TINJAUAN PUSTAKA A. Keju Keju adalah salah satu bentuk produk pangan hasil olahan dari susu. Prinsip pembuatannya secara umum adalah penggumpalan kasein dari susu, walaupun ada sebagian kecil yang dibuat dengan menggunakan protein whey.
Kasein dapat
dipretipitasi dengan menurunkan pH hingga mencapai titik isoelektriknya dengan menggunakan asam. Selain itu, kasein juga dapat dikoagulasi dengan menghidrolisa kappa-kasein, yaitu fraksi kasein yang stabil, dengan menggunakan enzim koagulan rennin atau yang sejenis (Campbell & Marshall 1975). Codex Alimentarius International Standard menyebutkan definisi tentang keju (Gillis 2000). Menurut standar tersebut, keju adalah produk segar atau dimatangkan (ripened) dengan konsistensi padat atau semi padat yang rasio serum protein dibanding kaseinnya tidak melebihi yang terdapat dalam susu yang dihasilkan dengan : a) Koagulasi menyeluruh atau sebagian dari bahan baku berikut ini : susu, susu skim, susu skim parsial, krim, krim whey atau susu mentega (buttermilk), yang digunakan sendiri-sendiri atau sebagai bagian dari suatu kombinasi, dengan menggunakan rennet atau bahan koagulasi lain yang sesuai dan dengan pemisahan parsial whey yang dihasilkan dari koagulasi tersebut dan/atau b) Menggunakan teknik manufaktur untuk mengkoagulasi susu dan/atau bahan baku yang berasal dari susu dalam rangka menghasilkan suatu produk akhir dengan karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik yang mirip seperti produk-produk yang didefinisikan pada poin a). Klasifikasi keju dapat dibuat berdasarkan negara asal, proses pembuatan atau beberapa sifat kegunaannya. (Gunasekaran & Mehmet 2003). Klasifikasi secara lebih luas, keju dapat dikelompokkan menjadi keju natural dan keju olahan (Langhus 1974). Keju natural dengan jenis dan variasi yang begitu banyak menyebabkan klasifikasinya begitu rumit. Pembagiannya dapat didasarkan pada tingkat kekerasan, karakteristik pemeraman, dan kadar air (Galloway & Grawford 1985). Keju cheddar, misalnya, adalah keju yang berasal dari sebuah desa bernama Cheddar di Inggris. Keju ini termasuk tipe keju yang keras dengan kelompok kadar air antara 35 – 45 persen dan
karaktersitik pemeramannya yaitu dengan bakteri dan tekstur tertutup (tanpa lubang) (Galloway & Grawford 1985). B. Keju olahan Bahan baku utama untuk membuat keju olahan adalah keju. Untuk membedakannya dengan keju olahan, maka keju tersebut sering disebut sebagai keju natural. Dalam sejarahnya pada akhir abad 19, keju telah berkembang secara industri di wilayah Eropa Barat, Amerika Utara, dan Australia. Pada waktu itu masih sulit untuk melakukan ekspor ke negara beriklim panas karena keawetannya yang rendah. Sebelum tahun 1900, produsendari Jerman dan Belanda mengatasi masalah tersebut dengan membungkus keju lunak (keju camembert) dan agak keras di dalam kotak kaleng yang dipanaskan secara pasteurisasi. Sayangnya proses tersebut tidak dapat digunakan untuk keju yang keras seperti keju Emmental karena merusak struktur keju hingga air dan lemaknya terpisah (Berger et al. 2002; Chambre & Daurelles 2000) Pada tahun 1911, pembuat keju dari Swiss W. Gerber dan F. Settler berhasil mengatasi masalah tersebut dengan mencampurkan natrium sitrat sebagai garam pengemulsi dengan keju Emmental dan/atau Gruyere yang dengan pemanasan dan pengadukan akan menghasilkan massa yang homogen sebagai “sol” dan bila didinginkan akan mengeras membentuk ‘gel” yang homogen. Produk yang dihasilkan mempunyai rasa yang memuaskan dan daya tahan simpan yang baik. Keju inilah yang sekarang dikenal sebagai keju olahan. (Chambre & Daurelles 2000; Berger et al. 2002). Pada tahun 1917, perusahaan Amerika menggunakan larutan campuran sitrat dan orthofosfat pada pembuatan keju cheddar olahan yang memungkinkan pengembangan lebih luas pada produk keju olahan di Amerika.. Dilanjutkan dengan penggunaan natrium polifosfat pada tahun 1930, maka keju olahan dapat dibuat dari keju masak yang dipres sehingga dapat diteruskan dengan pengembangan yang ekstensif dari keju olahan (Chambre & Daurelles 2000 ; Berger et al. 2002). Menurut Campbell dan Marshall (1975), keju olahan dibuat dengan menggiling, memanaskan, dan mencampurkan keju-keju tipe keras, kemudian
mengemulsikannya (membentuknya menjadi emulsi), dengan menambahkan tidak lebih dari 3 persen garam anorganik, biasanya sodium sitrat dan sodium fosfat. Keju segar (muda, hijau, atau baru) biasanya dicampur dengan keju yang telah matang atau tua untuk mendapatkan keju olahan dengan flavor dan aroma sesuai dengan yang dikehendaki. Campuran tersebut biasanya terdiri atas satu, dua, atau lebih macammacam keju asli (keju natural) dan biasa pula berisi pimento, buah-buahan, sayuran, atau daging. Palumbo (1972) menyebutkan bahwa campuran keju asli yang dapat digunakan dapat mempengaruhi keju olahan yang dihasilkan.
Keju muda (kurang dari satu
minggu) tidak dapat stabil pada saat pemanasan. Lemak akan terpisah sewaktu keju ini dipanaskan. Protein yang dapat larut dalam air pada keju muda hanya terdapat sedikit saja. Kalau terlalu banyak keju muda digunakan, tekstur tubuh (body) keju olahan yang dihasilkan akan seperti karet (rubbery) dan keras (firm). Keju tua lebih banyak mengandung protein yang dapat larut air. Bila keju tua digunakan terlalu banyak, maka body keju olahan yang dihasilkan akan lembek (weak body) dan memiliki tekstur berbutir (grainy texture). Keju tua mempunyai flavor yang lebih kuat dan tajam dibanding keju muda. Jadi, komposisi keju muda dan tua harus diatur sedemikian rupa supaya keju olahan yang dihasilkan mempunyai flavor dan tekstur sesuai yang dikehendaki. Produk keju olahan yang dihasilkan berbentuk homogen, stabil, dan tahan lama. Beberapa keuntungan membuat keju olahan menurut Chambre dan Daurelles (2000) adalah : - Produk yang distabilkan dengan pemanasan menjadi tahan lama dan dapat dipasarkan pada cuaca yang panas. - Produk mempunyai rasa yang lembut. - Produk memiliki nilai gizi yang tinggi karena bahan bakunya yang berasal dari susu. - Produk dapat dibuat menjadi berbagai bentuk, kegunaan, dan aroma. Produk dapat dikonsumsi setiap saat, pada hari panas ataupun dingin, untuk snack, olesan atau dimasak.
Pemilihan bahan baku keju natural yang baik merupakan hal yang penting untuk menghasilkan keju olahan berkualitas baik. Di beberapa negara, pembuatan keju olahan dilakukan dengan menggunakan hanya satu jenis keju dengan berbagai tingkat kematangan. Diantaranya yang paling banyak digunakan adalah keju cheddar di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia; keju gruyere dan mozzarella di Amerika dan Kanada; dan keju emmental di Eropa Barat. Namun demikian, keju olahan secara umum dibuat dari campuran beberapa jenis keju natural. Keju natural yang digunakan dapat berbeda dalam hal jenis, flavor, tingkat kematangan (umur), tekstur, dan keasaman. (Chambre & Daurelles 2000). Menurut standar USFDA (United States Food and Drug Administration), keju olahan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu : •
Process cheese, yang mengandung hanya keju dan garam pengemulsi dan kadar airnya tidak boleh melebihi 43 persen dan kandungan lemaknya tidak kurang dari 47 persen (berat kering).
•
Process cheese food, mengandung bahan-bahan susu lain selain keju dan kadar airnya tidak boleh lebih dari 44 persen dan kadar lemaknya tidak kurang dari 27 persen. Kandungan bahan kejunya tidak boleh kurang dari 51 persen dari produk.
•
Processed cheese spread, yang dapat dioles pada suhu kamar dan kadar airnya harus lebih dari 44 persen tapi kurang dari 60 persen. Sedikitnya 51 persen produknya berupa bahan keju. Selain bahan-bahan susu, pada produk ini dapat digunakan bahan pengkondisi (<0,8 persen) berupa aneka gum.
Bahan
pemanis dan bahan pengasam dapat digunakan. Produk mempunyai pH tidak kurang dari 4,0. •
Processed cheese product, mengandung kurang dari 51 persen bahan keju dan kadar air maksimum 60 persen.
Menurut Codex Alimentarius International Standard ada 3 kategori produk keju olahan, yaitu : 1. Named variety process(ed) cheese and spreadable process(ed) cheese; jika nama jenis (variety) keju tertentu digunakan dalam nama produk keju
olahan maka jenis keju olahan tersebut harus megandung minimum 75 persen jenis keju yang digunakan. Kandungan lemak dalam berat kering bergantung pada kandungan padatan kering yang digunakan. 2. Process(ed) cheese and spreadable process(ed) cheese; pada kategori ini boleh menambahkan bahan-bahan produk susu selain krim, mentega, dan minyak mentega.
Standar untuk kandungan lemak dalam berat kering
bergantung pada kandungan padatan kering yang digunakan. 3. Process(ed) cheese preparation (Process(ed) cheese food and process(ed) cheese spread); pada kategori ini dibolehkan menambahkan gula dari berbagai jenis karbohidrat pemanis. Standar untuk kandungan lemak dalam berat kering bergantung pada kandungan padatan kering yang digunakan. Minimal 51 persen dari padatan kering produk akhirnya harus berasal dari keju. C. Proses termal Proses termal merupakan suatu cara yang sangat lazim digunakan dalam pengawetan pangan. Dengan cara ini, pangan diberi perlakuan panas yang cukup untuk menghancurkan mikroorganisma patogen dan atau pembusuk, zat anti nutrisi, dan enzim yang dapat menyebabkan kerusakan pangan. Blanching yang lebih cenderung digunakan sebagai perlakuan pemanasan awal lebih bertujuan untuk menghilangkan aktivitas enzim dalam sayuran dan buah-buahan sebelum pengolahan lebih lanjut. Umumnya, metode pemanasan blanching dikombinasi dengan proses lanjutan seperti sterilisasi, pengeringan, dan pembekuan. (Fellows 2000). Sterilisasi adalah suatu unit operasi yang dilakukan dengan pemanasan pada suhu yang cukup tinggi dan dengan waktu yang cukup untuk menghancurkan mikroba dan menghilangkan aktivitas enzim. Tinjauan tentang teori dan metode untuk menentukan kecukupan pemanasan telah ditulis oleh Stumbo (1973).
Sterilisasi komersial yang dilakukan untuk
mendestruksi spora Clostridium botulinum pada makanan kaleng yang dipanaskan dalam retort memerlukan waktu selama 3 – 6 menit pada suhu 250o F (121o C).
Dalam praktek, proses termal yang setara atau lebih besar dari Fo 3 menit dilakukan dalam pemasak atau retort bertekanan di atas tekanan atmosfir (David et al. 1996). Pemanasan pada keju olahan dapat dilakukan dengan menggunakan proses sterilisasi maupun pasteurisasi (Zehren & Nusbaum 2000). Pasteurisasi adalah perlakuan panas yang relatif ringan, dimana pangan dipanaskan pada suhu di bawah 100 oC. Untuk pangan asam rendah (pH>4,5), pasteurisasi digunakan untuk meminimalkan bahaya kesehatan dari mikroorganisma patogen dan untuk memperpanjang umur simpan pangan hingga beberapa hari. Dalam pangan yang asam (pH<4,5), pasteurisasi digunakan untuk memperpanjang umur simpan hingga beberapa bulan dengan menghancurkan mikroorganisma pembusuk dan menginaktifkan enzim. Pada kedua jenis pangan tersebut, perubahan karakter sensorik dan nilai nutrisinya minimal (Fellows 2000). Menurut Frazier dan Westhoff (1978) proses pasteurisasi digunakan pada pengolahan pangan dengan kondisi sebagai berikut : 1. Bila pemanasan yang lebih tinggi dapat merusak kualitas produk. 2. Bila tujuannya untuk membunuh patogen. 3. Bila mikroorganisma pembusuk yang utama tidak terlalu tahan panas. 4. Bila mikroorganisma pembusuk yang tahan hidup setelah pasteurisasi akan dikendalikan dengan metode pengawetan tambahan seperti : pendinginan, mengemas produk dalam wadah tertutup rapat agar tidak dimasuki mikroorganisma, menjaga agar kondisinya tetap anaerob dengan vakum dan wadah tertutup rapat, penambahan gula dengan konsentrasi tinggi, dan dengan adanya atau penambahan bahan pengawet kimiawi. 5. Bila mikroorganisma yang berkompetisi akan dibunuh dengan melakukan fermentasi
yang
dikehendaki,
biasanya
dengan
menambahkan
mikroorganisma starter.
Kebanyakan enzim lipase yang terdapat dalam susu dapat diinaktifasi dengan pemanasan, walaupun beberapa diantaranya, terutama yang berasal dari bakteri psikrotropik tahan terhadap pemanasan tradisional dan tetap aktif setelah pemanasan
yang dapat membunuh bakteri. Akibatnya, kerusakan flavor dapat terjadi dalam produk susu (Bendicho et al. 2001). Pada pemanasan pasteurisasi 75 ºC selama 20 detik tidak terjadi inaktifasi enzim lipase secara signifikan atau hanya 25 persen penurunan yang terjadi pada suhu 63 ºC selama 30 menit. Untuk menginaktifkan seluruhnya perlu pemanasan 90 ºC selama 5 menit (Bendicho et al. 2001). Beberapa bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi keju setelah dipasteurisasi adalah Lysteria monocytogenes, Salmonella sp., Staphylococcus aureus, dan E. Coli O157:H7 (Glass & Doyle 2005). Pada keju olahan pasteurisasi, pemanasan minimal yang diwajibkan adalah 150 o
F (65,6 oC) selama tidak kurang dari 30 detik (FDA, 21 CFR, Part 133), sedangkan
menurut International Codex Alimentarius Standards pemanasannya harus dilakukan pada suhu 70 oC selama 30 detik atau ekivalen dari kombinasi waktu dan suhu lainnya. Penentuan
suhu
tersebut
dengan
menetapkan
mikroorganisma
yang
dapat
mengkontaminasi produk setelah pasteurisasi, yaitu Salmonella senftenberg yang mempunyai nilai D pada suhu referensi 65,6 oC sebesar 0,56 menit dan nilai z = 4,4 oC (ICMSF 1996). Selain untuk keperluan mikrobiologis, ada tiga hal yang menyebabkan perlunya pemanasan dalam keju olahan, yaitu untuk proses kimia-fisik dalam hal pelelehan yang homogen, untuk terjadinya fenomena “creaming” yang menentukan struktur yang dikehendaki, dan untuk memperpanjang umur simpan (Berger et al. 2002). Menurut Palumbo (1972), suhu pemanasan dapat mempengaruhi kekerasan keju.
Keju yang dipanaskan pada suhu 71 oC lebih keras dibandingkan 65 oC.
Pemanasan juga menyebabkan bertambahnya air terikat dalam keju olahan. Pelelehan keju yang homogen hanya dapat terjadi dengan pemanasan pada suhu 70 – 75 oC. Selain pemanasan, pengadukan mekanis dan perubahan kimiawi dalam keju olahan dapat membantu kecenderungan kasein untuk menyerap air dan meleleh. Peristiwa ini disertai dengan terjadinya pemendekan struktur dan pengerasan tekstur yang dikenal sebagai fenomena “creaming” yang semakin meningkat dengan bertambahnya suhu di atas 70 oC hingga 90 oC. Proses ini bisa dikehendaki atau tidak
dikehendaki tergantung hasil yang dibutuhkan. Pada suhu di atas 100 oC, keju yang meleleh menunjukkan penurunan viskositas yang nyata (Berger et al. 2002). Semua produk-produk keju pada dasarnya adalah emulsi O/W (minyak dalam air), yaitu emulsi yang memiliki butiran minyak yang terdispersi dalam fase air (Shimp 1985; McClements 1999). Suhu dapat mempengaruhi ukuran butiran minyak yang dihasilkan selama homogenisasi. Pemanasan dapat membantu terbentuknya butiran minyak yang kecil. Keju natural merupakan emulsi yang hampir sempurna, yang distabilkan secara natural oleh protein keju (Ellinger 1972; Scharpf 1970; Webb et al. 1974 diacu Shimp 1985). Dengan suhu pasteurisasi, protein tersebut terdenaturasi dan menyebabkan tekstur yang tidak baik dan atau pemisahan minyak. Untuk menghindari kerusakan protein tersebut, digunakan garam pengemulsi yang dapat meningkatkan fungsi protein. Keju terdiri atas fase minyak dan fase air. Fase minyak berupa lemak dan substansi larut minyak, sedangkan fase air berupa larutan yang sebagian besar mengandung protein larut air dan mineral. Kedua fase diemulsifikasi oleh protein yang dapat menurunkan tegangan permukaan, yaitu protein yang dapat larut dalam fase minyak dan fase air, yang cenderung berkumpul diantara kedua fase. Protein dalam keju yang berperan penting untuk membentuk struktur dan emulsifikasi adalah kasein dan fragmennya. Pada sebagian besar tipe kasein, salah satu ujung pada bagian protein kasein mengandung kalsium fosfat dan bersifat polar sementara ujung lainnya adalah organik dan nonpolar secara alami. Ujung fosfat bersifat larut air, sedangkan ujung organik bersifat larut minyak sehingga protein ini dapat mempunyai kemampuan emulsifikasi (Shimp 1985). Pemanasan cenderung merusak protein dan menurunkan kemampuan emulsifikasinya. Untuk mengendalikan emulsifikasi secara efektif dapat digunakan garam-garam pengemulsi. Garam pengemulsi berfungsi untuk menstabilkan produk, agar lemak tidak terpisah, dan meningkatkan kehalusan body dan tekstur. Sitrat dan fosfat memecah ikatan peptida pada protein, atau melarutkan protein, meningkatkan daya emulsi protein dan memperbaiki tekstur keju (Palumbo 1972).
D. Parameter Mutu Keju Olahan Keju terutama dipakai karena nilai organoleptik keju dalam penggunaannya dengan bahan pangan lain.
Namun demikian, keju juga dapat memberikan nilai
fungsional dan nilai gizi. Spesifikasi mutu dari USDA (United States Department of Agriculture) menetapkan bahwa rata-rata umur keju yang digunakan dalam campuran harus sedemikian rupa hingga dapat menghasilkan flavor, tubuh (body), tekstur, warna, dan penampakan yang diinginkan pada produk akhir.
Selain itu, USDA juga
mensyaratkan kadar air, kadar lemak, kadar garam, dan pH untuk keju olahan sesuai dengan kategorinya (Zehren & Nusbaum 2000). Pada penggunaan tertentu, keju olahan juga mempunyai parameter mutu dari kemampuannya meleleh. Uji daya leleh dapat dilakukan dengan uji pelelehan Schreiber (Kosikowski 1977, diacu dalam Zehren & Nusbaum 2000). Pada uji Schreiber, keju dipotong berbentuk silinder dengan diameter 39,5 mm dan ketebalan 3
/16 inch Keju tersebut diletakkan dalam cawan petri berukuran 15 x 100 mm dengan
penutupnya dan dipanaskan dalam oven bersuhu 232 oC selama 5 menit. Pelelehan keju yang dihasilkan diukur dengan menggunakan lembaran skor yang ada 11 lingkaran di dalamnya. Diamater masing-masing lingkaran berjarak 3,25 mm mulai dari diameter sampel.
Semakin melebar pelelehannya, maka semakin besar skor
pelelehan yang dihasilkan. Salah satu parameter yang utama bagi keju adalah tekstur. Penampakan menyeluruh dan rasa di mulut (mouthfeel) pada keju lebih dihargai dibanding flavornya (Lawrence et al. 1987). Berbagai istilah yang berbeda digunakan untuk mendeskripsikan tekstur keju.. Misalnya melar (stretchy) atau “seperti benang” (stringy) untuk keju mozarella, “mudah hancur” (crumbly) untuk keju parmesan. Salah satu istilah sensorik yang digunakan Hort dan Grys (2001) adalah kekerasan (firmness) yaitu yang menunjukkan gaya yang dibutuhkan untuk menekan keju dengan menggunakan jari tangan. Menurut Carpenter et al. (2000), ada tiga karakteristik sensorik yang utama dalam pangan yaitu penampakan, tekstur, dan flavor.
Karakteristik penampakan
dinilai dengan menggunakan indra penglihatan saja, sedangkan untuk penilaian karakteristik tekstur dan flavor melibatkan beberapa indra sensorik yang berbeda.
Untuk penerimaan konsumen, flavor adalah atribut yang paling penting diikuti oleh tekstur dan penampakan (Moskowitz & Krieger 1995) Tekstur adalah atribut suatu substansi yang dihasilkan dari kombinasi keadaan fisik dan persepsi oleh indra peraba (termasuk kinesthesia dan mouthfeel), penglihatan dan pendengaran. Keadaan fisik dapat berupa ukuran, bentuk, jumlah, kondisi alami dan konformasi dari elemen-elemen konstituen pembentuk struktur. Peranan tekstur dalam menentukan kualitas produk tergantung jenis pangan yang dinilai.
Bourne (1982) mengklasifikasi karakteristik tekstur menjadi tiga
kelompok sebagai berikut : 1. Kritis : yaitu bagi pangan yang memiliki tekstur sebagai karakteristik mutu yang dominan; misalnya daging, keripik kentang, seledri. 2. Penting : yaitu bagi pangan yang memiliki kontribusi tekstur yang signifikan, tapi tidak dominan, bila dibandingkan dengan flavor dan penampakan ; misalnya buah-buahan, roti, dan gula permen. 3. Minor : yaitu bagi pangan yang memiliki kontribusi tekstur yang tidak berarti terhadap mutu keseluruhan : misalnya minuman dan sup yang encer.
Untuk mempermudah penilaian tekstur pangan, Szczesniak (1963) membuat skema klasifikasi tekstur. Tiga kategori dibuat untuk mengklasifikasi karakteristik tekstur, yaitu : 1. Karaketristik mekanik, yang berhubungan dengan reaksi pangan terhadap tekanan
(stress)
yang
terdiri
atas
parameter
primer
(kekerasan,
cohesiveness, viskositas, elastisitas, kelekatan (adhesiveness)), dan parameter sekunder (kerapuhan (brittleness), kekenyalan (chewiness), gummyness). 2. Karakteristik geometrik, yang berhubungan dengan ukuran, bentuk, dan arah partikel dalam pangan – misalnya, bersifat bubuk (powdery), seperti pasir (gritty), menggumpal, mengeras (flaky), berserat, berbentuk sel, berisi udara, berbentuk kristal. 3. Karakteristik lain, yang berhubungan dengan persepsi terhadap kandungan air dan lemak dalam pangan – misalnya kering, basah, berminyak.
Karena tekstur melibatkan beberapa atribut, maka wajar jika satu instrumen alat ukur tidak dapat mengukur semua atribut dari berbagai macam pangan atau bahkan hanya satu jenis pangan saja. Teknik pengukuran tekstur dapat dilakukan dengan cara subyektif atau menggunakan instrumen. Pengukuran secara subyektif atau evaluasi sensorik dapat dilaksanakan oleh panel tes terlatih, sedangkan dengan menggunakan instrumen dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu empirik, imitatif, dan fundamental. (Scott-Blair 1958).
Tidak satupun dari metode tersebut yang dapat
secara tepat mengukur tekstur pangan dengan baik. Penetrometer adalah salah satu contoh alat yang digunakan dalam pengukuran tekstur secara empirik. Tes penetrometer adalah semacam tes kompresi. Dalam tes ini, sebuah beban berbentuk kerucut dijatuhkan dari ketinggian tertentu ke atas produk. Kedalaman penetrasi kerucut tersebut diukur. Alat ini merupakan instrumen yang relatif sederhana dan murah yang telah digunakan untuk mengukur daya olesan (spreadability) dari mentega (Walstra 1980).