BAB II FORMULASI TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009
A. Bentuk Tindak Pidana Narkotika dalam UU Narkotika Istilah narkotika, bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya, berita baik dari media cetak, maupun elektronik yang memberitakan tentang penggunaan narkotika, dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. 36 Berbagai penelitian mengemukakan bahwa faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan narkotika yakni Pertama faktor individu terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan atau depresi. Termasuk aspek kepribadian, karena pribadi yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat yang tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk kecemasan atau depresi karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika. Kedua faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh pergaulan. Ketiga faktor lingkungan, yang tidak baik maupun tidak mendukung, dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis. Keempat faktor narkotika, karena mudahnya narkotika didapat dan didukung dengan
faktor-faktor
tersebut,
sehingga
semakin
mudah
timbulnya
penyalahgunaan narkotika. Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkoba termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya
36
dr-syaifulbakhri.blogspot.co.id/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1(diakses tanggal 2 September 2015 pukul : 13.00 Wib).
36
menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan KUHPidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan Undang-Undang R.I. No. 35 Tahun 2009. 37 Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah adalah diperkenalkan oleh pihak Pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi. 38 Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 39 Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat yang di dalam undang-undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenai sanksi.
37
Ianbachruddin.blogspot.co.id/2011/11/tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1 (diakses tanggal 2 September 2015 pukul 14.00 Wib). 38 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (cetakan ke-5), Jakarta:Rajawali Pers, 2014, hlm. 49 39 Moeljatno, Op.cit., hlm. 54.
37
Sudarto berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat. 40 Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkoba termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkoba tidak menggunakan KUH Pidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan UU No. 35 Tahun 2009. Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu pada tata cara yang dipergunakan oleh KUHAP, akan tetapi terdapat beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh UU narkotika dan narkotika. Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang 40
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip 1990,
hlm. 45.
38
merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi nyawa manusia. 41 1. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan I. a) Pasal 111 Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam,
memelihara,
memiliki,
menyimpan,
menguasai,
atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Unsur Objektif 1)
Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2)
Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan.
3)
Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
Pertimbangan Putusan MA menyangkut Pasal tersebut bahwa “tetapi bagaimana
perbuatan
memiliki,
menyimpan,
menguasai
atau
menyediakan tersebut dilakukan oleh para terdakwa lebih merupakan asumsi dari Jaksa Penuntut Umum bahwa sebelum para terdakwa
41
Supramono, Op.cit., 2001, hlm. 56.
39
ditemukan sedang menghisap ganja pastilah didahului oleh perbuatan sebagaimana dakwaan Penuntut Umum”. 42 b) Pasal 112 Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan,
menguasai,
atau
menyediakan
Narkotika
Golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Unsur Objektif 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan. 3) Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Pertimbangan dalam Putusan MA No.1071K/Pid.Sus/2012 “bahwa ketentuan Pasal 112 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 merupakan ketentuan keranjang sampah atau pasal karet. Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai memiliki narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan Pasal 112 tersebut, padahal pemikiran semacam ini adalah keliru dalam menerapkan hukum sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau halhal yang mendasar terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai dengan niat atau maksud terdakwa.” 43
42
http://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-penggunanarkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/ (diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20). 43 Ibid.
40
c) Pasal 113 Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. Unsur Objektif 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. 3) Unsur Narkotika Golongan I. Kegiatan yang menyangkut produksi narkotika diatur dalam pasal ini, namun diatur dalam pasal tersebut bukan hanya perbuatan secara tanpa hak dan melawan hukum memproduksi saja, melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu untuk semua golongan. 44 d) Pasal 114 Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. Unsur Objektif 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan. 3) Unsur Narkotika Golongan I.
44
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, hlm. 169.
41
Berkaitan dengan tindak pidana ini perbuatan menyalurkan dan menyerahkan termasuk ke dalam perbuatan jual beli narkotika, karena peredaran narkotika sebagaimana dimaksud di dalamnya terdapat unsur yang salah satunya meliputi kegiatan dalam rangka perdagangan. 45 e) Pasal 115 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I. Unsur-unsur tindak Unsur Objektif 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito. 3) Unsur Narkotika Golongan I. Kerancuan pasal tersebut terdapat dalam ayat (1) yang tidak mencantumkan Narkotika Golongan I bukan tanaman, karena dalam ayat (2) dicantumkan Narkotika Golongan I bukan tanaman. 46 f) Pasal 116 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. Unsur Objektif 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menggunakan. 3) Unsur Narkotika Golongan I. 45 46
Ibid, hlm. 174. http://gogonugraha.blogspot.co.id/ (diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.30)
42
g) Pasal 127 Mengatur tentang setiap penyalahguna. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur penyalahguna bagi diri sendiri. 3) Unsur Narkotika Golongan I. Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. 47 2. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan II. a) Pasal 117 Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan,
menguasai,
atau
menyediakan
Narkotika
Golongan II. Unsur Objektif 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan. 3) Unsur Narkotika Golongan II.
47
http://www.pn-nunukan.go.id/index.php/zoo-template/download/80-sample-dataarticles/joomla/extensions/modules/demo1/170-penjatuhan-pidana-mati-dalam-tindak-pidananarkotika (diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.30)
43
Narkotika Golongan II : berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan, digunakan dalam terapi. Contoh : Morfin dan Petidin. 48
b) Pasal 118 Mengatur tentang orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II. Unsur Objektif 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan. 3) Unsur Narkotika Golongan II. c) Pasal 119 Mengatur tentang orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, jual beli, menukar, atau menyerahkan. 3) Unsur Narkotika Golongan II. d) Pasal 120 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 48
Gatot Supramono, Op.cit., hlm. 176.
44
2) Unsur membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito. 3) Unsur Narkotika Golongan II. e) Pasal 121 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan, atau memberikan untuk digunakan oranglain Narkotika Golongan II. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menggunakan, atau memberikan untuk digunakan oranglain. 3) Unsur Narkotika Golongan II. f) Pasal 127 Mengatur tentang penyalahguna. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur penyalahguna bagi diri sendiri. 3) Unsur Narkotika Golongan II. 3. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan III. a) Pasal 122 Mengatur tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan. 3) Unsur Narkotika Golongan III. b) Pasal 123 Mengatur tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III.
45
1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. 3) Unsur Narkotika Golongan III. c) Pasal 124 Mengatur tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan III. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan. 3) Unsur Narkotika Golongan III. d) Pasal 125 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika Golongan III. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito. 3) Unsur Narkotika Golongan III. e) Pasal 126 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan oranglain. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menggunakan, atau memberikan untuk digunakan oranglain.
46
3) Unsur Narkotika Golongan III. f) Pasal 127 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur penyalahguna bagi diri sendiri. 3) Unsur Narkotika Golongan III. Suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana apabila: 49 1. Adanya korban; 2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; 3. Harus berdasarkan asas ratio principle, dan 4. Adanya kesepakatan sosial (public support). Tujuan pengaturan Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika antara lain: 50 1. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan; 2. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika;dan 3. memberantas peredaran gelap narkotika. Melawan hukum merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, dimana sifat tercela tersebut dapat bersumber pada undangundang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut
49
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2011,
hlm. 45. 50
Kusno Adi. Kebijakan Kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, Malang: UMM Press, 2009, hlm. 18.
47
dengan bertentangan dengan asas-asa hukum masyarakat, sifat tercela tersebut tidak tertulis. 51 Berdasarkan undang-udang, suatu perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundangundangan. 52 Sifat terlarang yang harus dibuktikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung dari redaksi rumusan dan paham yang dianut. Contohnya, sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum objektif terletak pada tidak adanya izin dari si pemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. 53 Dalam hal yang terakhir, bagaimana mengenai kenyataan bahwa tidak semua orang akan mengetahui tentang begitu banyak dan luasnya tindak pidana dalam undang-undang. Hal atersebut tidak perlu menjadi kendala karena dalam hal berlakunya hukum pidana didasarkan pada adagium, yakni “setiap orang dianggap mengetahui hukum”. Jadi dengan terpenuhinya perbuatan yang dilarang beserta unsur-unsur lainnya, sudah demikian dianggap seseorang itu mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang undang-undang. 54 Suatu perbuatan yang dapat dipidana oleh hukum, harus dipenuhinya unsur actus reus yakni unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan mens
51
Adami Chazawi, Op.cit., hlm. 86. Ibid., hlm. 86-87. 53 Ibid., hlm. 88. 54 Ibid., hlm. 89. 52
48
rea (mental element) yakni keadaan sikap batin. Actus non Facit Reum nisi mens sit rea, bahwa asas tersebut diatas menyatakan suatu perbuatan tidak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tidak bersalah. 55 Actus reus menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act) sedang kan mens rea mencakup unsur pembuat delik yaitu sikap batin yang menurut pandangan monitistis tentang delik disebut unsur subjektif suatu delik atau keadaan psikis pembuat. Pandangan monistis yang ditinggalkan oleh Hoge Raad, “sesungguhnya di dalam literatur Belanda tentang arti strafbaar feit pada masa ini sedang mengalami perkembangan sehingga tidak ada kesatuan pendapat lagi. Sebagaimana halnya beberapa waktu lalu.” Di dalam ucapan van Hattun di atas, sesungguhnya strafbaar feit diberi arti strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat orang dijatuhi pidana. 56 Mens rea amat erat sekali hubungannya dengan asas keine trafe onhe schuld yakni tidak ada pidana jika orang tidak bersalah. Mens Rea adalah sikap batin pembuat yang oleh pandangan monistik terhadap delik tersebut sebagai unsur subjektif, yang kalau unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggungjawaban
pembuat
delik.
Unsur-unsurnya
adalah
kemampuan
bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tidak adanya dasar
pemaaf
(veronstschuldingsground)
yang
semuanya
melahirkan
schuldhaftigheit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuatan delik. 57
55
A.Z. Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 47. H. Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU. No. 35 Tahun 2009), Jakarta: Rineka Cipta, 2012, hlm. 252. 57 Ibid., hlm. 253. 56
49
Dalam tindak pidana narkotika yang menjadi objek hukum adalah perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum yang memenuhi asas legalitas formil dan materiil. a. Legalitas formil yaitu suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. b. Legalitas materiil yaitu hukum yang belaku di dalam kehidupan masyarakat. Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku (heteromon). Unsur dari luar diri pelaku tindak pidana narkotika dapat kita kaji yaitu perbuatan manusia, akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, keadaan-keadaan tertentu, sifat melawan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 58 Unsur Subjektif, unsur yang berasal dari dalam diri pelaku tindak pidana. Unsur dari dalam diri Pelaku tindak pidana narkotika dapat diketahui unsur kesengajaan sebagai maksud, unsur kesengajaan kemungkinan, unsur kesengajaan keinsafan pasti, ataupun kesadaran secara penuh dalam melakukan tindak pidana. Dimana pelaku sadar akan perbuatannya dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan bertanggug jawab sebagai keadaan batin orang normal, yang sehat. Dalam tindak pidana narkotika subjek hukum yang dapat dipidana terbagi atas: a. Setiap orang b. Badan Hukum atau Korporasi c. Pegawai Negeri
58
http://zain-informasi.blogspot.com/2013/11/pasal-111-uu-no-35-tahun-2009tentang_3719.html (diakses pada tanggal 13 Agustus 2015 pukul 17.00).
50
Perbuatan yang dapat dikategorikan dalam tindak pidana ialah : 1) Perbuatan yang dilakukan tanpa hak 2) Perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dimaksudkan ialah perbuatan sudah ternyata dari sifat
melanggarnya
ketentuan
undang-undang,
kecuali
jika
termasuk
pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perbuatan melawan hukum ini dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, doktrin membedakan Wederrechtelijk (melawan hukum) 59 : 1. Wederrechtelijk formil Terdapat apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 2. Wederrechtelijk materiil Sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dalam UU No. 35 2009 tentang Narkotika, terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni 60: a. Kategori
pertama,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika.
59 60
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 415. Ibid., hlm. 256.
51
b. Kategori
kedua,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika. c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika. d. Kategori
keempat,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika. Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara bekerjasama yang peranannya berbeda. 61Yang
dimaksud
berbeda
peranannya,
karena
dalam
rangka
melaksanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku (pleger) dan ada yang bertindak sebagai (medeplictig), masing-masing dengan “pekerjaan” yang tidak sama. Sebagai orang yang membantu kejahatan, tidak bertindak langsung melakukan pekerjaan, akan tetapi fungsinya hanya memperlancar jalannya pelaksanaan kejahatan. Adapun perbuatan (medeplictig) dalam membantu melakukan kejahatan misalnya
meminjami
peralatan,
memberi
informasi,
menghalang-halangi
pengejaran, dan sebagainya. Perbuatan tersebut dilakukan sebelum atau pada saat kejahatan dilakukan, sebenarnya bukan hanya dalam bentuk materil, tetapi dalam bentuk moril pun dapat dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan sekongkol atau
61
Gatot Supramono, Op.cit, hlm. 80.
52
“tadah” (heling) melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP”. 62 Dasar hukum orang yang membantuk melakukan kejahatan adalah Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: a. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan. b. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan keterangan untuk melakukan kejahatan itu. Permufakatan jahat dapat terjadi apabila suatu kejahatan dilakukan oleh beberapa orang. Sebelum melakukan perbuatan, mereka berunding dan melahirkan kesepakatan untuk melakukan sesuatu kejadian. Istilah permufakatan jahat dikenal dengan sebutan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi ini, maka perlu dipahami pandangan Sutherland yang dikutip oleh J.E. Sahetapy, yaitu: “ the value of criminal statistic as a basis for the measurement of criminality... decrease as the procedures takes us farther away from the offence itself’. 63 Jika terus berpegangan pada angka peradilan pidana, maka harus dipertimbangkan: 1. Para penjahat dalam menjalankan perbuatan mereka yang tidak terpuji itu acapkali tidak diketahui oleh lembaga penegak hukum dan instansi administrasi yang bertugas mengawasi aktivitas korporasi.
62
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama, 2003, hlm. 60. 63 J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Eresco, 1994, hlm. 23.
53
2. Bilamana diketahui maka penjahat (korporasi) itu mungkin saja tidak diadili, 3. Seandainya si penjahat itu diadili juga, maka ada kemungkinan yang bersangkutan tidak dipidana. Pengertian korporasi di dalam hukum pidana sebagai ”ius constituendum” dapat dilihat dalam usul Rancangan KUHP Baru Buku I 1987/1988, dalam Pasal 120 yang menyatakan: 64 “korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.” Dari perumusan ini, jelaslah bahwa kumpulan teorganisasi ini, dalam praktiknya di kalangan para pelaku kejahatan sering melakukan kejahatan dengan melibatkan beberapa orang sebagai suatu organisasi. Ternyata rumusan korporasi menurut Rancangan KUHP Baru tersebut di atas, mirip dengan pengertian korporasi di negeri Belanda, dan dapat dijumpai dalam Pasal 51 W.v.S Belanda (Pasal 59 KUHP Indonesia), yang berbunyi: a. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: (1) badan hukum atau; (2) terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu, atau; (3) terhadap yang disebutkan di dalam (1) dan (2) bersama-sama.
64
Siswanto, Op.cit., hlm.158.
54
c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseoran tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.
B. Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Narkotika 1. Kesalahan Untuk suatu pelanggaran pidana adalah satu syarat mutlak, bahwa selain daripada perbuatan itu melawan hukum, perbuatan itu sebagai pelanggaran larangan atau perintah itu juga diancam dengan hukuman, yaitu undang-undang telah menetapkan bahwa tidak ditaati larangan atau perintah itu diancam dengan suatu hukuman tertentu sebagai akibat hukum. Unsur subjektif dari norma-pidana berupa Kesalahan (mens rea) sipelanggar norma pidana itu. 65 Kesalahan itu umumnya ialah dengan dikehendaki dan dengan sengaja ataupun oleh karena kealpaan menimbulkan suatu akibat, yang terjadinya terlarang; sebab hanya dalam hal demikian sipelanggar norma pidana itu dapat dipersalahkan itu berarti, bahwa sipelanggar norma pidana itu dapat bertanggung jawab dan hal ini adalah satu syarat mutlak. 66 Kesalahan seperti dimaksudkan diatas ini, mempunyai dua bentuk yaitu : sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa). Ada pengecualian mengenai aturan, bahwa harus ada kesalahan pada si pelanggar norma pidana itu;
65 66
Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955, hlm. 37. Ibid., hlm. 38.
55
terkadang mengenai elemen-elemen tertentu dari suatu norma pidana tertentu tidak diperlukan kesalahan (schuldverband). 67 Dengan singkat kesengajaan itu merupakan yang dikehendaki dan orang yang mengetahui. Berdasarkan dua istilah inilah doktrin mengenai kesengajaan itu berasal. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat. 68 Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu: 1.
Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willen) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), mengkehendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil).
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan adalah dalam hubungannya erta dengan pengetahuan seseorang tentang sekitar perbuatan yang akan dilakukan beserta akibatnya. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari 67 68
Ibid., hlm. 39. Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 93.
56
perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan tersebut. Tingkatan sengaja para ahli membedakan sengaja atas 3 tingkatan atau corak seperti 69: 1. Sengaja sebagai niat atau tujuan (Oggmerk). Akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan itu tidak ada, maka perbuatan tidak akan dilakukan. JONGKERS (hal 48) mengatakan bahwa sengaja ini adalah bentuk yang paling murni dan bersahaja. 2. Sengaja dengan kesadaran pasti terjadi: Contoh JONGKERS. A hendak menembak mati si B, ia melihatnya duduk di belakang dinding kaca, untuk mengenai sasarannya, maka si A harus menembak juga kaca itu sampai pecah. Oleh karena itu maka, ia telah bersalah selain daripada membunuh (sengaja sebagai niat), juga ia telah dengan sengaja merusak barang (sengaja corak kedua), walaupun niatnya hanya membunuh si B, tetapi ia menembah kaca itu untuk mencapai maksudnya. 3. Sengaja yang berinsafkan kemungkinan (dolus eventualis). Van Hamel menolah istilah dolus eventualis dan menganjurkan nama eventualiter dolus (Jongkers hal 56). Contoh Hoerenschetaart-Arrest, yaitu yang diadili oleh Pengadilan Tinggi Amsterdam tertanggal 19 Maret 1911, dan Mahkamah Agung
69
A.Zainal Abidin, Hukum Pidana, Baraya, 1962, hlm. 54-55.
57
tertanggal 19 Juni 1911. Seorang hendak membunuh seseorang di kota Hoorn, lalu mengirimkan kepadanya kue yang telah ditaruh racun dengan niat hendak membunuhnya. Ia mengetahui bahwa, selain daripada musuhnya dia juga mungkin akan memakan kue itu, dan mungkin pula akan mati. Oleh karena itu ia mengirim kue itu, maka sengajanya dianggap juga ditujukan kepada matinya isteri orang itu, walaupun akibatnya tidak dikehendakinya atau tidak diinginkan. Berikut syarat-syarat bagi pengertian kealpaan (culpa), menurut Simons umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan sesuatu perbuatan disamping dapat menduga akibat perbuatan itu, meskipun sesuatu perbuatan dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terdapat kealpaan, jika yang berbuat itu telah mengetahui, bahwa dari perbuatan itu mungkin akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. 70 Kealpaan itu terjadi, apabila yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan berhati-hati, cermat dan sungguh-sungguh, sedangkan ia dapat menduga, bahwa dari perbuatannya itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Dapat diduganya bahwa akibat itu akan timbul adalah syarat mutlak bagi culpa sehingga meskipun yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan berhati-hati, apabila ia tidak dapat menduga akan terjadinya akibat itu, maka perbuatan tersebut dapat dipersalahkan tentang culpa. Berdasarkan uraian diatas tersebut dapat diambil
70
Tirtaamidjaja, Op.cit., hlm. 55.
58
kesimpulan bahwa, tidak setiap perbuatan yang tidak dilakukan dengan berhati-hati dan sungguh-sungguh akan menyebabkan culpa bagi yang melakukan perbuatan itu. 71 Suatu macam khusus kealpaan adalah kealpaan terinsyaf (bewuste schuld). Sebagai contoh A mengemudikan mobilnya secara cepat ke stasiun, karena sudah terlambat berangkat dari rumahnya. A mengetahui (insyaf) bahwa setir mobilnya mengalami sedikit kerusakan, tetapi ia berharapan besar bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia memilih beberapa jalan yang sepi untuk memperkecil resiko. Ia membuat suatu mubengan yang kecil, lebih baik suatu mubengan kecil daripada nanti menyebabkan suatu kecelakaan besar. Walaupun A membuat perhitungan akan hal tersebut, masih juga terjadi kecelakaan yang pada pokoknya tidak disengajai A. 72 2. Kemampuan bertanggung jawab Berdasarkan hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: 73 a. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku. b. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang. c. Tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful d. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
71
Ibid., hlm. 56. Utrecht, Op.cit., hlm. 313. 73 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: CV Bandar Maju, 2000, hlm. 67-68. 72
59
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang menganut “common law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang fundamental dengan “civil law system”. 74 Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika: 75 a. Ia memperoleh tekanan (physic atau psikologis) sedemikian rupa sehingga mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya, seperti: gila atau daya paksa. b. Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti: diplomat asing atau anak dibawah umur. 3. Tidak adanya alasan pemaaf Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah: a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll. b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut: a. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. b. Pasal 48 mengenai daya memaksa. c. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa. d. Pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. 74 75
Ibid., hlm. 71. Ibid.
60
Jika seseorang melakukan tindak pidana namun tidak memenuhi ketentuan diatas, maka perbuatannya harus dipertanggungjawabkan dan dikenakan sanksi yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan unsur-unsur subjektif pada rumusan tindak pidana yang diuraikan diatas, maka diketahui bahwa formulasi pertanggungjawaban pidana tersebut berdasarkan pada kesalahan berupa kesengajaan. Ada beberapa pasal yang menyebutkan “dengan sengaja” yang berarti unsur-unsur subjektif jelas tercantum dalam pasal tersebut. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Narkotika yang tidak menyebutkan unsur “dengan sengaja”, namun dari dilihat dari unsur objektifnya berupa perbuatan, maka perbuatan tersebut dikategorikan “dengan sengaja”. Contoh Pasal 111 menyebutkan bahwa “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”. Dalam pasal tersebut perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut mengetahui dan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut.
C. Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Narkotika KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stesel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari 76:
76
Andi Hamzah, Op.cit., hlm 25-26.
61
1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan Pidana tambahan terdiri dari; a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu; b. Pidana perampasan barang-barang tertentu; c. Pidana pengumuman keputusan hakim. 1. Pidana Mati Pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. 77 Hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang merupakan hukum positif. Terlepas dari landasan yang sifatnya legalistik, secara realistis pun kondisi hukum di Indonesia, masih sangat membutuhkan pelaksanaan hukuman mati. Tentunya khusus bagi kejahatankejahatan spesifik. Penjatuhan hukuman mati hanya diputuskan oleh Hakim, kalau kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti sangat meyakinkan. 78
77
Ibid., hlm 29. Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 179-180. 78
62
2. Pidana Penjara Berdasarkan sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, menaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku. 79 Menurut Pasal 12 (1) pidana penjara dibedakan menjadi: a) Pidana penjara seumur hidup. b) Pidana penjara sementara waktu. Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni 80: 1) Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti Pasal 104, Pasal 365 ayat (4), Pasal 368 ayat (2) 2) Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya Pasal 106, Pasal 108 KUHP Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi (maksimum umum) 15 tahun (12 ayat 2). Pidana penjara sementara dapat (mungkin) dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat 3.
79 80
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 34. Ibid., hlm. 34.
63
3. Pidana kurungan Merupakan bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. Pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, jika seseorang tersebut tidak dapat atau tidak mampu membayar denda yang harus dibayarnya, dalam hal perkaranya tidak begitu berat. 81 4. Pidana Denda Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda tersebut secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. 82 5. Pidana tutupan Dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh Hakim bagi pelaku dari sesuatu kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. 83
81
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 23. 82 Ibid., hlm. 24. 83 Ibid.
64
KUHP merumuskan beberapa pidana tambahan, antara lain: 84 a. Pencabutan hak-hak tertentu Dalam pasal 35 KUHP ditentukan bahwa yang boleh dicabut dalam putusan Hakim dari hak si bersalah ialah: 1) Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu. 2) Hak untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, baik udara, darat, laut, maupun Kepolisian. 3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan berdasarkan UndangUndang dan Peraturan Umum. 4) Hak menjadi penasihat, penguasa dan menjadi wali 5) Kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan atas anak. 6) Hak untuk mengerjakan tertentu. b. Perampasan barang-barang tertentu Dalam hal perampasan barang-barang tertentu tercantum dalam pasal 39, 40, 41, 42 KUHP 1) Barang-barang milik terhukum yang diperoleh dari kejahatan. 2) Barang-barang milik terhukum yang dipakai untuk melakukan kejahatan. c. Pengumuman Putusan Hakim Semua Putusan Hakim sebenarnya sudah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, hukuman tambahan yang berupa pengumuman Putusan Hakim disini dimaksudkan agar putusan itu disiarkan istimewa
84
Ibid., hlm. 25-26.
65
secara jelas menurut apa yang ditentukan oleh Hakim dan biayanya di tanggung oleh terhukum. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sanksi pidana dibagi atas: 1. Pidana Mati Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa pasal yang menggunakan pidana mati, antara lain: Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara, yang artinya tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang dapat dihukum mati apabila melakukan tindak pidana yang telah diatur oleh Undang-Undang itu sendiri. 2. Pidana penjara Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa pasal yang menggunakan pidana penjara, antara lain: Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebutkan alternatif dari pidana mati yaitu berupa penjara seumur hidup. 3. Tindakan berupa Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan tindakan untuk pengembalian kehormatan dan pemulihan nama baik. Dalam arti mengisolasikan seseorang ke suatu tempat
66
tertentu untuk dipulihkan, karena sesuatu penyakit atau keadaan. Hal ini merupakan salah satu strategi pemberantasan masalah narkoba. Rehabilitasi semata-mata tidak untuk mengisolasikan pasien narkoba dari lingkungan masyarakat umum agar terasing dari orang lain, melainkan untuk memulihkan pasien yang ketergantungan. 85 Para pecandu narkotika tidak jarang memberikan dampak terhadap rasa aib bagi anggota keluarganya. Mereka sembunyi-sembunyi untuk melakukan perawatan medis sendiri (swamedikasi), padahal tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Oleh sebab itu, peranan masyarakat untuk membangun fasilitas sarana rehabilitasi medis amat diperlukan dalam rangka rehabilitasi sosial. 86 Disisi lain, para terpidana narkotika diharapkan mendapat fasilitas lembaga pemasyarakatan khusus, yang dijauhkan dengan para pelaku tindak pidana lainnya. Para terpidana narkotika selama menjalani hukuman, dapat pula dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk dilakukan pelatihan tentang kewajiban memberikan informasi, pelatihan keterampilan dalam teknik pembelian terselubung sehingga dapat menunjang peranan penegak hukum. 87 Ketentuan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan rehabilitasi medis merupakan kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. rehabilitasi pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
85
Ballen Kennedy, Djaman Siregar, Budaya Malu Solusi Memberantas Masalah Narkoba, Jakarta: Gramedium, hlm. 142. 86 Siswantoro Sunarso, Op.cit., hlm. 197. 87 Ibid., hlm. 197.
67
Yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. 88 Rehabilitasi sosial merupakan kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 89 Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dapat dilakukan di lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial, yaitu lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, salah satu tujuannya yang tercantum dalam pasal (4) adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Namun fakta di lapangan, para penyalah guna dan pecandu narkotika dijatuhi hukuman penjara dan mendekam di Lembaga Permasyarkatan. Hal ini terjadi karena penegak hukum menginterpretasikan bahwa memiliki, menguasai, membawa narkotika dibawah ketentuan surat edaran MA, dapat dikonstruksi dalam pasal sebagai pengedar, sehingga sangat jarang pasal penyalah guna berdiri sendiri. Disisi lain penegak hukum yang menangani kasus penyalah guna narkotika jarang melakukan langkah-langkah pemeriksaan secara medis dan psikis untuk menentukan seorang yang ditangkap sebagai penyalahguna atau pengedar, serta tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tingkatan kecanduan dan rencana 88
http://www.psychologymania.com/2012/08/pengertian-rehabilitasi-narkoba.html (diakses tanggal 5 September 2015 pukul 20.30). 89 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
68
terapi rehabilitasinya, sehingga Hakim merasa sulit dalam memutuskan tindakan berupa rehabilitasi. 90
90
http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasipenyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia (diakses tanggal September 2015 pukul 20.40).
69
5