1
PENGARUH PERLAKUAN INVIGORASI PADA BENIH YANG BERBEDA TINGKAT MASAK TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH, PERTUMBUHAN TANAMAN, DAN HASIL KACANG BOGOR (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)
OYOK SOPIAN A24061318
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
PENGARUH PERLAKUAN INVIGORASI PADA BENIH YANG BERBEDA TINGKAT MASAK TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH, PERTUMBUHAN TANAMAN, DAN HASIL KACANG BOGOR (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Disusun Oleh: OYOK SOPIAN A24061318
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Effect of Seed Maturity and Invigoration on Seed Viability and Vigor, Plant Growth, and Yield of Bambara Groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.) Oyok Sopian and Satriyas Ilyas* Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Darmaga Campus, Bogor 16680. Indonesia. Keywords: germination, matriconditioning, Rhizobium sp., weight of pods Abstract Bambara groundnut can be cultivated in marginal land, however, its productivity is low. In order to increase the productivity, high quality of seeds must be used. Two consecutive experiments were conducted in laboratory and field at Bogor Agricultural University from April to October 2010. Seeds of three maturity levels were harvested from farmer’s field in Sukabumi, April 2010. The seeds were dried down to 11.6% moisture content before being used. The objectives of the experiments were to evaluate effects of seed invigoration applied on bambara groundnut seeds of three maturity levels on seed vigor, plant growth, and yield. Laboratory experiment was arranged in a completely randomized design while field experiment was arranged in a completely randomized block design. In both experiments, two factors were applied, seed maturity and invigoration. There were three levels of seed maturity i.e. seeds harvested at 119, 122, and 125 days after planting (dap). Seed invigoration consisted of untreated, Rhizobium sp., matriconditioning, matriconditioning plus Rhizobium sp. Matriconditioning was conducted using ratio of seeds to carrier (burned rice hull) to water of 20:12:12 (g) for 3 days in air-conditioned room ca. 25 0C. Rhizobium sp. 0.3 g/100 g seeds was either applied on seeds just before planted or incorporated in matriconditioning. Results of the laboratory experiment showed that matriconditioning alone or matriconditioning plus Rhizobium sp. applied on seeds harvested at 122 daf or 125 dap improved seed vigor (speed of germination and index of vigor). However, there was no interaction occurred between the two factors in the field experiment. Seeds treated with matriconditioning plus Rhizobium sp. or harvested at 125 dap showed the best improvement in plant growth (plant height, number of leaves, number of branches) and yields (number and weight of pods).
ii
RINGKASAN OYOK SOPIAN. Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, dan Hasil Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt). Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS. Kacang bogor termasuk pada tanaman yang dapat dibudidayakan pada lahan kering dan miskin hara walaupun produktivitasnya masih tergolong rendah. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan menggunakan benih yang bermutu. Mutu benih ini didapatkan sejak benih diproduksi yang berkaitan dengan masak fisiologis, pengolahan, penyimpanan, sampai pada perlakuan benih pratanam. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura pada bulan JuniOktober 2010. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan I adalah pengujian di laboratorium yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh tingkat masak benih dan perlakuan invigorasi terhadap viabilitas dan vigor benih. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua faktor perlakuan. Faktor pertama yaitu perbedaan tingkat masak benih yang terdiri atas tiga tingkat masak yaitu M1: 119 hari setelah tanam (HST), M2: 122 HST, dan M3:125 HST. Faktor kedua adalah perlakuan invigorasi yang terdiri atas empat perlakuan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (matriconditioning), dan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.), Percobaan II adalah pengujian di lapangan yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh perlakuan invigorasi pada benih kacang bogor dengan tiga tingkat masak yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kacang bogor. Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktorial. Jenis dan jumlah perlakuan sama seperti yang digunakan pada percobaan I. Hasil percobaan I menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan P2 (perlakuan matriconditioning) dan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) dan M3 (125 HST), secara umum menunjukkan hasil tertinggi untuk setiap peubah viabilitas (daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal) dan vigor yang diamati (kecepatan tumbuh,
iii indeks vigor, dan laju pertumbuhan kecambah). Pemberian Rhizobium sp. tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan vigor benih. Pada benih yang belum mencapai masak fisiologis (M1), perlakuan matriconditioning (P2) dan perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) meningkatkan daya berkecambah, bobot kering kecambah normal, dan kecepatan tumbuh. Hasil percobaan II menunjukkan bahwa interaksi kedua faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata baik pada peubah pertumbuhan vegetatif maupun peubah hasil kacang bogor yang diamati. Faktor tunggal perlakuan invigorasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman pada 5-8 MST dan perlakuan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan perlakuan invigorasi yang lain (P1 dan P2) dan berbeda nyata dengan benih tanpa perlakuan (P0). Pada peubah pertumbuhan vegetatif yang lain kedua faktor perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata, tetapi faktor tunggal P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) dan faktor tunggal tingkat masak M3 (125 HST)
masing-masing
menunjukkan hasil
yang cenderung
lebih
tinggi
dibandingkan dengan yang lainnya. Pada peubah hasil yang diamati (bobot basah polong per petak dan jumlah polong per tanaman), perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hasil tertinggi juga ditunjukkan oleh benih dengan tingkat masak M3 (125 HST) dan berbeda nyata dengan M1 (119 HST) pada peubah jumlah polong per tanaman tetapi tidak berbeda nyata dengan M1 (119 HST) dan M2 (122 HST) pada peubah bobot basah polong per petak.
iv Judul : PENGARUH PERLAKUAN INVIGORASI PADA BENIH YANG BERBEDA TINGKAT MASAK TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH, PERTUMBUHAN TANAMAN, DAN HASIL KACANG BOGOR (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) Nama : OYOK SOPIAN NIM
: A24061318
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS NIP 19590225 198203 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus:………………………
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 10 Oktober 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari Bapak Idin dan Ibu Oom Ratnaningrum. Tahun 2000 penulis lulus dari SDN Sindulang kemudian pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 2 Cimanggung. Selanjutnya penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cicalengka pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian. Selama kuliah penulis pernah aktif dalam organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (DPM KM IPB) pada tahun 2006-2007. Pada tahun 2007-2008 aktif di organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM-A) sebagai wakil ketua. Pada tahun 2008-2009 aktif di Forum Komunikasi Rohis Departemen Fakultas Pertanian (FKRD) sebagai ketua. Penulis juga merupakan koordinator wilayah II Ikatan Mahasiswa Muslim Pertanian Indonesia (IMMPERTI) pada tahun 2009. Selain itu penulis juga merupakan Asisten Pendidikan Agama Islam IPB pada tahun 2008-2011.
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini merupakan penerapan teknik invigorasi benih menggunakan inokulan Rhizobium sp., matriconditioning, dan matriconditioning plus Rhizobium sp. pada benih kacang bogor yang berbeda tingkat masak yang dilaksanakan untuk mempelajari pengaruhnya terhadap viabilitas dan vigor benih, pertumbuhan tanaman, dan hasil kacang bogor. Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Darmaga, Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dari awal penelitian sampai terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga saya bapak Idin, ibu Oom Ratnaningrum, A Budi, teh Rina, neng Cindy, Acep, Deden, teh Imas, dan Alif yang telah memberikan doa dan dorongan yang tulus baik moril maupun materiil. Kepada teknisi kebun, bapak Nana dan bapak Maman yang telah banyak membantu selama melaksanakan penelitian. Temanteman AGH 43, wisma madani, juga sahabat-sahabat IPB diluar AGH atas kebersamaannya selama menempuh pendidikan di IPB, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, April 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ x PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 Tujuan .......................................................................................................... 3 Hipotesis....................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4 Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) ....................................... 4 Tingkat Masak Benih .................................................................................... 6 Matriconditioning ......................................................................................... 8 Rhizobium sp. ............................................................................................. 11 BAHAN DAN METODE .................................................................................. 14 Tempat dan Waktu ...................................................................................... 14 Rancangan Percobaan ................................................................................. 14 Sumber benih 15 Percobaan I: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kacang Bogor ..................................................... 15 Percobaan II: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kacang Bogor ................................. 16 Pengamatan ................................................................................................ 17 Percobaan I……. .................................................................................. 17 Percobaan II… ...................................................................................... 18 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 19 Percobaan I ................................................................................................. 19 Percobaan II................................................................................................ 25 Kondisi Umum ..................................................................................... 25 Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Kacang Bogor................................... 28 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 36 Kesimpulan ................................................................................................ 36 Saran .......................................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 37 LAMPIRAN ...................................................................................................... 42
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada tolok ukur vigor benih kacang bogor ............................ 19
2.
Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap daya berkecambah (%) kacang bogor ............................. 20
3.
Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap bobot kering kecambah normal (mg) kacang bogor ......... 21
4.
Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap kecepatan tumbuh (%/etmal) kacang bogor ..................... 22
5.
Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap indeks vigor (%) kacang bogor ........................................ 22
6.
Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap laju pertumbuhan kecambah kacang bogor ..................... 23
7.
Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga, Bogor ................. 25
8.
Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada peubah pertumbuhan vegetatif dan hasil kacang bogor .................. 29
9.
Pengaruh perlakuan invigorasi (P) terhadap peubah pertumbuhan vegetatif kacang bogor ................................................................................ 30
10. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap jumlah polong kacang bogor per tanaman …................................. 32 11. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap bobot basah polong kacang bogor (kg) per petak...…………………………………………............................................ 32
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Morfologi tanaman kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)............. 5 2. Kecamabah normal kacang bogor pada umur 14 HST ………………………20 3. a. Kondisi pertanaman awal b. Tanaman terserang virus pada 7 MST c. Serangan Sclerotium sp. ............................................................................. 26 4. Tinggi tanaman kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3:125 HST).......................................... 31 5. Tinggi tanaman kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3:125 HST).......................................... 31 6. Tinggi tanaman kacang bogor 5-8 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3:125 HST).......................................... 31
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga Bogor .................. 41
2.
Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap daya berkecambah benih kacang bogor .............................................................................................. 41
3.
Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot kering kecambah normal benih kacang bogor ..................................................................................... 41
4.
Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kecepatan tumbuh benih kacang bogor .............................................................................................. 41
5.
Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap indeks vigor benih kacang bogor .......................................................................................................... 42
6.
Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan kecambah benih kacang bogor ..................................................................................... 42
7.
Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman kacang bogor 5 MST......................................................................................................... 42
8.
Sidik ragam pengaruh perlakuan invigorasi terhadap tinggi tanaman kacang bogor pada 9 MST........................................................................... 42
9.
Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah daun kacang bogor 5 MST......................................................................................................... 43
10. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah cabang kacang bogor 5 MST......................................................................................................... 43 11. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah polong kacang bogor per tanaman ................................................................................................ 43 12. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot basah polong kacang bogor per petak .......................................................................................... 43
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) adalah tanaman yang berasal dari Afrika. Di daerah asalnya, kacang ini sudah banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Linneman dan Azam-Ali (1993) melaporkan bahwa komposisi asam amino pada biji kacang bogor sama dengan kacang-kacangan lainnya. Hidayah dalam Redjeki (2007) menyampaikan bahwa kandungan gizi pada kacang tersebut cukup tinggi, diantaranya: protein 20.75 %, karbohidrat 59.93 %, lemak 5.88 %, air 10.43 %, dan abu 3.03 %. Kacang bogor merupakan tanaman yang dapat dibudidayakan pada lahan kering dan miskin hara walaupun produktivitasnya masih rendah. Redjeki dalam Redjeki (2007) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa tanaman kacang bogor mampu menghasilkan biji kering 0.77 ton/ha tanpa pemupukan. Sementara itu, populasi campuran warna hitam, merah, dan cokelat menghasilkan biji kering 2 ton/ha secara nyata lebih tinggi dibandingkan warna lain yang hanya menghasilkan rata-rata 0.9 ton/ha biji kering. Madamba dalam Redjeki (2007) melaporkan bahwa pada kondisi lingkungan tumbuh marjinal di Zimbabwe dihasilkan 300 kg/ha, namun pada kondisi lingkungan tumbuh optimum akan menghasilkan 4 ton/ha biji kering. Jadi produktivitas kacang bogor di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut Azam-Ali et al. (2001) salah satu permasalahan kurangnya perkembangan kacang bogor adalah karena belum dikenal luas. Kacang bogor dan banyak tanaman asli Afrika lainnya masih diabaikan oleh peneliti pertanian karena masih dianggap sebagai tanaman yang tidak potensial, walaupun sudah ada penelitian yang dilakukan sejak 1969. Pada tahun 1980 Poulter dan Caygill melakukan penelitian tentang kandungan nutrisi biji kacang bogor yang dilanjutkan dengan berbagai penelitian, salah satunya oleh Linnemann dan AzamAli pada tahun 1993. Menurut Redjeki (2007), masalah utama dalam peningkatan hasil tanaman kacang bogor adalah penggunaan benih yang tidak seragam, berumur panjang (4-5 bulan) serta masih rendahnya produktivitas karena masih banyak potensi genetik
2 yang belum terungkap. Ketidakseragaman benih dapat berupa warna maupun ukuran benih yang bervariasi yang berkaitan juga dengan mutu benih. Dalam upaya peningkatan produksi suatu tanaman, penggunaan benih yang bermutu adalah salah satu faktor yang penting. Benih yang bermutu dapat dicapai pada saat masak fisiologis karena pada saat itu telah tercapai bobot kering dan vigor benih maksimum. Menurut Kartika dan Ilyas (1994), kacang jogo (Phaseolus vulgaris L.) umur tanaman 11 hari dan 14 hari setelah berbunga (HSB) belum mencapai masak fisologis. Hal ini ditunjukkan dengan benih belum mampu untuk berkecambah (DB 0 %). Pada umur 21 hari setelah berbunga (HSB) benih sudah bisa berkecambah dengan hasil yang sangat rendah yaitu 6 %. Benih berkecambah cukup tinggi pada umur panen 36 HSB mencapai 92 %, sehingga diperkirakan masak fisiologis tercapai pada 36 HSB. Menurut Hamid (2009), pada umur 56 HST, 75 % tanaman kacang bogor sudah berbunga dan pada 70 HST sudah berbunga 100 %. Johnson, Doku, dan Karikari dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) melaporkan bahwa kacang bogor biasanya dipanen pada umur antara 90-170 hari setelah tanam (HST) tergantung pada genotipe tanaman, suhu, dan faktor lingkungan lain. Selain penggunaan benih yang bermutu, perlakuan benih adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih. Kacang bogor dengan kondisi kadar air benih awal antara 10.66 % sampai 10.16 % mampu berkecambah dengan daya berkecambah 88.00 sampai 86.50 % (Wongvarodom dan Naulkong, 2006). Untuk melakukan perkecambahan dengan baik, benih kacang bogor memerlukan pengkondisian berupa perlakuan pratanam terlebih dahulu dengan cara merendam benih dalam air selama waktu dan suhu tertentu (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Sesay (2009) menyebutkan, benih kacang bogor yang direndam selama 2 dan 4 hari pada suhu 20 o C, 25o C, 30o C, dan 35o C setelah dikecambahkan, persentase daya berkecambah tertinggi terjadi pada suhu
25o C yaitu 97.8 % dan 80 %. Benih tidak berkecambah ketika
direndam dalam air selama 6 dan 8 hari pada suhu 35o C. Menurut Khan et al. (1990) banyak cara yang dapat digunakan untuk untuk memperbaiki perkecambahan benih yaitu presoaking, matriconditioning, wetting and drying, humidifying, osmoconditioning, aerasi oksigen, dan
3 pregermination. Conditioning yang sudah terbukti efektif dan paling mudah dilakukan adalah matriconditioning. Matriconditioning adalah perlakuan hidrasi terkontrol yang dikendalikan oleh media padat lembab dengan potensial matriks rendah dan potensial osmotik yang dapat diabaikan. Perlakuan benih dengan matriconditioning plus inokulan Bradyrhizobium japonicum yang dikombinasikan Azospirillum lipoferum dan benomyl 0.05 % selama 13 jam mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan penambatan nitrogen pada tanaman kedelai dibandingkan dengan perlakuan matriconditioning plus benomyl tanpa inokulan atau kontrol. Perlakuan tersebut pun terbukti meningkatkan tinggi tanaman 39.8 %, jumlah daun 36.6 %, jumlah bunga 114.29 %, bobot kering tajuk 70.2 %, total N tajuk 35.0 %, serapan N tajuk 124.3 % dibandingkan benih tanpa perlakuan matriconditioning (Ilyas et al., 2003). Informasi hasil penelitian kacang bogor masih sedikit terutama yang berkaitan dengan teknologi pengelolaan benih. Informasi hasil penelitian tentang tingkat masak fisiologis yang tepat untuk dijadikan benihpun belum ada, termasuk perlakuan
benih
pratanam
dengan
matriconditioning
belum
diketahui
pengaruhnya terhadap viabilitas dan vigor benih serta produktivitas tanaman. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh perlakuan invigorasi pada beberapa tingkat masak benih terhadap viabilitas dan vigor benih, pertumbuhan tanaman, dan hasil kacang bogor. Hipotesis 1. Tingkat masak benih M2 (122 HST) memberikan pengaruh terbaik dibandingkan tingkat masak M1 (119 HST) dan M3 (125 HST). 2. Perlakuan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) memberikan pengaruh terbaik dibandingkan perlakuan P1 (Rhizobium sp.), P2 (matriconditioning) dan P0 (kontrol). 3. Perlakuan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) memberikan pengaruh terbaik dibandingkan perlakuan yang lain pada tingkat masak M1 (119 HST) dan M3 (125 HST).
4
TINJAUAN PUSTAKA Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) Kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) adalah tanaman yang berasal dari Afrika utara yang kemudian disebarkan oleh penduduk asli sampai ke Afrika selatan. Kacang ini merupakan sumber pangan kacang-kacangan terpenting kedua setelah kacang tanah di Afrika. Di daerah asalnya, kacang bogor yang belum masak penuh dimanfaatkan langsung untuk konsumsi sedangkan yang sudah kering dimanfaatkan untuk diolah menjadi tepung. Tanaman ini biasanya dibudidayakan masyarakat setempat secara tumpang sari dengan tanaman lain seperti melon (Swanevelder, 1998). Kacang bogor merupakan tanaman herba tahunan dengan tinggi mencapai 30 cm, bercabang banyak, batang yang berdaun lateral yang berad di atas permukaan tanah (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Daun trifoliat dengan panjang ± 5cm, petiol dengan panjang sampai 15 cm, tanaman tampak merumpun dengan daun yang bertangkai panjang, bunga bertipe kupu-kupu (Papilionaceous) yang muncul dari ketiak daun dengan tangkai bunga yang berbulu. Seperti kacang tanah, setelah mengalami penyerbukan bunga akan membentuk ginofor yang akan masuk ke dalam permukaan tanah dan membentuk polong. Polong dari tanaman ini berdiameter ± 1.5 cm (Swanevelder, 1998). Morfologi tanaman kacang bogor ditampilkan pada Gambar 1. Kacang bogor memiliki karakteristik yang hampir sama dengan kacang tanah baik morfologi maupun lingkungan tumbuhnya. Kacang ini dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan kacang tanah. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 1600 m di atas permukaan laut dengan rata-rata curah hujan musiman 600-750 mm dan untuk hasil yang optimum dibutuhkan rata-rata curah hujan tahunan 750-900 mm dengan suhu rata-rata 20o C sampai 28o C. Tanaman ini tumbuh baik pada tanah lempung berpasir dengan pH 5.0 sampai 6.5 dan cukup toleran juga untuk tumbuh pada tanah miskin hara (Linneman dan Azam-Ali, 1993).
5 Hama dan penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah ditemukan juga menyerang tanaman kacang bogor (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Pada kondisi lingkungan terlalu lembab tanaman ini dapat terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan seperti bercak daun (Cercospora sp.), layu fusarium, dan busuk batang (Sclerotium sp.) (Beggeman dalam Heller et al., 1997).
Gambar 1. Morfologi tanaman kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt). 1. Sifat pembungaan; 2. Bunga; 3. Buah; 4. Benih. (sumber: Van der Maesen dan Somaatmadja, 1989).
6 Tanaman kacang bogor memiliki tipe perkecambahan hypogeal. Benih tanaman ini akan mulai berkecambah pada 7 sampai 15 hari setelah tanam (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Bunga akan muncul mulai dari 35 hari setelah tanam dan berakhir selama tanaman hidup. Pembentukan polong berlangsung selama 30-40 hari setelah bunga mengalami penyerbukan (Swanevelder, 1998). Menurut Hamid (2009), pada umur 56 HST, 75 % tanaman kacang bogor sudah berbunga dan pada 70 HST tanaman kacang bogor sudah berbunga 100 %. Di daerah asalnya umur tanaman ini berkisar antara 110-150 hari sampai siap untuk dipanen. Tanaman akan dipanen ketika tanaman sudah mulai menguning atau ketika 80 % polong sudah masak. Jika polong sudah masak, tanaman ini sudah bisa dipanen walaupun daunnya masih berwarna hijau (Department of Agriculture, Forestry, and Fisheries, Republic of South Africa, 2009). Di Indonesia, tanaman kacang bogor dipanen pada 17 atau 18 MST disesuaikan dengan kondisi cuaca pada waktu pemanenan (Hamid, 2009). Begitupun dinyatakan oleh Redjeki (2007) bahwa umur kacang bogor di Indonesia sampai bisa dilakukan pemanenan berkisar antara 4-5 bulan. Tingkat Masak Benih Menurut Sadjad (1983), mutu benih yang berkaitan dengan vigor benih dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor innate, faktor induced, dan faktor enforced. Faktor innate adalah faktor genetik benih yang akan menentukan vigor awal. Faktor induced berkaitan dengan kondisi tanaman induk saat di lapang sedangkan faktor enforced berkaitan dengan kondisi lingkungan simpan ketika benih disimpan. Salah satu faktor induced yang penting adalah penentuan umur panen. Menurut Sadjad (1983), proses pemasakan benih adalah segala sesuatu proses yang berlangsung sejak pembuahan sampai benih dipanen. Selama proses pemasakan tersebut terjadi peningkatan daya berkecambah benih, vigor, dan berat kering benih. Benih yang bermutu dapat dicapai pada saat masak fisiologis karena pada saat itu telah tercapai berat kering dan vigor benih maksimum. Benih yang sudah masak fisiologis akan mampu menghasilkan produksi yang maksimal. Savagatruv dalam Saenong dan Bahar (1986) melaporkan bahwa benih yang terlambat dipanen akan menyebabkan benih mengalami penurunan mutu
7 sehingga menyebabkan terjadinya pengkerutan kulit benih karena pengusangan di lapangan akibat cuaca buruk. Saenong dan Bahar (1986) menyatakan bahwa umur panen yang tepat pada benih jagung akan sangat berpengaruh terhadap mutu benih terutama pada musim kemarau. Jagung varietas Arjuna yang ditanam di Bogor yang dipanen pada umur 104 sampai 111 hari setelah tanam lebih tahan disimpan dibandingkan dengan umur panen lainnya. Mutu fisiologis yang rendah akan menyebabkan produksi tanaman yang rendah. Pemanenan yang dilakukan terlambat atau terlalu awal sebelum masak fisiologis menyebabkan kebocoran zat benih yang lebih besar dibandingkan dengan benih yang dipanen pada kisaran masak fisiologis, sehingga menyebabkan vigor awal benih yang cukup rendah. Menurut Waemata dan Ilyas (1989), masak fisiologis benih kacang buncis varietas lokal Bandung yaitu 30 hari setelah berbunga (HSB) yang dapat dibuktikan melalui kadar air benih yang terus menurun sampai 30 HSB, bobot kering benih maksimum, dan vigor kekuatan tumbuh maksimum pada saat 30 HSB. Menurut Kartika dan Ilyas (1994) pada benih kacang jogo (Phaseolus vulgaris L.) yang dipanen pada umur 30 dan 33 HSB akumulasi bobot kering hampir mencapai maksimum dan persentase perkecambahan serta vigor benih juga cukup tinggi. Pada umur 36 HSB bobot kering dan daya berkecambah benih telah mencapai maksimum. Benih yang dipanen pada saat lewat masak fisiologis yaitu pada 39 HSB, telah mengalami kemunduran yang ditunjukkan oleh daya berkecambah yang menurun. Setyaningsih (2002) melaporkan bahwa perbedaan tingkat masak pada benih adas (Foeniculum vulgare Mill.) berpengaruh perlakuan
terhadap efektivitas
invigorasi (osmoconditioning-PEG, osmoconditioning-KNO3, dan
matriconditioning-vermikulit). Perlakuan invigorasi efektif digunakan pada tingkat masak cokelat dibandingkan dengan masak hijau dan masak kuning yang ditunjukkan dengan daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal tertinggi serta waktu perkecambahan yang lebih singkat. Benih yang telah mencapai masak fisiologis menunjukkan perkembangan maksimum karena embrio telah terbentuk sempurna dan bobot kering cadangan makanan sudah mencapai maksimum. Benih yang dipanen pada umur yang berbeda akan memilki viabilitas benih yang berbeda juga. Benih yang dipanen
8 sebelum masak fisiologis akan menghasilkan daya berkecambah benih yang rendah dan tegakan tidak kuat karena cadangan makanan belum terbentuk sempurna. Benih yang dipanen pada saat lewat masak fisiologis akan memilki viabilitas yang rendah juga karena sudah mengalami penurunan viabilitas akibat deraan cuaca selama di lapangan (Copeland dan McDonald, 2001). Matriconditioning Perkecambahan benih dimulai saat terjadi imbibisi air ke dalam benih. Tingkat imbibisi yang terjadi dipengaruhi oleh komposisi benih, impermeabilitas lapisan luar benih, dan ketersediaan air. Ketersediaan air untuk imbibisi tergantung pada potensial air sel. Potensial air sel tersebut merupakan hasil dari tiga potensial yaitu tekanan matriks dinding sel, konsentrasi osmotik sel, dan tekanan turgor sel (Copeland dan McDonald, 2001). Menurut Khan et al. (1990), banyak cara yang dapat digunakan untuk untuk memperbaiki perkecambahan benih, yaitu presoaking, matriconditioning, wetting and drying, humidifying, osmoconditioning, aerasi oksigen, dan pregermination. Conditioning yang efektif dan paling mudah dilakukan adalah matriconditioning. Matriconditioning berbeda dengan osmoconditioning atau priming. Matriconditioning adalah istilah yang sesuai untuk conditioning yang menggunakan media yang memiliki potensial matriks. Media yang digunakan untuk matriconditioning harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. memiliki potensial matriks yang tinggi dan potensial osmotik yang dapat diabaikan, 2. kelarutan dalam air rendah dan dapat utuh selama matriconditioning, 3. merupakan bahan kimia inert dan tidak beracun, 4. kapasitas daya pegang air yang cukup tinggi, 5. kemampuan aerasi tinggi, mampu untuk tetap kering, dan bebas dari serbuk, 6. memiliki permukaan yang cukup luas, 7. kerapatan ruang yang besar dan kerapatan isi yang rendah, dan 8. mampu menempel pada permukaan benih. Bahan-bahan yang berkarakteristik seperti itu diantaranya adalah kalsium silikat, Micro-Cel E, dan Zonolit vermikulit (Khan et al., 1990). Berbagai penelitian yang sudah dilakukan membuktikan bahwa perlakuan matriconditioning dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih lebih baik dibandingkan dengan perlakuan hidrasi lain. Matriconditioning terbukti berhasil
9 memperbaiki viabilitas dan vigor benih kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Matriconditioning mampu menurunkan waktu perkecambahan dan meningkatkan daya perkecambahan benih serta meningkatkan kemampuan tumbuh dan produksi di lapangan (Khan et al., 1990). Yunitasari dan Ilyas (1994) melaporkan bahwa abu gosok, serbuk gergaji, tanah
andosol,
dan
pasir
kuarsa
dapat
digunakan
sebagai
media
matriconditioning. Bahan-bahan tersebut secara ideal memiliki sebagian sifat-sifat yang dimiliki media yang sudah sering digunakan untuk matriconditioning. Abu gosok dan serbuk gergaji lebih efektif dibandingkan pasir kuarsa. Sifat efektifnya ditunjukkan dengan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah 50 % (T50) serta meningkatkan bobot kering kecambah normal. Hartini (1997) melaporkan bahwa perlakuan matriconditioning menggunakan abu gosok atau serbuk gergaji tanpa GA3 dengan perbandingan benih : media : air, masing masing 9 : 6 : 10.5 selama 17 jam dan 9 : 5 : 13 selama 12 jam dapat meningkatkan viabilitas dan vigor pada semua periode simpan (0, 8, 16, dan 24 minggu). Madiki (1998) menyatakan bahwa perlakuan matriconditioning dengan abu gosok pada benih padi mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih lebih baik dibandingkan dengan perlakuan osmoconditioning dan kontrol. Andreoli dan Khan (1999) melaporkan bahwa perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan 200 µM GA terbukti efektif untuk meningkatkan perkecambahan benih cabai dan tomat. Handayani (1999) juga melaporkan bahwa matriconditoning plus Benlate 0.5 % dapat meningkatkan kecepatan tumbuh dan menurunkan waktu perkecambahan benih cabai lebih baik dibandingkan dengan kontrol atau perlakuan matriconditoning tanpa fungisida. Kalsium silikat, Micro-Cel E, dan Zonolit vermikulit adalah bahan yang masih sangat sulit didapatkan di Indonesia selain itu harganya cukup mahal. Sebagai alternatif, pada perkembangan penelitian selanjutnya digunakan media padatan lain yang memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang hampir sama dengan media tersebut, lebih murah, dan mudah didapatkan. Media padatan tersebut diantaranya adalah abu gosok, arang sekam, pasir kuarsa, serbuk gergaji, dan tanah andosol (Suryani, 2003).
10 Perlakuan matriconditioning biasanya diintegrasikan dengan bahan lain sesuai kebutuhan. Untari (2003) menyatakan bahwa perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan minyak cengkeh dengan konsentrasi dibawah 0.1 % pada benih cabai menunjukkan peningkatan vaibilitas dan vigor benih serta menurunkan tingkat kontaminasi Colletotricum capsici. Menurut Ilyas et al. (2003) perlakuan benih dengan matriconditioning plus inokulan Bradyrhizobium japonicum yang dikombinasikan Azospirillum lipoferum atau pemupukan N dengan dosis 12.5 kg/ha pada tanaman kedelai yang dilakukan di Bogor menunjukkan peningkatan pertumbuhan tanaman. Perlakuan matriconditioning
menggunakan arang sekam plus B.
japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam pada suhu kamar dapat meningkatkan mutu benih dan pertumbuhan tanaman kedelai. Hal tersebut ditunjukkan dengan daya hantar listrik yang rendah, kecepatan tumbuh relatif yang lebih singkat, daya berkecambah, indeks vigor, jumlah nodul, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan invigorasi benih lainnya (Ningsih, 2003). Perlakuan matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam dan perlakuan pemupukan N sampai dosis 12.5 kg urea/ha lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman, hasil kedelai, dan mutu benih yang dihasilkan. Namun ketika dosis ditingkatkan sampai 25 kg urea/ha terjadi penurunan pada setiap peubah yang diamati (Faisal, 2005). Perlakuan benih dengan matriconditioning yang dintegrasikan dengan hormon tumbuhan untuk meningkatkan perkecambahan atau menggunakan pestisida atau biopestisida untuk melindungi benih dari serangan patogen terbawa benih dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen sayuran dan meningkatkan kualitas benih. Perlakuan matriconditioning pada beberapa tanaman hortikultura mampu meningkatkan daya berkecambah benih, indeks vigor, dan keserempakan tumbuh (Ilyas, 2006). Astuti (2009) melaporkan bahwa perlakuan matriconditioning efektif untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih pada tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh relatif, terutama benih yang diberi perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 0.1 % atau matriconditioning plus Benlox 0.1 %. Rachmawati (2009) menyatakan bahwa
11 perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetik ataupun nabati (Agrept 0.2 % atau minyak serai wangi 1 %) terbukti dapat meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih padi. Perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetik (Agrept 0.2 %) ataupun nabati (minyak serai wangi 1 %) memperlihatkan peningkatan pada peubah vigor benih. Rhizobium sp. Rhizobium sp. adalah salah satu jenis bakteri gram negatif yang bersifat selektif untuk berasosiasi dengan akar tanaman kacang-kacangan dalam membentuk bintil akar yang mampu memfiksasi nitrogen dari udara yang menambah ketersediaan N untuk pertumbuhan tanaman. Rhizobium sp. strain tertentu hanya cocok untuk menginfeksi bagian akar tanaman kacang-kacangan tertentu, sebagai contoh Rhizobium trifolii hanya dapat menginfeksi dengan baik pada akar rambut tanaman semanggi sedangkan Rhizobium meliloti menginfeksi akar rambut tanaman alfalfa (Dazzo dan Truchet, 1984). Rhizobium sp. memiliki struktur dinding sel yang tipis, berlapis tiga, dengan kandungan lipid yang tinggi tidak berspora. Terdapat empat genus Rhizobium sp. yang dapat bersimbiosis dengan tanaman kacang-kacangan untuk memfiksasi N yaitu: Rhizobium (Rhizobium leguminosarum, Rhizobium fredii), Azhorhizobium (Azhorhizobium caulinodans) yang ditemukan membentuk bintil batang pada tanaman Sesbania grandifloria yang merupakan salah satu tanaman sayuran tropis, Bradyrhizobium (Bradyrhizobium japonicum), dan Mesorhizobium (Mesorhizobium loti dan Mesorhizobium ciceri) (Gobat et al., 2004). Rhizobium sp. akan berinteraksi dengan tanaman tertentu dan akan bersimbiosis untuk menghasilkan bintil akar yang berbeda-beda. Bintil akar dapat berbentuk bola, silindris, datar, bundar, berbentuk cabang seperti karang, dan juga dapat berbentuk tidak beraturan (Kusnidar, 2004). Menurut Subba Rao (1994) proses pembentukan bintil akar dimulai dari kolonisasi Rhizobium sp. pada akar tanaman karena adanya eksudat akar tanaman berupa gula, asam amino, vitamin, dan lektin. Indole acetic acid (IAA) yang dihasilkan oleh Rhizobium sp. atau bakteri lain akan membengkokan bulu-bulu akar dan Rhizobium sp. akan masuk melalui bulu akar yang bengkok kemudian akan membentuk benang-benang saluran infeksi. Benang tersebut masuk ke dalam sel-sel korteks akar kemudian
12 bakteri akan menempati sitoplasma membentuk jaringan bakteroid yang akan merangsang sel korteks untuk aktif membelah. Pembelahan sel akan menyebabkan pembengkakkan jaringan membentuk struktur bintil yang berisi Rhizobium sp. dan terlihat menonjol yang disebut bintil akar. Somasegaran et al. dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) dalam kajian terhadap 23 strain Rhizobium sp. melaporkan bahwa Bradyrhizobium strain TAL 169 yang diisolasi dari dari tanaman cowpea, menunjukkan efektivitas yang lebih baik ketika bersimbiosis dengan tanaman kacang bogor pada pengujian yang dilakukan di dalam rumah kaca di Hawai. Pada percobaan lebih lanjut, strain ini pun menunjukkan efektivitas yang konsisten pada sepuluh genotipe yang diujikan. Brooks et al. dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) melakukan pengujian efektivitas pada enam strain NifTAL dan 13 strain Rhizobium sp. lokal Afrika barat dari asesi kacang bogor yang berasal dari Ghana dan Togo. Mereka menemukan lima dari enam strain NifTAL dan dua dari strain lokal Afrika Barat, efektif membentuk bintil akar potensial dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan penambatan N tanaman dapat dilakukan dengan penambahan inokulan Rhizobium sp.. Inokulasi Rhizobium sp. pada benih kedelai akan memberikan pengaruh terhadap kesuburan tanaman kedelai sehingga mampu berproduksi dengan baik, kualitas biji kedelai yang dihasilkan menjadi lebih baik karena kandungan proteinnya lebih tinggi, mengurangi jumlah biaya karena pemberian pupuk N akan berkurang, dan tidak membahayakan lingkungan karena Rhizobium sp. tidak bersifat sebagai racun (Adisarwanto dan Wudianto, 2002). Saraswati et al. (2000) menyatakan bahwa pemberian Rhizobium sp. dalam bentuk pupuk hayati Rhizo-plus yang merupakan pengembangan dari inokulan Rhizobium sp. komersial hasil produksi Indonesia, pada aplikasi di lapangan tanpa menggunakan pupuk urea dengan 50 kg/ha TSP dan 100 kg/ha KCl dapat meningkatkan hasil kedelai dibandingkan dengan rekomendasi pemupukan standar. Hartadi et al. (2000) menyatakan bahwa simbiosis ganda antara Rhizobium sp. dan mikoriza vesicular arbuskular (MVA) pada tanaman kedelai di lahan masam terbukti mampu meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat, menghemat pemupukan nitrogen, dan kapur pertanian. Sugiharto et al. (2000) menambahkan
13 bahwa pemberian inokulan mikoriza, Rhizobium sp. dan gabungan keduanya cenderung meningkatkan pertumbuhan generatif tanaman kedelai dalam hal indeks panen walaupun pemberian inokulan gabungan antara Rhizobium sp. dan mikoriza memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian inokulan tunggal ataupun kontrol. Remans et al. (2008) melaporkan bahwa coinoculation Rhizobium sp. dan Azospirillum sp. menghasilkan respon peningkatan fiksasi N tanaman dan peningkatan hasil panen yang bervariasi pada berbagai jenis kacang-kacangan. Kusnidar (2004) melaporkan bahwa inokulasi Rhizobium strain RD-59 mampu bersimbiosis dengan baik dengan tanaman kacang tanah varietas Pelanduk. Pertumbuhan tanaman yang terjadi menunjukkan hasil yang sama baiknya dengan penggunaan 100 ppm N yang setara dengan 450 kg/ha urea.
14
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Darmaga pada bulan Juni sampai Oktober 2010. Rancangan Percobaan Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan I adalah pengujian di laboratorium yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan invigorasi pada benih yang berbeda tingkat masak terhadap vigor benih. Percobaan I menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua faktor perlakuan. Faktor pertama yaitu perlakuan perbedaan tingkat masak benih yang terdiri atas tiga tingkat masak yaitu M1: 119 hari setelah tanam (HST), M2: 122 HST, dan M3: 125 HST. Faktor kedua adalah perlakuan invigorasi yang terdiri atas empat perlakuan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), dan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Model rancangan Yijk: µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Yijk
:
pengaruh tingkat masak dan perlakuan invigorasi
µ
:
rataan umum
αi
:
pengaruh tingkat masak ke-i (i = 1, 2, dan 3)
βj
:
pengaruh perlakuan invigorasi ke-j (j = 1, 2, 3, dan 4)
(αβ)ij :
pengaruh interaksi tingkat masak dan perlakuan invigorasi
εijk
pengaruh galat percobaan.
:
Percobaan II adalah pengujian di lapangan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan invigorasi pada benih yang berbeda tingkat masak terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kacang bogor. Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dua faktor perlakuan (tiga tingkat masak benih dan empat perlakuan invigorasi) masing-masing tiga ulangan. Jenis perlakuan sama seperti yang digunakan pada percobaan I.
15 Model rancangan Yijk: µ + αi + βj + αβij + Rk + εijk µ
:
rataan umum
αi
:
pengaruh tingkat masak ke-i (i = 1, 2, dan 3)
βj
: pengaruh perlakuan invigorasi ke-j (j = 1, 2, 3, dan 4)
Rk
:
pengaruh kelompok ke-k
(αβ)ij :
pengaruh interaksi tingkat masak dan perlakuan invigorasi
εijk
pengaruh galat percobaan
:
Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan uji F. Apabila dalam uji F terdapat perbedaan nyata pada taraf α = 5% maka dilakukan uji nilai tengah dengan prosedur DMRT (Duncan Multiple Range Test). Sumber benih Benih yang digunakan pada kedua percobaan diperoleh langsung dari petani di Kampung Cieurih, Desa Ancaen, Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi. Benih dipanen dalam tiga tahap yaitu tanggal 6, 9, dan 12 April 2010. Benih dikeringkan menggunakan sinar matahari selama 10 hari sampai mencapai kadar air benih rata-rata 11.6 %. Benih yang sudah dikeringkan kemudian disimpan pada ruang AC selama 28 hari sebelum digunakan pada percobaan I dan percobaan II. Percobaan I: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kacang Bogor Benih dengan tiga tingkat masak diberi perlakuan invigorasi. Perlakuan matriconditioning (P2 dan P3) menggunakan perbandingan 5 : 3 : 3 (benih : arang sekam : air) yang merupakan hasil dari percobaan pendahuluan untuk menentukan perbandingan antara benih dengan arang sekam dan air yang paling optimum untuk matriconditioning pada suhu ± 25o C. Pada percobaan digunakan benih sesuai kebutuhan di laboratorium dan lapangan yaitu 80 gram (± 100 benih) sehingga dibutuhkan arang sekam sebanyak 48 gram dan air sebanyak 48 ml. Arang sekam yang digunakan adalah arang sekam yang lolos saringan berukuran 0.5 mm. Setelah itu, benih, arang sekam, dan air dicampurkan dan disimpan di dalam ruang AC dengan suhu rata-rata 25o C selama 3 hari. Selama perlakuan matriconditioning berlangsung dilakukan pengadukkan sekali setiap hari.
16 Aplikasi Rhizobium sp. (P1 dan P3) dilakukan dengan cara mencampurkan 0.48 gram inokulan Rhizobium sp. dengan 80 gram benih kacang bogor. Pada perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3), inokulan Rhizobium sp. diaplikasikan pada saat perlakuan matriconditioning dengan cara memasukkan 0.48 gram inokulan ke dalam 48 ml air yang akan dicampurkan dengan 80 gram benih dan 48 gram arang sekam. Pada perlakuan benih plus Rhizobium sp. (P1), inokulan Rhizobium sp. diaplikasikan pada saat akan dilakukan pengecambahan dengan cara mencampurkan 80 gram benih dengan 0.48 gram inokulan Rhizobium sp. yang telah ditambahkan air ± 10 ml, kemudian diaduk sampai benih terlumuri seluruhnya dengan inokulan Rhizobium sp.. Benih yang telah diberi perlakuan kemudian ditanam pada boks mika berukuran 25 cm x 20 cm menggunakan media tanam campuran kompos dan arang sekam. Setiap perlakuan diulang tiga kali masing-masing 25 benih per ulangan. Percobaan II: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kacang Bogor Aplikasi perlakuan invigorasi sama seperti yang dilakukan pada percobaan I. Benih yang sudah diberi perlakuan kemudian ditanam di lapangan. Penanaman dilakukan pada petakan berukuran 2.5 m x 6.0 m sebanyak 36 petak percobaan. Penanaman menggunakan jarak tanam 50 cm x 60 cm. Lubang tanam dibuat menggunakan tugal kemudian ditanam satu benih per lubang tanam. Pada setiap petakan terdapat 50 tanaman. Pada penanaman awal dilakukan
pemupukan
dengan dosis urea 100 kg/ha, SP 36 100 kg/ha, dan KCl 75 kg/ha. Pupuk diberikan pada lubang di samping setiap lubang tanam. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi: penyulaman yang dilakukan hingga 3 minggu setelah tanam (MST), pencabutan tanaman yang terserang penyakit, pembenahan petakan tanaman yang rusak akibat air hujan, penyiangan gulma yang dilakukan secara manual, dan pembumbunan yang dilakukan bersamaan dengan penyiangan gulma. Pembumbunan dilakukan di sekitar permukaan tanah seluas diameter tajuk tanaman, setinggi ± 2 cm.
17 Pengamatan Percobaan I Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah diantaranya: 1. Daya berkecambah (%) Daya berkecambah dihitung pada hari ke-7 sebagai hitungan I dan hari ke-14 sebagai hitungan II (Wongvarodom dan Naulkong, 2006) Σ KN I + Σ KN II DB (%) =
X 100% Σ benih yang ditanam
KN I : kecambah normal hitungan I KN II : kecambah normal hitungan II 2. Kecepatan tumbuh (%/etmal) Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan akumulasi kecepatan tumbuh harian dalam tolok ukur persentase pertambahan kecambah normal perhari, dengan rumus perhitungan: KCT
tn = Σ 0
N t
t : waktu pengamatan tn : waktu akhir pengamatan N : pertambahan % kecambah normal setiap waktu pengamatan 3. Bobot kering kecambah normal (mg) Kecambah normal yang berumur 14 HST dibersihkan dari bagian biji yang masih menempel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80 o C selama 24 jam. Kecambah yang sudah dikering-oven dimasukkan dalam desikator selama ± 30 menit kemudian kecambah normal ditimbang dengan timbangan digital. 4. Indeks vigor (%) Indeks vigor dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama pada uji daya berkecambah (Copeland dan McDonald, 2001) dengan menggunakan rumus : Σ KN hitungan I IV (%) =
X 100% Σ benih yang ditanam
18 5. Laju pertumbuhan kecambah Laju pertumbuhan kecambah merupakan metode yang dikembangkan oleh Burris (1976) dalam Copeland dan McDonald (2001). Tolok ukur ini dapat dihitung dengan cara membagi bobot kering kecambah normal dengan jumlah kecambah normal yang dikeringkan dalam oven 80o C selama 24 jam: BKKN (mg) LPK =
X 100% Σ KN
Percobaan II Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah diantaranya: 1. Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman diukur dari tempat menempelnya kotiledon sampai permukaan tanaman tertinggi dimulai dari 3 MST sampai 9 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak. 2. Jumlah daun Jumlah daun dihitung dengan cara menghitung daun trifoliat mulai dari 5 MST sampai 9 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak. 3. Jumlah cabang Jumlah cabang dihitung dengan menghitung jumlah cabang primer mulai dari 5 MST sampai 8 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak. 4. Jumlah polong per tanaman Jumlah polong per tanaman dihitung setelah panen pada umur 17 MST terhadap sepuluh tanaman contoh. 5. Bobot basah polong per petak Bobot basah polong per petak dihitung dengan menimbang hasil panen per petak termasuk tanaman contoh dan tanaman pinggir, yang dipanen pada umur 17 MST.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan I Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kacang Bogor Berdasarkan rekapitulasi hasil sidik ragam, interaksi antara tingkat masak dan perlakuan invigorasi berpengaruh nyata terhadap peubah vigor benih yang diamati, kecuali pada peubah laju pertumbuhan kecambah. Perlakuan invigorasi (P) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah daya berkecambah, bobot kering kecambah normal, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor tetapi tidak berpengaruh nyata pada peubah laju pertumbuhan kecambah. Faktor perbedaan tingkat masak berpengaruh nyata pada peubah daya berkecambah, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor tetapi tidak berpengaruh nyata pada bobot kering kecambah normal dan laju pertumbuhan kecambah (Tabel 1). Kecambah normal pada umur 14 HST dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada tolok ukur vigor benih kacang bogor Peubah Daya berkecambah Bobot kering kecambah normal Kecepatan tumbuh Indeks vigor Laju pertumbuhan kecambah
M * tn * * tn
Faktor perlakuan P * * * * tn
Keterangan: * : berbeda nyata pada taraf 5 % tn : tidak berbeda nyata MxP : pengaruh interaksi tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P)
MxP * * * * tn
20
Gambar 2. Kecambah normal kacang bogor pada umur 14 HST Perlakuan matriconditioning (P2) dan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) dan M3 (125 HST) juga perlakuan Rhizobium sp. (P1) pada benih dengan tingkat masak M3 menghasilkan persentase daya berkecambah tertinggi dan tidak berbeda nyata satu sama lain, walaupun tidak berbeda nyata juga dengan pengaruh perlakuan P2 dan P3 pada benih dengan tingkat masak M1 (119 HST) atau perlakuan P1 pada tingkat masak M2. Kombinasi perlakuan tersebut lebih baik dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (P0) pada setiap tingkat masak benih yang digunakan pada percobaan (M1, M2, dan M3) (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap daya berkecambah (%) kacang bogor Perlakuan invigorasi (P) P0 P1 P2 P3
M1 (119 HST) 12.0Ab 33.3Bab 57.3Aa 54.7Aa
Tingkat masak (M) M2 (122 HST) 34.7Ab 50.7ABab 73.3Aa 65.3Aa
M3 (125 HST) 17.3Ab 68.0Aa 68.0Aa 70.7Aa
Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 26.1 %.
21 Pada peubah bobot kering kecambah normal, nilai tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan Rhizobium sp. (P1) pada benih dengan tingkat masak M3 (125 HST) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 pada benih dengan tingkat masak M3 atau perlakuan P3 pada tingkat masak M2 (122 HST). Nilai-nilai tersebut berbeda nyata dengan benih tanpa perlakuan (P0) pada semua tingkat masak ataupun perlakuan P1 pada tingkat masak M1 (119 HST) (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap bobot kering kecambah normal (mg) kacang bogor Perlakuan invigorasi (P) P0
M1 (119 HST) 160.0Ab
P1
623.3Bab
Tingkat masak (M) M2 (122 HST) 503.3Ab 933.3ABab
M3 (125 HST) 263.3Ab 1580.0Aa
P2
1193.3Aa
1196.7Aa
1516.7Aa
P3
1173.3Aa
1513.3Aa
1180.0Aa
Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 41.1 %.
Perlakuan P2 dan P3 pada setiap tingkat masak benih yang digunakan pada percobaan ataupun perlakuan P1 pada tingkat masak M3 menunjukkan kecepatan tumbuh tertinggi yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Nilai-nilai tersebut lebih baik dibandingkan dengan pengaruh interaksi yang lain dan berbeda nyata dibandingkan pengaruh benih tanpa perlakuan (P0) pada setiap tingkat masak ataupun perlakuan P1 pada tingkat masak M1 (Tabel 4). Pada benih yang belum mencapai masak fisiologis (M1), perlakuan matriconditioning (P2) dan perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) meningkatkan daya berkecambah (Tabel 2), bobot kering kecamabah normal (Tabel 3), dan kecepatan tumbuh (Tabel 4).
22 Tabel 4. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap kecepatan tumbuh (%/etmal) kacang bogor Perlakuan invigorasi (P) P0 P1 P2 P3
M1(119 HST) 1.1Ab 3.4Bb 6.4Aa 6.5Aa
Tingkat masak (M) M2 (122 HST) 3.4Ab 5.2ABab 6.6Aa 7.5Aa
M3 (125 HST) 1.7Ab 6.5Aa 7.0Aa 7.7Aa
Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 25.5 %.
Perlakuan P2 pada benih dengan tingkat masak M2 memperlihatkan indeks vigor tertinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 dan P3 pada tingkat masak M3 atau perlakuan P3 pada tingkat masak M2. Perlakuan P0 dan P1 pada setiap tingkat masak benih menunjukkan persentase kecambah normal 0 % pada hitungan I (indeks vigor 0 %) (Tabel 5). Perlakuan matriconditioning (P2) dan perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) pada semua tingkat masak benih dapat mempercepat perkecambahan. Tabel 5. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap indeks vigor (%) kacang bogor Perlakuan invigorasi (P) P0 P1 P2 P3
M1(119 HST) 0.0Ab 0.0Ab 33.3Ba 16.0Bb
Tingkat masak (M) M2 (122 HST) 0.0Ab 0.0Ab 52.0Aa 46.7Aa
M3 (125 HST) 0.0Ab 0.0Ab 34.7Aba 41.3Aa
Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 52.6 %.
Perlakuan invigorasi dan tingkat masak benih menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada peubah laju pertumbuhan kecambah begitupun dengan interaksinya. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata tetapi pengaruh faktor tunggal perlakuan invigorasi dengan matriconditioning (P2) dan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan Rhizobium sp. (P1) dan kontrol (P0). Faktor tunggal
23 tingkat masak benih M3 (55 HSB) menunjukkan hasil rata-rata cenderung lebih tinggi dibandingkan tingkat masak yang lainnya (Tabel 6). Tabel 6. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap laju pertumbuhan kecambah kacang bogor Perlakuan invigorasi (P) P0 P1 P2 P3 Rata rata tingkat masak
Tingkat masak (M) M1(119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST) 33.6 54.6 48.1 72.3 73.8 89.9 90.2 66.0 89.0 88.0 90.5 66.5 71.3
71.2
Rata rata invigorasi 58.3 65.7 82.0 81.7
73.4
Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning+Rhizobium sp.).
Secara umum dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan matriconditioning (P2 dan P3) pada tingkat masak M2 dan M3 menunjukkan hasil yang tertinggi meningkatkan viabilitas dan vigor benih berdasarkan peubah yang diamati (Tabel 2, 3, 4, dan 5). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, Khan et al. (1990) menyatakan bahwa matriconditioning merupakan perlakuan invigorasi yang cukup efektif, matriconditioning terbukti dapat memperbaiki vigor benih kacang-kacangan dan sayur-sayuran juga dapat mempercepat perkecambahan benih, meningkatkan daya berkecambah benih, serta meningkatkan kemampuan tumbuh dan produksi di lapang. Yunitasari
dan
Ilyas
(1994)
melaporkan
bahwa
perlakuan
matriconditioning menggunakan media abu gosok dan serbuk gergaji mampu meningkatkan vigor benih cabai. Hal tersebut ditunjukkan dengan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah 50 % (T50) serta meningkatkan bobot kering kecambah normal. Ningsih
(2003)
melaporkan
bahwa
perlakuan
matriconditioning
menggunakan arang sekam plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam pada suhu kamar dapat meningkatkan mutu benih dan pertumbuhan tanaman kedelai. Hal tersebut ditunjukkan dengan daya hantar listrik yang rendah, kecepatan tumbuh relatif yang lebih singkat, daya berkecambah, indeks vigor,
24 jumlah nodul, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan invigorasi benih lainnya. Dalam penelitian ini, semua perlakuan invigorasi memberikan respon yang lebih baik terhadap daya berkecambah benih, bobot kering kecambah normal, dan kecepatan tumbuh pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) dan M3 (125 HST) dibandingkan dengan perlakuan invigorasi pada benih dengan tingkat masak benih M1 (119 HST) (Tabel 2, 3, dan 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa benih yang dipanen pada 122 dan 125 HST diperkirakan sudah mencapai masak fisiologis. Tingkat masak merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu benih. Benih yang dipanen sebelum masak fisiologis atau lewat masak fisiologis akan memiliki mutu benih yang lebih rendah dibandingkan dengan benih yang dipanen pada saat masak fisiologis. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Setyaningsih (2002), bahwa perbedaan tingkat masak pada benih adas (Foeniculum vulgare Mill.) menunjukkan respon yang berbeda terhadap efektivitas perlakuan invigorasi. Perlakuan invigorasi (osmoconditioning-PEG), osmoconditioning-KNO3, dan matriconditioning-vermikulit) terbukti efektif digunakan pada tingkat masak cokelat dibandingkan masak hijau dan masak kuning. Hal ini ditunjukkan dengan daya berkecambah dan bobot kecambah normal tertinggi serta waktu perkecambahan yang lebih singkat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa benih pada tingkat masak cokelat sudah mencapai masak fisiologis yang dibuktikan juga dengan berat kering maksimum.
25 Percobaan II Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kacang Bogor Kondisi Umum Saat 3 MST daya tumbuh benih di lapang mencapai 100 % pada semua perlakuan dan tidak nampak gejala serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Rata-rata curah hujan pada bulan tersebut (Juni 2010) mencapai 303 mm/bulan dengan hari hujan sebanyak 22 hari (Tabel 7) sehingga cukup mendukung perkecambahan. Kondisi pertanaman pada dua bulan pertama cukup baik (Gambar 3a) tetapi pada umur 7 MST mulai muncul gejala serangan virus pada beberapa tanaman, berupa tanaman kerdil dan daunnya tampak mengkerut (Gambar 3b). Virus menyerang 1-3 tanaman hampir pada setiap petak percobaan sehingga tanaman harus dicabut untuk mencegah penyebaran ke tanaman lain. Pada bulan ke tiga curah hujan mulai meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Data dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor menunjukkan ratarata curah hujan bulan Juli 2010 mencapai 270.4 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 22 yang kemudian meningkat pada bulan Agustus 2010 mencapai rata-rata curah hujan 477.6 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 24, dan pada bulan September 2010 mencapai 601.0 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 29 hari. Tabel 7. Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga, Bogor Bulan Juni Juli Agustus September Oktober Sumber:
Suhu rata-rata (o C) 25.89 25.78 25.75 25.29 25.40
Curah hujan (mm/bulan) 303.40 270.40 477.60 601.00 436.20
Kelembaban nisbi (%) 85.85 83.58 83.97 83.75 86.00
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Balai Besar Wilayah II Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
Keadaan tersebut
menyebabkan tanaman banyak
yang terserang
cendawan. Pada umur 13 MST mulai nampak gejala serangan cendawan berupa batang tanaman yang dekat dengan permukaan tanah dipenuhi dengan cendawan berwarna putih, sehingga tangkai menjadi busuk dan dapat menyerang polong (Gambar 3c). Hasil identifikasi Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB menyatakan bahwa cendawan yang menyerang adalah Sclerotium sp..
26
a.
b.
c. Gambar 3. a. Kondisi pertanaman pada 7 MST b.Tanaman terserang virus pada 7 MST c. Tanaman terserang Sclerotium sp. Pada awal penanaman, benih sangat membutuhkan banyak air untuk proses perkecambahan. Curah hujan pada awal penanaman yaitu pada bulan Juni, berdasarkan data dari Stasiun Klimatologi Darmaga menunjukkan rata-rata curah hujan mencapai 303 mm/bulan dengan hari hujan sebanyak 22 hari. Kondisi ini cukup mendukung untuk mendorong perkecambahan benih sehingga benih dapat berkecambah dengan baik. Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa air adalah faktor lingkungan yang
paling utama dibutuhkan tanaman untuk
berkecambah. Imbibisi air kedalam benih merupakan tahap awal yang paling penting untuk memulai perkecambahn benih. Air berfungsi untuk reaktivasi enzim, melunakkan kulit benih, transport metabolit, dan memungkinkan masuknya oksigen.
27 Munculnya gejala daun mengkerut dan tanaman kerdil pada 7 MST diindentifikasi sebagai gejala serangan virus. Agrios (1996) menyatakan bahwa gejala yang sangat umum akibat infeksi virus adalah menurunnya pertumbuhan tanaman, menghasilkan berbagai tingkat kerdil (dwarf) atau katai (stunting) keseluruhan tumbuhan. Hampir semua serangan virus menyebabkan beberapa tingkat penurunan hasil dan lama hidup yang lebih pendek. Pengaruh yang ditimbulkan bisa cukup berat dan dapat dilihat atau mungkin juga sangat lemah dan kurang begitu terlihat. Serangan virus
yang terjadi kemungkinan karena tidak adanya
pengendalian berupa penyemprotan insektisida yang seharusnya sudah diberikan mulai 4 MST untuk membasmi serangga yang dimungkinkan sebagai vektor pembawa virus (Hamid, 2009). Pracaya (2004) menyampaikan, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan serangan virus pada tanaman adalah dengan cara melakukan penyemprotan insektisida untuk mengurangi vektor pembawa virus. Peningkatan curah hujan pada bulan Agustus dan September 2010 (Lampiran 1) yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi lebih lembab sehingga muncul gejala serangan cendawan Sclerotium sp. Agrios (1996) menyatakan bahwa kelembaban mempengaruhi tahap awal perkembangan penyakit. Kelembaban mungkin terdapat dalam bentuk air hujan atau irigasi pada pemukaan tanah di sekitar perakaran, sebagai kelembaban relatif di udara atau sebagai embun. Agrios (1996) juga menyampaikan bahwa kelembaban dalam bentuk percikan air hujan dan dan air yang mengalir memainkan peranan penting dalam distribusi dan penyebaran berbagai jenis patogen pada tumbuhan yang sama atau dari tumbuhan yang satu ke tumbuan yang lain. Kelembaban ini berperan dalam perluasan dan intensitas serangan penyakit dengan meningkatkan sukulen tumbuhan inang dan selanjutnya meningkatkan kerentanan tumbuhan terhadap patogen tertentu. Selain itu, munculnya serangan cendawan tersebut kemungkinan disebabkan karena tidak dilakukan pengendalian berupa penyemprotan fungisida. Hamid (2009) menyampaikan bahwa penyemprotan fungisida seharusnya sudah
28 dilakukan pada 4 MST bergantian dengan aplikasi insektisida dengan frekuensi seminggu sekali untuk menekan pertumbuhan cendawan Sclerotium sp.. Kacang bogor tergolong pada tanaman yang lebih tahan terhadap serangan hama jika dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya seperti kacang tanah atau cowpea dan sejenisnya. Tetapi jika kondisi lingkungan lembab dapat terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan seperti bercak daun (Cercospora sp.), layu fusarium, dan busuk batang (Sclerotium sp.) (Beggeman dalam Heller et al., 1997). Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Kacang Bogor Data hasil rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa secara umum kedua faktor perlakuan tidak berbeda nyata terhadap peubah vegetatif yang diamati kecuali perlakuan invigorasi berpengaruh nyata pada tinggi tanaman 5-8 MST. Perlakuan invigorasi (P) berpengaruh nyata pada peubah hasil yang diamati (bobot basah polong per petak dan jumlah polong per tanaman) sedangkan tingkat masak (M) berpengaruh nyata hanya pada jumlah polong per tanaman. Interaksi kedua faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan vegetatif tanaman dan juga peubah hasil kacang bogor yang diamati (Tabel 8).
29 Tabel 8. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada peubah pertumbuhan vegetatif dan hasil kacang bogor Peubah
MST
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah daun
Jumlah cabang
Bobot basah polong per petak (kg) Jumlah polong per tanaman
5 6 7 8 9 5 6 7 8 9 5 6 7 8 -
M tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Faktor perlakuan P * * * * tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn *
MxP tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
-
*
*
tn
Keterangan: * : berbeda nyata pada taraf 5 % tn : tidak berbeda nyata MxP : pengaruh interaksi tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P)
Pada tinggi tanaman 5-8 MST, data menunjukkan bahwa perlakuan P3 (matriconditioning
plus
Rhizobium
sp.)
memperlihatkan
hasil
tertinggi
dibandingkan perlakuan invigorasi yang lain (P1 dan P2) dan berbeda nyata dengan kontrol (P0). Pada peubah lain, perlakuan invigorasi tidak berpengaruh nyata secara statistik, tetapi data menunjukkan bahwa semua perlakuan invigorasi yang diberikan (P1, P2, dan P3) cenderung lebih baik dibandingkan dengan kontrol (P0) dan P3 menunjukkan hasil rata-rata cenderung lebih tinggi pada setiap peubah yang diamati (Tabel 9).
30 Tabel 9. Pengaruh perlakuan invigorasi pertumbuhan vegetatif kacang bogor Umur (MST)
UjiF
5 6 7 8 9
* * * * tn
5 6 7 8 9
tn tn tn tn tn
5 6 7 8
tn tn tn tn
(P)
Perlakuan invigorasi P0 P1 P2 Tinggi tanaman (cm) 17.4b 17.4b 17.6b 17.9c 18.6b 18.8b 18.4b 19.0ab 19.2ab 19.6b 20.3ab 20.7a 20.8 20.8 20.9 Jumlah daun 9.0 8.8 9.4 11.9 12.5 14.2 15.6 15.9 16.9 26.4 27.0 25.9 39.2 41.8 38.7 Jumlah cabang 4.3 4.3 4.4 4.9 5.2 5.2 5.6 5.7 5.8 6.2 6.3 6.4
terhadap
peubah
P3 18.4a 19.7a 19.5a 21.3a 21.2 10.2 14.3 17.7 30.3 42.5 4.5 5.2 6.0 6.6
Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.
Perbedaan tingkat masak tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan vegetatif yang diamati (tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang), tetapi benih dengan tingkat masak M3 (125 HST) memperlihatkan hasil yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat masak M1 (119 HST) dan M2 (122 HST) pada 8 dan 9 MST (Gambar 4, 5, dan 6).
31
tinggi tanaman (cm)
22 21 20 19
M1
18
M2
17
M3
16
15 5
6
7 MST
8
9
jumlah daun
Gambar 4. Tinggi tanaman kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
M1 M2
M3
5
6
7 MST
8
9
Gambar 5. Jumlah daun kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST)
7 jumlah cabang
6 5 4
M1
3
M2
2
M3
1 0 5
6
7
8
MST
Gambar 6. Jumlah cabang kacang bogor 5-8 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST)
32 Perlakuan invigorasi P3
(matriconditioning
plus Rhizobium
sp.)
menghasilkan jumlah polong per tanaman tertinggi dibandingkan dengan perlakuan invigorasi yang lain walaupun tidak berbeda nyata dengan P1 (perlakuan Rhizobium sp). Benih dengan tingkat masak 125 HST (M3) menunjukkan hasil tertinggi, berbeda nyata dengan tingkat masak 119 HST (M1) walaupun tidak berbeda nyata dengan tingkat masak 122 HST (M2) (Tabel 10). Tabel 10. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap jumlah polong kacang bogor per tanaman Perlakuan invigorasi (P) P0 P1 P2 P3 Rata-rata tingkat masak
M1 23.9 30.2 30.0 33.3 29.4b
Tingkat masak (M) M2 27.3 32.5 25.1 38.3 30.8ab
M3 32.7 34.2 35.0 37.3
Rata-rata invigorasi 28.0b 32.3ab 30.0b 36.3a
34.8a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.
Perlakuan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) menghasilkan bobot basah polong per petak tertinggi berbeda nyata dengan kontrol (P0) walaupun tidak berbeda nyata dengan P1dan P2. Faktor perbedaan tingkat masak tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata, tetapi dapat dilihat bahwa M3 (125 HST) menunjukkan hasil cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat masak yang lainnya (Tabel 11). Tabel 11. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap peubah bobot basah polong kacang bogor (kg) per petak Perlakuan invigorasi (P) P0 P1 P2 P3 Rata-rata tingkat masak
M1 2.7 3.3 3.7 3.7
Tingkat masak (M) M2 2.6 3.6 2.7 3.9
M3 3.0 3.4 3.3 3.0
3.2a
3.2a
3.3a
Rata-rata invigorasi 2.8b 3.4a 3.2ab 3.5a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.
33 Secara umum semua perlakuan invigorasi yang digunakan (P1, P2, dan P3) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol (P0), baik pada peubah pertumbuhan vegetatif (Tabel 9) maupun pada peubah hasil (Tabel 10 dan 11). Perlakuan matriconditioning (P2) dan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) yang diberikan mendorong pertumbuhan vegetatif tanaman dan hasil kacang bogor. Hal ini mendukung pernyataan Khan et al. (1990) bahwa matriconditioning mampu menurunkan waktu perkecambahan, meningkatkan daya berkecambah benih, meningkatkan kemampuan tumbuh, dan mampu meningkatkan produktivitas di lapangan. Hasil tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) baik pada tinggi tanaman (Tabel 9) maupun pada peubah hasil kacang bogor (Tabel 10 dan 11). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ilyas et al. (2003), bahwa perlakuan benih dengan matriconditioning plus inokulan B. japonicum yang dikombinasikan A. lipoferum dan benomyl 0.05 % selama 13 jam mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan penambatan nitrogen pada tanaman kedelai dibandingkan dengan perlakuan matriconditioning plus benomyl tanpa inokulan atau kontrol. Hasil tersebut juga mendukung penelitian Faisal (2005), bahwa perlakuan matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam terbukti dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen sebesar 121.2 % atau dapat menghemat pemupukan N sebesar 30.5 kg urea/ha. Kombinasi perlakuan matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam dan perlakuan pemupukan N sampai dosis 12.5 kg urea/ha lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai, hasil kedelai, dan mutu benih kedelai yang dihasilkan dan menurun kembali ketika dosis ditingkatkan sampai 25 kg/ha urea. Menurut Adisarwanto dan Wudianti (2002), inokulasi Rhizobium sp. pada benih kedelai akan memberikan pengaruh terhadap kesuburan tanaman kedelai sehingga mampu berproduksi dengan baik, kualitas biji kedelai yang dihasilkan menjadi lebih baik karena kandungan proteinnya lebih tinggi, mengurangi jumlah biaya karena pemberian pupuk nitrogen akan berkurang, dan tidak membahayakan lingkungan karena Rhizobium sp. tidak bersifat sebagai racun.
34 Perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) dan perlakuan Rhizobium sp. (P1) menunjukkan hasil yang lebih baik seperti ditunjukkan peubah hasil kacang bogor (jumlah polong per petak dan bobot basah polong per tanaman) dibandingkan perlakuan matriconditioning tanpa inokulan dan kontrol (Tabel 10 dan 11). Hasil tersebut menunjukkan bahwa inokulasi Rhizobium sp. pada benih kacang bogor berpengaruh cukup signifikan untuk meningkatkan komponen hasil kacang bogor. Somasegaran et al. dalam Linneman dan AzamAli (1993) dalam kajian terhadap 23 strain Rhizobium sp. melaporkan bahwa Bradyrhizobium strain TAL 169 yang diisolasi dari tanaman cowpea menunjukkan efektivitas yang lebih baik ketika bersimbiosis dengan tanaman kacang bogor pada pengujian yang dilakukan di dalam rumah kaca di Hawai. Pada percobaan lebih lanjut, strain ini pun menunjukkan efektivitas yang konsisten pada sepuluh genotip kacang bogor yang dujikan. Brooks et al. dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) melakukan pengujian efektivitas pada enam strain NifTAL dan 13 strain Rhizobium sp. lokal Afrika Barat dari asesi kacang bogor yang berasal dari Ghana dan Togo. Mereka menemukan lima dari enam strain NifTAL dan dua dari strain lokal Afrika Barat efektif membentuk bintil akar potensial dibandingkan dengan kontrol. Menurut Rahmawati (2005), Rhizobium sp. akan menginfeksi akar tanaman dan membentuk bintil akar. Bakteri ini hanya dapat memfiksasi N2 udara bila berada dalam bintil akar. Rhizobium sp. yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu memfiksasi 100-300 kg N/ha dalam satu musim tanam. Benih pada tingkat masak 125 HST memberikan hasil rata-rata cenderung lebih tinggi pada peubah vegetatif tanaman umur 8 dan 9 MST (Gambar 2, 3, dan 4) dan tertinggi pada jumlah polong kacang bogor per tanaman (Tabel 10) dibandingkan dengan tingkat masak yang lain. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada 125 HST benih kacang bogor diperkirakan sudah mencapai masak fisiologis. Hal tersebut juga dibuktikan melalui hasil percobaan I, bahwa perlakuan invigorasi paling efektif diaplikasikan pada benih dengan tingkat masak 125 HST (M3). Efektivitasnya ditunjukkan melalui daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal yang cukup tinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan M2 (119 HST).
35 Waemata dan Ilyas (1989) melaporkan bahwa masak fisiologis benih kacang buncis varietas lokal Bandung yaitu 30 hari setelah berbunga (HSB) yang dibuktikan melalui tolok ukur kadar air benih yang terus menurun sampai 30 HSB, bobot kering benih maksimum, dan vigor kekuatan tumbuh maksimum pada saat 30 HSB. Pada saat masak fisiologis, benih belum mengalami penurunan vigor kekuatan tumbuh maupun viabilitas potensialnya, sedangkan pada benih yang dipanen sebelum dan sesudah masak fisiologis (27 dan 33 HSB) sudah mengalami penurunan vigor kekuatan tumbuh pada periode simpan empat minggu. Tingkat masak benih adas (Foeniculum vulgare Mill.) mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk mencapai 50 % total perkecambahan (T50) dan bobot kering kecambah normal. Semakin masak benih, maka waktu yang diperlukan untuk mencapai 50 % total perkecambahan semakin singkat. Pada tingkat masak hijau, benih membutuhkan waktu 10.5 hari untuk mencapai 50 % total perkecambahan. Pada tingkat masak kuning, waktu yang dibutuhkan menurun menjadi 9.4 hari dan memasuki masak cokelat menurun kembali menjadi 9.3 hari. Bobot kering kecambah normal meningkat pada tingkat masak kuning kemudian kembali menurun memasuki tingkat masak cokelat walaupun tidak berbeda nyata dibanding tingkat masak kuning (Setyaningsih, 2002). Pada penelitian ini, benih kacang bogor dengan tingkat masak 125 HST yang diberi perlakuan matriconditioning atau matriconditioning plus Rhizobium sp. menunjukkan pengaruh yang lebih baik pada peubah viabilitas (daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal) dan peubah vigor benih (kecepatan tumbuh dan indeks vigor) juga faktor tunggalnya memberikan hasil tertinggi pada jumlah polong per tanaman walaupun tidak berbeda nyata dengan tingkat masak 122 HST.
36
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Perlakuan invigorasi menggunakan matriconditioning atau matriconditioning plus Rhizobium sp. pada benih dengan tingkat masak 122 dan 125 HST terbukti efektif meningkatkan viabilitas (daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal) dan vigor (kecepatan tumbuh dan indeks vigor) dibandingkan kontrol pada setiap tingkat masak benih yang digunakan. 2. Perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan Rhizobium sp. meningkatkan tinggi tanaman dan hasil (jumlah polong per tanaman dan bobot basah polong per petak) dibandingkan perlakuan invigorasi yang lain dan kontrol. 3. Benih dengan tingkat masak 125 HST memberikan hasil kacang bogor lebih tinggi dibandingkan tingkat masak 122 HST dan 119 HST. Saran Pemberian pupuk kandang, pengendalian OPT yang intensif perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi pertanaman pada saat percobaan. Perlu dilakukan studi lebih lanjut tentang studi fenologi dan penentuan tingkat masak benih.
37
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. dan R. Wudianto. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah, Lahan Kering, dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta. 84 hal. Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Terjemahan dari: Plant Pathology. Penerjemah: M. Busnia dan T. Martoredjo. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. 695 hal. Andreoli, C. and A. A. Khan. 1999. Matriconditioning integrated with gibberellic acid to hasten seed germination and improve stand establishment of pepper and tomato. Pesq. Agropec. 34:1953-1958. Astuti, D. 2009. Pengaruh Matriconditioning Plus Minyak Cengkeh terhadap Viabilitas, Vigor, dan Kesehatan Benih Padi (Oryza sativa) yang Terinfeksi Alternaria padwickii (Ganguly) M. B. Ellis. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. 41 hal Azam-Ali, S. N., A. Sesay, S. K. Karikari, F. J. Massawe, Manjarrez. J. A., Bannayan. M., and K. J. Hampson. 2001. Assessing the potential of an underutilized crop-a case study using bambara groundnut. Expl Agric. 37:433-472. Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 2001. Principle of Seed Science and Technology. 4th ed. Kluwer Academic Publisher. Massachusetts. 467p. Dazzo, F. B and G. L. Truchet. 1984. Attachment of nitrogen-fixation bacteria to roots of host plant, p. 65-91. In N. S. Subba Rao (Eds). Current Development in Biological Nitrogen Fixation. Edward Arnold Publisher Ltd. Maryland. 351p. Department of Agriculture, Forestry, and Fisheries Republicof South Africa. 2009. Production Guideline for Bambara Groundnuts. Directorate Agricultural Information Services. Pretoria. 9p. Faisal. 2005. Perlakuan Benih Menggunakan Matriconditioning plus Inokulan Mikroba untuk Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Nitrogen, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman Kedelai. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 79 hal. Gobat, J. M., M. Aragno, W. Matthey. 2004. The Living Soil Fundamentals of Soil Science and Soil Biology. Translated from: Le Sol Vivant, Bases Pedologie Biologi des Sols (Second edition). Translated by: V. A. K. Sarma. Science Publisher Inc. New Hampshire, USA. 602p. Hamid, M. N. 2009. Menggali Potensi Genetik Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 34 hal.
38 Handayani, D. 1999. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning dan Fungisida pada Dua Tingkat Vigor Benih Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Viabilitas dan Vigor Benih, Pertumbuhan dan Hasil. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hal. Hartadi, S., S. Kabirun, S. Wedhastri, dan J. Widada. 2000. Simbiosis Ganda Tanaman Kedelai dengan Rhizobium dan Mikoriza Vaskuler Arbuskular (MVA) pada Lahan Masam. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi Tinggi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kerjasama Kementerian Pendidikan Sains, Riset, dan Teknologi Jerman. Jakarta. Hal 133-136. Hartini, R. 1997. Pengaruh Kondisi Simpan dan Perlakuan Invigorasi Pasca Penyimpanan terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kedelai (Glicine max L.) pada Beberapa Periode Simpan. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal. Heller, J., F. Begemann, Joseph N.N. 1997. A Global Mapping of Bambara Groundnut. Proceeding of the Workshop on Conservation and Improvement of Bambara Groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdcourt). International Plant Genetic Resources Institute. Zimbabwe. Vol 10. Ilyas, S. 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed quality. Bul. Agron. 34(2):124-132. Ilyas, S., M. Surahman, S. Saraswati, L. Gunarto, dan T. Adisarwanto. 2003. Peningkatan Mutu Benih dan Produktivitas Kedelai dengan Teknik Invigorasi Benih Menggunakan Matriconditioning dan Inokulan Mikroba. Laporan Hasil Penelitian. Kerja sama Lembaga Penelitian IPB dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif Pusat. Bogor. 61 hal. Imas, I. dan E. Yuniarti. 2000. Efektivitas Simbiotik Galur Bradyrhizobium japonicum Toleran Asam–Al dan Kekeringan dalam Lingkungan Terkendali. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi Tinggi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kerjasama Kementerian Pendidikan Sains, Riset, dan Teknologi Jerman. Jakarta. Hal 127-132. Kartika, E. dan S. Ilyas. 1994. Pengaruh tingkat kemasakan benih dan metode konservasi terhadap vigor benih dan vigor kacang jogo (Phaseolus vulgaris L.). Bul. Agron. 22(2):44-59. Khan, A. A., H. Miura, J. Prusinski, dan S. Ilyas. 1990. Matriconditioning of Seed to Improve Emergence. Proceeding of the Symposium on Stand Establishment of Horticultural Crops. Minnesota. p 19-40.
39 Kusnidar, J. 2004. Respon Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Varietas Pelanduk dan Gajah terhadap Inokulasi Rhizobium-iaa Mtms2 RD-59. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 37 hal. Linneman, A.R. and S. Azam-Ali. 1993. Bambara groundnut. In J. T. Williams (ed). Pulse and Vegetables. Chapman and Hall. London. 247p. Madiki, A. 1998. Deteksi Dini Sifat Toleransi dan Peranan Perlakuan Invigorasi Benih dalam Mengatasi Cekaman Oksigen pada Berbagai Galur Padi Sawah (Oryzae sativa L.). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61 hal. Ningsih, S. 2003. Peningkatan Mutu Benih dan Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan Teknik Invigorasi Benih Menggunakan Matriconditioning yang Diintegrasikan dengan Inokulan Mikroba. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 57 hal. Pracaya. 2004. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. 411 hal. Purwaningsih, S., S. H. Rahayu, Suciatmih, dan Kuntjoro. 2000. Pengaruh Inokulasi Bakteri Rhizobium dan Jamur Mikoriza Vesicular Arbuskular (MVA) terhadap Pertumbuhan dan Pembentukan Polong Kedelai Varietas Wilis. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi Tinggi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kerjasama Kementerian Pendidikan Sains, Riset, dan Teknologi Jerman. Jakarta. Hal 141-144. Rachmawati, A. Y. 2009. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning plus Bakterisida Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Terbawa Benih serta Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih Padi (Oryza sativa L.). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal. Rahmawati, N. 2005. Pemanfaatan Biofertilizer pada Pertanian Organik. Universitas Sumatera Utara. Medan. 21 hal. Redjeki, E. S. 2007. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) Galur Gresik dan Bogor pada Berbagai Warna Biji. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai oleh Hibah Kompetitif. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Remans, R., L. Ramackers, S. Schelkens, G. Hernandez, A. Garcia, J. L. Reyes, N. Mendez, V. Toscano, M. Mulling, L. Galvez, and J. Vanderleyden. 2008. Effect of Rhizobium-Azospirilium coinoculation on nitrogen fixation and yield of two contrasting Phaseolus vulgaris L. genotypes cultivated across different environments in Cuba. Plant Soil. 312:25-27.
40 Sadjad, S. 1983. Seeds and seed quality. Training Course Production of Improved Seed. ASEAN - Canada Forest Tree Seed Centre. Bogor. 12p. Saenong, S. dan Bahar F. A. 1986. Usaha Peningkatan Mutu Fisiologi Benih. Prosiding Lokakarya Teknologi Benih dan Pasca Panen Tingkat Pedesaan. Balai Penelitan Tanaman Pangan. Malang. Hal 56-59. Saraswati, R., R. D. Hastuti, N. Sunarlim, dan S. Hutami. 2000. Penggunaan Rhizo–plus General I untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-Kacangan. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi Tinggi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kerjasama Kementerian Pendidikan Sains, Riset, dan Teknologi Jerman. Jakarta. Hal 121-126. Sesay, A. 2009. Influence of flooding on bambara groundnut (Vigna subteranea L.) germination: Effect of temperature duration and timing. African Journal of Agricultural Research. Vol.4(2):100-106. Setyaningsih, M. C. 2002. Pengaruh Tingkat Masak, Penyimpanan dan Invigorasi terhadap Perubahan Fisiologis Benih Adas (Foeniculum vulgare Mill.). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 63 hal. Sugiharto, A., H. J. D. Latupapua, Suciatmih, dan S. Widawati. 2000. Pengaruh Pemberian Inokulan Tunggal dan Gabungan Rhizobium dan Mikoriza pada Kedelai (Glycine max) di Wamena-Irian Jaya. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi Tinggi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kerjasama Kementerian Pendidikan Sains, Riset, dan Teknologi Jerman. Jakarta. Hal 137-140. Subba Rao, N. S. 1981. Biofertilizer in Agriculture. Oxford and IBH Publishing co. London. 466p. 1994. Soil Microorganism and Plant Growth. Oxford and IBH Publishing co. London. Suryani, N. 2003.Pengaruh Perlakuan Matriconditioning plus Fungisida pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.) dengan Berbagai Tingkat Kontaminasi Colletotricum capsici (syd.) Butl. Et Bisby terhadap Viabilitas dan Vigor Benih. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal. Swanevelder, C. J. 1998. Bambara-Food for Africa. Government Printer, National Departement of Agriculture Republic of South Africa-ARC Grain Crops Institute. Pretoria. 16p. Untari, M. 2003. Pengaruh Perlakuan Minyak Cengkeh terhadap Tingkat Kontaminasi Cendawan Patogenik Tular Benih Colletotricum capsici (syd.) Butl. Et Bisby dan Viabilitas Benih Cabai Merah (Capsicum
41 annuum L.). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian bogor. 52 hal. Van der Maesen dan Somaatmadja. 1989. Plant Research of South-East Asia No. 1 Pulses. Pudoc, Wageningen. p75. Waemata, S dan S. Ilyas. 1989. Pengaruh tingat kemasakan, kelembaban relatif ruang simpan dan periode simpan terhadap viabilitas benih buncis (Phaseolus vulgaris L.). Bul. Agron. 18(2):27-34. Wongvarodom, V. and S. Naulkong. 2006. Responses of bambara groundnut seed to accelerated aging. Nat. Sci. Vol 40 :848-853. Yunitasari, M. dan S. Ilyas. 1994. Kemungkinan penggunaan beberapa media padatan sebagai media matriconditioning benih cabai (Capsicum annuum L.). Keluarga Benih 5 (2):29-34.
42
LAMPIRAN Lampiran 1. Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga Bogor Bulan
Temperatur (oC)
RH
07.00 13.00 18.00 Rata- 07.00 13.00 18.00 Ratarata rata 23.35 30.03 26.81 25.89 95.79 67.71 84.12 85.85
Juni Juli
Curah hujan (mm/bulan) Rata-rata 303.40
23.08 30.52 26.42 25.78 94.94 62.61 81.82 83.58
270.40
23.03 30.87 26.08 25.75 95.30 61.27 84.01 83.97
477.60
September 23.11 30.21 24.73 25.29 95.55 64.94 90.12 83.75 Oktober 23.40 29.20 25.50 25.40 94.00 68.00 86.00 86.00
601.00
Agustus
436.20
Sumber : Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Darmaga Bogor
Lampiran 2. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap daya berkecambah benih kacang bogor Sumber Keragaman Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total Terkoreksi
db 3 2 6 24 35
JK 8570.7 2222.2 4064.0 4160.0 19016.9
KT 2856.9 1111.1 677.3 173.3
F hitung 16.5 6.4 3.9
Pr > F < 0.0001 0.0060 0.0073
Lampiran 3. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot kering kecambah normal benih kacang bogor Sumber Keragaman Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
db 3 2 6 24 35
JK 4265297.2 770038.9 2897894.4 3945000.0 11878230.5
KT F hitung 1421765.7 8.65 385019.4 2.34 482982.4 2.94 164375.0
Pr > F 0.0005 0.1177 0.0271
Lampiran 4. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kecepatan tumbuh benih kacang bogor Sumber keragaman
db
JK
Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
3 2 6 24 35
110.001 17.462 49.878 44.367 221.707
KT
F hitung 36.667 19.83 8.730 4.72 8.313 4.50 1.848
Pr > F < 0.0001 0.0186 0.0035
43 Lampiran 5. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap indeks vigor benih kacang bogor Sumber keragaman
db
Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
3 2 6 24 35
JK 12672.0 914.7 1346.7 2314.7 17248.0
KT 4224.0 457.3 224.4 96.4
F hitung 43.80 4.74 2.33
Pr > F < 0.0001 0.0184 0.0651
Lampiran 6. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan kecambah kacang bogor Sumber keragaman Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
Db 3 2 6 24 35
JK 3782.1 36.7 8169.9 16082.3 28329.1
KT F hitung 1260.7 1.72 18.4 0.03 1361.5 1.86 731.0
Pr > F 0.191 0.975 0.133
Lampiran 7. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman kacang bogor 5 MST Sumber keragaman Ulangan Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
db 2 3 2 6 22 35
JK 1.271 6.243 0.401 8.485 11.448 27.850
KT 0.636 2.081 0.200 1.414 0.520
F hitung 1.22 4.00 0.39 2.72
Pr > F 0.314 0.021 0.684 0.059
Lampiran 8. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman kacang bogor 9 MST Sumber keragaman Ulangan Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
db 2 3 2 6 22 35
JK 2.061 0.738 0.009 16.596 30.439 49.842
KT 1.030 0.246 0.004 2.766 1.384
F hitung 0.74 0.18 0.00 2.00
Pr > F 0.486 0.910 0.997 0.109
44 Lampiran 9. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah daun kacang bogor 5 MST Sumber keragaman Ulangan Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
Db 2 3 2 6 22 35
JK 5.016 9.272 0.894 44.377 36.384 95.943
KT 2.508 3.095 0.444 7.390 1.654
F hitung 1.52 1.87 0.27 4.47
Pr > F 0.242 0.164 0.766 0.004
Lampiran 10. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah cabang kacang bogor 5 MST Sumber keragaman Ulangan Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
Db 2 3 2 6 22 35
JK 0.551 0.254 0.162 3.981 11.639 16.587
KT 0.275 0.085 0.081 0.663 0.529
F hitung 0.52 0.16 0.15 1.25
Pr > F 0.601 0.922 0.859 0.318
Lampiran 11. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah polong kacang bogor per tanaman Sumber keragaman Ulangan Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
db 2 3 2 6 22 35
JK 182.748 343.929 191.035 140.287 683.901 1541.901
KT 91.374 114.643 95.517 23.381 31.086
F hitung 2.94 3.69 3.07 0.75
Pr > F 0.074 0.027 0.046 0.614
Lampiran 12. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot basah polong kacang bogor per petak Sumber keragaman Ulangan Invigorasi (P) Tingkat masak (M) P*M Galat Total terkoreksi
db 2 3 2 6 22 35
JK 3.613 3.080 0.188 3.378 6.803 17.062
KT 1.806 1.027 0.094 0.563 0.309
F hitung 5.84 3.32 0.30 1.82
Pr > F 0.009 0.038 0.741 0.141