BAB II FORMULASI PERBUATAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU NOMOR 35 TAHUN 2009
A. Sejarah Tindak Pidana Narkotika 1. Sejarah Narkotika Secara Umum Pada dasarnya Narkotika adalah obat penghilang rasa sakit dan juga mengubah perasaan dan pikiran. Pada tahun 2000 SM (sebelum masehi), dikenal sebuah tanaman bernama Papavor somniveritum(candu), dan tumbuhan tersebut juga tumbuh di berbagai wilayah seperti China, India dan beberapa Negara lainnya. Kemudian pada tahun 330 SM (sebelum masehi) seseorang bernama Alexander The Great mulai mengenalkan candu di India dan Persia, pada saat itu orang India dan Persia menggunakan candu tersebut saat jamuan makan dan saat santai. 37 Pada sejarah Mesir kuno bahwa orang Romawi dan Mesir pada tahun 1700-an, telah menggunakan Narkotika sejenis daun poppy dengan cara dikunyah yang bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit pada saat melahirkan anak. Kalau sebelumnya candu digunakan dengan cara dikunyah maka pada tahun 1805 Morphin mulai dikenalkan untuk menggantikan candu (opium), morphin tersebut ditemukan oleh seorang dokter bernama Friedrich Wilhelim Sertuner. Dokter tersebut menemukan morphin yang bahan dasarnya modifikasi candu ditambah
37
Abdul Rozak & Wahdi Sayuti, Remaja dan Bahaya Narkoba, (Jakarta: Prenada Media group, 2006 ), hal.30
35 Universitas Sumatera Utara
amoniak. Dan saat terjadinya perang morphin tersebut sangat banyak digunakan untuk mengobati tentara yang terluka disaat perang. 38 Pada tahun 1874 seorang ahli kimia dari Inggris bernama Alder Wright melakukan penelitian dengan cara merebus cairan morphin dan dicampur dengan asam anhidrat, kemudian hasil campuran tersebut dilakukan percobaan kepada seekor anjing dan hasilnya anjing tersebut tiarap, ketakutan, mabuk dan muntahmuntah, kemudian pada tahun 1898 pabrik obat Bayern memproduksi obat tersebut dengan nama heroin yang dijadikan sebagai obat penghilang rasa sakit. Selain morphin & heroin adalagi jenis lain yaitu kokain (ery throxylor coca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Biasanya digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC. 39 Tahun 60-70-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah "Golden Triangle" yaitu Myanmar, Thailand & Laos. Dengan produksi: 700 ribu ton setiap tahun. Juga pada daerah "Golden Crescent" yaitu Pakistan, Iran dan Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika danAmerika. Di akhir tahun 70an ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta tekhnologi mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat juga dalam bentuk obat-obatan. Pada tahun 1853 seorang dokter bernama Alexander Wood Edinburg menemukan jarum suntik, morphin menjadi sangat banyak disalahgunakan untuk
38
http://digilib.uinsby.ac.id/10843/5/bab2.pdf, diakses pada tanggal 15 desember 2015, pukul 12;40 Wib 39 . http://stopnarkobaa.blogspot.co.id/2014/02/sejarah-narkotika.html,diakses, pada tanggal 15 Desember 2015,pukul :12,45 Wib
36 Universitas Sumatera Utara
menggunakan Narkoba tersebut. Kemudian pada tahun 1874 para ahli kimia mulai mengubah struktur morphin membuat morphin menjadi obat yang tidak menyebabkan ketagihan. Seorang ahli kimia bernama CR.Wright menemukan sintesis heroin dengan cara memanaskan morphin. Pada tahun 1939 dilakukan penelitian Narkotika sintetis dan semi sintetis dan sintetis pertama diproduksi di Jerman dan diberi nama Petidine. Pada tahun 1923 Badan Obat Amerika (FDA) melarang melarang semua bahan narkotika terutama heroin, tetapi walaupun hal tersebut sudah dilarang, para pengguna kemudian mulai mencari bahan tersebut di pasar gelap Narkoba, dan pasar gelap tersebut adalah Chinatown, New york. Narkoba tersebut umumnya disalahgunakan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai tindak kriminal seperti pencurian, perampokan, karena pengguna akan selalu membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya demi membeli Narkoba. 40 Pada tahun 1960 an, penyebaran candu dunia berada pada daerah segitiga emas yaitu meliputi negara Myanmar, Thailand dan Laos dan kemudian dikenal istilah Bulan sabit emas meliputi negara Pakistan, Iran, Afganistan. 2.
Sejarah Tindak Pidana Narkotika di Indonesia
Di Indonesia sendiri Narkoba jenis opium sudah ada pada jaman penjajahan belanda yaitu sebelum terjadinya perang dunia II dan sebagian besar pemakai candu (opium) saat itu adalah orang China, pemerintah Belanda memberikan tempat untuk menggunakan candu tersebut dan juga mengatur peredarannya dan pengadaannya. Pada saat itu orang China menggunakan candu dengan cara
40
ibid
37 Universitas Sumatera Utara
tradisional yaitu dengan cara menghisap dengan menggunakan Pipa panjang, penggunaan candu tersebut legal dan dilindungi oleh Undang-undang, kemudian setelah Jepang tiba dan kemudian melakukan penjajahan di Indonesia, pemerintah Jepang menghapuskan Undang-Undang tersebut (Brisbane ordinance). Kemudian setelah Indonesia merdeka, pemerintah membuat Undang-Undang yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi obat berbahaya dan saat itu diberikan wewenang kepada menteri kesehatan untuk mengatur ( State gaette No 419 ,1949). 41 Pada tahun 1976 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang tersebut mengatur tentang peredaran gelap, terapi dan rehabilitasi korban pecandu Narkotika, karena semakin maraknya peredaran gelap narkotika Undang-Undang tersebut direvisi dan dibuat Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, kemudian dibuat lagi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika dan berlaku sampai dengan sekarang. Sejarah narkotika cukup panjang, sekarang ini Narkotika digunakan untuk keperluan medis di Rumah Sakit, misalnya saat akan melakukan operasi, Tetapi disisi lain ada juga yang menggunakan hanya untuk kesenangan maka disebut sebagai peredaran gelap. Karena penggunaan Narkotika akan dapat menyebabkan ketergantungan, dan efek samping yang paling serius sebagai akibat dari
41
http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2011/10/31/189/sejarah-singkatnarkoba ,diakses pada tanggal 15 Desember 2015,pukul : 13.00 Wib.
38 Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan Narkotika adalah kematian, tentu tidak satupun diantara kita yang menginginkannya, oleh karena itu jauhi Narkotika sekarang juga.
3. Sejarah Pengaturan Undang-Undang Narkotika di Indonesia Dalam sejarah Perundang-Undangan yang mengatur tentang Narkotika, dapat dibagi menjadi beberapa tahap,yakni : a. Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie; b. Masa berlakunya Verdovende midellen Ordonantie stbl 1972 Nomor: 278 jo No. 536 (yang diterjemaahkan dengan UU Obat Bius); c. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika; d. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Jadi pengaturan Narkotika dalam Perundang-Undangan sudah sejak Zaman Hindia Belanda, yaitu yang tertua adalah pada Tahun 1972, berikut mengenai tahapan-tahapan dalam UU tersebut : a. Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie Pada masa ini, pegaturan Narkotika tidak seragam setiap wilayah mempunyai Ordonantie sendiri-sendiri. Misalnya : 1.
Bali Regie Ordonantie;
2.
Jawa Regie Ordonantie;
3.
Riau Regie Ordonantie;
4. Aceh Ordonantie Regie; 5. Borneo Regie Ordonantie; 6. Celebbes Regie Ordonantie;
39 Universitas Sumatera Utara
7. Tapanuli Regie Ordonantie; 8. Ambon Regie Ordonantie; 9. Timor Regie Ordonantie. Dari berbagai macam Regie ordonantie tersebut yang paling tua adalah Bali Regie Ordonantie termuat Stbl 1872 Nomor 76. Disamping itu masalah Narkotika juga diatur dalam: 10. Morphine Regie Ordonantie (stbl 1911 Nomor 373,stbl 1911 Nomor 484 dan Stbl 1911 Nomor 485); 11. Ooskust Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 494 dan 644, Stbl 1912 Nomor 255); 12. Westkust Regie Ordonantie (Stbl 1914 Nomor 562,Stbl 1915 Nomor 425); 13. Bepalingen Opium Premien( Stbl 1916 Nomor 630) dan sebagainya. Jumlah semua peraturan yang tersebar tersebut adalah 44 buah. 42 b. Masa berlakunya Verdovende Midellen Ordonantie stbl 1972 Nomor: 278 jo No. 536 (yang diterjemaahkan dengan UU Obat Bius); Undang-undang tanggal 12 Mei 1972 Stb.27-278 Jo.536 diberlakukan Tahun 1928.Disempurnakan dengan lembaran Tambahan tanggal 22 Juli dan 3 Februari 1928.Dalam seminar kriminologi II (28-30 September 1972) dibahas kelemahankelemahan yang terdapat dalam UU obat bius ini. Dari situlah mulai diberlakukan perombakan dengan pembaharuan dan penyempurnaan Perundang-Undangan Narkotika agar lebih efektif dalam penanggulangan penyalahgunaan Narkotika.
42
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Mandar maju, 2003), hal.162
40 Universitas Sumatera Utara
Dalam seminar tersebut berpendapat tentang kekurangan-kekurangan dan ketidakserasian Undang-Undang Obat Bius yang dimaksud, diantaranya : a. Belum adanya badan yang bertingkat Nasional dan tetap dengan kewenangan dalam menangani masalah penyalahgunaan narkotika. b. Belum adanya ketentuan khusus tentang wajib lapor penyalahgunaan Narkotika. c. Belum adanya pernyataan, persistimatisan dalam ketentuan hukum. d. Tidak adanya keseragaman dalam pengertian tentang narkotika. e. Ringannya sanksi jika dilihat dari akibat penyalahgunaan Narkotika. f. Tidak ada ketegasan di antara ketentuan hukum pidana dan acaranya g. Tidak adanya ketegasan pembatasan pertanggungjawaban pidana terhadap pemakai, pemilik, penjual atau pengedar dan penyimpan Narkotika. 43 c. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika; Lahirnya Undang-Undang ini menandakan bahwa pemerintah begitu memperhatikan terhadap penyalahgunaan Narkotika. Pada dasarnya undangundang ini tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi baik yang berkaitan dengan penggunaan maupun dengan cara penindakan yang harus dilakukan. Mengingat perkembangan kualitas kejahatan Narkotika ini sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan manusia yang mana modus operandi dari peredaran Narkotika mampu mengguncang dunia, maka diadakan kembali suatu perubahan. 44 d. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 43
Susi Adisti, Belenggu Hitam Pergaulan (Hancurnya Generasi Akibat Narkoba) (Jakarta: Restu agung, 2007), hal.104 44 Ibid hal.106
41 Universitas Sumatera Utara
Konteks penyelesaian dan penanggulangan penyalahgunaan Narkotika, pemerintah Indonesia juga melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional untuk secara serius memerangi peredaran gelap Narkotika, seperti tercantum dalam rangkaian penjelasan Undang-Undang yang meratifikasi (menandatangani dan mengesahkan ) United Nation Convention Against Lllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, hasil konvensi PBB yang disahkan oleh DPR pada tanggal 31 Januari 1997 dan dijadikan acuan terbentuknya UU No 22 Tahun 1997. Dalam UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada Bab XII memuat ketentuan tentang tindak pidana (sanksi pidana) penyalahgunaan Narkotika. Ketentuan tindak pidana dikenakan pada pelaku yang secara umum dikelompokkan dalam tiga bentuk, yakni penyalahgunaan Narkotika, Peredaran Narkotika, dan penjualan Narkotika. 45 e. Masa berlakunya Undang-Undang No 35 Tahun 2009. Tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersana-sama, bahkan merupakan suatu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik ditingkat Nasional. Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat,
45
Abdul rozak & Wahdi sayuti, Op.,cit., hal.47
42 Universitas Sumatera Utara
bangsa, dan Negara, pada sidang umum Mejelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-undang No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Selain itu untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai prekursor Narkotika kerena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenisjenis prekursor Narkotika serta sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Bahkan, demi mengefektikan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan Lembaga yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN).
B. Perbuatan Pidana Narkotika Dan Jenis-Jenisnya. a. Perbuatan Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-undang No 35 Tahun 2009 Adapun pengaturan tindak pidana Narkotika berdasarkan Undang-undang No 35 Tahun 2009 adalah sebagai berikut : 1. Sama seperti Undang-undang sebelumnya, Narkotika Undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan
43 Universitas Sumatera Utara
berdasarkan kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini tindak pidana serta berat ringannya sanksi disesuaikan dengan masing-masing golongan ; 2. Mayoritas tindak pidana Narkotika dirumuskan dengan konsep delik formil. Tidak ditemukan akibat konstitusif yang dilarang dalam undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hanya pasal 116, pasal 121 dan pasal 126 yang dirumuskan dengan rumusan delik dengan akibat yang dikualifisir. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang larangan pemberian Narkotika golongan I, golongan II , maupun golongan III secara tanpa hak dan melawan hukum kepada orang lain untuk digunakan. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat akibat yang dilarang yaitu mati ataupun cacat permanennya orang lain mati. Apabila akibat yang dilarang terjadi maka akan dikenakan pemberatan; 3. Tidak ada kualifikasi tindak pidana dalam Undang-Undang ini apakah tergolong pada kejahatan ataupun pelanggaran; 4. Berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat diperluas dengan adanya pasal 145 Undang-undang 35 Tahun 2009. Pasal tersebut mengatur bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan / atau tindak pidana precursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 111, pasal 112,pasal 113,pasal 114,pasal 115,pasal 116,pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127(1) pasal 128 ayat (1) dan pasal 129 diluar wilayah Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini mengandung asas nasionalis pasif terkait dengan berlakunya hukum pidana
44 Universitas Sumatera Utara
Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum Negara Indonesia, baik itu dilakukan oleh warga Negara Indonesia atau bukan, yang dilakuakn di luar Indonesia, 5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman, Narkotika Golongan II,golongan III ( pasal 11,112,117,122); 6. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III (pasal 113,118,123) 7. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III (pasal 114,119,124); 8. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, golongan II, golongan III (pasal 115,120,125) 9. Perbutan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain narkotika golongan II , narkotika golongan III (pasal 116,121,126) 10. Setiap penyalah guna narkotika golongan I untuk digunakan orang lain narkotika golongan II, narkotika golongan III bagi diri sendiri ( pasal 127);
45 Universitas Sumatera Utara
11. Perbuatan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor ( pasal 128); 12. Memiliki,
menyimpan,
menguasai,
atau
menyediakan,
memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan , menawarkan untuk dijual. Menjual, membeli, menerima, menhjadi perantara, dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan precursor narkotika untuk perbuatan narkotika membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito precursor Narkotika untuk perbuatan Narkotika 9pasal 129); 13. Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang diatur dalam pasal 111-119 (pasal 131); 14. Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika yang diatur dalam pasal 11-126, dan pasal 129. (pasal 133); 15. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur , keluarga pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan hal tersebut (pasal 134); 16. Pengurus industry Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban menurut pasal 45 (pasal 1350; 17. Pencucian uang terkait Tindak Pidana Narkotika pasal (137); 18. Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan / atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka ssidang pengadilan (pasal 138);
46 Universitas Sumatera Utara
19. Nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 atau pasal 28 (pasal 139); 20. Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang No 35 tahun 2009 (pasal 140-142); 21. Sanksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dalam precursor Narkotika di muka siding pengadilan (pasal 143); 22. Perbuatan pimpinan Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Milik Pemerintah, dan Apotek yang mengedarkan Narkotika golongan II, golongan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan ( pasal 147 huruf (a); 23. Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf (b) 24. Perbuatan pimpinan Industri Farmasi tertentu yng memproduksi Narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf (c) 25. Pimpinanan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika golongan I bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan /atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. (pasal 147 huruf(d) )
47 Universitas Sumatera Utara
b. Jenis-Jenis Narkotika. Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, jenis narkotika di bagi ke dalalm 3 (tiga) kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. Setiap golongan narkotika memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu: Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan I adalah: 46 1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. 2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L dengan atau tanpa mengalami pengolahan sekedarnya untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari : a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. 46
Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
48 Universitas Sumatera Utara
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya. 5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 6.
Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina. 8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. 9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. 10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya. 11. Asetorfina
:
3-0-Acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,
14-
endoeteno-oripavina. 12. Acetil–alfa–metil fentanil :N-[1-(α-Metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida. 13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-Metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida 14. Alfa-metiltiofentanil
:
N-[1-]
1-Metil-2-(2-tienil)
etil]-4-piperidil]
priopionanilida 15. Beta-hidroksifentanil:N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-4-piperidil propionanilida 16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil
:N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-3-metil-4
piperidil]propionanilida.
49 Universitas Sumatera Utara
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina 18. Etorfina: Tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,14-endoeteno-oripavina 19. Heroina : Diacetilmorfina 20. Ketobemidona:
4-Meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina
21. 3-Metilfentanil:
N-(3-Metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-Metiltiofentanil: N-[3-Metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida 23. MPPP : 1-Metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester) 24. Para-fluorofentanil : 4‘-Fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida 25. PEPAP : 1-Fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester) 26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-Tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida 27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : (±)-4-Bromo-2,5-dimetoksi- α – metilfenetilamina 28. DET : 3-[2-(Dietilamino )etil] indol 29. DMA : ( + )-2,5-Dimetoksi- α –metilfenetilamina 30. DMHP : 3-(1,2-Dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-dibenzo[ b,d]piran-1-ol 31. DMT : 3-[2-( Dimetilamino )etil] indol 32. DOET : (±)-4-Etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina 33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-Etil-1-fenilsikloheksilamina 34. ETRIPTAMINA. : 3-(2-Aminobutil) indol 35. KATINONA : (-)-(S)- 2-Aminopropiofenon 36. ( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-Didehidro-N,N-dietil-6metilergolina-8 β–karboksamida
50 Universitas Sumatera Utara
37. MDMA : (±)-N, α-Dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 38. Meskalina : 3,4,5-Trimetoksifenetilamina 39. METKATINONA : 2-(Metilamino )-1- fenilpropan-1-on 40. 4- Metilaminoreks : (±)-sis- 2-Amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina 41. MMDA : 5-Metoksi- α-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 42. N-etil MDA : (±)-N-Etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[α-Metil-3,4-(metilendioksi)fenetil] hidroksil amina 44. Paraheksil
:
3-Heksil-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,
9-trimetil-6H-dibenzo[b,d]
piran-1-ol 45. PMA : p-Metoksi-α–metilfenetilamina 46. psilosina, psilotsin : 3-[2-(Dimetilamino )etil]indol-4-ol 47. PSILOSIBINA : 3-[2-(Dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat 48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP, PCPY: 1-( 1- Fenilsikloheksil)pirolidina 49. STP, DOM : 2,5-Dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina 50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α -Metil-3,4-(metilendioksi) fenetilamina 51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1-[1-(2-Tensil] piperidina 52. TMA : (±)-3,4,5-Trimetoksi- α –metilfenetilamina 53. AMFETAMINA : (±)- α–Metilfenetilamina 54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α–Metilfenetilamina 55. FENETILINA : 7-[2-[(α-Metilfenetil)amino]etil]teofilina 56. FENMETRAZINA : 3-Metil-2-fenilmorfolin 57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-(1-Fenilsikloheksil)piperidina
51 Universitas Sumatera Utara
58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina: (- )-(R)- α–Metilfenetil amina 59. Levometamfetamina : ( -)-N, α–Dimetilfenetilamina 60. MEKLOKUALON: 3-(o-klorofenil)-2-metil-4(3H)- kuinazolinon 61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α–Dimetilfenetilamina 62. METAKUALON : 2-Metil-3-o-tolil-4(3H)-kuinazolinon 63. ZIPEPPROL:α-(α-Metoksibenzil)-4-(β-metoksifenetil)-1-piperazinetano 64. Sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan Narkotika 65. 5-APB: 5-(2-Aminopropil)benzofuran; 1-benzofuran-5-ilpropan amina 66. 6-APB : 6-(2-Aminopropil)benzofuran ; 1-benzofuran-6-ilpropan-2- amina 67. 25B-NBOMe:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)-N-[(2-metoksifenil) metil]etanamina 68. 2-CB:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)etanamina;4-Bromo-2,5dimetoksimetamfetamina 69. 25C-NBOMe, nama lain 2C-c-NBOMe: 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksifenil)-N[(2-metoksifenil)metal]-2-etanamia 70. Dimetilamfetamina, nama lain DMA : N,N-Dimetil-1-fenilpropan-2- amina 71. DOC : 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksi-fenil)propan-2-amina 72. ETKATINONA: 2-etilamino-1-fenilpropan-1-on 73. JWH-018 : (1-Pentil-1H-indol-3-il)-1-naftalenil-metanon 74. MDPV: 3,4-Metilendioksipirovaleron, nama lain : 1-(3,4- metilendioksifenil)2-(1-pirolidinil)pentan-1-on; 75. MEFEDRON,namalain 4-MMC: 1-(4-metilfenil)-2 metilaminopropan-1- on
52 Universitas Sumatera Utara
76. METILON,nama lain MDMC: 2-Metilamino-1-(3,4- metilendioksifenil) propan-1-on 77. 4-METILKATINONA,
nama
lain
4-MEC
:
2-etilamino-1-(4-
metilfenil)propan-1-on 78. MPHP : 1-(4-Metilfenil)-2-(1-pirrolidinil)-1-heksan-1-on 79. 25I-NBOMe, nama lain 2C-I-NBOMe : 1-(4-Iodo-2,5-dimetoksifenil)-N- [(2metoksifenil)metil]etanamina 80. PENTEDRONE : (±)-1-Fenil-2-(metilamino)pentan-1-on 81. PMMA:p-Metoksimetamfetamina;N-metil-1-(4Metoksifenil)propan-2- amina 82. XLR-11: (1-(5-Fluoropentil)-1H-indol-3-il)2,2,3,3-tetrametilsiklo
propil)-
metanon Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan II adalah: 47 1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana 2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol 4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 5. Alfentanil
:
N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l
H-tetrazol-1-il)etil]-4-
(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida 6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
47
Lampiran UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
53 Universitas Sumatera Utara
7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester 8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana 9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina 11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina 12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol 13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina 14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana 15. Bezitramida
:
1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-
benzimidazolinil)-piperidina 16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]morfolina 17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida 18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2'-tienil)-1-butena 19. Difenoksilat
:
asam
1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester 20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik 21. Dihidromorfina 22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol 23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat 24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena 25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
54 Universitas Sumatera Utara
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona 27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol 28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina. 29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena 30. Etokseridina
:
asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester 31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol 32. Furetidina
:
asam
1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4
fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester) 33. Hidrokodona : dihidrokodeinona 34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil ester 35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina 36. Hidromorfona : dihidrimorfinona 37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona 38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona 39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida 40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan 41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan 42. Fenoperidina
:
asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat Etil ester 43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
55 Universitas Sumatera Utara
44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol 45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima 46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan 47. Levomoramida
:
(-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil]
morfolina 48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan 49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan 50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona 51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana 52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan 53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina 54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina 55. Metopon : 5-metildihidromorfinona 56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina 57. Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat 58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 59. Morfina-N-oksida 60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida 61. Morfina 62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
56 Universitas Sumatera Utara
63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana 64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan 65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona 66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina 67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona 68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona 69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona 70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina 71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat 73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil ester 75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4Karbosilat armada 76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana 77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester 78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan 79. Rasemoramida
:
(±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-
morfolina 80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan 81. Sufentanil
:
N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil
-4-piperidil]
propionanilida
57 Universitas Sumatera Utara
82. Tebaina 83. Tebakon : asetildihidrokodeinona 84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat 85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 86.
Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan III adalah: 48 1.Asetildihidrokodeina 2.Dekstropropoksifena:α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-butanol propionate 3.Dihidrokodeina 4.Etilmorfina : 3-etil morfina 5.Kodeina : 3-metil morfina 6.Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina 7.Nikokodina : 6-nikotinilkodeina 8.Norkodeina : N-demetilkodeina 9.Polkodina : Morfoliniletilmorfina 10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida 11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-6,14endo-entano-6,7,8,14- tetrahidrooripavina
48
Ibid.
58 Universitas Sumatera Utara
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas 13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14.
Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
C. Pertanggung jawaban Pidana Narkotika Dalam UU Narkotika 1. Kesalahan Untuk suatu pelanggaran pidana adalah satu syarat mutlak, bahwa selain daripada perbuatan itu melawan hukum, perbuatan itu sebagai pelanggaran larangan atau perintah itu juga diancam dengan hukuman, yaitu Undang-undang telah menetapkan bahwa tidak ditaati larangan atau perintah itu diancam dengan suatu hukuman tertentu sebagai akibat hukum. Unsur subjektif dari norma-norma pidana berupa kesalahan (mens rea) sipelanggar norma pidana itu. 49 Kesalahan itu umumnya ialah dengan dikehendaki dan dengan sengaja ataupun oleh karena kealpaan menimbulkan suatu akibat, yang terjadinya terlarang, sebab hanya dalam hal demikian sipelanggar norma pidana itu dapat dipersalahkan, itu berarti bahwa sipelanggar norma pidana itu dapat bertanggung jawab dan hal ini adalah suatu syarat mutlak. 50 Kesalahan seperti dimaksudkan diatas ini, mempunyai dua bentuk yaitu : sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa). Ada pengecualian mengenai aturan, bahwa harus ada kesalahan pada sipelanggar norma pidana itu, terkadang mengenai
49
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955), hlm. 37. Ibid, hal.38
50
59 Universitas Sumatera Utara
elemen-elemen tertentu dari suatu norma pidana tertentu tidak diperlukan kesalahan (schuldverband). 51 Dengan singkat kesalahan itu merupakan yang dikehendaki dan orang yang mengetahui. Berdasarkan dua istilah inilah doktrin mengenai kesengajaan itu berasal. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diajukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat. 52 Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu : a. kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) Sengaja sebagai tujuan adalah jika akibat dijadikan tujuan oleh pembuat. Corak ini biasa terjadi dan juga menurut pembicaraan sehari-hari, segala perbuatan yang dilakukan sedemikianlah dikatakan ”dilakukan dengan sengaja”. Tujuan sesuatu perbuatan harus dibedakan dari motifnya, ialah akibatnya yang lebih jauh,
yang
dimaksudkan
untuk
menggerakkan
pembuat
melakukan
perbuatannya. 53 Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willen)
untuk
mewujudkan
suatu
perbuatan
(tindak
pidana
aktif),
mengkehendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan atau juga mengkehendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil). Vos Utrecht memberikan definisi sengaja maksud sebagai berikut:
51
Ibid, hal.39 Andi Hamzah,Op.cit., hal. 93. 53 C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994) , hlm. 180. 52
60 Universitas Sumatera Utara
“Sengaja sebagai maksud terjadi jikalau pembuat delik menghendaki akibat perbuatannya dengan kata lain, andai kata pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatanya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia tidak pernah melakukan perbuatannya. Contoh: A memecahkan kaca Etalase sebuah toko penjual buah-buahan, supaya dapat mengambil buah-buah yang dipamerkan. Memecahkan kaca dilakukan dengan sengaja sebagai maksud. Akibat perbuatan A ialah pecahnya kaca yang dikehendakinya, supaya A dapat mengambil buah-buahan. Andaikata A mengetahui bahwa kaca tidak akan pecah kalau dipukulnya, maka sudah tentu ia tidak akan melakukan perbuatan itu. Sengaja A dalam memecahkan kaca adalah sengaja sebagai maksud. Selanjutnya, mengambil buah-buahan dibelakang kaca itu menjadi bayangan yang ditimbulkan setelah kaca pecah, perbuatan memecahkan adalah oogmerk atau maksud A, sedangkan mengambil buah-buahan sesudah kaca pecah menjadi motif atau alasan. Motif dan maksud (alasan) tidaklah boleh dikacaukan”. 54 Menurut teori ini berdasarkan alasan psikologis tidak mungkin suatu akibat
itu
dapat
dikehendaki.
Manusia
hanya
bisa
menginginkan,
mengharapkan atau membayangkan (voorstellen) kemungkinan akibat yang terjadi. Dirumuskan bahwa “sengaja” adalah apabila suatu akibat dibayangkan sebagai maksud, dan oleh karena itu perbuatan tersebut dilakukan oleh yang bersangkutan sesuai dengan bayangan yang telah dibuatnya lebih dahulu. 55 Tingkatan sengaja atau corak sengaja menurut para ahli, kesengajaan sebagai maksud /tujuan ini dikatakan sengaja sebagai niat atau tujuan ( oggmerk), Akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan itu tidak ada, maka perbuatan tidak akan dilakukan. Jongkers mengatakan bahwa sengaja ini adalah bentuk yang paling murni dan bersahaja. Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yang perbuatan pelaku memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangan) akibatnya yang dilarang. Kalau akibat yang dikehendaki atau dibayangkan ini tidak 54 55
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 287. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 97
61 Universitas Sumatera Utara
akanmelakukan berbuat. Contoh: dengan pistolnya X dengan sengaja mengarahkan dan menembakkan pistol itu kepada Y dengan kehendak matinya Y. Ditinjau sebagai delik formal hal ini berarti bahwa ia sudah melakukan perbuatan itu dengan sengaja, sedang perbuatan itu memang dikehendaki atau dimaksud demikian. Dan jika ditinjau sebagai delik Materill hal ini berarti bahwa akibat kematian orang lain itu memang dikehendaki atau dimaksudkan agar terjadi. 56 b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan sebagai kepastian atau dikenal dengan istilah
opzet bij
zekerheidsbewustijn adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan turut seta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana. 57 Menurut teori ini “sengaja” adalah kehendak untuk melakukan suatu perbuatan/tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat karena perbuatannya itu. Dengan perkataan lain, dapat diakatakan sebagai “sengaja “ apabila suatu perbuatan itu dikehendaki, dan akibat perbuatan itu benarbenar menjadi maksud dari perbuatan yang dilakukan. Contoh: A mengarahkan pistolnya yang berisi peluru kepada B dan menembakkannya,
56
Ibid hlm. 98 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2012), hlm.
57
175.
62 Universitas Sumatera Utara
sehingga B mati. Ada kesengajaan bila A benar-benar menghendaki kematian B. 58 Tingkatan sengaja atau corak sengaja Menurut para ahli, Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) dikatakan juga sebagai sengaja dengan kesadaran pasti terjadi. Corak kesengajaan dengan sadar kepastian bersandar pada akibatnya. Akibat itu dapat merupakan delik tersendiri ataupun tidak. Tetapi di samping akibat tersebut ada akibat lain yang tidak dikehendaki yang pasti akan terjadi. Contoh: X melihat arloji mahal dibalik jendela kaca toko ia ingin mencurinya, jadi maksud sebenarnya adalah mencurinya, jadi maksud sebenarnya adalah mencuri tetapi untuk dapat mengambil arloji itu mau ia harus memecahkan kaca jendela tersebut. Ini bukan merupakan kehendaknya, tetapi akibat pecahnya kaca itu pasti terjadi. 59 c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Sengaja sebagai kemungkinan yang juga dinamai “sengaja bersyarat” atau “dolus eventualis”. Seperti pada hal “sengaja bersifat kepastian”, begitupun jika suatu perbuatan dilakukan dengan dolus eventualis, maka ada dua akibat: satu yang ditujukan oleh pembuat dan satu berinsyaf kemungkinan atau agaknya akan terjadi jika dilaksanakan tujuannya. 60 Kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, 58
Teguh Prasetyo, Op.,Cit., hlm. 96 Teguh Prasetyo., Lop.Cit., hlm. 98 60 C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil., Lop, Cit, hal 181 59
63 Universitas Sumatera Utara
ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan tersebut. Tingkatan sengaja atau corak sengaja Menurut para ahli, Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Dikatakan juga sebagai sengaja yang berinsyafkan kemungkinan (dolus eventualis). Van Hamel mengolah istilah dolus eventualis dan menganjurkan nama eventualiter dolus. Contoh hoerenschetaart-Arrest, yaitu yang diadili oleh pengadilan Tinggi Amsterdam tertanggal 19 Maret 1911, dan Mahkamah Agung tertanggal 19 Juni 1991.Seorang hendak membunuh seorang dikota Hoorn, lalu mengirimkan kepadanya kue yang telah ditaruh racun dengan niat hendak membunuhnya. Ia menegetahui bahwa, selain daripada musuhnya dia juga mungkin akan memakan kue itu, dan mungkin pula akan mati. Oleh karena itu ia mengirim kue itu, maka sengajanya dianggap juga ditujukan kepada matinya isteri orang itu, walaupun akibatnya tidak dikehendakinya atau tidak diinginkan. 61 Berikut syarat-syarat bagi pengertian kealpaan (culpa), menurut Simon umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan sesuatu perbuatan disamping dapat menduga akibat perbuatan itu, meskipun sesuatu perbuatan dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terdapat kealpaan, jika dia berbuat ia telah mengetahui, bahwa dari perbuatan itu mungkin akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. 62
61 62
Ibid, hlm. 99 Tirtaamidjaja,Op.cit.,hal.55
64 Universitas Sumatera Utara
Kealpaan itu terjadi, apabila yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan hati-hati, cermat dan sungguh-sungguh, sedangkan ia dapat menduga, bahwa dari perbuatannya itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Dapat diduganya bahwa akibat itu akan timbul adalah syarat mutlak bagi culpa sehingga meskipun yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan hati-hati, apabila ia tidak dapat menduga akan terjadinya akibat itu, maka perbuatan tersebut dapat dipersalahkan tentang culpa. Berdasarkan uraian diatas tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, tidak setiap perbuatan yang
tidak
dilakukan
dengan
berhati-hati
dan
sungguh-sungguh
akan
menyebabkan culpa bagi yang melakukan perbuatan itu. 63 Suatu makan khusus kealpaan adalah kealpaan (bewusteschuld). Sedangkan contoh B mengemudikan mobilnya secara cepat ke stasiun, karena sudah terlambat berangkat dari rumahnya. B mengetahui (insyaf) bahwa setir mobilnya mengalami sedikit kerusakan, tetapi ia berharapan besar bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia memiih beberapa jalan kecil untuk memperkecil resiko. Ia membuat suatu mubengan yang kecil, lebih baik suatu mubengan kecil daripada nanti menyebabkan suatu kecelakaan besar. Walaupun B membuat perhitungan akan hal tersebut, masih juga terjadi kecelakaan yang pada pokoknya tidak disengajai B. 64 2. Kemampuan Bertanggung Jawab Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseoarang dalam membeda-bedakan 63
Ibid.,hlm.56. Utrecht, Op.cit.,hal.313.
64
65 Universitas Sumatera Utara
hal-hal baik dan buruk, 65 atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. 66 Kemapuan bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu, kesalahan adalah unsur pertanggung jawaban. Mampu bertanggung jawab merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana. Allen mengidentifikasi adanya lima keadaan mental yang berpengaruh pada pertanggungjawaban pidana pembuatnya. 67 Kitab Undang-undang Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur
tentang
kemampuan
bertanggung
jawab.
Yang
diatur
ialah
kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab, seperti isi pasal 44 KUHPidana Indonesia, yang masih memakai rumusan pasal 37 lid 1 W.v.S. Netherland tahun 1986. Yang berbunyi (terjemahan secara harfiah penulis):
65
M.abdul Kholik , Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002), hlm. 129 66 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 171 67 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Prenada Media, 2006), hlm. 91
66 Universitas Sumatera Utara
“tidak dapat dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kekurangsempurnaan atau gangguan sakit kemampuan akalnya” 68 Karena hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 empat) persyaratan sebagai berikut : 69 a. Ada suatu tindakan ( commission atau omission) oleh sipelaku. b. Yang Memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undang-undang. c. Tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful d. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana Negara-negara yang menganut “Coomon law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang fundamental dengan “civil law system”. 70 Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika: 71 a. Ia memperoleh tekanan (fisik atau psikologis) sedemikian rupa sehingga mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya, seperti: gila atau daya paksa. b.Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti : diplomat asing atau anak dibawah umur.
68
Zainal Abidin Farid, Op. Cit., Hlm. 260. Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV Bandar Maju, 2000), hal. 67-68. 70 Ibid.,hlm. 71 71 Ibid, hal. 71 69
67 Universitas Sumatera Utara
3. Tidak adanya alasan Pemaaf Alasan
pemaaf
pertanggungjawaban
atau
seseorang
schulduitsluitingsgrond terhadap
perbuatan
ini pidana
menyangkut yang
telah
dilakukannya atau criminal responsibily. Alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan deli katas beberapa hal. Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah : a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak dalam orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll. b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan,dll. c. Daya paksa. 72 Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut : a. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. Didalam pasal 44 tersebut memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti yang telah kita ketahui bahwa dalam M.v.T menyebutkan sebagai tidak dapat dipertanggungjawabkan karena sebab yang terletak di dalam sipembuat sendiri. Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab menghapuskan kesalahan
72
Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 126
68 Universitas Sumatera Utara
perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan. 73 b. Pasal 48 mengenai daya paksa. Overmatch/paksaan, Undang-undang tidak memberi perumusan dengan apa yang dimkasud dengan paksaan itu. Oleh karenanya guna memahami apa yang dimaksud Overmacth, haruslah dipakai cara interpretasi, dan dalam hal ini harus ditinjau adalah interpretasi. Maka tampaklah dalam M.v.T bahwa yang dimaksud dengan paksaan oleh pembentuk Undang-undang adalah; “setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap tekanan yang tidak dapat dielakkan”. 74 Setelah diketahui bahwa, apa yang dimaksud dengan paksaan oleh Undang-Undang, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa bukan setiap kekuatan, paksaan atau tekanan merupakan paksaan hanyalah setiap kekuatan, paksaan, tekanan “yang tidak dapat dielakkan”. c. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses). Noodweer ekses diartikan sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan seperlunya itu haruslah disebabkan Karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa yang demikian hebat, yang bukan semata-mata disebabkan karena adanya perasaan takut atau ketidaktahuan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang disebabkan oleh hal hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasihan. 75
73
ibid., hlm 132 C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil,Op.Cit.,hlm.148 75 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, ( Bandung: Sinar Baru, 1984), 74
hlm. 475
69 Universitas Sumatera Utara
Menurut doktrin hukum pidana terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi agar perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses ), yaitu melampaui batas pembelaan yang diperlukan. Kegoncangan jiwa yang hebat, adanya hubungan kausal antara serangan dengan timbulnya kegoncangan jiwa yang hebat. 76 Unsur yang pertama didalamnya berkaitan dengan tidak adanya keseimbangan antara alat atau cara yang dipilih untuk melakukan pembelaan diri dengan serangan yang terjadi, dan yang diserang sesungguhnya masih memiliki kesempatan untuk melarikan diri, tetapi Karena goncangan jiwanya yang hebat menyebabkan hal itu tidak dilakukan. Sedangkan unsur yang kedua berkaitan dengan tidak berfungsinya akal atau batin orang tersebut secara normal yang disebabkan oleh datangnya suatu serangan yang menggoncangkan jiwanya secara hebat. Unsur yang ketiga bersifat subjektif sifatnya, tergantung pada tempramennya masing-masing undividu sehingga dalam ini diperlukan adanya pemeriksaan atau keterangan dari Psikiatri. 77 d. Pasal 51 ayat (2) melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Dalam pasal 51 ayat (2) menyatakan; “ perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan harusnya pidana, kecuali jika yang diperintahkan, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar perbutan orang itu dikategorikan sebagai alasan pemaaf. Pertama, keadaan batin orang yang diperitahkan harus 76
M.abdul Kholik, Op.Cit., hlm. 156 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 183
77
70 Universitas Sumatera Utara
mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang sah baik dilihat dari pejabat yang mengeluarkan perintah itu maupun dilihat dari macam perintah itu. Kedua, perintah dilaksanakan itu berdasarkan itikad baiknya harus merupakan bagian dari lingkungan pekerjaannya, dalam arti perintah tersebut memang sesuai dengan job description orang itu, bukan di luar pekerjaan orang itu. 78 Jika seseorang melakukan tindak pidana namun tidak memenuhi ketentuan diatas, maka perbuatannya harus dipertanggung jawabkan dan dikenakan sanksi yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan unsur-unsur subjektif pada rumusan tindak pidana yang diuraikan diatas, maka diketahui bahwa formulasi pertanggung jawaban pidana tersebut berdasarkan pada kesalahan berupa kesengajaan. Ada beberapa hal yang menyebutkan “dengan sengaja” yang berarti unsur-unsur subjektif jelas tercantum dalam pasal tersebut. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-undang Narkotika yang tidak menyebutkan unsur “dengan sengaja”, namun dilihat dari unsur obyektifnya berupa perbuatan, maka perbuatan tersebut dikategorikan “ dengan sengaja”. Contoh pasal 11 mnyebutkan bahwa “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”. Dalam pasal tersebut perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut mengetahui dan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut.
78
Chairul Huda, Op.Cit., hlm 119
71 Universitas Sumatera Utara
D. Jenis-Jenis Sanksi yang Dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Keberadaannya selalu dibicarakan dan diperdebatkan oleh para ahli. Perubahannya itu adalah wajar, bila dilihat dari sudut pandang masyarakat. Manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan
kesejahteraannya
dengan
mendasarkan
diri
pada
masa
pengalamannya dimasa lampau. Stelsel sanksi adalah bagian dari permasalahan pokok pidana yang merupakan salah satu dari tiga permasalahan pokok dalam membicarakan hukum pidana. Perkembangan hukum pidana dewasa ini, terutama undang-undang pidana khusus atau peraturan perundang-undangan di luar KUHP, terdapat suatu kecenderungan penggunaan dalam stelsel sanksi yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. Kedua jenis sanksi ini ( sanksi pidana dan sanksi tindakan), dalam teori hukum pidana disebut dengan double track system. Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Secara khusus dapat disebut terhindarnya
72 Universitas Sumatera Utara
masyarakat dari perkosan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi. 79sanksi pidana yang diketahui terdiri dari dua jenis yaitu pertama,sanksi pidana pokok berupa pidana mati, penjara, kurungan, denda dan tutupan. Kedua, sanksi pidana tambahan berupa pidana pencabutan hak-hak tertentu, pidana perampasan barang-barang tertentu dan pidana pengumuman keputusan hakim. 80 Menurut Mulyadi, hukum pidana modern yang bercirikan berorientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader strafrecht), stelsel sanksi tidak hanya meliputi pidana (straf) tetapi juga tindakan (maatregel) yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan. Sanksi pidana bersumber dari ide dasar, mengapa diadakan pemidanaan? Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar , untuk apa diadakan pemidanaan ? sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif dari suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. 81 Penetapan sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan bagian tak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Artinya dalam hal yang menyangkut masalah penalisasi, kriminalisasi, dan kriminalisasi harus dipahami secara komprehensif baik dari segala aspek persoalan substansi atau materi perundang-undangan pada tahap kebijakan legislasi.
79
Mahmud Mulyadi, Feri Antoni surbakti, Politik Hukum Pidana terhadap kejahatan korporasi, (Medan, PT softmedia, 2011), hal.100 80 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 67 81 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti,Op, cit., hal. 91
73 Universitas Sumatera Utara
Menurut Barda Nawawi Arief, penting menginformasikan secara sistematis mengenai prinsip-prinsip atau ide-ide dasar “sistem dua jalur” atau double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsure pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama penting. 82 Keberadaan sanksi tindakan menjadi urgensi karena tujuannya adalah untuk mendidik kembali pelaku agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sanksi tindakan ini lebih menekankan nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan. Pendidikan kembali ini sangat penting karena hanya dengan cara ini, pelaku dapat menginsyafi bahwa apa yang dilakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sanksi dalam hukum pidana adalah merupakan reaksi atas pelanggaran hukum yang telah ditentukan dalam Undang-undang, mulai dari penahanan, penuntutan, sampai pada penjatuhan hukuman oleh hakim. Simons menyatakan, bahwa bagian terpenting dari setiap Undang-undang adalah merupakan sistem hukum yang dianutnya. Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana, tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. 83 Hukum
pidana
digunakan
di
Indonesia
sebagai
sarana
untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlibat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di 82
Ibid, Ibid
83
74 Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Permasalahannya sekarang adalah, garis-garis kebijakan atau pendekatan yang bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana tersebut. Hal ini dikemukakan sehubungan dengan pendapat dari Herbert L.Parker dalam bukunya “ The limits of the Criminal Sanction “, yang intinya menyatakan bahwa : 84 a. Sanksi pidana sangat diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana. b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk mengahadapi ancaman-ancaman dan bahaya. c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama, dan suatu ketika merupakan pengancaman utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hermat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan seacara sembarangan dan secara paksa.
UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika utnuk “pengedar “ dan “pengguna “ dikenal adanya dua jenis sistem perumusan jenis sanksi pidana( strafsoort)
yaitu
sistem
perumusan
kumulatif-alternatif
(campuran-
gabungan)antara antara mati, pidana pennjara seumur hidup atau pidana penjara dan pidana denda ( pasal 114,115,118,119 UU Narkotika). Kemudian untuk sistem perumusan lamanya sanksi pidana ( straafmaat) dalam UU Narkotika juga terdapat dua perumusan yaitu fixed/indefinite sentence system atau sistem maksimum dan determinate sentence sistem (pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, UU Narkotika ). 84
Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 1988), Hlm. 98
75 Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Narkotika No 35 tahun 2009 telah mengatur sanksisanksi yang diberikan pada tindak pidana Narkotika antara lain : a. Tindak pidana Orang tua/Wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur (pasal 128) Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.1000.000( satu juta rupiah). b.Tindak pidana dilakukan oleh Korporasi ( pasal 130) Dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali. Korporasi dapat dijatuhi korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha dan/atau b. pencabutan status badan hukum. c. Tindak pidana bagi Orang yang tidak melaporkan Adanya Tindak pidana Narkotika (pasal 131). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling lama banyak Rp.50.000,000 (lima puluh juta rupiah). d.Tindak pidana terhadap percobaan atau pemufakatan jahat melakukan tindak pidana Narkotika dan prekusor (pasal 132)Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasalpasal tersebut. Ayat (2), dipidana pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga). e. Tindak pidana bagi Menyuruh, Memberi, membujuk, Memaksa dengan Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak (pasal 133). Ayat (1), dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
76 Universitas Sumatera Utara
paling sedikit
Rp.2.000.000,000,00 (dua miliar rupiah rupiah) dan paling
banyak Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) Ayat (2),Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahuh dan paling lama 15 (lima belas ) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1000.000.000,00
(satu
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah). f. Tindak pidan bagi pelaku Narkotika yang tidak melaporkan diri ( pasal 134) Ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000 (dua juta rupiah). Ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.1000.000,00 (satu juta rupiah) g.Tindak Pidana bagi pengurus Industri Farmasi yang Tidak Melaksanakan kewajiban (Pasal 135) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiahdan paling banyak Rp.4000.000,00 (empat ratus juta rupiah) h.Tindak pidana terhadap hasil-hasil tindak pidana Narkotika dan/atau precursor Narkotika (pasal 137) Huruf (a), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana paling sedikit Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak RP,10.000.000.000,00 ( sepuluh miliar rupiah). Huruf (b), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama
10
(sepuluh)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
77 Universitas Sumatera Utara
Rp.500.000.000,00
(lima
ratus
juta
rupiah)
dan
saling
banyak
Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). i. Tindak
pidana
terhadap
orang
yang
menghalagi
atau
mempersulit
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan perkara (pasal 138)Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). j. Tindak pidana bagi Nahkoda atau Kapten penerbang yang Tidak melaksanakan ketentuan pasal 27 dan pasal 28 ( pasal 139)Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100,000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah) k.Tindak
pidana
bagi
PNS,Penyidik
Polri,Penyidik
BNN,
yang
tidak
melaksanakan Ketentuan tentang barang bukti ( pasal 140)Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 10( sepuluh) tahun dan pidana paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). l. Tindak pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang tidak Melaksanakan ketentuan pasal 91 ayat (1) (pasal 141)Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
78 Universitas Sumatera Utara
m. Tindak pidana bagi petugas labolatorium yang Memalsukan Hasil penguji (pasal 142)Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7( tujuh) thanun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). n.Tindak pidana bagi Saksi yang memberikan keterangan tidak benar (pasal 143)Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 ( enam ratus juta rupiah) o.Tindak pidana bagi setiap orang yang melakukan pengulangan Tindak Pidana ( pasal 144)Dipidana dengan pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga) p.Tindak Pidana yang dilakukan Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga, ilmu pengetahuan, pimpinan industry farmasi dan pimpinan pedagang farmasi (pasal 147) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000 (seratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.000 (satu miliar). Pasal 136 UU No. 35 Tahun 2009 memberikan sanksi berupa Narkotika dan prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika, baik itu asset bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud dan tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana Narkotika dirampas untuk Negara. Pasal 146 juga memberikan sanksi terhadap warga Negara asing yang telah melakukan tindak pidana Narkotika ataupun menjalani pidana narkotika, yakni dilakukan pengusiran wilayah Negara Republik
79 Universitas Sumatera Utara
Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan pasal 148, bila putusan denda yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana Narkotika maka pelaku dijatuhi penjara paling lama 20 tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
80 Universitas Sumatera Utara