1
TINJAUAN TERHADAP ANCAMAN PIDANA DENDA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Mely Chinthya Devi dan Eva Achjani Zulfa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Abstrak Skripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai pelaksanaan pidana denda yang dijatuhkan bagi pelaku Illicit Traffic berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Kedua, mengenai tepat atau tidaknya perumusan ancaman pidana denda bernominal tinggi bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 guna mencapai tujuan pemidanaan yang diharapkan oleh perumus undang-undang. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan penelitian lapangan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk meninjau kembali ketepatan perumusan ancaman pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, dalam kaitannya guna mencapai tujuan yang diharapkan oleh undang-undang. Perumusan pidana denda dalam jumlah tinggi bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dibentuk guna meningkatkan fungsi prevensi umum dan represif sehingga dapat menekan angka penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan prekursor narkotika. Namun, tingginya jumlah ancaman pidana denda justru menjadi salah satu faktor yang secara tidak disadari justru menghambat pelaksanaan pidana denda oleh para pelaku Illicit Traffic itu sendiri dan berakibat pada tidak tercapainya tujuan pemidanaan yang sebenarnya diharapkan. Kata Kunci Pidana; Pemidanaan; Pidana Denda; Narkotika; Illicit Traffic. Abstract The thesis mainly discusses about two problems. First, about execution of fines sanction for Illicit Trafficker of Narcotic Drugs which sentenced by Law of 2009 Number 35. Second, about exactness of fines for Illicit Trafficker of Narcotic Drugs which regulated by high amount in Law of 2009 Number 35 regarding on the purpose of sentencing which brought by the legislators. By combining the literature research method with the field research method, this thesis aims to review the regulation about the high amount of fines for Illicit Trafficker of Narcotic Drugs which regulated by Law of 2009 Number 35. The high amount of fines for Illicit Trafficker in this law is regulated by the thought of increasing the functions of punishment in deterrence and retributive ways, so it can reduce the number of illicit use and traffic of Narcotic Drugs. In the other hand, those high amounts of fines also being a factor, the legislators had not aware, which can pursues the execution of fines sanction itself and makes the purpose of sentencing unreachable. Keyword Sanction; Sentencing; Fines; Narcotic Drugs; Illicit Traffic.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
2
Latar Belakang Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana pokok yang dikenal dalam ketentuan hukum pidana positif Indonesia baik yang diatur secara umum dalam KUHP maupun yang diatur secara khusus dalam ketentuan pidana lain di luar KUHP. Sebagai salah satu jenis pidana, pidana denda sebenarnya bukan merupakan jenis pidana yang baru. Pidana denda sudah dikenal sejak lama dan merupakan salah satu sanksi pidana terpenting yang dikenal dalam hukum pidana1. Pidana denda mulai dianggap penting sejak pidana badan—yang dahulu menjadi pidana primadona dalam sistem pemidanaan—tidak lagi dapat menunjukkan segi positif. Namun, pidana denda—terlebih pidana denda di dalam KUHP—jarang sekali digunakan oleh Hakim karena dianggap tidak efektif untuk dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana mengingat jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP yang relatif ringan2. Ringannya pidana denda dalam KUHP juga diperkuat dengan adanya ketentuan mengenai pidana kurungan sebagai pidana pengganti denda sebagaimana diatur dalam Pasal 30 KUHP. Pandangan mengenai efektifitas ancaman pidana denda pada KUHP dalam kaitannya dengan jumlah ancaman yang terlalu rendah mendorong lahirnya trend untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda dalam ketentuan pidana di luar KUHP. Beberapa ketentuan pidana di luar KUHP telah merumuskan ancaman pidana denda dengan jumlah yang terbilang tinggi. Salah satu diantaranya adalah ancaman pidana denda dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan undang-undang administratif pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 yang sebelumnya mengatur ketentuan mengenai peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Undang-undang ini dibentuk guna meningkatkan upaya preventif3 dan retributif4 terhadap kejahatan narkotika—termasuk 1
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 485. 2
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ed. 2., cet. 2., (Bandung: PT. Alumni, 1998), hal. 178-179. 3 Upaya preventif dalam pemidanaan ini bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya melanggar serta menghindarkan pembuat (dader) untuk melanggar atau mengulangi perbuatan melanggar. Tujuan pertama disebut sebagai tujuan prevensi umum sedangkan tujuan kedua disebut sebagai tujuan prevensi khusus. Lihat, Utrecht, Ringkasan Sari Kuliah: Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958), hal. 179180. 4
Retributif adalah salah satu tujuan pemidanaan yang memandang pemidanaan merupakan akibat nyata/mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan dan derita kepada pelaku tindak pidana. Lihat, Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hal. 51.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
3
didalamnya prekursor narkotika5. Secara tidak langsung, pembentukan undang-undang ini juga didasari oleh semangat untuk memerangi Peredaran Gelap Narkotika atau Illicit Traffic in Narcotic Drugs (selanjutnya akan disebut “Illicit Traffic”) sebagaimana tertuang dalam Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 dan Protocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1972 serta United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988. Sebagai corong utama dalam aktivitas penyalahgunaan narkotika dalam kehidupan masyarakat, Illicit Traffic perlu mendapatkan penanganan dan perhatian yang serius mengingat dengan menghapuskan Illicit Traffic maka secara tidak langsung dapat menghapuskan penyalahgunaan narkotika itu sendiri6. Sebagai salah satu bentuk perhatian dan penanganan yang serius dalam upaya menghapuskan Illicit Traffic terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika di Indonesia, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memperberat ancaman pidana baik pidana penjara maupun pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic. Ancaman pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat dilihat pada BAB XV tentang Ketentuan Pidana yakni mulai pada Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 129, Pasal 137 dan Pasal 147. Pada pasalpasal tersebut, pidana denda diancamkan dengan pola ancaman kumulasi pidana denda dengan pidana penjara. Model perumusan ancaman pidana denda yang digunakan dalam pasal-pasal tersebut dapat dibagi menjadi dua model perumusan yakni model perumusan denda tanpa minimum khusus yang terdapat dalam Pasal 129 serta model perumusan ancaman pidana denda dengan aturan mengenai minimum khusus yang terdapat dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 129, Pasal 132, Pasal 137 dan Pasal 147. Jumlah ancaman pidana dari ketentuan-ketentuan tersebut pun tergolong sangat tinggi. Jumlah terendah atas ketentuan minimum khusus bagi pidana denda yang diancamkan terhadap pelaku Illicit Traffic adalah Rp 100.000.000,00 sebagaimana diancamkan pada Pasal 147 sedangkan jumlah tertinggi atas ancaman pidana denda yang diancamkan terhadap pelaku Illicit Traffic terdapat pada ketentuan Pasal 114 yakni sebesar Rp 13.333.333.333,00. 5
Dewan Perwakilan Rakyat, Naskah Akademis Rancangan Undang-undang Narkotika (Jakarta: s.n., 2005), hal 9. 6
United Nations, United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance Convention, 1988, Paragraph 6 jo.Paragraph 7 of Preamble.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
4
Namun, tingginya ancaman pidana denda tersebut nampaknya berbanding terbalik dengan ketentuan dalam Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur mengenai ketentuan pidana pengganti denda berupa pidana penjara pengganti dengan ancaman maksimal selama dua tahun7. Tingginya ancaman pidana denda serta adanya ketentuan minimum khusus bagi pidana denda dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 137 dan Pasal 147 tentunya akan mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan jumlah pidana denda dengan jumlah besar kepada pelaku Illicit Traffic tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi pelaku tersebut. Penjatuhan pidana denda yang terlalu tinggi serta dapat digantikan dengan pidana penjara pengganti yang umumnya terlalu singkat ditakutkan akan mengakibatkan para terpidana untuk tidak membayarkan pidana denda dan lebih memilih pidana penjara pengganti. Asumsi ini diperkuat dengan lamanya masa pidana penjara pokok yang harus dijalani oleh terpidana sebagai akibat dari pola kumulasi pidana penjara dan pidana denda dalam ketentuan pidana bagi pelaku Illicit Traffic di Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Masa pidana penjara pengganti yang umumnya sangat singkat jika dibandingkan masa pidana penjara pokok yang telah terpidana jalani sebelumnya ditakutkan akan mengakibatkan pidana penjara pengganti denda menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi pelaku Illicit Traffic dibandingkan harus kehilangan uang dalam jumlah besar guna membayar pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim. Hal-hal di atas perlu mendapat perhatian serius mengingat dapat mempengaruhi pelaksanaan pembayaran pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan berimplikasi pada keberhasilan tujuan yang ingin dicapai oleh perumus undang-undang dalam mengancamkan pidana denda pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. POKOK PERMASALAHAN Pokok permasalahan dari penelitian ini berpusat pada tepat atau tidaknya perumusan ancaman pidana denda bernominal tinggi bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 guna mencapai tujuan yang diharapkan oleh undang-undang. Terhadap hal tersebut, penulis mengejawantahkan pokok permasalahan tersebut ke dalam dua pertanyaan penelitian, yakni: 7
Indonesia[1], Undang-undang tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, LN. Tahun 2009 No. 143, TLN. No. 5062, Pasal 148.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
5
1. Bagaimana pelaksanaan atas pidana denda yang dijatuhkan bagi pelaku Illicit Traffic berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009? 2. Apakah dengan perumusan ancaman pidana denda bernominal tinggi bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat mencapai tujuan yang diharapkan perumus undang-undang? TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini terbagi atas dua tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meninjau kembali perumusan ancaman pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 berdasarkan pelaksanaan atas pidana denda yang dijatuhkan, dalam kaitannya guna mencapai tujuan yang diharapkan oleh undang-undang. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan atas pidana denda yang dijatuhkan bagi pelaku Illicit Traffic berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. 2. Untuk meninjau ulang perumusan ancaman pidana denda bernominal tinggi bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam kaitannya guna mencapai tujuan yang diharapkan oleh perumus undang-undang. TINJAUAN TEROTIS Filosofi Pemidanaan Filosofi pemidanaan atau yang juga dikenal dengan nama falsafah pemidanaan tidak lain merupakan teori-teori yang menjelaskan alasan-alasan pembenar dalam menjatuhkan suatu pidana, termasuk pidana denda. Pada perkembangan hukum pidana sendiri, terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan alasan pembenar dalam menjatuhkan suatu pidana dimana alasan tersebut pada dasarnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai dari dilaksanakannya suatu pemidanaan. Pada awalnya, filosofi pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana terbagi atas tiga golongan besar yakni: 1. Teori absolut atau teori pembalasan atau teori retributif Teori ini memandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata atau mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
6
pidana8. Menurut teori ini, setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana pada pelaku. Sehingga, pidana bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan yang mutlak atas terjadinya suatu kejahatan9. Immanuel Kant, sebagai salah satu penganut teori ini menyatakan bahwa10: “…. Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tetapi, dalam hal semua harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kesalahan.” Variasi-variasi atas teori pembalasan ini pertama kali diperinci oleh Leo Polak yang membagi teori pembalasan ini menjadi enam teori khusus yakni11: 1. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara yang melihat pidana sebagai bentuk penderitaan yang dipaksakan; 2. Teori kompensasi keuntungan yang melihat pidana sebagai suatu kompensasi atas penderitaan korban. 3. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan menghina dimana pidana dilihat seagai alat untuk melenyapkan segala kehendak menentang hukum12 serta merupakan suatu bentuk penghinaan atas orang yang telah menentang hukum13.
8
Eva Achjani Zulfa, Loc.cit..
9
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. 2., (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1985), hal. 27. 10
Immanuel Kant dalam “Philosophy of Law” sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulfa, Loc.cit.
11
Utrecht, Op.cit., hal. 160.
12
Ibid., hal. 162.
13
Andi Hamzah, Loc.cit.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
7
4. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum yang melihat pidana sebagai suatu bentuk pembalasan harus dapat dilaksanakan berdasarkan asas persamaan hukum bagi setiap orang; 5. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat bertentangan dengan kesusilaan; 6. Teori mengobyektifkan
yang berpandangan bahwa tiada seorang pun
boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya14. Pada perkembangannya, muncul beberapa variasi lain dari teori pembalasan atau retributif. Beberapa sarjana seperti Nigel, M. Horris, Murphy dan Von Hirch mencoba mengklasifikasikan teori retributif yang ada ke dalam dua bagian besar, yakni15: 1. Retributif Murni/ Retributif Negatif Teori ini melihat tujuan utama dari suatu pidana adalah sebagai pembalasan atau harga yang harus dibayar atas tindak pidana yang dilakukan. 2. Retributif Positif Teori retributif positif melihat bahwa alasan pembalasan saja tidak cukup untuk menjatuhkan sanksi pidana. Titik berat dari pandangan ini adalah
bahwa
keuntungan-keuntungan
yang
diperoleh
dari
suatu
penjatuhan sanksi pidana selain dari tujuan pembalasan harus tetap diperhitungkan. Nigel kemudian membagi teori retributif positif ke dalam dua jenis yakni16: a. Retributif terbatas Menurut teori ini, pembalasan bagi seorang pelaku tindak pidana tidak harus sepadan dengan kejahatannya mengingat tujuan utama dalam teori ini adalah untuk menimbulkan efek yang tidak menyenangkan bagi pelaku.
14
Ibid.
15
Eva Achjani Zulfa, Op.cit., hal. 52.
16
Ibid., hal. 53.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
8
b. Retributif distributif Menurut teori ini, pembalasan bagi seorang pelaku tindak pidana harus dijatuhkan secara sepadan dengan tindak pidana yang dilakukan. 2. Teori relatif atau teori pencegahan atau teori deterrence Teori ini beranjak dari pandangan bahwa dalam menjatuhkan pidana tidak cukup hanya didasari oleh niat untuk membalas17. Tiap pidana yang dijatuhkan juga perlu didasari dengan maksud untuk mempertahankan suatu tata tertib tertentu18. Teori ini juga beranjak pada kepentingan untuk menjaga supaya tidak terjadi pelanggaran atas suatu tata tertib dalam masyarakat19. Secara umum, fungsi pencegahan dalam teori ini memiliki dua sifat yakni: 1. Prevensi umum (general deterrence) Fungsi prevensi umum menitikberatkan pada usaha untuk menghindarkan diri dari kemungkinan melanggar ketentuan pidana20. Pada fungsi ini, pidana dianggap sebagai sarana pencegah kejahatan secara umum. Tujuan satu-satunya dari penjatuhan pidana dalam fungsi prevensi umum adalah guna mempertahankan tata tertib hukum. Pada awalnya, fungsi prevensi umum ini diterapkan melalui pelaksanaan pidana yang dipertontonkan21. Namun, sejak abad ke-18, refleksi atas tujuan prevensi umum dalam teori ini justru diwujudkan dalam cara mengancamkan pidana yang dianggap dapat menakut-nakuti masyarakat umum sebagaimana dikemukakan oleh Von Feuerbach dalam bukunya “Lehrbuch des peinlinchen Rechts”22. Pada akhir perkembangannya, seorang sarjan bernama Muller justru menyatakan bahwa akibat preventif dari suatu pidana tidaklah terletak pada eksekusi pidana maupun dalam ancaman pidana melainkan pada penentuan pidana oleh hakim secara konkrit23. 17
Utrecht, Op.cit., hal. 178.
18
Ibid.
19
Ibid., hal. 179.
20
Ibid.
21
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 30.
22
Ibid.
23
Ibid.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
9
2. Prevensi khusus (special deterrence) Berbeda dengan fungsi prevensi umum yang menekankan pada perlindungan pada masyarakat, prevensi khusus justru menitiberatkan pada usaha untuk menahan pelaku agar pelaku suatu tindak pidana tidak kembali melakukan tindak pidana serupa di kemudian hari24. 3. Teori Gabungan Teori gabungan pada dasarnya mencoba untuk menggabungkan tujuan pembalasan dengan tujuan pertahanan tata tertib masyarakat sehingga tercipta kombinasi-kombinasi teori yang dapat dibagi ke dalam tiga golongan berikut ini25: 1. Teori gabungan yang menitikberatkan pada upaya pembalasan tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melampaui batas apa yang dianggap perlu untuk dijatuhkan guna mempertahankan tata tertib masyarakat; 2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada upaya pembalasan tetapi pembalasan yang dikenakan tidak boleh lebih berat dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku; 3. Teori gabungan yang menganggap bahwa dalam suatu penjatuhan pidana diperlukan tujuan pembalasan maupun pertahanan tata terbib dalam masyarakat secara seimbang; METODE PENELITIAN Bentuk penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian yuridis-normatif yakni suatu bentuk penelitian yang mengacu pada ketentuan pidana mengenai Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tipologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif—analitis dimana pada penelitian ini, penulis akan mencoba menggambarkan pelaksanaan pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dalam beberapa putusan pidana narkotika. Berdasarkan gambaran tersebut, penulis akan meninjau perumusan pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 terkait dengan tercapainya tujuan yang diharapkan oleh perumus undang-undang. 24
Utrecht, Op,cit., hal. 184.
25
Ibid., hal. 196.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
10
Penelitian ini akan dilakukan berdasarkan studi kepustakaan26. Penelitian ini nantinya akan menggunakan dua alat pengumpulan data yakni studi pustaka dan wawancara dengan informan atau narasumber sebagai pelengkap data pustaka yang ada. Studi pustaka akan dilakukan terhadap data-data sekunder yang dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni27: 1. Bahan Hukum Primer, terdiri atas United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance 1988, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, data mengenai pelaksanaan pidana denda pada seluruh kejaksaan negeri di DKI Jakarta serta data mengenai jumlah terpidana Illicit Traffic yang menjalani pidana penjara pengganti denda di beberapa lembaga pemasyarakatan. 2. Bahan Hukum Sekunder, terdiri atas buku, jurnal, karya tulis, Commentary on The United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 yang dikeluarkan oleh United Nations serta Naskah Akademis, Rancangan Undang-undang dan Risalah Pembahasan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 3. Bahan Hukum Tersier, terdiri dari kamus dan ensiklopedia. Sedangkan, wawancara sendiri nantinya akan dilakukan dengan berbagai pihak yakni Jaksa, perumus undang-undang yang ikut dalam pembahasan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, terpidana narkotika yang merupakan pelaku Illicit Traffic. Khusus untuk wawancara terhadap terpidana pelaku Illicit Traffic, jumlah terpidana pelaku Illicit Traffic yang akan diwawancara tidak akan ditentukan berdasarkan persentase sampling dari total terpidana pelaku Illicit Traffic yang mengganti pidana dendanya dengan pidana penjara pengganti. Wawancara akan dilakukan berdasarkan metode purposive sampling28 terhadap warga binaan pelaku Illicit Traffic yang bersedia diwawancarai. 26
Seorjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 9., (Jakarta: Rajawali Press, 2006) hal. 23. 27
Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, (Depok: UI Press, 2010), hal. 51-52.
28
Purposive sampling adalah metode pengambilan sample dalam suatu penelitian yang dilakukan berdasarkan suatu kebutuhan atau tujuan tertentu dalam penelitian. Lihat, NN, “Type of Samples”, http://psychology.ucdavis.edu/sommerb/sommerdemo/sampling/types.htm (diakses pada 20 Maret 2013, pukul 13.04 WIB). Purposive sampling merupakan metode pengambilan sample yang dianggap cocok untuk digunakan dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif. Pengambilan sample dengan metode ini tidak dilakukan secara acak melainkan dilakukan dengan suatu karakteristik tertentu yang dibutuhkan peneliti dalam melakukan penelitian. Lihat juga, Ted Palys. “Purposive Sampling”, The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods, CA: SAGE Publications, Inc., 2008, p. 698.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
11
Tidak hanya itu, pendekatan yang akan digunakan guna mengolah data yang ditemukan dalam penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif guna mengembangkan pemikiran dan pemahaman penulis melalui analisa tentang perumusan dan pelaksanaan pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh perumus undang-undang. HASIL PENELITIAN Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada lima Kejaksaan Negeri di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), diketahui bahwa sejak Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 diterapkan, tidak ada satu pun terpidana kasus Illicit Traffic yang melaksanakan pidana denda sebagaimana dijatuhkan oleh Hakim dalam putusan. Hal tersebut disampaikan oleh Para Jaksa yang ditemui penulis pada masing-masing Kejaksaan Negeri sebagaimana terangkum dalam tabel berikut ini: Wilayah Kejaksaan Jakarta Barat Jakarta Timur30 Jakarta Utara31 Jakarta Selatan
Tahun 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012
Jumlah Kasus Illicit Traffic Narkotika29 1.515 1.391 1.447 Tidak diketahui Tidak diketahui 913 Tidak diketahui 273 336 303 412 675
Pelaksanaan Pidana Denda 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
29
Perlu diketahui bahwa kasus Ilicit Traffic yang dimaksud dalam tabel ini adalah jumlah kasus Illicit Traffic yang ditangani oleh Kepolisian Resor di masing-masing wilayah hukum Kejaksaan Negeri tersebut. 30
Pada saat penelitian ini dilaksanakan, Penulis menemukan fakta bahwa sistem registrasi perkara pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur tidak disusun secara rapi sehingga ketika penulis meminta angka riil yang menyebutkan jumlah kasus Illicit Traffic Narkotika yang ditangani oleh Kejaksaan tersebut sejak tahun 2010 hingga 2012, pihak Kejaksaan tidak dapat menyediakan data tersebut karena registrasi yang tidak terpusat. Jumlah kasus Illicit Traffic untuk wilayah Jakarta Timur pada tahun 2012 sebagaimana disebutkan dalam tabel di atas diperoleh penulis saat penelitian pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Angka tersebut diperoleh berdasarkan gabungan laporan bulanan yang dikirimkan oleh Kejaksaan Jakarta Timur pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta setiap bulannya selama tahun 2012. Namun sayangnya, registrasi yang dimiliki oleh Kejaksaan Tinggi pun tidak tertata baik sehingga data yang dapat diakses hanya data pada Tahun 2012 saja. 31
Serupa dengan keadaan di Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, pihak Kejaksaan mengakui bahwa sistem registrasi perkara pada Kejaksaan Negeri Jakarta Utara juga tidak disusun secara rapi. Pihak Kejaksaan hanya dapat menyediakan data pada tahun 2011 dan 2012 saja. Sedangkan, untuk data pada tahun 2010, pihak Kejaksaan tidak dapat menyediakannya mengingat sistem registrasi mereka yang tidak teratur.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
12
2010 2011 2012
Jakarta Pusat
1052 995 1015
0 0 0
Tabel 1. Jumlah Pelaksanaan Pidana Denda untuk Kasus Illicit Traffic Narkotika di Seluruh Wilayah Kejaksaan Negeri DKI Jakarta
Tabel di atas menunjukkan bahwa selama tahun 2010 hingga 2012, pidana denda yang dijatuhkan atas kasus Illicit Traffic berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 justru tidak pernah dilaksanakan oleh para pelaku. Tidak hanya itu, meskipun belum ada rekapitulasi yang memadai dari pihak Kejaksaan Negeri namun pihak Kejaksaan dari seluruh wilayah Kejaksaan Negeri di DKI Jakarta menyatakan bahwa selama masa triwulan pertama pada tahun 2013, pidana denda yang dijatuhkan bagi pelaku Illicit Traffic tetap tidak pernah dilaksanakan. Dengan tidak dibayarkannya pidana denda yang dijatuhkan dalam putusan hakim maka terpidana kasus Illicit Traffic akan secara otomatis diwajibkan untuk menjalankan pidana pengganti denda berupa pidana penjara dengan maksimal pidana selama dua tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Hal tersebut tentu berimbas pada peningkatan jumlah terpidana dengan golongan BIIIs32 dalam suatu lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian penulis pada tiga lembaga pemasyarakatan
yakni
Lembaga
Pemasyarakatan
Cipinang
Klas
IA,
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta, Lembaga Pemasyarakatan Salemba Klas IIA dan satu rumah tahanan yakni Rumah Tahanan Klas IIA Jakarta Timur, penulis menemukan fakta bahwa seluruh terpidana Illicit Traffic—yang telah menyelesaikan pidana penjara pokok— akan memilih untuk berada di lembaga pemasyarakatan demi menyelesaikan pidana penjara pengganti denda. Berikut adalah tabel yang akan menunjukkan jumlah terpidana kasus Illicit Traffic yang sudah atau tengah menjalani pidana penjara pengganti denda: Nama Lembaga Pemasyarakatan/ Rumah Tahanan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta Lembaga Pemasyarakatan Klas
2012
Jumlah Warga Binaan BIIIs Illicit Traffic (UU No. 35/2009) 87 orang
2013
13 orang
2012
314 orang
Tahun
Warga Binaan BIIIs Illicit Trafficyang masih menjalani 2 orang 2 orang
32
Golongan BIIIs adalah golongan bagi para warga binaan pemasyarakatan yang tengah menjalani pidana perampasan kemerdekaan pengganti denda, baik dalam bentuk pidana penjara maupun pidana denda.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
13
IA Cipinang Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Salemba Rumah Tahanan Pondok Bambu Jumlah
2013 2012 2013 2012 2013
28 orang 97 orang 6 orang 40 orang 7 orang 592 orang
3 orang 6 orang 13 orang
Tabel 2. Jumlah BIIIs Narkotika pada Beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Patut diketahui bahwa terpidana kasus Illicit Traffic yang tengah menjalani pidana penjara pengganti denda sebagaimana tertera di atas merupakan warga binaan—yang pada masa pelaksanaan pidana penjara—mengajukan Pembebasan Bersyarat33 terhadap pidana penjara pokoknya sehingga mereka dapat menyelesaikan pidana penjara pokok lebih cepat. Apabila warga binaan terpidana kasus Illcit Traffic menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak mengajukan Pembebasan Bersyarat maka sudah tentu warga binaan tersebut masih menjalani pidana penjara pokok dan belum dapat menjalani pidana penjara pengganti denda mengingat besaran pidana penjara pokok bagi pelaku Illicit Traffic pada undang-undang tersebut juga dirumuskan dalam waktu yang sangat lama. Warga binaan dengan golongan BIIIs dari kasus Illicit Traffic yang telah menjalani Pembebasan Bersyarat tersebut merupakan warga binaan yang mulai menjalani pidana penjara pokok sejak tahun 2010. Perbuatan yang dilakukan oleh seluruh warga binaan tersebut hampir serupa. Setidaknya, terdapat empat pasal utama yang dikenakan kepada para warga binaan di atas, yang mana seluruh pasal tersebut mengatur mengenai perbuatan dalam ruang lingkup Illicit Traffic atas Narkotika Golongan I. Keempat pasal tersebut terdiri atas Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113 dan Pasal 114. Umumnya, perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku meliputi perbuatan “memilki” atau “menyediakan” Narkotika Golongan I baik dalam bentuk tanaman sebagaimana diatur dalam Pasal 111 maupun dalam bentuk bukan tanaman sebagaimana diatur dalam Pasal 112, perbuatan “mengimpor” dan “mengekspor” Narkotika 33
Pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada seorang terpidana apabila terpidana tersebut telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya dan sekurang-kurangnya telah menjalani sembilan bulan. Pembebasan bersyarat diberikan kepada seorang terpidana dengan suatu syarat umum yakni bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan perbuatan lainnya yang tidak baik. Terpidana juga dapat diberikan suatu syarat khusus selama tidak mengurangi kemerdekaan agama atau politik si terpidana. Pada pembebasan bersyarat diberikan suatu masa percobaan selama sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun. Jika pada masa percobaan, terpidana yang diberikan pembebasan bersyarat tersebut melanggar syarat umum atau syarat khusus maka pembebasan yang diberikan dapat dicabut kembali. (Lihat, Indonesia[2], Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, LN. No. 127 Tahun 1958, TLN. No. 3850, Pasal 15 dan Pasal 15a). Pembebasan bersyarat diberikan dengan tujuan untuk mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang lebih baik dan berguna. (Lebih lanjut, lihat Andi Hamzah, Op.cit., hal. 45).
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
14
Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 113 serta perbuatan “menjual”, “membeli” dan “menjadi perantara dalam jual beli” atas Narkotika Golongan I sebagaimana diatur Pasal 114. Sebagian besar pidana denda yang dijatuhkan kepada warga binaan tersebut pun mengambil batas minimum khusus dari tiap-tiap pasal yakni Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) untuk perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 111, Pasal 112 dan Pasal 113 serta Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 113. Terhadap pidana denda yang dijatuhkan bagi para warga binaan tersebut, ditetapkan pula pidana penjara pengganti denda yang berkisar antara 1 (satu) bulan hingga 6 (enam) bulan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada sembilan warga binaan pelaku kasus Illicit Traffic yang tengah menjalani pidana pengganti denda dan berkenan untuk diwawancarai pada seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang menjadi lokasi penelitian ini, penulis mendapatkan gambaran mengenai alasan-alasan yang melatarbelakangi para warga binaan untuk tidak membayar pidana denda yang dijatuhkan dan lebih memilih untuk menjalani pidana penjara pengganti denda. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, diketahui bahwa alasan utama yang melatarbelakangi para warga binaan sehingga tidak membayar pidana denda yang dijatuhkan adalah minimnya kondisi ekonomi para warga binaan yang mengakibatkan mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayar pidana denda tersebut. Keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor terbesar dan utama yang menghambat mereka dalam menjalani pidana denda. Sebanyak delapan dari sembilan orang warga binaan yang penulis wawancarai menyatakan bahwa jumlah pidana denda yang harus dibayarkan oleh mereka sangatlah besar dan berbanding terbalik dengan keadaan ekonomi yang mereka miliki. Hal itulah yang menjadi penyebab utama tidak dibayarkannya pidana denda oleh kedelapan warga binaan tersebut. Namun ternyata, faktor keterbatasan ekonomi tidak hanya menjadi satu-satunya faktor yang menyebabkan warga binaan terpidana kasusIllicit Traffic tidak membayarkan pidana denda. Faktor lain yang ternyata juga mempengaruhi pelaksanaan pidana denda oleh pelaku Illicit Traffic adalah rendahnya pidana penjara pengganti yang harus dilaksanakan oleh para pelaku guna mengganti pelaksanaan pidana denda yang dijatuhkan kepadanya. Alasan tersebut menjadi faktor utama yang justru sangat mempengaruhi pemikiran salah satu warga binaan—yang sebenarnya memiliki kondisi ekonomi yang cukup untuk melunasi pembayaran pidana denda. Alasan ini lahir sebagai hasil pemikiran mengenai untung dan rugi atas pilihan untuk menjalankan pidana denda namun kehilangan sejumlah uang yang nilainya tidak sedikit
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
15
atau menggantinya dengan pidana penjara pengganti dengan konsekuensi memperpanjang masa tinggal di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan namun tetap tidak kehilangan sejumlah uang yang mungkin dapat dipergunakan bagi kebutuhan hidup yang lain.
PEMBAHASAN Ancaman pidana dengan jumlah tinggi sebagaimana diatur bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 beserta pelaksanaannya juga dapat ditinjau berdasarkan tujuan yang diharapkan oleh perumus undang-undang. Pada dasarnya, pembentukan
undang-undang
ini
dilandasi
oleh
semangat
untuk
memberantas
penyalahgunaan dan peredaran narkotika yang kian menjamur dan sudah tidak dapat lagi ditangani dengan baik melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007. Pembentukan ancaman pidana denda dengan jumlah tinggi bagi pelaku Illicit Traffic pun dilatarbelakangi dua tujuan pemidanaan utama yakni tujuan prevensi umum guna mencegah masyarakat melakukan Illicit Traffic serta tujuan represif guna memberikan penderitaan dan efek jera kepada pelaku atas perbuatan yang telah dilakukan. Berdasarkan dua tujuan pemidanaan itulah, ancaman pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dirumuskan dengan jumlah tinggi. Perumus undang-undang sebenarnya berharap bahwa ancaman pidana denda yang tinggi tersebut dapat menakuti masyarakat umum sehingga tidak ada orang yang berani melakukan perbuatan yang termasuk Illicit Traffic. Dengan begitu, diharapkan pula penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat ditekan. Namun, berkaca pada tidak dilaksanakannya pidana denda oleh pelaku Illicit Traffic sebagaimana telah diuraikan dalam tabel 4.1., penulis melihat bahwa keberadaan ancaman pidana denda dengan jumlah yang sangat tinggi bagi pelaku Illicit Traffic justru tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan oleh perumus undangundang. Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 4.1, jumlah kasus pada tiap-tiap Kejaksaan Negeri di DKI Jakarta lebih cenderung mengalami peningkatan per tahunnya. Bahkan, menurut Soimah, S.H., M.H., Jaksa pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, diketahui bahwa kasus Illicit Traffic menjadi jenis kasus yang paling banyak ditangani pada kejaksaankejaksaan negeri di wilayah DKI Jakarta34.
34
Hal tersebut disampaikan oleh Soimah, S.H., M.H., Jaksa pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam wawancara yang dilaksanakan pada 11 April 2013 di Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Hal tersebut diperkuat pula oleh pernyataan Jaksa-jaksa yang ditemui penulis saat melakukan penelitian di seluruh Kejaksaan Negeri di DKI Jakarta.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
16
Selain itu, jika dibandingkan dengan periode sebelum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 diterapkan35, jumlah kejahatan narkotika pun cenderung meningkat. Hal tersebut dapat terlihat pada rekapitulasi data mengenai kasus narkotika yang disusun Badan Narkotika Nasional selama lima tahun (2007-2011) dimana didalamnya terdapat jumlah kasus narkotika baik yang ditangani oleh Kepolisian Republik Indonesia maupun yang ditangani oleh Badan Narkotika Nasional. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang disusun oleh Badan Narkotika Nasional tersebut, diketahui bahwa pada tahun 2010 dan 2011 terjadi peningkatan terhadap jumlah kasus Illicit Traffic dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Pada tahun 2010 dan 2011, jumlah kasus Illicit Traffic yang terjadi di Indonesia mencapai angka 36.728 kasus yang terbagi dalam tiga ruang lingkup yakni kulitvasi, produksi dan distribusi. Hal tersebut tentunya sangat jauh berbeda dengan kasus Illicit Traffic selama tahun 2007 dan 2008 yang hanya mencapai 29.728 kasus. Untuk diketahui, kasus Illicit Traffic yang terjadi pada tahun 2009 adalah 20.598 kasus. Rincian dari kasus tersebut dapat terlihat dalam tabel di bawah ini: No. 1. 2.
Tahun 2007 2008
3.
200936
4. 5.
2010 2011
Kultivasi Produksi 85 17 68 48 Jumlah Total per 2007 dan 2008 72
77
50 89 69 30 Jumlah Total per 2007 dan 2008
Distribusi 11.677 17.833
Jumlah 11.779 17.949 29.728
20.449
20.598
17.036 19.454
17.175 19.553 36.728
Tabel 3. Jumlah Kasus Illicit Traffic di Indonesia pada tahun 2007 hingga 201137.
Tabel di atas menunjukkan bahwa tujuan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika—khususnya dalam hal ini adalah pemberantasan peredaran gelap narkotika sebagaimana diharapkan oleh perumus undang-undang saat merumuskan Undang-
35 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yakni pada tanggal 12 Oktober 2009. Lebih lanjut, lihat Indonesia[1], Op.cit., Pasal 155. 36 Data pada tahun 2009 tidak digunakan untuk perbandingan mengingat pada tahun tersebut ada dua periode keberlakuan hukum mengenai narkotika yakni Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 pada 1 Januari 2009 – 11 Oktober 2009 dan Periode Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 pada 12 Oktober 2009 – 31 Desember 2009. 37
Badan Narkotika Nasional, Loc.cit.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
17
undang Nomor 35 Tahun 2009 justru tidak tercapai mengingat pasca diundang-undangkannya undang-undang ini, jumlah kasus Illicit Traffic yang terjadi justru semakin meningkat. Jika dilihat dari segi hukum sanksi, perumusan ancaman pidana denda dengan jumlah tinggi bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 juga memiliki pengaruh terhadap keadaan di atas. Jumlah ancaman pidana denda tinggi bagi pelaku Illicit Traffic sebenarnya diharapkan oleh perumus undang-undang agar dapat menjadi sebuah alat yang mampu menakut-nakuti masyarakat umum sehingga tidak melakukan perbuatan dalam ruang lingkup Illicit Traffic terhadap Narkotika. Perumus undang-undang menganggap bahwa ancaman pidana denda dengan jumlah tinggi mampu memberikan tekanan bagi masyarakat dalam bentuk ancaman kehilangan harta kekayaan dengan jumlah yang sangat besar sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan itu sendiri. Namun, tingginya jumlah ancaman pidana denda yang dirumuskan bagi pelaku Illicit Traffic dalam undang-undang tersebut justru menjadi persoalan tersendiri dalam pemenuhan tujuan pemidanaan sebagaimana diharapkan oleh perumus undang-undang. Jumlah ancaman pidana denda justru menjadi tidak rasional untuk diaplikasikan kepada masyarakat secara global. Pidana denda yang dijatuhkan pun kemudian hanya diambil berdasarkan minimum khusus yang berjumlah sangat tinggi dan seringkali tidak sesuai dengan keadaan ekonomi yang dimiliki oleh sebagian besar pelaku Illicit Traffic. Para pelaku Illicit Traffic dengan keadaan ekonomi rendah pun akhirnya mengganti pidana denda yang tidak dapat dibayarnya tersebut dengan pidana penjara pengganti yang umumnya tidak pernah lebih dari enam bulan. Meski, jenis pidana yang harus dijalani guna mengganti pidana denda yang tidak dibayarkan adalah pidana perampasan kemerdekaan dalam bentuk pidana penjara namun singkatnya masa pemidanaan yang harus dijalani oleh pelaku Illicit Traffic justru tidak akan menjadi suatu beban baru bagi pelaku Illicit Traffic—mengingat para pelaku Illicit Traffic sendiri sebelumnya telah menjalani pidana penjara pokok yang lebih lama jangka waktunya. Selama menjalani pidana penjara pokok tersebut tentunya para pelaku Illicit Traffic sudah terbiasa menjalani hidup di dalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga, menambah masa tinggal di dalam lembaga pemasyarakatan guna menyelesaikan pidana penjara pengganti denda tentunya tidak akan menjadi hal yang menakutkan bagi mereka. Bagi pelaku Illicit Traffic yang sebenarnya berasal dari golongan masyarakat dengan ekonomi tinggi, ketimpangan yang terjadi antara jumlah pidana denda yang tinggi dan pidana pengganti denda yang terlalu rendah justru memberikan mereka pilihan yang lebih
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
18
menguntungkan untuk lebih memilih menjalani pidana penjara pengganti denda tanpa harus mengeluarkan uang sedikit pun. Jumlah ancaman pidana denda yang terlalu tinggi serta rendahnya pidana penjara pengganti denda yang harus dijalani oleh pelaku Illicit Traffic justru menodai fungsi “menakut-nakuti” dari ancaman pidana denda itu sendiri. Dengan mengetahui bahwa tingginya pidana denda yang dijatuhkan tersebut dapat diganti dengan pidana penjara pengganti yang sangat singkat—dan notabene lebih menguntungkan, para potential offenders dari Illicit Traffic tentunya tidak akan melihat tingginya ancaman pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut sebagai hal yang menakutkan. Keadaan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi para potential offenders untuk tetap melakukan perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup Illicit Traffic mengingat rendahnya pidana yang benarbenar akan mereka jalani—tidak seberat ancaman pidana sebagaimana tertulis dalam undangundang. Selain dapat mencederai fungsi prevensi umum, ancaman pidana denda dengan jumlah tinggi sebagaimana diancamkan bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 juga dapat menodai fungsi represif yang diharapkan oleh perumus undangundang. Pada dasarnya, perumus undang-undang berharap agar pidana denda yang dirumuskan dalam jumlah tinggi tersebut dapat mengarahkan para hakim pada penjatuhan pidana denda yang bersifat lebih menjerakan. Perumus undang-undang juga berharap agar tingginya pidana denda yang dijatuhkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku sehingga para pelaku Illicit Traffic tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya. Namun, dengan perumusan ancaman pidana denda dalam jumlah tinggi serta diberikannya kemungkinan oleh undang-undang untuk mengganti pelaksanaan pidana denda dengan pidana penjara pengganti dalam waktu yang singkat, keberadaan pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic tentunya tidak akan mampu memberikan penderitaan dan efek jera kepada pelaku secara maksimal sebagaimana yang diharapkan oleh perumus undang-undang. Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa perumusan ancaman pidana denda dalam jumlah tinggi sebagaimana diatur bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tidaklah tepat guna mengefektifkan kembali kedudukan pidana denda dalam sistem pemidanaan, mengingat pada kenyataannya perumusan ancaman pidana denda yang sangat tinggi justru menjadi salah satu faktor penghambat pelaksanaan pidana denda—yang secara tidak disadari diciptakan sejak awal oleh perumus undang-undang. Sehingga, pidana denda yang dijatuhkan pun tetap tidak akan efektif. Perumusan ancaman pidana denda dengan
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
19
jumlah yang sangat tinggi bagi pelaku Illicit Traffic juga tidak tepat untuk dijadikan alat guna mencapai tujuan pemidanaan yang diharapkan oleh perumus undang-undang, terlebih guna mencapai tujuan pemidanaan dalam hal prevensi umum kepada potential offenders.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Pada pelaksanaannya, pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic yang dijatuhkan dalam jumlah tinggi berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, ternyata tidak pernah dilaksanakan. Pada seluruh kasus Illicit Traffic yang ditangani oleh seluruh wilayah Kejaksaan Negeri di DKI Jakarta, tidak ada pelaku Illicit Traffic yang melaksanakan pidana denda yang dijatuhkan. Hal tersebut terjadi karena adanya dua faktor utama yakni faktor keterbatasan ekonomi yang dimiliki oleh sebagian besar pelaku Illicit Traffic serta munculnya kemungkinan bagi para pelaku untuk mengganti pidana denda tersebut dengan pidana penjara pengganti yang jangka waktunya sangat singkat dan dianggap lebih menguntungkan. 2. Berkaca pada ketiadaan pelaksanaan pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic yang tidak pernah dijalankan, ancaman pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 justru tidak dapat mencapai tujuan prevensi umum dan retributif positif sebagaimana diusung oleh perumus undang-undang. Ancaman pidana denda yang dirumuskan dengan jumlah yang terlalu tinggi serta diberikannya kemungkinan untuk mengganti pelaksanaan pidana denda dengan pidana penjara pengganti dalam masa singkat akan mengakibatkan pidana denda menjadi tidak terlalu menakutkan bagi para potential offenders. Keadaan tersebut juga menempatkan pidana denda sebagai suatu pidana yang tidak menderitakan dan menjerakan bagi pelaku Illicit Traffic itu sendiri.
SARAN Terhadap permasalahan yang diangkat, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Ancaman pidana denda dengan jumlah tinggi bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 patut ditinjau ulang. Perbaikan terhadap jumlah ancaman
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013
20
pidana denda diperlukan guna menghasilkan pidana denda yang rasional untuk dilaksanakan. Perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan cara merumuskan
jumlah
ancaman pidana denda baik yang dirumuskan sebagai maksimum khusus dan minimum khusus secara lebih rendah. Perumus undang-undang juga harus memikirkan rasionalitas dari angka yang ditentukan agar pidana denda yang dijatuhkan dapat dilaksanakan. 2. Selain perlu memperbaiki perumusan jumlah ancaman pidana, penjatuhan pidana penjara pengganti denda pun perlu untuk diperhatikan. Perlu adanya suatu ketentuan tertulis yang dapat menunjukkan suatu parameter atas unsur “tidak dapat membayar” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 sebelum menjatuhkan pidana penjara pengganti denda. Parameter yang paling tepat akan hal tersebut adalah kondisi ekonomi dari para pelaku Illicit Traffic itu sendiri. Dengan adanya parameter tersebut, diharapkan pidana denda yang dijatuhkan akan menjadi suatu bentuk kewajiban yang memang harus dibayar oleh pelaku dan tidak dapat diganti dengan mudah menjadi pidana penjara pengganti denda sebagaimana sering dilakukan oleh para pelaku Illicit Traffic yang sebenarnya mampu membayar.
DAFTAR PUSTAKA Barda Nawawi dan Muladi. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Ed. 2. Cet. 2. Bandung: PT. Alumni, 1998. Dewan Perwakilan Rakyat. Naskah Akademis Rancangan Undang-undang Narkotika. Jakarta: s.n., 2005. Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Cet. 2. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1985. Indonesia. Undang-undang tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, LN. Tahun 2009 No. 143, TLN. No. 5062. ________ Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, LN. No. 127 Tahun 1958, TLN. No. 3850. NN, “Type of Samples”, http://psychology.ucdavis.edu/sommerb/sommerdemo/sampling /types.htm (diakses pada 20 Maret 2013, pukul 13.04 WIB). Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undangundang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Soekanto, Soerjono. Metode Penelitian Hukum. Depok: UI Press, 2010. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Cet. 9. Jakarta: Rajawali Press, 2006. Palys, Ted. “Purposive Sampling”. The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods. CA: SAGE Publications, Inc., 2008. United Nations. United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance Convention, 1988. Utrecht. Ringkasan Sari Kuliah: Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958. Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011.
Tinjauan terhadap ancaman..., Mely Chinthya Devi, FH UI, 2013