3
TINJAUAN PUSTAKA Parung Farm Parung Farm merupakan sebuah organisasi yang bergerak di bidang produksi sayuran yang ditanam secara hidroponik. Parung Farm berlokasi di Jalan Raya Parung-Bogor No. 546, Bogor. Kebun yang dimiliki Parung Farm seluas 10 ha yang terbagi menjadi tiga tempat, yaitu Parung, Sukabumi, dan Cianjur. Kebun di daerah Cianjur dan Sukabumi diperuntukkan bagi sayuran dataran tinggi seperti selada, petsai dan kailan, sedangkan kebun di Parung diperuntukkan bagi sayuran dataran rendah seperti bayam dan kangkung. Parung Farm menggunakan modifikasi teknologi dalam memproduksi sayuran hidroponik. Aplikasi modifikasi
teknologi
yang digunakan yaitu dengan sistem NFT
(nutrient film technique), aeroponic, dynamic root floating, dan drip irigation. Hidroponik Hidroponik berasal dari bahasa Yunani, yaitu hydros yang berarti air dan ponos yang berarti pekerja. Hidroponik dapat didefinisikan sebagai budidaya tanaman pada media tanam selain tanah dan menggunakan campuran nutrisi esensial yang dilarutkan di dalam air (Sudarmodjo, 2008). Budidaya tanaman secara
hidroponik
memiliki banyak kelebihan,
diantaranya adalah produksi tanaman lebih tinggi, terbebas dari hama dan penyakit, tanaman tumbuh lebih cepat, pemakaian pupuk lebih hemat, hasil panen kontinyu, dapat ditanam di luar musim dan di tempat yang kurang cocok, serta terhindar dari resiko banjir, erosi, dan kekeringan (Lingga, 1999). Kelemahan dari sistem hidroponik yaitu membutuhkan biaya investasi dan biaya produksi yang tinggi, serta dibutuhkan ketrampilan khusus untuk mengoperasikan peralatan hidroponik. Tanaman yang dibudidayakan secara hidroponik dapat tumbuh optimal bila didukung dengan penggunaan media tanam yang baik. Media tanam yang baik dapat mendukung daerah perakaran untuk memperoleh nutrisi, air, dan oksigen.
4
Media tanam hidroponik memiliki persyaratan antara lain steril dan bersih, dapat menyimpan air sementara, porous, memiliki pH netral, tidak mudah lapuk, bebas racun dan hama penyakit, serta tidak menimbulkan reaksi kimia yang mengganggu pertumbuhan tanaman. Media tanam hidroponik dapat menggunakan berbagai macam bahan seperti pasir, batu bata, styrofoam, arang sekam, busa, cocopeat, kerikil, rockwool, air, bahkan udara (Lestari, 2009). Pertumbuhan tanaman yang optimal pada budidaya secara hidroponik dipengaruhi oleh nutisi, air, dan oksigen. 1. Nutrisi Menurut Resh (2004) unsur penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman terdiri dari unsur makro dan mikro. Unsur makro terdiri dari karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), sulfur (S), dan magnesium (Mg). Unsur mikro terdiri dari besi (Fe), klor (Cl), mangan (Mn), boron (B), seng (Zn), tembaga (Cu), dan molibdenum (Mo). Banyaknya larutan nutrisi diberikan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Penggunaan pH untuk larutan nutrisi yaitu netral (5.5-6.5). Pada kondisi asam (pH di bawah 5.5) dan basa (pH di atas 6.5)
beberapa unsur mulai
mengendap sehingga tidak dapat diserap oleh akar yang mengakibatkan tanaman mengalami defisiensi unsur terkait. Konsentrasi hara perlu diperhatikan yaitu dengan penggunaan EC yang tepat. EC yang digunakan di persemaian adalah 1.0-1.2 mS/cm, sedangkan EC pada pembesaran sayuran daun adalah 1.5-2.5 mS/cm. EC yang terlalu tinggi tidak dapat diserap tanaman karena terlalu jenuh. Batasan jenuh EC untuk sayuran daun ialah 4.2 mS/cm, bila EC lebih tinggi lagi terjadi toksisitas dan sel-sel mengalami plasmolisis (Sutiyoso, 2004). 2. Air Penggunaan air yang bersih dan higienis merupakan persyaratan mutlak untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Air yang digunakan juga tidak mengandung logam-logam berat dalam jumlah besar, karena dapat meracuni tanaman.
5
3. Oksigen Oksigen diperlukan tanaman untuk proses respirasi atau pernapasan. Proses respirasi akan menghasilkan energi yang digunakan untuk penyerapan air dan hara. Konsentrasi oksigen yang kurang menyebabkan respirasi menurun dan pertumbuhan tanaman akan terhenti. Oksigen yang kurang dapat diperbaiki dengan menambah aerator atau dengan menurunkan temperatur larutan nutrisi (Sutiyoso, 2004). Budidaya tanaman secara hidroponik dapat dilakukan dengan berbagai sistem. Menurut Karsono (2008) terdapat 6 tipe dasar sistem hidroponik, yaitu: 1. Sumbu (Wick) Sistem sumbu adalah tipe hidroponik paling sederhana dan merupakan sistem pasif (tidak ada bagian yang bergerak). Larutan nutrisi diserap ke media tanam dari tandon menggunakan sumbu dengan memanfaatkan daya kapilaritas sumbu. Kekurangan dari sistem ini adalah apabila tanaman berukuran besar dan membutuhkan air lebih banyak dari yang dialirkan oleh sumbu. Hidroponik sistem sumbu dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Karsono, 2008
Gambar 1. Hidroponik Sistem Sumbu 2. Kultur Air (Water Culture) Kultur air merupakan sistem yang paling sederhana dari sistem hidroponik aktif. Penopang tanaman mengapung langsung di atas permukaan larutan nutrisi. Sebuah pompa udara menyuplai banyak gelembung udara dalam larutan nutrisi
6
dan menyediakan oksigen bagi tanaman. Kekurangan dari sistem ini adalah tidak dapat berhasil baik untuk tanaman besar dan berjangka panjang. Gambar 2 menunjukkan hidroponik sistem kultur air.
Sumber: Karsono, 2008
Gambar 2. Hidroponik Sistem Kultur Air 3. Pasang Surut (Ebb and Flow) Sistem pasang surut bekerja dengan membanjiri nampan pertumbuhan dengan larutan nutrisi selama beberapa waktu dan mengeringkannya kembali dengan mengembalikan larutan ke tandon penampung. Sistem ini menggunakan pompa terendam yang terhubung dengan pengatur waktu (timer). Kekurangan sistem ini adalah pada beberapa tipe media tanam sensitif pada ketiadaan listrik, pompa, dan pengatur waktu. Hidroponik pasang surut dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Karsono, 2008
Gambar 3. Hidroponik Sistem Pasang Surut
7
4. Sistem Tetes (Drip System) Pengoperasian sistem ini cukup mudah, yaitu melalui pengatur waktu yang akan menyalakan pompa sehingga larutan nutrisi menetes pada pusat tiap tanaman dari selang penetes kecil. Hidroponik sistem tetes dibagi menjadi dua, yaitu sistem tetes tertutup dan terbuka.
Pada hidroponik sistem tetes tertutup, kelebihan
larutan nutrisi yang mengalir akan ditampung ke tandon untuk dipakai kembali, sedangkan hidroponik sistem tetes terbuka
kelebihan larutan nutrisi yang
mengalir akan dibuang. Hidroponik sistem tetes dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Karsono, 2008
Gambar 4. Hidroponik Sistem Tetes 5. Teknik Lapisan Tipis Nutrien (Nutrient Film Technique/NFT)
Sumber: Karsono, 2008
Gambar 5. Hidroponik Sistem NFT Sistem NFT memiliki aliran larutan nutrisi yang konstan sehingga tidak dibutuhkan pengatur waktu untuk menyalakan pompa rendamnya. Larutan nutrisi dipompa ke nampan pertumbuhan kemudian mengalir ke tanaman dan kembali ke
8
tendon. Sistem NFT sangat rentan terhadap kegagalan pompa dan aliran listrik, serta akar tanaman cepat kering jika aliran larutan nutrisi terganggu. Gambar 5 menunjukkan hidroponik sistem NFT. 6. Aeroponik (Aeroponic) Sistem ini menggunakan teknologi yang tinggi. Akar
tanaman
menggantung di udara dan dikabuti dengan larutan nutrisi. Pengabutan biasanya dilakukan setiap beberapa menit. Akar tanaman yang menggantung di udara menyebabkan akar cepat mengering jika proses pengabutan terganggu. Hidroponik sistem aeroponik dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: Karsono, 2008
Gambar 6. Hidroponik Sistem Aeroponik Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam budidaya tanaman adalah kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan penggunaan struktur bangunan untuk pemeliharaan tanaman yang disebut greenhouse.
Menurut Prihmantoro dan
Indriani (1998) tujuan penggunaan greenhouse yaitu mengoptimalkan perawatan tanaman, mengurangi
pengaruh negatif cuaca, serta mengurangi intensitas
serangan hama dan penyakit. Pembuatan greenhouse dapat menggunakan berbagai macam bahan. Menurut Sutiyoso (2004) bahan-bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan greenhouse adalah plastik, net, kasa, dan udara terbuka.
9
1. Plastik Plastik yang digunakan adalah plastik jenis khusus, yaitu mengandung heat resistant chemical yang dapat menyerap sinar ultra violet (UV). Ada beberapa macam plastik UV berdasarkan kadar bahan peredam panas yaitu kadar 6%, 9%, 12%, dan 14%. Hujan tidak dapat menembus plastik sehingga di dalam greenhouse kondisinya tetap kering dan kelembaban dapat dikendalikan. Sisi greenhouse ditutup dengan screen atau kasa agar hama tidak masuk. 2. Net Greenhouse yang terbuat dari net memiliki atap yang rata dan terbuat dari net plastik hitam. Net yang biasa digunakan adalah 65% calculated shade (peredaman cahaya yang diperhitungkan). Kelemahan dari greenhouse net adalah hujan dapat menembus ke dalam greenhouse sehingga menjadi becek dan pekerja kehujanan, lingkungan yang lembab juga memberi peluang bagi hama dan penyakit berkembang. Sisi greenhouse net ditutup dengan kasa untuk mengurangi intensitas hama penyakit. 3. Kasa Greenhouse yang tebuat dari kasa berbentuk seperti greenhouse net tetapi atapnya terbuat dari screen yang dibentangkan hingga tegang dan rata. Kasa yang digunakan berukuran 60 mesh yang berarti ada 60 lubang dalam 1 cm². Sisi greenhouse ditutup dengan kasa untuk mengurangi intensitas hama penyakit. Kelemahan dari bahan kasa yaitu kebun menjadi becek jika hujan, kelembaban kebun tinggi di musim hujan sehingga memungkinkan hama dan penyakit berkembang, dan karyawan berhenti bekerja bila hujan. 4. Udara Terbuka Budidaya secara hidroponik dapat dilakukan di udara terbuka. Budidaya hidroponik di udara terbuka kelemahannya yaitu daun tanaman menjadi gosong, terdapat rasa getir, dan sayuan lebih berserat. Keberhasilan sistem hidroponik sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut Sutiyoso (2004) faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan sistem hidroponik yaitu:
10
1. Curah Hujan Tiap daerah memiliki curah hujan dan tipe distribusi hujan yang berbeda sehingga diperlukan penyesuaian pola produksi yang disesuaikan dengan kondisi ekosistemnya. Curah hujan yang tinggi menjadikan lingkungan lembab dan memberi kesempatan hama dan penyakit untuk berkembang dan menyerang tanaman. 2. Kelembaban Kondisi relative humidity (RH) yang optimal untuk berhidroponik sekitar 70%, karena pada RH tersebut evapotranspirasi masih cukup besar untuk menunjang pertumbuhan tanaman dan kelembaban masih cukup tinggi untuk menjaga keseimbangan antara evapotranspirasi dan pasokan air ke akar. Pada RH di atas 70%, kelembaban masih terlalu tinggi sehingga evapotranspirasi dan daya serap akar tanaman akan berkurang. Pada RH di bawah 70%, proses evapotranspirasi yang terjadi terlalu tinggi
dan tidak diimbangi dengan
pengadaan air oleh tanaman sehingga tanaman akan layu. 3. Cahaya Cahaya berpengaruh pada proses fotosintesis tanaman. Kondisi cuaca yang mendung mengurangi intensitas cahaya matahari sehingga dianggap fotosintesis tidak ada. Bahan baku untuk sintesis minim pasokannya yang menyebabkan pembentukan protein, sel, jaringan, dan organ berlangsung tidak sempurna sehingga tanaman menjadi kurus, warna daun pucat, dan rentan terhadap penyakit. 4. Temperatur Temperatur
yang
optimal untuk
pertumbuhan
tanaman
yaitu
25-27°C pada siang hari dan 18°C pada malam hari. Temperatur yang terlalu tinggi menyebabkan reaksi kimia berjalan sangat cepat sehingga proses fisiologi pada tanaman berantakan. 5. Ketinggian Tempat (Elevasi) Ketinggian tempat menentukan jenis tanaman yang cocok untuk ditanam di daerah tertentu sehingga akan berpengaruh juga terhadap keberhasilan budidaya tanaman yang dilakukan.
11
6. Angin Udara yang terlalu panas di dalam greenhouse perlu dikeluarkan dengan bantuan angin. Angin membawa udara segar yang berkadar CO2 tinggi ke dalam greenhouse. CO2 dimanfaatkan tumbuhan untuk proses fotosintesis, tetapi angin yang terlalu kencang dapat merobohkan greenhouse dan merusak tanaman. Bayam Bayam termasuk tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi yang tinggi pada beragam ekosistem. Bayam memiliki siklus hidup yang relatif singkat, umur panen tanaman ini 3-4 minggu. Sistem perakarannya adalah akar tunggang dengan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang menyebar ke semua arah. Umumnya perbanyakan tanaman bayam dilakukan secara generatif yaitu melalui biji (Hadisoeganda, 1996). Bayam merupakan jenis sayuran daun dari keluarga amaranthaceae yang memiliki sekitar 60 genera, dan terbagi ke dalam 800 spesies bayam (Grubben, 1976). Klasifikasi ilmiah tanaman bayam adalah sebagai berikut. Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermathopyta
Class
: Angiospermae
Subclass
: Dicotyledone
Ordo
: Caryophyllales
Famili
: Amaranthaceae
Genus
: Amaranthus
Species
: Amaranthus spp.
Bayam dapat tumbuh di dataran tinggi dan dataran rendah. Bayam dapat tumbuh optimal pada pH netral (6-7). Ketinggian tempat yang optimum untuk pertumbuhan bayam yaitu kurang dari 1 400 m dpl.
Kondisi iklim yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan bayam adalah curah hujan yang mencapai lebih
12
dari 1 500 mm/tahun, cahaya matahari penuh, suhu udara berkisar 17-28°C, serta kelembaban udara 50-60% (Lestari, 2009). Kandungan gizi yang terdapat pada 100 g bayam adalah 36 kalori; 3.5 g protein; 6.5 g karbohidrat; 0.5 g lemak; 267 mg kalsium; 67 mg fosfor; 3.9 mg zat besi; 6.090 SI vitamin A; 0.08 vitamin B1; 80 mg vitamin C; dan 86.9 g air. Menurut Hadisoeganda (1996) kandungan terpenting yang terdapat pada bayam adalah kalsium dan zat besi yang dapat mengatasi anemia (kekurangan darah). Bayam dapat dimanfaatkan sebagai olahan pangan, obat, serta bahan kecantikan. Beberapa khasiat bayam yaitu sumber vitamin dan tonikum akibat kekurangan gizi, anemia, maupun sakit lever; mengatasi kekurangan vitamin A, B, C, kalsium, dan zat besi; bayam segar yang dicampur madu dapat mengobati bronkhitis, asma, dan tuberkulosis; sari daun bayam segar dapat memperlambat penuaan dini; sari daun bayam segar yang dioleskan pada kulit kepala dan rambut dapat merangsang pertumbuhan rambut yang sehat (Rukmana, 2005). Budidaya Bayam Benih yang akan ditanam sebaiknya dibibitkan terlebih dahulu. Menurut Karsono, Sudarmodjo, dan Sutiyoso (2002) penyebaran benih di persemaian sebaiknya tidak terlalu rapat supaya bibit memperoleh cahaya matahari yang cukup. Setelah benih disebar, media harus segera disiram. Penyiraman tidak hanya menggunakan air tetapi juga dicampur dengan pupuk. Umur 10-14 hari bibit sudah dapat dipindah tanam. Menurut Karsono, Sudarmodjo, Sutiyoso (2002) yang perlu diperhatikan dalam perawatan tanaman di instalasi hidroponik adalah: 1. Curah Larutan Hara Curah atau flowrate adalah kecepatan atau volume pengaliran larutan hara yang diberikan pada setiap tanaman. Jika curah terlalu kecil tanaman hanya sedikit menyerap air dan hara sehingga pertumbuhan menjadi lambat. 2. Kepekatan Kandungan Hara dalam Larutan Pengukuran kepekatan pupuk dalam sistem hidroponik digunakan istilah EC (Electro Conductivity) dengan satuan mmho/cm atau mS/cm. EC di persemaian
13
adalah 1.0-1.2 mS/cm sedangkan EC di pembesaran adalah 1.5-2 mS/cm. EC yang tepat dapat mempersingkat umur tanaman, bobot tanaman lebih besar, serta cita rasa produk lebih tinggi. 3. Pengendalian Hama dan Penyakit Berbagai jenis hama yang sering terdapat pada budidaya secara hidroponik yaitu ulat, kumbang, kepik, kutu, ataupun keong. Hama biasanya menyerang tanaman dengan cara menusuk, menggigit, dan mengunyah. Penyakit yang sering menyerang biasanya disebabkan oleh cendawan, bakteri, dan virus dengan cara mengeluarkan toksin. Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara mekanis, biologis, maupun kimia. Panen Bayam Menurut Utama (2005) faktor yang berpengaruh langsung terhadap mutu sayuran yang akan dijual adalah waktu panen dan metode pemanenan yang digunakan.
Waktu terbaik untuk panen adalah pagi atau sore hari saat suhu
lingkungan rendah karena sayuran daun sensitif terhadap pemanenan selama periode panas. Tenaga pemanen yang umum digunakan di Indonesia yaitu tenaga manusia. Keuntungan pemanenan dengan tenaga manusia adalah dapat dilakukan petik pilih dan berkurangnya kerusakan fisik karena pemanenan dilakukan secara hati-hati. Kelemahan pemanenan dengan tenaga manusia adalah waktu yang diperlukan lebih lama sehingga memerlukan biaya yang lebih tinggi (Utama, 2005). Menurut Sutiyoso (2004) sayuran daun dapat dipanen bila telah mencapai bobot maksimal. Bila tanaman sudah menampakkan inisiasi pembungaan maka panen dianggap telah terlambat. Pemanenan dapat dilakukan dengan mencabut tanaman beserta akar agar daya tahan sayuran lebih lama saat dipasarkan. Pasca Panen Bayam Menurut Satari (1983) pasca panen merupakan kegiatan perlakuan dan pengolahan langsung produk pertanian pangan tanpa mengubah struktur asli produk tersebut. Tahap penanganan pasca panen meliputi:
14
a. Pencucian Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada produk. Menurut Peleg (1985) pencucian ada dua macam yaitu pencucian basah dan pencucian kering. Pencucian basah dilakukan dengan perendaman, penghilangan kotoran, dan pestisida dengan air. Pencucian kering dilakukan dengan cara membersihkan permukaan kulit komoditas dari kotoran tetapi tidak dapat membersihkan residu bahan kimia dan kotoran yang tersembunyi. b. Penyortiran (sorting) dan Pengkelasan (grading) Penyortiran (sorting) dilakukan untuk memisahkan sayuran yang mutunya rendah (ukuran terlalu kecil, kematangan tidak sesuai, lecet, memar, dan busuk). Pengkelasan (grading) merupakan operasi pemisahan sayuran berdasarkan kelas mutu, dapat berdasarkan ukuran volume maupun ukuran panjang serta tingkat kematangan atau warna (Muchtadi dan Anjarsari, 1995). c. Pengemasan Pengemasan yang baik dapat mencegah kehilangan hasil, memelihara mutu, mengurangi kerusakan mekanis, meningkatkan estetika, serta dapat mengawetkan bahan. Menurut Broto (1993) kemasan yang ideal adalah kemasan yang mudah diangkut, aman, ekonomis, mudah untuk menghitung jumlahnya, dan dapat menjamin kebersihan produk. d. Pengangkutan Menurut Pantastico (1986) tujuan akhir dari sistem pengangkutan adalah menyajikan produk segar dari kebun kepada konsumen. Pengangkutan di daerah tropik sering mengalami kerugian yang besar pada beberapa titik distribusi seperti kerusakan komoditas, penanganan kasar, keterlambatan yang tidak sesuai aturan, pemuatan, dan pembongkaran yang kurang hati-hati. e. Pemasaran Kegiatan produksi sayuran komersial yang segar dan bermutu tinggi dengan harga yang layak dan keuntungan yang memadai memerlukan penanganan yang baik mulai dari perencanaan tanam hingga pemasarannya ke konsumen. Beberapa jenis pasar yang digunakan untuk menyalurkan produk sayuran yaitu pasar umum,
15
pasar induk, pasar swalayan, pasar khusus (hotel, rumah sakit, restoran, industri, usaha katering), pasar ekspor, dan koperasi (Rahardi et al., 2001). Kehilangan Hasil Pasca Panen Kehilangan (loss) dapat diartikan sebagai suatu perubahan dalam ketersediaan (availability) dan jumlah yang dimakan (edibility), yang akhirnya dapat berakibat bahan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Kehilangan (loss) pada sayuran dapat terjadi dengan sendirinya setelah dipanen karena adanya aktivitas bermacam-macam enzim (Muchtadi dan Anjarsari, 1995). Menurut Peleg (1985) kehilangan hasil saat penanganan pasca panen disebabkan oleh penyusutan, benturan saat pemindahan ke kontainer lain, transportasi dari kebun ke penyimpanan, transportasi jarak jauh, pemrosesan, dan transportasi dari penyimpanan ke toko.