i
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH JAGUNG PADA STADIA PRA MASAK FISIOLOGIS
N. KARINDITA EKIBDWI PUTRI A24120164
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Viabilitas dan Vigor Benih Jagung pada Stadia Pra Masak Fisiologis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
N. Karindita Ekibdwi Putri A24120164
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada kerja sama yang terkait.
iv
v ABSTRAK N KARINDITA EKIBDWI PUTRI. Viabilitas dan Vigor Benih Jagung pada Stadia Pra Masak Fisiologis. Dibimbing oleh FAIZA CHAIRANI SUWARNO dan ANGGI NINDITA. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi status viabilitas dan vigor benih jagung pada stadia pra masak fisiologis. Percobaan dilakukan di Kebun Cikabayan dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB mulai dari bulan November 2015 hingga Maret 2016. Percobaan disusun dalam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah varietas jagung, terdiri dari varietas Lamuru, Srikandi dan Bisma. Faktor kedua adalah waktu panen, mulai dari 78 hari hingga 106 hari dengan interval waktu 4 hari. Benih dikatakan mencapai saat matang morfologi (MM) ketika seluruh struktur kecambah sudah lengkap, sehingga dapat dinilai berdasarkan tolok ukur potensi tumbuh maksimum (PTM). Saat masak fisiologi (MF) ditentukan berdasarkan parameter Viabilitas Potensial maksimum dengan tolok ukur daya berkecambah (DB) dan bobot kering kecambah normal (BKKN), parameter Vigor benih maksimum dengan tolok ukur indeks vigor (IV) dan keserempakan tumbuh (KST), serta bobot kering benih maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Lamuru mencapai saat matang morfologi (MM) pada 82 HST, varietas Srikandi 78 HST dan varietas Bisma 78 HST. Pemanfaatan benih untuk penelitian dapat dilakukan pada saat sebelum masak fisiologi (MF) dimana benih sudah mampu berkecambah normal ≥ 80 %, untuk varietas Lamuru pada 86 HST, varietas Srikandi 90 HST, dan varietas Bisma 85 HST. Penentuan saat masak fisiologi berdasarkan kelima peubah yang diamati (DB, BKKN, IV, KST dan bobot kering benih maksimum) menunjukkan bahwa benih varietas Lamuru mencapai saat masak fisiologi pada 94-98 HST, varietas Srikandi pada 90 – 98 HST, dan varietas Bisma pada 90-102 HST. Kata kunci: jagung, metode sibbing, produksi benih
ABSTRACT N KARINDITA EKIBDWI PUTRI. Viability And Vigor of Maize Through Pre Physilogical Maturity Seed Period. Supervised by FAIZA CHAIRANI SUWARNO and ANGGI NINDITA. This study was conducted to obtain information of viability and vigor status of corn seed at pre physiological maturity stage. The experiments were conducted in Cikabayan Experimental Station and Seed Science and Technology Laboratory of IPB from November 2015 to March 2016. The experiment was arranged in a randomized complete block design (RCBD) with three replications. Two treatment factors were applied, the first treatment was maize varieties, ie Lamuru, Srikandi and Bisma. The second factor was the stage of harvest period, ranging from 78 to 106 days after planting in 4 days interval difference period. The seed was
vi
considered at morphological maturity stage (MRS) when all of seedling structures are performed, so it can be assessed based on the maximum growth potential (MGP) variable. The physiological maturity stage (PMS) was determined based on the parameter of maximum potencial viability measured with germination percentage (GP) and normal seedling dry weight (NSDW), parameter maximum seed vigor measured with vigor index (VI) and synchronization of germination and the maximum seed dry weight. The results showed that the varieties Lamuru performed morphological maturity (MM) at 82 DAP, Srikandi at 90 DAP, and Bisma at 78 DAP. Corn seed can be used for research before physiological maturity (PM) when the seeds have germination percentage more than 80%, for variety Lamuru at 86 DAP, Srikandi at 90 DAP, and Bisma at 85 DAP. Determining the time to physiological maturity stage based on the five variables observed (GP, NSDW, VI, GU, and maximum seed dry weight) showed that the seeds of Lamuru reached the stage at 94-98 DAP whereas Srikandi at 90-98 DAP, and Bisma at 90-102 DAP. Keywords: corn, sibbing method, seed production
vii
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH JAGUNG PADA STADIA PRA MASAK FISIOLOGIS
N. KARINDITA EKIBDWI PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikulktura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
x
xi PRAKATA
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2015 ini ialah Viabilitas dan Vigor Benih Jagung pada Stadia Pra Masak Fisiologis. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang membantu dalam pelaksanaan penelitian, yaitu: 1. Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, M.S. dan Anggi Nindita, S.P., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, masukan, pengarahan, nasehat dan dukungan selama penelitian, dan penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Sudradjat, M.S. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan dukungan selama penelitian. 3. Bapak dan Ibu teknisi lapang Kebun Percobaan Cikabayan Bawah yaitu Pak Mamat, Pak Gandi, Pak Milin, Bu Mar, Bu Iyam selaku teknisi lapang Kebun Percobaan Cikabayan Bawah yang banyak memberi masukan dan membantu dalam pelaksanaan penelitian. 4. Bapak dan Ibu teknisi yaitu Rahmat A.Ma, Bu Mae, Bu Susi selaku teknisi lapang Laboratorium Benih Processing Unit Leuwikopo yang banyak memberi masukan dan membantu dalam pelaksanaan penelitian. 5. Julia Mustikaweni, A.Md. selaku teknisi Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih. 6. Bapak Ibnu Saleh Nur dan Ibu Eka Enha Yulia, selaku orang tua penulis dan Kak Kiani dan Adik Kiasa sebagai saudara penulis yang selalu mendo’akan dan memberikan motivasi serta kasih sayang. 7. Rendy Santoso A.Md., Dwi Putri Maulida, Delys I., Shavira A., Eka P., Ilman H., Yudi, Ridho, Prawi, Raka, Sormin, Habib, Santi K. atas bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian penelitian. 8. Teman-teman AGH 49 Lotus yang sudah membantu dan memberikan dukungan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
N. Karindita Ekibdwi Putri
xii
xiii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Jagung Jagung Bersari Bebas Perkecambahan Benih Jagung Viabilitas Benih Vigor Benih Matang Morfologi dan Masak Fisiologis METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Rancangan Percobaan Prosedur Percobaan Pengamatan Percobaan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Evaluasi terhadap Karakter Vegetatif Evaluasi terhadap Karakter Generatif Evaluasi terhadap Komponen Hasil dan Produksi Korelasi antar Karakter Kuantitatif Viabilitas dan Vigor Benih KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xiv xiv xiv 1 1 1 2 2 2 3 3 4 4 4 5 5 5 6 6 7 10 11 11 13 13 14 17 19 27 27 27 28 31 37
xiv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh varietas dan waktu panen terhadap karakter agronomi Nilai tengah dari perlakuan varietas jagung terhadap peubah karakter vegetatif Nilai tengah dari perlakuan varietas jagung terhadap peubah umur berbunga Nilai tengah dari perlakuan varietas jagung terhadap peubah komponen hasil dan produksi Nilai tengah dari perlakuan waktu panen terhadap peubah komponen hasil dan produksi Rekapitulasi koefisien korelasi antar karakter kuantitatif Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh varietas dan waktu panen, dan interaksinya terhadap viabilitas dan vigor benih Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah potensi tumbuh maksimum Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah daya berkecambah Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah indeks vigor Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah keserempakan tumbuh Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah kadar air benih saat panen Nilai tengah dari varietas jagung terhadap peubah bobot 1000 butir
12 13 14 15 16 18 19 20 21 22 23 24 24
Nilai tengah dari pengaruh waktu panen terhadap peubah BKKN, 25 bobot 1000 butir, dan kadar air pipil Rekapitulasi penentuan saat matang morfologi dan masak fisiologis 26 benih berdasarkan peubah viabilitas total, viabilitas potensial, vigor, dan bobot kering benih
DAFTAR GAMBAR 1 2
Kondisi umum pertanaman jagung Kondisi perkecambahan benih jagung
11 20
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Hasil Analisis Tanah Kebun Percobaan Cikabayan Bawah IPB Deskripsi Jagung Varietas Lamuru Deskripsi Jagung Varietas Srikandi Deskripsi Jagung Varietas Bisma
33 34 35 36
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan komoditi pangan sekunder yang menjadi penyangga dan pelengkap komoditi pangan utama yaitu padi, karena dalam kondisi tertentu dapat berperan sebagai subtitusi utama padi. Beberapa komoditi pangan sekunder lainnya yaitu kacang hijau, kedelai, ubi jalar, dan ubi kayu (Khaerizal, 2008). Angka sementara produksi jagung tahun 2014 sebanyak 19,03 juta ton pipilan kering atau mengalami kenaikan sebanyak 0,52 juta ton atau naik 2,81% dibandingkan tahun 2013. Kenaikan produksi jagung tersebut terjadi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa masing-masing sebanyak 0,06 juta ton dan 0,46 juta ton. Kenaikan produksi terjadi karena kenaikan luas panen seluas 16,51 ribu ha (0,43%) dan peningkatan produktivitas sebesar 1,15 kuintal ha-1 (2,37%) (BPS, 2015). Salah satu cara meningkatkan hasil panen dari tanaman jagung adalah dengan mengintensifkan kegiatan teknik budidaya melalui seleksi yang juga diimbangi dengan teknologi (Larasati, 2011). Lingkungan pertanaman termasuk kesuburan tanah diusahakan pada kondisi optimal untuk memperoleh benih dengan mutu awal yang tinggi (Ningrum et al., 2013). Pada tahun 2013 impor jagung sebesar 3,19 juta ton, volume impor ini naik sebesar 76,94% dibandingkan tahun 2012. Pada tahun 2014 volume impor jagung hampir sama dengan tahun 2013 yaitu sebesar 3,17 juta ton (Kementan, 2015). Oleh karena itu produksi jagung masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mutu benih mencakup tiga aspek yaitu mutu genetik, mutu fisik, dan mutu fisiologis. Mutu fisiologis adalah aspek mutu benih yang ditunjukan oleh viabilitas dan vigor benih. Viabilitas benih adalah daya hidup benih atau kemampuan hidup benih. Sadjad (1993) menyatakan bahwa viabilitas benih adalah gejala hidup benih yang dapat ditunjukkan melalui metabolisme benih dengan gejala pertumbuhan. Menurut Sadjad (1975) tujuan analisis viabilitas benih adalah untuk memperoleh informasi mutu fisiologis benih. Vigor benih adalah kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi lingkungan suboptimum atau memiliki kecepatan tumbuh dan keserempakan tumbuh yang tinggi pada kondisi optimum. Selain itu, ciri-ciri benih yang mempunyai vigor tinggi adalah benih dapat disimpan lama sehingga dapat mempermudah dalam penyimpanan benih dalam jumlah besar. Vigor benih yang tinggi juga memiliki ciri benih berkecambah cepat dan merata, bebas dari penyakit, dan tahan dari gangguan mikroorganisme (Sadjad,1993). Pengujian viabilitas dan vigor benih jagung yang belum memasuki fase masak fisiologis diperlukan untuk mengetahui kurva peningkatan viabilitas dan vigor benih selama proses perkembangan benih tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi status viabilitas dan vigor benih jagung pada stadia pra masak fisiologis untuk mendukung produksi benih dan kegiatan pemuliaan tanaman. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi status viabilitas dan vigor benih jagung pada stadia pra masak fisiologis untuk mendukung produksi benih dan kegiatan pemuliaan tanaman.
2
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Setiap varietas jagung memiliki viabilitas dan vigor yang berbeda. 2. Setiap stadia pra masak fisiologis memiliki status viabilitas dan vigor yang berbeda. 3. Terdapat interaksi antara varietas jagung dengan stadia pra masak fisiologis terhadap viabilitas dan vigor benih.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Jagung Jagung merupakan salah satu tanaman palawija (tanaman pangan non padi) yang paling utama di Indonesia. Komoditi ini merupakan sumber karbohidrat yang penting sehingga menjadi pangan alternatif yang baik selain beras. Sebagian produksi jagung digunakan untuk konsumsi. Jagung menyumbang komponen protein dan lemak dalam bahan pangan di Indonesia (Subandi et al., 1988). Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol yang produktif. Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu kulit (epidermis), jaringan pembuluh dan pusat batang (empulur). Daun terdiri atas helaian daun, ligula, dan pelepah daun yang melekat pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah buku batang. Jumlah daun umumya berkisar antara 10-18 helai, rata-rata munculnya daun yang terbuka sempurna adalah 3-4 hari setiap daun (Subekti et al., 2007). Tanaman jagung di daerah tropis mempunyai jumlah daun relatif lebih banyak dibanding di daerah beriklim sedang (temperate) (Paliwal, 2000). Tanaman jagung termasuk tanaman menyerbuk silang dan berumah satu karena memiliki bunga jantan dan bunga betina dalam satu individu tanaman. Malai bunga jantan biasanya muncul pada umur 40-50 hari setelah tanam. Polinasi terjadi ketika serbuk sari yang dilepas oleh bunga jantan jatuh menyentuh permukaan rambut tongkol yang masih segar. Serbuk sari tersebut membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk mencapai sel telur (ovul) dimana pembuahan (fertilization) akan berlangsung membentuk bakal biji. Rambut tongkol muncul dan siap diserbuki selama 2-3 hari. Bakal biji hasil pembuahan tumbuh dalam suatu struktur tongkol dengan dilindungi oleh tiga bagian penting biji yaitu glume, lemma, dan palea, serta memiliki warna putih pada bagian luar biji. (Subekti et al., 2007). Pembungaan dan penyerbukan akan terganggu bila terjadi kekeringan dan akibatnya produksi jagung menurun. Akar jagung saat proses perkecambahan adalah akar radikal. Benih jagung akan berkecambah jika kadar air benih pada saat di dalam tanah meningkat lebih dari 30% (McWilliams et al., 1999). Pada proses awal perkecambahan benih jagung, mula-mula benih menyerap air melalui proses imbibisi dan benih
3
membengkak yang diikuti oleh kenaikan aktivitas enzim dan respirasi yang tinggi (Balitsereal, 2013). Proses pertumbuhan selanjutnya, akar radikal digantikan oleh akar lateral. Sejenis akar udara akan tumbuh dari buku kedua atau ketiga di atas permukaan tanah pada saat tanaman berumur lebih dari lima minggu. Akar udara ini berfungsi untuk menyangga batang agar tidak rebah, selain membantu dalam penyerapan air dan hara bila akar ini menembus tanah (Purwono dan Purnamawati, 2008). Jagung Bersari Bebas Jagung bersari bebas adalah hasil perkawinan silang tunggal atau perkawinan penghasil varietas yang memiliki hasil tertinggi. Jagung bersari bebas (komposit) dapat digunakan lagi sebagai sumber benih (Liptan, 2008). Varietas bersari bebas adalah varietas yang perbanyakan benihnya dilakukan persarian bebas atau kawin acak beberapa galur inbred. Genotipe individu dalam populasi bersari bebas adalah heterogen dan heterozigot (Zubachtirodin dan Kasim, 2012). Varietas jagung bersari bebas dapat berupa varietas sintetik maupun komposit. Varietas sintetik dibentuk dari beberapa galur inbrida yang memiliki daya gabung umum yang baik, sedangkan varietas komposit dibentuk dari galur inbrida, varietas bersari bebas, dan hibrida. Suatu varietas bersari bebas untuk dapat dilepas ke petani harus mencapai keseimbangan genetik, artinya dari generasi ke generasi berikutnya varietas itu akan menghasilkan macam dan frekuensi gamet dan genotipe yang sama. Sebaliknya, varietas bersari bebas memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap kondisi tanah, baik yang cukup hara maupun kondisi hara yang berlebih (Ginting et al., 2013). Berdasarkan bahan penyusunnya, varietas jagung bersari bebas dibedakan menjadi varietas komposit dan varietas sintetik. Varietas komposit adalah varietas jagung yang berasal dari campuran lebih dari dua varietas yang telah mengalami persilangan bebas/acak (random mating) minimum lima kali. Varietas Sintetik adalah varietas jagung yang berasal dari campuran beberapa galur murni yang telah mengalami penyerbukan sendiri (selfing) minimal satu kali penyerbukan. Sistem persilangan jagung bersari bebas (komposit) adalah sistem persilangan sendiri atau serumah. Jagung bersari bebas dapat diproduksi untuk benih berikutnya, dengan syarat isolasi antar varietas minimal 400 m atau waktu tanam yang berbeda (15-25 hari). Pertumbuhan tanaman yang kurang seragam, kurang tahan terhadap penyakit bulai, kurang tahan terhadap kekeringan, kebutuhan dosis yang sedang karena tidak memerlukan unsur hara yang sangat tinggi, namun perawatannya mudah dan produksi yang sedang (Liptan, 2008). Perkecambahan Benih Jagung Tahap awal proses perkecambahan benih jagung, mula-mula benih menyerap air melalui proses imbibisi dan benih membengkak yang diikuti oleh kenaikan aktivitas enzim dan respirasi yang tinggi. Perubahan awal sebagian besar adalah katabolisme pati, lemak, dan protein yang tersimpan dihidrolisis menjadi zat-zat yang mobil, gula, asam-asam lemak, dan asam amino yang dapat diangkut ke bagian embrio yang tumbuh aktif. Awal perkecambahan benih jagung, koleoriza memanjang menembus perikarp, kemudian radikel menembus koleoriza. Perkecambahan benih jagung
4
terjadi ketika radikula muncul dari kulit biji. Akar radikula muncul, kemudian empat akar seminal lateral muncul. Pada waktu yang sama atau sesaat kemudian plumula tertutupi oleh koleoptil. Koleoptil terdorong ke atas oleh pemanjangan mesokotil mendorong koleoptil ke permukaan tanah. Mesokotil berperan penting dalam pemunculan kecambah ke atas tanah. Ujung koleoptil muncul ke luar permukaan tanah, pemanjangan mesokotil terhenti dan plumula muncul dari koleoptil dan menembus permukaan tanah (Balitsereal, 2013). Viabilitas Benih Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukkan melalui gejala metabolisme atau gejala pertumbuhan. Daya berkecambah merupakan tolok ukur parameter viabilitas potensial benih (Sadjad et al., 1999). Pada umumnya viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi kecambah. Viabilitas benih dibedakan menjadi dua parameter yaitu viabilitas potensial dan vigor benih. Viabilitas potensial adalah kemampuan benih untuk berkecambah dan tumbuh menjadi tanaman normal pada kondisi lingkungan yang optimum. Pengujian viabilitas benih berada dalam konteks agronomi disamping sebagai parameter untuk berbagai pendekatan ilmiah, juga dalam rangka menentukan sehat tidaknya benih (Sadjad, 1975). Benih dengan viabilitas tinggi akan menghasilkan bibit yang kuat dengan perkembangan akar yang cepat sehingga menghasilkan pertanaman yang sehat (Permatasari, 2011). Vigor Benih Benih bermutu tertinggi adalah benih yang murni secara genetis, dapat berkecambah, vigor, tidak rusak, bebas dari kontaminan dan penyakit, berukuran tepat (jika perlu), cukup dirawat (untuk jenis-jenis yang perlu dirawat), dan secara keseluruhan berpenampilan baik (Mugnisjah dan Setiawan, 2004). Vigor benih menunjukkan potensi benih untuk tumbuh dan berkembang menjadi kecambah normal pada berbagai kondisi lingkungan (Balitsereal, 2009). Vigor benih adalah kemampuan benih untuk menghasilkan perakaran dan pucuk yang kuat pada kondisi yang tidak menguntungkan serta bebas dari serangan mikroorganisme (Permatasari, 2011). Cakupan vigor benih meliputi aspek-aspek fisiologis selama proses perkecambahan dan perkembangan kecambah. Karakteristik yang berhubungan dengan penampilan suatu lot benih adalah kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh, pertumbuhan kecambah, dan kemampuan munculnya titik tumbuh kecambah pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan dan kemampuan benih untuk berkecambah setelah mengalami penyimpanan. Matang Morfologi dan Masak Fisiologis Proses perkembangan benih diawali dengan fase histodiferensiasi atau satu sel zigot membelah secara mitotik dan berdiferensiasi menjadi embrio dan mencapai matang morfologi. Pada fase histodiferensiasi terjadi pembelahan dan
5
diferensiasi sel sehingga dari satu sel zigot terbentuk embrio dengan struktur yang lengkap (plumula, radikula, dan kotiledon). Kadar air dan berat basah pada fase ini meningkat pesat, dan embrio masih sangat peka terhadap pengeringan. Pada fase ini benih mencapai matang morfologis, pada saat semua struktur penting embrio terbentuk (Widajati et al., 2013). Di dalam konsep Steinbauer–Sadjad (Sadjad, 1993) dikemukakan bahwa benih mempunyai kemampuan berkecambah yang berbeda selama proses pematangannya, dan secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga fase. Fase pertama adalah saat benih pada kondisi matang morfologis sampai benih matang untuk berkecambah. Fase kedua merupakan periode dimana benih mempunyai daya berkecambah yang maksimal. Fase ketiga merupakan periode terjadinya penurunan daya berkecambah benih. Mutu fisiologis benih tertinggi tercapai pada saat masak fisiologis. Benih jagung yang telah memasuki fase masak fisiologis memiliki bobot kering biji maksimum, kadar air biji berkisar 30-35% dengan total bobot kering maksimum. Setelah masak fisiologis, kondisi benih cenderung menurun sampai pada akhirnya benih tersebut kehilangan viabilitas dan vigornya sehingga benih akhirnya mati. Proses penurunan kondisi benih setelah masak fisiologis inilah yang dikenal sebagai peristiwa deteriorasi. Kemunduran benih menurut Suhaeti (1998) adalah keadaan menurunnya mutu benih yang sifatnya tidak dapat balik dimulai sejak benih mencapai mutu fisiologis maksimum yaitu pada saat benih mancapai masak fisiologis, sedangkan menurut Schmidt (2000) kemunduran benih ialah sebagai turunnya mutu benih, sifat atau viabilitas benih yang mengakibatkan rendahnya vigor, jeleknya pertanaman dan hasil.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan Bawah dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB, Dramaga, Bogor. Pelaksanaan penelitian ini dimulai pada bulan November 2015 sampai dengan Maret 2016. Bahan dan Alat Penelitian Varietas jagung yang digunakan adalah Lamuru, Srikandi, dan Bisma. Deskripsi varietas menurut (Balitsereal, 2010) dapat dilihat pada Lampiran 2-4. Pemenuhan kebutuhan hara tanaman yaitu dengan aplikasi pupuk Urea (45% N), SP-36 (36% P₂O₅), KCl (60% K₂O), pupuk kandang dan kapur pertanian. Dosis pupuk anorganik antara lain: 200 kg urea ha-1 dengan dua kali aplikasi, 200 kg SP36 ha-1, 100 kg KCl ha-1. Dosis pupuk kandang 20 ton ha-1 dan dosis kapur pertanian 2 ton ha-1. Pestisida yang digunakan adalah insektisida butiran dengan dosis 5 kg karbofuran ha-1. Alat yang digunakan adalah peralatan tanam konvensional, jangka sorong digital, kamera digital, karung, meteran, timbangan digital, amplop kertas, gunting, stapler, seed moisture tester, spidol, dan alat tulis.
6
Penelitian di laboratorium menggunakan kertas merang persegi panjang berukuran 20 cm x 30 cm, plastik, label kertas, karet, aquades, alat pengecambah benih tipe IPB 72-1, dan alat pengepres kertas merang IPB 75-1. Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) 2 faktorial dengan tiga ulangan. Terdiri dari tiga taraf perlakuan yaitu V1 (varietas jagung Lamuru), V2 (varietas jagung Srikandi), dan V3 ( Varietas jagung Bisma), serta delapan periode panen yaitu 78, 82, 86, 90, 94, 98, 102, 106 hari setelah tanam. Kombinasi dari kedua faktor tersebut menghasilkan 24 macam perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Total perlakuan adalah 72 satuan percobaan. Rancangan Percobaan Percobaan disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) 2 faktor yaitu varietas dan waktu panen dengan tiga ulangan. V1 (varietas jagung Lamuru), V2 (varietas jagung Srikandi), dan V3 (varietas jagung Bisma), serta delapan periode panen yaitu 78, 82, 86, 90, 94, 98, 102, 106 hari setelah tanam. Kombinasi dari kedua faktor tersebut menghasilkan 24 macam perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Total perlakuan adalah 72 satuan percobaan. Setiap perlakuan diambil 10 tanaman contoh.
Yijk 𝜇 αi βj (αβ)ij 𝜌k 𝜀 ijk
Model linear yang digunakan untuk percobaan ini adalah: Yijk = μ + αi +βj + (αβ)ij + 𝜌k + 𝜀 ijk = Nilai pengamatan pada varietas jagung taraf ke-i, periode panen taraf ke-j, dan kelompok ke-k = Nilai tengah populasi = Pengaruh varietas jagung taraf ke-i (i = 1,2,3) = Pengaruh periode panen taraf ke-j (j = 1,2,3,4,5,6,7,8) = Komponen interaksi dari varietas jagung taraf ke-i dan periode panen taraf ke-j = Pengaruh aditif dari kelompok dan diasumsikan tidak berinteraksi dengan perlakuan (k = 1,2,3) = Pengaruh galat percobaan yang menyebar normal pada varietas jagung ke-i, periode panen ke-j dan ulangan ke-k Prosedur Percobaan
Persiapan lahan Tahap pertama diawali dengan pengambilan contoh tanah secara acak dan dilakukan analisis tanah di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Dramaga, Bogor. Persiapan lahan dilakukan dengan pembajakan terlebih dahulu sebelum penanaman. Setelah selesai dibajak, lahan diberi kapur pertanian dan pupuk kandang. Lalu dibajak kembali untuk meratakan pupuk kandang dan kapur pertanian. Penanaman benih dan pemupukan Penanaman benih dilakukan dua minggu setelah mengolah tanah. Benih jagung ditanam dengan cara ditugal sedalam 3-5 cm. Setiap lubang tanam diisi oleh dua benih jagung dengan jarak tanam yang digunakan 75 cm antar baris dan 25 cm dalam baris. Pada saat penanaman, lubang tanam benih diberi karbofuran dengan
7
dosis 5 kg ha-1. Pemupukan untuk tanaman jagung dilakukan dua kali dengan ½ dosis N diberikan saat tanam dan sisanya pada saat 3 MST. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan seluruhnya pada saat awal tanam. Pemberian pupuk diberikan dengan sistem alur berjarak 5-7 cm dari lubang tanam. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma, penyulaman, pembumbunan dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman tanaman dilakukan rutin pada pagi dan sore hari. Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan membersihkan bedengan dari tumbuhan penggangu dan tumbuhan selain tanaman jagung. Penyulaman dilakukan 1 MST dengan menanam benih ke lubang tanam jagung yang tidak tumbuh. Pembumbunan dilakukan pada saat 3 MST. Pengendalian hama dan penyakit dengan memberikan insektisida butiran karbofuran di pucuk tanaman dengan dosis 5 kg ha-1. Produksi Benih Produksi benih jagung menggunakan metode sibbing manual. Sibbing adalah metode produksi benih dengan melalui persilangan antar tanaman. Tahap pertama pada metode sibbing yaitu setelah fase generatif dilakukan penyungkupan pada bakal tongkol menggunakan plastik. Setelah malai pada tamanan contoh sudah mulai mekar dilakukan pembungkusan menggunakan amplop kertas. Malai dibungkus pada pagi hari mulai pukul 06.30-11.00. Malai yang telah terbungkus satu hari dipatahkan, tepung sari (polen) dari dalam kantong siap untuk diserbuki pada bakal tongkol. Proses selanjutnya dilakukan sibbing dengan menyerbukan tongkol jagung yang telah siap diserbuki dengan polen dari tanaman lain. Setelah dilakukan penyerbukan, tongkol ditutup rapat dengan kantong malainya sendiri dan dijepit agar tidak jatuh atau diterbangkan angin. Kemudian diberi label. Panen dan Pengujian di Laboratorium Panen tongkol dilakukan dengan beberapa periode yaitu 78, 82, 86, 90, 94, 98, 102, 106 hari setelah tanam. Setelah dilakukan pemanenan dilakukan pengukuran kadar air panen dan pengeringan jagung selama 2-9 hari. Pengeringan dilakukan menggunakan batch dryer atau box dryer dengan suhu 43°C dan pengeringan dibawah matahari. Setelah pengeringan dilakukan pengukuran kadar air menggunakan seed moisture tester hingga kadar air benih kurang dari 14%. Selanjutnya dilakukan uji UKDdp di laboratorium. Pengamatan Percobaan Pengamatan dilakukan terhadap sepuluh tanaman contoh pada masingmasing satuan percobaan. Pengamatan dilakukan pada keseluruhan tanaman contoh dalam petak, selain tanaman pinggir. Pengamatan di laboratorium dilakukan dengan melakukan metode uji kertas digulung dalam plastik (UKDdp). Peubah yang diamati di lapang: 1. Daya tumbuh (%), dilakukan dengan menghitung jumlah tanaman yang tumbuh di setiap petak pada umur 1 MST.
8
2. Tinggi tanaman (cm), diukur dari permukaan tanah sampai daun bendera, dilakukan pada akhir fase vegetatif. 3. Tinggi tongkol (cm), diukur dari permukaan tanah sampai pangkal tongkol utama, dilakukan pada akhir fase vegetatif. 4. Diameter batang (cm), diukur dengan menggunakan jangka sorong digital pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah, dilakukan pada akhir fase vegetatif. 5. Umur berbunga jantan dan umur berbunga betina (hari setelah tanam). Umur berbunga jantan dicatat pada saat 50% malai tanaman di tiap plot sesudah anthesis, sedangkan umur berbunga betina dicatat pada saat tongkol muda sudah 50% muncul rambut. 6. Anthesis Silking Interval (ASI) yaitu selisih antara umur berbunga betina dan jantan. Nilai ASI (hari) dihitung dari umur berbunga betina dikurangi dengan umur berbunga jantan. 7. Komponen hasil dan produksi yaitu: Bobot tongkol (g) per tanaman yang ditimbang setelah panen dan dikupas kelobotnya. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Bobot kelobot (g) per tananaman yang ditimbang setelah tongkol dikupas dan dipisahkan dari kelobotnya. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Bobot tongkol kering (g) per tanaman yang ditimbang setelah tongkol dikeringkan 2-9 hari di bawah sinar matahari pada cuaca cerah dan pengeringan menggunakan box dryer atau batch dryer. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Bobot pipilan kering (g) per tanaman yang ditimbang setelah tongkol dikeringkan 2-9 hari di bawah sinar matahari pada cuaca cerah dan pengeringan menggunakan box dryer atau batch dryer dan dipipil. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. 8. Waktu pengeringan tongkol jagung hingga kadar air 14%. Kadar air jagung diukur dari satu tongkol yang dipipil. Pengujian kadar air dilakukan pada biji jagung kering menggunakan alat seed moisture tester. 9. Peubah yang diamati di laboratorium 1. Pengukuran Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) Potensi Tumbuh Maksimum adalah total benih hidup atau menunjukkan gejala hidup (Sadjad, 1994). Potensi Tumbuh Maksimum merupakan persentase pemunculan kecambah yang dihitung berdasarkan jumlah benih tumbuh terhadap jumlah benih yang ditanam. PTM (%) = Σ Kecambah normal + Σ abnormal x 100% Jumlah benih yang ditanam 2. Daya Berkecambah Daya berkecambah adalah kemampuan benih untuk tumbuh menjadi kecambah normal dalam lingkungan tumbuh yang optimum. Menurut ISTA dalam Dina et al. (2006) yang dimaksud dengan daya berkecambah dalam pengujian
9
laboratorium adalah muncul dan berkembangnya kecambah sampai suatu tahap dimana struktur kecambah mengindikasikan dapat berkembang lebih lanjut menjadi tanaman yang normal pada kondisi tanah yang sesuai. Daya berkecambah dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal pada hari ke-3 dan ke-5. DB (%) = Σ Kecambah normal hitungan I + II x 100% Jumlah benih yang ditanam 3. Bobot Kering Kecambah Normal (BKKN) Pengukuran bobot kering kecambah normal dilakukan pada benih yang berbeda. Benih yang telah dikecambahkan pada metode UKDdp dimasukkan ke dalam amplop yang berisi kecambah normal yang terdiri atas plumula, epikotil dan radikula, selanjutnya amplop dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 oC selama 3 hari. Bobot kering kecambah normal tersebut selanjutnya ditimbang. Nilai berat yang telah dikeringkan dengan oven tersebut dinyatakan sebagai bobot kering kecambah normal. 4. Indeks Vigor Indeks vigor merupakan persentase kecambah normal pada hitungan pertama pengujian daya berkecambah menunjukkan persentase benih yang cepat berkecambah. Nilai indeks vigor selalu lebih rendah dibandingkan nilai DB tetapi cenderung mendekati field emergence (Copeland dan McDonald, 1995). Pada penelitian nilai indeks vigor benih jagung didapat pada hari ke-3 pengamatan daya berkecambah. IV (%) = Σ Kecambah normal hitungan I x 100% Jumlah benih yang ditanam 5. Keserempakan Tumbuh (KST) Keserempakan tumbuh dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal kuat yang dilakukan pada hari ke-4 setelah tanam. Nilai keserempakan tumbuh benih dinyatakan sebagai persen kecambah normal kuat. KST (%) = Σ Kecambah normal kuat x 100% Jumlah benih yang ditanam 6. Bobot 1000 butir benih Bobot 1000 butir benih yang dihitung dengan menimbang 100 butir benih setiap satuan percobaan yang diulang delapan kali dan dirata-ratakan. Hasil ratarata tersebut dikali 10.
10
7. Kadar air benih saat pemanenan Kadar air jagung diukur dari satu tongkol yang dipipil. Pengujian kadar air dilakukan pada biji jagung kering menggunakan metode oven suhu tinggi.
8. Kadar air pipil Kadar air jagung diukur dari satu tongkol yang dipipil. Pengujian kadar air dilakukan pada biji jagung kering menggunakan alat seed moisture tester.
Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam menggunakan software SAS versi 9.1. Hasil analisis sidik ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati, dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%. Koefisien korelasi (r) dihitung untuk mengetahui keeratan peubah dengan menggunakan software Minitab 16.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Produksi benih ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan Bawah IPB. Penelitian dimulai bulan November 2015 sampai dengan Maret 2016. Sifat kimia dan fisika tanah di lokasi penelitian Kebun Percobaan Cikabayan Bawah IPB disajikan pada Lampiran 1. Tekstur tanah adalah liat. Kandungan tanah yang dimiliki yaitu 9,36% pasir, 22,45% debu, dan 68,19% liat. Penelitian dilaksanakan pada awal musim penghujan. Hujan di awal penanaman masih rendah dan di akhir pertanaman cukup tinggi. Curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan terjadinya rebah pada sebagian pertanaman jagung dan munculnya serangan penyakit yang disebabkan cendawan.
(a)
(b)
(c) (d) (a) Kondisi rebah pada tanaman jagung (b) Gejala bulai pada tanaman (Peronosclerospora maydis R.) (c) Serangan hama daun oleh ulat (Spodoptera litura) (d) Gejala defisiensi unsur N Gambar 1. Kondisi umum pertanaman jagung Saat tanaman memasuki 6 minggu setelah tanam (MST) terjadi rebah pada tanaman akibat curah hujan yang tinggi dan angin yang kencang. Tercatat bahwa curah hujan pada bulan November 2015 adalah 673,2 mm bulan-1 dan pada bulan Desember 579,7 mm bulan-1. (BMKG, 2015). Pada saat tanaman berumur 6 MST beberapa tanaman jagung juga terindikasi penyakit bulai yang disebabkan cendawan Peronosclerospora maydis R. Penyakit bulai dapat menimbulkan gejala sistemik yang meluas pada seluruh tanaman. Gejala sistemik hanya terjadi bila jamur dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik tumbuh, sehingga menginfeksi semua daun yang terbentuk oleh titik tumbuh tersebut (Saragi, 2008). Kerugian akibat penyakit bulai pada jagung sangat bervariasi. Intensitas penularan penyakit
12
ini dapat mencapai 90% (Semangun, 1993). Hama ulat daun yang menyerang selama pertanaman jagung Spodoptera litura. Gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman jagung umumnya adalah Setaria plicata, Echinochloa crusgali L., Andropogon aciculatus R., dan Axonopus compressus Sw. Beberapa tanaman jagung juga mengalami defisiensi unsur hara nitrogen. Hal ini ditunjukkan pada hasil analisis tanah dimana persentase nitrogen yang rendah yaitu sebesar 0,17% (Lampiran 1). Tabel 1 menunjukkan varietas berpengaruh sangat nyata terhadap daya tumbuh, tinggi tongkol, umur berbunga jantan, ASI, bobot kelobot, dan waktu pengeringan tongkol, tetapi berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman. Pengaruh waktu panen menunjukkan hasil yang tidak nyata pada daya tumbuh, tinggi tanaman, tinggi tongkol, diameter batang, anthesis, silking, ASI, dan bobot tongkol basah. Waktu panen berpengaruh sangat nyata pada peubah bobot kelobot, bobot tongkol kering, dan waktu pengeringan tongkol, tetapi berpengaruh nyata terhadap peubah bobot pipilan kering. Interaksi varietas dan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati. Tabel 1. Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh varietas dan waktu panen terhadap karakter agronomi Peubah DT (%) T (cm) TT (cm) D (cm) Anthesis (HST) Silking (HST) ASI (hari) BK (g) BTB (g) BTK (g) BPK (ton ha-1) WPT (hari)
Varietas KT F-hit 317,58 15,45** 0,22 4,24 * 0,08 13,56** 0,68 0,32 tn
Waktu Panen KT F-hit 7,75 0,38tn 0,05 1,10tn 0,001 0,24tn 2,96 1,40tn
Varietas*Waktu Panen KT F-hit 8,29 0,40tn 0,05 0,94tn 0,005 0,91tn 2,27 1,07tn
KK (%) 4,77 10,78 6,37 6,63
6,22
33,98**
0,006
0,07tn
0
0tn
11,70
24
0tn
0
0tn
0
0tn
0
6,22 1127,84 771,95
80,50** 11,90** 1,77tn
0 2209,7 116,68
0tn 23,32** 0,27tn
0 113,14 518,97
0tn 1,19tn 1,19tn
10,87 20,43 16,44
101,10
0,43tn
1241,5
5,29**
276,79
1,18tn
20,30
421,28
1,91tn
643,36
2,92*
30,34
1,38tn
14,85
0,12
0**
16,62
0**
0
0tn
0
Keterangan : DT : daya tumbuh, T: tinggi tanaman, TT: tinggi tongkol, D: diameter, BK: bobot kelobot, BTB: bobot tongkol basah, BTK: bobot tongkol kering, BPK: bobot pipilan kering, WPT: waktu pengeringan tongkol, KK : koefisien keragaman; ** : berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%, * : berpengaruh nyata pada taraf 5%, tn : tidak berpengaruh nyata
Nilai Koefisien Keragaman (KK) pada Tabel 1 menunjukkan tingkat ketepatan dengan perlakuan yang diperbandingkan dan merupakan indeks yang
13
baik dari keadaan percobaan (Gomez dan Gomez, 2007). Nilai KK tertinggi terdapat pada peubah bobot kelobot yaitu 20,43% dan KK terendah pada peubah umur berbunga betina dan waktu pengeringan tongkol. Koefisien keragaman adalah gambaran seberapa jauh keragaman yang terdapat di dalam suatu populasi pada suatu percobaan (Novianti et al., 2014). Peubah varietas dan waktu panen yang berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut DMRT dengan taraf 1% dan 5% untuk melihat perbedaan nilai tengah antar varietas dan waktu panen. Evaluasi terhadap Karakter Vegetatif Evaluasi karakter vegetatif dilakukan pada saat awal fase vegetatif dan akhir fase vegetatif tanaman. Nilai tengah peubah karakter vegetatif dari varietas Lamuru, Srikandi, dan Bisma (Tabel 2) menunjukkan bahwa varietas Lamuru, Srikandi dan Bisma memiliki nilai berbeda sangat nyata pada peubah daya tumbuh. Pada saat 1 MST daya tumbuh varietas Lamuru (92,18%), Srikandi (93,49%), dan Bisma (99,03%). Berdasarkan Tabel 2, ukuran tinggi tanaman pada varietas yang diuji berkisar 2,03-2,22 m. Berdasarkan deskripsi varietas (Lampiran 2, 3 dan 4) bahwa varietas Lamuru, Srikandi dan Bisma memiliki tinggi tanaman yang berkisar lebih dari 180-190 cm. Tinggi tongkol tanaman pada varietas yang diuji berkisar 1,141,24 m. Tabel 2. Nilai tengah dari perlakuan varietas jagung terhadap peubah karakter vegetatif Peubah Daya tumbuh (%) Tinggi tanaman (m) Tinggi tongkol (m)
Lamuru
Nilai Tengah Srikandi
Bisma
92,18 b
93,49 b
99,03 a
2,03 b 1,14 b
2,18 a 1,23 a
2,22 a 1,24 a
Keterangan : ** : berbeda sangat nyata pada taraf 1%, * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata.; Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Evaluasi terhadap Karakter Generatif Evaluasi terhadap karakter generatif meliputi umur berbunga jantan (anthesis) dan Anthesis Silking Interval (ASI). Umur berbunga jantan ditentukan pada saat 50% malai tanaman di tiap plot sudah mengalami anthesis, sedangkan umur berbunga betina ditentukan pada saat tongkol muda sudah 50% muncul rambut. Selisih dari umur berbunga betina dan jantan merupakan Anthesis Silking Interval (ASI). Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan antar varietas pada karakter generatif yang pada peubah umur berbunga jantan (anthesis) dan ASI. Berdasarkan pengamatan di lapang, varietas Bisma memiliki nilai tengah umur berbunga jantan (53 HST) lebih lama dibandingkan varietas Lamuru (52 HST), dan Srikandi (52,33 HST). Umur berbunga pada penelitian ini lebih cepat daripada deskripsi varietas. Menurut penelitian Lukman et al. (2014) pembungaan yang cepat disebabkan faktor suhu lebih tinggi dari pada suhu rata-rata. Berdasarkan
14
deskripsi varietas umur berbunga betina pada varietas Bisma memiliki waktu paling lama dibandingkan varietas lainnya yaitu lebih dari 60 hari setelah tanam (HST) sedangkan varietas Srikandi lebih dari 57 HST, dan varietas Lamuru lebih dari 55 HST. Berdasarkan penelitian Ramdany (2014) diketahui bahwa kebanyakan genotipe jagung berdaya hasil tinggi memiliki waktu berbunga lebih genjah dibanding genotipe dengan umur berbunga lebih lama. Genotipe dengan umur berbunga lebih genjah memiliki waktu pengisian biji lebih panjang dibanding genotipe dengan umur berbunga lebih lama. Hasil penelitian Coulter dan Van Roekel (2009) tentang hubungan antara umur dan hasil panen beberapa varietas jagung menunjukkan bahwa pada umumnya varietas jagung umur sedang cenderung memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas jagung umur genjah dan umur dalam. Tabel 3. Nilai tengah dari perlakuan varietas jagung terhadap peubah umur berbunga Peubah Umur berbunga jantan (HST) Anthesis silking interval (hari)
Nilai Tengah Lamuru Srikandi 52 c 52,33 b 2c
2,66 b
Bisma 53 a 3a
Keterangan : ** : berbeda sangat nyata pada taraf 1%, * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata.; Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
ASI merupakan selisih antara umur berbunga betina dengan umur berbunga jantan. Nilai ASI pada varietas Bisma sangat berbeda nyata terhadap varietas Lamuru dan Srikandi (Tabel 3). Varietas Bisma (3 hari) memiliki nilai ASI yang tinggi, hal itu sejalan dengan umur berbunga betina yang lambat. Umur berbunga betina yang lambat menyebabkan nilai ASI tinggi dikarenakan jarak antara umur berbunga jantan dan betina semakin jauh. Menurut Harjadi (2002) bahwa umur berbunga tanaman tergantung pada varietas dan genetik serta adanya faktor lingkungan, serta masing-masing varietas mempunyai ciri khas tersendiri. ASI pada penelitian menunjukkan hasil kurang dari lima hari. Pemilihan tanaman tanaman yang mempunyai ASI tidak lebih dari lima hari dapat mendukung hasil biji maksimal (Litbangtan, 2014). Menurut Kasim et al. (2004) nilai ASI antara 0-4 hari dapat memberikan hasil dan rendamen yang tinggi. Evaluasi terhadap Komponen Hasil dan Produksi Tabel 4 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat nyata antar varietas pada peubah bobot kelobot dan waktu pengeringan. Varietas Lamuru memiliki nilai tengah bobot kelobot lebih tinggi (55,55 g) dan berbeda nyata terhadap varietas Srikandi (43,64 g) dan Bisma (43,71 g). Pengeringan tongkol jagung menggunakan batch dryer dan box dryer dengan suhu 43 °C. Sistem pengeringan benih jagung dengan suhu berkisar 40-55 °C dapat digunakan pada proses pengeringan benih
15
jagung (Rofiq et al., 2013). Waktu pengeringan dilakukan hingga kadar air dibawah 14%. Kadar air jagung diukur dari satu tongkol yang dipipil. Tabel 4. Nilai tengah dari perlakuan varietas jagung terhadap peubah komponen hasil dan produksi Peubah
Bobot kelobot (g) Waktu pengeringan (hari)
Nilai Tengah Lamuru 55,55 a
Srikandi 43,64 b
Bisma 43,71 b
4b
4b
4,18 a
Keterangan : ** : berbeda sangat nyata pada taraf 1%, * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata.; Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Pengujian kadar air diukur menggunakan alat seed moisture tester. Benih yang masih memiliki kadar air lebih dari 14% akan dilakukan pengeringan kembali hingga kadar air dibawah 14%. Varietas Bisma memiliki nilai tengah waktu pengeringan paling lama dibandingkan dengan varietas lainnya. Nilai tengah waktu pengeringan varietas Bisma (4,18 hari), varietas Srikandi (4 hari), dan varietas Lamuru (4 hari). Waktu pengeringan dipengaruhi dari kadar air benih pada saat pemanenan dan faktor lingkungan. Tabel 5 menunjukkan bahwa ada pengaruh sangat nyata terhadap delapan waktu panen yaitu pada peubah bobot kelobot, bobot tongkol kering, dan waktu pengeringan tongkol, sedangkan bobot pipilan kering memiliki pengaruh nyata. Nilai tengah bobot kelobot pada delapan waktu panen berkisar 33,84-71,33 g. Waktu panen pertama memiliki nilai tengah bobot kelobot lebih besar dari waktu panen ketiga hingga panen kedelapan, namun tidak berbeda nyata dengan waktu panen kedua. Waktu panen keenam memiliki nilai tengah bobot tongkol kering lebih besar (89,39 g) dari waktu panen pertama (54,46 g), kedua (70,89 g), dan ketiga (66,01 g), namun tidak berbeda nyata dengan waktu panen lainnya. Menurut deskripsi varietas (Lampiran 2, 3, dan 4) waktu panen keenam (98 HST) merupakan umur tanaman telah mencapai masak fisiologis yang mempengaruhi kadar air benih dan bobot kering benih mencapai maksimal. Hal ini mempengaruhi bobot tongkol kering jagung yang mencapai maksimal. Bobot pipilan kering pada delapan waktu panen berkisar 0,00074-0,001 ton -1 ha . Potensi hasil (pipilan kering) yang dicapai sampai akhir pertumbuhan lebih rendah dibandingkan deskripsi varietas (Lampiran 2) yang mencapai 7,0-8,0 ton ha1 . Hal ini diduga disebabkan karena serbuk sari yang kurang viabel, ketersediaan serbuk sari yang rendah akibat curah hujan yang cukup tinggi pada saat pembungaan, teknik sibbing yang kurang baik, dan kondisi lingkungan yang kurang baik seperti kandungan unsur hara yang rendah. Hasil analisis tanah (Lampiran 1) menunjukkan unsur hara pada lokasi penelitian memiliki kandungan hara dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang rendah. Hal tersebut mengakibatkan hasil yang
16
diperoleh tidak maksimal. Ketersediaan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman mendukung laju fotosintesis yang cepat dan proses fotosintesis yang sempurna. Fotosintesis yang sempurna akan membentuk karbohidrat, lemak dan protein dengan baik sehingga akan diperoleh hasil yang maksimal (Lukman et al., 2014). Tabel 5. Nilai tengah dari perlakuan waktu panen terhadap peubah komponen hasil dan produksi Peubah
P1
P2
P3
Nilai Tengah P4 P5
P6
P7
P8
BK (g)
71,33a
69,15a
55,35b
44,20c
37,82cd
33,84d
34,84cd
34,50cd
BTK (g)
54,46c
70,89b
66,01bc
80,37ab
74,87ab
89,39a
89,09a
78,66ab
BPK (ton ha-1)
0,00078c
0,00097 ab
0,00098 ab
0,0010a
0,00088 bc
0,00087 bc
0,00084 bc
0,00074c
WPT 9a 5b 5b 5b 4c 4c 2d 2d (hari) Keterangan : BK: bobot kelobot, BTK: bobot tongkol kering, BPK: bobot pipilan kering, WPT: waktu pengeringan tongkol; ** : berbeda sangat nyata pada taraf 1%, * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata; Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P3: 86 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7: 102 HST, P8: 106 HST
Waktu panen pertama memiliki nilai tengah waktu pengeringan tongkol paling lama (9 hari) dibandingkan dengan waktu panen lainnya. Nilai tengah waktu pengeringan tongkol selama waktu panen berkisar 2-9 hari. Waktu pengeringan tongkol dipengaruhi kondisi kadar air benih saat pemanenan dan faktor lingkungan selama pengeringan. Semakin cepat pemanenan, maka kadar air semakin tinggi yang menyebabkan waktu pengeringan tongkol semakin lama. Panen benih terlalu dini menyebabkan benih menjadi keriput ketika dikeringkan. Benih demikian walaupun memiliki daya berkecambah tinggi namun cepat mengalami kemunduran di penyimpanan dan mengalami kehilangan hasil saat pembersihan (Mugnisjah dan Setiawan, 2004).
17 Korelasi antar Karakter Kuantitatif Koefisien korelasi Pearson digunakan untuk menyatakan besar hubungan linear antara dua variabel ketika data kuantitatif (data berskala interval atau rasio). Koefisien korelasi Pearson juga digunakan untuk mengukur keeratan dan arah hubungan linear antara dua kuantitatif. Koefisien korelasi positif terbesar adalah +1 dan koefisien korelasi negatif terbesar adalah -1, sedangkan yang terkecil adalah 0. Bila besarnya antara dua variabel atau lebih itu mempunyai koefisien korelasi = 1 atau -1, maka hubungan tersebut sempurna. Hasil pipilan merupakan hal yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan keuntungan petani dalam kegiatan budidaya jagung dan keuntungan produsen benih dalam kegiatan produksi benih. Bobot pipilan merupakan komponen hasil yang dipengaruhi oleh penampilan karakter tanaman jagung lainnya. Berdasarkan hasil uji korelasi (Tabel 5) menunjukkan nilai koefisien korelasi nyata positif berkisar antara diameter batang, daya tumbuh, dan silking terhadap bobot pipilan kering, sedangkan pada peubah waktu pengeringan, tinggi tongkol, dan anthesis menunjukkan korelasi yang nyata negatif terhadap bobot pipilan kering. Korelasi sangat nyata dan searah pada peubah diameter (r= 0,567**), daya tumbuh (0,514**), dan silking (0,57**) terhadap hasil pipilan kering. Hal tersebut menyatakan bahwa besarnya nilai diameter batang, daya tumbuh, dan silking akan diikuti oleh besarnya hasil pipilan kering. Batang merupakan sumbu tumbuhan dan berperan untuk mendukung bagian tumbuhan diatas tanah, selain itu juga sebagai alat transportasi air dan ion-ion yang terlarut dari akar ke daun dan hasil fotosintesis dari daun ke bagian yang lainnya (Saefudin, 2000). Diameter batang tanaman yang besar mempengaruhi suplai unsur hara ke daun. Semakin besar diameter batang maka semakin banyak hara yang diangkut dari batang ke daun, sehingga dapat mempengaruhi potensi hasil yang didapat. Daya tumbuh benih yang tinggi mempengaruhi hasil yang didapat. Kartasapoetra (2003) mengatakan bahwa benih yang berkualitas tinggi memiliki viabilitas dan daya tumbuh lebih dari 90%. Daya tumbuh benih yang mencapai 90% menunjukkan tanaman mampu tumbuh secara normal pada kondisi yang suboptimum dan dapat berproduksi secara maksimal (Lesilolo et al., 2013).
18
18 Tabel 6. Rekapitulasi koefisien korelasi antar karakter kuantitatif Peubah BBT BTK BPK WPT D TiTan TiTong DT Anthesis Silking ASI
BK 0,062 (0,602) -0,472* (0,000) -0,292 (0,013) 0,733** (0,000) -0,477* (0,000) -0,411* (0,000) 0,585** (0,000) -0,497* (0,000) 0,354 (0,000) -0,602** (0,000) -0,077 (0,521)
BBT
BTK
BPK
WPT
D
TiTan
TiTong
DT
0,755** (0,000) 0,218 (0,066) -0,296 (0,012) 0,461* (0,000) 0,155 (0,192) -0,304 (0,009) 0,292 (0,013) -0,285 (0,015) 0,288 (0,014) -0,223 (0,06)
0,298 (0,000) -0,637** (0,000) 0,623** (0,000) 0,372* (0,001) -0,516** (0,000) 0,446* (0,000) -0,430* (0,000) 0,506** (0,000) -0,178 (0,134)
-0,510** (0,000) 0,566** (0,000) 0,282 (0,016) -0,567** (0,000) 0,514** (0,000) -0,398* (0,001) 0,570** (0,000) -0,055 (0,649)
-0,818** (0,000) -0,506** (0,000) 0,896** (0,000) -0,721** (0,000) 0,700** (0,000) -0,891** (0,000) 0,149 (0,213)
0,502** (0,000) -0,869** (0,000) 0,719** (0,000) -0,717** (0,000) 0,866** (0,000) -0,056 (0,642)
-0,547** (0,000) 0,509** (0,000) -0,222 (0,061) 0,573** (0,000) 0,077 (0,521)
-0,803** (0,000) 0,770** (0,000) -0,995** (0,000) 0,153 (0,198)
-0,499* (0,000) 0,831** (0,000) 0,217 (0,067)
Anthesis
Silking
-0,717** (0,000) 0,326 -0,075 (0,005) (0,530)
Keterangan: DT: daya tumbuh; BBT: bobot basah tongkol; BK: bobot kelobot; BTK: bobot tongkol kering; BPK: bobot pipilan kering; WPT: waktu pengeringan tongkol; d:diameter batang; TiTan: tinggi tanaman; TiTong: tinggi tongkol; ASI : anthesis silking interval ** : berkorelasi nyata pada taraf 1%; *: berkorelasi nyata taraf 5%
19
Viabilitas dan Vigor Benih Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh varietas, waktu panen, dan interaksinya terhadap viabilitas, vigor, bobot 1000 butir, dan kadar air benih dapat dilihat pada Tabel 7. Varietas berpengaruh nyata terhadap peubah DB, KST, bobot 1000 butir, dan kadar air panen. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan sifat genetik setiap varietas memberikan respon yang berbeda pada viabilitas, vigor benih, dan bobot 1000 butir yang berhubungan dengan ukuran benih. Waktu panen berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah, tetapi berpengaruh nyata terhadap kadar air pipil. Hal ini menunjukkan secara umum pengaruh waktu panen sangat besar terhadap peubah yang diamati. Tabel 7. Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh varietas dan waktu panen, dan interaksinya terhadap viabilitas dan vigor benih Peubah PTM DB BKKN IV KST Bobot 1000 butir Kadar air panen Kadar air pipil
Varietas
Waktu Panen
KT F-hit 428,59 2,91 tn 794,34 9,25 *
KT 1878,97 3025,83
F-hit 12,76 ** 35,23 **
Varietas*Waktu KK Panen (%) KT F-hit 6,09 4,91 ** 13,25 661,93 7,71 ** 12,45
0,00026 1,35 tn 62,59 0,70 tn 347,37 9,73 *
0,002 10,14 ** 868,07 9,72 ** 7476,66 209,33 **
1,04 274,56 482,66
1908,12 6,72
*
30201,07 106,39 **
430,08
1,52 tn
325,64 10,5
*
3747,96 120,79 **
219,84
7,09 ** 12,93
*
4,41
1,03 tn 18,66
1,86 0,43 tn
15,00
3,50
1,04 tn 34,31 3,07 * 27,45 13,51** 11,38
6,06
Keterangan: KT: kuadrat tengah; KK: koefisien keragaman; PTM: potensi tumbuh maksimum; DB: daya berkecambah; BKKN: bobot kering kecambah normal; IV: indeks vigor; KST: kerempakan tumbuh; ** : berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%, * : berpengaruh nyata pada taraf 5%, tn : tidak berpengaruh nyata
Tabel 7 menunjukkan interaksi antara varietas dan waktu panen berpengaruh sangat nyata terhadap PTM, DB, KST, dan kadar air panen, tetapi berpengaruh nyata terhadap peubah indeks vigor (IV). Interaksi antara varietas dan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap peubah BKKN, bobot 1000 butir, dan kadar air pipil. Contoh kecambah abnormal, benih mati, kecambah normal kuat, dan kecambah normal lemah ditunjukkan pada Gambar 2. Kecambah abnormal memiliki struktur akar primer yang kerdil, struktur penting kecambah tidak lengkap, struktur penting kecambah busuk, hipokotil mengkerut, geotropisme negatif, dan membentuk kumparan. Kecambah normal lemah memiliki minimal 2 akar seminal yang kuat, akar primer sehat, panjang hipokotil dua kali panjang benih,
20 dan kotiledon sehat. Kecambah normal kuat memiliki panjang hipokotil lebih dari dua kali panjang benih, pucuk tunas berkembang sempurna.
(a)
(b)
(c)
(d)
(a). Kecambah abnormal (b). Benih mati (c). Kecambah normal kuat (d). Kecambah normal lemah Gambar 2. Kondisi perkecambahan benih jagung Potensi Tumbuh Maksimum Potensi tumbuh maksimum (PTM) merupakan tolok ukur dari parameter viabilitas total (VT). Hasil rekapitulasi nilai tengah PTM pada perlakuan interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah potensi tumbuh maksimum Waktu Panen P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Lamuru 89,00 100,00 95,33 99,33 99,33 99,00 98,00 48,66
b a a a a a a c
Varietas Srikandi 96,33a 80,66b 96,00a 99,33a 99,00a 98,00a 98,33a 100,00a
a b a a a a a a
Bisma 98,66a 99,33a 97,66a 100,00a 98,00a 99,33a 87,33b 20,00c
a a a a a a b c
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%; P: panen; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P3: 86 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7: 102 HST, P8: 106 HST
21
Tabel 8 menunjukkan potensi tumbuh maksimum dari setiap varietas umunya cukup tinggi, yaitu diatas 80%. PTM tertinggi pada varietas Lamuru terdapat pada waktu panen kedua dengan nilai tengah 100% dan PTM terendah pada waktu panen kedelapan (48,66%). PTM tertinggi pada varietas Srikandi terdapat pada waktu panen kedelapan dengan nilai tengah 100% dan PTM terendah pada waktu panen kedua (80,66%). PTM tertinggi pada varietas Bisma terdapat pada waktu panen keempat dengan nilai tengah 100% dan PTM terendah pada waktu panen kedelapan (20%). Daya Berkecambah Hasil rekapitulasi nilai tengah daya berkecambah (DB) pada perlakuan interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terdapat pada Tabel 9. Daya berkecambah benih mulai diatas 80% pada varietas Lamuru terdapat pada waktu panen ketiga hingga waktu panen ketujuh, sedangkan pada varietas Srikandi terdapat pada waktu panen keempat hingga waktu panen kedelapan. Daya berkecambah benih mulai diatas 80% pada varietas Bisma terdapat pada waktu panen ketiga hingga waktu panen keenam. DB maksimal pada varietas Lamuru diperoleh pada waktu panen keenam dengan nilai tengah sebesar 94,66%. DB maksimal pada varietas Srikandi terdapat pada waktu panen keempat dengan nilai tengah 92,66%. DB maksimal pada varietas Bisma terdapat pada waktu panen keempat dengan nilai tengah sebesar 92,33%. Tabel 9. Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah daya berkecambah Waktu Panen P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Lamuru 58,33 66,00 87,66 90,66 87,00 94,66 86,33 44,00
c bc ab ab ab a ab d
Varietas Srikandi 50,33 55,00 77,00 92,66 88,00 87,66 89,00 88,66
cd c b a ab ab ab ab
Bisma 53,00 54,00 81,33 92,33 87,33 89,66 78,00 7,00
cd c b a ab ab b d
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%; P: panen; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P3: 86 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7: 102 HST, P8: 106 HST
Peningkatan daya berkecambah secara signifikan terlihat pada waktu panen pertama hingga waktu panen keempat, namun terjadi penurunan hingga waktu panen kedelapan. DB terendah pada varietas Lamuru dan Bisma terdapat pada waktu panen kedelapan. Hal ini diduga faktor lingkungan seperti turunnya hujan dan kelembaban yang tinggi mempengaruhi pemasakan biji dan pengeringan hasil pada waktu panen kedelapan, sehingga mutu benih pada waktu panen kedelapan menjadi rendah. Waktu pengeringan benih pada waktu panen kedelapan yang terlalu lama dengan suhu tinggi diduga menurunkan viabilitas benih. Benih dengan kadar air tinggi apabila langsung dikeringkan dengan suhu tinggi menyebabkan senyawa-senyawa kimia di dalam benih menjadi rusak, akibatnya viabilitas benih
22 menjadi rendah (Rofiq et al., 2013). Menurut konsep Steinbauer-Sadjad periode viabilitas pertama merupakan periode dimana benih terbentuk dan berkembang sampai benih mencapai masak fisiologis. Viabilitas potensial benih (Vp) dan vigor (Vg) pada periode pertama meningkat secara sigmoid dan mencapai titik maksimum pada saat benih mencapai masak fisiologis (Widajati et al., 2013). Indeks Vigor Tabel 10 menunjukkan hasil rekapitulasi interaksi antara varietas dengan waktu panen terhadap peubah indeks vigor (IV). IV tertinggi pada varietas Lamuru terdapat pada waktu panen kelima dengan nilai tengah sebesar 57,66% dan IV terendah pada waktu panen pertama (13,33%). IV tertinggi pada varietas Srikandi terdapat pada waktu panen keempat dengan nilai tengah sebesar 41,33% dan IV terendah pada waktu panen pertama (18%). Berdasarkan penelitian Sari (2015) menunjukkan bahwa indeks vigor benih jagung tertinggi dari beberapa genotipe sebesar 44,33%. Tabel 10. Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah indeks vigor Waktu Panen P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Lamuru 13,33 30,00 37,66 41,00 57,66 37,33 39,66 14,33
c b b ab a b ab c
Varietas Srikandi 18,00 34,66 39,33 41,33 40,33 39,66 38,66 38,00
c b ab a ab ab ab ab
Bisma 31,66 44,33 33,33 35,00 37,66 39,66 43,66 0,00
b a b b b ab a d
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%; P: panen; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P3: 86 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7: 102 HST, P8: 106 HST
IV tertinggi pada varietas Bisma terdapat pada waktu panen kedua (44,33%) dan ketujuh dengan nilai tengah sebesar 43,66%, sedangkan nilai terendah pada waktu panen kedelapan (0%). Nilai tertinggi pada varietas Bisma pada waktu panen kedua menunjukkan data error dan diduga keterlambatan pengamatan perkecambahan, sehingga pertumbuhan kecambah jagung menjadi lebih tinggi. Justice dan Bass (2002) mengemukakan tingkat kemasakan benih dapat berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih. Benih yang terlalu tua atau terlalu muda biasanya memiliki vigor rendah. Keserempakan Tumbuh Keserempakan tumbuh (KST) dihitung berdasarkan persentase kecambah normal kuat yang tumbuh secara serempak yang dihitung pada waktu pertengahan antara waktu perhitungan pertama dan kedua pada metode uji daya berkecambah (Sadjad et al., 1999). Hasil rekapitulasi nilai tengah keserempakan tumbuh interaksi varietas dengan waktu panen terdapat pada Tabel 11. Keserempakan tumbuh yang
23
tinggi mengindikasikan vigor kekuatan tumbuh (VKT) yang tinggi karena suatu lot benih yang menunjukkan pertumbuhan serempak dan kuat akan memiliki kekuatan tumbuh yang tinggi. Keserempakan tumbuh (KST) lebih besar dari 70% mengindikasikan vigor kekuatan tumbuh tinggi dan KST kurang dari 40% mengindikasikan lot benih yang kurang vigor (Sadjad, 1993). Tabel 11. Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah keserempakan tumbuh Waktu Panen P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Lamuru 7,00 10,33 50,66 89,66 90,66 70,00 49,33 28,66
e e c a a ab c de
Varietas Srikandi 20,66 24,66 69,66 78,00 83,00 59,66 53,66 65,00
de de ab ab a bc c b
Bisma 8,66 16,33 70,33 92,00 84,33 66,00 64,33 7,33
e e ab a a b b e
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%; P: panen; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P3: 86 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7: 102 HST, P8: 106 HST
Keserempakan tumbuh tertinggi pada varietas Lamuru terdapat pada waktu panen kelima dengan nilai tengah sebesar 90,66%, namun tidak berbeda nyata dengan waktu panen keempat (89,66%), sedangkan nilai KST terendah terdapat pada waktu panen pertama sebesar 7%. Keserempakan tumbuh tertinggi pada varietas Srikandi terdapat pada waktu panen kelima dengan nilai tengah sebesar 83% dan keserempakan tumbuh terendah pada waktu panen pertama (20,66%). Keserempakan tumbuh tertinggi pada varietas Bisma terdapat pada waktu panen keempat dengan nilai tengah 92%, namun tidak berbeda nyata dengan waktu panen kelima (84,33%), dan KST terendah pada waktu panen kedelapan (7,33%). Hal ini diduga terjadinya hujan pada waktu panen kedelapan menyebabkan turunnya vigor awal benih. Kadar Air Benih Saat Panen Hasil rekapitulasi nilai tengah kadar air benih saat panen pada perlakuan interaksi antara varietas dengan waktu panen terdapat pada Tabel 12. Kadar air benih saat panen tertinggi pada varietas Lamuru terdapat pada waktu panen kedua dengan nilai tengah sebesar 69,19% dan nilai terendah pada waktu panen keenam (29,94%). Kadar air benih saat panen tertinggi pada varietas Srikandi terdapat pada waktu panen kedua dengan nilai tengah sebesar 72,04% dan nilai terendah pada waktu panen ketujuh (28,69%). Kadar air benih saat panen tertinggi pada varietas Bisma terdapat pada waktu panen kedua dengan nilai tengah sebesar 85,47% dan nilai terendah pada waktu panen ketujuh (26,89%). Masak fisiologis benih adalah suatu moment dalam periode perkembangan benih dengan ciri vigor benih maksimum, berat kering benih maksimum dan kadar air benih yang rendah (Widajati et al., 2013). Panen yang dilakukan terlalu awal dapat menyebabkan
24 viabilitas awal benih menjadi rendah dipicu oleh kondisi kadar air benih yang masih tinggi sehingga benih lebih rentan mengalami kerusakan selama prosesing benih dan dapat menyebabkan umur simpannya menjadi lebih pendek (Arief et al., 2010). Proses panen dan perontokan yang dilakukan pada benih yang berkadar air tinggi akan mengakibatkan benih memar (Wirawan dan Wahyuni, 2002). Tabel 12. Nilai tengah dari interaksi antara varietas jagung dengan waktu panen terhadap peubah kadar air benih saat panen Waktu Panen P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Lamuru 42,94 69,19 39,65 34,76 35,71 29,94 30,61 31,10
bc a c d d e de de
Varietas Srikandi 63,08 72,04 38,78 38,17 31,82 30,09 28,69 30,05
ab a c c de e e e
Bisma 59,99 85,47 44,35 33,61 31,52 28,45 26,89 36,40
ab a bc d de e e cd
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%; P: panen; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P3: 86 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7: 102 HST, P8: 106 HST
Kadar air benih pada awal pemanenan (78 HST) dari ketiga varietas cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa benih masih dalam periode pembangunan benih dan belum tepat untuk dipanen, karena kadar air benih masih terlalu tinggi yang bisa mengakibatkan kerusakan fisik apabila dipanen (Sadjad, 1993). Kadar air benih 35-80% menunjukkan benih berada pada fase perkembangan dan benih tidak cukup masak untuk dipanen (Wirawan dan Wahyuni, 2002). Bobot 1000 Butir Benih pada Varietas Lamuru, Srikandi dan Bisma Pengujian benih untuk keperluan sertifikasi benih terdiri dari pengujian rutin dan pengujian khusus (Widajati et al., 2013). Salah satu pengujian khusus benih pada penelitian ini adalah uji bobot 1000 butir. Tabel 13. Nilai tengah dari varietas jagung terhadap peubah bobot 1000 butir Varietas Lamuru Srikandi Bisma
Rata-rata bobot 1000 butir (g)* 288,2 a 273,1 b 272,5 b
Bobot 1000 butir (g)** ≥275 ≥300 ≥307
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, *: Rata-rata bobot 1000 butir dari hasil panen pertama hingga panen kedelapan, **: Bobot 1000 butir saat panen berdasarkan deskripsi varietas.
Hasil rekapitulasi nilai tengah bobot 1000 butir benih varietas Lamuru, Srikandi, dan Bisma terdapat pada Tabel 13. Varietas Lamuru memiliki rata-rata bobot 1000 butir benih tertinggi (288,2 g) dibandingkan varietas lainnya, yaitu varietas Srikandi (273,1 g) dan varietas Bisma (272,5 g). Data tersebut tidak sama
25
dengan data pada deskripsi varietas jagung (Lampiran 2, 3 dan 4), dimana varietas Lamuru justru menunjukkan bobot 1000 butir benih terendah (≥ 275 g), sedangkan varietas Srikandi ≥ 300 g dan varietas Bisma ≥ 307 g. Ketidak-sesuaian ini diduga karena kondisi lingkungan (cuaca) yang kurang baik terutama pada periode panen kedelapan yang menyebabkan rata-rata hasil bobot 1000 butir yang didapat menjadi rendah. Hasil analisis tanah (Lampiran 1) juga menunjukkan unsur hara dan KTK pada lokasi penelitian rendah. Hal tersebut mengakibatkan hasil yang diperoleh tidak maksimal. Bobot Kering Kecambah Normal, Bobot 1000 Butir Benih, dan Kadar Air Pipil Selama Periode Pemanenan Tinggi dan rendahnya viabilitas potensial bisa diukur dengan tolok ukur BKKN (Widajati et al., 2013). Tabel 14 menunjukkan nilai tengah BKKN, bobot 1000 butir, dan kadar air pipil pada delapan waktu panen. Kisaran bobot kering kecambah normal benih yang diuji yaitu 0,196 g hingga 0,064 g. Nilai tengah BKKN tertinggi terdapat pada waktu panen keenam (0,064 g) dan tidak berbeda nyata dengan benih pada waktu panen keempat (0,051 g) dan kedelapan (0,052 g). Kisaran bobot 1000 butir pada delapan waktu panen yaitu 163,46-328,35 g. Nilai tengah bobot 1000 butir tertinggi pada waktu panen keenam (328,35 g), namun tidak berbeda nyata dengan waktu panen ketujuh (323,30 g) dan waktu panen keempat (314,78 g). Nilai bobot 1000 butir terendah terdapat pada waktu panen pertama (163,46 g). Kadar air pipil atau kadar air benih setelah proses pengeringan tertinggi terdapat pada waktu panen keempat sebesar 13,11%, sedangkan kadar air pipil terendah pada waktu panen kedelapan (9,22%). Tabel 14. Nilai tengah dari pengaruh waktu panen terhadap peubah BKKN, bobot 1000 butir, dan kadar air pipil Waktu Panen P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
BKKN (g) 0,196 0,033 0,027 0,051 0,038 0,064 0,046 0,052
e cd de ab cd a bc ab
Bobot 1000 Butir (g) 163,46 225,12 261,06 314,78 304,12 328,35 323,30 303,76
e d c ab b a a b
KA Pipil (%) 9,67c 12,02ab 12,12ab 13,11a 10,96bc 10,84bc 10,78bc 9,22c
c ab ab a bc bc bc c
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%; BKKN: bobot kering kecambah normal; KA: kadar air; P: panen; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P3: 86 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7:102 HST, P8: 106 HST
Kadar air benih setelah pengeringan pada penelitian ini cukup baik yaitu dibawah 14%. Menurut Purwono dan Purnamawati (2008) kadar air benih yang melebihi 14% rawan terkena serangan cendawan Aspergillus sp. selama penyimpanan. Kondisi fisik dan fisiologis benih pada kadar air 13-18%
26 menunjukkan laju respirasi benih masih cukup tinggi dan cendawan akan aktif dan berkembang biak secara cepat (Wirawan dan Wahyuni, 2002). Saat Matang Morfologi dan Masak Fisiologis Tabel 15 menunjukkan rekapitulasi data yang digunakan untuk menentukan saat matang morfologi (MM) dan saat masak fisiologis (MF). Saat matang morfologi terjadi ketika viabilitas total (VT) dengan tolok ukur PTM maksimum. Saat masak fisiologis (MF) terjadi ketika viabilitas potensial (Vp) dengan tolok ukur DB dan BKKN, vigor (Vg) dengan tolok ukur IV dan KST, serta bobot kering benih mencapai maksimum. Matang morfologi pada varietas Lamuru terdapat pada waktu panen kedua (P2, 82 HST), sedangkan varietas Srikandi dan Bisma pada waktu panen pertama (P1, 78 HST) yang ditunjukkan pada tolok ukur PTM tertinggi. Tabel 15. Rekapitulasi penentuan saat matang morfologi dan masak fisiologis benih berdasarkan parameter viabilitas total, viabilitas potensial, vigor, dan bobot kering benih Lamuru P2
Varietas Srikandi P1
Bisma P1
DB BKKN
P6 P6
P4 P6
P4 P6
IV KST Bobot 1000 Butir
P5 P5 P6
P4 P5 P6
P7 P4 P6
MPV
Parameter
Tolok ukur
MM
VT
PTM
Vp
Vg
MF
Keterangan: MPV: momen periode viabilitas; MM: matang morfologi; MF: masak fisiologis; VT: viabilitas total; Vp: viabilitas potensial; Vg: vigor; PTM: potensi tumbuh maksimum; DB: daya berkecambah; BKKN: bobot kering kecambah normal; K ST: kerempakan tumbuh; P: panen; P1: 78 HST, P2: 82 HST, P4: 90 HST, P5: 94 HST, P6: 98 HST, P7: 102 HST
Masak fisiologis varietas Lamuru terdapat diantara waktu panen kelima (P5, 94 HST) dan keenam (P6, 98 HST), sedangkan varietas Srikandi terdapat diantara waktu panen keempat (P4, 90 HST) sampai dengan waktu panen keenam (P6, 98 HST), sedangkan pada varietas Bisma terdapat pada waktu panen keempat (P4, 90 HST) sampai dengan waktu panen ketujuh (P7, 102 HST) yang ditunjukkan pada tolok ukur DB, BKKN, IV, KST, dan bobot 1000 butir. Berdasarkan deskripsi varietas (Lampiran 2, 3, dan 4) masak fisiologis benih varietas Lamuru pada saat tanaman berumur 90-95 HST, sedangkan varietas Srikandi pada saat tanaman berumur lebih dari 97 HST dan varietas Bisma pada saat tanaman berumur lebih dari 96 HST. Hal ini menunjukkan bahwa waktu masak fisiologis benih dari ketiga varietas sesuai dengan deskripsi varietas.
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Evaluasi terhadap karakter vegetatif menunjukkan bahwa perlakuan varietas menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peubah daya tumbuh (%), tinggi tanaman (m), dan tinggi tongkol (m). Varietas Bisma memiliki nilai karakter vegetatif yang tertinggi yaitu pada peubah daya tumbuh (99,03%), tinggi tanaman (2,22 m), dan tinggi tongkol (1,24 m). Evaluasi terhadap karakter generatif menunjukkan bahwa perlakuan varietas jagung memberikan hasil yang berbeda nyata pada peubah umur berbunga jantan (HST) dan nilai ASI (hari). Varietas Lamuru memiliki umur berbunga jantan lebih cepat (52 HST) dan nilai ASI rendah (2 hari) dibandingkan varietas Srikandi dan Bisma. Komponen hasil dan produksi menunjukkan bahwa perlakuan varietas menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kelobot (g) dan waktu pengeringan (hari). Perlakuan waktu panen menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kelobot (g), bobot tongkol kering (g), bobot pipilan kering (ton-1), dan waktu pengeringan tongkol (hari). Evaluasi terhadap karakter agronomi menunjukkan bahwa waktu panen tidak memberikan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap komponen hasil dan produksi. Saat matang morfologi varietas Lamuru terjadi pada waktu panen kedua (82 HST), sedangkan varietas Srikandi dan varietas Bisma pada waktu panen pertama (78 HST). Pemanfaatan benih untuk penelitian dapat dilakukan pada saat sebelum masak fisiologi (MF) dimana benih sudah mampu berkecambah normal ≥ 80 %, untuk varietas Lamuru pada 86 HST, varietas Srikandi 90 HST, dan varietas Bisma 85 HST. Penentuan saat masak fisiologi berdasarkan kelima peubah yang diamati (DB, BKKN, IV, KST dan bobot kering benih maksimum) menunjukkan bahwa benih varietas Lamuru mencapai saat masak fisiologi pada 94-98 HST, varietas Srikandi pada 90 – 98 HST, dan varietas Bisma pada 90-102 HST.
Saran Penelitian lanjutan disarankan dilakukan dengan menggunakan varietas dalam jumlah yang lebih banyak untuk memperoleh keragaman status viabilitas dan vigor benih.
28
DAFTAR PUSTAKA Arief R., Koes F. Dan Komalasari O. 2010. Mutu Benih Jagung pada Beberapa Tingkat Masak. Maros, Sulawesi Selatan 2010. [Balitsereal] Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2009. Bocoran Kalium Sebagai Indikator Vigor Benih Jagung. Yogyakarta 4-6 Mei 2009. [Balitsereal] Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2010. Deskripsi Varietas Unggul Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. [Balitsereal] Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2013. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Maros 19 Juli 2013. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Data iklim tahun 2015. Stasiun Klimatologi Darmaga. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi padi, jagung, dan kedelai (angka sementara tahun 2014). https://www.bps.go.id/website/brs_ind/brsInd20150701111533.pdf [ 8 April 2016]. Copeland O.L. and McDonald M. B. 1995. Principle of Seed Science and Technology. New York. Coulter, J. and R. Van Roekel. 2009. Selecting Corn Hybrids for Grain Production. University of Minnesota. Dina M.E., Hartati, Ismiatun dan Ismanto. 2006. Pengujian vigor benih: telaah prospek penerapannya di Indonesia. J. Informasi Pengembangan Mutu Benih 4 ( 4):14. Ginting E.S.B., M. K. Bangun dan Putri L.A.P. 2013. Respon pertumbuhan dan produksi tanaman jagung (Zea mays L.) varietas hibrida dan nonhibrida terhadap pemberian pupuk pospat dan bokashi. J. Agrotek. 1 (2) : 1-9. Gomez K.A. dan Gomez A.A. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. UI Press, Jakarta. Harjadi S. S. 2002. Pengantar Agronomi. Gapustaka Utama, Jakarta. Justice O.L. dan Bass L. N. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih (terjemahan Rennie Roesli). PT Rajawali, Jakarta. Kartasapoetra A.G. 2003. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan Tuntutan Praktikum. PT Rineka Cipta, Jakarta. Kasim F., Muhammad Y., Azrai, Muhammad P., Takdir A., Efendi R., Subekti, Iriany N., Wargiono, Mejaya J. dan Dahlan M. J. 2004. Usulan Pelepasan Varietas Unggul Jagung Bermutu Protein Tinggi. Balitsereal, Maros. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2015. Buletin Triwulan Ekspor Impor Komoditas Pertanian. Kantor Pusat Kementerian Pertanian. Jakarta. Khaerizal H. 2008. Analisis pendapatan dan faktor-faktor produksi usahatani komoditi Jagung hibrida dan bersari bebas (lokal). Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Larasati G.K. 2011. Respon populasi hasil persilangan tanaman jagung terhadap pemupukan fosfor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Jember. Jember. Lesilolo M.K., Riry J. dan Matatula E.A. 2013. Pengujian viabilitas dan vigor benih beberapa jenis tanaman yang beredar di pasaran kota Ambon. J. Agro. 2(1): 1-9.
29
[Litbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. Perakitan varietas.http://pangan.litbang.pertanian.go.id/files/PerakitanVarietas.pdf [27 April 2016]. [Liptan] Lembaga Informasi Pertanian. 2008. Mengenal Jagung Hibrida dan Komposit. Yogyakarta 2008. Lukman K., Fatimah dan Ernita M. 2014. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap pemberian pupuk organik cair ampas nilam. Skripsi. Program Studi Agroteknologi. Universitas Tamansiswa Padang. Padang. McWilliams D.A., Berglund D.R. and Endres G.J. 1999. Corn Growth and Management Quick Guide. Agriculture NDSU Education, USA. Mugnisjah W. Q. dan Setiawan A. 2004. Produksi Benih. PT Bumi Aksara, Jakarta. Ningrum G.A., Hikam S. dan Timotiwu P.B. 2013. Evaluasi viabilitas benih, ketahanan dan pemuliaan tanaman empat pedigri inbred jagung yang disimpan lebih dari dua belas bulan. Bul. Agrotek. 1:14-19. Novianti, V., Anisa dan Siranjang N. 2014. Keragaman dalam blok pada rancangan acak kelompok tidak lengkap seimbang dengan intergradien. Skripsi. Jurusan Matematika. Universitas Hasanuddin. Sulawesi Selatan. Paliwal R.L. 2000. Tropical Maize Morphology, Tropical Maize: Improvement And Production. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Permatasari O.S.I. 2011. Pengembangan uji cepat vigor benih kedelai (Glycine max (L). Merr.) menggunakan metode respirasi dengan alat kosmotektor. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwono dan Purnamawati H. 2008. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Ramdany R. 2014. Keragaan sifat agronomi dan daya hasil hibrida jagung (Zea mays L.) silang tunggal dan silang ganda. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rofiq M., Suhartanto M. R., Suharsi T.K. dan Qadir A.r 2013. Optimasi pengeringan benih jagung dengan perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan. J. Agron. 41 (3) : 196 – 201. Sadjad S. 1975. Teknologi benih dan masalah uji viabilitas benih. Dalam: Sjamsoe’oed S. (Ed). Dasar-dasar Teknologi Benih. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sadjad S. 1993. Dari Benih kepada Benih. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Sadjad S., Murniati E. dan Ilyas S. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari Komparatif ke Simulatif. PT Grasindo, Jakarta. Saefudin. 2000. Jaringan penyusun pada tumbuhan. http://file.upi.edu/Direktori/ SPS/PRODI.PENDIDIKAN_IPA/196307011988031-SAEFUDIN/Jaringan_ tumbuhan.pdf [19 Mei 2016]. Saragi S. M. 2008. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap penyakit pada beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L.) di lapang. Skripsi.
30 Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Universitas Sumatera Utara. Medan. Sari A.M. 2015. Vigor daya simpan dan vigor kekuatan tumbuh benih jagung hibrida (Zea mays L.). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schmidt L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan, Jakarta. Semangun H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press, Jakarta. Subandi I., Manwan dan Blumenschein A. 1988. Koordinasi Program Penelitian Nasional : Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Subekti N.A., Syafrudin,. Efendi R dan Sunarti S. 2007. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Suhaeti T. 1998. Metode Pengujian dan Perawatan Mutu Benih. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Proyek Pendidikan dan Latihan dalam Rangka Peng-Indonesiaan Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan, Bogor. Widajati E., Muniarti E., Palupi E.R., Kartika T., Suhartanto M.R. dan Qadir A. 2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. PT Penerbit IPB Press, Bogor. Wirawan B. dan Wahyuni S. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat: Padi, Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Zubachtirodin dan Kasim F. 2012. Posisi Varietas Bersari Bebas dalam Usahatani Jagung di Indonesia. Bogor 4 Mei 2012.
31
LAMPIRAN
32
33
Lampiran 1 Hasil Analisis Tanah Kebun Percobaan Cikabayan Bawah IPB Sifat-sifat tanah Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH 1:1 H2O KCl Bahan organik C (%) N (%) C/N Hara potensial P (ppm) P (ppm) K (me/100g) Ca (me/100g) Mg (me/100g) Na (me/100g) Al (me/100g) H (me/100g) Unsur hara mikro Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) KTK (me/100g) KB (%)
Nilai
Indeks ukuran
Metode ekstraksi Pipet
9,36 22,45 68,19 pH meter 4,51 4,20
Masam Sangat masam
1,89 0,17 11,12
Rendah Rendah Sedang
Walkley & Black Kjeldahl C/N
2,40 400 0,47 3,88 0,74 0,27 0,97 0,01
Sangat rendah Sangat tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah Tinggi Sangat rendah
Bray I HCl 25% N NH4OAc pH 7 N NH4OAc pH 7 N NH4OAc pH7 N NH4OAc pH 7 N KCl N KCl
11,59 0,92 3,40 65,02 13,11 40,88
Cukup Cukup Cukup Cukup Rendah Sedang
DTPA DTPA DTPA DTPA
34 Lampiran 2 Deskripsi Jagung Varietas Lamuru Tanggal dilepas Asal Umur - 50% keluar rambut - Masak fisiologis Batang Warna batang Tinggi tanaman Daun Warna daun Keragaman tanaman Perakaran Malai Warna anthera Warna rambut Tongkol Tinggi letak tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji Baris biji Jumlah baris/tongkol Bobot 1000 biji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan Daerah sebaran Pemulia
Sumber : Balitsereal (2010)
: 25 Februari 2000 : Dibentuk dari 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3 : : 55 hari : 90 - 95 hari : Tegap : Hijau : + 190 cm (160 - 210 cm) : Panjang : Hijau : Agak seragam : Baik : Semi kompak : Coklat muda (80%) : Coklat keunguan (75%) : Panjang dan silindris : + 90 cm (85 - 110 cm) : Tertutup dengan baik (75%) : Mutiara (flint) : Kuning : Lurus : 12 - 16 baris : + 275 g : 5,6 ton ha-1 : 7,6 ton ha-1 : Cukup tahan terhadap penyakit bulai dan karat : Dataran rendah sampai 600 m dpl. : Mustari Basir, Marsum Dahlan, Made J., Mejaya, Arni Mappe, dan Firdaus Kasim
35
Lampiran 3 Deskripsi Jagung Varietas Srikandi Tanggal dilepas Asal Umur Panen Batang Warna batang Tinggi tanaman Daun Warna daun Jumlah Perakaran Kerebahan Warna malai Jumlah malai Warna rambut Tongkol Panjang tongkol Kedudukan tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji Baris biji Jumlah baris/tongkol Bobot biji/tongkol Bobot 1000 biji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan
Keunggulan Pemulia Sumber : Balitsereal (2010)
: 8 Februari 2001 : Polycross synthetic (persilangan acak ganda) sejumlah populasi tetua bersegregasi : Antesis : + 57 hari : + 97 hari : Besar dan kokoh : Hijau : + 180 cm : Tegak : Hijau gelap : + 13 helai : Baik sampai sangat baik : Tahan rebah : Bercampur pirang dan putih : rata-rata 17 helai : bercampur antara pirang dan putih : Silindris : + 20 cm : Dipertengahan tinggi tanaman : Menutup tongkol dengan sempurna : Mutiara (flint) : Kuning : Penuh sampai ke ujung tongkol : 14 - 16 baris : 110 - 120 g : + 300 g : 6,0 ton ha-1 pipilan kering (kadar air 13%) : 8,0 ton ha-1 pipilan kering (kadar air 13%) : Tahan terhadap bulai Peronosclerospora, karat daun Puccinia, busuk tongkol Diplodia, dan toleran kekeringan : Tanaman tetap hijau pada waktu panen dan rasa jagung muda manis dan renyah : Saiful Hikam dan Erwin Yuliadi
36 Lampiran 4 Deskripsi Jagung Varietas Bisma Tanggal dilepas Asal Umur Panen Batang Daun Warna daun Perakaran Kerebahan Tongkol Kedudukan tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji Baris biji Jumlah baris/tongkol Bobot 1000 biji Warna janggel Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan Keterangan Pemulia Sumber : Balitsereal (2010)
: 4 September 1995 : Persilangan Pool 4 dengan bahan introduksi disertai seleksi massa selama 5 generasi : 50% keluar rambut : + 60 hari : + 96 hari : Tegap, tinggi sedang (+ 190 cm) : Panjang dan lebar : Hijau tua : Baik : Tahan rebah : Besar dan silindris : Kurang lebih di tengah-tengah batang : Menutup tongkol dengan cukup baik (+ 95%) : Semi mutiara (semi flint) : Kuning : Lurus dan rapat : 12 - 18 baris : + 307 g : Kebanyakan putih (+ 98 cm) : + 5.7 ton ha-1 pipilan kering : 7,0 – 7,5 ton ha-1 pipilan kering : Tahan penyakit karat dan bercak daun : Baik untuk dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. : Subandi, Rudy Setyono, A. Sudjana, dan Hadiatmi.
37
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 22 April 1995. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ibnu Saleh Nur dan Ibu Eka Enha Yulia. Penulis mengawali pendidikan di TK YP Indra Palembang pada tahun 1999 hingga tahun 2000. Setelah lulus TK penulis melanjutkan sekolah di SD Panca Budi Medan pada tahun 2000 hingga tahun 2006. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Batam (2006-2009) dan SMA Negeri 3 Tangerang Selatan (2009-2012). Pada tahun 2012 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian melalui Ujian Tulis Mandiri. Selama kuliah penulis aktif dalam kegiatan organisasi yaitu menjadi anggota Koran Kampus tahun 2012, dan pada tahun 2012 2013 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Agronomi sebagai staf Divisi Internal. Penulis juga menjadi asisten praktikum Menejemen Air dan Hara Tanaman tahun 2016. Kemudian penulis juga mengikuti beberapa kepanitian yang ada di kampus, seperti kepanitiaan Masa Orientasi Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura tahun 2014 dan Festival Bunga dan Buah Nusantara 2013.