II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hidroponik Substrat Sistem hidroponik substrat merupakan metode budidaya tanaman dimana akar tanaman tumbuh pada media porus selain tanah yang dialiri larutan nutrisi sehingga memungkinkan tanaman memperoleh air, nutrisi, dan oksigen secara cukup. Kelebihan hidroponik jenis ini adalah dapat menyerap dan menghantarkan air, tidak mempengaruhi pH air, tidak berubah warna, dan tidak mudah lapuk (Ricardo, 2009). Pemberian nutrisi pada sistem hidroponik substrat biasanya dilakukan dengan irigasi tetes. Irigasi tetes adalah pemberian air irigasi dengan cara membasahi daerah sekitar tanaman atau daerah perakaran, yang bertujuan memenuhi kebutuhan air tanaman tanpa harus membasahi keseluruhan lahan, sehingga mereduksi kehilangan air akibat penguapan yang berlebihan dan efisiensi pemakaian air dapat mendekati 100% (Adirahardja, 1992). Menurut Davies (1974), dalam Adirahardja (1992) pemberian air dilakukan dengan mengunakan beberapa nozzle yang diletakkan di permukaan tanah dekat dengan perakaran tanaman, dengan head tekan yang kecil dan debit kurang dari sepertiga gallon per jam. Menurut Schwab et al, (1981) dalam Adirahardja (1992), sistem irigasi ini cocok untuk lahan perkebunan dengan pohon kecil dan ditanami dengan jarak yang lebar, lahan yang berlokasi di daerah kering (dataran rendah), pertanian dengan tanaman yang rentan terhadap kekurangan air dan bernilai ekonomi tinggi. Panen dapat meningkat karena kelembaban tanah di daerah perakaran dapat dikontrol agar konstan. Sistem di lapangan merupakan pengaturan fisik, untuk menyalurkan air dari sumber menuju lahan, melalui jaringan perpipaan. Menurut Jensen (1983) serta Benami dan Offen (1984), dalam Adirahardja (1992), komponen utama dari jarigan perpipaan pada irigasi meliputi lateral dan penetes dalam satu bagian mengaplikasikan pemberian air, saluran pembagi untuk memecahkan aliran menjadi sekumpulan lateral yang terkumpul dalam satu bagian, dan saluran utama untuk menghubungkan sumber air dengan saluran pembagi yang diletakkan di permukaan tanah. Penetes merupakan titik pemberian air pada tanah, beroperasi pada tekanan masukan yang rendah (kurang lebih sepuluh meter) dan debit keluaran yang kecil (2, 4, dan 8 liter per jam). Skema penggambaran umum sistem irigasi tetes dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema irgasi tetes (Samodra dan Chen, 2008)
3
B. Greenhouse Menurut Nelson (1978) dalam Haryanto (2010) greenhouse didefinisikan sebagai suatu bangunan yang memiliki struktur atap dan dinding yang bersifat tembus cahaya. Cahaya yang dibutuhkan oleh tanaman dapat masuk ke dalam rumah tanaman sehingga tanaman terhindar dari kondisi yang tidak menguntungkan. Selain itu, dengan pemakaian greenhouse maka suhu, kelembaban, cahaya, dan keperluan tanaman yang lain dapat diatur sehingga tanaman dapat ditanam sepanjang tahun. Greenhouse di daerah tropis didefinisikan sebagai rumah tanaman agar mencerminkan fungsinya sebagai bangunan perlindungan tanaman (Suhardiyanto, 2009). Greenhouse mengatasi pengaruh buruk iklim luar sehingga pengetahuan prinsip dasar perencanaan greenhouse membantu memanipulasi kondisi iklim luar agar sesuai dengan pertumbuhan tanaman. Didalam rumah tanaman, parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yaitu cahaya matahari, suhu udara, kelembaban udara, pasokan nutrisi, kecepatan angin, dan konsentrasi karbondioksida dapat dikendalikan dengan mudah. Penggunaan rumah tanaman memungkinkan dilakukannya modifikasi lingkungan yang tidak sesuai bagi pertubuhan tanaman menjadi lebih mendekati kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman (Suhardiyanto, 2009).
C. Arang Sekam Terdapat beraneka ragam media tanam untuk sistem hidroponik substrat, antara lain arang sekam, pasir, zeolit, rockwoll, gambut (peat moss), dan serbuk sabut kelapa. Syarat terpenting untuk media tanam hidroponik substrat adalah ringan dan porus. Setiap media tanam memiliki porositas yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media tanam untuk hidroponik substrat sebaiknya dipilih media tanam yang ringan dan memiliki porositas yang baik, salah satunya adalah arang sekam. Arang sekam, berasal dari sekam yaitu bagian dari bulir padi-padian (Serealia) berupa lembaran yang kering, bersisik, dan tidak dapat dimakan, yang melindungi bagian dalam yaitu endospermium dan embrio. Sekam dapat dijumpai pada hampir semua anggota rumputrumputan (Poaceae). Meskipun pada beberapa jenis Serealia ditemukan pula variasi bulir tanpa sekam misalnya jagung dan gandum. Dalam pertanian, sekam dapat dipakai sebagai campuran pakan, alas kandang, dicampur di tanah sebagai pupuk, dibakar, atau arangnya dijadikan media tanam. Ditinjau data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur kimia penting. Komposisi kimia sekam padi menurut Suharno (1979), dalam (Deptan, 2009): 1. Kadar air : 9.02% 2. Protein kasar : 3.03% 3. Lemak : 1.18% 4. Serat kasar : 35.68% 5. Abu : 17.17% 6. Karbohidrat dasar : 33.71 Komposisi kimia sekam padi menurut DTC - IPB, dalam (Deptan, 2009): 1. Karbon (zat arang) : 1.33% 2. Hidrogen : 1.54% 3. Oksigen : 33.64% 4. Silika : 16.98%
4
Sekam memiliki kerapatan jenis (bulk density) 1125 kg/m3, dengan nilai kalori 1 kg sekam sebesar 3300 Cal. Menurut Houston (1972), dalam (Deptan, 2009), sekam memiliki bulk density 0.100 g/ ml, nilai kalori antara 3300 -3600 Cal/kg sekam dengan konduktivitas panas 0.271 BTU. Arang sekam mempunyai karakteristik ringan (berat jenis 0.2 kg/l), kasar sehingga sirkulasi udara tinggi, kapasitas menahan air tinggi, berwarna hitam sehingga dapat mengabsorbsi sinar matahari dengan efektif. Rongganya banyak sehingga aerasi dan drainasenya baik, hal ini juga mempermudah pergerakan akar tanaman dalam media tanam tersebut. Arang sekam telah steril, karena saat pembuatannya sekam telah mendapat panas yang tinggi karena proses pembakaran sehingga tidak memerlukan desinfeksi dengan kemikalia apapun. Mempunyai daya melapuk lambat dan dianggap dapat bertahan kira-kira satu tahun sehingga dapat digunakan beberapa kali (Wuryaningsih, 2008). Arang sekam memiliki nilai permeabilitas sebesar 32.89 cm/jam (Patappa, 2001). Perbedaan fisik sekam padi dengan arang sekam, dapat dilihat masing-masing pada Gambar 2 dan 3.
Gambar 3. Arang sekam Gambar 2. Sekam padi
D. Plastik Polybag Polybag adalah suatu wadah penampung media tanam yang biasanya terbuat dari bahan polyethylene. Polyethylene merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110oC. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifatsifat mekaniknya yang baik, polyethylene mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang termoplastik, polyethylene mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1970) dalam (Nurminah, 2002). Polybag termasuk ke dalam kelompok polyethylene yang memiliki berat jenis ringan (Low Density Polyethylene), dengan densitas sekitar 0.915 sampai 0.939 g/cm3 (Hui, 1992) dalam (Nurminah, 2002). Menurut Christopher (1981) dalam Nurminah (2002) konduktivitas termal polyethylene adalah 0.046 W/mK. Polybag biasanya berwarna hitam, sehingga memerangkap panas dari lingkungan. Ukuran plastik polybag yang banyak dijual di pasaran antara lain 10 x 15 cm x 0,05 mm, 18 x 16 cm x 0,05 mm, 28 x 29 cm x 0,04 mm, 25 x 25 cm x 0,06 mm, 30 x 30 cm x 0,07 mm, 35 x 35 cm x 0,08 mm, 50 x 50 cm x 0,10 mm, dan 60 x 60 cm x 0,12 mm. Ukuran tersebut adalah ukuran ketika polybag dalam kondisi terlipat.
5
E. Pindah Panas Peristiwa pindah panas didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari satu daerah ke daerah lain sebagai akibat dari beda suhu dari daerah-daerah tersebut (Kreith, 1994). Pindah panas dapat terjadi secara konduksi, konveksi, dan radiasi.
a. Konduksi Konduksi adalah proses aliran panas dari daerah dengan suhu tinggi ke suhu rendah di dalam suatu medium (padat, cair, dan gas) atau antara medium-medium yang berlainan yang bersinggungan secara langsung (Kreith, 1994). Besaran perpindahan panas konduksi tergantung dari nilai konduktivitas panas suatu bahan. Menurut Holman et al (1997), jika suatu bahan terdapat gradien suhu maka terjadi perpindahan energi atau panas dari bagian yang bersuhu tinggi ke yang lebih rendah. Besarnya laju aliran panas dengan cara konduksi suatu bahan dinyatakan dalam: …………….……...……… (1) dimana, Qcond k T A
: panas konduksi (kJ) : koefisien pindah panas konduksi (W/m2.oC) : suhu (oC) : luas penampang (m2)
b. Konveksi Aliran fluida yang menyerap panas pada suatu tempat, lalu bergerak ke tempat lain dan bercampur dengan bagian fluida yang lebih dingin serta memberikan panasnya, disebut sebagai konveksi (Cengel dan Boles, 2003) Cengel dan Boles (2003) mengemukakan bahwa perpindahan panas konveksi berdasarkan cara menggerakkan alirannya diklasifikasikan menjadi dua cara yaitu, konveksi bebas (alami) dan konveksi paksa. Konveksi bebas terjadi karena adanya perbedaan bulk density yang disebabkan oleh perbedaan suhu, sedangkan konveksi paksa terjadi karena adanya gerak dari luar misalnya dari pompa atau kipas. Laju perpindahan panas konveksi dinyatakan dalam persamaan berikut: ……………………………... (2) dimana, Qconv : panas konveksi (kJ) h : koefisien pindah panas konveksi (W/m2.oC) T : suhu (oC) A : luas penampang (m2)
c. Radiasi Radiasi adalah proses dimana panas mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah bila benda-benda tersebut terpisah di dalam ruang, bahkan bila terdapat ruang hampa di antara benda-benda tersebut dan energi panas yang berpindah ini disebut panas radiasi (Kreith, 1994). Laju aliran panas suatu benda dengan cara radiasi, dihitung dengan menggunakan persamaan: …………….……………………(3) dimana, qr
: laju perpindahan panas radiasi (W)
6
: konstanta Stefant Boltzmann (5.67 x 10-8 W/m2K4) : emisivitas A T
: luas permukaan (m2) : suhu (oC)
F. Pressure Drop Setiap material memiliki tahanan terhadap udara, begitu pula arang sekam. Hubungan antara debit fluida yang dialirkan dengan perubahan tekanan dapat dijabarkan dengan menggunakan hukum Darcy Weisbach mengenai laju aliran fluida, yaitu: Q
...................................................................... (4)
dimana, k : permeabilitas (darcy) Q : laju aliran fluida (cc/s) : viskositas dinamik : gradien tekanan dalam aliran (atm/cm) A : luas penampang (cm2)
G. Dasar-dasar Simulasi Menurut Syamsa (2003) dalam Haryanto (2010) simulasi komputer adalah usaha mengeksplorasi model-model matematika dari suatu proses atau fenomena fisik dengan menggunakan komputer dalam rangka memberikan gambaran situasi nyata dengan sebagian besar rinciannya. Simulasi proses adalah penggunaan model matematika untuk menggambarkan secara realistik perilaku nyata dari sistem dengan mengukur tanggap dinamik variable-variable proses yang dipantau, misalnya suhu, tekanan, dan komposisi bahan. Dengan memanipulasi atau bekerja dengan model, diharapkan: 1. Dapat meramalakan hasil atau keluaran. 2. Lebih memahami model fisik dan matematika dari fenomena dan proses. 3. Bereksperimen dengan model. 4. Melakukan pengujian dengan model. 5. Menggunakan model untuk tujuan penelitian dan pelatihan. Secara garis besar, simulasi proses dapat dikategorikan menjadi dua kategori berdasarkan kondisinya yaitu simulasi pada keadaan tunak dan simulasi dalam keadaan dinamis (Syamsa, 2003 dalam Haryanto, 2010). Simulasi keadaan tunak biasanya terdiri dari sejumlah persamaan aljabar yang diselesaikan secara iterasi, misalnya untuk menghitung kalkulasi panas dan keseimbangan dari suatu proses dibawah kondisi keadaan tunak yang berubah-ubah. Program simulasi keadaan tunak umum digunakan dalam proses industri seperti pengukuran boiler dan peralatan turbin untuk laju panas tertentu. Sedangkan simulasi keadaan dinamis tidak hanya memperhatikan kalkulasi panas dan keseimbangan bahan dalam keadaan tunak, tetapi juga kondisi transien dari perubahan proses. Simulasi dilakukan dengan menyelesaikan persamaan-persamaan diferensial nonlinier berjumlah besar dalam waktu nyata, untuk menggambarkan keseimbangan dinamik bahan dan energi dari proses yang disimulasikan. Laju akumulasi masa dan energi dihitung secara kontinyu dan diintegrasikan sepanjang interval waktu yang relatif kecil, yaitu untuk
7
menghasilkan proses tiruan dari tanggap dinamik yang realistik seperti suhu, tekanan, dan komposisi bahan (Haryanto, 2010)
H. Computational Fluid Dynamics (CFD) Menurut Tuakia (2008), CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika (model matematika). CFD mampu memprediksi aliran berdasarkan model matematika (persamaan diferensial parsial), metode numerik (teknik solusi dan diskritasi) dan tools perangkat lunak (solves, pre-processing, dan post-processing). Secara garis besar penggunaan CFD meliputi konsep dari desain baru, pengembangan produk secara detail, analisis kegagalan, dan desain ulang. CFD terbentuk berdasarkan algoritma numerik dari permasalahan fluida yang terjadi sehingga dibutuhkan solusi permasalahan berdasarkan parameter-parameter yang mempengaruhi sifat fluida tersebut. Di dalam CFD, terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dalam melakukan pemprosesan (postprocessor) (Versteeg dan Malalasekera, 1995) a.
Pra pemrosesan (pre-processor) Pra pemrosesan merupakan tahapan dimana dilakukan pendefinisian masalah. Menurut Verteeg dan Malalasekera (1995) terdapat langkah-langkah yang dilakukan dalam pra pemrosesan, yaitu: 1. Membentuk geometri (computational domain) dua dimensi atau tiga dimensi. 2. Membentuk geometri menjadi sejumlah bagian yang lebih kecil (grid). Grid merupakan bagian yang akan dicari solusinya karena tingkat keakuratan hasil CFD didasarkan pada jumlah grid yang dibentuk. Bila jumlah grid lebih banyak maka hasil komputasi menjadi lebih akurat tetapi proses komputasi menjadi lebih lama sehingga dibutuhkan perangkat computer yang lebih baik. Sebaliknya, bila jumlah grid lebih sedikit maka hasil komputasi kurang akurat tetapi proses komputasi berjalan dengan cepat. 3. Mendefinisikan fenomena-fenomena yang terjadi (fisik dan kimia) karena dibutuhkan dalam permodelan. 4. Mendefinisikan karakteristik fluida. 5. Mendefinisikan kondisi batas (boundary condition) pada model geometri.
b.
Pencarian solusi (solver) Pencarian solusi merupakan tahapan dimana seluruh kondisi pra pemrosesan telah terpenuhi. Menurut Verteeg dan Malalasekera (1995), terdapat tiga teknik solusi teknik numerik dalam mencari solusi CFD, antara lain difference, finite element, dan spectral method. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mencari solusi pada CFD meliputi: 1. Memperkirakan variable aliran yang tidak diketahui mengunakan fungsi sederhana. 2. Diskritasi hasil prakiraan tersebut dengan mensubtitusi ke dalam persamaan aliran fluida tersebut dan memanipulasi secara matematis. 3. Membuat solusi dengan persamaan aljabar. Perbedaan yang mendasari teknik solusi di atas adalah pada proses memperkirakan dan diskritasi aliran tersebut. Pencarian solusi yang sering digunakan saat ini adalah
8
finite volume yang merupakan perkembangan dari finite difference. Finite volume didasarkan pada algoritma numerik dimana dilakukan pembangunan persamaan berdasarkan integrasi variable-variabel secara keseluruhan. c.
Pasca pemrosesan (post-processor) Menurut Wahhaab (2010), tahapan pasca pemrosesan merupakan tahapan terakhir dalam proses CFD yang bertujuan untuk menyajikan hasil dari analisi fluida. Hasil analisi didasarkan pada visualisasi warna yang meliputi: 1. Hasil dari geometrid dan grid yang telah dibentuk. 2. Plot berdasarkan vektor. 3. Plot berdasarkan kontur. 4. Plot berdasarkan permukaan (dua dimensi atau tiga dimensi). Visualisasi ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman solusi yang dihasilkan dari CFD. Dalam proses ini dilengkapi dengan melakukan animasi dari solusi yang didapat.
I. Validasi Validasi dilakukan untuk membandingkan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi menggunakan CFD pada titik-titik tertentu yang diinginkan. Besarnya error dalam validasi dihitung menggunakan rumus (Yani et all, 2007 dalam Nurianingsih, 2011) sebagai bentuk: ………………………………….(5) Dimana, P : suhu udara hasil simulasi (oC) U : nilai suhu udara hasil pengukuran (oC)
9