BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI
A.
Pengertian Pelaku Dalam Hukum Pidana Berdasarkan bunyi Pasal 55 dan 56 KUHPidana maka yang diamksud
dengan pelaku tindak pidana adalah: 1. Dader (orang yang melakukan) yaitu orang secara sendiri melakukan semua unsure-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam delik formil terlihat apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan apabila oleh undang-undang. Dalam delik materil terlihat apabila seseorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. 105 2. Doenplegen (orang yang menyuruh melakukan/ yang member perintah) ialah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana. Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana itu tidak melakukan unsurunsur dari tindak pidana, akan tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. 106 Penyuruh (manus domina) berada di belakang layar, sedangkan yang melakukan tindak pidana adalah seseorang lain yang disuruh (manus ministra). Orang yang disuruh itu merupakan alat di tangan penyuruh. Dalam hal ini yang disuruh itu telah melakukan tindakan 105
S. R.Sianturi, Op. Cit, hal. 237.
106
M.Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 60
Universitas Sumatera Utara
tersebut karena ketidaktahuan, kekeliruan (dwaling) atau paksaan sehingga padanya tiada unsur kesalahan. Penyuruh dipidana sebagai petindak, sedangkan yang disuruh tidak dipidana karena padanya tiada unsur kesalahan atau setidak-tidaknya unsure kesalahan ditiadakan. Dapat disimpulkan bahwa penyuruh adalah merupakan petindak yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada orang itu tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidaktahuanya kekeliruannya atau dipaksa. 107 Contoh-contoh berikut akan memudahkan untuk memahami, dalam hal-hal apakah seseorang yang disuruh (S) tidak dipidana: 108 a. S adalah orang gila yang disuruh untuk memukuli orang ketiga (Pasal 44 KUHP). b. S dipaksa oleh P untuk melakukan suatu tindak pidana (Pasal 48 KUHP). c. S adalah seseorang polisi bawahan yang telah menahan T atas suruhan atasnya yang karena itikad baiknya mengira bahwa atasannya itu berhak memberikan perintah itu, dimana pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Tetapi ternyata kemudian bahwa penahanan tersebut adalah atas dasar dendam dari atasan tersebut (Pasal 51 ayat (2)). d. S adalah seorang buruh di stasiun. Ia mengambil suatu barang, yang mengira bahwa barang tersebut adalah milik P yang menyruhnya. Tetapi kemudian P tersebut melakukan pencurian dengan menperalat (menyuruh) S. 107
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 324. 108
Ibid
Universitas Sumatera Utara
3. Medeplegen (orang yang turut serta melakukan) ialah beberapa orang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, mereka ini secara sadar melakukan tindak pidana tertentu. Bilamanakah orang dapat mengatakan, bahwa di dalam suatu tindak pidana itu terdapat suatu medeplegen atau suatu keikutsertaan? Untuk bentuk pelaku-perserta ini disyaratkan adanya: 109 a) Kerjasama secara sadar yaitu bahwa setiap pelaku peserta saling mengetahui dan menyadari tindakan dari para pelaku perserta lainnya. Tidak dipersyaratkan apakah telah ada kesepakatan jauh sebelumnya. Walaupun kesepakatan itu baru terjadi dekat sebelum atau bahkan pada saat tindak pidana ini dilakukan, namun sudah termasuk sebagai kerjasama secara sadar. b) Kerjasama secara langsung yaitu perwujudan dari tindak pidana itu adalah secara langsung sebagai akibat dari tindakan dari para pelaku peserta itu, dan bukan dengan cara sebagimana ditentuakn dalam Pasal 56. Tindakan A membongkar brangkas dan B mengambil uangnya adalah tindakan yang secar langsung mewujudakan tindak pidana pencurian. Tidak menjadi soal, siapakah diantara mereka yang menyempurnakan tindak pidana itu. Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undangundang, atau telah secara langsung turit melakukan suatu perbuatan atau turut 109
Ibid, hal. 348
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan-perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan seperti yang dimaksudkan diatas. 110 4. Uitlokking (menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana) ialah kesengajaan mengerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan. 111 Bentuk penyertaan penggerakan mirip dengan bentuk penyertaan menyuruh melakukan. Perbedaannya ialah, bahwa pada bentuk penyertaan menyuruh melakukan terdapat syarat-syarat: 112 a) Peserta yang disuruh (manus ministra) adalah peserta yang tidak dapat dipidana, b) Bahwa daya-upaya pada penyuruh (manus domina), tidak dirumuskan secara limitative. Sedangkan syarat-syarat dalam bentuk penyertaan penggerak adalah: 113
110
P.A. F Lamintang, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hal. 626. 111
Ibid, hal. 634.
112
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Op. cIt, hal. 350.
113
Ibid
Universitas Sumatera Utara
a) Yang digerakkan (materiele/fisike dader) dapat dipidana karena telah melakukan suatu tindak pidana seperti halnya penggerak (auctor intetllectualis) dapat dipidana karena menggerakkan, b) Daya-upaya yang digunakan penggerak dirumuskan secara limitatif. 114 B.
Pelaku Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi Para pengguna komputer dan internet tampaknya selalu mempunyai
pikiran ingin mengetahi apa yang terkandung dalam suatu data komputer atau bagaimana sistem atau jaringan intenet, yang sering kali dibarengi keinginan untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Mereka melihat sistem keamanan yang digunakan oleh suatu sistem teknologi informasi sebagai suatu tantangan, dan selalu cenderung berkeinginan untuk menaklukannya. Dalam pelaksanannya mereka sering dapat menerobos sistem pengamanan tersebut, dan kemudian melanjutkan penelitiannya untuk maksud-maksud yang sama sekali bukan untuk kesenangan saja. 115 Para pelaku tindak pidana ini pada umumnya adalah orang yang berpendidikan tinggi dengan penampilan yang cukup representative sehingga tidak memperlihatkan cirri-ciri seoarng penjahat seperti umumnya terlihat pada pelaku tindak pidana lainnya. Dalam teknologi informasi pelaku tampaknya memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Selama ini, secara klasik kejahatan dibagi dua, yaitu blue collar crime dan white collar crime. Para pelaku blue collar crime biasanya dideskripsikan 114
(lihat Pasal 55 ayat (1) sub (2) KUHP, misalnya dengan pemberian sesuatu, dengan janji, dengan menggunkan pengaruh dan lain sebagainya) 115
Ulrich Sieber, ”The Emergence of Criminal Information Law”, dalam Amongst Friends in Computer Law, Computer Series, 1990.
Universitas Sumatera Utara
memiliki steorotip tertentu, misalnya, dari kelas sosial bawah, kurang terdidik, berpenghasilan rendah, dan sebagainya. Sedangkan untuk white collar crime, pelakunya sering digambarkan sebaliknya. Mereka memiliki penghasilan tinggi, berpendidikan, memegang jabatan-jabatan terhormat di masyarakat. Untuk pelaku teknologi informasi, pembagian teoritis seperti itu tampaknya kurang mengena. Pelaku teknologi informasi yang sempat tertangkap kebanyakan remaja, bahkan beberapa di antaranya terhitung masih anak-anak. Sudah barang tentu mereka belum menduduki jabatan-jabatan penting di masyarakat sebagaimana para white collar. Para pelaku ini juga jauh dari profil anak jalanan. Mereka jarang sekali terlibat kenakalan remaja, dari keluarga baik-baik, dan rata-rata cerdas. Menangani anak-anak semacam ini, jelas memerlukan pendekatan tersendiri. Sejauh pengetahuan saya, sampai saat ini belum ada penelitian yang komprehensif tentang pelaku tindak pidana cybercrime. 116 Adapun para pelaku tindak pidana teknologi informasi dapat dilihat dari pengolongan kejahatan atau tindak pidana apa yang dilakukan: 117 1. Katagori pelaku kejahatan Carding Carding (pelakunya biasa disebut carder), adalah kegiatan melakukan transaksi e-commerce dengan nomor kartu kredit palsu atau curian. Pelaku tidak harus melakukan pencurian atau pemalsuan kartu kredit secara fisik, melainkan pelaku cukup mengetahui nomor kartu dan tanggal kadaluarsanya saja. 116
http:///www.crimemedia.org/ Problema yuridis “cyber-crime”.htm/31juli2000/17 febuary 2009, 14.00 WIB 117
http:///www.crimemedia.org/ menjerat pelaku kejahatan cybermedia.htm/ 8 April 2008 /17 febuary 2009, 14.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
2. Kategori pelaku kejahatan Cracking Craking (pelakunya biasa disebut cracker), Dalam kejahatan komputer (computer crime), perbuatan perusakan, penghancuran barang mempunyai pengertian suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak / menghancurkan media disket atau media penyimpan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaanpekerjaan yang melalui proses komputer tidak dapat dilaksanakan . Sedangkan pada kejahatan mayantara perbuatan perusakkan dan penghancuran barang ini tidak saja ditujukan untuk merusak / menghancurkan media disket atau media penyimpan sejenis lainnya melainkan dapat juga perbuatan merusak dan menghancurkan tersebut ditujukan terhadap suatu data, web site ataupun hompe page. Delik ini juga termasuk didalamnya perbuatan merusak barangbarang milik publik (Crime Againts Public Property). 118 3. Kategori pelaku kejahatn Hacking Hacking (pelakunya biasa disebut hacker), perbuatan membobol sistem komputer. Tujuan dari hacker dalam menjalankan atau melakukan aksinya adalah hanyalah untuk memperoleh pengetahuan tentang sistem-sistem komputer dan apabila mugkin menggunakan pengetahuan tersebut untuk sekedar “bercanda” tanpa merugikan orang lain,awalnya demikianlah tujuan para hacker ini. Tapi tujuan yang sebenarnya adalah untuk menunjukkan atau (1) pamer kebolehan karena berhasil masuk kedalam sistem komputer orang lain dengan meninggalkan suatu hal yang merugikan pengguna komputer, (2) 118
Ibid
Universitas Sumatera Utara
merusak sistem komputer, hal ini dapat dilakukan dengan pemerasan terhadap sebuah perusahan-perusahan yang sistem dan program bahkan data dalam komputer perusahaan rusak dengan cara memasuki program atau data-data dengan virus dalam berbagai bentuk, bahkan lebih para para hacker dapat menghapus dan mengubah program dan sistem tersebut menjadi tidak dapat dikendalikan , (3) melumpuhkan sistem komputer yaitu bentuk penyerangan terhadap suatu jaringan komputer yang tujuan akhirnya agar jaringan tersebut bertekuk lutut, dengan cara membanjiri jaringan tersebut dengan lalu lintas data yang tidak bermanfaat (useless traffic) dilakukan terus-menerus sehingga jaringan tersebut down karena overloaded. 119 4. Kategori pelaku kejahatan Cyberstalking Cyberstalking (pelakunya biasa disebut cyberstalker), perbuatan yang sering dilakukan oleh para pelaku cyberstalking ini adalah menyangkut perbuatan harassing (menganggu) atau threatening (mengancam) yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang.
120
Perbuatan ini sama
halnya dengan terror dimana kehidupan pribadi menjadi terusik atas perbuatan pelaku tersebut. Perbuatan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan daalm bentuk tulisan dan kata-kata yang kadang mengancam dan kata-kata yang kotor. Korban dari kejahatan ini bisa siapa saja karena tidak menutup kemungkinan si pembuat juga akan terkena imbasnya. Perbuatan ini dilakukan dengan berbentuk pengiriman pesan baik melalui hand-phone, email pribadi yang terpenting objek yang dituju adalah barang teknologi informasi. 119
Sultan Remy Syahdeini, op,cit, hal. 120-121.
120
Ibid, hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
5. Kategori pelaku kejahatan Cybersquatting Cybersquatting (pelakunya biasa disebut cybersquatter), merupakan kejahatan yang dilakukan seorang speculator untuk mendaftarkan suatu domain name mendahului pihak lain, yaitu pihak yang sesungguhnya akan menggunkan domain name tersebut. Tujuannya untuk ditawarkan kembali kepada pengguna domain name yang sesungguhnya untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dalam artinya bahwa pelaku melakukan suatu penipuan kepada pengguna domain name nantinya dengan cara melakukan pemalsuan identitas pelaku dengan identitas lain agar lebih mudah dipercaya. 121
Dilihat dari sifat kejahatannya diatas maka dapat dikenali siapa-siapa asaja yngdapat dikatakan dengan pelaku dan biasanya disebut seperti apa, namun pada dasarnay setiap pelaku di dalm dunia maya atau kejahatan di dunia teknologi infornasi ini pelaku dikenal dengan sebutan Hacker dan Craker diman tujuan yang mereka capai sama-sama untuk merugikan orang lain sebagai pengguna media teknologi informasi atau jaringan teknologi informasi (produk teknologi informasi). Pelaku-pelaku ini daapt melakukan segala jenis kejahatan dalm bentuk apapun dari mulai yang paling kecil sampai yang besar.
C.
Pertanggung jawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi
1. Pertanggungjawaban Pidana oleh Pelaku Orang Alamiah (Natuurlijk Person) 121
Ibid, hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “torekenbaarheid”,
“criminal
responsibility”,
“criminal
liability”.
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkatan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. 122 Pengertian pertanggungjawaban pidana di dalam Naskah Rancangan KUHPidana 2006 sebagai diteruskan celaan (vewitjhaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi peryaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Sedangkan syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana maka harus ada unsure kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. 123 Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana mengandung di dalamnya pencelaan objektif dan pencelaan subjektif. Artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana (perbuatan terlarang/melawan hukum dan diancam pidana menurut hukum yang berlaku) dan secara subjektif sipembuat patut dicela atau
dipersalahkan/dipertanggungjawabkan
atas
tindak
pidana
yang
hal.66.
122
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2000,
123
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
dilakukkannya itu sehingga ia patut di pidana. Bertolak dari pengertian demikian, maka dalam arti luas, persyaratan pertanggungjawaban pidana pada dasarnya identik dengan persyaratan pemidanaan (penjatuhan pidana/tindakan). Ini berarti, asas-asas pertanggungjawaban pidana juga identik dengan asas-asas pemidanaan pada umumnya, yaitu asas legalitas dan asas culpabilitas. Bahkan bahwa system pertanggungjawaban pidana dalam arti luas tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan sistem (aturan) pemidanan. 124 Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seseorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: 125 1. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku; 2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang; 3. Dan tindakan itu bersifat “melawab hukum” atau unlawful, serta; 4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
1.1 Unsur Kesalahan Pelaku disini adalah orang, bukan makhluk lain. Hubungan pelaku dan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari si pelaku. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang dilakukannya, mengetahui ketercelaan dari tindakannya, dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan
124
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.73. 125
Romli Atmasasmita, op,cit, hal.67.
Universitas Sumatera Utara
tersebut ataiu tidak. 126 Penentuan itu bukan karena ada paksan dari luar maupun dari dalam dirinya, sehingga menyebabkan hapusnya kesalahan pada dirinya atau dengan memakai istilah Roeslan saleh, tiada alasan pemaaf. 127 Perangkat hukum perundang-undangan khususnya hukum pidana materil masih mengandung prinsip pertanggungjawaban karena adanya kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, 128 sehingga untuk pertnggungjawaban suatu perbuatan diperlukan beberapa syarat yakni: 1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealapaan; 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf; 5. Tidak ada alas an pembenaran. Unsur untuk dapat dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindakan. 126
Jennifer A. Quaid, Corporate Criminal Liability, McGill Law Journal, Canada, 1998, hal. 98, yang menyatakan bahwa…..which Ashworth describes as follow: “criminal liability should be imposed only on persons who are sufficiently aware of what they are doing, and of the consequences it might have, [such] that can fairly be said to have chosen behavior and its consequences”. 127
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, op,cit, hal. 251.
128
Sudarto, Hukum Pidana I, Bahan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, Semarang, 1987/1988, hal. 85, bahwa dipidanya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective bresh of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Unjtuk pemidanaan masi hperlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Kesalahan berupa kealapaan atau culpa ayang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asa tiada pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “ Geen Sraf zonder Schuld”. 129 Asas ini tidak ada dalam KUHP atau dalam peraturan lain namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Adapun mengenai pengertian kesalahan, yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain: 130 1. Mezger mengatakan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang member dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana. 2. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-etisch” dan mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat”. 3. Van Hamel mengatakan “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsure-unsur
delik
karena
perbuatannya.
Kesalahan
adalah
pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verant woordelijk rechtens)”. 4. Pompe mengatakan antara lain: ‘pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang 129
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1980, hal. 3.
130
M. Hamdan, op,cit, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari sudut: menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijbaarheid) dan menurut hakekatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya (verwijbaarheid) perbuatan yna melawan hukum. Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unur pencelaan terhadap si pelaku karena telah melakukan tindak pidan (yang telah dirumusakan dalam peraturan perundangundangan) dan menganung unsure pertanggungjawaban dalam hukum pidana. 131 1. Kesengajaan Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel wetboek) tahun 1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemamuan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undangundang”. Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Crimineel Wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), dijelaskan: “sengaja” diartikan: “dengan sadar dan kehendak melakukan kejahatan tertentu”. 132 Didalam Memori van Toelichting (MvT) WvS belanda ada sedikit keterangan mengenai kesengajaan ini, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umunya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. 133 131
Ibid, hal. 74.
132 Mahmud Mulyadi, Proses Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Studi Kasus Pencenaran Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara), Tesis pada Program Pascasarjana USU, Medan, 2001, hal.59. 133
Adami Chazawi,op,cit, hal. 92
Universitas Sumatera Utara
Kesengajaan terdiri atas tiga (3) bentuk yaitu: 134 a. Kesengajaan sebagai maksud, sama artinya dengan menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuataan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana aktif), dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana meteril). b. Kesengajaan sebagai kepastian, adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbutan tertentu. c. Kesengjaan sebagai kemungkinan, ialah kesengajaan untuk melakukan perbutan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu. 2. Kealpaan Didalam Undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum idana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau cirri-cirinya adalah: a. Sengaja melakukan suatau tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya (sebaikbaiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataaan lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan. b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekitanya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk
134
Ibid
Universitas Sumatera Utara
tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurunglkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela karena bersifat melawan hukum. Perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan semata-mata diperlukan dalam pemidanan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh sebab itu hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah. 1.2 Kemampuan Bertanggungjawab Kemampuan pertanggungjawaban
bertanggungjawab pidana.
merupakan
Tidaklah
salah
mungkin
satu
unsure
seseorang
dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian tentang hal ini, yang berhubungan dengan hal ini ialah pasal
44:
“Barang
siapa
melakukan
perbuatan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbunya atau jiwa yang terganggu karena penyakit:. Namun dalam literature hukum pidana dapat ditemui bebrapa pendapat tentang hal ini. Menurut Roeslan Saleh, mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. 135 Simons memberikan pendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanan. 136 Bahwa seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat yakni mampu mengetahui atau 135
136
Sudarto, op,cit, hal. 93. Ibid
Universitas Sumatera Utara
menyadari bahwa perbuataanya bertentanagn dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab atas suatu tindakan pidana itu, pada umumnya: 137 a. Keadaan jiwanya: 1) Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair); 2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (idiot, imbecile, gagu, dan sebagainya); 3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh obat sadar, mengigau karena demam, dan lain-lain. b. Kemampuan jiwanya: 1) Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya; 2) Dapat
menetukan
kehendaknya
atas
tindakan
tersebut,
apakah
dilaksanakan atau tidak; 3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Keadaan jiwa yang bagaimana yang disebut dengan jiwa cacat alam pertumbuhannya (gebrekkige ontwikkeling) dan terganggunya jiwa karena penyakit (ziekelijke storing) tidak terdapat penjelasan lebih jauh dalam Undangundang Pompe mengatakan bahwa jiwa cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige ontwikkeling) dan terganggung jiwa karena penyakit (ziekelijke storing) adalah bukan pengertian dari sudut kedokteran, tetapi pengertian hukum. Karena yang pokok disini bukan semata-mata pada keadaan jiwa si pembuat, tetapi tentang bagaimana hubungan jiwa si pembuat itu dengan perbuatan yang dilakukan. 137
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Op. cIt, hal. 249
Universitas Sumatera Utara
Apakah ada hubungan yang sedemikian rupa eratnya, sehingga si pembuat tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Untuk menetapkan ada atau tidaknya hubungna keadaan jiwa dengan perbuatannya itu adalah wewenang hakim, dan bukan ahli jiwa. 138 Berdasarkan Pasal 44 tersebut diatas dan pendapat-pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa kemampuan bertanggungjawab seseorang ditentukan oleh faktor akal. Orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menetukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki hukum, meskipun dalam kenyataanya ada orang yang tidak menyesuaikan kehendaknya dengan ynag dikehendakinya oleh hukum. Sebagaimana Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada: 1)
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum;
2)
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. 139 Dalam tindak pidana di bidang teknologi informasi agaknya sulit untuk
mengatakan bahwa keadaan jiwa pelakunya gila, tidak dalam keadaan sadar dan sebagainya seperti yang diuraikan dalam pendapat-pendapat diatas, sebab menurut kami penulis tidaklah mengkin orang gila atau oarng yang tidak sadar mampu melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi. Oleh karena tindak pidana teknologi informasi sebagian besar dilakukan dengan system teknologi
hal. 23.
138
139
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Sebagaimana dikutif oleh Mahmud Muliyadi dalam tesisnya, op,cit, hal.58.
Universitas Sumatera Utara
yang canggih dan dimana diperlukan suatu kemapuan sedikitnya mengenal bagian dari teknologi walaupun secara dasar saja. Bentuk-bentuk tindak pidana teknologi informasi dapat dilakukan oleh orang alamiah yaitu oleh para pelaku teknologi informasi itu sendiri dan berdsarkan hal-hal tersebut diatas dapat dikonstruksikan tentang pemidanan terhadap pelaku nantinya. 1.3 Tidak Ada Alasan Pembenar Alas an pembenar merupakan alas an yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Alas an pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah daya paksa (Pasal 48), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1)), melakukan ketentuan undang-undang (Pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1)). A. Tentang Daya Paksa Pasal 48 berbunyi: “ Barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Khusus mengenai daya paksa (overmacht) yang diatur dalam pasal 48 KUHP masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menagtakan sebagai alas an pembenar dan ada yang menyatakan sebagai alas an pemaaf, bahkan ada yang menyatakan sebagai alas an pembenar dan ada pula sebagai alasan pemaaf. 140 Yang menjadi persoalan sekarang ini ialah, apkah daya paksa yaitu daya yang memaksa itu merupakan paksaan pisik, terhadap nama orang yang terken tak dapat menghindarkan diri, tau merupakan paksaan psychis, dalam batin, terhadap 140
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonseia, Bayumedia, Malang, 2004, hal. 114.
Universitas Sumatera Utara
mana meskipun secara fisik orang masig dapat menghindarkannya, namun daya itu adalah sedemikian besarnya, sehingga dapat dimengerti kalau tidak kuat menahan daya tersebut. Kekuatan fisik yang mutlak yang tak dapat dihindari dinamakan vis absoluta, sedangkan kekuatan psychis dinamakan vis compuslsiva, karena sekslipun tidak memaksa secara mutlak, tetapi memaksa juga. 141 Mengenai vis compulsive biasanya ini dibagi dalam daya paksa dalam arati sempit (overmacht in enge zin) dimana sumber atau musababnya paksaan keluar dari orang lain, dan keadaan darurat noodtoestand) di mana daya tadi tidak disebabkan oleh oaring lain, tetapi timbul dari keadaan-keadaan yang tetentu. Juga dikatakan, bahwa dalam daya paksa yang sempit, inisyatif untuk berbuat kearah perbuatan yang tetentu, ada pada orang yang member tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat, orang yang terkena, bebas untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan. Insiatif ada pada dirinya sendiri. 142 B. Pembelaan Terpaksa Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi: “tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga”. Rumusan diatas tersebut dapat ditarik unsure-unsur sutau pembelaan terpaksa (nodweer) tersebut: 1) Pembelaan itu bersifat terpaksa, 141
Moeljatno, op,cit, hal. 114.
142
Ibid, hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
2) Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, 3) Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu, 4) Serangan itu melawan hukum. Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas kperluan dan keharusan. Asas ini disebut asas subsidiaritas (subsidiariteit). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan car yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Tidak semua alat dapat dipakai. Hanya yang pantas, masuk akal. 143 C. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang Pasal 50 KUHP berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Dalam memastikan apakah orang sedang berhadapan dengan suatu ketentuan yang “meletakkan suatu kewajiban” ataupun dengan suatu ketentuan yang “memberikan suatu hak”, maka menurut Profesor Noyon, yang sangat menentukan bukannya rumusan ketentuan undang-undang itu sendiri, melainkan “de strekking”, atau “tujuan” ketentuan undang-undang tersebut. Bahwa perbuatan apa yang boleh dilakukan itu batasnya, tidaklah boleh melakukan semua-muanya perbuatan, melainkan haruslah sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan undang-undang tersebut. 144 143
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 159.
144
Adami Chazawi,op,cit , hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
D. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah Pasal 51 ayat (1) berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabantan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan peraturan undang-undang yang telah diterangkan sebelumnya. Dalam arti pada kedua-duanya dasar penaiadaan pidana itu mengahapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Juga dimaksudkan pada kedua-duanya adalah berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenagan berdasarkan perintah undang-undang maupu perintah jabantan. 145 Perbedaannya ialah pada perintah jabantan ada hubungan public antara orang yang member perintah dan orang yang diberi perintah yang dalam melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenagan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang (sah), sedangkan pada menjalankan perintah undang-undang keabsahan menjalankan perintah itu ada pada undangundangnya. 146 1.4 Tidak Ada Alasan Pemaaf Alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelkunya, yaitu tak mampu bertanggungjawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dan dengan itikad baik melaksankan perintah jabantan yang tidak sah. A. Tidak Mampu Bertanggungjawab 145
Ibid
146
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pasal 44 KUHP berbunyi: 1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadannya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertangungjawabkan kepada pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan gsupaya orang itu dimaksukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan. 3) Ketetentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1) jelas ada 2 penyebab tidak dipidananya berhubung dengan tidak mampunya bertanggungjawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, yaitu; 1. Karen jiwanya cacat dalam pertumbuhannya;dan 2. Karena tergaggu jiwanya dari sebab pertumbuhannya. Menurut Van Hattum, pertumbuhan yang tidak sempurna seperti dimaksud di atas haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang tidak sempurna secara biologis dan bukan secara kemasyarakatan, misalnya apa yang disebut “imbesilitas”
ataupun
yang
juga
sering
disebut
“onnozelheid”
atau
“swakzinigheid” atau yang juga sering disebut dengan perkataan “lemah pikiran” dan juga apa yang disebut “idioote”, “stomzinnigheid”, “achterlijkheid”. Dengan demikian tidak termasuk ke dalam pengertian pertumbuhan yang tidak sempurna itu adalah misalnya keterbelakangan atau pertumbuhan yang tidak sempurna karena kurangnya perhatian dari orangtua terhadap seorang anak atau kurangnya
Universitas Sumatera Utara
pandidikan yang telah diperoleh dari seseorang. 147 Van hattum juga berpendapat bahwa dapat pula dimaksukkan ke dalam pengertian “pertumbuhan yang tidak sempurna” seperti dimaksud diatas, yakni pertumbuhan yang tidak sempurna dari orang-orang buta atau bisu-tuli sejak lahir. 148 Kembali kepada syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 44 tersebut, yang dimaksud dengan keadaan jiwa yang cacat karena pertumbuhannya ialah seseorang yang sudah dewasa, tetapi perangainya seperti anak-anak. Keadaan seperti ini disebut sebagai “dungu”, setengah matang atau idiootime, imbeciliteit, yang
diakibatakan
oleh
keterlambatan
pertumbuhan
jiwa
seseorang.
Keterlambatan yang mungkin karena jiwanya sangat tumpul, mungkin karena sejak lahirnya dungu atau tuli, sehingga sukar menerima untuk mengisi jiwanya. Dan yang dimaksudkan dengan jiwa terganggu krena penyakit ialah yang jiwanya semula adalah sehat, tetapi kemudian dihinggapi oleh penyakit jiwa yang sering disebut sebagai “gila” atau “pathologische ziektetoestand”. 149 Seseorang yang diyakini dihinggapi oleh penyakit secara terus-menerus tetapi mungkin juga secara sementara (temporair) atau kumat-kumatan. Dalam hal ini gila kumat-kumatan yang termasuk cakupan pasal 44 adalah jika gilanya sedang kumat. Selain daripada gila kumat-kumatan, dikenal pula adanya “kegilaan” untuk sesuatu perbuatan yang juga dapat dimasukkan dalam pengertian pasal 44, yang disebut sebagai: 150
147
P.A. F Lamintang, op.cit, hal. 140.
148
Ibid
149
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Op. cIt, hal. 258.
150
Ibid
Universitas Sumatera Utara
1. Kleptomani, yaitu kegilaan untuk mencuri sesuatu macam barang tetentu, tanpa disadarinya, atau diluar kehendaknya. Misalnya kegilaan untuk mengambil korek api atau sendok, sedangkan lain-lain jenis barang tidak. Jadi setiap ia melihat korek api di luar sadarinya terus saja dikantonginya lalu pergi. 2. Pyromanie, yaitu kegilaan untuk melakukan pembakaran, tanpa alasan sama sekali atau alasan yang tidak selas, dan tentunya tanpa kehendak. Juga dalam keadaan ini, seseorang itu untuk perbuatan lainnya adalah waras. 3. Nymphomanie, yaitu kegilaan pada seorang laki-laki yang jika bertemu dengan seorang wanita, maka berbuat yang tidak layak/senonoh. Lebih lanjut ada juga suatu jenis kegilaan yang sering diebut sebagai penyakit “epilepsy” (penyakit ayan), adalah suatu penyakit jiwa tertentu di mana penderita tidak berdaya sama sekali jika ia sedang stuip (mulut berbusa dan mengelepar-mengelepar). Lain daripada itu dikenal pula apa yang disebut dengan “insania moralis” yaitu kegilaan tertentu mengenai kesopanan atau kesusilaan. 151 B. Pembelaan Terpaksa Yanag Melampaui Batas Pasal 49 ayat (2) berbunyi: “pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung di sebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana”. Apa yang dimaksud dengan melampaui batas adalah (1) Melamapui apa yang perlu, dan (2) boleh dilakukan serangan telah tiada. Keistimewaan ini pada
151
Ibid, hal. 259.
Universitas Sumatera Utara
dasarnya merupakan perkecualiaan pembelaan darurat pada ayat pertama, yang terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat (hevige gemoedsbeweging). 152 Di dalam rumusan pasal 49 ayat (2) dapat disimpulkan penyebab kegoncangan jiwa yang hebat itu adalah adanya serangan atau anacaman, serangan yang melawan hukum terhadap kepentingan hukumnya. Jadi disini ada hubungan kaisal (causal verband) antara serangan dengan kegoncongan jiwa yang hebat. Serangan atau ancaman serangan yang bagaimana atau apa ukuran serangan atau ancaman serangan yang langsung dapat menjadi penyebab kegoncangan jiwa yang hebat itu? Tidaklah dapat ditentukan secara umum, melainkan berdasarkan kasus peristiwanya, apakah dari peristiwa konkrit itu menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya dapat langsung menimbulkan kegoncangan jiwa hebat harus dilihat pada akal pikiran orang pada umunya dalam kasus konkrit tetentu. Apabila menurut akal pikiran orang normal pada umunya serangan atau ancaman serangan itu dapat menimbulkan kegoncangan jiwa yang hebat, maka disitu trdapat kegoncangan jiwa yang hebat. 153 Sedangkan kapan pembelaan terpaksa yang melampui batas itu dapat dilakukan, inilah sepanjang jiwa tersebut masih dalam kegoncangan yang hebat, walaupun serangan itu telah berakhir. Tetapi tidaklah dapat dilakukan apabila ancaman serangan itu belum ada sama sekali, misalnya, seorang takut akan diserang, maka dia menyerang duluan. Hal ini ternyata dalam suatu pertimbangan
152
Adami Chazawi, op.cit, hal. 52.
153
Ibid, hal. 54.
Universitas Sumatera Utara
bahwa “seorang yang takut akan diserang ia belum diperkenankan untuk menyerang dahulu”. 154 C. Dengan Itikad Baik Melaksanakan Perintah Jabatan yang Tidak Sah Pasal 51 ayat (2) berbunyi: “perintah jabatan tanpa wenang , tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila yang menerima perintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Menurut Vos,mengenai ketentuan pasal 51 ayat (2) ini, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanan, harus memenuhi dua syarat: 155 1) Syarat subjektif: pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa printah itu dating dari yang berwenang. 2) Syarat objektif: pelaksanan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan. Ratio dari adanya syarat subjektif dan objektif bagi alasan peniadaan pidana dalam hal pelaksanaan perintah tanpa wenang dengan itikad baik ini, ialah pembentukan undang-undang tidak menghendaki pelaksanaan suatu perintah jabatan dengan tanpa piker atau membabi buta, atau disebut Moeljatno dengan disiplin bingkai atau kadaver disiplin, atau apa yang oleh masyarakat disebut dengan disiplin mati. Oleh sebab itu si penerima perintah jabatan ada kewajiban hukum untuk menilai setidak-tidaknya menggunakan akal untuk melakukan 154
Ibid
155
Andi Hamzah, op.cit, hal. 163.
Universitas Sumatera Utara
perkiraan tentang hal apa atau isi yang diperintahkan dan siapa yang memerintahkan. 156 2
Tanggungjawab Badan Hukum Pelaku Tindak Pidana Teknologi Informasi Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate
crime adalah “a crime committed either by a corporate body by its representatives acting on its behalf”, Example: include price fixing and consumer fraud. 157 (kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi atau yang mewakilinya dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya, seperti; penetapan harga, penipuan konsumen). Freda Adler, mengatakan corporate crime sebagai “….criminal act committed by one more employees of a corporations that is attributed to the organization it self”. 158 (kejahatan korporasi adalah suatu perbuatan criminal yang dilakukan oleh seorang pegawai atau lebih dari suatu yang dihubungkan dengan korporasi stu sendiri). Kejahatan korporasi adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi yang kuat dan biasanya berbentuk dengan kedudukannya di korporasi tersebut, baik sebagai
156
Adami Chazawi, op.cit, hal. 52.
157
Bryan A. Garner, Bleck’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul Minnesota, 1999, hal.333 158
Freda Adler, Criminology, Second Edition The Shorter Version, McGraw-Hill Inc, USA, 1995, hal.296.
Universitas Sumatera Utara
direktur, maneger dan lain sebagainya dalam rangka mencapai keuntungan dan tujun korporasi tersebut. 159 Djoko Sarwoko menyatakan: bahwa “tindak pidana korporasi (corporate crime), pada dasarnya adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh pegawai daripada korporasi, pada setiapn tingkatan, yang dapat mengakibatkan tanggung jawab pidana maka, baik pegawai secara pribadi maupun korporasi atau keduaduanya secara bersama-sama dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana”. 160 Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekonomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. 161 Keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha dengan istilah “korporasi” dalam bidang hukum pidana telah dapat diterima dan diakui sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahannya yang sering timbul adalah hubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari korporasi tersebut, oleh karena pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Maka menjadi persoalan bagaimana mengkontruksikan 159
Mahmud Mulyadi, Sebuah Tulisan dalam Bunga Rampai Hukum Pidana dan kriminologi Serta Kesan Pesan Sahabat Menyambut 70 tahun Prof. H. Muhammad Daud, SH, op. cit, hal. 205. 160
Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut studi kasus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.27. 161
http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/ 18april 2009/14.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
kesalahan korporasi dan karena itu dapat diminta pertanggungjawaban pidana terhadapnya. 162 Alvi Syahrin dalam tulisanya yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”. Menyatakan bahwa konstruksi kesalahan dan pertanggungjawaban pidana korporasi untuk Indonesia mungkin dianggap masih belum dijawab dengan memuaskan oleh kalangan ahli hukum. Dikatakan demikian, karena sebenarnya sudah cukup banyak pendapat kalangan ilmu hukum yang membicarkan baik secara lisan, maupun tulisan. Hal ini dapat dilihat sedikitanya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Hal ini menyebabkan tidak adanya acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia. 163 Pertanggungjawaban suatu Badan Hukum sebagai pelaku dalam bidang Teknologi informasi telah ada diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ketentuan mengenai pertanggungjawaban badan hukum ini tercantum dalam Pasal 52 ayat (4), yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.” Adapun perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 sampai Pasal 37, yaitu sebagai berikut:
162
Ibid
163 Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Makalah pada seminar Nasional tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Medan, 2002, Hal.7.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 27 (1)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 28 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yangmengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Universitas Sumatera Utara
Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakutnakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 30 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 31 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan
apapun
maupun
yang
menyebabkan
adanya
perubahan,
Universitas Sumatera Utara
penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. (3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. Pasal 33 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 34 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
menjual,
mengadakan
untuk
digunakan,
mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a). perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b). sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Pasal 35 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Pasal 36 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Penjelasan Pasal 52 ayat (4) UU ITE berbunyi: Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsure sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk: a. Mewakili korporasi; b. Mengambil keputusan dalam korporasi; c. Melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi; d. Melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi. Telah dikemukakan di atas bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana pertama-tama harus dipenuhi persyaratan objektif, yaitu perbuatannya harus merupakan tindak pidana menurut hukum yang berlaku. Dengan perkataan lain, untuk adanya pertanggungjawaban pidana, pertama-tama harus dipenuhi asas legalitas, yaitu harus ada dasar/sumber hukum (sumber legitimasi) yang jelas, baik di bidang hukum pidana materiel/substantive maupun hukum pidana formal. 164 Korporasi dalam melakukan segala tindakan hukum maka akan menimbulkan
suatu
pertanggungjawaban
juga.
Sehubungan
dengan
pertanggungjawaban atau kemampuan bertanggungjawab sebagai subjek tindak pidana di bidang teknologi informasi, terlebih dahulu harus dijelaskan perlu 164
Badda Nawawi, op.cit. hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
adanya
kemampuan
bertanggungjawab
dan
kriteria
untuk
menentukan
kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang teknologi informasi. Kontruksi kemampuan bertanggungjawab korporasi dalam tindak pidana di bidang teknologi informasi menunujukan penerimaan terhadap konsep kepelakuan fungsioanl (functionnel daderschap), dimana perbuatan pengurus fungsional korporasi dianggap menjadi perbuatan organisasi korporasi tersebut. Mengenai funtioneel daderschap pendapat Wolter yang terdapat dalam bukunya Edy Yunara, yang berjudul “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (berikut studi kasus) bahwa keperlakuan fungsional (functioneel daderschap) adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasi tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat. 165 apabila kita menerima konsep functioneel daderschap, kemampuan bertanggungjawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu, kemampuan bertanggung jawab orang-orang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana. 166 Cirri khas dari kepelakuan fungsional, yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang
165
Edy Yunara, op.cit, hal. 30.
166
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya melakukan atau membuatnya) menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain. 167 Untuk meyakini adanya interpretasi fungsional dari hakim harus melalui 3 tahap antara lain, tahap pertama, kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk undang-undang, tahap kedua, pribadi yang manakah dalam kasus pidana ini yang dapat menjalankan dan melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan tindak pidana itu. Hal ini perlu bilamana hakim telah menetapkan bahwa dengan penjelasan yang wajar secara harafiah (normale, letterlijk uitlag) ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya tahap ketiga, diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian secara sah (wetig bewijs), untuk membuktikan bahwa hal itu dilakukan oleh terdakwa dalam kaitan tahap pertama dan kedua. 168 Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana di bidang Teknologi Informasi tidak saja dalam hal yang melakukan kegiatan tindak pidana dalam teknologi informasi secara langsung, namun bagi setiap pihak yang terlibat secara tidak langsung juga dapat dipidana dengan pidana yang sama dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi. Dalam buku Sultan Remy Sjahdeini tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana hanya apabila memenuhi semua unsure sebagai berikut: 169 167
J.E Sahetapy, Kejahatan korporasi, Eresco, Bandung, 1994, Hal. 37.
168
Ibid
169 Sultam Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hal. 118
Universitas Sumatera Utara
1. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di daalm struktur organisasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi; 2. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi (sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar korporasi); 3. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku (para pelaku) atau atas perintah pemberi peintah dalm rangka tugasna dalam korporasi; 4. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh pelaku atau para pelakunya dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi baik manfaat yang bersifat financial maupun non—finansial; 5. Pelaku (para pelaku) atau pemberi perintah tindak pidana tersebut tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawab pidana;dan 6. Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsure perbuatan (actus reus) dan unsure kesalahan (mens rea), kedua unsure tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat pada satu orang saja bila perbuatan tersebut dilakukan oleh beberapa oarng sebagai kelompok daalm melakukan tindak pidana tersebut. Dengan kata lain, mens rea dari tindak pidana itu terdapat pada orang yang berlainan dengan orang yang melakukan actus reus dari tindak pidana tersebut, namun mereka merupakan satu kelompok dalam mewujudkan terlaksananya tindak pidana tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan diawal bahwa tindak pidana teknologi informasi mempunyai karakteristik yang khas, yaitu bahwa “barang” yang menjadi objek dari tindak pidana adalah informasi selain itu tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
tersebut bukanlah mengandalakan kemapuan fisik seperti halanya tindak pidana lain, tapi yang diandalkan adalah kemampuan untuk mempelajari situasi teknologi informasi yang berkembang pada masa ini. Salah satu unsur yang terpenting agar tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi dapat dibebankan suatu pertanggungjawaban piadan, apabila perbuatan itu dilakukan hanya memberikan manfaat kepada pelakunya saja secara pribadi dan tidak memberikan keuntungan apa pun kepada kortporasi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang diwakili oleh pengurus. Suatu legal person (korporasi) dapat dipidana hanya apabila natural person yang melakukan perbuatan tersebut memiliki suatu leading position (jabatan yang menejtukan) di dalam korporasi tersebut berdasarkan adanya: 170 1. Kewenangan dari orang itu untuk mewakili korporasi, 2. Suatu otorisasi untuk mengambil keputusan untuk dan atas nama korporasi, 3. Suatu otorisasi untuk melakukan pengendalian di dalam korporasi. Ketiga unsur inilah yang telah diadopsi oleh UU ITE, namun UU ITE menambahakan satu unsure lagi sebagai unsure keempat, yaitu “melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi”, Namun demikian sesungguhnya seperti yang dikemukakan diatas bahwa untuk menentukan pertanggungjawaban tersebut adalah kembali lagi pada interpretasi hakim akan kepelakuan fungsional. Terdapat 7 (tujuh) konsep yang merupakan perkembangan dari diskursus doktrin-doktrin mengenai tanggungjawab pidana korporasi. Konsep-konsep
170
Sultan Remy Sjahdeini, op.cit, hal.260.
Universitas Sumatera Utara
tersebut secara kontektual sesuai dengan eksplorasi mengenai kecenderungan konsep yang dipakai dalm RUU KUHP. Tujuh konsep tersebut adalah: 171 1. Identification Doctrine The identification doctrine merupakan perbuatan/kesalahan “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasi sebagai perbuatan/kesalahan korporasi. Teori ini disebut juga doktrin/teori “alter ego” atau “teori organ”: a. Arti sempit (Inggris) hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. b. Arti luas (Amerika serikat) tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen dibawahnya. 172 Menurut doktrin ini, bila seorang yang cukup senior dalam struktur Korporasi, atau dapat mewakili Korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Celia Wells: 173 “So far we have assumed that are two routes to blaming a corporation, the all inclusive vicarious principle and the restrictive alter ego theory, indentifying the company only with ats most senior afficers”
171
www.elsam.or.id/tanggungjawab pidana korporasi dalam ruu kuhp/18april2009/14.00
WIB 172
Barda Nawawi Arief, Kepita selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 233. hal.222
173
Celia Wells, Development in corporate Liability in
England and Wales, cardit,
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu
Korporasi
dan
Individu,
namun,
suatu
korporasi
tidak
dapat
diidentifikasikan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan oleh karena itu korporasi tidak daapt bertanggungjawab. Dalam kasus semacam ini tuntutan hanya daapt dilakukan terhadap individu tersebut, tetapi korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan bahwa korporasi tidak daapt berbuat atau melakukan sesuatu kecuali melalui manusia yang mewakili mereka. 174 Doktrin
ini
mengajarkan
bahwa
untuk
dapat
membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi,siapa yang melakukan tindak pidana tersebut harus mampu diidentifikasikan oleh penuntut umum. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan “directing mind” dari korporasi tersebut, maka pertanggungjawaban tindak pidana itu baru dapat dibebankan kepada korporasi. 175 Namun terdapat keberatan yang cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan korporasi-korporasi besar dimana kemungkinannya sangat kecil seorang senior manager akan melakukan suatu perbuatn secara langsung (actus reus) atas suatu tindak pidana dengan disertai mens rea. Dalam hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka tanganya berlumuran dengan darah. Lebih lanjut, dalam sejumlah kasus pada korporasi dengan struktur organisasi yang besar dan konpleks, hampir mustahil 174
A.H. Semendawai, Tanggungjawab Pidana Korporasi Dalam RUU KUHP, ELSAMLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Hal.9. 175
Sultan Remy Sjadeini, op,cit, hal.100.
Universitas Sumatera Utara
bagi pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna memastikan individuindividu yang sesungguhnya melakukan kejahatan 176 2. Aggregation Doctrine Ajaran identifikasi atau identification doctrine dianggap tidak cukup untuk dapat digunakan mengatasi realita proses pengambilan keputusan dalam banyak perusahan modern. Oleh karena itu, telah disarankan beberapa metode alternative untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana pada suatu korporasi. Salah satu dari metode itu adalah meberlakukan aggregation doctrine atau ajaran agregasi. 177 pengetahuan
Berdasarkan ajaran ini, korporasi mengumpulkan gabungan dari
berbagai
pegawai
untuk
menetukan
siapa
yang
bertanggungjawab. Perusahaan mengumpulkan semua unsure mental dari berbagai orang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan lalu kemudian dianggap seolah-olah dilakukan oleh satu orang saja. Lebih lanjut Daniel Branco dalam tesisnya menyebutkan: “under the aggregation theory, the corporation aggregates the composite knomledge of different afficers in order de determine liability. The company aggregates all the acts and mental elements of the important or relevant persons within the company to establish whether in toto they would amount to a crime if they had all been committed by one person”. Berbeda dengan pendapat Celia wells tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan apakah tanggung jawab pidana korporasi secara
176
Ibid
177
A.H Semendai, op.cit, hal.10
Universitas Sumatera Utara
keseluruhannya tindakan mereka akan meruapakn suatu kejahatan atau seniali dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. 3. Reactive Corporate Fault Suatu pendekatan berbeda tentang tanggung jawab pidana korporasi yaitu dengan mengemukan bahwa perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang bertanggungjawab dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin kesalahan tersebut tidak akan terulang kembali. 178 Apabila korporasi mengambil langkah penangan yang tepat, makan tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi apbila korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejahatan terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan yang dilakkan oleh pekerjanya. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu mewajibkan korporasi sendiri melakukan penyidikan yang sesuai, bukannya waktu negara yang melakukannya. Hal ini tidak akan menghemat waktu dan uang public, tetapi, seringkali, korporasi ini sendiri memiliki kemampuan terbaik untuk memahami dan menembus struktur organisasinya yang kompleks. 4. Vicarious Liability 178
Sebagaimana yang dikutip oleh Daniela Holler Branco dalam tetisnya :”Towards A New Paradigm for Corporate Criminal Liability In Brazoil: Lessons From Commom Law Developments”, University of Saskatchewan, Canada, 2006, hal.150.
Universitas Sumatera Utara
Teori atau doktrin ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut asas respondeat superior, dimana ada hubungan antara master dan servavt atau antar principal dan agent berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se. menurut maxim yang berbuat mellaui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu. 179 Dalam hukum pidana hal ini sesungguhnya tidak bealasan bahwa seseorang yang tidak melakukan kesalahan dihukum atas kesalahan orang lain. Bagi penganut paham utilitarian pidana hanya dapat dijatuhkan apabila dapat menimbulkan efek jera sedangkan dalam pendapat umum menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang tidak melakukan kejahatan dan tidak dapat melakukan tindakan pencegahan tidak memiliki efek jera kecuali hanya demi keadilan semata. Apabila majikan lalai dalam mengawasi pekerjanya ada kemungkinan maaf dia dihukum tetapi kemudian dia dihukum atas kelalainnya bukan atas kesalahan orang lain. Pertanyaanya adalah: apakah konsep tersebut dapat diberlakukan pula dalam hukum pidana? Bukankah dalam hukum pidana yang berlaku selama ini pertanggungjawaban pidana hanya kepada orang yang telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan? Dalam perkembangan terjadi dalam hukum pidana,ternyata pada saat ini, berdasarkan asas yang menyimpang dari asas umum
179
Sultan Remy, op.cit, hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
tersebut di atas, suatu pihak daapt dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain. 180 Doktrin ini, yang semula dikembangkan berkaitan dengan konteks pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum (tortuous liabily) dalam hukum perdata, dengan ragu-ragu telah diambil alih ke dalam hukum pidana terutama apabila tindak pidana tersebut adalah jenis tindak pidana yang merupakan absolute liability offences (strict liability ooffces), yaitu tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya mens rea bagi pemidanaannya. 181 Dengan melintasi semua masalah yang ada hubungannya dengan doktrin lain, seperti menemukan orang yang cukup penting di dalam korporasi yang telah melakukan kejahatan. Dengan doktrin ini, maka sepanjang seseorang itu bertindak dalam bidang pekerjaannya dan telah melakukan suatu kejahatan maka perusahaan daapt dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini akan mencegah perusahaan melindungi dirinya dari tanggungjawab kriminal dengan melimpahkan kegiatan illegal hany kepada pekerjanya saja. 5. Management Failure Model Lahirnya konsep seperti ini karena, pada masa komisi hukum Inggris telah mengusulkan satu kejahatan pembunuhan tanpa rencana (manslaughter) yang dilakukan oleh korporasi ketika ada kesalahan manejemen oleh korporasi yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini diidentifikasikan dengan mengacu ke gagalan 180
Glanville Williams, Textbook Of Criminal law, Stevens& Sons, London, 1978, hal.
181
Sultan Remy, op.cit, hal. 86.
925.
Universitas Sumatera Utara
manajemen (sebagai lawan dari kegagalan korporasi), sebab secara implisit komisi hukum Inggris melihat orang-orang daalm korporasi yang melakukan kejahatan dan syarat dari kejahatan yang mereka usulkan, yaitu “pembunuhan akibat kesembronoan/kelalaian” tidak tepat diterapkan kepada korporasi. Berdasarkan hal itu, kejahatan didesain tanpa mengacu ke konsep klasik mens rea dalam rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi. 182 Berdasarkan padangan di atas maka konsep ini tidak lebih dari perluasan identification doctrine. Daripada melihat kegagalan dari pihak individu atau kelompok individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang dilihat adalah kegagalan manajemen. 6. Corporate Mens Rea Doctrine Pada awalnya doktrin in dikenal dengan istilah “corporate ethos standard” atau “strategic mens rea”. Gagasan ini paling radikal yang oleh Fisse disebut sebagai “strategic mens rea” dimana mens rea dimanifestasikan melalui hirarki dan kebijakan perusahan. Sebuah pendangan yang menyatakan betapa pentingnya pemahaman akan sejumlah kegiatan-kegiatan perusahan. Teori organisasi menekankan bahwa korporasi memiliki kebaradaan yang lebih penting dari pekerjanya, direktur, agen dan para original incoprporators. Lebih lanjut keputusan korporasi merupakan hasil dari seluruh prosedur dan proses persetujuan internal yang tidak dapat ditelusuri kepada pribadi yang memberikan kontribusi terhadap kebijakan tersebut. Berdasarkan pandangan inilah maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka dan pkerja dan 182
http”//www.lawlink.nsw.com/ pages/ Criminal Liability/14april2009/14.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
men rea-nya dapat ditemukan dalam prakek dan kebijakan korporasi. Barangkali mudah untuk memahami gagasan tentang pengabaian besar yang dilakukan korporasi tidak membutuhkan unsur mental element. Ini penting untuk ditekankan bahwa keduanya, yaitu kesembronoan atau maksu, dapat ditemukan di dalam kebijakan-kebijakan, operasional prosedur dan lemahnya tindakan pencegahan korporasi. 183 7. Specific Corporate Offences Komisi hukum inggris telah mengusulkan bahwa satu kejahatan baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing” telah diperkenalkan dalam hukum inggris. Kejahatan ini akan merupakan suatu species terpisah dari manslaughter yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalahmasalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi. Bila argumentasi yang digambarkan di atas mengenai korporasi diterima, tentu saja tidak diperlukan lagi kejahatan khusus korporasi. Prinsip-prinsip umum dapat diterapkan. 184 Kejahatan korporasi tidak sejahat yang sebenarnya. Untuk alasan yang sama, usaha untuk membuat kejahatan korporasi yang memfokuskan pada resiko yang ditimbulkannya yang kemungkinan akan menimbulkan kerugian yang serius akan mengalami kegagalan, dalam member label kejahatan secara fair dan mengkomunikasikan seriusnya kejahatan korporasi. 185
183
A.H Semendai, op.cit, hal.14
184
Ibid, hal. 14
185
Ibid, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP Berdasarkan uraian diatas dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka yang menjadi kesimpulan dan saran sebagai penutup dari tulisan ini adalah:
A. Kesimpulan 1. Tindak pidana di bidang teknologi informasi merupakan bagian dari perkembangan teknologi khususnya di bidang komputer dan internet, mempercepat proses globalisasi di semua aspek kehidupan. Percepatan itu juga didukung oleh penemuan-penemuan dalam dunia tanpa batas dan tanpa aturan ini. Sehingga peradaban manusia mengalami perubahan yang sangat besar dan mengagumkan pada zaman sekarang ini. Perubahan tersebut menyangkut pergaulan yang tidak terbatas dengan menggunakan media telekomunikasi.
Perkembangan
lingkungan-pun
ikut
berubah
karena
masyarakat yang berada di lingkungan tersebut telah mengalami perubahan ke arah yang lebig besar. Bukan hanya aspek kehidupan masyarakat saja yang berubah tetapi tatanan negara dan berbangsa, penerapan hal asasi manusia, perkembagan
terorisme.
Perkembangan
ini
membuat
menumbuhkan
paragdigma baru yang dipenuhi nuansa kebebasan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik membagi tindak pidana ITE menajdi suatu perbuatan yang dilanggar yang dicantumkan pada Pasal 27 sampai Pasal 37 UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada banyak tindak pidana yang terdapat di bidang teknologi informasi, akan tetapi tindak pidana yang paling sering terjadi adalah Cracking dan Porongrafi,
Universitas Sumatera Utara
dimana cracking dikenal dengan membobol sistem jaringan komputer dan/atau sistem elektronik, sedangkan pornografi adalah perbuatan melanggar kesusilaan atau yang sering disebut perbuatan cabul melalui sistem atau jaringan on-line. Sanksi pidana juga diatur di dalam UU ITE yang diatur dalam Pasal 45 sampai Pasal 52. Dan uuntuk tindak pidana Teknoogi Informasi ini di ancam dengan pidana penjara dan denda, hal ini berlaku baik untuk tindak pidana yang dilakukan perseorangan atau badan hukum. 2. Berdasarkan uraian diatas, bahwa subjek tindak pidana di bidang teknologi informasi dapat berupa perorangan maupun berbentuk badan hukum. Pertanggungjawaban pidana dan konstruksi kesalahan secara perseorangan (pribadi/individual)
tidak
menjadi
kesalahan
karena
sistem
pertanggungjawabannya sama saja seperti tindak pidana di bidang lainnya. UU No.11 Tahun 2008 tidak ada menyebutkan pada saat kapan atau dalam hal bagaimana suatu badan hukum itu telah melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan terhadap siapa pertanggungjawaban pidana itu dapat dikenakan, akan tetapi dari uraian diatas dapat disimpulkan apabila ada orangorang yang berdasarkan hubungan kerja dan dalam lingkungan badan hukum atau seseorang yang karena kedudukannya atau profesinya atau karena hubungan usaha memiliki hubungan dengan emiten atau perusahaan publik dan dalam lingkungan badan hukum tersebut melakukan sesuatu tindak pidana dan perbautan tersebut bertujuan untuk keuntungan atau dilakukan atas nama badan hukum tersebut dan hal tersebut harus sesuai dengan UU ITE. Selanjutnya,
UU
ITE
juga
tidak
menyebutkan
terhadap
siapa
pertanggungjawaban pidana itu dapat dikenakan apabila terjadi tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
korporasi, namun demikian konstruksi pertanggungjawaban pidana oleh pengurus fungsional korporasi dan/atau kuasa pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Hal dimaksud dianggap sebagai kesalahan korporasi untuk itu korporasi tetap dapat dipertanggungjawabkan.
B. Saran Masalah tindak pidana di bidang teknologi informasi pada masa ini adalah merupakan masalah yang selalku terjadi bahkan bergerak secara globl disemua negara dibelahan dunia ini, dan sampai pada saat ini masih dicari cara penyelesaian atau car yang tepat untuk memecahkan permasalahan tersebut, agar perkembangan
teknologi
informasi
di Indonesia
mendapat
kepercayaan
masyarakat baik di Indonesia sendiri maupun di negara lain sehingga ketakutan yang terjadi sekarang ini terjadi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Upaya kriminalisasi terhadap kegiatan tindak pidana teknologi informasi telah dilakukan dengan adanya pengaturan akan ketentuan pidana terhadap tindak pidana pada UU ITE, namun masih banyak kelemahan-kelemahan yang memberikan celah hukum bagi pihak yang melakukan tindak pidana teknologi informasi karena maseih adanya batasan dari tindak pidana teknologi informasi. Oleh karena itu untuk kemajuan teknologi informasi Indonesia dan agar kembalinya kepercayaan masyarakat dengan teknologi informasi ini UU ITE harus lebih menjelakan ketentuan-ketentuan secara detail untuk dapat memepersempit ruang gerak para pelaku kejahatan tindak pidana teknologi informasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam UU ITE jenis pidana yang diancamkan adalah secara kumulatif (penjara dan denda), maka sesungguhnya pidana ini lebih tepat ditujukan kepada perseorangan, tidak mungkin badan hukum dijatuhi pidana penjara. Sekiranya badan hukum juga dapat dipertanggungjawabkan seyogianya juga ada jenis sanksi speksifik berupa tindakan antara lain pencabutan izin usaha, pemberian ganti kerigian dan sebagainya. Adanya sanksi tindakan tersebut seperti sanksi administratif namun sanksi tersebut tidak diintergrasikan ke dalam sistem pertanggungjawaban pidana atau sistem pemidanaan dalam UU ITE, dan pada kenyataan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU ITE dijatuhi pidana pokok dengan ditambah dua pertiga, artinya sanksi tidak dijadikan sebagai salah satu bentuk sanksi/pertanggungjawaban pidana. 3. Penindakan hukum teknologi informasi bukan hanya wajib diketahui oleh segelincir penegak hukum tetapi seluruh penegak hukum diharuuskan mengetahui masalah kejahatan teknologi informasi dan perlu dibentuk suatu unit khusus dalam instansi penegak hukum sehingga penanganan kejahatan ini dapat ditangani secara khusus pula, serta diperlukannya kordinasi dan persamaan persepsi antar aparat penegak hukum agar tidak terdapat perbedaan penafsiran dalam menangani kejahatan teknologi informasi.
Universitas Sumatera Utara