1
PENGARUH PERLAKUAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KEDELAI (Glycine max. L. Merril) EFFECT OF INVIGORATION TREATMENT ON THE VIABILITY OF SOYBEAN SEEDS
(Glycine max. L. Merril) Yudhi Arie Priyanto*, H. Darul Zumani, Ir., M.P., H. Undang, Ir., S.Pd., M.Sc. Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Jl. Siliwangi No. 24 Tasikmalaya 46115 Telp. (0265) 323531 Fax (0265) 325812 *Email :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan invigorasi yang paling baik dalam meningkatkan viabilitas benih kedelai. Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan delapan perlakuan invigorasi yang diulang empat kali yang terdiri dari : A (tanpa perlakuan), B (kontrol yang direndam aquades), C (matriconditioning abu sekam), D (matriconditioning serbuk gergaji), E (matriconditioning Vermikulit), F (osmoconditioning PEG), G (osmoconditioning NaCl), H (osmoconditioning KNO3). Untuk mengetahui hasil penelitian, data diuji dengan Uji F yang dilanjutkan dengan uji ortogonal kontras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan invigorasi dapat meningkatkan viabilitas benih kedelai pada parameter persentase kecambah, kecepatan tumbuh, bobot kering kecambah dan tinggi kecambah. Dari semua perlakuan invigorasi, bahan yang paling baik dalam meningkatkan viabilitas benih kedelai adalah perlakuan invigorasi matriconditioning berturut-turut yaitu vermikulit dan serbuk gergaji. Kata kunci: Kedelai, Invigorasi, Viabilitas, Matriconditioning, Osmoconditioning. Abstract This research purposed to know the best invigoration’s treatment due to enhancing seed’s viability of Soybean. This research was designed using Completely Randomized Design by use of eight invigoration treatments and four times replication that consisted of A (no treatment), B (control soaked in aquadest), C (matriconditioning of burned husk), D (matriconditioning of sawdust), E (matriconditioning of Vermiculite), F (osmoconditioning PEG), G (osmoconditioning NaCl), H (osmoconditioning KNO3). In order to determine the result, data tested by F-test and continued by contrast orthogonal test. The result showed that invigoration treatment enhanced viability of soybean toward parameter such as sprout percentage, sprout growth rapidity, height of sprout and sprout’s dried weight. The best of among invigoration treatment enhancing viability of soybean was matriconditioning invigoration treatment respectively vermiculite and sawdust. Key words: Soybean, Invigoration, Viability, Matriconditioning, Osmoconditioning. Pendahuluan Kedelai merupakan bahan pangan yang digemari di semua lapisan masyarakat Indonesia. Menurut Wulan Joe (2011) hal ini dikarenakan kedelai merupakan bahan pangan bergizi tinggi dan sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh.
Kita sering menganggap bahwa kualitas kedelai produksi Indonesia lebih rendah dari pada kedelai impor. Padahal itu hanya stigma. Menurut Gakoptindo dalam Djaki (2014) sesungguhnya kedelai Indonesia kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan kedelai impor asal Amerika Serikat. Akan tetapi produksi kedelai Indonesia masih sangat jauh untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga di samping terus mengupayakan peningkatan produksi kedelai, juga melakukan impor kedelai dari Amerika Serikat. Harga kedelai Indonesia lebih mahal dari pada harga kedelai impor grade 2 dan grade 3. Harga kedelai Indonesia berkisar antara Rp 7.805,00 – Rp 19.875,00 sedangkan harga kedelai impor grade 1 Rp 10.000,00; grade 2 Rp 7.650,00 dan grade 3 Rp 7.000,00. Fakta tersebut menyebabkan pengolah memilih bahan baku kedelai impor karena harganya lebih murah dibandingkan kedelai dalam negeri (Djaki, 2014).
2
Di Indonesia kedelai banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu di samping bahan baku pembuatan lainnya seperti tauco, kecap, makanan ringan (snack), susu kedelai dan bahan pelengkap menu makanan lainnya seperti bubur ayam, soto dan lain–lain. Menurut Kementerian Pertanian (2014) kebutuhan kedelai sebagai bahan baku industri tempe dan tahu mencapai 2,5 juta ton per tahun sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 400 ribu ton per tahun. Hasil panen kedelai hanya mampu memenuhi kebutuhan daerah setempat dan tidak bisa memenuhi permintaan daerah lain. Menurut Lutfi (2015) rendahnya produksi kedelai di Indonesia disebabkan luas lahan yang terus berkurang (hanya berkisar 600.000 ha) karena banyak terjadi alih fungsi lahan dan produktifitas rendah yang disebabkan oleh cuaca ekstrim, rendahnya keterampilan petani dalam budidaya kedelai, pemupukan yang kurang berimbang dan ketersediaan benih unggul di lapangan yang tidak mencukupi. Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah, petani, ilmuwan dan peneliti untuk dapat meningkatkan produksi kedelai sampai swasembada kedelai tercapai sehingga tidak harus mengimpor lagi. Dari faktor penyebab rendahnya produksi kedelai Indonesia, peneliti berupaya lebih fokus untuk memberikan solusi dalam penyediaan benih unggul di lapangan. Benih unggul menurut Ance G Karta Sapoetra (1989) didefinisikan sebagai benih yang memiliki daya tumbuh lebih dari 90 persen dengan viabilitas dan kemurnian yang tinggi, warna terang tidak kusam, ukuran normal, bernas dan tidak terlalu kering. Salah satu tolok ukur benih unggul dapat dilihat dari viabilitas benihnya. Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukkan melalui gejala metabolisme dan atau gejala pertumbuhan, selain itu daya kecambah juga merupakan tolak ukur parameter viabilitas potensial benih (Samsoe’oed Sadjad, 1993). Pada umumya viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih tumbuh menjadi kecambah. Istilah lain untuk viabilitas benih adalah daya kecambah, persentase kecambah benih atau daya tumbuh benih. Perkecambahan benih mempunyai hubungan erat dengan viabilitas dan jumlah benih yang berkecambah. Viabilitas ini semakin meningkat dengan bertambah tuanya benih dan mencapai perkecambahan maksimum jauh sebelum masak fisiologis atau sebelum tercapainya berat kering maksimum, pada saat itu benih telah mencapai viabilitas maksimum (100%) yang konstan tapi sesudah itu akan menurun sesuai dengan keadaan lingkungan (Eny Widajati et. al. 2013) Ketersediaan benih kedelai unggul di lapangan berkaitan dengan permasalahan– permasalahan yang terjadi pada benih itu sendiri, diantaranya adalah masalah deteriorasi (kemunduran kualitas benih) sehingga benih kedelai unggul sulit ditemui di pasaran. Deterorasi didefinisikan sebagai turunnya mutu benih yang menimbulkan perubahan secara menyeluruh di dalam benih dan berakibat pada menurunnya viabilitas benih (Agus Rulyansyah, 2011). Sedangkan menurut Syamsoe’oed Sadjad (1993) kemunduran benih adalah berkurangnya mutu fisiologis benih yang dapat menimbulkan perubahan menyeluruh di dalam benih, baik fisik, fisiologi maupun kimiawi yang mengakibatkan menurunnya viabilitas benih. Deteriorasi menyebabkan mutu benih yang beredar di pasaran cepat menurun. Ada berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut. Salah satu cara tersebut adalah dengan teknologi invigorasi, yakni perlakuan yang diberikan terhadap benih sebelum penanaman dengan tujuan memperbaiki viabilitas dan vigor benih. Ada berbagai cara invigorasi benih kedelai yang bisa dilakukan diantaranya dengan Priming (Hydro priming, solid matric priming), matricconditioning, osmoconditioning, hardening, moisturizing, dan humidifying. Dari berbagai cara invigorasi tersebut, Osmoconditioning dan matriconditioning merupakan cara invigorasi yang paling sering dilakukan (Litbang, 2014). Walaupun cara ini belum memberikan hasil yang konsisten, untuk hal tersebut penelitian pengaruh invigorasi terhadap viabilitas benih kedelai perlu dilakukan. Bahan dan Metode
3
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih dan di Rumah Kaca (Green House) Fakultas Pertanian, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Penelitian ini dimulai pada bulan Juni sampai Juli 2015. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: benih kedelai varietas Anjasmoro, aquadest, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, KNO3, NaCl dan media perkecambahan (pasir steril halus, porasi dan tanah dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya baki perkecambahan, termometer maksimum minimum, hand sprayer, mistar 30 cm, gelas ukur, cangkir plastik ukuran 200 ml, alat tulis, sarung tangan karet, sendok pengaduk, masker, saringan, dan kamera digital. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang diulang 4 kali, dengan perlakuan sebagai berikut : A = tanpa perlakuan B = Kontrol: benih yang direndam selama 6 jam dengan Aquadest C = Matriconditioning : (benih direndam selama 6 jam dalam campuran abu sekam : air dengan perbandingan 3 : 5) D = Matriconditioning (benih direndam selama 6 jam dalam campuran serbuk gergaji : air dengan perbandingan 3 : 5) E = Matriconditioning (benih direndam selama 6 jam dalam campuran vermikulit : air dengan perbandingan 3 : 5) F = Osmoconditioning (benih direndam selama 6 jam dengan larutan PEG 6000 pada konsentrasi 2 % ,) G = Osmoconditioning (benih direndam selama 6 jam dengan larutan NaCl pada konsentrasi 2%) H = Osmoconditioning (benih direndam selama 6 jam dengan larutan KNO3 pada konsentrasi 2%) Model persamaan yang cocok untuk penelitian ini menurut Vincent Gaspersz (1991) adalah model tetap karena hanya terdiri dari tujuh perlakuan yang tersedia. Model tersebut adalah : Yij = µ + ti + εij Keterangan : Yij = hasil pengamatan ke j yang memperoleh perlakuan ke I µ = rata-rata populasi hasil pengamatan ti = pengaruh perlakuan ke i εij = pengaruh galat percobaan pada pengamatan ke j yang memperoleh perlakuan ke i Jika perlakuan memberi perbedaan yang nyata atau memiliki ragam yang berbeda, maka pengujian dilanjutkan dengan uji ortogonal kontras. Tabel 3. Analisis Sidik Ragam 1 Sumber Ragam Perlakuan Galat Total
Derajat Bebas t–1 (8-1) (N-1) - (t-1) (31) – (7) N–1 (32-1)
Jumlah Kuadrat ∑𝑇𝑖=1 𝑇𝑗2 − 𝐹𝐾 𝑛𝑖 JKtot – JKperla ∑ Yij2 - FK
Kuadrat Tengah 𝐽𝐾 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑘 𝑑𝑏 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑘 𝐽𝐾 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝑑𝑏 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡
Fhit 𝐾𝑇𝑝𝑒𝑟𝑙 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡
Ftabel 5% 1% 2,42 3,5
4
Derajat bebas galat bisa juga dihitung dengan pengurangan sebagai berikut : db galat = db total – db perlakuan Faktor Koreksi dihitung dengan cara : FK =
(𝑔𝑟𝑎𝑛𝑑 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙)2 rt
Jumlah Kuadrat Total (JKT) = ∑ Yij2 − FK = Jumlah kuadrat seluruh nilai pengamatan − FK ∑𝑇
𝑇2
𝑗 JK perlakuan = 𝑖=1 − 𝐹𝐾 𝑛𝑖 JK galat = JKtotal – Jkperlakuan 𝐽𝐾 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 KT perlakuan = 𝑑𝑏 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛
KT galat = Fhitung =
𝐽𝐾 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡
𝑑𝑏 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝐾𝑇 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡
Kaidah Pengujian : Jika Fhitung ≤ Ftabel maka perlakuan seragam (tidak berbeda nyata); Tidak ada pengaruh; Hipotesa Nol (H0) diterima Jika Fhitung > Ftabel maka perlakuan tidak seragam (berbeda nyata); Hipotesa Nol (H0) ditolak. Jika perlakuan yang diuji signifikan atau berbeda nyata maka dilanjutkan dengan analisis ortogonal kontras untuk membandingkan antar dan dalam kelompok perlakuan. Analisis ortogonal kontras sering juga disebut Uji-F terencana karena pengujian dilakukan berdasarkan pertanyaanpertanyaan spesifik penelitian yang telah dirancang, baik didasarkan pada teori atau penelitianpenelitian sebelumnya (Mawardi Syana, 2013). Jika perlakuan signifikan, perlu dilakukan uji perbandingan kelompok perlakuan dan uji gugus perlakuan. Jumlah komponen yang disusun sama dengan derajat bebas perlakuan. – Komponen 1 : A, Vs B, C, D, E, F, G, H – Komponen 2 : B Vs C, D, E, F, G, H – Komponen 3 : C, D, E Vs F, G, H – Komponen 4 : C Vs D, E – Komponen 5 : D Vs E – Komponen 6 : F Vs G, H – Komponen 7 : G Vs H Cara menyusun koefisien ortogonal kontras 1) Jumlah koefisien selalu = 0; Antar perlakuan atau kelompok perlakuan yang dibandingkan. 2) Jumlah koefisien Perlakuan adalah bersifat bebas (ortogonal) dengan pembandingnya. 3) Untuk memudahkan perhitungan maka dipilih angka kecil. Menghitung jumlah kuadrat komponen sebagai berikut: JKi =
(∑bT)2 𝑟∑b2
Jumlah semua Jumlah Kuadrat komponen harus sama dengan Jumlah Kuadrat Perlakuan. Kemudian dihitung jumlah kuadrat dari masing-masing komponen dengan rumus di atas. Total perlakuan di sini diperoleh dari total perlakuan yang terdapat dalam data awal.
5
Tabel 4. Susunan Koefisien Ortogonal Kontras Komponen 1 2 3 4 5 6 7 Total perlakuan
Koefisien ortogonal kontras untuk invigorasi (b) A B C D E F G H -7 1 1 1 1 1 1 1 0 -6 1 1 1 1 1 1 0 0 -1 -1 -1 1 1 1 0 0 -2 1 1 0 0 0 0 0 0 -1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 -2 1 1 0 0 0 0 0 0 -1 1
∑b2 56 42 6 6 2 6 2
Daftar sidik ragam uji lanjutan ortogonal kontras seperti terlihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 5. Analisis Sidik Ragam Uji lanjutan Ortogonal Kontras Sumber Ragam Db JK KT Perlakuan 7 Komponen 1 1 (∑b1T1)2 𝐽𝐾 𝑘𝑜𝑚𝑝1 𝑑𝑏 𝑘𝑜𝑚𝑝1 𝑟∑b12 2 𝐽𝐾 𝑘𝑜𝑚𝑝2 Komponen 2 1 (∑b2T2) 𝑑𝑏 𝑘𝑜𝑚𝑝2 𝑟∑(b2)2 2 𝐽𝐾 𝑘𝑜𝑚𝑝3 Komponen 3 1 (∑b3T3) 2 𝑑𝑏 𝑘𝑜𝑚𝑝3 𝑟∑(b3) Komponen 4 1 (∑b4T4)2 𝐽𝐾 𝑘𝑜𝑚𝑝4 𝑑𝑏 𝑘𝑜𝑚𝑝4 𝑟∑(b4)2 Komponen 5 1 (∑b5T5)2 𝐽𝐾 𝑘𝑜𝑚𝑝5 𝑑𝑏 𝑘𝑜𝑚𝑝5 𝑟∑(b5)2 Komponen 6 1 (∑b6T6)2 𝐽𝐾 𝑘𝑜𝑚𝑝6 𝑑𝑏 𝑘𝑜𝑚𝑝6 𝑟∑(b6)2 2 𝐽𝐾 𝑘𝑜𝑚𝑝7 Komponen 7 1 (∑b7T7) 𝑑𝑏 𝑘𝑜𝑚𝑝7 𝑟∑b72 Galat 24 Total 31
Fhit
F.05
F.01
𝐾𝑇 𝑘𝑜𝑚𝑝1 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝐾𝑇 𝑘𝑜𝑚𝑝2 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝐾𝑇 𝑘𝑜𝑚𝑝3 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝐾𝑇 𝑘𝑜𝑚𝑝4 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝐾𝑇 𝑘𝑜𝑚𝑝5 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝐾𝑇 𝑘𝑜𝑚𝑝6 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡 𝐾𝑇 𝑘𝑜𝑚𝑝7 𝐾𝑇 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡
Hasil dan Pembahasan. Temperatur udara harian dalam rumah kaca selama percobaan memenuhi syarat tumbuh perkecambahan benih kedelai yaitu berkisar 270C – 310C (Lampiran 2). Menurut T Adisarwanto (2014) temperatur optimum untuk perkecambahan benih kedelai antara 200C – 350C. Kisaran temperatur tersebut cukup sesuai untuk awal tanam kedelai. Hama dan Penyakit Tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian berlangsung, tidak terjadi serangan hama selama proses perkecambahan, tetapi terdapat penyakit yang disebabkan oleh fungi yang terjadi pada perlakuan osmoconditioning yang menggunakan bahan NaCl. Serangan fungi tidak diidentifikasi lebih lanjut karena tidak berpengaruh pada proses perkecambahan. Pengamatan Utama Persentase Kecambah Berdasarkan analisis statistik, perlakuan invigorasi berpengaruh nyata terhadap persentase kecambah (lampiran 4). Sehingga perlu dilakukan uji lanjutan ortogonal kontras. Berdasarkan uji lanjutan ortogonal kontras pada pengamatan hari ketiga dapat dilihat bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) berbeda nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air
6
suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) terhadap presentasi kecambah. Perlakuan A (tanpa perlakuan) memberikan nilai rata-rata sebesar 1,06 dan perlakuan C (abu sekam) memberikan nilai rata-rata tertinggi sebesar 3,40 disusul dengan perlakuan D (serbuk gergaji) sebesar 3,29 (Tabel 7). Tabel 6. Hasil Uji Ortogonal Kontras Transformasi Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Persentase Kecambah pada Pengamatan Hari ke 3, 5, 7, 9 dan 11 Setelah Semai. Sumber Keragaman Perlakuan A vs (B,C,D,E,F,G,H) B vs (C,D,E,F,G,H) (C,D,E) vs,(F,G,H) C vs (D,E) D vs E F vs (G,H) G vs H
db 7 1 1 1 1 1 1 1
F Hitung (hari ke 3) 11,827** 9,297** 2,785 33,867** 7,953* 18,755** 9,101** 0.921
F Hitung (hari ke 5)
35,83** 0,30 17,28** 150,23** 0,28 1,87 45,45** 35,41**
F Hitung F Hitung (hari ke 7) (hari ke 9) 31.58** 9,58**
1,73 0.31 27.78** 0.001 0.004 19.57** 17,68*
3.99 0.003 54.19** 0.00 1.25 46.99** 114.65**
F Hitung (hari ke 11)
23,85** 0,24 1,31 53,55** 0,17 1,77 45,71** 64,23**
Keteran gan: * = berbeda nyata menurut Uji Ortogon al Kontras. * * =
berbeda sangat nyata menurut Uji Ortogonal Kontras
Tabel 7. Data Transformasi Rata-rata Persentase Kecambah pada Pengamatan Hari ke 3, 5, 7, 9 dan 11 setelah Semai Perlakuan A B C D E F G H
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata hari ke 3 hari k3 5 hari ke 7 hari ke 9 hari ke 11 1.06 6.11 6.45 6.52 7.64 1.54 4.94 5.47 7.07 7.46 3.40 8.51 6.89 7.83 8.94 3.29 8.63 6.89 8.03 9.08 1.54 7.93 6.85 7.62 8.47 2.09 6.74 6.52 7.72 8.68 0.84 2.25 2.25 3.66 4.17 1.22 5.28 5.28 7.51 7.84
Sumber: Data primer diolah (2015)
Perlakuan B (air suling) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan C, D, E, F, G dan H ( abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Perlakuan B (air suling) hanya memiliki nilai rata-rata sebesar 1,54. Perlakuan C, D, E (Matriconditioning) berbeda sangat nyata dibandingkan perlakuan F, G, H (Osmoconditioning). Perlakuan matriconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 2,74 (8,23:3) sedangkan osmoconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 1,38 (4,15:3). Perlakuan Matriconditioning menunjukan pengaruhnya yang tinggi dalam meningkatkan persentase kecambah. Di dalam kelompok perlakuan matriconditioning serbuk gergaji memberikan hasil persentase kecambah paling tinggi (nilai rata-rata 3,40) dibandingkan dengan abu sekam (3,9) dan vermikulit (1,54). Pada hari kelima, dapat dilihat bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) terhadap presentase kecambah. Perlakuan B (air suling) berbeda dibandingkan dengan perlakuan C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Perlakuan B (air suling) dengan rata-rata 4,94 sedangkan perlakuan C ratarata sebesar 8,51, D sebesar 8,63, E 7,93, F 6,74, G 2,25 dan H 5,28. Perlakuan C, D, E (Matriconditioning) berbeda sangat nyata dibandingkan perlakuan F,G,H (Osmoconditioning). Perlakuan matriconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 8,36 (25,07:3) dan perlakuan osmoconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 4,51 (13,53:3).
7
Perlakuan Matriconditioning pada hari ke lima menunjukan pengaruh yang kuat dalam meningkatkan persentase kecambah. Di dalam kelonpok perlakuan matriconditioning vermikulit memberikan hasil persentase kecambah paling tinggi serbuk gergaji(8,63) dibandingkan dengan abu sekam (8,51) dan vermikulit (7,93). Pada hari ketujuh, dapat dilihat bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) terhadap presentasi kecambah. Perlakuan B (air suling) juga tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Akan tetapi perlakuan C, D, E (Matriconditioning) berbeda sangat nyata dibandingkan perlakuan F,G,H (Osmoconditioning). Perlakuan matriconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 6,88 (20,63:3) sedangkan osmoconditioning memberikan nilai rata-rata persentase kecambah sebesar 4,68 (14,05:3). Perlakuan Matriconditioning menunjukan pengaruhnya yang tinggi dalam meningkatkan persentase kecambah. Sedangkan perlakuan dalam kelompok matriconditioning serbuk gergaji dan abu sekam memberikan hasil persentase kecambah yang sama dengan rata-rata senilai 6,89 dan vermikulit (6,85). Pada hari kesembilan, dapat dilihat bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) terhadap persentase kecambah. Perlakuan B (air suling) juga tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Sedangkan perlakuan C, D, E (Matriconditioning) berbeda sangat nyata dibandingkan perlakuan F, G, H (Osmoconditioning). Perlakuan matriconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 7,83 (23,48:3) sedangkan perlakuan osmoconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 6,29 (18,89:3). Perlakuan Matriconditioning menunjukan pengaruh yang tinggi dalam meningkatkan persentase kecambah. Di dalam kelompok perlakuan matriconditioning serbuk gergaji memberikan hasil persentase kecambah paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 8,03 dibandingkan dengan abu sekam (7,83) dan vermikulit (7,62). Pada hari kesebelas, dapat dilihat bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) terhadap presentasi kecambah. Perlakuan B (air suling) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Akan tetapi perlakuan C, D, E (Matriconditioning) berbeda sangat nyata dibandingkan dengan perlakuan F,G,H (Osmoconditioning). Perlakuan matriconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 8,83 (26,49:3) sedangkan osmoconditioning memberikan nilai rata-rata sebesar 6,89 (20,69:3). Perlakuan matriconditioning menunjukan pengaruhnya yang tinggi dalam meningkatkan persentase kecambah. Di dalam kelompok perlakuan matriconditioning serbuk gergaji memberikan hasil persentase kecambah paling tinggi (9,08) dibandingkan dengan abu sekam (8,94) dan vermikulit (8,47). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perlakuan invigorasi matriconditioning berpengaruh pada setiap hari pengamatan dapat meningkatkan presentasi kecambah lebih baik dibandingkan dengan invigorasi osmoconditioning. Sedangkan dalam perlakuan invigorasi matriconditioning pemberian serbuk gergaji menunjukkan hasil persentasi kecambah yang paling tinggi, hal ini menunjukan bahwa perlakuan matriconditioning dapat meningikatkan viabilitas benih lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan osmoconditioning. Menurut Kiki Muslihin, 2011. Perlakuan invigorasi matriconditioning memiliki fase imbibisi yang lebih lama dibanding invigorasi osmoconditioning. Proses imbibisi ke dalam benih lebih terkontrol karena bahan matriconditioning memiliki daya pegang air yang baik. Sedangkan invigorasi osmoconditioning` tidak memiliki daya pegang air, air langsung masuk ke bagian membran sehingga proses imbibisi berlangsung cepat, hal ini dapat menyebabkan rusaknya
8
membran benih. Sehingga perlakuan matriconditioning meningkatkan persentase kecambah kedelai yang telah mengalami deteriorasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan invigorasi osmoconditioning. Dalam penelitian ini perlakuan matriconditioning yang dicoba adalah serbuk gergaji, abu sekam, dan vermikulit. Serbuk gergaji menunjukkan pengaruh yang paling baik dalam meningkatkan presentasi kecambah kedelai yang telah mengalami deteriorasi, hal ini menurut Ilyas et. al (1994), terdapat perbedaan kemampuan memegang air antara serbuk gergaji dengan abu sekam yang dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan media. Serbuk gergaji memiliki sifat yang paling mudah menyerap air dan memiliki kemampuan memegang air yang tinggi dibandingkan dengan abu sekam. Perbedaan hasil perkecambahan antara perlakuan abu sekam dan serbuk gergaji sebagai media matriconditioning karena abu sekam mengandung silikat yang dapat mengikis kulit benih sehingga menyebabkan kerusakan pada kulit saat pencampuran abu, air, dan benih dilakukan. Kerusakan kulit benih berpengaruh pada proses perkecambahan sehingga jika dibandingkan dengan serbuk gergaji, perlakuan abu sekam memberikan hasil persentase kecambah lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan serbuk gergaji. Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan hasil penelitian Fauziah Koes dan Ramlah Arief (2010) yang menyimpulkan bahwa benih yang diberi perlakuan matriconditioning serbuk gergaji berpengaruh paling baik terhadap persentase perkecambahan benih jagung yang sudah mengalami deteriorasi. Kecepatan Berkecambah Berdasarkan hasil analisis statistik, perlakuan invigorasi berpengaruh nyata terhadap kecepatan kecambah (lampiran 5). Sehingga perlu dilakukan uji ortogonal kontras. Data hasil uji lanjutan ortogonal kontras dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 memperlihatkan bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) berbeda nyata dibandingkan perlakuan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Kecepatan tumbuh rata-rata perlakuan berturut-turut sebesar A 2,32; B 3,34; C 3,82; D 4,21; E 3,52; F 4,75; G 1,25; H 2,93. Perlakuan B (air suling) tidak berbeda nyata dibandingakan dengan C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Tabel 8. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Kecepatan Berkecambah Kedelai (Glycine max Linn. Merrill) Sumber Keragaman Fhitung F0,05 F0,01 Perlakuan 15,57** 2,42 A vs (B,C,D,E,F,G,H) 13,05** 4,26 7,82 B vs (C,D,E,F,G,H) 0,061 4,26 7,82 (C,D,E) vs,(F,G,H) 14,64** 4,26 7,82 C vs (D,E) 0,02 4,26 7,82 D vs E 3,09 4,26 7,82 F vs (G,H) 6,18* 4,26 7,82 G vs H 7,69* 4,26 7,82 Keterangan: * = berbeda nyata menurut Uji Ortogonal Kontras. ** = berbeda sangat nyata menurut Uji Ortogonal Kontras
3,5
Perbandingan antar kelompok perlakuan matriconditioning (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) berbeda sangat nyata dibandingkan dengan kelompok perlakuan osmoconditioning (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Kecepatan berkecambah rata-rata perlakuan invigorasi matriconditioning sebesar 3,85 sedangkan osmoconditioning sebesar 2,97. Di dalam kelompok perlakuan matriconditioning perlakuan C (abu sekam) dibandingkan D (serbuk gergaji) dan E (vermikulit); dan perlakuan D (PEG) dibanding E (NaCl) relatif seragam, hasil analiais ortogonal kontras tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
9
Perlakuan Matriconditioning menunjukkan pengaruhnya yang lebih baik dalam meningkatkan kecepatan berkecambah dibandingkan dengan perlakuan osmoconditioning. Menurut Kiki Muslihin, 2011. Perlakuan invigorasi matriconditioning memiliki fase imbibisi yang lebih lama dibandingkan dengan invigorasi osmoconditioning, karena bahan matriconditioning memiliki daya pegang air yang baik. Sedangkan perlakuan invigorasi osmoconditioning` tidak memiliki daya pegang air, air langsung masuk ke bagian membran sehingga proses imbibisi berlangsung cepat, hal ini dapat menyebabkan rusaknya membran benih. Selanjutnya pada perlakuan invigorasi matriconditioning, benih mengalami proses imbibisi yang lebih terkontrol sehingga air ataupun cairan masuk ke dalam benih berlangsung secara perlahan sampai terjadi keseimbangan. Imbibisi yang terkontrol ini memungkinkan benih mengoptimalkan faktor internalnya untuk memulai perkecambahan seperti pemulihan integritas membran, karena benih yang telah mengalami deteriorasi, membrannya mengalami kerusakan. Kerusakan membran ini mengakibatkan kerusakan pada dinding sel sehingga terjadi kebocoran jika benih berimbibisi, hal ini tidak terjadi pada benih yang diberi perlakuan invigorasi osmoconditioning. Menurut (Powell dan Matthews, 1978 dalam Agus Rulyansyah, 2011) Terganggunya struktur membran akan menyebabkan berbagai perubahan metabolik. Hal ini dapat dikurangi dengan cara mengimbibisi benih terlebih dahulu pada konsentrasi yang mengurangi laju penyerapan air, sehingga dapat mendukung kecepatan berkecambah benih. Sehingga perlakuan matriconditioning meningkatkan kecepatan berkecambah kedelai yang telah mengalami deteriorasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan invigorasi osmoconditioning. Panjang Akar Berdasarkan analisis statistik perlakuan invigorasi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar (lampiran 6). Dengan demikian tidak dilakukan uji lanjutan ortogonal kontras. Data hasil uji varians dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 9. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Panjang Akar Kedelai (Glycine max Linn. Merill). Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Fhitung F0,05 F0,01 PA Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 7 58,85 8,41 1.88 2,42 3,5 Galat 24 107,24 4,47 Total 31 166,07 Tidak berpengaruhnya perlakuan invigorasi terhadap panjang akar disebabkan karena pertumbuhan akar lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal antara lain sifat genetik tumbuhan, tipe pertumbuhna akar, proses pembelahan sel dan deferensiasi. Menurut (Taiz, L. and E. Zeiger. 1998). Proses pembelahan sel dan deferensiasi lebih lambat pada akar dibandingkan pada batang, selanjutnya Syatrianty A Syaiful et. al (2012) berpendapat bahwa pengaturan imbibisi dengan perlakuan invigorasi tidak mempengaruhi pertumbuhan akar, tidak seperti yang terjadi pada parameter viabilitas lainnya yaitu pertumbuhan batang dan pertumbuhan daun pada kedelai. Tinggi Kecambah Berdasarkan hasil analisis statistik, perlakuan invigorasi menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap tinggi kecambah pada tiap pengamatan (lampiran 7). Sehingga perlu dilakukan uji lanjutan ortogonal kontras. Data hasil uji lanjutan ortogonal kontras dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini. Tabel 10. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Tinggi Kecambah pada Pengamatan hari ke 3, 5, 7, 9 dan 11 setelah Semai.
10 Sumber Keragaman
DB
F Hitung F Hitung F Hitung F Hitung (hari ke 3) (hari ke 5) (hari ke 7) (hari ke 9) Perlakuan 1.162 7 8.81** 2.99* 3.97** A vs (B,C,D,E,F,G,H) 1 4.61* 0.051 4.66* 2.02 B vs (C,D,E,F,G,H) 2.40 0.014 1 0.77 0.27 (C,D,E) vs,(F,G,H) 15.64** 3.074 1 35.57** 12.72* C vs (D,E) 0.15 0.120 1 2.21 0.02 D vs E 1 1.34 0.145 0.001 1.32 F vs (G,H) 1 1.00 1.388 8.09** 1.05 G vs H 1 2.63 3.346 10.37** 3.52 Keterangan: * = berbeda nyata menurut Uji Ortogonal Kontras. ** = berbeda sangat nyata menurut Uji Ortogonal Kontras
F Hitung (hari ke 11) 5.51** 0.19 0.54 29.32** 0.03 1.99 6.28** 0.25
Hasil uji ortogonal kontras pada pengamatan hari ke tiga memperlihatkan bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) dengan rat-rata nilai tinggi kecambah berturut-turut A 6,63; B 7,73; C 11,10; D 9,78; E 9,75; F 8,34; G 4,11 dan H 7,45. Sedangkan perlakuan B (air suling) tidak berbeda nyata dibanding C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) tetapi sangat berbeda nyata saat dilakukan perbandingan antar kelompok perlakuan invigorasi matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) dan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Nili rata-rata tinggi kecambah pada perlakuan matriconditioning sebesar 10,21 sedangkan osmoconditioning sebesar 6,63. Perbandingan dalam kelompok perlakuan matriconditioning relatif sama dalam tinggi kecambah. Nilai rata-rata pada perlakuan matriconditioning abu sekam sebesar 11,10; serbuk gergaji 9,78 dan vermikulit sebesar 9,75. Hasil uji ortogonal kontras pada pengamatan hari ke lima memperlihatkan bahwa bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) terhadap tinggi kecambah. Perlakuan B tidak berbeda nyata dibandingkan C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Pengaruh nyata terlihat pada perlakuan antar kelompok matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) dibandingkan dengan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Nilai rata-rata tinggi kecambah perlakuan matriconditioning sebesar 13,43 sedangkan osmoconditioning sebesar 10,78. Perbandingan di dalam kelompok perlakuan matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) dan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3) tidak berbeda nyata terhadap tinggi kecambah. Pengamatan hari ke tujuh memperlihatkan bahwa tinggi kecambah perlakuan A (tanpa perlakuan) berbeda nyata dibanding B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit PEG 6000, NaCl dan KNO3). Nilai rata-ratanya adalah A 11,47; B 12,15; C 14,97; D 15,25; E 13,96; F 12,83; G 10,97 dan H 12,77. Perlakuan invigorasi matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) dengan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3) berbeda sangat nyata. Nilai rata-rata tinggi kecambah pada perlakuan matriconditioning sebesar 14,79 sedangkan osmoconditioning sebesar 12,19. Perlakuan invigorasi diantara variabel matriconditioning abu sekam terhadap serbuk gergaji dan vermikulit tidak berbeda nyata. Hasil uji ortogonal kontras pada pengamatan hari ke sembilan memperlihatkan bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) tidak memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Demikian juga perlakuan B (air suling) tidak berbeda nyata dibanding C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3), saat dilakukan perbandingan antar kelompok perlakuan invigorasi matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) dan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3) juga tidak berpengaruh terhadap tinggi kecambah. Perbandingan dalam kelompok perlakuan matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk
11
gergaji, vermikulit) relatif sama, begitu juga dengan perlakuan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Pertumbuhan tinggi kecambah relatif seragam pada pengamatan hari ke sembilan, hal ini dimungkinkan karena kondisi perakaran stabil dan siap untuk pertumbuhan selanjutnya. Duplet sudah tumbuh merata dan mulai muncul satu-satu triplet tetapi tidak menambah tinggi kecambah melainkan tumbuh trifoliet terlebih dahulu. Ada stagnansi pertumbuhan tinggi kecambah pada tahap awal pertumbuhan trifoliet. Setelah itu pertumbuhan batang lebih aktif lagi. Hasil uji ortogonal kontras pada pengamatan hari kesebelas memperlihatkan bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) tidak memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Perlakuan B(air suling) tidak berbeda nyata dibanding C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3), tetapi sangat berbeda nyata saat dilakukan perbandingan antar kelompok perlakuan invigorasi matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) dan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Perlakuan invigorasi matriconditioning memiliki nilai rata-rata sebesar 20,36 sedangkan osmoconditioning sebesar 16,62. Hal ini sejalan dengan penelitian Agus Ruliyansyah (2011) bahwa perlakuan invigorasi matriconditioning dengan serbuk gergaji, abu sekam dan vermikulit dapat meningkatkan tinggi kecambah kacang –kacangan dibandingkan dengan kontrol.Perbandingan dalam kelompok perlakuan matriconditioning relatif sama. Perlakuan invigorasi matriconditioning menurut Rouhi et al (2011) memiliki daya pegang air yang tinggi hingga mampu melepaskan air untuk proses imbibisi secara perlahan sesuai kebutuhan benih untuk menambah tinggi kecambahnya. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Agus Ruliyansyah (2011) yang melaporkan bahwa perlakuan osmoconditioning dangan larutan NaCl dan KNO3 tidak berpengaruh dalam meningkatkan viabilitas benih kacang-kacangan yang sudah mengalami deteriorasi, hal tersebut disebabkan karena penggunaan kedua jenis larutan tersebut memberikan pengaruh yang buruk terhadap benih dibandingkan dengan kontrol. Menurut Ilyas (1994) penggunaan larutan garam untuk media priming dapat pula menimbulkan efek keracunan terhadap benih. Tipisnya kulit benih kedelai juga dapat menyebabkan embrio mengalami keracunan karena larutan garam yang memiliki tingkat tekanan osmotik tinggi dapat menerobos masuk hingga ke embrio dan menghambat pertumbuhan embrio atau embrio tidak mampu tumbuh. Perbedaan yang nyata pengaruh perlakuan invigorasi matriconditioning dengan perlakuan invigorasi osmoconditioning terhadap tinggi kecambah, karena pada perlakuan matriconditioning benih setelah diberi perlakuan mengalami proses imbibisi yang lebih terkontrol sehingga air ataupun cairan masuk ke dalam benih berlangsung secara perlahan sampai terjadi keseimbangan. Imbibisi yang terkontrol ini memungkinkan benih mengoptimalkan faktor internalnya untuk memulai perkecambahan seperti pemulihan integritas membran. Bobot Kering Kecambah Berdasarkan hasil analisis statistik, perlakuan invigorasi terhadap bobot kering kecambah menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (lampiran 8). Sehingga dilakukan uji lanjutan dengan ortogonal kontras. Data hasil uji lanjutan ortogonal kontras dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 11. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Bobot Kering Kecambah Kedelai (Glycine max Linn. Merrill) Sumber Keragaman Perlakuan A vs (B,C,D,E,F,G,H) B vs (C,D,E,F,G,H) (C,D,E) vs,(F,G,H) C vs (D,E) D vs E F vs (G,H) G vs H
Fhitung BKK 3,95** 1.48 4,66* 3.69* 0.03 6.68* 1,86 4,21
F0,05
F0,01 2,42
4,26 4,26 4,26 4,26 4,26 4,26 4,26
3,5 7,82 7,82 7,82 7,82 7,82 7,82 7,82
12 Keterangan:
* = berbeda nyata menurut Uji Ortogonal Kontras. ** = berbeda sangat nyata menurut Uji Ortogonal Kontras
Hasil uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) dibandingkan dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Akan tetapi perlakuan B (air suling) dibandingkan dengan C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3) berbeda nyata terhadap bobot kering kecambah. Nilai rata-rata bobot kering kecambah adalah B 12,74; C 26,30; D 17,86; E 33,13, F 23,86, G 7,925 dan H 25,84. Perlakuan invigorasi matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) dengan nilai rata-rata 25,76 memberikan bobot kering kecambah lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Nilai rata-rata 19,21. Di dalam kelompok perlakuan invigorasi matriconditioning, perlakuan invigorasi E (vermikulit) memberikan hasil bobot kering kecambah paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 33,13 dibandingkan dengan perlakuan invigorasi D (serbuk gergaji) dengan nilai rata-rata sebesar17,86 dan C (abu sekam) dengan nilai rata-rata sebesar 26,30. Dengan demikian maka perlakuan invigorasi matriconditioning memberikan bobot kering kecambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan invigorasi osmoconditioning. Selanjutnya bahan perlakuan invigorasi matriconditioning yang paling baik adalah vermikulit yang memiliki bobot kering kecambah rata-rata sebesar 33,13, hal tersebut disebabkan karena benih yang diberi perlakuan invigorasi matriconditioning mengalami proses imbibisi yang lebih terkontrol sehingga air ataupun cairan masuk ke dalam benih berlangsung secara perlahan sampai terjadi keseimbangan. Imbibisi yang terkontrol ini memungkinkan benih mengoptimalkan faktor internalnya untuk memulai perkecambahan. Dengan proses imbibisi terkontrol, proses perkecambahan juga menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan bobot kering kecambah (Erinnovita et. al 2008) Menurut Subagjo Kastria Ingwang Djaja (1995) Vermikulit adalah bahan mineral tanah liat yang berbentuk layer (lapisan), tersusun dari oksida Si, Al dan Mg sebagai pembentuk utamanya. Oksida tersebut membentuk lapis–lapis yang terdiri dari lapisan Si/Al – Mg/Al – Si/Al yang bertumpuk–tumpuk. Diantara lapis tersebut terdapat molekul air dan ion magnesium yang menjadi pengikat antar lapis tersebut. Menurut Wikipedia (2015) menjelaskan bahwa ciri khas vermikulit dibandingkan mineral lain, seperti abu sekam dan serbuk gergaji adalah mengandung air dan kation lain seperti Mg2+,Si4+, Al3+, Fe3+ diantara unit Kristal dan memiliki daya pegang air yang tinggi, sehingga sangat sesuai untuk masa perkecambahan benih dan pertumbuhan benih tanaman yang menyebabkan peningkatan pada bobot kering kecambah. Pernyataan ini diperjelas oleh Subagjo Kastria Ingwang Djaja (1995) bahwa keistimewaan mineral tanah liat berbentuk lapis ini adalah sifat lapisannya yang fleksibel (dapat merenggang) dan ion magnesium yang berada di antara lapis dapat ditukar dengan ion lain dengan mekanisme pertukaran ion. Pada lempeng oktaedernya mengandung Al, Mg dan Fe, sehingga kelebihan vermikulit dari mineral lainnya adalah mengandung air diantara unit Kristal yang menyebabkan vermikulit memiliki daya pegang air yang tinggi. Kesimpulan Dari hasil percobaan ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Perlakuan invigorasi berpengaruh terhadap viabilitas kedelai yang sudah mengalami deteriorasi yang ditunjukan oleh meningkatnya persentase kecambah, kecepatan tumbuh, tinggi kecambah dan bobot kering kecambah. 2) Perlakuan invigorasi matriconditioning meningkatkan viabilitas benih kedelai yang sudah mengalami deteriorasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan invigorasi osmoconditioning.
13
3) Dalam kelompok invigorasi matriconditioning bahan serbuk gergaji memberikan hasil yang lebih baik pada persentase kecambah dan kecepatan tumbuh benih, sedangkan vermikulit berpengaruh paling baik terhadap bobot kering kecambah. Daftar Pustaka Agus Ruliyansyah. 2011. Peningkatan Performansi Benih Kacangan Dengan Perlakuan Invigorasi. Perkebunan dan Lahan Tropika ISSN: 2088-6381 J. Tek. Perkebunan & PSDL Vol 1, Juni 2011,hal 13-18 Ana Hedjo. 2012. Makalah Kemunduran Benih. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Ance G Kartasapoetra. 1989. Teknologi Benih. Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. Bina Aksara. Jakarta. Ansablo. 2011. Dasar Rancangan. http://ansablo.blogspot.com/2011/11/dasar-rancangan.html. Diunduh tanggal 15 Maret 2015. Ariyunis, et. al. 2009. Penuntun praktikum teknologi benih. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Ashari, 1995. Deteriorasi Benih secara Fisiologis. Yogyakarta. Asih rahayu, Nurul janah Yuliani, Riska Dies Rahmawulan, Setiarti Dwi Rahayu, Linda Indriawati. 2014 Praktikum Fisiologi Biji Priming Seed. . Universitas Negeri Yogyakarta.Yogyakarta. Atin Septiatin. 2012. Meningkatkan Produksi Kedelai di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Penerbit CV Yrama Widya. Balitkabi. 2014. Invigorasi Benih Kedelai. Kementrian Pertanian. Bakri. 2012. Peranan Abu sekam untuk Mengurangi Porositas Conblok Ringan Sekam Padi. Journal Perennial. Vol 8 No. 1: 6 – 12. Universitas Hasanudin. Makassar. BAPPENAS. 2014. Teknologi Tepat Guna. Budidaya Kedelai. Badan Pembangunan Nasional. Jakarta. Basu dan Rudrapal. 1982. Post Harvest Seed Fisiology and Seed Invigoration Treatment. Proceeding of Indian Statistical Institute. Golden Jubilee International Conference of Frontiers of Research in Agriculture. Calcuta. India. Copel, L. O and M. B. Mc. Donald. 2001. Principle of Seed Science and Technology. 4 th ed. Kluwer Academic. Publisher Massachusetts. Djaki. 2014. Dilematis, Hasil Kedelai Lokal Meningkat, Kedelai Impor Tetap Menguasai Pasar. Gemadesa Gemamedia News. Duan, D. X., Liu, M. A., Khan, B. G. 2004. Efect of Salt and Water Stress on the germination of Chenopodium glaucum L. Seed. Dyah Anggun Pratiwi, Loekito Adi Soehono, Eni Sumarminingsih. 2012. Analisis Ortogonal Polinomial Berderajat Empat pada Rancangan Acak Lengkap (RAL). FMIPA. Universitas Brawijaya. Malang. Eny Widajati, Endang Wurniati, Endah R. Palupi, Titiek Kartika, M. R. Suhartanto, Abdul Qadir. 2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB Press. Bogor.
14
Erinnovita, Maryati Sari dan Dwi Guntoro. 2008. Invigorasi Benih untuk Memberbaiki Perkecambahan Kacang Panjang (Vigna unguiculata Hask. Ssp. Sesquipedalis) pada Cekaman Salinitas. Bulletin Agron. (36) (3) 214 – 220. Farooq, M. S., M. A. Basra, B. A. Saleem. 2005. Enhancement of Tomato Seed Germination and Seedling Vigor by Osmopriming. Journal of Agriculture Science. 42 (3-4):36 – 41. Farooq, M. S., M. A. Basra, K. Hafeez. 2006. Seed Invigoration bu osmohardening in Coarse and Fine Rice Seed. Journal of Science and Technology. 34 : 181 – 187. Fauziah Koes dan Ramlah Arief. 2010. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning Terhadap Viabilitas Dan Vigor Benih Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Penerbit Armico. Bandung. Gusti Ayu Kade Sutariati. 2009. Peningkatan Mutu Benih Kedelai melalui Aplikasi Teknik Invigorasi Benih Plus Agens Hayati. Warta Iptek Volume 17 No 2 Edisi Juli 2009 ISSN 0854 – 0667. Khan MR, Khan SM. 2002. Effects of Rootdip Treatment with Certain Phosphate Solubilizing Microorganisms on the Fusarial Wilt of Tomato. Biores Technology 85:213-215. Kamil, Jurnalis. 1979. Dasar Teknologi Benih. Angkasa Raya. Padang. Kementrian Pertanian. 2014. Kebutuhan Kedelai Indonesia. Jakarta. Kiki Muslihin. 2011. Deteriorasi Benih. Universitas Winayamukti. Bandung. Kuswanto. 1996. Tekanan Osmotik Benih. Universitas Winaya Mukti. Bandung. Gomez, K. A & Gomez, A.A.1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Penterjemah : Endang Sjamsuddin & Justika S Baharsjah. Pendamping: Andi Hakim Nasution. Penerbit Universitas Indonesia. (UI-PRESS). Lakitan. 1996. Hubungan antar Fase Serapan Air dengan Metabolisme Benih. Jambi. Lita Sutopo. 1993. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Rajawali Press. Jakarta. Litbang. 2014. Invigorasi, Alternatif Atasi Penurunan Mutu Benih www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/1542. Diunduh tanggal 28 Maret 2015.
Kedelai.
Lutfi. 2015. Pilah-pilah Masalah Demi Swasembada Kedelai. Teknopreneur. Jakarta. Mahajan, S and N. Tuteja. 2005. Cold, Salinity and Draught Stresses: an Overview Archives of Biochemistry and Bio physics. 444 : 139 – 158s. Mira arumi, et. al. 2013. Pengujian Viabilitas Benih. Produksi dan Pengembangan Pertanian Terpadu. IPB. Bogor. Munifah, S. 1997. Pengaruh Vigor awal Benih dan Priming terhadap Viabilitas dan Produksi Benih Kedelai (Glycine max.L. Merril). Faperta IPB. Bogorr.
15
Rachmawati, A. Y. 2009. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning plus Bakterisida Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Terbawa Benih serta Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih Padi (Oryza sativa L.). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Samsoe’oed Sadjad. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Penerbit Grasindo. Jakarta. Setijo Pitojo. 2003. Benih Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Setiono. 2013. Peningkatan Viabilitas Benih Jambu Mete (Anacardium occidentale L) Melalui Invigorasi. Shalahudin, A. S. Ilyas. 1994. Studi Conditioning pada Benih Kacang Panjang (Vigna. Sinensis L) Melalui Invigorasi. Jakarta. Sofhal Jamil. 2010. Sejarah dan Perkembangan Kacang Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sri Wahyuni. 2011. Peningkatan Daya Berkecambah dan Vigor Benih Padi HibridaMelalui Invigorasi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 30 No. 2 201183. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Subagijo Kastria Ingwang Djaja.1995. Vermikulit sebagai Bahan Komposit Interkalasi. Pusat Penelitian Sain Materi. BATAN. Jakarta. Syatrianty A Syaiful, M. Amin Ishak, Novaty E. Dungga, Muh. Riadi. 2012. Peran Conditioning Benih dalam Meningkatkan Daya Adaptasi Tanaman Kedelai terhadap Stres Kekeringan. Pertanian untuk Mengentaskan Kemiskinan. Laporan Penelitian Program Studi. Faperta Unhas. Makassar. Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiology. World Press. London. T. Adisarwanto. 2014. Kedelai Tropika. Produktifitas 3 ton/ha. Penerbit Penebar Swadaya. Taufik Hidayat. 2012. Peningkatan Mutu Benih Melalui Aplikasi Invigorasi Pada Kondisi Cekaman Salinitas. Skripsi. Universitas Sumatra Utara. Medan. Thopick. 2012. Peningkatan Mutu Benih melalui Aplikasi Invigorasi pada Kondisi Cekaman Salinitas. IPB. Bogor. Wikipedia. 2015. Pemanfaatan Serbuk Gergaji. Wahju Qamara Mugnisjah, Asep Setiawan. 1990. Pengantar Produksi Benih. Penerbit Faultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.