II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. KALIO Kalio merupakan salah satu produk pangan tradisional dari Sumatera Barat, umumnya dibuat dari bahan utama daging sapi yang dimasak dengan campuran bumbu dari rempah-rempah tertentu. Kalio adalah sejenis rendang dengan formulasi bumbu rempah-rempah ralatif sama dengan rendang, tetapi memiliki kadar air kurang lebih dua kali lebih tinggi dengan kuah jauh lebih encer dibanding rendang (Murhadi, 1994). Gambar 1 menyajikan diagram alir proses pembuatan kalio dan rendang daging sapi. Daging sapi
Pemotongan
Bumbu I :
Pembuangan lemak dan urat otot
Pencucian dengan air bersih (3-5x)
Cabe merah, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, kunyit
Penirisan (5-10 menit)
Potongan daging sapi siap olah
Air santan kelapa
Penumbukan sampai halus (blender + sedikit santan)
Pemasakan I (95-97° C, 90 menit) Bumbu II : Kalio
Pemasakan II (90-93° C, 60 menit)
Daun salam, daun kunyit, serai dapur, asam kandis (potongpotong)
Rendang
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan kalio dan rendang (Murhadi, 1994)
3
Kombinasi berbagai rempah menyebabkan bumbu kalio dan rendang secara alamiah memiliki efek penghambatan yang cukup besar terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Edy (1998) melaporkan bahwa bumbu rendang mentah dengan 60% cabe merah (Capsicum annuum L.) memiliki efek penghambatan optimal terhadap beberapa jenis mikroorganisme pembusuk dan patogen. Tetapi proses pemasakan ternyata menurunkan efek penghambatan bumbu tersebut terhadap pertumbuhan sebagian besar bakteri (Katrina, 2000). Total mikroba kalio meningkat selama penyimpanan. Penyimpanan selama 12 jam telah meningkatkan total mikroba kalio hingga mencapai 8.6x106 dan menimbulkan aroma basi. Hal ini diduga erat hubungannya dengan kadar air kalio yang cukup tinggi (56.42-63.17%). Adapun bakteri yang dominan tumbuh pada kalio setelah penyimpanan selama 12 jam (25-30o C) adalah spesies Bacillus sp. I dan Bacillus sp. II, Bacillus sp. III, Bacillus sp. IV, Staphylococcus aureus, Staphylococcus sp. I, Enterobacter sp. IV (E. liquefaciens), Klebsiella aerogenes, Proteus sp., serta satu isolat yang belum teridentifikasi. Bakteri paling tahan panas pembentuk spora di antara spesies-spesies tersebut adalah Bacillus sp. III, dengan nilai D90°C dan nilai z sebesar 7.86 menit dan 16.9° C; sedangkan yang tidak membentuk spora yaitu Yersinia enterocolitica, dengan nilai D75° C dan nilai z sebesar 0.27 menit dan 13.6° C. Keduanya merupakan bakteri yang bersifat aerobik (Murhadi, 1994), sehingga keberadaannya dalam produk yang dikemas secara anaerobik tidak terlalu dihawatirkan. Aplikasi teknologi pengemasan dan penyimpanan pangan memiliki peluang yang cukup besar untuk diaplikasikan pada kalio. Pada percobaan pengalengan rendang, ditemui kendala berupa ketidakseragaman pola penetrasi panas ke dalam produk akibat tekstur yang tidak seragam. Selain itu, pemasakan rendang tidak dapat dilakukan bersamaan dengan proses sterilisasi, sehingga rendang tetap perlu dimatangkan terlebih dahulu sebelum proses pengisian (filling) (Jaenah, 1994). Pada pengalengan kalio, perlakuan panas selama sterilisasi diduga dapat sekaligus mematangkan daging, sehingga perlakuan pendahuluan pada bahan dapat dilakukan seminimum mungkin sebelum proses pengisian (filling) ke dalam kaleng. Umumnya kalio dan rendang dibuat dari daging yang tinggi kolagen seperti betis (round), karena itu harus dimasak pada suhu yang tidak terlalu tinggi (kurang dari 100° C) dengan waktu pemasakan yang cukup lama, seperti tampak pada Gambar 1. Proses tersebut akan membuat tekstur daging menjadi lebih lunak, tetapi menjadi kurang efisien jika diaplikasikan dalam skala industri. Mainofri (1999) membandingkan keempukan rendang dari dua jenis daging yang rendah kolagen, yaitu daging has luar (sirloin) dan lamusir (cube roll). Hasilnya daging has luar (sirloin) menghasilkan rendang dengan keempukan yang lebih baik. Karena itu pada penelitian ini digunakan daging has luar. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh perbedaan suhu sterilisasi terhadap perbedaan tekstur (kekerasan) daging. Suhu sterilisasi yang lebih tinggi akan menghasilkan pencapaian nilai Fo yang lebih cepat, sehingga proses sterilisasi akan lebih efisien.
B. DAGING SAPI 1. Struktur dan Komposisi Daging Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka (kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga), yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu
4
dipotong. FDA membatasi definisi daging hanya pada bagian muskulus yang berserat, yaitu yang berasal dari otot skeletal atau lidah, diafragma, jantung, dan esofagus, dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf, dan pembuluh-pembuluh darah (Muchtadi, 1996). Komposisi kimia daging terdiri dari sekitar 75% air, 20% protein, 3% lemak, dan 2% substansi non-protein terlarut. Substansi non-protein terarut tediri dari vitamin dan mineral (3%), substansi nitrogen non-protein (45%), karbohidrat (34%), dan komponen anorganik (18%) (Tornberg, 2005). Protein, sebagai komponen terbesar setelah air, berperan sebagai unsur pokok yang menyusun struktur produk-produk berbasis daging dan perubahannya selama pemanasan. Protein yang terkandung di dalam daging terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu protein miofibrillar (50-55%), protein sarkoplasmik (30-34%), dan protein jaringan ikat (10-15%). Lebih lanjut, protein miofibrillar yang merupakan protein fibrosa terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu protein miofilamen (aktin dan miosin) yang menyusun struktur miofibril, protein regulatori (kompleks tropomiosin-troponin, α- dan β-aktinin, M-protein, dan Cprotein), dan terakhir protein pembentuk struktur (titin, nebulin, desmin, vimentin, dan synemin). Protein sarkoplasmik merupakan protein globular terlarut yang terdapat dalam sarkoplasma, terutama enzim kreatin kinase dan mioglobin (Tornberg, 2005). Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein fibrosa yang tidak larut, terdiri dari kolagen, elastin, dan retikulin (Muchtadi, 1996). Kolagen, yang merupakan glikoprotein, merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat (55-95% dari bahan kering), dan tersusun atas monomer tropokolagen yang memiliki diameter 14-15 Å, panjang 2800 Å dan bobot molekul 300,000. Molekul tropokolagen teragregasi untuk membentuk serabut yang lebih besar pada epimisium dan perimisium, serta terutama sebagai matriks struktural pada endomisium (Tornberg, 2005). Struktur daging disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Struktur daging (Tornberg, 1996)
5
2. Parameter Spesifik Kualitas Daging dan Perubahannya Selama Pemasakan Nilai pH, Daya Ikat Air (Water Holding Capacity), Susut Masak (Cooking loss), dan Juiciness Nilai pH merupakan karakteristik kimia daging yang paling penting, berkaitan erat dengan daya ikat air (DIA), susut masak (cooking loss), dan juiciness daging. Secara tidak langsung, nilai pH juga mempengaruhi warna dan tekstur daging (Soeparno, 2005). Normalnya, pH daging mentah berkisar antara5.4 sampai 5.8. Variasi pH daging merupakan pengaruh dari berbagai faktor, antara lain stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan kimia tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik, serta aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis (Soeparno, 2005). Water Holding Capacity (WHC) atau Daya Ikat Air (DIA) adalah kemampuan daging untuk mengikat air di dalamnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Atribut mutu ini sangat penting dalam daging dan produk berbasis daging. Selain mempengaruhi penyusutan bobot selama penyimpanan dan pengolahan, DIA daging juga berpengaruh pada sebagian besar sifat fisik daging, termasuk warna, tekstur, kekerasan daging mentah, serta keempukan dan juiciness daging matang (Soeparno, 2005). DIA terkait dengan kondisi kimiawi air dalam daging. Air yang terikat dalam daging dapat dibagi menjadi tiga kompartemen, yaitu : (i) air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebagai lapisan monomolekular pertama (4-5%); (ii) air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari grup hidrofilik (sekitar 4%); serta (iii) lapisan ketiga yang merupakan molekul-molekul air bebas di antara molekul protein (Soeparno, 2005). Nilai pH mempengaruhi muatan dari gugus reaktif protein daging. Pada titik isoelektrik, jumlah muatan positif dari gugus reaktif protein sama dengan jumlah muatan negatifnya, sehingga cenderung berinteraksi antar-sesamanya dan menurunkan kemampuan mengikat molekul air (Aberle et al., 2001). Nilai pH yang lebih tinggi menyebabkan pembebasan sejumlah muatan positif, sehingga terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekulmolekul air. Demikian pula pada pH lebih rendah, terdapat kelebihan muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekulmolekul air. Jadi, DIA meningkat pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari pH isoelektrik, seperti tampak pada Gambar 3. Nilai pH isoelektrik daging berkisar antara 5.0 sampai 5.1 (Soeparno, 2005). Juiciness daging merupakan kombinasi dari dua pengaruh, yaitu kesan cairan yang dibebaskan selama pengunyahan, serta hubungannya dengan salivasi yang diproduksi oleh faktor-faktor flavor, termasuk lemak intramuskuler. Perubahan flavor daging masak dan hubungannya dengan juiciness daging bersifat sangat subjektif dan hampir tidak mungkin ditaksir secara objektif. Karena itu umumnya juiciness (dan DIA) dikaitkan dengan susut masak selama pengolahan (Soeparno, 2005).
6
Gambar 3. Hubungan Nilai pH dengan Water Holding Capacity (WHC) (Soeparno, 2005) Susut masak adalah jumlah air yang keluar dari jaringan akibat terjadinya denaturasi kolagen dan kompleks aktomiosin selama pengolahan. Jumlah air terikat menurun dengan meningkatnya suhu, karena itu meningkatnya suhu pemasakan umumnya meningkatkan susut masak. Kisaran suhu yang menyebabkan susut masak paling tinggi adalah 50-70° C (Palka dan Daun 1999). Susut masak berkaitan erat dengan penyusutan sarkomer dari miofibril, di mana semakin tinggi tingkat penyusutan sarkomer, cairan daging yang keluar sebagai susut masak juga semakin banyak (Palka dan Daun 1999). Demikian pula dengan peningkatan waktu pemasakan, umumnya meningkatkan susut masak (Barbera dan Tassone 2006). Umumnya susut masak bervariasi antara 15-40%. Besarnya susut masak dapat digunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibanding daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Persentase susut masak ditentukan dengan persamaan 1 (Soeparno, 2005). Susut Masak % bb =
Bobot sebelum dimasak −Bobot setelah dimasak Bobot sebelum dimasak
x 100%
(1)
Selain faktor pH dan pemasakan, DIA juga dipengaruhi oleh spesies dan umur ternak, fungsi otot, pakan, perlakuan sebelum dan setelah pemotongan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan, serta kandungan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005).` Tekstur Tekstur merupakan salah satu atribut kualitas yang paling penting pada daging, dan telah diteliti dalam banyak aspek selama bertahun-tahun (Palka dan Daun, 1999). Perubahan tekstur daging secara keseluruhan berkaitan dengan perubahan protein miofibril, sitoskeleton otot, jaringan ikat intramuskular, serta kandungan air dalam serabut daging (Harris 1976; Jones et eal.1977; Leander 1977; Silva et al.1993; Greaser 1997; dalam Palka dan Daun
7
1999). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan tekstur daging terdiri dari faktor antemortem (spesies, bangsa, fisiologi, umur, jenis kelamin, stress) dan faktor postmortem (metode pelayuan, chilling, refrigerasi, pembekuan, serta metode pengolahan) (Soeparno, 2005). Selama pemanasan, terdapat sedikitnya empat mekanisme pokok terhadap perubahan tekstur, yaitu: (a) inaktivasi enzim proteolitik endogenous; (b) denaturasi termal jaringan ikat yang menyebabkan keempukan; (c) denaturasi termal protein kontraktil (miofibril) yang menyebabkan meningkatnya kekerasan; (e) penyusutan diameter dan panjang sel serta peningkatan densitas; serta (d) turunnya water holding capacity (WHC) serta kekurangan cairan seperti air dan lemak (Wirakartakusumah et al. 1992). Tornberg (1999) menambahkan mekanisme rusaknya membran sel serta agregasi dan pembentukan gel oleh protein sarkoplasmik sebagai faktor yang turut berperan dalam perubahan tekstur selama pemasakan. Perubahan tingkat kekerasan pada kisaran suhu 70-80° C terutama terkait dengan denaturasi termal protein miosin (40-60° C), aktin (66-73° C), dan penyusutan kolagen (5662° C) (Martens et al. 1982 dalam Palka dan Daun 1999). Sebagian besar protein sarkoplasma juga teragregasi pada suhu 40-60° C, menyebabkan terbentuknya gel yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot, dan mengakibatkan meningkatnya kekerasan daging (Tornberg, 2005). Penurunan tingkat kekerasan daging pada suhu di atas 80° C dimungkinkan akibat gelatinisasi kolagen (Locker 1984; Fritz et al. 1992; dalam Palka dan Daun 1999). Karena kompleksnya faktor-faktor tersebut, maka tidak diharapkan adanya perubahan fisik yang berkorelasi linier dengan perubahan suhu maupun waktu pemanasan (Wirakartakusumah et al., 1992), seperti pada pengamatan Palka dan Daun (1999), Tornberg (2005), dan Combes et al. (2003). Variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda (Tornberg, 2005). Warna Seperti halnya tekstur, warna daging dan produk turunannya merupakan hasil reaksi yang kompleks antara faktor genetika hewan, kondisi ante- dan post-mortem, kondisi kimia otot, dan berbagai faktor lain terkait proses pengolahan, pengemasan, distribusi, penyimpanan, serta penyiapan produk tepat sebelum dikonsumsi (Mancini dan Hunt, 2005). Pigmen yang paling bertanggung jawab atas warna daging adalah mioglobin (Mancini dan Hunt, 2005). Mioglobin merupakan protein sarkoplasmik yang terbentuk dari rantai polipeptida tunggal yang terikat di sekeliling suatu grup heme, yang tersusun dari atom Fe dan cincin porfirin. Pigmen kromoprotein dan hemoglobin mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap warna daging. Pigmen sitokrom, flavin, dan vitamin B12 yang terdapat dalam otot dalam jumlah sangat sedikit, hampir tidak mempunyai andil pada warna daging. Pada daging segar, mioglobin dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan oksigen (Soeparno, 2005). Perubahan mioglobin secara kimiawi disajikan dalam Gambar 4.
8
Aplikasi panas pada daging non-curing menyebabkan perubahan warna dari merah menjadi coklat atau abu-abu. Warna kecoklatan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C (Soeparno, 2005). Pemanasan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan warna daging menjadi gelap akibat dehidrasi gugus amine dari asam amino yang membuat protein otot bereaksi dengan gula pereduksi dan menyebabkan reaksi pencoklatan Maillard (Thippareddi dan Sanchez, 2006).
Gambar 4. Perubahan Kimia Molekul Mioglobin (Mancini dan Hunt, 2005) Flavor dan Aroma Flavor daging merupakan hasil interaksi yang kompleks antara ratusan senyawa yang terlibat, termasuk di dalamnya senyawa-senyawa hidrokarbon, aldehida, keton, alkohol, furan, trifena, pirol, piridin, pirazin, oxazol, tiazol, komponen yang mengandung sulfur, dan sebagainya. Senyawa-senyawa tersebut mengalami perubahan selama penyimpanan dan pemasakan (Calkins dan Hodgen, 2007). Pembentukan aroma dan rasa daging selama pemasakan banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak, dan pembebasan substansi atsiri (volatil) yang terdapat di dalam daging (Soeparno, 2005). Pemasakan daging di atas 70° C akan memperkuat flavor daging dan merubah flavor blood-like dari daging segar menjadi flavor daging matang. Pemanasan asam lemak, dengan keberadaan udara, akan memicu terjadinya oksidasi yang akan memodifikasi profil flavor. Beberapa komponen terdegradasi akibat hidrolisis, menghasilkan komponen penguat rasa, seperti asam glutamat dan turunannya. Pembentukan flavor juga dipengaruhi keberadaan garam, rempah, dan curing agent yang digunakan (Thippareddi dan Sanchez, 2006). Daging yang dikalengkan dan dipanaskan dengan suhu tinggi mengandung senyawa volatil aldehid dan senyawa yang mengandung sulfur (H2S, metilmerkaptan, dimetilsulfida, 2-metil propanal, 2-metilbutanal, dan 2-etilfuran) yang makin menurun dengan meningkatnya suhu sterilisasi. Suhu sterilisasi yang terlalu tinggi (sampai 131° C) dapat menyebabkan penyimpangan flavor (Thippareddi dan Sanchez, 2006).
9
C. PENGALENGAN PANGAN 1. Prinsip Pengalengan Proses termal merupakan salah satu metode paling penting yang dilakukan dalam pengolahan pangan, tidak hanya karena perubahan mutu makan (eating quality) yang dikehendaki, tapi juga karena efek pengawetan yang ditimbulkan akibat inaktivasi enzim, mikroorganisme, serangga, serta parasit (Fellows, 2000). Teknologi pengalengan merupakan salah satu aplikasi proses termal yang banyak dilakukan di industri pangan. Sharma et al. (2000) mendefinisikan proses pengalengan pangan sebagai suatu prosedur pengawetan pangan menggunakan kemasan yang tertutup secara hermetis dan memanaskannya untuk membunuh mikroorganisme patogen dan penyebab kebusukan beserta sporanya, serta untuk menginaktivasi enzim yang dapat merusak mutu. Teknologi ini dapat mempertahankan daya simpan produk sampai lebih dari enam bulan (Kusnandar et al., 2006). Istilah pengalengan tidak hanya merujuk pada pengemasan bahan pangan menggunakan kaleng, tetapi juga termasuk penggunaan kemasan hermetis lainnya seperti retort pouch, tetrapack, glass jar, dan sebagainya. Kemasan hermetis merupakan kemasan kedap udara yang tidak memungkinkan adanya kontak antara bahan pangan dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga mencegah terjadinya rekontaminasi dari lingkungan setelah proses pemanasan (Muchtadi, 1995). Berdasarkan suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, pengalengan terbagi menjadi dua proses yaitu pasteurisasi dan sterilisasi komersial. Pasteurisasi terutama ditujukan untuk produk pangan yang mudah rusak oleh panas, atau berasam tinggi, atau jika akan dilakukan kombinasi dengan metode pengawetan lain seperti penyimpanan dingin. Sedangkan sterilisasi komersial terutama diterapkan pada produk pangan berasam rendah (Kusnandar et al., 2006). Sterilisasi komersial merupakan metode yang paling banyak diaplikasikan dalam skala industri (Fellows, 2000). Istilah ini merujuk pada pemusnahan mikroba pembusuk dan patogen sampai level aman tertentu. Spora bakteri non-patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses sterilisasi, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal. Kondisi steril komersial diterapkan karena kondisi steril absolut sulit diterapkan dalam prakteknya, terutama terkait dengan pertimbangan mutu gizi dan mutu organoleptik (Hariyadi, 2000). Pemusnahan sel vegetatif bakteri C. botulinum dan sporanya menjadi perhatian utama dalam proses pengalengan, karena kondisi vakum dalam kaleng sangat cocok untuk bagi pertumbuhan bakteri anaerobik ini. Bakteri ini tumbuh optimal pada pH > 4.6 dan a w > 0.9, serta suhu 30-37° C (Kusnandar et al., 2006). Karena itu makanan berasam rendah (pH > 4.5) yang akan disimpan dalam suhu normal (self stable food) sangat rentan akan kontaminasi bakteri ini jika proses produksi tidak berjalan optimal. Berkaitan dengan hal ini, USFDA/USDA menetapkan standar proses (performance standard) sterilisasi komersial, yaitu panas yang diberikan harus cukup untuk mereduksi sel vegetatif dan spora C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma, atau menurunkan peluang keberadaan bakteri tersebut sampai
10
10-9 jika diasumsikan jumlah awalnya ≤ 103 (Hariyadi, 2008 dan Thippareddi dan Sanchez, 2006). Secara teknis, terdapat dua metode umum pengalengan, yaitu metode konvensional dan inkonvensional. Metode konvensional merujuk pada makna pengalengan secara harfiah, yaitu teknik appertizing, sterilisasi produk dilakukan di dalam wadah setelah pengisian. Sedangkan metode inkonvensional atau aseptic canning merupakan metode yang sering diterapkan untuk produk dengan kemasan pouch, tetrapack, botol plastik, dan sebagainya. Metode ini melibatkan sterilisasi bahan dan wadah secara terpisah, kemudian pengisian bahan ke dalam kemasan (filling) dilakukan secara aseptik dalam ruangan yang bebas mikroba (Muchtadi, 1994). Tahapan proses pengalengan pangan secara konvensional dan perhitungan kecukupan panas akan dipaparkan lebih lanjut pada sub bab berikut.
2. Tahapan Proses Pengalengan Konvensional Secara umum, proses pengalengan konvensional terdiri dari beberapa tahap, yaitu pemilihan dan persiapan bahan, blansir, hot filling, exhausting, penutupan (double seaming), sterilisasi, dan pendinginan (Hariyadi dan Kusnandar, 2000). Setiap tahap dilakukan untuk menciptakan kondisi optimum dalam wadah yang memberikan jaminan keamanan sesuai standar. Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam sebelum filling dengan tujuan untuk memperbaiki mutu bahan sebelum dikenai proses lanjutan. Proses blansir berguna untuk : (i) membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal; (ii) meningkatkan suhu bahan; (iii) membuang udara yang masih ada dalam jaringan; (iv) menginaktivasi enzim; (v) menghilangkan rasa mentah; (vi) mempermudah proses pemotongan; (viii) mempermudah pengupasan (untuk buah dan sayur); (ix) memberikan warna yang dikehendaki; (x) mempermudah pengaturan produk dalam kaleng. Blansir yang baik akan memberikan tingkat vakum dan integritas yang baik. Hal ini disebabkan selama blansir produk akan mengerut dan membuang gas yang terperangkap dalam jaringan dan sel sehingga mengurangi tekanan dalam wadah selama pemanasan (Hariyadi, 2000). Blansir dapat dilakukan dengan medium air panas maupun uap panas (Kusnandar et al., 2006). Pengisian bahan ke dalam kaleng dilakukan segera setelah proses blansir, untuk mencegah penurunan suhu bahan. Dalam hal ini, standardisasi komposisi memegang peranan penting, untuk menjamin pola penetrasi panas yang relatif seragam untuk setiap produk. Standardisasi komposisi meliputi formulasi bahan baku, proporsi bahan dan medium pemanasan saat pengisian (filled weight), berat bersih (net weight), serta ukuran potongan bahan. Saat melakukan pengisian, pada bagian atas kemasan perlu diberi headspace, yaitu ruang kosong setinggi 1-2 cm pada bagian atas kaleng untuk memberi ruang muai bagi produk pada saat dipanaskan, sehingga kaleng tidak menggembung dan menyebabkan bukcling. Buckling merupakan suatu kondisi terbentuknya tekukan pada dasar kaleng yang permanen. Selain mengganggu estetika kemasan, buckling juga dapat memberi peluang masuknya mikroorganisme ke dalam produk melalui lubang mikro yang dapat terbentuk pada tekukan (Fields, 1990).
11
Exhausting dilakukan untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Selama proses exhausting dan sterilisasi, headspace diisi oleh uap air dari produk. Uap air tersebut kemudian terkondensasi setelah proses pendinginan, sehingga menyebabkan kondisi vakum dalam kaleng. Kondisi ini memberikan beberapa keuntungan, antara lain : (i) spora bakteri pembusuk yang bersifat anaerobik umumnya tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan; dan (ii) dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi baik selama pemanasan maupun selama penyimpanan setelah diproses. Tingkat kevakuman kaleng setelah penutupan juga dipengaruhi oleh perlakuan blansir, karena blansir membantu mengeluarkan udara/gas dari dalam jaringan. Exhausting dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain : (i) melakukan pengisian produk ke dalam kaleng saat produk masih dalam kondisi panas; (ii) memanaskan kaleng beserta isinya sampai pada suhu 80-95° C dengan tutup kaleng masih terbuka; atau (iii) secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum (Hariyadi dan Kusnandar, 2000). Segera setelah proses exhausting, kaleng ditutup secara hermetis. Penutupan kaleng ini lebih dikenal dengan istilah double seaming. Pengemasan secara hermetis merupakan pengemasan yang sangat rapat, tidak dapat ditembus udara, air, mikroba, atau bahan asing lain. Teknik ini memungkinkan terlindungnya produk dari kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa (Muchtadi , 1994). Skema penutupan kaleng disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Skema mekanisme penutupan kaleng (double seaming) ([FAO], 2009) Tahap berikutnya yaitu sterilisasi dalam tabung pemanas bertekanan yang disebut retort atau autoklaf. Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dan kritis dalam proses pengalengan yang menentukan sukses atau tidaknya proses sterilisasi secara keseluruhan (Hariyadi dan Kusnandar, 2000). Terdapat tiga tipe retort yang biasa digunakan dalam industri pangan, yaitu retort nonagitasi (sering juga disebut sebagai still retort), retort teragitasi kontinyu, dan retort hidrostatik. Retort kontinyu memungkinkan terjadinya agitasi selama pemanasan, sehingga mempercepat penetrasi panas dan mempersingkat waktu pemanasan. Sedangkan retort hidrostatik merupakan satu kesatuan sistem pemanasan yang lengkap, menggunakan sistem konveyor yang menggerakkan kaleng-kaleng untuk memasuki chamber uap dan air dan melalui setiap tahap pemanasan (Pearson dan Tauber, 1984).
12
Sebagian besar produk daging steril komersial diproses menggunakan still retort. Retort ini merupakan bejana bertekanan yang beroperasi di atas tekanan atmosfir dan menggunakan air atau uap jenuh sebagai medium pemanas. Retort jenis ini bekerja dengan sistem batch, karena itu jadwal proses harus berjalan ketat untuk memastikan level keamanan yang sama pada setiap batch produk (Pearson dan Tauber, 1984). Jadwal proses mencakup venting time (waktu venting), come-up time (waktu untuk mencapai suhu target), dan operator time (waktu pemanasan sejak dicapai suhu target sampai retort dimatikan). Gambar 6 menyajikan ilustrasi still retort vertikal yang digunakan.
Gambar 6. Still Retort Vertikal ([FAO], 2009) Udara di dalam retort harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan membuka katup venting sampai suhu di titik terdingin mencapai 105° C. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa tidak terdapat udara di dalam ruang pemanasan yang dapat mengganggu aliran panas dari uap jenuh. Setelah retort mencapai suhu 105° C, katup venting ditutup dan retort dibiarkan mencapai suhu target. Waktu yang diperlukan retort untuk mencapai suhu tersebut dikenal dengan istilah venting time, sedangkan waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu target dikenal dengan istilah come-up-time. Waktu pemanasan, atau lebih dikenal dengan istilah waktu operator, dihitung sejak retort mencapai suhu target (Fields, 1990). Selama dan pada akhir proses pemanasan, tekanan dalam kaleng meningkat (Fields, 1990). Proses pendinginan mengakibatkan penurunan signifikan terhadap tekanan kaleng. Kondisi ini memungkinkan masuknya air pendingin ke dalam kaleng. Karena itu perlu dipastikan air pendingin sesteril mungkin. Untuk produk yang menggunakan kaleng berdiameter besar dan/atau yang dipanaskan dalam hydrostatic cooker, proses pendinginan harus dilakukan di bawah tekanan untuk mencegah penggembungan yang menyebabkan buckling. Suhu produk idealnya mencapai 70-80° F (21-27° F) pada akhir tahap pendinginan (Pearson dan Tauber, 1984).
13
3. Perhitungan Kecukupan Panas dan Perancangan Jadwal Proses Tingkat sterilitas produk merupakan pertimbangan utama dalam menentukan kombinasi suhu dan waktu pemanasan. Semakin tinggi tingkat sterilitas, produk yang dihasilkan semakin aman. Akan tetapi, di sisi lain faktor ekonomi dan degradasi mutu produk menjadi pembatas. Karena itu, perlu dilakukan optimasi proses pemanasan yang dapat memberikan jaminan keamanan produk tanpa overprocessing (Sharma et al, 2000). Evaluasi kecukupan proses pemanasan melibatkan dua rangkaian parameter, yaitu kinetika pemusnahan mikroba dalam produk dan karakteristik penetrasi panas dari sistem pemanasan yang digunakan (Sharma et al, 2000). Kedua parameter tersebut akan berbeda untuk setiap jenis produk dan sistem pemanasan yang digunakan. Kinetika pemusnahan mikroba oleh panas merupakan fungsi dari waktu, suhu, serta jumlah mikroorganisme awal dalam produk. Parameter yang digunakan dalam hal ini antara lain nilai D, nilai z, lethal rate (Lr), dan nilai letalitas (Fo). Nilai D adalah waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah mikroba sebesar 10 fold (1 siklus log, atau 90%) pada suhu tertentu, sedangkan nilai z adalah perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 10 fold. Lethal rate (Lr) merupakan waktu pemanasan pada suhu 250° F (121° C) yang menghasilkan efek pemusnahan yang ekuivalen dengan pemanasan 1 menit pada suhu proses, sedangkan nilai sterilitas (Fo) adalah waktu pemanasan pada suhu 250° F (121° C) yang ekuivalen dengan pemanasan selama proses. Kinetika pemusnahan mikroba ini bersifat spesifik untuk setiap jenis mikroba. Penentuan nilainya bergantung pada mikroba target, yaitu mikroba paling tahan panas yang terdapat dalam produk (Sharma et al, 2000). Parameter yang kedua, yaitu karakteristik penetrasi panas, mencakup parameter respon suhu (fh) dan lag factor (jh). Nilai fh menunjukkan kecepatan panas berpenetrasi ke dalam produk selama proses pemanasan, sedangkan nilai jh menunjukkan waktu kelambatan sebelum kecepatan penetrasi panas mencapai fh (Sharma et al, 2000). Karakteristik penetrasi panas ini diperoleh melalui evaluasi penetrasi panas dalam produk, yang akan menghasilkan profil hubungan suhu dan waktu selama proses pemanasan. Pengukuran suhu produk dilakukan pada titik terdingin (coldest point atau slowest heating point), untuk memberikan jaminan bahwa suhu yang terukur sudah tercapai pada semua titik. Titik terdingin berbeda untuk setiap jenis produk, di mana umumnya untuk produk cair (perambatan panas secara konveksi) titik terdingin terletak di tengan bagian pada ketinggin 1/3 dari tinggi kaleng diukur dari dasar, sementara untuk produk padat (perambatan panas secara konduksi) titik terdingin terletak tepat di tengah dimensi kaleng (Kusnandar et al, 2009). Terdapat dua metode yang secara luas digunakan dalam menganalisa kecukupan panas, yaitu metode umum (menggunakan grafik) dan metode formula. Metode umum merupakan yang pertama dikembangkan dalam perhitungan proses termal. Dibanding metode formula, metode umum lebih teliti, karena itu umumnya digunakan dalam evaluasi proses panas yang telah dilakukan. Akan tetapi metode ini sulit digunakan dalam perancangan proses. Karena itu dalam perancangan proses umumnya digunakan metode formula yang menggunakan beberapa parameter penetrasi panas seperti yang telah disebutkan di atas (Toledo, 1991). Metode formula yang digunakan dalam hal ini adalah metode Ball.
14
Perhitungan nilai Fo dengan metode umum dilakukan dengan integrasi lethal rate selama proses pemanasan terhadap waktu, seperti yang disajikan dalam persamaan 2 dan 3. Aplikasi perhitungan integral menggunakan spreadsheet (misalnya Microsoft Office Excel) dilakukan dengan metode trapesium. Nilai F parsial dihitung sebagai luas bidang trapesium pada grafik lethal rate vs. waktu dengan interval waktu tertentu, seperti disajikan dalam persamaan 3. Nilai sterilisasi total diperoleh dari hasil penjumlahan nilai Fo parsial selama proses pemanasan (Subarna et al, 2008).
Lr = 10 Fo =
(T-T ref ) z
(2)
t L .dt to r
Fo parsial =
(3) L r n + L r n−1
x Δt
2
(4)
Keterangan : T = suhu proses (° C) Tref Lr Fo z Lr(n) Lr(n-1) ∆t
= suhu referensi, biasanya digunakan 121° C = lethal rate = nilai sterilitas = waktu yang diperlukan untuk menurunkan nilai D sebesar 1 siklus log = lethal rate pada menit ke-n, dihitung dengan persamaan 1 = lethal rate pada menit sebelumnya, dihitung dengan persamaan 1 = interval waktu
Untuk perhitungan proses termal menggunakan metode formula, data penetrasi panas diplotkan ke dalam grafik t vs. (Tr-T), dengan sumbu y (Tr-T) menggunakan skala logaritma. Plot kurva ini kemudian diputar 180°, sehingga akan tampak seperti Gambar 7. Berdasarkan grafik yang dibentuk dari fase linier, diperoleh persamaan umum seperti disajikan dalam persamaan 5 dan 6. − t f h
Tr − T = Tr − Tpih . 10
log Tr − T = log Tr − Tpih −
(5) t fh
(6)
Keterangan : Tr = suhu retort T = suhu akhir produk Tpih = suhu awal semu produk (pseudo initial heating) t = waktu pemanasan fh = waktu yang dibutuhkan garis linier untuk menempuh 1 siklus log (menit)
15
1
10 Tr-T (° F)
Tr-Ti 100 Tr-Tpih Ball
fh
Tr-Tpih
1000 -10 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 t (menit) 0.58 CUT
Gambar 7. Contoh plot data penetrasi panas Persamaan tersebut dapat diperoleh secara otomatis menggunakan spreadsheet seperti Microsoft Office Excel, dengan bentuk berbeda, yaitu sebagai berikut (persamaan 7). y = a. e−bx
(7)
Log y = Log a − b. Log e . x
(8)
Dengan demikian, (Tr-T) = y (Tr-Tpih) = a fh = 1/(b.log e). t =x Metode Ball menggunakan asumsi bahwa retort mencapai suhu proses pada 0.58 come-up-time dan tidak ada proses pemanasan sebelum itu. Dengan demikian to dimulai pada 0.58 come-up-time (tc), dan waktu proses Ball adalah 0.42 tc ditambah waktu operator (waktu sejak retort mencapai suhu proses sampai dimatikan, tp). Penyesuaian persamaan (6) dengan metode Ball menghasilkan persamaan (9). Nilai (Tr – Tpih Ball) diperoleh dari persamaan (6) saat t = to, seperti tampak pada persamaan (10). Nilai Jh diperoleh dengan membagi (Tr-Tpih Ball) dengan (Tr-Ti) atau Ih, sehingga bentuk persamaan umum tampak pada persamaan (12) dan (13). Variabel g atau (Tr-TB) menunjukkan perbedaan suhu retort dan suhu produk di akhir pemanasan (waktu Ball), yang secara teoritis tidak akan mencapai angka nol. Nilai Log g digunakan untuk menentukan nilai (fh/U) dengan grafik atau Tabel log g vs. (fh/U) yang diperoleh dari Lopez (1981). Nilai fh/U ini selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai Fo pemanasan dengan persamaan (14). Nilai Fo yang diperoleh dari metode Ball kemudian diverifikasi dengan nilai Fo yang diperoleh dengan metode grafik.
16
log (Tr − TB ) = log Tr − Tpih
t
Ball
− fB h
t
log Tr − Tpih Ball = log Tr − Tpih − fo
h
Jh =
(T r −T pih Ball ) (T r −T i )
Fo =
(10)
(11)
log Tr − TB = log[ Jh (Tr − Ti )] − log g = log[ Jh . Ih ] −
(9)
tB fh
tB fh
fh x Lr f ( h U)
(12)
(13)
(14)
Keterangan : TB = suhu maksimum produk pada akhir pemanasan tB = waktu pemanasan Ball Ti = suhu awal produk Ih = perbedaan suhu retort dan suhu awal produk = (T r-Ti) g = perbedaan suhu akhir produk dengan suhu medium pemanas = (T r - TB) U = nilai sterilitas = Fo/Lr (Subarna et al, 2008). Perancangan jadwal proses dilakukan berdasarkan nilai fh dan Jh yang diperoleh dari evaluasi penetrasi panas. Kedua variabel tersebut dapat digunakan untuk produk yang sama dengan dimensi kemasan yang sama, dalam suhu proses (T r) yang berbeda (Sharma et al, 2000). Waktu proses Ball ditentukan dengan persamaan (16), dengan terlebih dahulu menentukan nilai log g dari nilai (fh/U) yang diperoleh dari persamaan (15). fh
U =
fh x Lr Fo
t B = fh x (log Jh Ih ) − (log g)
(15) (16)
(Subarna et al, 2008).
D. PENGALENGAN PRODUK BERBASIS DAGING Produk berbasis daging umumnya berasam rendah, karena itu umumnya proses termal yang diterapkan adalah sterilisasi komersial dengan suhu sekitar 215-225° F. Proses ini memungkinkan dihasilkannya produk siap makan (ready to eat) yang dapat disimpan pada suhu ruang (self-stable food). Terdapat pula beberapa produk berbasis daging yang hanya melalui proses pasteurisasi pada suhu minimum 150° F, yang harus melalui rantai dingin selama distribusi dan disimpan pada suhu refrigerator. Pemanasan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan
17
perubahan signifikan pada flavor, tekstur, dan warna, yang merupakan fungsi dari suhu dan waktu pemanasan (Pearson dan Tauber, 1984). Pemanasan daging dalam kaleng pada suhu lebih tinggi dari 125° C dapat menyebabkan gelatinisasi kolagen, karena itu dapat memodifikasi karakter produk daging yang kaya kolagen (Thippareddi dan Shancez, 2006). Material kaleng yang biasa digunakan dalam pengalengan produk daging biasanya berupa pelat baja berlapis timah. Pelapisan timah dilakukan dg tujuan : (a) melindungi permukaan baja dari pengkaratan akibat reaksi dengan bahan pangan; (b) sebagai medium dalam proses soldering untuk melekatkan pelat kaleng. Bagian dalam kaleng juga biasanya dilapisi dengan bahan organik untuk mencegah interaksi antara bahan pangan dengan metal. Lapisan organik yang biasa digunakan dalam pengalengan produk pangan antara lain lapisan resisten asam (acid-resistant) dan resisten sulfur (sulfur-resistant). Produk daging menggunakan lapisan sulfur-resistant untuk mencegah interaksi antara lapisan timah dengan sulfur yang dilepas dari protein selama pemanasan yang dapat menimbulkan warna hitam pada produk. Untuk produk padat yang sulit dikeluarkan, kaleng juga biasanya dilapisi dengan lapisan pelicin (release agent) (Pearson dan Tauber, 1984). Masalah dalam pengalengan daging biasanya lebih akut karena produk daging merupakan produk berasam rendah (low-acid food). Pertumbuhan mikroorganisme pembusuk pada produk daging menimbulkan penyimpangan warna, bau, dan flavor. Mikroorganisme patogen yang menjadi perhatian utama dalam produk berbasis daging antara lain Eschericia coli O157:H7, Salmonella spp., Listeria monocytogenes, Staphyllococcus aureus, Clostridium perfringens, serta Clostridium botulinum (Thippareddi dan Sanchez, 2006). Berkaitan dengan hal ini, USDA-FSIS menetapkan standar pelaksanaan (performance standards) proses pemanasan untuk produk proses termal, yaitu produk dikemas secara hermetis dan dipanaskan secara steril komersial untuk menurunkan level C. botulinum minimal 12 siklus D (Hariyadi, 2008, Thippareddi dan Sanchez, 2006). Selain C. botulinum, kelima mikroorganisme lainnya merupakan mikroorganisme aaerobik yang tidak terlalu dihawatirkan keberadaannya dalam makanan kaleng yang diproduksi secara optimal. Untuk menjamin keamanan produk, sebelum produk didistribusikan, diambil beberapa sampel dari masing-masing lot dan masing-masing batch untuk disimpan pada suhu 95±2° F selama 10-30 hari. Pada akhir waktu inkubasi, produk dievaluasi apakah terjadi kebusukan akibat proses pengalengan yang kurang optimum. Jika tidak ditemukan kebusukan dalam sampel-sampel yang dievaluasi, produk dalam lot yang bersangkutan diizinkan untuk didistribusikan (Pearson dan Tauber, 1984). Kondisi penyimpanan produk daging dalam kaleng sebaiknya disimpan dalam ruang dingin dan kering, karena suhu dan kelembaban akan mempengaruhi mutu selama penyimpanan. Kelembaban relatif (RH) harus tidak lebih dari 30-40% untuk mencegah pengkaratan. Suhu ruang penyimpanan sebaiknya di bawah 70° F (21° C), karena suhu lebih dari itu akan mempercepat kecepatan degradasi komponen produk sehingga mengurangi umur simpan. Produk daging dalam kaleng yang disimpan dalam kondisi ini dapat bertahan selama 4-5 tahun dengan mutu sensori yang masih dapat dipertahankan (Pearson dan Tauber, 1984).
18