EFIKASI KONSENTRASI CUKA KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L) Merril) DAN PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU PUCUK Andi Hamdani1) Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Budi Rahmat2) Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Darul Zumani3) Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Jln. Siliwangi No. 24 Kotak Pos 164 Tasikmalaya 46115 Tlp: (0265) 330634 Fax: (0265) 325812 Website: www.unsil.ac.id E-mail:
[email protected] ABSTRACT The experiment was conducted at the Campus University of Siliwangi Kahuripan – Tawang, Tasikmalaya City. Started at August to October 2013 . Altitude is 358 meters above sea level with precipitation type B (wet) according to Schmidt and Ferguson in Ance Gunarsih (1988) . Plants was grown at media polythene bags on a trial size of 30 cm x 40 cm . The aime of experiment is to determine the effectiviness concentration of wood vinegar in improving plant growth and control soybean shoots wilt disease of soybean. The experimental design arranged in Randomized Block Design (RAK). It was repeated 5 times and consists of 5 treatments there were K 0 (Application by using water (control)) , K1 (wood vinegar concentration of teak wood shavings 2 %) , K2 (wood vinegar concentration of teak wood shavings 4 %) , K 3 (wood vinegar concentration of teak wood shavings 6 %) , and K4 (wood vinegar concentration of 8 % teak wood shavings). The results of experiment showed that the application of wood vinegar concentration at different concentrations gave no effect on the growth and yield of soybean, also there were no significant effect on the control of wilt disease of soybean shoots. Keywords : Soybean, wood vinegar, wilt disease ABSTRAK Percobaan ini dilaksanakan di Kampus Universitas Siliwangi Kelurahan Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya, dimulai pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2013. Ketinggian tempat 358 meter di atas permukaan laut dengan tipe curah hujan B (basah) menurut Schmidt dan Ferguson dalam Ance Gunarsih (1988). Tanaman pada percobaan ditanam dalam polibag ukuran 30 cm x 40 cm. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cuka kayu yang efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai dan mengendalikan serangan penyakit layu pucuk kedelai. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang 5 kali dan terdiri dari 5 perlakuan yaitu K0 (Aplikasi dengan menggunakan air (kontrol)), K1 (Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 2%), K2 (Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 4%), K3 (Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 6%), dan K4 (Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 8%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi cuka kayu dari serutan kayu jati pada konsentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai, juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pengendalian penyakit layu pucuk tanaman kedelai. Kata kunci : kedelai, cuka kayu, layu pucuk 1
PENDAHULUAN Kedelai ( Glycine max (L) Merril) merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan termasuk tanaman pangan yang menduduki posisi ketiga setelah beras dan jagung. Tanaman kedelai diketahui bukan asli tanaman dari Indonesia, karena kedelai bisa tumbuh subur di daerah Eropa. Kedelai diduga berasal dari Cina tepatnya daerah Manshukuw, masuk ke Indonesia sejak tahun 1750 dibawa oleh pedagang Cina dan Kolonial Belanda, dan dibudidayakan sebagai bahan pangan dan sumber protein yang penting di Indonesia (Suprapto, 1993). Selain itu kedelai banyak dikonsumsi oleh orang sebagai alternatif untuk menggantikan protein hewani yang relatif mahal (Wisnu Cahyadi, 2006). Dari hal tersebut maka pemenuhan kebutuhan gizi semakin meningkat, sehingga permintaan akan kedelai pun semakin meningkat. Kandungan gizi kedelai yang bermanfaat bagi tubuh manusia yaitu kalori, protein, karbohidrat dan vitamin yang disajikan pada tabel berikut : Tabel 1. Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram. Komponen Jumlah Kalori Protein Lemak Krbohidrat Kalsium Posfor Besi Vitamin A Vitmin B1 Air Sumber : Wisnu Cahyadi, 2006
331,0 kkal 34,9 gram 18,1 gram 34,8 gram 227,0 mg 585,0 mg 8,0 mg 110,0 SI 1,1 mg 7,5 gram
Usaha pengembangan dan peningkatan produksi tanaman kedelai tidak selalu berjalan mulus, banyak sekali hambatan yang ditemui dalam usaha tersebut baik yang bersifat ekonomis, sosial maupun biologis. Salah satu faktor biologis yang sering kali menjadi kendala adalah hama dan patogen penyakit tanaman (Idham Sakti Harahap, 1994). Penyakit pada kedelai pada umumnya disebabkan oleh organisme cendawan atau bakteri. Namun ada pula yang disebabkan oleh gangguan fisiologis karena kekurangan atau kelebihan suatu unsur hara (Lisdiana Fachruddin,2000).. Upaya pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan cara menggunakan pestisida. Namun dalam penggunaanya , pestidsida dapat memberikan dampak negatif. Pestisida nabati merupakan alternatif yang dipilih untuk digunakan dalam pengendalian hama maupun penyakit, pestisida nabati bisa berasal dari bahan tanaman berupa biji, daun, akar maupun limbah dari tanaman (Rachman Sutanto, 2002). Limbah tanaman seringkali dibiarkan begitu saja tidak dimanfaatkan, misalnya limbah serutan kayu, hanya dibiarkan membusuk atau dibakar. Padahal jika digunakan, limbah serutan kayu dapat bermanfaat bagi pertanian, antara lain diolah menjadi cuka kayu. Cuka kayu diperoleh dari destilasi asap yang dihasilkan dari proses pembuatan arang kayu. Komponen utama yang terdapat dalam cuka kayu adalah asam asetat, phenol dan metanol (Dewi Alimah, 2012). Cuka kayu dapat digunakan untuk menghambat dan mengurangi pertumbuhan hama dan penyakit, serta dapat membantu meningkatkan pertahanan tanaman terhadap penyakit (Arnat Tancho, 2010 dalam Rick Burnette, 2010). Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang Efikasi Konsentrasi Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merril) dan Pengendalian Serangan Penyakit Layu Pucuk. 2
Tujuan percobaan untuk mengetahui konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati yang efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai dan mengendalikan penyakit layu pucuk tanaman kedelai. BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Kampus Universitas Siliwangi Kelurahan Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai dengan bulan Oktober 2013. Bahan dan Alat Percobaan Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah benih kedelai varietas Grobogan, Pupuk kandang ayam, cuka kayu yang berasal dari serutan kayu jati, tanah, Urea dengan dosis 50 kg/ha, SP36 dengan dosis 75 kg/ha dan KCl dengan dosis 100 kg/ha. Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah terdiri atas ; polybag ukuran 40 cm x 30 cm, handsprayer volume ½ liter, timbangan, meteran, patok, cangkul, embrat, alat tulis, papan label dan alat-alat yang diperlukan lainnya. Metode Percobaan Metode yang dgunakan dalam percobaan ini adalah metode eksperimental dengan menggunakan Rancagan Acak Kelompok (RAK) yang diulang lima kali. Perlakuan terdiri dari ; K0 = Aplikasi dengan menggunakan air (Kontrol) K1 = Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 2% K2 = Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 4% K3 = Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 6% K4 = Konsentrasi cuka kayu dari serutan kayu jati 8% Pengamatan Pengamatan Penunjang Pengamatan penunjang ialah pengamatan sepintas yang digunakan sebagai data penunjang serta tidak dianalisis secara statistika, dilakukan terhadap perkecambahan benih, waktu waktu berbunga, waktu berbuah, ganguan penyakit dan gulma, serta curah hujan selama penelitian berlangsung. Pengamatan Utama a. Tinggi Tanaman Tinggi tanaman adalah rata-rata tinggi tanaman dari tiap petak percobaan. Tinggi tanaman mulai diukur dari pangkal batang bawah sampai pada bagian tertinggi dari tanaman. Pengukuran dilakukan pada tanaman kedelai berumur 28 hari setelah tanam, 42 hari setelah tanam dan 49 hari setelah tanam. b.
Jumlah Cabang Produktif Jumlah cabang produktif per tanaman adalah rata-rata jumlah cabang yang keluar dari batang utama dan menghasilkan bunga, cabang produktif dihitung pada seluruh tanaman dari tiap petak percobaan, pengamatan ini dilakukan pada umur 61 hari setelah tanam. c.
Luas Serangan Penyakit Layu Pucuk Penyakit layu pucuk yang diteliti merupakan gejala yang timbul atau nampak pada setiap pucuk tanaman kedelai yang muncul secara alami tanpa melakukan inokulasi penyakit. Luas serangan penyakit layu pucuk pada tanaman kedelai dihitung dari tiap petak percobaan setelah aplikasi cuka kayu mulai tanaman berumur 49 hari setelah tanam sampai dengan umur 63 hari setelah tanam dengan selang waktu tujuh hari sekali. Luas serangan penyakit layu pucuk dihitung dengan rumus sebagai berikut : 3
∑tanaman terserang Luas serangan =
x 100% ∑tanaman diamati
d.
Bobot 100 butir bji (gram) Bobot 100 butir biji adalah rata-rata berat 100 butir biji yang sudah kering (kadar air 14 persen). Bobot 100 biji kering dihitug dari tiap petak percobaan dengan cara mengambil biji tiga kali pengambilan secara acak tanpa memilih ukuran dan warna dilakukan setelah panen. e. Hasil biji kering per petak (kg) dan per hektar (ton) Hasil biji kering perpetak diperoleh dari hasil biji tiap petak percobaan. Hasil biji kering per hektar diperoleh dengan mengkonversi hasil biji kering per petak. Penimbangan dilakukan setelah biji dikeringkan sampai kadar airnya mencapai 14 persen. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengamatan Penunjang Tanaman kedelai mulai berkecambah pada umur empat hari setelah tanam dan tampak merata pada umur tujuh hari setelah tanam, dengan persentase kurang lebih 95 persen. Pada usia tujuh hari dilakukan penyulaman terhadap tanaman yang tidak tumbuh atau pertumbuhannya kurang baik yaitu dengan cara menggati tanaman dengan tanaman lain pada polybag yang umurnya sama. Tanaman kedelai varietas Grobogan ini mulai berbunga sekitar umur 30 hari setelah tanam dan mulai keluar polong sekitar umur 37 hari setelah tanam. Baik berbunga maupun keluar polong tidak ada perbedaan antar perlakuan dan ulangan. Selama pertumbuhan tanaman tidak terlepas dari adanya serangan jasad penganggu meliputi gulma dan hama namun gangguannya tidak menyebabkan kerusakan yang berarti. Terdapat pula penyakit bukan sasaran yang menyerang tanaman kedelai. Gulma yang tumbuh pada polybag selama penelitian berlangsung adalah singgang padi (Oryza sativa L.), rumput gelang (Portulacca oleraceae), teki berumbi (Cyperus rotundus) dan babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh pada polybag. Hama yang menyerang tanaman kedelai diantaranya adalah hama lalat bibit (Ophimya phaseoli), gejalanya adalah menimbulkan kelayuan pada tanaman, dengan garis lintang bekas geratan ke arah batang dan serangan yang lebih berat akan menyebabkan tanaman mati. Hama lainnya ialah hama ulat jengkal (Plusia chalcites) gejala yang nampak adalah rusaknya daun-daun, hanya tulang daunnya saja yang tersisa. Kemudian hama ulat penggulung daun (Lamprosema indica), yang memakan daun kedelai hingga berlubang dan robek, bahkan menggulung daun di bagian pucuk, hama ini menyerang daun tanaman kedelai masih muda. Belalang banyak yang menyerang pada tanaman kedelai dengan menyerang pada bagian daun tanaman. Kepik coklat (Riptortus linearis) dan kepik hijau (Nezaraviridula) juga menyerang pada biji polong yang masih muda, yang mengakibatkan polong hampa atau kosong, sehinagga mempengaruhi hasil produksi. Intensitas serangan hama tersebut dapat dikendalikan dengan cara mekanis. Penyakit bukan sasaran yang menyerang tanaman kedelai adalah penyakit karat daun (Phakopsora pachyrhizi), dengan gejala daun bercak-bercak cokelat abu-abu, kemudian berubah warna menjadi cokelat tua atau kemerahan. Bercak ini paling banyak ditemukan di bagian permukaan bawah daun dan hanya sedikit di permukaan atas daun. Penyakit lainnya yang menyerang adalah virus mosaik kedelai (Soybean mosaic virus), dengan gejala terjadi klorosis dan mosaik pada daunnya. Gejala akhir yang disebabkan oleh virus mosaik kedelai daun menjadi hijau gelap, mengkerut, tepi daun melengkung ke dalam, dan ukuran daun menjadi kecil. Serangan ini tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
4
Pengamatan Utama Tinggi Tanaman Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa aplikasi konsentrasi cuka kayu pada konsentrasi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, seperti tersaji pada tabel 2. Tabel 2. Rata-rata pengaruh aplikasi konsentrasi cuka kayu yang berbeda terhadap tinggi tanaman pada umur 28, 42 dan 50 hari setelah tanam (hst). Tinggi Tanaman (cm) Perlakuan 28 hst 42 hst 50 hst K0 38,63 a 45,47 a 39,66 a K1 42,45 a 39,55 a 39,25 a K2 40,30 a 39,93 a 35,87 a K3 38,30 a 42,87 a 38,65 a K4 41,04 a 39,56 a 41,60 a Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang diikuti huruf yang sama pada setiap umur pengamatan dan pada setiap perlakuan masing-masing tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Aplikasi konsentrasi cuka kayu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 28, 42 dan 50 hari setelah tanam. Hal ini diduga bahwa konsentrasi cuka kayu terlalu rendah, sehingga cuka kayu tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman kedelai. Selanjutnya diduga pula cuka kayu yang diaplikasikan frekuensinya terlalu renggang, sehingga cuka kayu tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman kedelai. Diduga pertumbuhan tanaman kedelai tidak dipengaruhi oleh cuka kayu melainkan dipengaruhi oleh unsur hara yang tersedia dalam tanah yang berasal dari pupuk yang diaplikasikan pada saat tanam sebagai pupuk dasar terdiri dari pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik memiliki fungsi untuk menggemburkan lapisan permukaan tanah, meningkatkan daya simpan air serta meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk anorganik mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang tinggi (Mulyani Sutejo, 2002). Luas Serangan Layu Pucuk Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aplikasi cuka kayus pada konsentrasi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap luas serangan layu pucuk pada umur 49, 56 dan 63 hari setelah tanam. Rata-rata luas serangan layu pucuk pada setiap pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata pengaruh aplikasi konsentrasi cuka kayu yang berbeda terhadap luas serangan Layu Pucuk pada umur 49, 56 dan 63 hari setelah tanam (hst) Luas serangan Layu Pucuk (%) Perlakuan 49 hst 56 hst 63 hst K0 80,00 a 71,66 a 68,33 a K1 75,00 a 61,66 a 58,33 a K2 81,66 a 65,00 a 55,00 a K3 73.33 a 65,00 a 51,66 a K4 74,54 a 74,69 a 57,57 a Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang diikuti huruf yang sama pada setiap umur pengamatan dan pada setiap perlakuan masing-masing tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen.
Diduga konsentrasi cuka kayu yang diaplikasikan belum bekerja secara maksimal, karena layu pucuk sudah mulai menyerang pada saat tanaman masih muda. Selanjutnya, diduga cuka kayu pada konsentrasi yang diuji bekerja lambat dalam mengendalikan serangan layu pucuk berbeda dengan pestisida kimiawi yang bekerja lebih cepat dibanding dengan cuka kayu atau pestisida nabati, sehingga aplikasi cuka kayu atau pestisida nabati harus dilakukan lebih sering. Sejalan dengan Sumartini (2011) penggunaan pestisida nabati aman bagi lingkungan tanah, air dan udara, dan dapat diterapkan untuk 5
penyelimutan dan penyemprotan pada pangkal batang. Namun bahan nabati mudah tergradasi dan menguap sehingga aplikasinya harus beberapa kali. Cuka kayu yang diaplikasikan diduga tidak bertahan lama menempel pada tanaman kedelai, hal ini disebabkan cuka kayu mudah terurai oleh udara, embun maupun air hujan. Cuka kayu setelah diaplikasikan maka akan cepat larut atau tergradasai oleh lingkungan. Berdasarkan data curah hujan, kecamatan Tawang termasuk dalam iklim basah, hal ini memungkinkan cuka kayu yang diaplikasikan akan mudah terurai oleh lingkungan. Sejalan dengan Agus Kardinan (1999) pestisida nabati bersifat “ pukul dan lari “ (hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang. Selanjutnya diduga pula cuka kayu yang diaplikasikan konsentrasi dan dosisnya terlalu rendah, tingkat toksisitas rendah, dan waktu aplikasinya kurang tepat. Sehingga cuka kayu tidak memberikan pengaruh terhadap layu pucuk kedelai. Menurut Mitsuyoshi (2002) dalam Dewi Alimah (2012) ; Rick Burnette (2010) cuka kayu lebih berperan sebagai zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh memiliki peranan terhadap pertumbuhan tanaman yaitu tanaman menjadi tumbuh sehat dan kuat. Tanaman yang tumbuh sehat dan kuat jika dikaitkan dengan ketahanan terhadap hama dan penyakit maka tanaman akan tahan. Dengan demikian cuka kayu belum tentu dapat mengendalikan secara langsung penyakit pada tanaman. Beberapa penelitian sebelumnya diketahui bahwa cuka kayu dapat menekan serangan hama pada tanaman, namun belum tentu dapat menekan terhadap penyakit tanaman. Sedangkan pada penelitian ini, cuka kayu dicoba pada penyakit layu pucuk tanaman kedelai yang disebabkan oleh P. solanacearum. Jumlah Cabang Produktif per Tanaman Hasil analisis statistik menunjukkan aplikasi cuka kayu pada konsentrasi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap jumlah cabang produktif per tanaman. Rata-rata jumlah cabang produktif per tanaman dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata pengruh aplikasi konsentrasi cuka kayu terhadap jumlah cabang produktif per tanaman Jumlah Cabang Produktif Per Tanaman Perlakuan (Tangkai) K0 4,87 a K1 4,67 a K2 4,73 a K3 4,72 a K4 4,64 a Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang diikuti huruf yang sama pada setiap umur pengamatan dan pada setiap perlakuan masing-masing tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Pada Tabel 4. terlihat bahwa pengaruh aplikasi cuka kayu pada konsentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah cabang produktif per tanaman. Diduga cuka kayu yang diaplikasikan masih terlalu rendah baik dosis maupun konsentrasinya. Diduga pula teknik aplikasinya kurang tepat, sedangkan pada penelitian ini aplikasinya dengan cara disemprotkan pada bagian daun. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa cuka kayu bekerja secara sistemik. Oleh karena itu aplikasi cuka kayu sebaiknya dilakukan degan cara disiramkan pada pangkal batang tanaman, sehingga tanaman mempunyai ketahanan terhadap hama dan penyakit. Sejalan dengan Agus Kardinan dan Agus Ruhnayat (2003) aplikasi pestisida yang bekerja secara sistemik dilakukan dengan cara disiramkan sehingga pestisida meresap ke seluruh bagian tanaman. Tanaman mempunyai ketahanan terhadap hama dan penyakit karena mengandung pestisida. Jumlah cabang produktif per tanaman juga dipengaruhi oleh pembawaan sifat genetik tanaman itu sendiri. Menurut Subhan dan Nunung (1990) dalam Kusnendar (2004) bahwa kondisi lingkungan yang mendukung akan memberikan penampilan yang baik pada suatu sifat dan sebaliknya lingkungan yang tidak mendukung bagi pertumbuhan menyebabkan potensi genetik suatu tanaman tidak dapat ditampilkan dengan baik.
6
Bobot 100 Butir Biji Kering Berdasarkan hasil uji statistik, aplikasi cuka kayu pada konsentrasi yang berbeda menunjukkan tidak berpengaruh terhadap bobot 100 butir biji kering. Rata-rata pengaruh aplikasi konsentrasi cuka kayu terhadap bobot 100 butir biji kering dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata pengaruh aplikasi konsentrasi cuka kayu terhadap bobot 100 butir biji kering. Perlakuan Bobot 100 Butir Biji (gram) K0 19,40 a K1 19,60 a K2 19,27 a K3 19,53 a K4 19,13 a Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang diikuti huruf yang sama pada setiap umur pengamatan dan pada setiap perlakuan masing-masing tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Diduga bobot 100 butir biji lebih dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman itu sendiri. Biji kedelai yang dihasilkan pada penelitian ini pada umumnya sama, baik ukuran maupun bentuknya, sehingga diduga bobot 100 butir biji kering per tanaman memang tidak dipengaruhi oleh aplikasi berbagai konsentrasi cuka kayu melainkan dipengaruhi oleh sifat genetik. Selanjutnya, ukuran biji kedelai bervariasi, tergantung varietas yang dibudidayakan. Kedelai memiliki klasifikasi tertentu akan ukuran bijinya, biasanya untuk menentukan klasifikasi ukuran biji yaitu dengan menimbang bobot 100 butir biji. Kedelai digolongkan berbiji kecil bila bobot 100 bijinya antara 6 – 10 gram, kemudian berbiji sedang bila bobot 100 biji sampai 13 gram dan lebih dari 13 gram termasuk biji besar (Suprapto, 1993). Hasil Biji Kering Per Petak (kg) dan Per Hektar (ton) Hasil uji statistik menunjukkan pengaruh aplikasi cuka kayu pada konsentrasi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap bobot kering per petak dan bobot kering per hektar, seperti tersaji pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata pengruh aplikasi konsentrasi cuka kayu terhadap bobot kering per petak dan bobot kering per hektar. Per Petak Per Hektar Perlakuan (kg) (ton) K0 0,057 a 2,37 K1 0,052 a 2,16 K2 0,042 a 1,76 K3 0,054 a 2,24 K4 0,056 a 2,32 Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang diikuti huruf yang sama pada setiap umur pengamatan dan pada setiap perlakuan masing-masing tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5 persen
Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh aplikasi cuka kayu pada konsentrasi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap bobot kering per petak dan bobot kering per hektar. Telah dijelaskan sebelumnya pada parameter pertumbuhan bahwa cuka kayu yang diaplikasikan pada tanaman kedelai tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan. Jika pada parameter pertubuhan tidak berpengaruh maka diduga pula pada parameter hasil pun tidak berpengaruh. Sejalan dengan T. Adisarwanto dan Rini Wudianto (1999) bahwa hasil dipengaruhi oleh komponen pertumbuhan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang produktif serta faktor pendukung lainnya baik itu faktor genetik maupun faktor lingkungan. Selanjutnya hasil yang diperoleh tidak berbeda tiap aplikasi percobaan, hal ini diduga cuka kayu yang diaplikasikan dosis dan konsentrasinya terlalu rendah, frekuensi aplikasi terlalu renggang dan teknik alikasinya kurang tepat.
7
KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Aplikasi cuka kayu dari serutan kayu jati pada konsentrasi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, hasil dan luas serangan layu pucuk tanaman kedelai (Glycine max (L) Merril). DAFTAR PUSTAKA Agus Kardinan. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Agus Kardinan dan Agus Ruhnayat. 2003. Mimba,Budi Daya dan Pemanfaatan. Penebar Swadaya. Jakarta. Ance Gunarsih. 1988. Klimatologi Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Penerbit Bina Aksara. Jakarta. Dewi Alimah. 2012. Pemanfaatan Cuka Kayu Sebagi Stimulasi Pertumbuhan Tanaman. [Online] http://foreibanjarbaru.or.id/?p=343. Diakses tanggal 29 Mei 2013. Idham Sakti Harahap. 1994. Seri PHT Hama Palawija. Penebar Swadaya. Jakarta. Kusnendar. 2004. Pengaruh Jarak Tanam dan Kombinasi Takaran Pupuk Buatan Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Polong SegarKedelai (Glycine max (L) Merril) Kultivar Ryokko. Skripsi. Universitas Siliwangi. Tasikmalaya. Lisdiana Fachruddin. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Mulyani Sutejo. 2002. Pupuk dan cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. Rahman Sutanto. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan Pengembangannya). Kanisius. Yogyakarta. Rick Burnette. 2010. An Introduction to Wood Vinegar. ECHO Asia Notes. A Regional Suplement to ECHO Development Notes. Tersedia Dalam http://c.ymcdn.com/sites/ www.echocommunity.org/resource/collection/F6FFA3BF-02EF-4FE3-B180F391C063E31A/ Wood_Vinegar.pdf. Diakses tanggal 29 Mei 2013. Sumartini. 2011. Penyakit Tular Tanah (Sclerotium rolfsii dan Rhizoctonia solani) pada Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Serta Cara Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian Vol. 31 No 1 2012 : 27 – 33. Balitkabi. Malang. Suprapto. 1993. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. T. Adi Surwanto dan Rini Wudianto. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah – Kering – Pasang Sururt. Penebar Swadaya. Jakarta. Wisnu Cahyadi. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Mughni Sejahtera. Bandung.
8