PENGARUH CUKA KAYU TERHADAP SERANGAN HAMA PERUSAK DAUN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) Aam Karmila Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Budy Rahmat Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Elya Hartini Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Jln.Siliwangi No. 24 kotak pos 164 Tasikmalaya 46115 Tlp. (0265) 323531 Fax (0265) 325812 ABSTRACT The objective of this experiment was to find out about the effect of wood-teak vinegar concentrations on the leave-borer pests and growth of soybean. The experiment was conducted at campus of Siliwangi University, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, with the altitude 358 meters above sea level. The experiment was conducted in July until October 2013. The experiment was arranged in Randomized Block Design (RBD) with five repetations and consisted of five treatments of wood vinegar concentrations, i.e. : k0 = without wood vinegar (control), k1 = Wood vinegar of 2%, k2 = Wood vinegar of 4%, k3 = Wood vinegar of 6%, and k4 = Wood vinegar of 8%. The result of the experiment showed that the treatments of wood-teak vinegar at different concentrations did not give significant effect on leave-borer pests and growth of soybean. Keywords : wood vinegar, leave-borer pests, soybean ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati terhadap pengendalian hama perusak daun dan pertumbuhan tanaman kedelai. Percobaan ini dilaksanakan di Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, dengan ketinggian tempat 358 m dpl. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2013. Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode eksperimental dengan rancangan percobaan yang digunakan ialah Rancagan Acak Kelompok (RAK) non faktorial yang diulang lima kali dengan lima perlakuan, yaitu : k 0 = Tanpa cuka kayu (kontrol), k1 = Larutan cuka kayu konsentrasi 2%, k2 = Larutan cuka kayu konsentrasi 4%, k3 = Larutan cuka kayu konsentrasi 6%, dan k4 = Larutan cuka kayu konsentrasi 8%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa aplikasi cuka kayu dari serutan kayu jati pada berbagai konsentrasi tidak berpengaruh terhadap serangan hama perusak daun dan pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril). Kata kunci : cuka kayu, hama perusak daun, kedelai
1
I.
PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max (L) Merril) diduga berasal dari kedelai liar China,
Manchuria dan Korea. Rhumphius melaporkan bahwa pada tahun 1750 kedelai sudah mulai dikenal sebagai bahan makanan dan pupuk hijau di Indonesia (Suprapto, 1993). Saat ini tanaman kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang penting setelah beras disamping sebagai bahan pakan dan industri olahan. Karena hampir 90% digunakan sebagai bahan pangan maka ketersediaan kedelai menjadi faktor yang cukup penting (Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam Marwoto, 2007). Gangguan hama, penyakit dan ketidakseimbangan hara merupakan masalah penting yang dihadapi petani dalam usahatani kedelai. Serangan hama dan penyakit, selain menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar, juga menurunkan kualitas hasil. Beberapa serangan hama dan penyakit, seringkali menampilkan gejala yang perlu diidentifikasi dengan teliti, sehingga dapat diketahui dengan tepat penyebabnya yang pada gilirannya upaya pengendalian dapat dilakukan dengan tepat dan efektif (Deptan, 2011).
Diantara hama potensial yang sering menimbulkan kerugian dan perlu
diwaspadai adalah hama perusak daun, seperti Ulat grayak (Spodoptera litura), Penggulung daun (Lamprosema indicata) dan Belalang (Locusta migratoria manilensis). Hama perusak daun menyerang tanaman pada bagian daun, sehingga daun menjadi rusak dan proses fotosintesis terganggu, akibatnya pertumbuhan menjadi terhambat dan hasil tanaman menurun. Sampai saat ini, petani masih menggunakan pestisida dan obat-obatan kimia untuk membasmi hama dan penyakit tanaman. Penggunaan pestisida sintetis mampu mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman secara efektif, namun demikian terdapat pula akibat yang ditimbulkan yaitu timbulnya masalah lingkungan, resistensi hama terhadap pestisida, kematian serangga bukan sasaran dan residu dalam bahan makanan (Rachman Sutanto, 2002). Untuk mengurangi dampak negatif di atas, maka diperlukan adanya alternatif pengganti pertisida kimia yang ramah lingkungan, diantaranya wood vinegar (cuka kayu). Di Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya banyak sekali terdapat pengusaha dan pengrajin kelom dan meubel yang notabene mengunakan bahan baku kayu, yang selain menghasilkan produk juga menghasilkan limbah berupa serutan kayu. Selama ini 2
penanganan limbah serutan kayu tersebut hanya dibiarkan menumpuk hingga membusuk atau dibakar, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan pengolahan limbah serutan kayu menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis, salah satunya dengan teknologi pirolisis untuk menghasilkan cuka kayu. Wood vinegar (cuka kayu) adalah cairan berwarna coklat pekat yang diperoleh dari proses destilasi asap dalam pembuatan arang kayu. Komponen utama yang terdapat dalam cuka kayu adalah asam asetat dan metanol. Zat ini pernah digunakan sebagai sumber komersial untuk asam asetat (Nurhayati, 2006 dalam Dewi Alimah, 2012). Tedy Priyadi Kurniawan (2009) melaporkan bahwa cuka kayu yang berasal dari limbah kayu mahoni dan kayu kihiang dapat meningkatkan mortalitas rayap tanah. Benyamin Dendang dkk. (2007) menyatakan bahwa cuka kayu dapat mempengaruhi intensitas serangan ulat jengkal pada tanaman sengon. Arnat Tancho (2008) dalam Rick Burnette (2010) juga melaporkan bahwa cuka kayu dapat diaplikasikan ke permukaan tanah untuk membantu meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan dan untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman. Selain itu, produk dapat membantu meningkatkan pertahanan tanaman terhadap penyakit. De Guzman (2009) dalam Rick Burnette (2010) menambahkan bahwa sejumlah aplikasi pertanian potensial juga dilaporkan, cuka kayu dicampur dengan air dalam rasio berkisar antara 1:50 (1 liter cuka kayu dan air 50 liter) hingga 1:800.
Untuk
meningkatkan produksi tanaman, larutannya dapat disemprotkan melalui tajuk tanaman. Cuka kayu seperti halnya hormon akan diserap ke ranting, batang, atau daun, sehingga tanaman lebih kuat dan daun yang lebih hijau serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit. II.
BAHAN DAN METODE Percobaan ini dilaksanakan di Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Kelurahan
Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, dengan ketinggian tempat 358 m dpl. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2013. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini terdiri atas benih kedelai varietas Grobogan, tanah, pupuk kandang atau porasi padat, pupuk (Urea, SP36, KCl) serta cuka kayu dari serutan kayu jati.
3
Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode eksperimental dengan rancangan percobaan yang digunakan ialah Rancagan Acak Kelompok (RAK) non faktorial yang diulang lima kali dengan lima perlakuan, yaitu : k0 = Tanpa cuka kayu (kontrol) k1 = Larutan cuka kayu konsentrasi 2% k2 = Larutan cuka kayu konsentrasi 4% k3 = Larutan cuka kayu konsentrasi 6% k4 = Larutan cuka kayu konsentrasi 8% Pengamatan utama dibagi menjadi dua komponen pengamatan, yaitu : a.
Komponen pertumbuhan dan hasil 1) Tinggi Tanaman Tinggi tanaman diperoleh dengan cara mengukur tinggi tanaman pada setiap plot percobaan, mulai dari pangkal batang diatas permukaan tanah sampai bagian titik tumbuh tertinggi. Pengamatan dilakukan tiga kali yaitu pada saat tanaman berumur 15 hst, 35 hst, dan 42 hst. 2) Jumlah Daun Jumlah daun diperoleh dengan cara menghitung jumlah daun yang tumbuh pada tanaman dari tiap percobaan. Pengamatan dilakukan tiga kali yaitu pada saat tanaman berumur 15 hst, 35 hst, dan 42 hst. 3) Jumlah Cabang Produktif per Tanaman Jumlah cabang produktif diperoleh dari rata-rata jumlah cabang yang menghasilkan polong pada tanaman dari tiap percobaan.
Pengamatan
dilakukan pada saat tanaman berumur 50 hst. 4) Bobot 100 Butir Biji Bobot 100 butir biji diperoleh dengan menghitung rata-rata bobot 100 butir biji yang sudah kering (kadar air 14 persen) dari setiap percobaan dengan mengambil biji sebanyak tiga kali secara acak. 5) Hasil Biji Kering per Plot dan per Hektar Hasil biji kering per plot diperoleh dari hasil biji kering (kadar air 14 persen) pada setiap plot. Hasil biji kering per hektar diperoleh dengan mengkonversi hasil biji kering per plot.
4
b.
Komponen serangan hama-hama perusak daun 1) Luas Serangan Hama-hama Perusak Daun Pengamatan luas serangan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat tanaman berumur 63 dan 70 hst dengan cara menghitung jumlah tanaman yang terserang hama perusak daun dalam setiap plot. Luas serangan dihitung dengan rumus sebagai berikut : ∑ ∑
2) Intensitas Serangan Hama-hama Perusak Daun Pengamatan intensitas serangan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat tanaman berumur 63 dan 70 hst dengan cara mengamati daun-daun yang rusak akibat hama perusak daun. Menurut Unterstenhofer (1963) dalam Tri Lestari dkk. (2012) Intensitas serangan dihitung dengan rumus sebagai berikut : ∑
Keterangan : I = Tingat kerusakan ni = Jumlah tanaman terserang dengan klasifikasi tertentu vi = Nilai untuk klasifikasi kerusakan tertentu Z = Nilai tertinggi dalam klasifikasi N = Jumlah tanaman dalam satu plot Nilai untuk klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama menurut Unterstenhofer (1963) dalam Tri Lestari dkk. (2012) adalah sebagai berikut : 0 = daun sehat, kerusakan daun ≤ 5% 1 = daun rusak ringan, kerusakan daun antara 5% ≤ 25% 2 = daun rusak agak berat, kerusakan daun antara 26% ≤ 50% 3 = daun rusak berat, kerusakan daun antara 51% ≤ 75% 4 = daun rusak sangat berat, kerusakan daun > 75%
5
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Pengaruh aplikasi berbagai konsentrasi cuka kayu terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 15, 35 dan 42 hst. Konsentrasi cuka kayu (%) 0 2 4 6 8
Tinggi Tanaman (cm) 15 hst 23,73 a 24,23 a 23,69 a 25,30 a 24,65 a
35 hst 37,28 a 38,28 a 37,54 a 40,77 a 37,57 a
Jumlah daun (helai)
42 hst 38,15 a 40,55 a 38,92 a 41,66 a 38,44 a
15 hst 7,24 a 7,38 a 7,82 a 8,14 a 7,74 a
35 hst 22,66 a 22,44 a 21,82 a 21,84 a 21,20 a
42 hst 33,92 a 34,10 a 33,04 a 33,26 a 32,50 a
Ket : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Tabel 2. Rata-rata pengaruh aplikasi berbagai konsentrasi cuka kayu terhadap jumlah cabang produktif per tanaman pada umur 50 hst. Konsentrasi cuka kayu (%) 0 2 4 6 8
Jumlah Cabang Produktif Per Tanaman (Tangkai) 10,44 a 10,56 a 9,72 a 10,38 a 10,16 a
Ket : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Tabel 3. Rata-rata pengaruh aplikasi berbagai konsentrasi cuka kayu terhadap bobot 100 butir biji kering. Konsentrasi cuka kayu (%) 0 2 4 6 8
Bobot 100 Butir Biji (g) 18,93 a 18,80 a 19,20 a 19,27 a 19,00 a
Ket : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
6
Tabel 4. Rata-rata pengaruh aplikasi konsentrasi cuka kayu terhadap bobot kering per plot dan bobot kering per hektar. Konsentrasi cuka kayu (%) 0 2 4 6 8
Per Plot (kg) 0,049 a 0,049 a 0,075 a 0,057 a 0,049 a
Per Hektar (ton) 1,58 a 1,58 a 2,41 a 1,83 a 1,58 a
Ket : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Pada Tabel 1 terlihat bahwa aplikasi cuka kayu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 15, 35 dan 42 hari setelah tanam. Hal ini diduga bahwa cuka kayu yang diaplikasikan konsentrasinya terlalu rendah sehingga tidak memberikan kontribusi terhadap proses pertumbuhan tanaman. Begitu juga pada Tabel 2 menunjukkan bahwa cuka kayu tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah cabang produktif, hal ini diduga karena cuka kayu tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman sehingga pada jumlah cabang produktif pun tidak berpengaruh karena semakin tinggi tanaman akan semakin banyak pula jumlah cabang yang terbentuk. Seperti yang dinyatakan Tastra (2002) bahwa jumlah buku subur per tanaman akan semakin tinggi dengan meningkatnya tinggi tanaman, dengan semakin tingginya tanaman selain meningkatkan jumlah buku subur, ada kemungkinan bahwa daun-daun yang terdapat pada tanaman juga semakin banyak sehingga meningkatkan proses fotosintesis. Untuk bobot 100 butir biji pada Tabel 3 aplikasi cuka kayu juga tidak menujukkan adanya pengaruh yang nyata, hal ini diduga bahwa ukuran biji kedelai dipengaruhi oleh sifat genetik sesuai dengan varietas yang dibudidayakan. Umumnya, hasil rata-rata bobot 100 butir kedelai dengan aplikasi cuka kayu tidak berbeda dengan deskripsi varietas grobogan, dimana bobot 100 butir biji kedelai rata-rata adalah 18 g. Menurut Suprapto (1993), ukuran biji kedelai bervariasi, tergantung varietas yang dibudidayakan. Kedelai diklasifikasikan menurut ukuran bijinya, kedelai digolongkan berbiji kecil jika bobot 100 butir biji antara 6 sampai 10 g, berbiji sedang jika bobot 100 butir biji antara 10 sampai 13 g dan berbiji besar jika lebih dari 13 g.
7
Begitu juga dengan hasil biji kering per plot dan per hektar pada Tabel 4 menunjukkan bahwa aplikasi cuka kayu tidak berpengaruh terhadap hasil biji kering per plot dan per hektar, seperti halnya pada parameter petumbuhan. Sejalan dengan pendapat Adisarwanto dan Rini Wudianto (1999) yang menyatakan bahwa hasil dipengaruhi oleh komponen pertumbuhan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang produktif serta faktor pendukung lainnya baik itu faktor genetik maupun faktor lingkungan. Tabel 5. Rata-rata pengaruh aplikasi konsentrasi cuka kayu terhadap luas serangan hama perusak daun pada umur 63 dan 70 hst. Konsentrasi cuka kayu (%) 0 2 4 6 8
Ulat Grayak (Spodoptera litura) 63 hst 40,39 a 32,96 a 47,96 a 33,69 a 40,40 a
70 hst 46,67 a 40,61 a 50,26 a 38,36 a 45,30 a
Penggulung daun (Lamprosema indicata) 63 hst 70 hst 62,00 a 72,00 a 54,73 a 75,13 a 58,72 a 82,63 a 58,72 a 68,14 a 58,52 a 75,98 a
Belalang (Locusta migratoria manilensis) 63 hst 70 hst 82,63 a 86,31 a 90,00 a 90,00 a 90,00 a 90,00 a 90,00 a 90,00 a 90,00 a 90,00 a
Ket : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Tabel 6. Rata-rata pengaruh aplikasi konsentrasi cuka kayu terhadap intensitas serangan hama perusak daun pada umur 63 dan 70 hst. Konsentrasi cuka kayu (%) 0 2 4 6 8
Ulat Grayak (Spodoptera litura) 63 hst 7,73 a 5,80 a 10,40 a 8,72 a 10,74 a
70 hst 6,87 a 6,35 a 7,09 a 7,04 a 7,22 a
Penggulung daun (Lamprosema indicata) 63 hst 70 hst 17,14 a 23,08 a 14,70 a 22,36 a 15,46 a 20,80 a 16,25 a 17,32 a 17,06 a 22,44 a
Belalang (Locusta migratoria manilensis) 63 hst 70 hst 26,59 a 25,75 a 28,52 a 29,17 a 30,96 a 28,38 a 29,84 a 28,23 a 30,28 a 29,70 a
Ket : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen.
Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa aplikasi cuka kayu tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap luas dan intensitas serangan hama-hama perusak daun. Hal ini diduga karena cara pengaplikasian cuka kayu dengan cara disemprotkan pada daun menyebabkan cuka kayu mudah terdegradasi dan menguap. Menurut Novizan (2002), untuk menghindari pencemaran lingkungan, sangat diinginkan pestisida yang
8
terurai cepat, tetapi untuk efektivitas pengendalian hama, residu yang cepat hilang dianggap kurang efektif karena tidak mampu menjaga tanaman dari gangguan OPT terlalu lama sehingga menuntut cara aplikasi yang lebih spesifik serta menuntut ketepatan waktu dan mungkin harus dilakukan lebih sering. IV.
KESIMPULAN Aplikasi cuka kayu dari serutan kayu jati pada berbagai konsentrasi tidak
berpengaruh terhadap serangan hama perusak daun dan pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril). DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. dan Rini Wudianto. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah-Kering-Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta. Benyamin Dendang, Aris Sudomo, Encep Raciman, dan Rusdi. 2007. Pengendalian Hama Ulat Jengkal Pada Sengon Dengan Ekstrak Daun Suren Dan Cuka Kayu. Jurnal Wana Benih Vol. 8 Nomor 1 Juli 2007. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis. Deptan. 2011. Hama, Penyakit, dan Masalah Hara pada Tanaman Kedelai Identifikasi dan Pengendaliannya. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/ bppi/lengkap/bpp10212.pdf. Diakses 17 Mei 2013. Dewi Alimah. 2012. Pemanfaatan Cuka Kayu Sebagi Stimulasi Pertumbuhan Tanaman. [Online] http://foreibanjarbaru.or.id/?p=343. Diakses tanggal 29 Mei 2013. Marwoto. 2007. Dukungan Pengendalian Hama Terpadu dalam Program Bangkit Kedelai. Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 1 – 2007. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Rachman Sutanto. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Rick Burnette. 2010. An Introduction to Wood Vinegar. ECHO Asia Notes. A Regional Supplement to ECHO Development Notes. http://c.ymcdn.com/sites/www.echocommunity.org. Diakses tanggal 29 Mei 2013. Suprapto. 1993. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.
9
Tastra, I.K. 2002. Peningkatan produktivitas, kualitas, efisiensi, dan sistem produksi tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian menuju ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Prosiding seminar hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tedy Priyadi Kurniawan. 2009. Efikasi Cuka Kayu (Wood Vinegar) terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holm) dari limbah kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) dan kayu Kihiyang (Albizzia procera Benth). [Online] http://tedykurniawan.wordpress.com/tag/cuka-kayu/. Diakses tanggal 4 Mei 2013. Tri Lestari M., Dewi Sartiami, Nurul Khumaida, Natalini Nova K., dan Cucu Sukmana. 2012. Kutu Tanaman dan Trips Berasosiasi dengan Tanaman Daun Ungu dan Tingkat Kerusakan Tanaman. Buletin Litro. Vol.23 No.1, 70 – 82. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
10