih
ditingkatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan uji pengusangan dan selanjutnya dipertahankan selama periode kemunduran. Controlled Deterioration tidak hanya memungkinkan untuk mengevaluasi potensi penyimpanan tetapi hubungan antara hasil dan munculnya kecambah di lapang juga dapat ditentukan. Hasil penelitian Ali et al. (2003) pada benih padi (Oryza sativa L.) menunjukkan perbedaan nyata pada daya berkecambah diantara kulltivar yaitu pada kadar air benih 24% dan lama penderaan 48 jam pada Controlled Deterioration. Hasil penelitian Silva et al. (2006) menunjukkan bahwa uji Controlled Deterioration cukup sensitif untuk mengevaluasi potensi fisiologis pada benih bit gula, informasi ini sesuai dengan hasil kemunculan benih di lapang. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada kadar air 24% dan lama penderaan 24 jam pada uji pengusangan cepat Controlled Deterioration pada bit gula memberikan informasi yang cukup sesuai dengan daya tumbuh benih di lapang. Hasil penelitian Mavi dan Demir (2007) menunjukkan kadar air 24% dan lama penderaan 48 jam pada Controlled Deterioration dan lama penderaan selama 120-144 jam pada Accelerated Ageing Test merupakan kondisi yang optimum untuk menguji benih semangka (Citrullus lanatus). Hasil penelitian Mavi dan Demir (2008) pada benih mentimun (Cucumis sativus L.) menunjukkan kondisi kadar air benih 20% dan lama penderaan 96 jam merupakan kondisi yang optimum untuk menguji vigor benih mentimun. Pengujian benih dengan Controlled Deterioration telah digunakan untuk menunjukkan pengaruh fluoresen klorofil pada kualitas benih kedelai (Glycine max (L). Merr.). Persentase kecambah normal pada benih dengan fluoresen rendah lebih tinggi dibanding benih dengan fluoresen klorofil yang tinggi. Uji Controlled Deterioration merupakan pengujian yang cocok untuk mengevaluasi daya simpan lot benih kedelai, karena benih kedelai mudah kehilangan kualitas selama penyimpanan (Cicero et al., 2009).