TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONEISA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Criminoligy Overview towards Perpetrators Of Narcotic Criminal Actions baset on the Acts of Republik Of Indonesia Number 35 Year 2009 concerming Narcotics
Rahmi Dwi Astuti, Andi Seri Alam dan Muhadar
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana narkotika dan untuk mengetahui (2) factor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar. Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Makassar. Tipe penelitian ini adalah penelitian empiris dengan pendekatan sosiologi hukum. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik nonprobality sampling dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan koesioner. Data dianalisis dengan analisis kualitatif dan analisis data kuantitatif yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 secara garis besar meliputi perbuatan menggunakan narkotika tanpa izin dan tanpa pengewasan, atau dikenal sebagai pengguna, yang meliputi perbuatan pecandu/penyalahgunaan bagi diri sendiri, mengedar narkotika atau dikenal sebagai pengedar, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,menerima, menjadi perantara dalam jual beli , menukar menyerahkan/menerima narkotika, membawa, menguasai, mengirim, mengangkut, mengekspor, mengimpor, menyalurkan, atau mentransito narkotika, memberikan narkotika untuk digunakan orang lain; serta sebagai produsen, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum, memproduksi, menanam, memelihara memiliki menyimpan atau menyediakan narkotika atau precursor narkotika. kedua faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkotika, terdiri dari faktor internal yaitu hal-hal yang dari dalam diri pelaku berupa aspek individu, seperti kepribadian yang ingin tahu, 1
mudah kecewa, jiwa yang tergoncang, rasa putus asa, dan lain-lain yang menyebabkan pelaku memerlukkan rasa ketenangan, kenyamanan, dan keberanian dengan menggunakan narkotika. Adapun factor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri pelaku, seperti social budaya, ekonomi, pengaruh lingkungan, dan lainlain. Kata Kunci : Pelaku Tindak Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ABSTRACT The researth aimed at finding out: (1) the distinct of every group of the perpetrators of narcotic criminal actions, and (2) factors which caused the occurrences of criminal actions of narcotic abusesin the legal area of the court of first instance, Makassar. The research wasconducted in the court of first instance, Makassar, narcotic correctional institution, Makassar. This was an empirical research with a legal sociological approach. Samples were selected by the non-probality sampling technigue with the purposive sampling method. The data consisted of the primary and secondary data obtainet troungh an interview and a questionnaire. The data were analysed by using the gualitative and quantitative data analyses, the data were then presented descriptively. The result of the research indicates that (1) the difference of group of group of the perpetrators of narcotic criminal actions based on the acts of Republic of Indonesia Number 35 Tahun 2009 fundamentally includes the action using the narcotics without the permission and supervision, or known as the user, including the addicts/abusers’ actions for themselves, distributing narcotics or known as the pusher, including the actions without any right and unlawful actions to offer for sale, to sell, purchase, receive, mediate, in terms of sale, exchange, deliver/receive narcotics, carry, control, send, transport, export, import, didtribute, transit narcotics, give narcotics to be used by others, and as the producer including the actions without any right and unlwaful actions to produce, plant, maintain, possess, store, or provide narcotics or narcotics precursor. (2) The factors which cause the occurrence of the narcotic abuse comprise the internal factors, i.e.: things existing in the perppetarators themselves in the forms of individual aspects such as curious personality, easily disappointed, shaken soul, desperation , and others which cause the perpetrators to necessitate a sense of tranquility, comfort, and brevity in using narcotics, and the external factors, i.e.: things coming from the outside of the perpetrators such as socio-cultural and economic and the environmental impacts and others Keyword : Perpetrators Of Narcotic Criminal Actions, Acts of Republik Of Indonesia Number 35 Year 2009 concerming Narcotics
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu membawa dampak yang positif bagi masyarakat. Apabila kita perhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut seringkali melahirkan polemik yang baru dalam masyarakat, sebagai contoh adalah narkotika. Narkotika disatu sisi sangat dibutuhkan dalam bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, namun disisi lain justru dapat memberi peluang terjadinya penyalahgunakan narkotika. Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama. Masalah penyalahgunaan Narkotika atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai Narkoba (Narkotika dan Bahan / Obat Berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Salah satu perbedaan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut dinyatakan bahwa shabu-shabu bukan lagi disebut psikotropika. Shabu-shabu sudah dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai Narkotika golongan I. Selain itu, golongan I dan golongan II pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika semuanya sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
3
Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin diperketatnya hukum dalam pengaturan sanksi terhadap bagi siapa saja yang menyalahgunakan Narkotika maupun Psikotropika baik sanksi pidana maupun sanksi denda. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, Namun demikian, dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut. Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pelaku sekaligus sebagai korban kejahatan (Made Darma Weda, 1999 : 80). Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk meneliti salah satu objek pengkajian dari kriminologi tindak pidana Narkotika, yaitu perbedaan tiap golongan pelaku tindak pidana narkotika serta faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana narkotika khususnya dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar dan mengetengahkan dalam bentuk tesis dengan judul: “Tinjauan Kriminologi terhadap
4
Pelaku Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”. Kriminologi merupakan disiplin yang ideografis, artinya menggambarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, akan tetapi disamping itu ia merupakan pula disiplin yang nomothetis, yang berusaha memperoleh kenyataankenyataan (dalil) umum (Sudarto, 1986:149). Kejahatan bukanlah fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi cap, dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada masyarakat yang normanya, aturannya dan hukumnya dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma dan menghukum pelanggarnya. Istilah kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat (H.A.S. Alam, 2005:1). Menurut Paul Moedigdo Moeliono, kriminologi bahwa pelaku kejahatan mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat (Abdussalam, 2007:5). Tegasnya, kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab kejahatan dan akibatnya, mempelajari cara-cara memperbaiki penjahat, dan cara-cara mencegah timbulnya kejahatan (H.A.S. Alam, 2005:2). METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Makassar. Tipe penelitian ini adalah penelitian empiris 5
dengan pendekatan sosiologi hukum. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik nonprobality sampling dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan koesioner. Data dianalisis dengan analisis kualitatif dan analisis data kuantitatif yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pelaku tindak pidana narkotika memiliki peran, kedudukan, dan sanksi yang berbeda, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maupun berdasarkan peran dan dampak yang dapat ditimbulkan dari perbutannya. Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: 1. Regulasi Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang dimaksudkan sebagai regulasi adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana narkotika, yang dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009 serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika. Ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam undangundang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 147. Berdasarkan ketentuan pidana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, pelaku tindak pidana narkotika secara umum dapat digolongkan atas:
a. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika atau Prekursor Narkotika, 6
sebagaimana diatur dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 serta Pasal 129;
b. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 113, Pasal 118 dan Pasal 123, serta Pasal 129.
c. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan atau menerima Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 114, Pasal 119 an Pasal 124, serta Pasal 129;
d. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 115, Pasal 120 dan Pasal 125, serta Pasal 129.
e. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika terhadap orang lain atau memberikan Narkotika untuk digunakan orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 116, Pasal 121 dan Pasal 126.
f. Perbuatan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 127, yaitu orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka (15)). Sedangkan Pecandu Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 128 dan Pasal 134, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka (13)).
g. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, sebagaimana diatur dalam Pasal 132. 7
Penggolongan
pelaku
tindak
pidana
narkotika
tersebut
di
atas
menunjukkan bahwa tiap perbuatan dan kedudukan pelaku tindak pidana narkotika memiliki sanksi yang berbeda. Hal ini tidak terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan dari perbuatan pelaku tindak pidana narkotika tersebut. 2. Peran pelaku Berdasarkan peran/kedudukan pelaku dalam suatu tindak pidana narkotika serta dampak yang dapat ditimbulkan dari peran/kedudukannya tersebut, maka pelaku tindak pidana narkotika secara garis besar diklasifikasikan sebagai berikut: a. Sebagai pengguna, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri ; b. Sebagai pengedar, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menyalurkan atau menyerahkan narkotika baik untuk diperjualbelikan ataupun untuk pemindahtanganan kepada orang lain ; c. Sebagai produsen, yaitu orang atau koorporasi yang menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika. Walaupun dalam klasifikasi berdasarkan peran/kedudukan pelaku tersebut di atas hanya terdiri atas tiga bentuk penggolongan, namun dalam penerapannya dapat mengalami perkembangan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang terpenuhi sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar: Jan Manoppo, SH (wawancara, 18 Oktober 2011) bahwa Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir dan 8
pengedar narkotika. Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga menggunakan narkotika, namun dalam hal ini yang penulis maksud pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Pembuktian
penyalahguna
narkotika
merupakan
korban
narkotika
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung RI mengeluarkan SEMA No. 04 Tahun 2010 Jo. SEMA No. 03 Tahun 2011 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara narkotika. Perdebatan yang sering muncul dalam membahas Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau sebagai korban, dan apa akibat hukumnya? Bila dilihat alasan yang mengemuka dilakukannya pergantian Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya penanggulangannya juga harus dibedakan. Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan korban atau pelaku sangat terasa dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan : 9
(1)
(2)
(3)
Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana denganpidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, namun,
dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaanya pengguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal “tidak ada kejahatan tanpa korban”, beberapa literature bahwa yang menjadi korban karena dirinya sendiri (Crime without victims), dari persepektif tanggung jawab korban, Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. 3. Pengetahuan/pemahaman hukum aparat Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di lapangan menunjukkan bahwa seringkali aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) kurang tepat dalam menerapkan suatu ketentuan pidana dalam perkara tindak pidana narkotika, dimana Jaksa Penuntut Umum dalam uraian dakwaannya dan bahkan tuntutannya kadang menerapkan suatu ketentuan yang tidak sesuai dengan peran pelaku sebagaimana yang terbukti di persidangan. Hal ini diperparah lagi dengan tindakan Majelis Hakim
10
yang mengikuti tuntutan Jaksa penuntut Umum dengan mengabaikan fakta-fakta yang terbukti di persidangan. Salah satu perkara tindak pidana narkotika yang menurut penulis penerapan hukumnya agak melenceng dari fakta hukum mengenai peran pelaku sebagaimana terungkap di persidangan, adalah perkara Nomor: 726/Pid.B/2011/PN.Mks, dimana peran pelaku adalah membawa atau menguasai narkotika golongan I jenis shabushabu, dimana terdakwa pada hari Kamis tanggal 03 Maret 2011 sekitar pukul 23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid Raya Makassar ditangkap oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu Syamjoyo karena membawa narkotika jenis shabu-shabu, namun Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan Narkotika” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selam 1 (satu) tahun. Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang dimaksud sebgai penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Oleh karena itu seseorang yang dapat dikategorikan sebagai penyalahguna narkotika adalah orang yang menggunakan secara tanpa hak atau melawan hukum, dalam arti bahwa narkotika tersebut berada dalam kekuasaannya adalah sah tetapi kemudian menggunakannya untk diri sendiri secara melawan hukum. Misalnya seorang Jaksa yang menyimpan barang bukti narkotika kemudian menggunakan barang bukti narkotika tersebut atau seorang dokter yang seharusnya menggunakan narkotika tersebut untuk pasien, tapi ternyata disalahgunakan untuk diri sendiri. Apabila seseorang yang kemudian tertangkap beberapa saat sebelum menggunakan narkotika tersebut, kemudian karena pelaku tindak pidana tersebut 11
mengaku akan digunakan sendiri dan berdasarkan hasil laboratorium forensik ternyata pelaku tersebut adalah positif pernah menggunakan dan selanjutnya Majelis Hakim menyatakan bahwa pelaku tersebut adalah penyalahguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, menurut penulis adalah tidak tepat, karena pada saat ditemukan tersebut adalah sementara menguasai atau memiliki sebagaimana diatur dalam Pasal 111, 112, 117, 122 dan 129, yaitu Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika atau Prekursor Narkotika. Bahkan seseorang yang ditangkap setelah atau pada saat sedang menggunakan narkotika pun dapat dipidana sebagai perbuatan memiliki atau menguasai, kecuali apabila pelaku tindak pidana narkotika tersebut sementara terikat dan orang lain yang memasukkan dalam mulut pelaku, maka pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai menguasai. Pengguna Narkotika yang masih mendapatkan narkotika secara melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang dilakukan pengguna narkotika tersebut yakni membeli, menguasai, menyimpan, atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri. Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar: Frangki Tambuwun, SH, MH (wawancara, 19 Oktober 2011) bahwa UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara delik pidana dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan delik pidana lain yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana pengguna narkotika yang mendapatkan narkotika secara melawan hukum pastilah memenuhi unsur “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” narkotika dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 12
B.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana narkotika dapat dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor eksternal merupakan merupakan faktor yang berasal dari luar diri pelaku. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar: Jan Manoppo (wawancara, 18 Oktober 2011), bahwa faktor- faktor yang menyebabkan seseorang terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah bersifat kasuistis, yaitu antara satu kasus dengan kasus lainnya berbeda karena perbedaaan latar belakang si pelaku. Namun dari kebanyakan kasus yang pernah ditangani dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku terlibat sebagai pelaku tindak pidana narkotika adalah karena ingin coba-coba. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis kepada narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa, menunjukkan bahwa terjadinya tindak pidana narkotika dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama aspek individu, sosial bidaya, maupun ekonomi. 1. Fa ktor Internal Faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam diri si pelaku berupa faktor individu yang terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian ingin tahu, mudah 13
kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan /depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri ke dalam penggunaan narkotika. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri responden yang dalam penelitian ini dibagi atas faktor social bidaya dan faktor ekonomi. Sesuai dengan pendapat A. Lacassagne bahwa sebab musabab terjadinya kejahatan yang paling utama ialah lingkungan sosial. Lingkungan soaial yang buruk merupakan persemaian yang subur timbulnya suatu kejahatan. Faktor sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga da pengaruh teman. Kondisi keluarga dalam hal ini merupakan kondisi yang disharmonis, seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman, misalnya karena berteman dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika dan ingin diterima dalam suatu kelompok. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya karena adanya perkumpulan anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika, tindakan yang tidak jelas dari sekolah apabila ada anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika, sehingga dapat mempengaruhi anak yang lain serta lingkungan tempat tinggal anak yang tidak memberikan perilaku yang baik.
PENUTUP
A.
Kesimpulan 1. Perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 secara garis besar yaitu perbuatan menggunakan narkotika tanpa izin dan pengawasan, atau dikenal sebagai Pengguna, yang meliputi perbuatan pecandu/penyalahguna bagi diri sendiri; 14
mengedarkan narkotika atau dikenal sebagai pengedar, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan/menerima narkotika, membawa, menguasai, mengirim, mengangkut, mengekspor, mengimpor, menyalurkan atau mentransito narkotika; serta sebagai produsen, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, atau menyediakan Narkotika atau Prekursor Narkotika; 2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana narkotika, terdiri atas faktor internal, yaitu hal-hal yang dari dalam diri pelaku berupa aspek individu, seperti kepribadian yang ingin tahu, mudah kecewa, jiwa yang tergoncang, rasa putus asa, dan lain-lain yang menyebabkan pelaku memerlukan rasa ketenangan, kenyamanan, dan keberanian dengan menggunakan narkotika; serta faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri pelaku, seperti sosial budaya, ekonomi, pengaruh lingkungan, dan lain-lain.
B.
Saran 1. Dalam penanggulangan tindak pidana narkotika pemerintah perlu memadukan kebijakan penal melalui ketentuan perundang-undangan dengan kebijakan nonpenal melalui treatment dan pengobatan; 2. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika, perlu peningkatan kualitas penegakan hukum di bidang narkotika, serta peningkatan pendayagunaan potensi dan kemampuan masyarakat; 3. Perlunya keberanian aparat penegak hukum melakukan terobosan menyangkut perbedaan pelaku sebagai korban dengan pelaku sebagai pengedar tindak pidana narkotika.
15
DAFTAR PUSTAKA Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, 2007 Alam, Prof. Dr. H.A.S, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi Books, Makassar, 2010. Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2007. Komariah Emong Sapardjaja, SH, Prof. DR., Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana Indonesia, Mahkamah Agung RI , 2008. Makaro, Taufik, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995. Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, 2007. Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006. Prodjodikoro,Wirdjono Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003. Sahetapy, J.E., Pisau Analisis Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986 Weda, Made Darma, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Th. 2009 tentang Narkotika, Fokusmedia, Bandung, 2009.
16