BAB III SUBYEK DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
A. SUBYEK DELIK KORUPSI Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, terdapat subyek delik yang dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yang jika melakukan perbuatan pidana diancam dengan sanksi. Subyek delik korupsi tersebut ialah : 1. Manusia 2. Setiap orang 3. Korporasi 4. Pegawai negeri Berbeda dengan perundang-undangan pidana khusus yang lain seperti UndangUndang Nomor 7 Tahun1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan perundangundangan pidana fiskal, yang pemidanaan terhadap badan hukum atau korporasi dimungkinkan, dalam hal ini UU PTPK 1971 mengikuti hukum pidana (KUHP) yang ditetapkan dalam Pasal 59, yaitu : “Dalam hal-hal yang hukuman ditentukan karena pelanggaran terhadap para pengurus, para anggota suatu badan pengurus atau komisaris, tiada dijatuhkan hukuman atas pengurus atau komisaris jika ternyata bahwa ia tidak turut campur tangan dalam melakukan pelanggaran itu.” Menurut UU No. 31 Tahun 1999 yang disebut manusia ialah laki-laki atau wanita. Setiap manusia sering dirumuskan dengan kata-kata “hij” atau “barang siapa” (terdapat dalam pasal 362 KUHP) atau “setiap orang” (terdapat dalam pasal 2, pasal 3, pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999) juga “ibu” (pasal 341, pasal 342 KUHP).
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang-perseorangan (individuindividu), atau termasuk korporasi. Menurut Moelyatno, ungkapan tersebut berarti : “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana)kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana.
10
Pada prinsipnya kata-kata setiap orang adalah orang atau mereka yang bukan pegawai negeri, sedangkan yang dikategorikan sebagai pegawai negeri ialah mereka yang termasuk dalam kelompok pasal 92 ayat (1), (2), dan ayat (3) KUHP. Dalam Memori van Toelichting Pasal 51 Ned. W.v.S (Pasal 59 KUHP) dinyatakan : “Suatu strafbaar feit hanya dapat diwuudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana.” Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan korporasi ialah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 11 Dalam Pasal 1 ayat (1) ini, terdapat 2 (dua) subyek yaitu ; pertama, adalah kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum ; kedua, adalah kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 telah ditentukan bahwa korporasi adalah subyek delik. Artinya, selain individu yang memimpin dilakukanya kejahatan atau memberi perintah, korporasi tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan. Dalam delik korupsi,
10
Moelyatno, Asas-Asas Hukuk Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hal. 155.
11
Lihat Pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
terdapat banyak kesulitan untuk menjadikan korporasi sebagai subyek karena sulit untuk membuktikan adanya kesalahan terutama dalam bentuk “sengaja” suatu korupsi. Dalam Pasal 415, Pasal 416 KUHP, “pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum” (de ambtenaar of ander met eenigen openbaren dienst voortdurend of tijdelijk belast persoon) dan Pasal 413 KUHP mengenai “panglima tentara”. Dengan demikian pasalpasal tersebut ditarik menjadi delik korupsi. Menurut Pasal 2 UUPTPK Tahun 1971 (UU No. 3 Tahun 1971), yang dimaksud dengan pegawai negeri ialah yang meliputi orang-orang yan menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau menerima gaji atau upah dari suatu badan / badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat. 12 Menurut Pasal 1 sub 2 UUPTPK / UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, pegawai negeri meliputi : 1.
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian.
2.
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Pidana.
3.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
4.
Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah.
12
Lihat Pasal 2 UUPTPK Tahun 1971 / UU No. 3 Tahun 1971
Universitas Sumatera Utara
5.
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.13 Di dalam Pasal 92 KUHP, dinyatakan bahwa : (1) Yang masuk sebutan amtenar (pegawai), yaitu sekalian orang yang dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum, demikian pula sekalian orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota Dewan pembuat Undang-Undang Pemerintah atau perwakilan daerah yang dibentuk oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian anggota dari Dewan-Dewan daerah dan setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan Timur Asing, yang melakukan kekuasaan yang sah. (2) Yang termasuk sebutan amtenar dan hakim, termasuk pula ahli memutus perselisihan, yang termasuk sebutan hakim yaitu mereka yang menjalankan kekuasaan hukum administratif demikian juga ketua dan anggota dewan agama. (3) Sekalian orang yang masuk bala-tentara dipandang juga sebagai amtenar. 14 Pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP berlaku untuk semua
perundang-undangan pidanan di luar KUHP sesuai dengan adagium lex specialis derogat legi generalis yang tercantum dalam Pasal 103 KUHP. Pengertian pegawai negeri dalam KUHP merupakan perluasan pengertian menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Pasal 2 UU PTPK 1971 / UU No. 3 Tahun 1971 merupakan perluasan pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP dan Undang-Undang Pokok Kepegawaian Nomor 18 Tahun1961, karena Undang-Undang Pokok Kepegawaian tersebut telah dicabut yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 13
Lihat UU No. 31 Tahun 1999 jo. Uundang No. 20 Tahun 2001, Pasal 1 ayat (2)
14
Lihat Pasal 92 KUHP
Universitas Sumatera Utara
1974 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 15 Pengertian pegawai negeri menurut UU PTPK terbagi tiga bagian, yaitu :
Pegawai Negeri menurut UU No. 43 Tahun 1999
Pegawai Negeri menurut Pasal 92 KUHP
Pegawai Negeri menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Menurut Pasal 1 bagian 1 UU No. 43 Tahun 1999, “Pegawai Negeri adalah
warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.” Pasal 2 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999, membedakan Pegawai Negeri atas 3 (tiga) kelompok : 1. Pegawai Negeri Sipil 2. Anggota Tentara Nasional Indonesia 3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari : 1. Pegawai Negeri Sipil Pusat 2. Pegawai Negeri Daerah
15
Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Jakarta : P.T. Raja Persada, 2007, hal 82
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 2 ayat (3), menyatakan “ Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap. Oleh karena itu, Pasal 92 KUHP memperluas pengertian pegawai negeri dan menyebutkan dalam ayat (3) sebagai pegawai “kekuasaan bersenjata” (gewapende macht). Perluasan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 sub 2 UU PTPK / UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut : “Pegawai Negeri meliputi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Kepegawaian ; pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah ; atau orang yang menerima gaji atau upah dri korporasi lain yang mempergunakan modal aatu fasilitas dari negara atau masyarakat.” Pengertian pegawai negeri menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian dan KUHP tersebut menimbulkan suatu masalah yaitu apakah ketentuan dalam UU PTPK berlaku juga bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP atau tidak. Jika ketentuan tersebut tidak berlaku bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP, maka tidak memperluas subyek delik korupsi, tetapi jika berlaku bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP, maka memperluas pengertian pengawai negeri dalam perumusan-perumusan KUHP dan memperluas subyek delik korupsi. 16 16
Jur. Andi Hamzah, op.cit, hal 85
Universitas Sumatera Utara
Pasal atau perumusan delik yang berasal dari UU PTPK yang memiliki unsur (bestaanddeel) “pegawai negeri”, terdapat dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ialah sebagai unsur bukan sebagai subyek karena pegawai negeri yang sebagai penerima suap saja dan pasal ini merupakan penyuapan aktif yaitu yang diancam dengan pidana atau yang menjadi subyek ialah yang memberi suap kepada pegawai negeri. Dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 mengancam dengan pidana, pegawai negeri yang menerima suap (penyuapan pasif) atau pegawai negeri sebagai subyek delik. Penyuapan pasif atau pegawai negeri sebagai penerima suap yang menjadi subyek delik hanya ada dalam pasal-pasal atau perumusan yang berasal dari KUHP yang menjadi yaitu Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP (Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d UU No. 20 Tahun 2001). Jika pengertian pegawai negeri yang telah ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 tidak berlaku bagi Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a, b, c dan d dan pasal-pasal lin yang berasal dari KUHP maka tidak memperluas subyek delik korupsi, dan hanya berlaku untuk satu pasal atau satu perumusan saja, yaitu Pasal 1 ayat (1) sub d dan tidak sebagai subyek tetapi sebagai salah satu unsur (bestanddeel) dari perumusan tersebut. Perumusan Pasal 1 ayat (1) sub d UU No. 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut. “Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperi yang dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu wewenang yang
Universitas Sumatera Utara
melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.” Pendapat yang mengatakan perluasan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1971 tidak berlaku bagi perumusan yang berasal dari KUHP yang diadopsi menjadi delik korupsi, dikemukakan oleh Sudarto yaitu : “Suatu hal yang bisa dinyatakan ialah, apakah ketentuan itu juga berlaku terhadap pengertian “Pegawai Negeri” yang disebutkan dalam pasal-pasal KUHP yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) sub c (tindak pidana jenis ketiga). Kami cenderung untuk mengatakan tidak berlaku “Pegawai Negeri yang dimaksud dalam undangundang harus diartikan perkataan-perkataan pegawai negeri yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang ini” 17 Adapun alasan pendapat tersebut dikemukakan ialah
bahwa perluasan
pengertian pegawai negeri hanya berlaku bagi perumusan asli UU PTPK dan tidak berlaku bagi pasal-pasal atau perumusan yang berasal dari KUHP yang diadopsi menjadi delik korupsi, karena : 1. Adanya Pasal 1 ayat (1) sub d sebagai penyuapan pasif secara khusus di samping Pasal 209 KUHP yang ditarik melalui Pasal 1 ayat (1) sub c 2. Adanya penegasan di dalam Pasal 1 ayat (1) sub d bahwa “…….pegawai negeri dimaksud dalam Pasal 2” sehingga menimbulkan keraguan dan perbedaan pendapat, karena adanya satu pasal dari UU PTPK yang berunsurkan pegawai negeri sehingga Pasal 2 tidak memiliki makna. Dengan demikian pengertian pegawai negeri menimbulkan pendapat yang berbeda-beda sehingga dikatakan bahwa perluasan pengertian pegawai negeri menurut 17
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung : Alumni, 1986), hal 140
Universitas Sumatera Utara
Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 berlaku untuk semua perumusan delik, baik yang dibuat oleh pembuat UU No. 3 Tahun 1971 (Pasal 1 ayat (1) sub d), maupun pasal-pasal KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi. Masalah pengertian pegawai negeri dalam UU PTPK / UU No. 3 Tahun 1971 bertambah rumit ketika pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP seperti Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 karena dalam pasal-pasal KUHP tersebut terdapat perbedaan mengenai pengertian pegawai negeri dan pejabat. Sebagian dari pasal-pasal tersebut seperti Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP hanya mencantumkan pegawai negeri sebagai subyek delik. Sedangkan pasal-pasal yang lain seperti Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 menyatakan bahwa di samping pegawai negeri sebagai subyek , juga ada tambahan “orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum.” Dengan demikian, subyek delik yang terdapat dalam Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 lebih luas daripada yang tercantum dalam Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP. 18
B. PERTANGGUNGJAWABAN DELIK KORUPSI Pada dasarnya Hukum pidana Indonesia bersumber dari Belanda dan pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal ini terdapat dalam :
18
Ibid, hal 92
Universitas Sumatera Utara
1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1) sampai ayat (4) UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat (1), (2),(3), dan (4) UU No. 31 Tahun 1999) ; 2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat (5) UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat (5) UU No. 31 Tahun 1999 ) bahkan kesempatan untuk melakukan banding tidak ada ; 3. Perumusan delik dalam UU No. 3 Tahun 1971 yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 ; 4. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh yurisprudensi baik yang berasal dari Belanda ataupun Indonesia sangat luas dan pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001. Dalam Hukum pidana Indonesia, terkadang unsur kesengajaan tidak diutamakan dalam kejahatan maupun pelanggaran termasuk UU TPE di Indonesia mengenai pemidanaan orang yang tidak dikenal (onbekende overtreder). Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik korupsi, tetapi dilakukan melalui pemeriksaan sidang dan putusan dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (putusan in absentia) sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai ayat (4) UU No. 3 Tahun1971 (Pasal 38 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No. 31 Tahun 1999). Bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan tang tidak dapat diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan penuntut umum, dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita, (Pasal 23 ayat (5)), tidak
Universitas Sumatera Utara
kesempatan banding dalam putusan ini. Orang yang telah meninggal dunia tidak mungkin melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu ia masih hidup, tetapi pertanggungjawabannya setelah meninggal dunia dan dibatasi sampai pada perampasan barang-barng yang telah disita. Dalam perumusan Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No.3 Tahun 1971, terdapat unsur “langsung dan tidak langsung merugikan keuangan negara dan / atau perekonomian negara” dan pada sub b memiliki tambahan kata “dapat” merugikan keuangan negara. Penjelasan dari Pasal 1 ayat (1) sub a dan b tersebut ialah bahwa “kerugian negara” yang timbul akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan yang pengertiannya sama dengan strict liability, karena “langsung atau tidak langsung (dapat) merigikan keuangan negara” merupakan perumusan yang sangat luas artunya sehingga dengan mudah penuntut umum membuktikannya. Di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, kata langsung atau tidak langsung telah dihapuskan. Strict liability merupakan suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian adanya unsur sengaja dan alpa pembuat delik, hanya untuk regulator offence dan hanya dipakai dalm hukum perdagangan (secara khusus dalam hukum perdagangan Internasional). 19 Menurut A. Zainal Abidin, ada tiga alasan diterima strict liability terhadap delik-delik tertentu : 1. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati.
19
Ibid, hal 93-95
Universitas Sumatera Utara
2. Pembuktian mens area (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik yang sama sangat sulit. 3. Suatu tingkat tinggi “bahay sosial” dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut masalah strict liability. 20 Dalam delik korupsi yang berbentuk penggelapan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau pejabat (dalam Pasal 415 KUHP), yang menjadi delik korupsi (dalam Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001), secara expresis verbis tercantum unsur sengaja. Berbeda dengan delik ekonomi dan delik fiskal yang bukan hanya orang yang menjadi penanggung jawab pidana, tetapi juga badan hukum dan koperasi, delik korupsi hanya mengenal orang sebagai penanggung jawab pidana. UU No. 3 Tahun 1971 menyebut “badan” atau “badan hukum” tetapi bukan sebagai penanggung jawab pidana, melainkan sebagai pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh delik korupsi (berdasarkan Pasal 1 ayat (1) sub a dan sub b UU No. 3 Tahun 1971). Dan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menjaidkan korporasi subyek delik. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 memperluas pengertian orang (Pasal 1 sub 3c menyebut dengan kata “setiap orang”) termasuk juga korporasi. Pasal 1 sub 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 memberi arti korporasi adalah sebagai berikut : “Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” Dalam Pasal 1 sub 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan : “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.” 20
A. Zainal. Abidin, Hukum Pidana, Makasar, Taufiq, 1962, hal 1
Universitas Sumatera Utara
Dalam setiap rumusan delik korupsi UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (Pasal 2 sampai dengan Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22) menyebut pelaku delik dengan kata “setiap orang.” Pertanggung jawaban dalam hukum pidana perlu dibahas karena pada delik korupsi dikenal alasan pembenar, uang tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971, yakni “Kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan demi untuk kepentingan umum.” Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut : “Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggung jawab dengan perbuatannya.” 21 Pendapat yang memisahkan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana, pertama-tama dianut oleh seorang sarjana hukum pidana Jerman, yang bernama Herman Kantorowicz. Menurut Kantorowicz, untuk adanya penjatuhan pidana terhadap pembuat (Strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (Strafbare Handlung), serta disertai dengan pembuktian adanya Sculd atau kesalahan subjektif pembuat. Mengenai pertanggung jawaban pidana pada delik korupsi, dapat ditinjau pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971 yang kini menjadi Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang percobaan dan permufakatan melakukan korupsi.
21
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta : Universitas, 1958, hal 255.
Universitas Sumatera Utara
Dengan ketentuan ini terutama mengenai pemufakatan melakukan perbuatan korupsi, artinya jika sebelumnya perbuatan seperti itu bukan delik atau si pembuat tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka kini telah menjadi delik. Dalam
KUHP ada ketentuan mengenai pemidanaan permufakatan sama
dengan delik selesai, yakni bahwa penjelasan atau penafsiran autentik tentang permufakatan yang tercantum dalam Pasal 88 KUHP tidak berlaku bagi perundangundangan pidana khusus dan perundangan-undangan lain yang bersanksi pidana karena pasal itu termasuk bab IX Buku I, yang tidak dinyatakan berlaku oleh Pasal 103 KUHP untuk perundang-undangan lain yang bersanksi pidana. Hal yang dinyatakan berlaku hanyalah 8 (delapan) bab yang pertama Buku I KUHP yaitu yang terdiri dari bab I sampai dengan bab IV dan tidak termasuk bab IX. Namun demikian, norma tentang penafsiran autentik
permufakatan ini dapat diambil sebagai pemcerminan untuk
menafsirkan permufakatan melakukan perbuatan korupsi. Dalam percobaan melakukan delik korupsi syarat harus sama dengan ketentuan Pasal 53 KUHP, artinya harus ada niat, ada permulaan pelaksanaan dan pelaksanaan tidak selesai. Hakim dalam melakukan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi berbeda dengan hakim yang melakukan penjatuhan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana seperti orang yang mencoba melakukan pembunuhan karena pelaku tindak pidana korupsi, pidananya tidak dipotong dengan sepertiganya atau ketentuan tersebut menyimpang dari ketentuan Pasal 53 KUHP. Menurut Pasal 103 KUHP berlaku juga ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 53 KUHP
untuk
perundang-undangan pidana
khusus kecuali undang-undangitu
menentukan lain (lex specialis derogat legi generali).
Universitas Sumatera Utara
Korporasi sudah dinyatakan bertanggung jawab yang berarti bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana melakukan delik korupsi dan yang dapat dijatuhi pidana adalah baik pimpinan yang memberi perintah ataupun mereka yang memimpin sendiri perbuatan korupsi itu bersama-sama dengan korporasi tersebut atau salah satunya. Sebagaimana halnya dengan delik umum, tidak semua delik yang korporasi lakukan dapat dipertanggungjawabkan pidana. Ada delik yang memang ditujukan kepada orang secara individual. Dalam delik korupsi, ada delik melawan hukum memperkaya diri sendiri, sulit untuk dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Akan tetapi, yang paling umum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi dalam delik korupsi adalah perbuatan penyuapan pejabat publik. Dengan demikian, hal yang paling sulit dalam penerapan korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia adalah jaksa belum biasa membuat surat dakwaan kepada korporasi. 22
22
Jur. Andi Hamzah, Ibid, hal 103-hal 109
Universitas Sumatera Utara
BAB IV WEWENANG DAN PERANAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. WEWENANG JAKSA DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah mempeoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain yang berdasarkan undang-undang. (Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia) Sedangkan dalam Pasal 1 butir 6 UU No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanankan penetapan hakim. (UndangUndang No. 6 Tahun 1981) Kejaksaan Republik Indonesia sebagai suatu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara dituntut untuk bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara juga dituntut untuk menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
Universitas Sumatera Utara
Aspek kebijakan hukum pidana pidana (penal policy) tidak hanya mengatur mengenai perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengenai perbuatan (yakni dalam arti kewenangan / kekuasaan) penguasa / aparat penegak hukum. 23 Barda Nawawi Arif juga mengatakan bahwa : “Dilihat dari pengertian dalam arti luas (yaitu pidana dilihat sebagai suatu proses), maka kewenangan penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian dari kewenangan pemidanaan.” 24
1. Sejarah Kewenangan Penyidikan Korupsi Yang berwenang melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi : a. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer atas Daerah Angkatan Darat di seluruh wilayah Indonesia Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dilakukan oleh staf penguasa militer dan penilik pembantu harta benda yang sebagaimana diatur dalam Pasal 4, yaitu : “Penilikan harta benda dilakukan oleh 3 (tiga) orang yang terdiri dari anggotaanggota Staf Militer dan atau orang lain yang ditunjuk oleh Penguasa Militer yang merupakan Pembantu Penguasa Militer dalam penilikan Harta Benda dan yang selanjutnya disebut Penilikan Pembantu Harta Benda.” Hasil penilikan yang telah dilakukan oleh Penguasa Militer kemudian dilaporkan kepada kepala kejaksaan. Sehingga dengan demikian, kejaksaan
23
Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif tentang Kewenangan Penyidikan dalam Konteks Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, Masalah-Masalah Hukum, Edisi I / Mei-Juni 1998, FH Undip
24
Barda Nawawi Arif, ibid
Universitas Sumatera Utara
memiliki kewenangan untuk mengadakan pengusutan terhadap tindak pidana korupsi.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/08/1957 Berdasarkan Peraturan Penguasa Militer Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer atas angkatan darat di seluruh wilayah Indonesia,penilikan dilakukan sebagaimanan diatur dalam Pasal 4
PPM Prt/PM/06/1957. Dengan
demikian, kejaksaan juga memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Tindakan penguasa militer dalam hal harta benda, diberitahukan oleh penguasa militer
kepada
kepala
kejaksaan
untuk
memperhatiakan
kemungkinan-
kemungkinan adanya suatu tindak pidana, sehingga kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
c. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/011/1957 Dalam PPM Nomor Prt/PM/011/1957 tertanggal 9 April 1957 dan Prt/PM/08/1957 tertanggal 27 Mei 1957 tidak ada ketentuan untuk menyita dan merampas harta benda yang diperoleh dengan melakukan perbuatan hukum sehingga dikeluarkan ketentuan KSAD selaku penguasa militer atas daerah angkatan darat seluruh Indonesia. Dalam Pasal 3 ditentuan bahwa : “Dalam mengambil tindakan tersebut dalam Pasal 2, penguasa militer mendengar petunjuk / nasihat Jaksa Agung.” Yang kemudian diperjelas kembali dalam penjelasan pasal 3 yakni :
Universitas Sumatera Utara
“Tindakan koreksi yang dilakukan oleh Penguasa Militer pada dasarnya ialah mengembalikan kekayaan itu pada negara dan agar tindakan itu tidak disalahgunakan, selalu harus diminta petunjuk / nasihat dari Jaksa Agung. Dalam hal pengambilan untuk dimiliki, maka hak milik harus segera berpindah kepadanya.”
d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Pembuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda Peraturan-peraturan yang selama mengatur mengenai perbuatan korupsi ialah Prt. Nomor 06, 08, 011. Menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Keadaan Berbahaya Nomor 74 Tahun 1957 tanggal 17 April 1958 tidak berlaku lagi dengan sendirinya menurut hukum. Dengan demikian, dikeluarkanlah Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tentang Pengusutan, Penunntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda Nomor Prt/PM/013/1958, dan kepala kejaksaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa : “Di tiap-tiap wilayah Pengadilan Tinggi diadakan suatu Badan Koordinasi Penilikan Harta Benda yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi yang dipimpin oleh Pengawas Kepala Kejaksaan-Kejaksaan Pengadilan Negeri Provinsi setempat dan yang mempunyai hak mengadakan penilikan harta benda setiap orang dan setiap badan, jika ada petunjuk kuat, bahwa harta benda itu diperoleh dengan jalan yang diuraikan dalam Pasal 3”
Universitas Sumatera Utara
e. Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (menjadi undangundang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961) Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan : “Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan menurut peraturan biasa, berlaku bagi perkara korupsi, sekadar tidak ditentukan dalam peraturan lain.” Isi dari Pasal 2 di atas menjelaskan bahwa jaksa tetap sebagai penyidik dalam kasus korupsi. Sedangkan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 menjelaskan mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki jaksa dalam kaitannya dengan mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk kepentingan pengusutan dan penuntutan.
f. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 kurang mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat. Terhadap penyidikan ditentukan dalam Pasal 3 yang berbunyi : “Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekadar tidak ditentukan lain dalam undangundang.” Dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa adanya kewenangan yang diberikan kepada jaksa untuk mengadakan pemeriksaan di bidang perbankan.
Universitas Sumatera Utara
Secara eksplisit dijelaskan bahwa jaksa agung sebagai pemimpin / koordinator tugas penyidik perkara pidana korupsi terdapat dalam Pasal 26, yang berbunyi : “Jaksa Agung selaku penegak hukum dan penuntut umum tetinggi memimpin / mengkoordinir tugas kepolisian represif / yustisil dalam penyidikan perkaraperkara korupsi yang diduga atau mengandung petunjuk telah dilakukan oleh seorang yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer maupun oleh seorang yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.” Di dalam penjelasan tersebut dijelaskan bahwa Jaksa Agung sebagai koordinator yang memimpin penyidikan korupsi, baik pelaku sipil maupun militer.
g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini juga dilatarbelakangi pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap tidak sesuai lagi sebagaimana yang terdapat dalam konsiderans menimbang huruf c, yaitu : “Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi karena itu perlu diganti dengan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi.” Undang-Undang ini memuat beberapa hal penting yang berbeda dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yaitu mengenai masalah pertanggung jawaban pidana korporasi, ancaman pidana menggunakan minimum khusus / speciale straf minima dan tidak menghapus pemidanaan, kewenangan bagi jaksa pengacara negara
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan gugatan perdata terhadap ahli waris pelaku korupsi yang meninggal saat proses peradilan belum selesai, penggunaan sistem pembuktian terbalik terbatas, dimungkinkannya peran serta masyarakat dan pembentukan tim pemberantasan korupsi. Pembentukan tim pemberantasan korupsi, dijelaskan dalam Pasal 26 yang berbunyi : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Dalam masalah penyidikan korupsi, tetap berlaku peraturan perundangundangan dan KUHAP. Di dalam KUHAP, penyidikan diatur di dalam Pasal 284 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 memungkinkan penyidikan korupsi dilakukan oleh jaksa. Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 hanya mengenai korupsi yang sulit pembuktiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 yang berbunyi : “Dalam menentukan Tim Pemberantasan Korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.” Dengan demikian, jika Jaksa Agung dalam tim gabungan menjadi koordinator, maka dapat dikatakan bahwa jaksa sebagai penyidik karena Jaksa Agung adalah pucuk pimpinan tertinggi di Kejaksaan.
Universitas Sumatera Utara
h. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas UndangUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ternyata tidak memberikan ketentuan-ketentuan tentang kewenangan penyidikan sehingga hal-hal yang mengatur penyidika korupsi tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 2. Dasar Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Belanda yakni “opsporing”, dari bahasa Inggris yakni “investigation” atau yang berasal dari bahasa Latin “investigatio”. Menurut Pasal 1 angka 3 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah : 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau interogasi. 8. Berita acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat)
Universitas Sumatera Utara
9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
25
Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi setelah lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman. Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius special, ius singulare / bijzonder strafrecht), sebenarnya Kejaksaan yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
26
Menurut Loebby Loqman, sejak dirancangnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi desadari bahwa undang-undang tersebut merupakan undangundang pidana khusus, yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang sekaligus mengatur substansi maupun hukum acara pidana di luar KUHP dan KUHAP. 27 Timbulnya berbagai pemahaman yang terjadi saat ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan dari ketentuan Pasal 26 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi : 25
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Indonesia, Jakarta, 1996, hal 118-hal 119 26
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 79-hal 80 27
Loebby Loqman, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 1996/1999, hal 5.
Universitas Sumatera Utara
“Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Pasal ini tidak menjelaskan lembaga yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Hal-hal yang mendasari bahwa kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana korupsi yaitu : a. Bahwa ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare, ius specile, atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum, sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur kekhususan subyek dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijk feiten). Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga memiliki kekhususan dalam hukum acara. b. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa ketua timnya adalah jaksa agung, sesuai dengan Pasal 5 yang berbunyi : “Ketua Tim Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Agung, yang dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.” Sedangkan tugas dan fungsinya sebagai koordinator penyidik diatur dalam Pasal 3, yang berbunyi : “Tim Pemberantasan Korupsi mempunyai fungsi memimpin, mengoordinir dan mengawasi semua alat-alat penegak hukum yang berwenang, baik sipil maupun
Universitas Sumatera Utara
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.” 28 c. Berdasrkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang berbunyi : “Dalam waktu 2 tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara
diberlakukan
ketentuan
undang-undang
ini,
dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undang-undang tertentu, sampai ada perbuatan adan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” Penjelasan dari Pasal 284 ini terdapat dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi : “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan yang menyatakan bahwa jaksa dapat menyidik tindak pidana tertentu, terdapat dalam Pasal 32 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mengoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden.” d. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun
1991
yang
menyatakan
bahwa
dalam pedoman
pelaksanaan
28
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 81-84
Universitas Sumatera Utara
pengawasan, para menteri / pemimpin lembaga pemerintah nondepertemen / pemimpin instansi lainnya setelah menerima laporan adanya suatu perbuatan tindak pidana, maka pemimpin melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1991 diatur juga dalam Pasal 16 yang berbunyi : (1) Para menteri / pemimpin lembaga pemerintah nondepartemen / pemimpin instansi lainnya yang bersangkutan, setelah menerima laporan dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, mengambil langkah-langkah tindak lanjut untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diidentifikasikan dalam rangka pelaksanaan pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Tindak lanjut yang dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa Tindakan Pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan perkaranya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesiadalam hal terdapat indikasi tindak pidana umum atau kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus seperti korupsi dan lain-lain. e. Ketentuan Pasal 39 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan , penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.”
Universitas Sumatera Utara
f. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam Pasal 16, menyebutkan bahwa : “Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus dalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di bidang yutisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.” Dalam Pasal 17 yang menyebutkan bahwa : “Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan putusan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.” Di dalam Kejaksaan Republik Indonesia, terdapat susunan organisasi atau struktur hirarki dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesi yakni di bawah jaksa agung muda tindak pidana khusus terdapat direktorat penyidikan yang bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana ekonomi dan tindak pidana khusus lainnya. Dalam direktorat penyidikan ini terdapat subdirektorat tindak pidana korupsi yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. (Lihat pasal 270, pasal 272, pasal 273 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia) Di tingkat kejaksaan tinggi juga terdapat asisten tindak pidana khusus yang membawahi
Universitas Sumatera Utara
kasi penyidikan. Di kejaksaan negeri terdapat kasi pidsus yang membawahi kasubsi penyidikan. g. Undang-Undang Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Di dalam UU No. 5 Tahun 1991 diatur tidak secara tegas mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Namun demikian, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengakui eksistensi kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi. Pasal 29 mengatakan bahwa di samping tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam Undang-Undang Kejaksaan, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain yang berkaitan dengan KUHAP Pasal 284 ayat (2), UU No. 3 Tahun 1971 jo. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan undang-undang lain. Dalam berkembangnya Undang-Undang Kejaksaan yang baru yakni UndangUndang No. 16 Tahun 2004 diatur secara jelas mengenai penyidikan yakni dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdaarkan undang-undang.” Dalam penjelasan pasal ini juga menyebutkan bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam UndangUndang Nomor 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 29 3. Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara jelas pekerjaan yang dilakukan penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruh pekerjaan yang dilakukan berdasarkan hukum. Jaksa akan mempertanggung jawabkan semua perlakuan terhadap terdakwa yang dimulai dari tersangka disidik, kemudian diperiksa perkaranya lalu ditahan dan yang terakhir apakah tuntutan yang dilakukan oleh jaksa telah sah dan benar atau tidak menurut hukum dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat dipenuhi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dalam Pasal 30, Pasal 35 mengatur mengenai tugas dan kewenangan Jaksa dan Jaksa Agung. Dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 menyebutkan : (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan ; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat ; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang ;
29
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 85-89
Universitas Sumatera Utara
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasi dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam
bidang
ketertiban
dan
ketentraman
umum,
kejaksaan
turut
menyelenggarakan kegiatan : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat ; b. Pengamanan kebijakan penegak hukum ; c. Pengawasan peredaran barang cetakan ; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara ; e. Pencegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama ; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 menyebutkan : Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang : a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan ; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang ; c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ; d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara ;
Universitas Sumatera Utara
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana ; f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan telah semakin jelas eksistensinya.
B. PERANAN KEJAKSAAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 jo. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat 1,2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 30 huruf d UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang masih diberi wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Disamping itu, Kepolisian Negara RI berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP jo. Pasal 14 ayat (1) huruf g UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Tindak Tahun 2002 tentang KPK, bahkan KPK tidak saja diberi wewenang melakukan penyidikan, tetapi juga dapat melakukan penuntutan sendiri terhadap tindak pidana korupsi. Kejaksaan di dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut, sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang dilaksanakan secara merdeka, artinya sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Sebagai
landasan
pijak
Kejaksaan
dalam
melaksanakan
tugas
dan
kewenagannya melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana materiil dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil. 30 Di dalam praktik, meskipun secara fungsional kejaksaan melaksanakan tugas penegakan hukum bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun dan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, tetapi secara struktural kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan harus sejalan dengan politik kriminal yang digariskan oleh pemerintah, mengingat Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Selaku Jaksa Agung, MA Rachman, dalam upaya lebih memacu kinerja jajaran Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi, di awal masa jabatannya telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor : SE-007/A/J.A/11/2004 tanggal 26 Nopember 2004 tentang Peningkatan Penanganan Perkara-Perkara Tindak Pidana Korupsi seIndonesia, yang pada pokoknya menginstruksikan: 1. Semua penyidikan perkara-perkara korupsi yang masih ada di seluruh Kejati dan Kejari agar dituntaskan dalam waktu 3 (tiga) bulan; 30
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadilah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, P.T. Refika, Jakarta, 2008, hal 18-19
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk
perkara
korupsi
yang
penting/menarik
perhatian
masyarakat
(menyangkut pejabat negara, legislatif/eksekutif atau tokoh masyarakat/ bisnis) agar diutamakan penyelesaiannya, dan dalam waktu 1 (satu) bulan ini segera melaporkan perkembangannya kepada Kejaksaan Agung; dan Kajati serta Kajari bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyidikan, penuntutan, dan eksekusi, perkara-perkara pidana khusus, antara lain pemberkasan perkara, penyusunan surat-surat dakwaan, requisitoir, memori banding, kasasi dan kontra memorinya, serta eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dalam waktu secepatnya. 3. Terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi, sesegera mungkin dilakukan pencekalan, agar tidak dapat melarikan diri ke luar negeri; 4. Untuk memberikan efek jera (deterrent effect) dan daya tangkal (prevancy effect), telah diinstruksikan kepada Kejati dan Kejari agar tidak ragu-ragu menuntut dengan ancaman hukuman yang tinggi kepada pelaku korupsi, bahkan bila perlu secara kasuistis dituntut hukuman mati, bilamana perbuatannya memenuhi kriteria Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dinyatakan dalam penjelesannya, bahwa “apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”.
Universitas Sumatera Utara
Dengan berbagai kebijakan tersebut perkara-perkara tindak pidana korupsi yang digulirkan ke pengadilan meningkat tajam. Sebagai ilustrasi, dari bulan Oktober 2004 s.d. Agustus 2005, telah diselesaikan penyidikan tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia sebanyak lebih dari 280 perkara dengan perkiraan jumlah kerugian negara lebih dari Rp. 4.6 triliun, dibandingkan periode tahun lalu yang hanya 230 perkara. Meskipun demikian, nampaknya upaya tersebut masih belum juga mampu menekan laju peningkatan kasus-kasus korupsi, selain itu masih ada saja tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi yang berhasil melarikan diri ke luar negeri. Dalam hal menetapkan strategi yang tepat, BPKP melalui Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu telah merumuskan tiga bentuk strategi pemberantasan korupsi secara nasional, yaitu(i) strategi persuasif, (ii) strategi detektif, dan (iii) strategi represif. Jika ingin mengacu kepada ketiga strategi tersebut, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan dan terintegarasi, tidak hanya semata-mata menggunakan strategi represif saja, yaitu instrumen pidana; mengingat instrumen pidana tersebut hanya bersifat simptomatik. Jadi, agar pemberantasan korupsi dapat berhasil dengan baik, diharapkan seluruh komponen bangsa dilibatkan, di samping menanggulangi juga faktor-faktor yang menstimulasinya, seperti kesejahteraan, keimanan/integritas moral, sikap hidup yang konsumtif dan meningkatkan pengawasan secara efektif dan efisien. 31
31
Ibid, hal 19-20
Universitas Sumatera Utara
KENDALA DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI. Penegakan hukum atas tindak pidana korupsi tidaklah dapat berjalan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Penegakan hukum adalah suatu proses sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Dengan demikian harus mengikuti kaedah-kaedah hukum acara yang berlaku. Hal ini tentu saja akan dirasakan sebagai suatu kendala apalagi dalam situasi masyarakat dalam era reformasi yang menuntut perubahan dengan cepat, maka proses hukum dapat dianggap lamban sebagai upaya penyelesaian masalah. Selain hal tersebut penanganan terhadap tindak pidana korupsi juga tidak seperti menangani tindak pidana pada umumnya. Hal tersebut terjadi demikian oleh karena pelaku tindak pidana korupsi umumnya memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, menguasai permasalahan pada sektor dimana ia melakukan korupsi, mengetahui celah-celah dari peraturan yang berkaitan dengan sasaran yang akan dikorupsi sehingga dengan cerdiknya ia memanfaatkan celah-celah dari peraturan tersebut untuk mengeluarkan dan memanfaatkan keuangan negara untuk
kepentingannya sendiri dan atau untuk
kepentingan teman-temannya atau orang lain. Ia telah memiliki wawasan atau pengalaman pada bidang sasaran yang dikorupsi sehingga ia telah merencanakan perbuatan yang akan dilakukan dan merencanakan dengan cara bagaimana berkelit dari jeratan hukum. Dalam praktek, sesungguhnya kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum disebabkan oleh hal-hal yang bersifat teknis hukum dan ada yang diluar teknis hukum.
Universitas Sumatera Utara
1. Kendala Teknis Yuridis A. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ditentukan alat-alat menurut undangundang yaitu : 1. Keterangan Saksi. 2. Keterangan Ahli. 3. Surat-surat. 4. Petunjuk. 5. Keterangan Terdakwa. Dalam rangka pembuktian disidang pengadilan ditemukan kendala, yakni : 1. Saksi di depan sidang pengadilan menarik seluruhnya atau sebagian keterangan yang telah diberikan pada pemeriksaan tahap penyidikan, dan pada
umumnya
keterangan
yang
diberikan
dipersidangan
tersebut
menguntungkan bagi terdakwa. 2. Ahli menerangkan sesuai dengan pengetahuan atau keahliannya yang di dalam perkara tindak pidana korupsi diperlukan untuk bikti dalam menghitung keuangan negara. Sering terjadi probelamtik antara pendekatan hukum dengan perhitungan keuangan negara. Dalam pandangan jaksa penyidik dan jaksa penuntut umum apabila sudah terbukti memenuhi unsurunsur dan delik telah dinyatakan selesai (voltoid) meskipun kerugian negara dikembalikan, jaksa penuntut umum tetap berpendapat bahwa kerugian negara terbukti. Pengembalian kerugian negara adalah semata-mata sebagai hal yang meringankan, akan tetapi sering terjadi ahli berpendapat bahwa setelah kerugian negara dibayar kembali, maka tidak ada lagi kerugian negara, sehingga hal ini dapat membebaskan terdakwa salah satu unsur tidak
Universitas Sumatera Utara
terbukti. Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa : “Pengembalian kerugian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.” 3. Surat yang diperlukan dalam rangka pembuktian diperlukan surat asli dan bukan fotocopy, namun surat asli tersebut sudah tidak ditemukan lagi, kemungkinan sengaja dihilangkan atau sengaja dimusnahkan, namun tidak diketahui siapa yang melakukannya, sehingga dengan tidak ditemukan surat asli tersebut dapat mempengaruhi pembuktian dalam perkara tersebut. 4. Untuk menyingkap hasil korupsi antar lain diperlukan keterangan dari bank yang bersangkutan. Untuk memperoleh keterangan dari bank yang bersangkutan diperlukan izin dari Gubernur BI. Praktek yang sebenarnya, izin dari Gubernur BI memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak jarang setelah izin diberikan, uang pada rekening yang diperiksa sudah dikuras oleh tersangka. Dengan keadaan yang demikian pengamanan / pemulihan kerugian negara tidak berhasil. B. Adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan unsur delik. Dalam praktek peradilan sering sekali timbul perbedaan persepsi antara Jaksa Penuntut Umum dengan Hakim terhadap unsur delik tindak pidana korupsi yang didakwakan. Karena adanya perbedaan dalam penafsiran unsur-unsur delik tindak pidana korupsi, hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa, hakim membebaskan terdakwa dari semua dakwaan akibatnya selain koruptor lepas dari jerat hukum, aset terdakwa yang ditemukan dan disita harus dilepaskan kembali, keamanan keuangan negara gagal.
Universitas Sumatera Utara
2. Kendala Non Yuridis Upaya penegakan hukum dalam pemberantasan ternyata mengahdapi berbagai kendala yang bersifat non Yuridis (di luar teknis hukum), yaitu : A. Kompleksitas perkara sering memerlukan pengetahuan yang komprehensif. B. Tindak pidana korupsi pada umumnya melubatkan sekelompokorang yang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana itu. Adanya kekhawatiran keterlibatan sebagai tersangka maka diantara mereka dalam kelompok tersebut akan saling menutupi sehingga akhirnya menyulitkan dalam mengungkapkan pembuktian. C. Waktu terjadinya tindak pidana korupsi pada umumnya baru terungkap setelah dalam tenggang waktu yang lama. Hal ini menyulitkan pengumpulan buktibukti karena ada yang telah hilang atau sengaja dimusnahkan. Disamping itu saksi atau tersangka telah pindah ketempat lain sehingga memperlambat proses. D. Dengan berbagai upaya, pelaku korupsi telah mengahabiskan uang hasil yang diperoleh dari korupsi atau mempergunakan / mengalihkan dalam bentuklain dengan mnama orang lain yang sulit terjangkau oleh hukum. Demikian juga aset-aset terdakwa / terpidana telah dipindahkan atas nama orang lain. Dengan keadaan seperti itu maka pada tahap penyidikan ataupun penuntutan dan apada tahap eksekusi setelah putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdapatkesulitan dalam mengeksekusi putusan hakim mengenai pembayaran uang pengganti. E. Dalam hal tersangka atau saksi adalah pejabat negara diperlukan prosedur khusus untuk pemanggilan dan pemeriksaannya.
Universitas Sumatera Utara
F. Masih adanya keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menangani perkara korupsi diperlukan tenaga jaksa yang profesional, memiliki wawasan dan pengalaman yang cukup, selain dari segi kualitas dan kwantitas juga mempengaruhi kecepatan dalam bertindak untuk segera menuntaskan masalah penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. G. Adanya keterbatasan dana dan sarana penunjang lainnya. Masalah dana memang ada alokasinya, namun jumlahnya sangat terbatas untuk penanganan suatu kasus korupsi mulai dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta sarana lain yang berupa kepustakaan juga kurang memadai.
Upaya Yang Dilakukan Kejaksaan Dalam Menghadapi Kendala / Hambatan Tindak Pidana Korupsi. Upaya yang dilakukan dengan : A. Interen 1. Peningkatan Profesionalisme 1.1.
Konsepsi Jaksa Mandiri Jajaran Kejaksaan menyadari adanya tantangan kedepan khususnya
dalam mengahadapi KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), perlu mewujudkan jati diri aparat Kejaksaan yang memiliki kemapuan professional, integritas kepribadian yang handal dan disiplin yang tinggi. Kemampuan
profesional
mengandung
makna
pada
peningkatan
keterampilan teknis dan kematangan intelektual dengan mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan termasuk meningkatnya kualitas kejahatan. Setiap jaksa harus memiliki etos kerja yang tinggi,
Universitas Sumatera Utara
berani menghadapi kendala, tantangan dan masalah. Integritas moral ditampilkan melalui sikap mental yang tangguh dengan penghayatan dengan kode etik para jaksa yang disebut dengan “TRI KARMA ADHYAKSA
(SATYA,
ADHI,
WICAKSANA)
dengan
disertai
KEIMANAN DAN KETAKWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA. Disiplin diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan tugas penegakan hukum yang diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas. Jati diri aparat kejaksaan yang demikian, dibentuk melalui jaksa yang mandiri yaitu : A. Memiliki rasa percaya diri karena menguasai ilmu pengetahuan dan permasalahan yang dihadapi. B. Berani mengambil keputusan dan mampu mempertanggungjawabkan. C. Berpikir antisipasif yang dilandasi pengetahuan yang komprehensif.
1.2.
Skala Prioritas Mengingat banyaknya kasus yang ditangani dengan cepat, tepat dan
tuntas, sedangkan waktu yang tersedia relatif sangat singakt, maka perlu menyusun skla prioritas. Dalam menentukan skala prioritas kasus hendaknya didasarkan pada kreteria : 1. Perkara dimaksud menyangkut kasus yang strategi dalam arti mempunyai bobnot Nasional atau menarik perhatian diwilayah setempat. 2. Penanganannya mempunyai dampak psikologis untuk prevensi tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
3. Penyelesaian perkara dimaksud supaya dapat mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap jajaran kejaksaan.
1.3.
Kepastian Hukum dan Masyarakat Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam Negara Demokrasi
dimana supremasi hukum senantiasa dikedepankan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maka konsepsi dalam penanganan perkara tindak
pidana
adalah
menggunakan
azas-azas
kepastian
hukum
dimaksudkan supaya penanganan suatu perkara tidak berlarut-larut, tanpa mengurangi rasa keadilan, penyelesaian perkara harus jelas dasar hukumnya, tidak mencari-cari kesalahan, cepat. Transparan berarti terbuka penanganannya, tidak ditutup-tutupi, siap dikritik karena yakin akan keputusan yang diambil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
1.4.
Pemberdayaan Pola Kerja Cepat, Tepat, Tuntas Peningkatan kinerja dan produktivitas kerja jajaran kejaksaan
diupayakan untuk mengacu pada pembudayaan pola kerja cepat, tepat dan tuntas.
2. Dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) PPATK adalah sebagai lembaga Independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Dimungkinkan uang yang dicuci berasal dari tindak pidana korupsi, maka sebagai upaya
Universitas Sumatera Utara
mengejar dan menindak pelaku korupsi telah diadakan kerjasama antara Kejaksaan dengan PPATK. B. Eksteren Memanfaatkan Sarana Penunjang Berupa Undang-Undang atau PeraturanPeraturan yang Relevan Seperti yang telah dijelaskan, bahwa kendala yang dihadapi dalam memperoleh alat bukti antara lain karena surat dokumen yang asli sudah tidak ditemukan lagi. Sebagai antisipasi kemungkinan adanya indikasi tindak pidana korupsi dapatlah dimanfaatkan sebagai sarana penunjang antara lain ketentuan dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 Pasal 48 ayat (3), yang berbunyi : “Pengguna barang / jasa wajib menyimpan dan memelihara seluruh dokumen pelaksana pengadaan barang / jasa termasuk berita acara proses pelelangan / seleksi.”
C. PENYIDIKAN DAN RUANG LINGKUPNYA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI 1. Pengertian, Taktik dan Teknik Melakukan Penyidikan Secara etimologis istilah “penyidikan “ Merupakan padanan kata bahasa Belanda “opsporing”, dari Bahasa inggris investigation” atau dari Bahasa latin “investigatio”. Sebelum melakukan suatu penyidikan diperlikan adanya gradasi yang disebut dengan istilah penyelidikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
Universitas Sumatera Utara
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pasal 1 Angka 5 dan Pasal 5 KUHAP merincikan fungsi dan wewenang penyelidik : 1. Dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan hukum, yaitu : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. b. Mencari keterangan dan barang bukti. c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. d. Menagdakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan perintah penyidik, yaitu : a. Penangkapan,
larangan,
meninggalkan
tempat
penggeledahan
dan
penyitaan. b. Pemeriksaan dan penyitaan surat. c. Mengambil sidik jari dan memotret seorang. d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. 3. Dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik, yaitu : a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
Universitas Sumatera Utara
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan. c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatnnya. d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. e. Menghormati hak asasi manusia. Pengertian penyidikan atau “opsporing” itu menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindakan pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana adalah : 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan ditempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau interogasi
Universitas Sumatera Utara
8. Berita acara. 9. Penyitaan. 10. Pemyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. 32 Penyidik Pejabat Pegawai negri Sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam pelaksanaannya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Dalam melakukan sesuatu penyidikan diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang terjadi ,modus operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan tersangkanya. Taktik
penyidikan
(opsporingstactiek)
dan
teknik
penyidikan
(opsporingstechniek) merupakan aspek yang berkorelasi erat dan merupakan bagian dari ilmu penyidikan atau opsporingsleer.
33
Pada dasarnya, bahwa taktik penyidikan (opsporingstactiek) adalah suatu pengetahuan yang mendalami serta mempelajari ruang lingkup permasalahan-
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 118
33
Lilik Mulyadi, Tindak pidana korupsi di indonesia Normatif,teoritis, praktis dan masalahnya,Penerbit P.T. ALUMNI, Bandung, 2007, hal 125 – hal 128
Universitas Sumatera Utara
permasalahantaktis dalam bidang penyidikan suatu perkara pidana sehingga diperlukan adanya kesigapan dan kecepatan, ketentuan teknis dan tertib pemeriksaan, mempunyai persepsi tentang permasalahan yang diperkirakan timbul dan dicari solusi pemecahannya. Menurut pandangan R.Soesilo, yang termasuk bidang taktik penyidikan itu antara lain adalah : a. tindakan pertama di tempat kejadian perkara. b. Ilmu jiwa kriminil, khususnya yang digunakan dalam mendengarkan keterangan saksi-saksi dan tersangka. c. Hubungan dengan spion dan bermacam-macam informan. d. Taktik penangkapan, menggeledah badan, menggeledah rumah, konfrontasi dan menyamar. e. Pembunuhan. f. Modus operandi (kebiasaan kerja para pelaku kejahatan) g. Pengumuman tentang terjadinya kejahatan-kejahatan dan pers. h. Baik buruknya memberikan hadiah dalam mencari kejahatan. i.
Gunanya banyak membaca buku-buku cerita detktif.
j.
Pengertian tentang bahasa sandi para pejabat, tahayul, jimat, guna-guna dan sebagainya. Pada bagian taktik penyidikan (opsporingstactiek) atau bagian Hukum pidana, pada umumnya
keterangan terdakwa memegang peranan penting sehingga
diperlukan adanya cara dan taktik agar para saksi mau dan dapat memberi keterangan yang benar dan jujur sehingga kesaksian tersebut merupakan salah satu bukti menetukan di persidangan :
Universitas Sumatera Utara
a. Pemeriksaan saksi dilakukan dengan tempat dan waktu yang sesuai dan layak. Hal ini di maksudkan agar saksi dapat memberikan keterangan dengan baik, tenag dan tanpa tekanan psikologis b. Pemeriksaan dilakukan dengan ramah sehingga menimbulkan rasa simpati dan pernyataan hendaknya dilakukan secara singkat, tegas dan sesuai materi perkara. c. Apabila saksi tidak mempunyai pendidikan agar diusahakan dibantu mengemukakan tentang apa yang dialami, ia lihat ataupun ia dengar tentang peristiwa tersebut dengan kata-kata sederhana dan sesuai dan dapat di mengerti olehnya. d. Hendaknya pemeriksaan terhadap saksi jangan di ajukan pertanyaan dengan sifat menjerat atau pertanyaan dengan adanya kesimpulan jawaban di dalamnya. e. Diajukan adanya barang bukti, dapat diminta ketegasan keterangan saksi tersebut apabila berbeda jauh dengan keterangan saksi lainya dan sebagainya. Teknik penyidikan (opsporingstechniek) pada dasarnya suatu pengetahuan tentang teknik identifikasi dan sinyalemen pengetahuan tentang alat dan saranasarana teknis dan bekas-bekas material dengan bantuan ilmu pengetahuan lainnya sehingga mengetahui siapa pelaku dari tindak pidana. Bagian taktik dan teknik penyidikan pada dasarnya bermanfaat dalam melakukan suatu penyidikan pelaku dari Tindak Pidana Korupsi karena modus operandi, subyek pelaku dari Tindak Pidana Korupsi lazim dilakukan oleh orangorang yang mempunyai pengetahuan dan jabatan tertentu sehinnga disebut dengan kejahatan kerah putih atau white collar crime.
Universitas Sumatera Utara
2. Proses dan Praktik Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dasar Hukum Kejaksaan dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1. Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 serta Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002. 2. Pasal 248 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981. 3. Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 4. Pasal 17 PP No. 27 1983. 5. Pasal 44 Keppres No. 31 Tahun 1983, Keppres No. 228 Tahun1967, Inpres No. 15 Tahun 1983, Keppres 11 Tahun 2005. 6. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 November 1994 dan Fatwa KMA No. KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005 Materi Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus (Ius Speciale, Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht) dan pihak yang berhak melakukan penyidikan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah Pihak Kejaksaan. 34 Yang menjadi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak melakukan peyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi didukung argumentasi adalah : 1. Bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale, Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht), modus operandi dan aspek pembuktian dari Tindak Pidana Korupsi harus ditangani secara lebih spesifik sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu. 2. Keppres No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang pembentukan Tim Pemberantasan yang ditentukan Ketua Timnya adalah Jaksa Agung yang 34
Ibid hal 132 – hal 137
Universitas Sumatera Utara
secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “dalam dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan berdasarkan ketentuan Pasal 17 “Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang dimungkinkan untuk Tindak Pidana Korupsi disidik dan dituntut oleh Pihak Kejaksaan. 3. Instruksi Presiden RI No. 15 Tahun 1983 dan Keppres RI No. 15 Tahun 1991 yang pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan, Para Menteri / Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Depertemen / Pimpinan Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima laporan, melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus, seperti korupsi. 4. Bahwa dengan bertitik tolak kepada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi No. R-124/F/Fpk.1/7/1995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 November 1994 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi yang telah ditolak Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas perkara tidak lengkap, oleh karena perkaranya disidik Penyidik Umum / Polri dan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang terakhir diubah dengan Keppres No. 86 Tahun 1999 pada Baba II
Universitas Sumatera Utara
Bagian Pertama Pasal 4 angka 6 adanya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang pada Pasal 22 angka 3 Keppres 86 Tahun 1999 membawahi Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA035/J.A/3/1992 tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, yang kemudian diubah dengan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999, dan diubah kembali dengan Keputusan Jaksa RI No. KEPJA-558/J.A/XII/2003 tanggal 17 Desember 2003 pada Bab XVIII Bagian Pertama Pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri yang dalam Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi (Pasal 627 ayat (1) angka 2). Untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang tergolong Tipe A Pasal 692 ayat (1) angka 5 salah satu bagian adalah Seksi Tindak Pidana Khusus dan berdasarkan Pasal 708 ayat (1) angka 2, salah satu subseksi Tindak Pidana Korupsi dan pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat (1) angka 5 adalah Seksi Tindak Pidana Khusus, Perdata dan Tata Usaha Negara. 5. Ketentuan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Ketentuan Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menentukan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“Dalam menentukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.” Pada ketentuan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, yang menetukan bahwa : “Jaksa
Agung
mengkoordinasikan
dan
mengendalikan
penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan besama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.” Yang dimaksud dengan mengkoordinasikan yang terdapat dalam Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa : “Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UndangUndang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa : Di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan : “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Universitas Sumatera Utara
Asasi
Manusia
dan
Undang-Undang
No.
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 6. Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/102/III 2005 yang menentukan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi pasca berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dengan berdasar pada ketentuan Pasal 26, Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 284 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 dan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep-132/ J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan/informasi seseorang tentang telah terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktik laporan/ informasi ini mempergunakan bentuk P-l. Pada dasarnya, bentuk penerima laporan berisikan tentang hari, tanggal, tempat, identitas lengkap penerima dan pemberi laporan (Nama, Pangkat, NIP, Jabatan dan Kop Kejaksaan Setempat). Apabila pelapor meminta identitas dirinya dilindungi dalam
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana Korupsi, permintaan tersebut dicantumkan di dalamnya. Kemudian, dicatat pula tentang isi yang dilaporkan dan laporan itu dibuat atas dasar sumpah jabatan serta ditandatangani oleh Jaksa penerima laporan dengan administrasi turunan kepada Direktur/Kajati/Kajari/Kacabjari dan Arsip. Atas dasar hal tersebut, Kejaksaan kemudian meng-eliminir, apabila laporan itu bersifat informasi ditangani seksi intelijen dan kalau sudah merupakan laporan terjadinya tindak pidana, langsung ditangani oleh seksi Tindak Pidana Khusus(Kejaksaan Negeri Tipe A) atau seksi Tindak Pidana khusus, Perdata dan Tata UsahaNegara (Kejaksaan Negeri Tipe B). Dalam praktik, lazim untuk Tindak Pidana Korupsi bentuk laporan bersifat informasi saja yang banyak dilaporkan dan ditemukan. Apabila informasi perkara korupsi tersebut hanya melingkupi salah satu/satu kabupaten saja, akan ditangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) setempat, sedangkan apabila melingkupi beberapa kabupaten, akan ditangani oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati). Dari Hasil seksi intelijen mendapatkan indikasi bahwa informasi tersebut mengandung kebenaran, hasil tersebut akan dipaparkan (pra-ekspose) dan apabila kemudian ternyata belum lengkap, akan dilengkapi, sedangkan bila telah lengkap lalu dibuat dalam bentuk laporan intelijen khusus bahwa perkara tersebut dapat dilakukan penyelidikan. Kemudian, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) setempat mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan dalam bentuk P-2 dengan perintah kepada Jaksa Penyelidik melaksanakan penyelidikan. Secara administrasi, turunan P-2 dibuat rangkap 3 (tiga), yaitu untuk yang bersangkutan, kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajari) apabila penyelidikan dilakukan oleh Kajari/Kacabjari dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jam Pidsus) apabila penyelidikannya dilakukan oleh Direktur dan Arsip.
Universitas Sumatera Utara
Dengan bertitik tolak Surat Perintah Penyelidikan tersebut, jaksa Penyelidik membuat Rencana Penyelidikan dengan bentuk P-3 dan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan turunan kepada Kasubdit Penyidikan/ Ass. Pidsus/Kasi Pidsus kemudian dipergunakan sesuai dengan kebutuhan serta satu lembar turunan untuk arsip. Setelah rencana penyelidikan ini selesai dilakukan, kemudian dilakukan penyelidikan dengan meminta keterangan sesuai P-4 dibuat 3 (tiga) hari sebelum hari pertemuan yang ditentukan dalam surat permintaan keterangan, kemudian melalui bukti surat dan lain-lain. Apabila
penyelidikan
telah
selesai,
JaksPenyelidikemudiamelaporkan
hasil
penyelidikan tersebut dalam bentuk P-5 dengan berdasarkan pada hasil penyelidikan dan
akhirnya
memberikan
kesimpulan/pendapat
dan
saran,
terhadap
hasil
penyelidikannya. Pada tahap ini sebelum dilakukan penyelidikan, dalam praktik dikcnal adanya suatu tahap yang dikenal dengan tahap pra-ekspose/pemapamn kembali perkara, disertai pembuatan Matrik Perkara berupa P-6. Proses pra-ekspose/pemaparan perkara dilakukan oleh Jaksa Penyelidik dibuat turunan/tembusan sesuai kebutuhan dengan titik tolak peserta pemaparan dan pada saat pemaparan suatu perkara biasanya diperlukan alat bantu berupa: a.
Chart yang berupa gambar penguraian modus operandi perkara yang bersangkutan, yakni : •
Uraian tentang perbuatan-perbuatan yang seharusnya dilakukan tersangka/terdakwa berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku;
•
Uraian
modus
operandi/perbuatan
yang
dilakukan
oleh
tersangka/terdakwa •
Pasal yang dilanggar.
Universitas Sumatera Utara
b. Matrik yang berisikan uraian tentang unsur-unsur pasal yang disangkakan diterapkan dengan uraian fakta-fakta perbuatan yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa serta dukungan alat bukti dan barang bukti lainnya. Apabila dari hasil penyelidikan tersebut terdapat cukup bukti untuk dilakukan penyidikan perkara lalu dikeluarkan bentuk P-7 tentang Surat Perintah Penyidikan yang pada pokoknya memerintahkan Jaksa Penyidik melaku-kan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi tersebut dan dibuat rangkap 5 (lima) untuk yang bersangkutan, Penuntut Umum (sebagai laporan dimulainya penyidikan), kemudian Kajati/ Kajari (disesuaikan dengan penandatanganan), kepada Kajati apabila penyidikan dilakukan Kajari/Kacabjari atau kepada Jam Pidsus apabila penyidikan dilakukan oleh Direktur, pada berkas perkara dan arsip. Pada tingkat penyidikan ini, dilakukan pemanggilan kepada para saksi/terdakwa sesuai bentuk P-9 dan penyampaian surat panggilan selambat-lambatnya dilakukan 3 (tiga) hari sebelum yang bersangkutan harus menghadap, dapat pula dilakukan permintaan bantuan pemanggilan saksi-saksi/ahli dengan bentuk P-10 atau bentuk P-ll. Bagaimana cara teknik dan taktik melakukan penyidikan ini, pada prinsipnya identik dengan cara penanganan perkara pidana pada umumnya sebagaimana telah Penulis uraikan di muka. Proses selanjutnya, apabila dalam melakukan penyidikan diperlukan adanya penggeledahan/penyitaan surat-surat, harta benda dan tindakan lain, diperlukan permintaan izin penggeledahan/penyitaan dengan bentuk B-l dan kemudian dilanjutkan dengan bentuk B-5 tentang Surat Penitipan Barang Bukti atau dapat dilakukan tindakan berupa permintaan izin khusus untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dipergunakan bentuk B-6 permintaan penye-rahan surat-surat yang dicurigai dengan alasan kuat mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa dengan bentuk B-7 atau bentuk-bentuk B-8
Universitas Sumatera Utara
tentang pem-beritahuan penyitaan barang bukti oleh Kejaksaan dan B-10 tentang label benda sitaan/barang bukti atau dapat pula dimohonkan izin dari Menkeu RI untuk memeriksa keuangan sesuai B-3. Selain itu pula, di dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dapat dilakukan suatu penangkapan dan penahanan atau tidak. Apabila dilakukan suatu penangkapan, dipergunakan bentuk T-l atau kalau dilakukan penahanan/ pengalihan jenis penahanan (tingkat penyidikan) dengan bentuk T-2 atau permintaan perpanjangan penahanan dengan T-3 dan Surat Perpanjangan penahanan dengan T-4. Terhadap semua tahap tersebut di atas kemudian dibuat Berita Acara Penyidikan yang ditandatangani oleh Penyidik dan saksi/ tersangka. Apabila tahap penyidikan telah selesai dilakukan, pemberkasan perkara kemudian dilaporkan kepada Kajari sesuai hierarki guna diteliti lebih lanjut serta dibuat juga Rencana Dakwaan (Rendak). Pada tahap ini, dikenal adanya ekspose/pemaparan perkara ditentukan bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau ditutiip demi hukum, penuntutan terse-but dihentikan (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP) dan dikeluarkan Surat Penetapan Penghenlian Penyidikan atau lazim disebut SP 3 dan bila dari ekspose/pemaparan hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dibuat Berita Acara Pendapat atau Resume sesuai P-24, disempurnakan Rencana Dakwaan (Rendak) menjadi Surat Dakwaan serta pula Surat Pelimpahan Perkara. Dengan surat pelimpahan perkara bersangkutan berkas perkara, surat dakwaan kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat dengan permintaan agar diperiksa dan diadili di depan persidangan Pengadilan Negeri. 35
35
ibid hal 148 – hal 152
Universitas Sumatera Utara
3. Pemberian Bantuan Hukum Pada Tingkat Penyidikan Mengenai pemberian bantuan hukum ini diatur dalam Bab VII Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, Bab VII Pasal 37 sampai 40 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan Bab VI Pasal 22 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 adanya kewajiban bagi Advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum merupakan hak dari tersangka/terdakwa yang bersifat fundamental. Hal ini ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan menyebutkan bahwa pemberian bantuan hukum dalam proses pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam taraf pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan menentukan bahwa untuk keperluan menyiapkan pembelaan, tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak untuk menunjuk dan menghubungi serta meminta bantuan Penasihat Hukum. Adalah hak dari seseorang yang tersangkut suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya maupun untuk mendapat penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa. Untuk itu, tersangka/terdakwa diberi kesempatan mengadakan hubungan dengan orang yang dapat memberikan bantuan hukum sejak saat ia ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan. Pemberian bantuan hukum itu sejak berakhirnya masa peralihan KUHAP pada tanggal 31 Desember 1983 dijalankan oleh seorang Penasihat Hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHAP, Penasihat Hukum sangat dipcrlukan karena pasal tersebut menyebutkan adanya kewajiban bagi
Universitas Sumatera Utara
Pejabat untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima tahun atau lebih, juga bagi mereka yang tidak mampu. Apabila dalam suatu Pengadilan Negeri tidak terdapat seorang Penasihat Hukum yang berkedudukan di tempat itu, dapat ditunjuk orang lain yang ahli hukum asal bukan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 250 ayat (5) HIR.
Dalam praktik
peradilan khususnya untuk perkara Tindak Pidana Korupsi, ketentuan Pasal 56 KUHAP sifatnya imperatif dalam artian bahwa tersangka pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan tegas harus didampingi Penasihat Hukum pada semua tingkat pemeriksaan, baik tingkat penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Hal ini selaras pula dengan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) No. B-5707 F/Fpk.1/9/1994 tanggal 30 September 1994 mengenai Surat Edaran tentang Jaksa sebagai penyidik Tindak Pidana Khusus wajib menunjuk Penasihat Hukum (Pasal 56 KUHAP). Ketentuan ini dimaksudkan sebagai implementasi dijunjung tingginya hak asasi manusia/terdakwa sebagaimana dasar dikeluarkannya KUHAP, sehingga tidak diharapkan adanya kesewenang-wenangan dalam hal pemeriksaan tersangka/ terdakwa. Apabila hal ini tidak dipenuhi, merupakan suatu kelalaian terhadap penerapan hukum acara sebagaimana ditentukan Pasal 240 ayat (1) KUHAP. Apabila ternyata tersangka tidak bersedia didampingi oleh Penasihat Hukum atau menyatakan akan menghadapi sendiri pemeriksaan penyidikannya, maka kewajiban penyidik tetap menunjuk Penasihat Hukum tersebut sedangkan penolakan tersangka harus dituangkan ke dalam bentuk Berita Acara dan dilengkapi Surat Pernyataan Penolakan dari tersangka dan dilampirkan sebagai kelengkapan berkas perkara. Untuk membuktikan dan memberikan deskripsi, jelas bahwa tersangka/terdakwa harus
Universitas Sumatera Utara
diberikan bantuan hukum atau didampingi Penasihat Hukum sebagaimana sifat imperatif ketentuan Pasal 56 KUHAP. Berdasarkan ketentuan Bab VII Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP dan Bab VII Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, dapat disebutkan hubungan timbal balik antara Penasihat Hukum dengan beberapa hak-hak esensial daripada tersangka, yakni: 1) Penasihat Hukum atau advokat berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan undang-undang (Pasal 69 KUHAP, Pasal 38 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004). 2) Penasihat Hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaannya. Pada dasarnya, hendaknya pengertian setiap waktu sesuai dengan Butir 17 Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 diartikan waktu jam kerja kantor, (Pasal 70 ayat (1) KUHAP). 3) Penasihat Hukum tersangka dapat meminta turunan berita acara pemeriksaan guna kepentingan pembelaannya (Pasal 72 KUHAP). 4) Penasihat I Iukum berhak menerima dan mengirim surat kepada tersangka (Pasal 73 KUHAP). Berdasarkan
ketentuan
bantuan
hukum
merupakan
hak
tersangka,
penyelenggaraan hak tersebut tidak dapat dilakukan tanpa pembatasan. Adanya
Universitas Sumatera Utara
pembatasan tersebut ditujukan kepada Penasihat Hukum dalam hal penyalahgunaan hubungan dengan tersangka, sehingga pembatasan hubungan dilakukan secara persuasif oleh pejabat yang berwenang melalui tahapan: 1) pemberian peringatan kepada Penasihat Hukum. 2) dilakukan pengawasan oleh pejabat yang bersangkutan. 3) hubungan tersebut selanjutnya dilarang (Pasal 70 ayat (2), (3) dan (4) KUHAP). Di samping itu pula, ada pembatasan hubungan antara Penasihat Hukum dengan tersangka menurut ketentuan Pasal 71 KUHAP, yaitu: 1) Penasihat Hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam hubungan dengan tersangka diawasi penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan. 2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara pejabat tersebut di atas dapat mendengar isi pembicaraan. Selaku personal Penasihat Hukum eksistensinya dalam pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Kehakiman RI dan Menteri Kehakiman RI sebagai-mana ditentukan Pasal 2 ayat (1) dari Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Kehakiman RI No. KMA/005/SKB/VII/1987, No. M.03PR'08.05 Tahun 1987 tanggal 6 Juli 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum, tetapi sekarang ber-dasarkan Undang-Undang tentang Advokat yaitu UndangUndang No. 18 Tahun 2003, pengawasan Advokat dilakukan oleh organisasi advokat, sedangkan pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi
Universitas Sumatera Utara
Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat (Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003). Dari apa yang telah diuraikan di atas jelaslah dapat ditarik suatu konklusi dasar bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan tegas telah menjamin dilindungi hak asasi tersangka sejak mulai dilakukan penyidikan sehingga hal ini membawa dampak yang baik karena selaras dengan ketentuan Asas Negara Hukum (Rechtstaat) dan berusaha ditegakkan secara konsekuen Asas "presumption of innocence" (Praduga tidak bersalah) yaitu, "setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dilmdapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap," sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum Rom. I angka 3 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 36 4. Pemberkasan Berita Acara Hasil Penyidikan Ditinjau dari makna leksikon, kata pemberkasan berasal dari kata dasar berkas. dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata berkas disebut sebagai kumpulan, ikatan dan bendel. Dalam bahasa Inggris disebut "sheal", "bundle", tetapi "bundle" diterjemahkan juga dengan bungkusan. Pemberkasan dimaksud dikumpulkan / diikat dalam satu kesatuan. Semua yang berkenaan dengan perkara tersebut dijadikan satu kesatuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 75 KUHAP, segala tindakan yang dilakukan sehubungan dengan perkara yang dibuat Berita Acara
36
ibid hal 153 – hal 160
Universitas Sumatera Utara
dengan kekuatan sumpah Jabatan kemudian ditandatangani oleh Pejabat Pembuat serta oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Pemberkasan Berita Acara hasil penyidikan Kejaksaan pada dasarnya berisikan hal-hal dengan urutan-urutan sebagai berikut: 1. Sampul Berkas Perkara; 2. Foto Tersangka ; 3. Maksud Perkara ; 4. Daftar Isi Berkas ; 5. Penerimaan Laporan ; 6. Surat Perintah Penyidikan ; 7. Berita Acara Pendapat (Resume) ; 8. Daftar Nama Para Saksi dan Tersangka ; 9. Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan Tersangka ; 10. Surat Perintah Penangkapan ; 11. Surat Perintah Penahanan, Perpanjangan Penahanan dan Berita Acara Pelaksanaan Perpanjangan Penahanan ; 12. Surat Perintah Penggeledahan/Penyegelan/Penyitaan/ Penitipan ; 13. Berita Acara Penyitaan Surat-surat, Uang, Rumah, Mobil dan lainnya; 14. Berita Acara Pemeriksaan keadaan Keuangan tersangka;
Universitas Sumatera Utara
15. Surat permintaan Izin Penggeledahan/Penyitaan dan Surat Izin Penetapan Penggeledahan/Penyitaan; 16. Daftar barang Bukti. Dalam praktik berkas perkara tersebut kemudian digandakan dan dijilid serta apabila nantinya perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (untuk perkara yang disidik oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Tim Tastipikor) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (yang disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi) pelimpahan tersebut dikirim berkas aslinya sebagai dasar penyidangan perkara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri/Majelis Hakim Ad-Hoc Tindak Pidana Korupsi tempat pelimpahan perkara korupsi tersebut dilakukan.
5. Penyerahan Berkas Perkara Hasil Penyidikan Kepada Penuntut Umum Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum dimaksudkan adalah hasil penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, Penyidik Kejaksaan dan Tim Tastipikor sedangkan terhadap penyelidikan, penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri untuk diserahkan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan KUHAP menentukan penyerahan berkas dalam 2 (dua) tahap merupakan perubahan besar dan berbeda dengan ketentuan dalam HIR (Stb. 194144) dan menurut Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan hal tersebut dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Karena penyidikan hanya dipertanggungjawabkan kepada penyidik, dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan itu belum lengkap, segera mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuknya, yang wajib dilengkapi oleh penyidik. Sedangkan tersangka dan barang bukti tetap di tempat semula ditahan atau disimpan. 2. Penyerahan tahap kedna hanya penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti, dimaksudkan men-cegah kemungkinan larinya tahanan dan hilangnya barang bukti. Hal ini juga dipahami adanya rumah tahanan negara dan rumah penyimpanan benda sitaan negara, yang akan didirikan pada setiap kabupaten, yang pengelolaannya dipertanggungjawabkan hanya pada satu instansi, tetapi penggunaannya bersama. 3. Mencegah keluarga yang akan mengunjungi tersangka diombang-ambingkan kesana kemari. 4. Pertanggungjawaban lebih jelas sehingga akan ada ke-pastian hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) butir a dan b jo Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyerahan berkas perkara oleh Kepolisian, Penyidik Kejaksaan dan Tim Tastipikor kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan dilakukan dengan cara : 1. Pada Tahap Pertama Penyidik hanya Menyerahkan Berkas Perkara Penerimaan berkas perkara tahap pertama berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 138 KUHAP. Penerimaan berkas perkara dicatat dalam register Penerimaan
berkas
perkara
tahap
pertama
(RP-10)
dan
pelaporannya menggunakan LP-6. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana Umum No. B.401/E/9/93 tanggal 8 September 1993, penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada: a. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas/persyaratan, tata cara penyidikan yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara, Izin/Persetujuan Ketua Pengadilan. Di samping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut, yakni keabsahannya sesuai ketentuan Undang-undang. b. Kelengkapan materiel, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang
diperlukan
bagi kepentingan pembuktian.
Kriteria
yang
dapat
dipergunakan sebagai tolok ukur kelengkapan materiel antara lain :
Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kualifikasi dan pasal yang dilanggar)
Siapa pclaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa itu (tersangka saksi-saksi / ahli).
Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi).
Di mana perbuatan dilakukan (locus delicti).
Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti).
Akibat apa yang akan ditimbulkannya (ditinjau secara viktimologis)
2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap ini pemeriksaan tersangka (bentuk formulir: BA-15) dimaksudkan untuk menghindari kesalahan orang (error in persona) dituntut dan dihadapkan di depan persidangan. Terhadap penelitian tersangka ini sering diperhatikan mengenai hal-hal sebagai berikut: 1. Penelitian terhadap identitas dan keterangan tersangka. 2. Penelitian terhadap sejauh mana kebenaran keterangan yang telah diberikan dihadapan penyidik. 3. Penelitian terhadap tindak pidana apa yang disangkakan. 4. Penelitian tentang apakah tersangka pernah ditahan/ dilanjutkan penahanannya. Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum ini dibuat dalam bentuk nota pendapat dengan memperhatikan Surat JAM Pidum No. B.401/E/9/1993 (butir 4) tanggal 8 September 1993 tentang penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti. 5. Penelitian terhadap apakah tersangka pernah dihukum atau tidak. Penelitian barang bukti, dalam praktik lazim dipergunakan bentuk Berita Acara (BA-18) dimana penanganan barang bukti memperhatikan KEPJA112/JA/10/1989 tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti, butir 4 Surat JAM Pidum No. B.401/E/9/1993 (butir 4) tanggal 8 September 1993 tentang Pelaksanaan tugas pra Penuntutan dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M-05-UM.01.06 tahun 1983. Pada penelitian barang bukti, diteliti dan diperhatikan mengenai hal-hal sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Penelitian jenis, kelengkapan kondisi, kualitas dan kuantitas berat dan keadaan barang bukti. 2. Penelitian barang bukti disaksikan oleh penyidik dan tersangka serta saksi lain. 3. Adanya berita acara penelitian barang bukti/benda sitaan ditandatangani oleh Jaksa peneliti petugas barang bukti yang membantu jaksa peneliti, Penyidik/Polisi yang membawa dan menyerahkan tersangka dan barang bukti/benda sitaan (pemilik barang bukti). 4. Penelitian barang bukti berupa logam mulia, permata, narkotika, obat-obatan dan barang bukti lainnya yang bersifat khusus dilakukan dengan bantuan tenaga ahli/laboratorium untuk mengetahui dan memastikan tentang mutu/kadarnya. 5. Selesai penelitian dibungkus kembali dan disegel dan dibuatkan berita acara. 6. Regristrasi barang bukti (bentuk formulir: RB-2). 7. Memberi label barang bukti (bentuk formulir: B-10). 8. Membuat kartu bukti (bentuk formulir: B-ll). 9. Melakukan penyimpanan barang bukti terhadap: a. Surat berharga, uang, logam mulia permata yang nilainya Rp.10.000.000,00 ke atas disimpan di Bank Pemerintah. b. Terhadap barang bukti yang bernilai Rp.10.000.000,00 ke bawah dititipkan pada bendahara untuk disimpan dalam brankas dcngan berita acara penitipan.
Universitas Sumatera Utara
c. Terhadap barang bukti narkotika disimpan dengan penanganan khusus. d. Terhadap barang bukti yang besar seperti kapal atau hewan dapat dititipkan pada tempat yang aman atau dititipkan pada pemiliknya. e. Terhadap barang bukti kendaraan yang digunakan untuk mencari nafkah dititipkan pada pemiliknya. f. Barang bukti yang lekas rusak, berbahaya serta biaya penyimpanan tinggi sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka dapat digunakan ketentuan Pasal 45 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Bahwa UU No. 3 Tahun 1971 jo. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 mengatur mengenai tindakan yang dianggap sebagai suatu perbuatan korupsi, dimana bentuk / tindakan korupsi adalah : A. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara 1) Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara 2) Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat merugikan keuangan negara B. Korupsi yang berkaitan dengan suap-menyuap 1) Menyuap pegawai negeri 2) Menyuap pegawai negeri 3) Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatan 4) Pegawai negeri menerima suap 5) Pegawai negeri menerima suap 6) Pegawai negeri menerima suap. 7) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
Universitas Sumatera Utara
8) Menyuap hakim 9) Menyuap advokat 10) Hakim dan advokat menerima suap 11) Hakim menerima suap 12) Advokat menerima suap C. Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan 1) Pegawai negeri meggelapkan uang atau membiarkan penggelapan 2) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi 3) Pegawai negeri merusak bukti 4) Pegawai negeri membiarka orang lain merusakkan bukti 5) Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti D. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan pemerasan 1) Pegawai negeri memeras 2) Pegawai negeri memeras 3) Pegawai negeri memeras E. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang 1) Pemborong berbuat curang 2) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
Universitas Sumatera Utara
3) Rekanan TNI / Polri berbuat curang 4) Pengawas rekanan TNI / Polri berbuat curang 5) Penerima barang TNI / Polri membiarkan perbuatan curang 6) Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain. F. Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan 1) Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya G. Korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi 1) Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melaporkan kepada KPK. Bahwa dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang dikatakan sebagai subyek delik korupsi adalah : 1. Manusia 2. Setiap orang 3. Korporasi 4. Pegawai negeri 2. Bahwa pada dasarnya Hukum pidana Indonesia bersumber dari Belanda dan pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal ini terdapat dalam :
Universitas Sumatera Utara
1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1) sampai ayat (4) UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat (1), (2),(3), dan (4) UU No. 31 Tahun 1999) ; 2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat (5) UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat (5) UU No. 31 Tahun 1999 ) bahkan kesempatan untuk melakukan banding tidak ada ; 3. Perumusan delik dalam UU No. 3 Tahun 1971 yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 ; 4. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh yurisprudensi baik yang berasal dari Belanda ataupun Indonesia sangat luas dan pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001. 3. Bahwa dalam setiap tindak pidana korupsi yang terjadi, Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi. Tetapi ada hambatan atau kendala yang sering dihadapi oleh piha Kejaksaan dalam setiap melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
B. SARAN 1. Supaya Undang-Undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) tetap diberlakukan dan apabila ada RUU Tipikor untuk menjadi undang-undang Tipikor yang baru, supaya kewenangan KPK dan Kejaksaan tetap difungsikan karena KPK dan Kejaksaan sangat berperan dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
2. Upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus terus dilakukan, walaupun untuk mengungkapnya ada hambatan atau kendala yang dihadapi oleh pihak Kejaksaan selaku penyidik. 3. Kejaksaan diharapkan memiliki kemampuan yang komprehensif dan dapat berperan secara optimal dalam penyidikan tindak pidana korupsi yakni dengan menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga yang independen yang terlapas dari intervensi pemegang kekuasaan politik.
Universitas Sumatera Utara