TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam tanaman kelas Dicotyledoneae, famili Leguminoceae, genus Glycine dan species Glycine max. Tanaman kedelai mempunyai batang pendek (30-100 cm), memiliki 3-6 percabangan, dan berbentuk tanaman perdu. Pada pertanaman yang rapat seringkali tidak terbentuk percabangan atau hanya bercabang sedikit. Batang tanaman kedelai berkayu, biasanya kaku dan tahan rebah, kecuali tanaman yang dibudidayakan di musim hujan atau tanaman yang hidup di tempat yang ternaungi (Pitojo, 2007). Bunga kedelai termasuk tipe bunga sempurna dengan warna bunga ungu dan putih. Penyerbukan terjadi saat mahkota bunga masih tertutup dan menyerbuk sendiri (selfpolinated). Kedelai mulai berbunga setelah berumur 30-50 hari, dimana kuntum bunga tersusun dalam rangkaian bunga (Sumarno dan Harnoto, 1983). Sekitar 60% bunga akan rontok sebelum membentuk polong. Polong pertama muncul pada umur 10-14 hari setelah bunga pertama. Waktu yang diperlukan untuk pembentukkan polong adalah 21 hari. Satu tanaman kedelai dapat menghasilkan polong hingga mencapai 400 polong. Setiap polong berisi 1-5 biji dengan bentuk biji bulat pipih hingga bulat lonjong (Rukmana dan Yuniarsih, 2001). Menurut Suprapto (2001), biji kedelai berkeping dua dan terbungkus oleh kulit biji. Warna kulit biji bervariasi yaitu kuning, hitam, hijau, dan coklat. Di Indonesia, bobot biji bervariasi antara 6-30 gram per 100 butir. Vigor Benih dan Uji Vigor Benih Vigor benih secara kualitatif dapat diartikan sebagai sejumlah sifat-sifat benih yang menentukan tingkat potensial aktivitas dan performa benih atau lot benih selama masa perkecambahan dan munculnya bibit (Perry, 1978). Istilah vigor ini mencakup pertumbuhan yang melibatkan peningkatan ukuran sel, jumlah sel dan tingkat diferensiasi yang tepat untuk pengembangan berbagai bagian bibit, dan semua aspek yang membutuhkan energi (Bedell, 1998). Sadjad et al. (1999),
5 menyimpulkan bahwa vigor benih merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi tidak optimum atau sub optimum. Faktor-faktor yang mempengaruhi vigor benih antara lain faktor genetik, faktor fisiologis, dan faktor eksternal. Faktor genetik yang mempengaruhi vigor benih adalah pola dasar perkecambahan dan pertumbuhan yang merupakan bawaan genetik dan berbeda antara satu spesies dengan spesies lain. Faktor fisiologis yang mempengaruhi vigor benih adalah semua proses fisiologis yang merupakan hasil kerja komponen pada sistem biokimia benih. Faktor eksternal yang mempengaruhi vigor benih adalah kondisi lingkungan pada saat memproduksi benih, baik ketika panen, pengolahan, penyimpanan, dan penanaman kembali (Bedell, 1998). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perbedaan vigor benih menurut Powell (2006) adalah penuaan benih akibat kemunduran, kerusakan pada saat imbibisi, dan kondisi lingkungan pada saat pengembangan benih, serta ukuran benih. Pengujian benih perlu dilakukan untuk mengetahui vigor benih. Metode uji vigor benih dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu uji pada kondisi stress, uji biokimia, serta uji pertumbuhan dan evaluasi kecambah. Uji pada kondisi stress antara lain metode pengusangan cepat fisik (Accelerated Ageing Test), metode pengusangan cepat terkontrol (Controlled Deterioration Test), dan metode uji suhu dingin. Uji biokimia benih antara lain uji konduktivitas listrik (Venter, 2000). Metode uji vigor yang dilakukan harus memenuhi beberapa syarat yaitu murah, mudah dilakukan, tepat guna, bersifat objektif, dapat dikembangkan, dan berkorelasi dengan pertumbuhan benih di lapang (Copeland dan McDonald, 2004). Tolok ukur yang digunakan pada uji vigor benih antara lain keserempakan tumbuh benih, kemampuan benih berkecambah pada kondisi lingkungan yang sub-optimum, serta kemampuan benih berkecambah setelah benih tersebut disimpan (ISTA, 2010). Pengaruh Salinitas terhadap Perkecambahan Benih Salinitas merupakan salah satu cekaman abiotik yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pada daerah yang kering atau sedang, dimana air hujan
6 tidak mencukupi untuk mencuci kandungan garam dari akar tanaman (Schmidhalter dan Oertli, dalam Mavi dan Demir, 2005). Tanah yang salin dapat menyebabkan buruknya perkecambahan dan pembentukkan bibit (Afzal et al., 2005). Hasil penelitian Jamil dan Rha (2007) menunjukkan, kondisi lingkungan salin menyebabkan penurunan persentasi perkecambahan, rata-rata panjang akar, dan bobot segar kecambah pada benih bit (Beta vulgaris L. cv. Tianjin qing pielan). Menurut Kim (1998), salinitas tanah ditetapkan dengan mengukur daya hantar listrik (DHL) dalam mmhos/cm pada ekstrak jenuh tanah. Tanah salin dicirikan oleh DHL melebihi 4 mmhos/cm yang diukur pada suhu 25oC. Pemilihan nilai kritis untuk DHL pada 4 mmhos/cm dilaporkan didasarkan atas kemungkinan tingkat kerusakan tanaman akibat garam. Perkecambahan benih dan awal pertumbuhan tanaman merupakan tahapan yang paling peka terhadap cekaman salinitas pada hampir semua jenis tanaman pangan (Sivritepe et al., 2003; Ashraf dan Foolad, 2005). Salinitas dapat menunda pertumbuhan awal, menurunkan rata-rata dan meningkatkan ketidakseragaman pada perkecambahan, mengurangi tanaman yang tumbuh dan hasil panen (Ashraf dan Foolad, 2005). Kondisi lingkungan yang salin juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan benih berbagai komoditas. Hasil penelitian yang dilakukan Afzal et al. (2005), menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh terhadap penurunan persentase perkecambahan, berat segar dan kering tunas dan akar, serta menghambat penyerapan berbagai nutrisi pada benih gandum (Triticum aestivim). Ketahanan terhadap salinitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor fisiologis (Flowers, 2004). Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Bybordi dan Tabatabaei (2009) terhadap lima kultivar kanola yaitu Elite, Fornax, Licord, Okapi, dan SLM046. Hasil penelitian menunjukkan setiap kultivar memiliki ketahanan yang berbeda terhadap salinitas, dimana kultivar SLM046 lebih toleran terhadap salinitas dibandingkan dengan kultivar yang lain. Controlled Deterioration Test Prosedur tradisional yang diterapkan dalam metode pengusangan cepat fisik memiliki berbagai kendala. Kendala tersebut antara lain ketidakseragaman
7 penyerapan air pada setiap sampel benih. Benih yang masih dalam kondisi baik, penyerapan airnya tentu akan berbeda dengan benih yang kondisinya sudah tidak baik. Kondisi ini dapat menyebabkan kondisi kemunduran benih yang berbeda, sehingga dibutuhkan standarisasi hasil perkecambahan setelah pengusangan (Rodo dan Filho, 2003). Metode uji pengusangan cepat benih atau Accelerated Ageing Test (AAT) merupakan pengujian benih vigor benih dengan memberikan perlakuan suhu dan RH tinggi selama beberapa waktu. Ketika pengujian dilakukan, benih akan menyerap kelembaban dari lingkungan, bersamaan dengan tingginya suhu lingkungan, sehingga menyebabkan kemunduran benih secara cepat (ISTA, 2010). Controlled Deterioration Test (CDT) pada prinsipnya sama dengan AAT. Hal yang membedakan adalah teknik pengusangan yang digunakan serta adanya penetapan kadar air. Menurut Matthews (1980), pada metode pengusangan cepat fisik menggunakan alat pengusangan cepat, kadar air benih tidak sama antar lot benih sehingga kecepatan penyerapan air berbeda-beda, sedangkan pada metode pengusangan cepat terkontrol kadar air dibuat sama sesuai dengan perlakuan kadar air yang telah ditentukan. Setelah itu, benih diusangkan dengan cara dimasukkan ke dalam water bath bersuhu 40-45oC. Menurut Copeland dan McDonald (2004), pada metode AAT benih diimbibisi pada kondisi suhu yang tinggi (41o) dengan RH 100% selama beberapa waktu (tiga sampai empat hari). Menurut metode CDT yang sudah di validasi ISTA (2010) pada benih Brassica spp., benih dinaikkan kadar airnya hingga mencapai 20%, kemudian dilakukan cekaman pada suhu tinggi (45oC) menggunakan water bath selama 24 jam. Metode Controlled Deterioration Test (CDT), membutuhkan waktu, kadar air, dan suhu pengusangan yang berbeda-beda antar komoditas, sehingga dalam pengembangannya perlu diteliti terlebih dahulu kadar air, waktu, dan suhu yang tepat. Hasil penelitian Lanteri (1996), penggunaan CDT selama 4 hari pada suhu 45oC dan kadar air 9.5% dapat digunakan untuk menguji vigor benih cabe (Capsicum annum L.). Hasil penelitian Filho et al. (2001), menggunakan CDT selama 48 dan 72 jam pada suhu 40oC dan kadar air benih 15.5%, dapat
8 digunakan untuk menguji vigor benih kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Hal ini juga didukung oleh penelitian Rodo dan Filho (2003), yang menunjukkan bahwa CDT selama 24 jam pada suhu 45oC dan kadar air 24% dapat digunakan untuk menguji potensi fisiologis benih bawang (Allium cepa). Penelitian Chaves dan Usberti (2004) menunjukkan, bahwa perlakuan CDT selama 5 hari pada suhu 65oC dan kadar air 15% dapat digunakan untuk menguji vigor benih Dalbergia nigra dan Dimorphandra mollis terhadap penyimpanan. Hasil penelitian Silva dan Vieira (2010) menunjukkan, CDT selama 24 jam pada suhu 45oC dan kadar air 22% dapat digunakan untuk menguji vigor benih bit (Beta vulgaris). Penggunaan CDT selain untuk pendugaan vigor benih, dapat digunakan untuk pendugaan toleransi benih terhadap cekaman lingkungan (kondisi lapang). Hasil penelitian Mavi dan Demir (2005) menunjukkan metode CDT dapat digunakan untuk menguji vigor dan toleransi benih terhadap cekaman salinitas pada benih winter squash (Cucurbita maxima). Hasil penelitian Changrong et al. (2007), juga menunjukkan metode CDT sangat bermanfaat untuk evaluasi ketahanan benih kedelai (Glycine max (L.) Merr) terhadap kondisi di lapang.