PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ( Studi Kasus Putusan Reg. No. 1. 101 / Pid.B / 2011 / PN. Mdn )
JURNAL ILMIAH
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH : JULI MURNIATY GINTING 090200263 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
1
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ( Studi Kasus Putusan Reg. No. 1. 101 / Pid.B / 2011 / PN. Mdn ) JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : JULI MURNIATY GINTING 090200263 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui : Ketua Departemen Hukum Pidana
DR. M. Hamdan, S.H, M.H NIP. 195703261986011001 Dosen Editorial
DR. Mahmud Mulyadi, S.H, M.Hum NIP. 1974040120021001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
2
ABSTRAKSI Tindak pidana narkotika adalah tindak pidana yang diatur dalam Undangundang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada dasarnya narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan terhadap penggunaan narkotika saat ini semakin meningkat karena tidak lagi hanya dipergunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan saja, namun justru narkotika pada saat ini disalahgunakan oleh berbagai kalangan bahkan disalahgunakan oleh kalangan anak-anak. Anak yang terlibat dalam kasus pidana dengan melakukan tindak pidana narkotika dapat dihukum apabila terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan yang di atur dalam Undangundang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Maka timbul permasalahan berhubungan dengan penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meliputi ketentuan pidana yang dapat diterapkan, penerapan sanksi pidana dalam kasus pidana anak yang melakukan tindak pidana narkotika, dan tujuan pemidanaan dengan penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika. Untuk itu dilakukan suatu penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan mempelajari buku-buku teks serta mempelajari perundangundangan. Ketentuan pidana sebagai landasan penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika berdasarkan pada Pasal 127 dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, juga mempertimbangkan kekhususan Undang-undang Pengadilan anak yang mengatur berat ringannya sanksi pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang dalam hal ini anak yang melakukan tindak pidana narkotika yang diterapkan berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara tersebut memenuhi tujuan pemidanaan jika dapat dijamin kepentingan terbaik bagi anak. Kata Kunci : Pidana, Narkotika, Anak.
3
A. PENDAHULUAN Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya yang juga sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.1 Berkembangnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi semakin lama semakin bertambah pesat, maka hal ini akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan tingkat kriminalitas apabila kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyimpang dalam penggunaan dan pelaksanaannya dalam kehidupan bangsa dan negara. Salah satunya anak sebagai objek dampak negatif dari perkembangan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Pembangunan Nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan damai berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk kesedian narkoba sebagai obat, di samping usaha pengembangan ilmu
1
Lihat bagian menimbang huruf b dan huruf c dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4
pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan dan pengajaran sehingga ketersediannya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.2 Namun pada perkembangannya narkotika dalam kegiatan produksi dan impornya sering kali disalahgunakan oleh orang-orang tertentu sehingga tidak lagi semua kegiatan produksi dan impor narkotika dijamin dalam penggunaannya. Narkotika sangat diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan ataupun masyarakat, khususnya generasi muda seperti anak-anak. Oleh
karena
itu
permasalahan
penyalahgunaan
narkotika
harus
ditanggulangi mengingat dampak negatif yang akan ditimbulkan bukan hanya bagi penggunanya melainkan juga berdampak negatif bagi keluarga, masyarakat, Bangsa dan Negara. Pemerintah secara khusus telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 pada Pasal 64 disebutkan bahwa perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.3
2
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 1 3 Lihat Pasal 64 UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Citra Umbara, Bandung, 2003, hal. 175
5
Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Pembentukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang sekarang telah diganti menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah narkotika, namun terhadap anak yang melakukan tindak pidana ketentuan mengenai sanksi pidana yang diterapkan menurut batasan usia anak yang melakukan tindak pidana tersebut diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba meneliti tentang sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika. Berdasarkan alasan tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk melakukan penilitian yang berjudul: PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Studi Kasus Putusan No. 1.101 / Pid. B / 2011 / PN. Mdn). B. PERMASALAHAN Adapun yang menjadi pokok permasalahan sehubungan dengan judul skripsi ini adalah :
6
1. Bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? 2. Bagaimana penerapan sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pada perkara pidana Reg. No. 1. 101 / Pid. B / 2011 / PN. Mdn ? 3. Apakah penerapan sanksi pidana pada putusan perkara pidana Reg. No. 1. 101 / Pid. B / 2011 / PN. Mdn telah memenuhi tujuan pemidanaan ? C. METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam penulisan skripsi ini penulis mempergunakan metode ilmiah dalam mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber data yang dibutuhkan guna untuk mencapai tujuan yang menjadi objek penelitian. Adapun metode penelitian hukum yang dipergunakan oleh penulis, antara lain : 1. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan menganalisa putusan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam kasus Reg. No. 1. 101 / Pid.B / 2011 /
7
PN. Mdn serta bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang terdapat pada skripsi ini. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur, dokumen resmi, peraturan perundangundangan, dan sumber-sumber kepustakaan lain yang mendukung. 2. Teknik Pengumpulan Data Library research (studi kepustakaan), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematika buku -buku, peraturan perundang-undangan dan juga sumber lainnya yang berhubungan dengan materi skripsi yang di bahas dalam skripsi ini. 3. Analisis Data Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan data pada hakikatnya untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan- bahan hukum tertulis. Data yang diperlukan dalam skripsi ini berupa data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier, kemudian dianalisa secara kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan dari skripsi ini. D. HASIL PENELITIAN D.1. Ketentuan Pidana Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undanng-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Dalam sejarah, perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu4 : 1. Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie
4
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003,162-166
8
2. Berlakunya Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536) 3. Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika 4. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika adalah undangundang yang mengatur perbuatan-perbuatan sebagai tindak pidana narkotika. Undang-undang Narkotika tidak secara khusus mengatur tentang ketentuan sanksi pidana bagi anak, namun pada umumnya seorang anak yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pelaku pengguna narkotika yaitu seseorang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika bagi dirinya sendiri dimana dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 disebut sebagai Penyalah guna narkotika yaitu adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Apabila dicermati, terdapat beberapa pasal dalam Undang-undang Narkotika yang khusus diberlakukan bagi anak yaitu bagi mereka yang belum cukup umur.5 Adapun ketentuan-ketentuan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika yaitu terkait pelaku penyalahgunaan narkotika yang di atur dalam Pasal 127 dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu sebagai berikut : (1) Setiap Penyalah Guna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. 5
Kusno Adi, Diversi sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hal. 17
9
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Undang-undang Pengadilan anak No. 3 Tahun 1997 tidak mengikuti ketentuan pidana pada Pasal 10 KUHP6 sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dan membuat sanksinya secara tersendiri, sebab Undang-undang Pengadilan Anak adalah landasan bagi hakim dalam penerapan sanksi pidana untuk penyelesaian kasus kenakalan anak sebagai ketentuan khusus yang diterapkan terhadap anak yang berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis. Oleh karena itu sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim tidak hanya terbatas pada sanksi pidana dalam Undang-undang Narkotika, namun hakim dalam memutuskan perkara anak yang melakukan tindak pidana narkotika juga berlandaskan pada ketentuan dalam undang-undang Pengadilan Anak. Menurut Pasal 23 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak adalah pidana pokok dan pidana tambahan. Apabila diperinci lagi, pidana tersebut bersifat Pidana Pokok dan Pidana Tambahan ditentukan, sebagai berikut : 1. Pidana Pokok itu terdiri dari: a. Pidana penjara b. Pidana kurungan 6
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 24
10
c. Pidana denda d. Pidana Pengawasan 2. Pidana Tambahan terdiri atas : a. Perampasan barang-barang tertentu b. Pembayaran ganti rugi D.2. Penerapan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pada Kasus Putusan Reg. No. 1. 101 / Pid.B / 2011 / PN. Mdn. Dalam penulisan skripsi ini, pada bab ini penulis akan menganalisa penerapan sanksi pidana dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 pada perkara pidana anak yang melakukan tindak pidana narkotika dimana dalam kasus ini terdapat dua terdakwa anak yang secara bersamaan melakukan tindak pidana narkotika. Pada hari Selasa tanggal 15 Maret 2011 sekitar pukul 23.50 WIB yang mana sebelumnya terdakwa pertama (1) Angelina Rosmawaty Manalu dan terdakwa kedua (2) Siti Aisyah alias Ica yang mana sebelumnya terdakwa bermaksud untuk menggunakan shabu-shabu secara bersama-sama selanjutnya terdakwa kedua (2) Siti Aisyah alias Ica menyuruh terdakwa pertama (1) Angelina Rosmawaty Manalu untuk membeli shabu-shabu dan digunakan secara bersamasama selanjutnya terdakwa kedua (2) Siti Aisyah alias Ica menyerahkan uang sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah). Jaksa penuntut umum mengajukan dakwaan dengan surat dakwaan No. PDM – 662 / Ep.2 / Mdn / 04 / 2011, sebagai berikut :
11
1. Primair : Melanggar Pasal 132 ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika jo UU RI No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak 2. Subsidair : Melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini, dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang yang bersangkutan, menuntut sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa pertama (1). Angelina Rosmawaty Manalu dan terdakwa kedua (2). Siti Aisyah alias Ica bersalah melakukan Tindak Pidana
“secara
bersama-sama
tanpa
hak
dan
melawan
hukum
penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri “sebagaimana yang diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UURI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo UURI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dalam dakwaan Kedua (Subsidair). 2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap pertama (1). Angelina Rosmawaty Manalu dan terdakwa kedua (2). Siti Aisyah alias Ica selama 2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan. 3. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) buah plastic obat kecil yang berisi shabu-shabu dengan berat 0,2 (nol koma dua) gram dan 1 (satu) buah alat untuk menggunakan Narkotika (bong) dirampas untuk dimusnahkan .
12
4. Menetapkan agar terdakwa-terdakwa biaya perkara masing-masing sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah). Pengadilan Negeri Medan, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa I : Angelina Rosmawaty Manalu dan terdakwa II : Siti Aisyah ALS. Ica tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : Menggunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri . 2. Menjatuhkan pidana penjara kepada para terdakwa masing-masing selama: 1 (satu) Tahun dan 4 (empat) bulan. 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani para terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan. 4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan. 5. Menetapkan barang bukti berupa : 1(satu) buah plastic obat kecil yang berisi shabu-shabu dengan berat 0,2 (nol koma dua) gram dan 1(satu) buah alat untuk menggunakan Narkotika (bong) dirampas untuk dimusnahkan. 6. Membebankan pula kepada para terdakwa masing-masing membayar ongkos perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah ) Dalam putusan yang telah diuraikan diatas adalah putusan terhadap kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dalam hal tindak pidana sebagai penyalahguna narkotika yang dilakukan oleh dua terdakwa yang bernama Angelina Rosmawaty Manalu dan Siti Aisyah yang masing-masing merupakan anak berusia 17 tahun dan 14 tahun dengan barang bukti berupa 1 (satu) buah plastik obat kecil yang berisi shabu-shabu dengan berat 0,2 (nol koma dua) gram
13
dan 1 (satu) buah alat untuk menggunakan Narkotika (bong). Penyalahgunaan tersebut termasuk tindak pidana narkotika yang diatur dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang telah melanggar pasal 127 ayat (1) huruf a dimana anak sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut melakukan perbuatan itu tanpa hak dan melawan hukum melakukan penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri. Narkotika yang digunakan adalah narkotika bukan tanaman berupa shabushabu dengan berat 0,2 (nol koma dua) gram, yang merupakan shabu-shabu yang tergolong dalam narkotika golongan I (satu) mengandung Metamfetamina terdaftar dalam golongan I (satu) No. Urut 61 Undang- undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Oleh karena itu anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah termasuk dalam anak nakal sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang khusus mengatur penanggulangan anak yang berhadapan dengan hukum yang dapat menjadi pedoman hakim dalam penerapan sanksi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan ketentuan dalam undang-undang pengadilan. Oleh karena itu, menurut penulis setelah membaca putusan dari kasus yang telah diuraikan diatas bahwa anak sebagai pelaku penyalahguna narkotika masingmasing dua terdakwa anak tersebut dijatuhkan oleh hakim pidana penjara 1 (satu) Tahun 4 bulan sebab telah terbukti melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undangundang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Undang-undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
14
Adapun yang menjadi pertimbangan hakim anak dalam kasus ini sebelum memutus perkara ini, salah satunya hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa-terdakwa dan hal-hal yang meringankan terdakwaterdakwa. Hal-hal yang memberatkan terdakwa bahwa perbuatan terdakwa menghambat Program Pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas penyalahgunaan Narkotika, sedangkan hal-hal yang meringankan terdakwa yakni : a. Terdakwa- terdakwa mengakui semua perbuatannya dan menyesalinya. b. Terdakwa belum pernah dihukum. c. Terdakwa-terdakwa masih anak-anak. D.3. Tujuan Pemidanaan dengan Penerapan Sanksi Pidana terhadap Anak pada Perkara Pidana Reg. No. 1. 101 / Pid.B / 2011 / PN. Mdn Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding
theorieen)
dan
teori
relatif
atau
teori
tujuan
(utilitarian/doeltheorieen), yang dapat dijelaskan sebagai berikut7 : a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen) Teori absolut, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-semata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen) Oleh karena teori pembalasan kurang memuaskan, maka timbul teori relatif Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan
7
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 24
15
tata tertib dalam masyarakat. Yang menjadi tujuan adalah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.8 Menurut Sahepaty, pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi dan reformasi.
Makna
membebaskan
menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran jahat, yang keliru, melainkan itu harus dibebaskan dari kenyataan sosial. Yang terbelenggu dimana ia terbelengu.9 Selain pembagian secara tradisional mengenai teori-teori tentang tujuan pemidanaan tersebut muncul teori baru yaitu teori gabungan atau campuran. Alam pikiran teori ketiga ini mencakup kedua aliran tersebut di atas (Absolut dan Relatif), sehingga apa yang menjadi dasar perbandingan dari teori Absolut dan teori relative dicakup oleh teori ketiga ini. Teori ini di kenal dengan teori gabungan atau teori campuran. Selain itu, mengenai teori-teori tentang tujuan pemidanaan ini dikenal juga teori
treatment
(teori
pembinaan/perawatan).
Treatment
sebagai
tujuan
pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Aliran ini beralaskan paham determinisme
8 A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, 2004, hal. 146 9 Muladi dan Barda Nawawi A, Teori- Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hal. 16
16
yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan.10 Sudarto mengatakan bahwa Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah penghukuman. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, penghukuman dalam perkara pidana yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.11 Pemidanaan seyogyanya memperhatikan tujuan pemidanaan yang bersumber dari filsafat pemidanaan, yang dijelaskan lebih detail di dalam berbagai teori tujuan pemidanaan. Pidana yang dijatuhkan idealnya harus sesuai dengan tujuan pemidanaan, sehingga dampak positif yang diharapkan dari pemidanaan itu dapat tercapai.12 Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan dalam bab 3 (tiga), telah kita ketahui bahwa hakim dalam putusannya tersebut menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan) terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai penyalahguna narkotika yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara tersebut terhadap anak tersebut berdasarkan Undang-undang Narkotika yang juga mempertimbangkan ketentuan pidana dalam Undang-undang Pengadilan Anak sebagai landasan hakim untuk menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum. 10
Marlina, Hukum Penitensiere, PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hal. 59-60 Ibid, hal. 33 12 Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, USU Press, Medan, 2011, hal. iii 11
17
Di dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, tidak secara eksplisit mengatur tujuan pemidanaan, namun secara umum dapat dilihat dalam konsiderannya. Tujuan yang hendak dicapai adalah upaya melindungi dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Selain itu dalam penjelasan diuraikan pula bahwa dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Pengadilan Anak, dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Dimaksudkan juga untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, Bangsa dan Negara.13 Oleh karena dalam putusannya itu hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa-terdakwa dalam perkara tersebut adalah masing-masing selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Dalam hal ini hakim memutuskan terdakwaterdakwa anak tersebut untuk menempatkannya dalam tahanan penjara yang sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Sistem pemasyarakatan yang diterapkan di Indonesia terkadang suatu citacita besar pembinaan masyarakat yang diberikan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sistem ini diharapkan tidak saja mempermudah reintegrasi
13
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 27
18
narapidana dengan masyarakat, tetapi menjadikannya warga masyarakat seutuhnya yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut14 : 1. Tidak akan menjadi pelanggar hukum lagi. 2. Menjadi anggota masyarakat yang berguna, aktif, dan produktif. 3. Berbahagia di dunia akhirat. Sistem
penjara
dalam
pemenjaraan
berubah
menjadi
sistem
pemasyarakatan dalam Lembaga Pemasyarakatan merupakan gagasan dari Sahardjo pada waktu menjabat sebagai Menteri Kehakiman yang direalisasikan untuk merubah sebutan rumah penjara di Indonesia sejak bulan April 1964. Sebagaimana dijelaskan pada penjelasan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak sebagai landasan
hakim untuk
menyelesaikan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus oleh Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berbagai pertimbangan tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak, maka perlu diatur
14
Marlina, Peradilan Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif justice), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 151
19
ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan Umum.15 Oleh karena itu tujuan pemidanaan dengan penerapan sanksi pidana dalam kasus ini berupa pidana penjara yang dijatuhkan oleh Hakim memenuhi tujuan pemidanaan relatif/utilitarian yang bersifat preventif (pencegahan) yang berasal dari beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori relative/utilitarian yang telah diuraikan yaitu untuk memperbaiki anak agar menjadi manusia yang baik dan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Menjalani pidana tersebut disertai pendidikan selama menjalani pidana melalui pembinaan. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu 16 : a. Setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana. b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya. c. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akherat. Walaupun rumah-rumah penjara telah diganti dengan lembaga-lembaga pemasyarakatan, tetapi dalam kenyataannya sampai saat ini masih tetap berfungsi sebagai rumah penjara, karena pergantian sebutan tersebut tidak diikuti dengan suatu konsep yang jelas dengan sarana-sarana yang memadai, bahkan peraturan-
15
Lihat penjelasan pada kosideran bagian umum dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 16 Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 47
20
peraturan yang dipergunakan sebagai pedoman untuk melakukan pemsyarakatan, masih tetap menggunakan peraturan-peraturan rumah penjara sebagai pedoman untuk melaksanakan hukum-hukum di dalam penjara. Walaupun telah didirikan lembaga pemasyarakatan anak-anak, orang muda dan wanita secara terpisah, tetapi peraturan
yang
digunakan adalah
peraturan
perundang-undangan
peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yaitu Ordonasi No. 708 tahun 1917, tanggal 10 Desember 1917 yang dikenal dengan sebutan Gestichtenreglement. Pola pembinaan narapidana dan tahanan berdasarkan pada gestichtenreglement, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, No.M.D2-PK.0410 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. 17 Pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. 02-PK04.10 Tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan. Disamping itu, pembinaan yang dilakukan oleh pihak lembaga pemasyarakatan adalah bentuk pembinaan yang sama dengan pembinaan terhadap orang dewassa. Aturan hukum yang dipergunakan dalam pembinaan anak adalah sama yaitu ketentuan dalam UU. No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.18 Secara hakiki perilaku delikuensi anak, hendaknya dilihat bukan sematamata sebagai perwujudan penyimpangan perilaku karena iseng atau mencari sensasi, melainkan harus dilihat sebagai perwujudan produk atau akibat ketidakseimbangan lingkungan sosial.19
17 Abdussalam dan Irjen Pol. DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007, hal. 312 18 Marlina, op.cit, hal. 157 19 Nandang Sambas, op.cit, hal. 24
21
Atas dasar hal-hal tersebut, maka sangatlah tidak tepat apabila tujuan pemidanaan terhadap anak disamakan dengan tujuan pemidanaan terhadap orang dewasa, sebab seorang anak yang dalam tindakannya memiliki motivasi dan karakteristik tertentu yang berbeda dengan pelaku dewasa. Secara teoritis kecenderungan hakim yang selalu menjatuhkan pidana penjara kepada anak dapat dipersoalkan adalah pidana, termasuk di dalamnya pidana penjara, pada dasarnya hanyalah sebuah alat, yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan. Apabila penggunaan alat itu tidak dapat memenuhi tujuan yang telah ditentukan, maka tidak ada alasan untuk tetap menggunakan alat itu. Dalam berbagai teori terdapat pemahaman, bahwa pidana penjara sebagai alat untuk mencapai tujuan pemidanaan masih diperdebatkan efektifitasnya. Artinya, tidak ada jaminan apabila pelaku tindak pidana pada akhirnya dijatuhi pidana penjara maka dengan sendirinya ia akan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat hukum. Justru yang sering sekali diketahui adalah, bahwa pidana penjara membawa dampak negatif yang sangat merugikan bagi terpidana, khususnya terpidana anak. 20 Dalam hal dampak negatif atas penerapan sanksi pidana penjara terhadap anak akan menimbulkan berbagai kerugian, yang menurut Made Sadhi Astuti21 : a. Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan b. Anak diberi cap jahat oleh masyarakat yang disebut stigma c. Masyarakat menolak kehadiran mantan narapidana anak d. Masa depan anak suram. 20 21
Kusno Adi, op.cit, hal. 89 Ibid, hal. 126
22
Di mana sistem ini belum menunjukan kemajuan yang berarti mengingat masih banyak kejadian aneh yang menimpa Lembaga Pemasyarakatan, antara lain22 : 1. Masih ada narapidana yang melarikan diri. 2. Pelanggaran hak-hak narapidana 3. Ditolaknya bekas narapidana oleh masyarakat 4. Keterbatasan sarana pendukung pembinaan. Dalam mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya merupakan pokok Lembaga Kemasyarakatan. Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien, agar narapidana dapat mengenal diri sendiri. Usaha berupa pembagian Lembaga Pemasyarakatan menurut Usia, misalnya Lembaga Khusus Anak di Blitar, Tangerang, Plantungan dan Kalimantan. Lembaga Pemasyarakatan Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Dewasa Muda di Suka miskin Bandung, dan Lembaga Kemasyarakatan Dewasa dihampir semua kota kabupaten.Begitu juga didirikan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin, misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan Medan. Lembaga
Pemasyarakatan
juga
dibagi
berdasarkan
kapasitasnya,
yaitu
LembagaPemasyarakatan Klas I. II dan III. Masih dalam kaitan upaya melaksanakan pemidanaan, telah dipisahan menurut tugasnya anatara Lembaga
22
Petrus Panjaitan dan Pandapotan Simonangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Anak, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 42
23
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Masih belum memisahkan antara napi menurut jenis kejahatan yang dilakukan.23 Oleh karena itu penjatuhan pidana penjara kepada anak akan membawa dampak negatif yang berkepanjangan yang justru bersifat kontra-produktif apabila dilihat dari tujuan pokok pemidanaan itu sendiri. Tujuan pemidanaan khususnya bagi anak, dalam kenyataannya tidak dapat dipenuhi dengan penjatuhan pidana penjara kepada anak sebab pemidanaan bagi anak seringkali menempatkan anak dalam situasi yang bersifat merugikan anak karena berbagai dampak negatif dari penerapan pidana penjara. Dengan adanya dampak-dampak negatif dengan penerapan sanksi pidana menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan dengan penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara dalam kasus anak pelaku penyalahguna narkotika tidak tepat, seharusnya hakim dalam putusannya menerapkan sanksi pidana yang tepat agar anak terhindar dari dampak-dampak negatif dari penerapan sanksi pidana penjara tersebut yang dapat mempengaruhi terpenuhinya tujuan pemidanaan terhadap anak yaitu dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan tujuan menjamin perlindungan anak dalam menjalani hukumannya. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak perlu diperhatikan mengenai perlidungan hukum terhadap anak. Hal tersebut diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan perlindungan khusus terhadap anak yang
23
Abdussalam dan Irjen Pol. DPM Sitompul, op.cit, hal. 330
24
berhadapan dengan hukum yang diatur dalam Pasal 59 dan pasal 64 yang masingmasing isinya sebagai berikut24 : 1. Pasal 59 Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 2. Pasal 64 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat (2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : 1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hakhak anak. 2. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. 3. penyediaan sarana dan prasarana khusus. 4. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. 5. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. 6. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga. 7. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. (3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga 24 Lihat Pasal 59 dan Pasal 64 dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
25
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial. d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Atas dasar hal tersebut, sebenarnya untuk memenuhi tujuan pemidanaan hakim dalam putusannya dapat menjamin kepentingan terbaik bagi anak serta sanksi yang dijatuhkan lebih bermanfaat bagi anak dan bukan sanksi pidana yang berupa pidana penjara, maka seharusnya hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap anak penyalahguna narkotika berupa rehabilitasi, sebab adanya kerugiankerugian akibat penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara. Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal bertujuan25 : 1. Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar dimasyarakat serta menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif, dan berkualitas, berakhlak mulia. 2. Menghilangkan label dan stigma masyarakat negative terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. E. PENUTUP E.1. Kesimpulan 1. Penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika dalam kasus putusan yang diteliti pada skripsi ini, hakim
25 Direktur Bina Pelayanan Sosial Anak Makmur (Sanusi), Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial bagi Anak Nakal di Panti Sosial, Departemen Sosial RI, 2004, hal. 8
26
menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa masing-masing selama 1 (satu) Tahun dan 4 (empat) bulan dan menetapkan anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebab telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menggunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri yang dilakukan secara bersama-sama, yang dalam putusannya berlandaskan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU.RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo UU RI No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 2. Tujuan Pemidanaan dengan penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 dalam kasus putusan No. 1. 101 / Pid.B / 2011 / PN. Mdn ini, adalah memenuhi tujuan pemidanaan dalam teori relatif yang bersifat preventif (pencegahan umum dan pencegahan khusus). E.2. Saran Dalam ketentuan pidana terhadap Penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009, seharusnya tidak hanya memberi ancaman pidana berupa pidana penjara saja, namun seharusnya juga mengatur ancaman pidana alternatif seperti pidana kurungan atau pidana denda, sebab pidana penjara dalam Undang-undang Narkotika yang diberlakukan secara umum kepada orang yang melakukan tindak pidana narkotika apabila pelakunya adalah seorang anak tidak dapat menjamin kepentingan terbaik bagi anak. Walaupun sebagaimana dalam Undang-undang Pengadilan anak mengatur kekhususan dalam Pasal 26 Ayat (1) mengenai ancaman pidana
27
penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, sehingga putusan hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika hanya terpaku pada ancaman berupa pidana penjara saja.
28
DAFTAR PUSTAKA A.
Buku
Adi, Kusno. Kebijakan Kriminil dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak. Penerbit UMM Press, Malang, 2009. ___________. Diversi sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak. UMM Press, Malang, 2009. Arief, Nawawi Barda dan Muladi. Teori- Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, 2005. Abdussalam dan Irjen Pol. DPM Sitompul. Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung. Jakarta, 2007. Ablisar, Madiasa. Pemidanaan, Gugurnya Penuntutan dan Menjalani Pidana, Pustaka Bangsa Press, 2005. Chazawi, Adhami. Pelajaran hukum Pidana. Raja Grafindo, Jakarta, 2002. Dirdjosisworo, Soedjono. Hukum tentang Narkotika di Indonesia. Karya Nusantara, Bandung, 1990. Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair. Pemidanaan. USU Press, Medan, 2011. Ekaputra, Mohammad. Dasar-Dasar Hukum Pidana. USU Press, Medan, 2010. Hs Harsono. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Djambatan, Jakarta, 1995. Kaligis, O.C dan Soedjono Dirdjosisworo. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia. Alumni, Bandung, 2007. Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier Indonesia. Armico, Bandung, 1984. Marlina. Hukum Penitensiere. Refika Aditama, Bandung, 2011. Marlina. Peradilan Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif justice. Refika Aditama, Bandung, 2009. Panjaitan Irwan Petrus dan Pandapotan Simonangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Anak, Sinar Harapan, Jakarta, 1995. Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Priyatno, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, 2006. Prints, Darwan. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
29
Sambas, Nandang. Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010. Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung, 2003. Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Refika Aditama, Bandung, 2006. Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung, 1986. Supramono, Gatot. Hukum Narkoba Indonesia. Djambatan, Jakarta, 2007. Usfa,
A.
Fuad,
dan
Tongat.
Pengantar
Hukum
Pidana.
Universitas
Muhammadiyah Malang Press, Malang, 2004. Wadong, Hasan Maulana. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wina Sarana, Jakarta, 2000. B. Perundang-undangan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 / PUU-VIII / 2010 tentang Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi C. Media Elektronik : http://eprints.unsri.ac.id/608/1/2011/Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba oleh Nashriana.
30
31