BAB II TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A. Peraturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industry), merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lainnya. Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.
39 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan ketahanan nasional. Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas Tindak Pidana tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-UndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu,56 kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.57 Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.
56
http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177 (diakses Pada Senin, 6 Desember 2010) http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun2009-tentang-narkotika/ (diakses Pada Selasa, 10 November 2009) 57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ada beberapa revisi terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tersebut karena masih ditemukan beberapa kelemahan selama pelaksanaan atau penerapannya sehingga Undang- undang tersebut diratifikasi pada Tahun 2009 sehingga melahirkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya. Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu ; 1.
Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Pada zaman penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan
candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan cina) oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindai Belanda mengeluarkkan Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.58 Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan perundang-undangan ini, materi hukumnya hanya mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan
58
narkotika, sedangkan tentang
Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, loc.cit., halaman 10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.59 Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961 beserta
Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul
diberlakukan Undang-Undangg No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.60 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Ketidak puasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan 59
Hari sasangkat, op.cit., halaman 5.
60
http://hukumonlinesiboro.blogspot.com/2011/12/faktor-faktor-lahirnya-kebijakanuntuk.html (diakses pada Senin, 05 desember 2011)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan menusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.61 Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) sampai (7) adalah : 1. Pada Pasal 23 ayat (1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. 2. Pada Pasal 23 ayat (2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. 3. Pada Pasal 23 ayat (3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika. 4. Pada Pasal 23 ayat (4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.
61
A.R Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 9-10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Pada Pasal 23 ayat (5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. 6. Pada Pasal 23 ayat (6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. 7. Pada Pasal 23 ayat (7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri. Ketentuan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan di atas diatur dalam Bab VIII Pasal 36, yaitu : 1. Pasal 36 ayat (1) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (1) : a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver. 2. Pasal 36 ayat (2) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (2) : a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 3. Pasal 36 ayat (3) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (3) : a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 4. Pasal 36 ayat (4) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (4) : a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 5. Pasal 36 ayat (5) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (5) : a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30.000.000,- (tiga puluh jutan rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja; b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 6. Pasal 36 ayat (6) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (6) : a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 7. Pasal 36 ayat (7) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (7) : a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 8. Pasal 36 ayat (8) Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam perkembangannya ternyata Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak juga bisa meredam ataupun memberantas peredaran gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya pada orang-orang yang mengalami broken home atau yang gemar dalam kehidupan malam, tetapi telah merambah kepada mahasiwa, pelajar, bahkan tidak sedikit kalangan eksekutif maupun businessman telah terjangkit narkotika. Seiring dengan perkembangan waktu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1997 dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut, sehingga akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.62 Dalam konsideran Undang-Udang Nomor 22 Tahun 1997 antara lain menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, pada satu sisi mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
62
Ibid., halaman 12.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasn terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.63 Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.64 Didalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tujuan pengaturan Narkotika adalah untuk : a. Menjamin
ketersediaan
narkotika
untuk
kepentingan
pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika c. Memberantas peredaran gelap narkotika Narkotika digolongkan pada tujuan dan potensi ketergantungan yang bersangkutan. Untuk pertama kali penggolongan tersebut ditetapkan dalam undang-undang ini, dan selanjutnya akan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan.65 Penggolongan narkotika adalah sebagai berikut : 63
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, halaman
156. 64
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 165 65 Ibid., halaman 167.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi dangat tinggi mengakibatkan keterantungan. b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk
tujuan
pengembangan
ilmu
pengetahuan
serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dan banyak digunakan pengetahuan
dalam serta
terapi
dan/atau
mempunyai
tujuan
potensi
pengembangan ringan
ilmu
mengakibatkan
ketergantungan.66 Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut: 1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika dalam bentuk tanaman (Pasal 78-79) 2. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika (Pasal 80) 3.
Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 81)
66
Ibid., halaman 168.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 82) 5.
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 78 a/d 82)
6.
Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 84)
7.
Tanpa hak dan melawan hukum, menggunakan narkotika untuk diri sendiri (Pasal 85)
8. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor (Pasal 86) 9.
Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 87)
10. Pecandu
narkotika yang telah cukup
umur atau
keluarganya
(orangtua/wali) dengan sengaja tidak melaporkan diri (Pasal 88) 11. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan 42, yaitu tidak mencantumkan label pada kemasan narkotika dan mempublikasikan narkotika diluar media cetak ilmiah kedokteran/farmasi (Pasal 89) 12. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di Pengadilan (Pasal 92)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13. Nahkoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25, yaitu tidak membuat berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika kepada Kantor Pabean setempat (Pasal 93) 14. Penyidik (PPNS/Polri) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan 71, yaitu tidak melakukan penyegelan dan pembuatan berita acara penyitaan, tidak member tahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narkotika (Pasal 94) 15. Saksi yang memberi keterangan tidak benar di muka sidang pengadilan (Pasal 95) 16. Melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia (Pasal 97) Ketentuan pidana yang telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 memang sangat berat, ketat dan mengikat. Tujuan utama ketentuanketentuan pidana adalah untuk membersihkan umat manusia dari akibat-akibat buruk penyalahgunaan narkoba. Undang-undang tersebut merupakan salah satu kebijakan dan upaya Pemerintah untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia.67 Tindak pidana di bidang Narkotika diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus.68 Setelah berbicara mengenai revisi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 sehingga diratifikasi pada Tahun 2009 yang melahirkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatas maka sampailah kita kepada 67
http://hunafa.stain-palu.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/7-Ahmad-Syafii.pdf (diakses Pada Senin, 2 Agustus 2009) 68 Gatot Supramono, op.cit., halaman 198.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pembahasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang memiliki kaitan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasakan Pasa153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut undang undang baru ini, Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.69 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika digolongkan kedalam empat golongan. Penggolongan ini didasarkan atas tingkat ketergantungannya atau sindrom, yaitu : a. Psikotropika Golongan I mempunyai potensi amat kuat yang berakibat pada sindrom ketergantungan. Biasanya Psikotropika Golongan
I
hanya
diperuntukan
untuk
kepentingan
ilmu
pengetahuan. b. Psikotropika
Golongan
II
mempunyai
potensi
kuat
dan
mengakibatkan sindrom ketergantungan. Psikotroika Golongan II, dapat dipergunakan dalam terapi, dan/atau ilmu pengetahuan. c. Psikotropika Golongan III mempunyai potensi sedang terhadap tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan III
69
AR. Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 47.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dipergunakan untuk kepentingan terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan. d. Psikotropika Golongan IV mempunyai potensi ringan terhadap tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan IV ini digunakan untuk kepentingan terapi, dan/atau ilmu pengetahuan.70 Dimana pada jenis Psikotropika Golongan I dan II diatas dicabut dan dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I pada undang-undang yang baru. (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan kedalam tiga golongan, yaitu : a. Narkotika Golongan I (narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketrergantunggan). b. Narkotika Golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan). c. Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengoatan dan banyak
digunakan
dalam
terapi
dan/atau
untuk
tujuan
70
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 125.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pengembangan imu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan).71 Berikut beberapa perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu : 1.
Perluasan Jenis dan Golongan Sebagaimana yang kita ketahui, pada Undang-Undang mengenai Narkoba
sebelum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada Undang-Undang terdahulu, jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang. Hal ini diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 jenis Narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I.
71
AR. Sujono dan Bony Daniel, op. Cit., halaman 49-56..
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam pasal 153 point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini. Hal ini dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dimana pada Pasal 8 ayat (2) dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I kepada hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada bagian penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai: a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan. b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Undang ini. Pengertian ini diikuti dengan dikeluarkannya lampiran (2) UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengenai golongan dan jenis prekusor itu sendiri. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, namun seiring diketemukannya pabrik-pabrik pembuat narkoba yang berada di Indonesia maka peredaran prekusor menjadi penting untuk dikendalikan, hal ini juga diatur sebagaimana tercantum pada bagian VIII UU No 35 Tahun 2009 yang membahas tentang Prekusor Narkotika (Pasal 48 sampai dengan Pasal 52). Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika. 2. Pengobatan dan Rehabilitasi Dalam hal pengobatan, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis jenis Narkotika yang dapat dimiliki, disimpan atau dibawa hanyalah jenis narkotika Golongan II dan Golongan III saja. Kemudian Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga menyatakan bahwa pihak yang wajib menjalankan rehabilitasi medis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan rehabilitasi sosial bukan saja pecandu narkotika seperti pada UndangUndang No. 22 Tahun 1997 namun juga terhadap korban penyalahgunaan. Kemudian pada Pasal 55 ayat (2) dikatakan bahwa Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3. Pencegahan dan Pemberantasan Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam UndangUndang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Kemudian dalam undang-undang terbaru ini juga mengatur mengenai Badan Narkotika Nasional, dimana pada pasal 64 ayat (1) dikatakan bahwa Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Tidak hanya itu, undang-undang ini juga mengatur mengenai kewenangan dan kedudukan BNN sampai dengan di tingkat daerah, hal ini tidak tercantum pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 . 4. Penyidikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 peranan Badan Narkotika Nasional tidak diatur dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari BNN sebagai badan Nasional diatur sedemikian rupa terutama mengenai kewenangan penyidikan. Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, penyidikan hanya dilakukan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan PPNS sesuai pasal 65, sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada pasal 81 bahwa Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini, ditambah dengan PPNS tertentu. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kemudian dalam hal lamanya waktu penangkapan, Undang-Undang. No 22 Tahun 1997 hanya memberikan waktu 24 jam dalam menangkap di ikuti perpanjangan selama 48 jam apabila dalam pemeriksaan waktu tersebut tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mencukupi (Pasal 67). Pada Undang- Undang 35 Tahun 2009, penangkapan dapat dilakukan selama 3 x 24 jam kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi apabila pemeriksaan dirasa belum mencukupi. Begitu pula dalam hal penyadapan, pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 waktu penyadapan hanya selama 30 hari (pasal 66), namun pada UndangUndang terbaru penyadapan terkait peredaran narkotika ini diperpanjang menjadi 3 bulan (90 hari), hal ini diatur pada Pasal 77 ayat (1) yang menyatakan bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik. 5. Peran Serta Masyarakat Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pada Pasal 105 dinyatakan bahwa Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya dimana peran masyarakat hanya sebatas pada kewajiban semata. Perluasan makna hak dan kewajiban disini memberikan pertanggung jawaban dua arah antara masyarakat dan penegak hukum/BNN dalam upaya bersama memberantas peredaran narkotika ini. Selanjutnya adalah mengenai pemberian penghargaan terhadap upaya pemberantasan narkotika ini, dimana pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Pasal 58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah berjasa dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pemerintah juga memberikan penghargaan kepada penegak hukum (Pasal 109). 6. Ketentuan Pidana Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang cukup prinsipal dan mendasar dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ke Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu jumlah pasal dalam ketentuan pidana ini hanya berjumlah 23 pasal (Pasal 78 samapai dengan Pasal 100) dan berkembang menjadi 35 pasal pada undangundang terbaru (Pasal 111 sampai dengan Pasal 148). Secara umum UndangUndang No. 35 Tahun 2009 ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara yang lebih berat daripada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 demikian pula dengan ancaman hukuman denda yang diberikan juga lebih berat. Beberapa pokok perubahan tersebut diantaranya adalah :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Penggunaan sistem pidana minimal Pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada. Hal ini terutama pada para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I. b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan narkotika baik jenis Golongan I , II ,maupun III dibandingkan UndangUndang No. 22 Tahun 1997, misalnya untuk Golongan I baik itu menyimpan, membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) menjadi minimal Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) dan maksimal Rp.8.000.000.000 (delapan milyar rupiah). c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis tanaman) atau barang bukti melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana dengan pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 1/3. d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rehabilitasi sosial (Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009). e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 Undang Undang No.35 Tahun 2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan maka dapat dipidana dengan pidana kurungan 6 bulan atau denda 1 juta rupiah (ayat 1), sedangkan untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah dilaporkan sebagaimana pasal 55 ayat (1) maka dia tidak dapat dipidana, kemudian untuk pecandu narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana (ayat 3). f. Adanya ancaman hukuman bagi PPNS dan Penyidik Polri/BNN yang tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 88 dan 89 (PPNS) dan pasal 87,89,90,91(2,3),dan pasal 92 (1,2,3,4).72
B. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana 1. Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam Lingkup Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan Perumusan Ancaman Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dalam kenyataan dewasa ini tindak pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecendrungan yang semakin meningkat baik secara kuantatif
72 http://ferli1982.wordpress.com/2011/01/02/kajian-umum-perbandingan-uu-no-22tahun-1997-dengan-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/ (diakses pada Senin, 4 Januari 2011)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama dikalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang berkerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional dan internasional. Berdasarkan
hal
tersebut
guna
peningkatan
upaya
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana narkotika perlu diakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.73 Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika di atas telah diatur diatur mulai Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni :74 a. Tindak Pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan prekusor narkotika, meliputi : 1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman, narkotika golongan II. 2. Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III, yang tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
73 74
Ibid., halaman 60. H. Siswanto S, op.cit., halaman 25-29.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Memproduksi, mengimpor, mengespor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III. b. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotka golongan III. c. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III. d. Menggunakan narkotika golonngan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III. e. Setiap penyalahguna narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III bagi diri sendiri. b. Tindak Pidana yang berkaitan dengan Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang belum sengaja tidak melapor atau setiap orang yang dengan sengaja adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129. c. Dalam hal tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 yang dilakukan oleh Korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi. d. membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakuka tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 Undang-Undang ini. e. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
f. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan dengan narkotika meliputi : 1. Pengurus indutri farmasi yang tidak melaksanakkan kewajiban dalam Pasal 45. 2. Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan masyarakat. 3. Pimpinan, lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. 4. Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan. 5. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengemangan ilmu pengetahuan. 6. Mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. 7. Nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28. 8. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 89.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). 10. Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 91 ayat (1) ipidana penjara dan pidana denda. 11. Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melakkan kewajiban tidak melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda. g. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika, meliputi : 1.
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129.
2.
Pemberantasan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 Tahun.
3.
Mengahalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika di muka sidang pengadilan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.
Narkotika dan prekusor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana prekusor narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekusor narkotika dirampas untuk Negara.
5.
Saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika di muka pengadilan dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda.
6.
Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana pelaku prekusor narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paing lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
7.
Setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan sepertiga.
8.
Melakukan kejahatan money londering yang diduga ada kaitaanya dengan tindak pidana narkotika, meliputi : 1. Menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan,
menyembunyikan
atau
menyamarkan,
menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda, atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika. 2. Menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investas, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset, baik dalam bentuk benda bergerak mapun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, yang diketahui berdasar dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika. 9. Terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika dan telah menjalani pidananya, dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan setelah Warga Negara Asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Demikian pula, Warga Negara Asing yang perah melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni :75 a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau meneyediakan narkotika dan prekusor narkotika ;
75
Ibid., halaman 256
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Kategori
kedua,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekusor narkotika; c. Ketegori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika; d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit nerkotika dan prekusor narkotika. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tetentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasien dapat memiliki, menyimpan dan atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri. Pasien tersebut harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh ssecara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Orang tua wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.76 Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk Menteri. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau mayarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pelaksanaan ketentuan dimaksud diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.77 Di bidang pembinaan dan pengawasan, pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika. Pembinaan dimaksud melalui upaya : a. Memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan pelayanan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah penyalahgunaan narkotika;
76 77
Ibid., halaman 257. Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas; d. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan e. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu nakotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan narkotika, Pengawasan dimaksud, meliputi : narkotika dan prekusor
narkotika
untuk
kepentingan
pelayanan
kesehatan
dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika; evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan, produksi, impor dan ekspor, peredaran, pelabelan, informasi, dan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketentuan lebih lanjut pembinaan dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah mengupayakan kerjasama dengan Negara lain dan/atau badan internasional
secara bilateral
dan multilateral, baik regional maupun
internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan narkotika dan prekusor narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.78
78
Ibid., halaman 258.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Berikut akan dijelaskan menganai perumusan sanksi pidana dan jenis pidana penjara dan jenis pidana denda terhadap perbuatan-perbuatan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yaitu : 1. Perbuatan tanpa hak melawan hukum yang berkaitan dengan penggolongan Narkotika (golongan I, II dan III) meliputi 4 (empat) kategori, yakni (1) berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan prekusor narkotika; (2) memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika dan prekusor narkotika; (3) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual-beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika; (4) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekusor narkotika. Sistem pemidanaan penjara untuk narkotika golongan I, II, III paling minimal 2 tahun dan paling maksimal 20 tahun penjara, pengenaan pidana denda diberlakukan kepada semua golongan narkotika, dengan denda minimal Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling maksimal Rp 8.000.000.000 (delapan miliar rupiah), untuk jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika dengan unsur-unsur pemberatan maka penerapan denda maksimum dari tiap-tiap pasal yang dilanggar ditambah dengan 1/3 (satu pertiga. Penerapan pidana penjara dan pidana denda menutrut undangundang-undang ini bersifat kumulatif, yakni pidana penjara dan pidana denda. 2. Ancaman Sanksi Pidana bagi Orang Tua/Wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur yang tidak melaporkan kepada pusat kesehatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah, untuk menapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tersebut, dapat dikenai ancaman pidana kurungan. (Pasal 128 ayat 1) Sedangkan bagi pecandu narkotika yang sudah cukup umur yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemeerintah tidak dituntut pidana. (Pasal 128 ayat 2) 3. Ancaman Sanksi Pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan adanya Tindak Pidana Narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana dendan paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), yang tidak melaporkan terjadinya perbuatan melawan hukum, yang meliputi : (1) memiliki, memyimpan, menguasai, menyediakan narkotika ; (2) memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan; (3) menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan; (4) menngunakan, memberikan untuk digunakan orang lain. Penerapan sanksi pidana tersebut, adalah bertujuan untuk memberikan efektivitas dari peran serta masyarakat. Peran serta ini mempunyai
kesempatan
yang
seluas-luasnya
di
mana
masyarakat
mempunyai hak dan tanggung jawab untuk membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Ancaman Sanksi Pidana terhadap Percobaan atau Permufakatan Jahat Melakukan tindak Pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menurut ketentuan Pasal tersebut pelakunya dipidana sesuai dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut 5. Ancaman Sanksi Pidana bagi Menyuruh, Memberi, Membujuk, memaksa dengan Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak diatur dalam ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2) 6. Ancaman Sanksi Pidana bagi Pecandu Narkotika yang tidak melaporkan diri ataupun keluaaganya kepada instalasi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial diatur dalam ketentuan Pasal 134 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,(dua miliar rupiah). Demikian pula keluarga dari pecandu narkotika dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika diatur dalam Pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Penerapan ketentuan pasal ini, adalah bertujuan untuk menghindari adanya perbuatan penyembuhan diri sendiri 7. Ancaman Sanksi Pidana bagi Hasil-hasil Tindak Pidana narkotika dan/atau Prekusor Narkotika, yang terdapat dugaan kejahatan money loundering diancam pidana penjara 5-15 Tahun atau 3-10 tahun, dan pidana denda
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
antara Rp 1000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai Rp 10.000.000,(sepuluh miliar rupiah) atau Rp 500.000,- (lima ratus juta rupiah atau Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah), yang terdapat dalam pasal 137 ayat (1) dan (2). Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah disusun secara limitatif tentang perbuatan tindak pidana yang ada kaitannya dengan perbuatan pencucian uang, antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidaa narkotika, tindak pidana psikotropika, dan sebagainya. 8. Ancaman Sanksi Pidana bagi Orang yang Menghalangi atau Mempersulit Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perkara terhadap tindak pidana narkotika dikenakan ancaman paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) yang terdapat dalam Pasal 138 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tujuan penetapan pasal ini ialah, agar tujuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika agar terjaminnya ketersediaan narkotika
untuk
kepentingan
pengobatan
dan
pengembangan
ilmu
pengetahuan teknologi, mencegah adanya penyalahgunaan narkoyika, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika dapat tercapai. Untuk membuat terang suatu perkara maka dibutuhkan keterangan saksi dan korban sehingga dapat mengungkapan pelaku tindak pidana. Pada umumnya para saksi dan korban takut memberikan kesaksian karena adanya ancaman atau intimidasi tertentu, sehingga perbuatan ini dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengahalangi dan menghasut, sert mempersulit jalannya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan persidangan 9. Ancaman Sanksi Pidana bagi Nahkoda atau Kapten Penerbang Tidak Melaksanakan ketentuan Pasal 27 atau Pasal 28 pengangkutan narkotika dan pengangkutan udara diatur dalam ketentuan Pasal 139
Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyakRp 1000.000.000,- (satu miliar rupiah). Ketentuan undang-undang ini bertujuan untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian serta kepentingan
pelaporan
pengangkutan
narkotika
antara
Negara
pengimpor/pengekspor narktika kepada Negara tuuan. Disamping itu, ketentuan ini untuk mencegah terajadinya kebocoran dalam pengangkutan narkotika yang mudah disalahgunakan oleh para pihak pengangkut narkotika dan prekusor narkotika. 10. Ancaman Sanksi Pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang tidak Melaksanakan Ketentuan tentang Barang Bukti diatur dalam ketentuan Pasal 140 ayat (1), di mana bagi PPNS untuk melaksanakan ketentuan Pasa 88 dan Pasal 89, yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kewajiban PNS menurut Pasal 88 dan Pasal 89 yang melakukan penyitaan terhadap Narktika dan Prekusor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada Penyidik BNN atau Penyidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Polri, dengan tembusan Kepala Kejaksaan negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan makanan dan pada Pasal 140 ayat (2) Penyidik Polri atau Penyidik BNN yang
melakukan penyitaan dan prekusor narkotika wajib melakukan
penyegelan dan membuat berita acara penyitaan, dan wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 jam sejak dilakukan penyitaan dan tebusannya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan makanan, dan penyidik Polri atau Penyidik BNN bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada dibawah penguasaanya. 11. Ancaman Sanksi Pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri tidak Melaksanakan Ketentuan Pasal 91 ayat (1) dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum,di mana Kepala Kejaksaan Negeri memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika dan prekusor narkotika dari Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan narkotika dan prekusor narkotika untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan dan/atau dimusnahkan maka dapat dikenakan ancaman pidana paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh tahun) serta ancaman denda paling sedikit Rp
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyakk Rp 100.000.000,- (satu miliar rupiah) yang diatur dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. 12. Ancaman Sanksi Pidana bagi Petugas Laboratorium yang Memalsukan Hasil Pengujian diatur aam Pasal 142 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dimana petugas tidak melaporkan hasil pengujian kepada penyidik dan penuntut umum, merupakan perbuatan melwan hukum dan dikenakan ancaman sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak lima ratus ribu rupiah. Penyidikan terhadap penyalahgunaan
narkotika
atau
prekusor
narkotika,
maka
peranan
laboratorium amat menentukan bagi kebenaran terjadinya tindak pidana narkotika, sehingga dapat menentukan unsur kesalahan sebagai dasar untuk menentukan pertanggungajawaban pidannya. Dalam kasus tertentu sering terjadinya pemalsuan hasil tes laboratorium, untuk mengehindarkan diri pelaku tindak pidana terhadap hasil tes laboratorium telah mengkonsumsi narkotika, atau menukarkan hasil tes laboratorium tersebut menjadi milik orang lain. 13. Ancaman Sanksi Pidana bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Tidak Benar damal pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika di muka pengadilan yang diatur dalam Pasal 143 Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Nerkotika diancam dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). 14. Ancaman Sanksi Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Pengulangan Tindak Pidana diatur dalam Pasal 144 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, di mana dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tidak pidana maka ancaman pidana maksimum dari masing-masing pasal ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Ketentuan ini mempunyai tujuan untuk membuat jera pelaku tindak pidana, agar tidak mengulangi perbuatan pidana lagi. 15. Ketentuan Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Tindak Pidana di Luar Wilayah Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 145 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Warga Negara Indonesia yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut dalam sub I pasal ini (termasuk tindak pidana narkotika) meskipun diluar Indonesia, dapat dikenakan undang-undang pidana Indonesia. 16. Putusan Pidana Denda yang tidak dapat dibayar oleh Pelaku Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika maka dilakukan penggantian pidana denda dengan pidana penara menurut ketentuan ini paling lama 2 (dua) tahun. 17. Ancaman sanksi bagi Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga Imu Pengetahuan, Pimpinan Industri Farmasi, Pimpinan Pedagang Farmasi yang Malakukan Tindak Pidana yang diatur dalam pasal 147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan pidana paling singkat 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(satu) tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,(satu miliar rupiah). 2. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Pengadilan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat dengan BNN.79 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekusor
narkotika.
Berdasarkan
undang-undang
tersebut
pula
status
kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke provinsi dan kabupaten/kota. Di provinsi dibentuk BNN Provinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN kabupaten/kota. BNN dipmpin oleh seorang kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden.80 Tugas dari BNN secara spesifik diatur dalam Pasal 2 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 dan Pasal 70 UndangUndang Nomor 35 tahun 2009 yaitu : 79 80
ibid., halaman 297. AR. Sujono dan Bony Daniel, op. cit., halaman 36-37.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaaran gelap narkotika dan prekusor narkotika b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika c. Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Negara Indonesia dalam penyalahgunaan dan pencegahan dan peredaran gelap pemberantasan nerkotikda dan prekusor narkotika d. Meningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika f. Memantau mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaa dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral,baik regional maupun internasioal, guna mencegah dan memberantas perearan gelap narkotika dan prekusor narkostika h. Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekusor narkotika i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyelahguaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika j. Membuat laporan tahunan menegani pelaksanaan tugas dan wewenang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dilakukan berdasarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Perkara penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya. Penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, dilakukan oleh pejabat Penyidik PNS, Penyidik Polri dan penyidik BNN.81 Pengaturan Penyidik dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, diatur sebagai berikut : a. Penyidik dari Badan Narkotika Nasional, yang diatur mulai Pasal 75 sampai dengan pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diatur mulai Pasal 82 sampai dengan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika c. Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia diatur mulai Pasal 87 sampai dengan Paal 95 tentang Narkotika
81
H. Siswanto S, op. cit., halaman 23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dengan demikian dapat diketahui bahwa kewenangan penyidikan oleh penyidik di BNN tidak berbeda jauh dengan kewenangan yang dimiliki oleh polri.82 Menurut ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ditentukan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Artinya bahwa segala aministrasi di bidang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap mengacu kepada undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana kecuali aa ha lain diatur tersendiri dalam UndangUndang nor 35 Tahun 2009 perihal pemeriksaan di luar dan dalam persidangan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) sebagai hukum formal dalam penegakan hukum terdiri atas empat (4) komponen penting yang masing-masing komponen merupakan subsistem dalam peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan yang berperan dalam penegakan hukum.83 Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1981
merupakan
landasan
terselenggaranya proses peradilan pidana yang memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka/terdakwa sebagai manusia yang hakiki, dengan mekanisme peradilan pidana dari proses penangkapan, 82 83
Ibid., halaman 23-24. AR Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 141
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penggeledahan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan serta diakhiri
dengan
pelaksanaan
pidana
pada
lembaga
pemasyarakatan.
Tersangka/terdakwa tidak lagi dipandang sebagai objek pemeriksaan, melainkan telah ditempatkan sebagai subjek pemeriksaan. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah meletakkan dasar humanisme yang sangat menghindarkan diri dari perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia.84 Mengenai penyelidikan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak ada mengatur secara khusus untuk itu selain dari Pasal 71 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, sehingga harus kembali mengacu kepada hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, ditentukan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.85 Rangkaian kegiatan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dilakukan menurut hukum acara yang diatur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :86 1. Kewenangan Penyidikan Wewenang Penyidik BNN alam rangka melakukan penyidikan, ialah :
84 85 86
Ibid., halaman 142-143. Ibid., halaman 146. Ibid., halaman 298-309
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika b. Memeriksa
orang
atau
korporasi
yang
diduga
melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika c. Memanggil orang untuk didengan keterangannya sebagai saksi d. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka e. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika f. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika g. Menangkap
dan
menahan
orang
yang
diduga
melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika h. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dan prekusor narkotika di seluruh wilayah jurisdiksi nasional i. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup j. Melakukan teknik penyidikan dan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
k. Memusnahkan narkotika dan prekusor narkotika l. Melakukan tes urin, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA) dan/atau tes bagian tubuh lainnya m. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka n. Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman o. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alatalat perhubugan laiinya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika p. Melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekusor narkotika yang disita q. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti narkotika dan preusor narkotika r. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika s. Menghentikan
apabila
tidak
cukup
bukti
adanya
dugaan
penyelahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika 2. Penangkapan Kewenangan melakukan penangkapan dalam pelaksanaan menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, dilakukan paling lama 3 x 24 jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik dan penagkapan tersebut dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 jam.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Penyadapan Tindakan melakukan penyadapan, dilaksanakan seelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik. Penyadapan tersebut hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan, dan penyadapan tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama serta tata cara penyadapan dilaksankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam keadaan mendesak penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri terlebih dahulu, dan dalam waktu paling lama 1 x 24 jam, penyidik wajib meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan dan keadaan mendesak tersebut. Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan. Tindakan ini adalah untuk menghargai hak asasi warga negara dan setiap tindakan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 4. Wewenang Penyidik BNN, yakni : a. Mengajukan langsung berkas perkara tersangka, dan barang bukti termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan laiinya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika milik terssangka atau pihak lain yang terkait c. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa d. Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika e. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang sesorang berpergian ke luar negeri f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi serta, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika yang sedang diperiksa h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian , penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri 5. Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementrian dan lembaga pemerintah nonkementrian, ialah :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Di samping itu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaskud dalam undang-undang tentang hukum acara pidana berwenang
melakukan
penyidikan
terhahadap
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika b. Termasuk pula penyidk negeri sipil di lingkungan kementrian atau lembaga
pemerintah
nonkementrian
yang
lingkup
tugas
dan
tanggungjawabnya di bidang narkotika dan prekusor narkotika, berwenang : a. Memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalaggunaan narkotika dan prekusor narkotika b. Memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan prekusor narkotika c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang-orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika d. Memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika e. Menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan dan prekusor narkotika f. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika g. Meminta
bantuan
tenaga
ahli
untuk
tugas
penyidikan
penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
h. Menangkap orang yang diduga melakukan penyalahguaan narkotika dan prekusor narkotika i. Penyidik Polri, Penyidik BNN dan Penyidik PNS tertentu dapat melakukan
kerja
sama
untuk
mencegah
dan
memberantas
penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika 6. Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan 1. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika, penyidik Polri memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada BNN, begitu pula sebaliknya 2. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika, penyidik pegawai negeri sipi tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Polri sesuai dengan undang-undang tentang hukum accara pidana 7. Masalah Alat Bukti Penyidik dapat memperoleh alat bukti, selain sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang hukum acara pidana. Alat bukti tersebut, berupa : a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, dengan alat optic atau yang serupa dengan itu b. Data rekaman atau data informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak teratas pada : tulisan, suara, dan/atau gambar ; peta, rancangan, foto atau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sejenisnya ; atau huruf, tanda angka, symbol, sandi, atau perforasi yang memiliki maksa dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya 8. Penyitaan Barang Bukti a. Penyidik Polri atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan narkotika dan prekusor narkotika atau yang diduga narkotika dan prekusor narkotika, atau yang mengandung narkotika dan prekusor narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat : 1. Nama jenis, sifat, dan jumlah 2. Keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan 3. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika dan prekusor narkotika 4. Tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan b. Penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 jam sejak dilakukannya penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan c. Penyidik PNS tertentu yang melakukan penyitaan terhadap narkotika dan prekusor narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menyerahkan barang itaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Polri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 jam seak dilakukannya penyiyaan dan tembusan berita acaranya disampaikan
epada
Kepala
Kejaksaan
Negeri
setempat,
Ketua
Pengadilan Negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas obat dan makanan d. Penyerahan barang sitaan tersebut dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena factor geografis atau transportasi e. Penyidik Polri dan Penyidik PNS tertentu bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada dibawah penguasaanya. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata caa penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan narkotika dan prekusor narkotika yang disita diatur dalam Peraturan Pemerintah f. Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Polri, penyidik BNN, penyidik PNS, menyisihkan sebagian kecil barang sitaan narkotika dan prekusor narkotika, untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 jamsejak dilakukan penyitaan g. Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika san prekusor narkotika dari penyidik Polri atau penyidik BNN, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
wajib menetapkan status barang sitaan narkotika dan prekusor narjotika tersebut
untuk
kepentingan
pembuktian
perkara,
kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pedidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan h. Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada Kepala BNN dan Kapolri dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat i. Kepala BNN dan kapolri menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan j. Selain untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, status barang sitaan untuk pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian kecil narkotika atau tanaman narkotika yang disita, dapat dikirimkan ke Negara lain, yang diduga sebagai asal narkotika atau tanaman narkotika tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal narkotika atau tanaman narkotika dan jaringan peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau berdasarkan asas timbal balik 9. Pemusnahan Barang Bukti a. Barang sitaan narkotika dan prekusor narkotika yang beraa dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan egeri setempat b. Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada Penyidik BNN atau Penyidik Polri setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan kepala adan Pengawas Obat dan Makanan c. Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama. Pemusnahan barang sitaan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan tentang memusnahkan narkotika dan prekusor narktika d. Penyidik Polri dan Penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman narkotika yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan Untuk tanaman narkotika yang karena jumlahnya dan daerah yang sulit terjangkau karena factor geografis atau transportasi, pemusnahan dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari e. Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman narkotika dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadolan, dilakukan denga pembuatan berita acara yang sekurangkurangnya memuat : 1. Nama, jenis, sifat dan jumlah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan 3. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman narkotika 4. Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan pemusnahan f. Sebagian kecil tanaman narkotika yang tidak dimusnahkan disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian g. Demikian pula, sebagian kecil tanaman yang tidak dimusnahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk kepentingan pengembangam ilmu pengetahuan dan teknologi h. Sedangkan sebagian kecil tanaman narkotika yang tidak dimusnahkan disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan i. Proses penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pemgadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang bukti menurut ketentuan batas waktu 3 x 24 jam sejak dilakukannya penyitaan, dan batas waku paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat j. Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan diperoleh atau dimiliki secara sah, epada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah, besaran ganti rugi ditetapkan oleh pengadilan 10. Perlindungan Korban/Pelapor a. Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor b. Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan prekusor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
narkotika untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang dengan menyebut nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor c. Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh Negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara 12. Perampasan Barang Bukti a. Narkotika, pekusor narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika atau yang menyangkut narkotika dan prekusor narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk Negara b. Dalam hal alat atau barang yang dirampas adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadian yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama c. Seluruh harta kekayaan atau harta benda merupakan hasil tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosoal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
d. Perampasan asset tersebut dapat dilakukan ataa permintaan negara lainberdasarkan perjanjian antarnegara 13. Tindakan Hakim a. Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika, dapat memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, atau menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melaui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika b. Masa menjalani penggobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika berdasarkan penetapan untuk memerintahkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA