PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN (Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh : Nama : Laura Theresia S. NIM : 050 200 371
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Laura Theresia S : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan (Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda), 2009 USU Repository © 2008
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN (Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda)
SKRIPSI Diajukan Sebagai salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh : Nama : Laura Theresia S. NIM : 050 200 371
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
H. ABUL KHAIR, SH, H.Hum
Pembimbing I
H. ABUL KHAIR, SH, H.Hum
Pembimbing II
DR. MAHMUD MULYADI, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
ABSTRAK
Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda belumlah tercermin karena majelis hakim belumlah atau tidak menguraikan dan menjabarkan secara mendalam tentang ada atau tidaknya unsur kesengajaan pada diri terdakwa. Dengan tidak diuraikan unsur kesengajaan ini mencerminkan majelis hakim belum memberikan kepastian hukum. Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan sumber data sekunder analisis data kualitatif yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahanpermasalahan dalam skripsi ini. Hasil pembahasan skripsi ini berfokus kepada pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan menurut UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang diatur dalam Pasal 50 mengenai jenis-jenis tindak pidana kehutanan, Pasal 78 tentang sanksi pidana dari tindak pidana kehutanan. Bila dilihat dari Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda pengaturan hukum pidana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (1) UU Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu mengenai mengenai melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Penegakan hukum pidana di Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda belumlah tercermin karena majelis hakim belumlah atau tidak menguraikan dan menjabarkan secara mendalam tentang unsur subjektif. Yaitu ada atau tidaknya unsur kesengajaan pada diri terdakwa, hanya menjelaskan mengenai unsur objektif dari kasus tersebut. Dengan tidak diuraikan unsur subjektif yaitu mengenai unsur kesengajaan maka majelis hakim belum mencerminkan atau memberikan kepastian hukum sehingga masih jauh dari keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan hukum dan menjamin ketertiban masyarakat.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka ujian untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul skripsi ini adalah “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Kasus No. 152/Pid.B/ 2008/PN.Smda.” Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Surianingsih, SH., M.Hum, selaku Dosen Wali penulis. 3. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi masukan, dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak
DR.
Mahmud
Mulyadi,
SH,
M.Hum.,
selaku
Dosen
Pembimbing II yang dengan tulus meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. 5. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Seluruh Dosen Penguji Penulis Bapak Abul Khair, SH., M.Hum, Bapak DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, Bapak M. Eka Putra, SH, M.Hum yang dengan tulus meluangkan waktu untuk menguji, mengarahkan, dan memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. 7. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan sabar mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di almamater ini. Secara khusus pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang selama ini dekat dan mendapat tempat yang istimewa di hati sanubari penulis, diantaranya : 1. Kedua orang tua penulis, yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda Hendra H. Situmorang, SH, dan Ibunda Donna H. Simamora, SH, yang telah memberikan banyak dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Buat Opungku yang tersayang St. P. Situmorang, Opung cantikku Opung T.A. Br. Tobing dengan Opung T. Br. Bakara, yang telah mendoakan cucunya sehingga cucunya dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Mengenang Opungku Alm. M.D. Simamora, yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dengan penuh kasih sayang dari awal hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU. 4. Buat
adik-adikku
tersayang
(Andreas
D.
Situmorang,
Kevin
Christopher H. Situmorang, kakakku K’ Ester H. Situmorang, S.Psi, M.Psi. Terima kasih buat dukungan dan doanya. 5. Terimakasih buat Bouku tersayang S. Br. Purba yang juga selalu mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi penulis dan yang selalu mendoakan penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Khusus buat abangku Niko H. Simarmata, SH, terimakasih atas waktu dan kesabarannya mendengarkan keluh kesah Ola saat lagi stres mengerjakan skripsi. Terimakasih juga sudah mengisi hari-hari Ola dengan tawa. ‘Ola’ yakin bersama abang kita akan bahagia, Amin. 7. Buat keluarga besarku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan yang selalu diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dari awal hingga selesai penulisan skripsi ini. 8. Buat Bapak dan Ibuku yang tersayang, Bapak Dr. Mahmud Muliadi, SH, M.Hum, dan Ibu Imel Novita Sari, SPd, yang dengan tulus meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.
9. Buat Tulang dan Ajuku tersayang Tulang Aseng dan Aju Elga, terimakasih yang telah dengan tulus mendoakan penulis dan mensuport penulis, semoga apa yang Tulang dan Aju inginkan dikabulkan oleh Tuhan. 10. Terimakasih buat kerabat dan sahabatku B’ Riki Hutahaean, SH, Bornok Yanti M, Aritonang, Nelly Budi Dharma, B’ Jesaya,T, SH, B’ Karsa, G, SH, yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini 11. Buat adik sepupuku Uli dan Lidya, yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini ada manfaatnya. Dan semoga ilmu yang penulis peroleh di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dapat juga berguna bagi agama, nusa dan bangsa, Amin.
Medan, April 2009 Penulis
Laura T. Situmorang
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK .....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR...................................................................................
ii
DAFTAR ISI..................................................................................................
vi
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................
1
A.
Latar Belakang ......................................................................
1
B.
Permasalahan ........................................................................
8
C.
Tujuan dan manfaat Penulisan ..............................................
8
D.
Keaslian Penulisan ................................................................
9
E.
Tinjauan Kepustakaan...........................................................
10
1.
Pengertian Tindak Pidana .............................................
10
2.
Pertanggungjawaban Pidana .........................................
13
F.
Metode Penelitian .................................................................
29
G.
Sistematika Penulisan ...........................................................
29
BAB II
PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN MENURUT UNDANGUNDANG KEHUTANAN UU NOMOR 41 TAHUN 1999 .....
34
A.
Tinjauan Umum Tentang Hasil Hutan ..................................
34
1.
Pengertian hutan............................................................
34
2.
Asas dan penyelenggaraan kehutanan...........................
39
3.
Perlindungan hutan........................................................
40
B.
Pengertian dan Bentuk Tindak Pidana di Bidang Kehutanan
C.
Pertanggungjawaban Terhadap Tindak pidana di Bidang Kehutanan .............................................................................
42
48
BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
DI
BIDANG
KEHUTANAN
Kasus
No.
152/Pid.B/2008/PN-Smda ...........................................................
61
A.
Kronologis Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN-Smda ................
61
1.
Kronologis Perkara .......................................................
61
2.
Dakwaaan......................................................................
62
3.
Tuntutan Hukum ...........................................................
63
4.
Fakta Hukum.................................................................
64
5.
Keterangan Terdakwa ...................................................
65
Analisis Kasus.......................................................................
74
BAB IV PENUTUP....................................................................................
94
B.
A.
Kesimpulan ...........................................................................
94
B.
Saran......................................................................................
97
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa, tanah air yang kaya raya dengan sumber alamnya, antara lain adalah hutan yang masih sangat luas. Penggalian sumber alam atau kekayaan alam yang berupa hutan secara intensif, merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 1 Lebih lanjut bahwa negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan alam, dimana Indonesia memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam dari hasil hutan, hutan di Indonesia terdiri dari beribu-ribu hektar luasnya yang menghasilkan kekayaan alam yang berlimpah ruah. Oleh karena itu hutan merupakan salah satu asset negara yang dapat memberikan manfaat yang sangat besar, bagi kepentingan pengelolaan sumber daya alam negara Indonesia yang terkenal dengan wilayah hutannya yang sangat luas yang dapat menghasilkan bermacam-macam hasil hutan merupakan tumpuan masyarakat di sekitarnya. Namun potensi alam ini juga menarik minat pengusaha untuk menggali kekayaan yang ada padanya. Kayu-kayu tropis yang bagaikan emas hijau kecoklatan itu terus
menjadi
incaran
pengusaha
hutan
sebagai
produk
yang
sangat
menguntungkan di pasaran dunia. 2
1
Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Bambang Pamulardi, 1999, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan Ketiga, hal. 1 2
Ruang lingkup kegiatan kehutanan saat sekarang ini jauh lebih luas dari waktu-waktu yang lampau. Hal ini disebabkan: 3 1. Kegiatan pembangunan di mana-mana, semakin bertambah kebutuhan penduduk akan peralatan rumah tangga, yang selalu membutuhkan kayu banyak sekali, sehingga kebutuhan akan kayu selalu meningkat dengan pesat. 2. Makin majunya ekspor hasil hutan, serta makin banyaknya permintaan kayu dari luar negeri. 3. Makin majunya industri yang menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku, misalnya: a. Industri plywood, hardboard dan bahan-bahan untuk prefebricated houses, baik untuk memenuhi keperluan dalam negeri maupun untuk diekspor. b. Industri pulp sebagai bahan baku untuk industri dalam negeri serta sebagai bahan setengah jadi untuk diekspor. c. Industri rayon untuk bahan sandang dan lain-lain. 4. Bantuan yang dapat diberikan oleh kehutanan berhubungan dengan makin berkembangnya pengusahaan sumber alam oleh pemerintah bersama-sama dengan rakyat. Dengan demikian hutan secara perlahan namun pasti, menyusut keberadaannya apabila pepohonan telah di tebang, kawasannya dirambah dan tidak cepat dilakukan penanaman kembali maka bukit-bukit yang dulunya kehijauan penuh tumbuhan yang beraneka ragam, kini gersang akibat perambahan hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, akibatnya bukan saja habitat satwa yang terganggu namun juga ekosistem alam turut berubah drastis pada gilirannya nanti kehidupan manusia turut terancam bahaya. Adapun manfaat langsung dari hutan dapat berupa hasil hutan seperti, kayu, rotan, getah-getahan, binatang buruan dan lain dimana hasil-hasil tersebut memberikan kegiatan yang membuka lapangan pekerjaan yang baru adalah eksploitasi hutan, tanaman industri dan kegiatan industri kehutanan lainnya, serta 3
Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1967, Op. Cit., hal. 9
obyek wisata serta pemeliharaan keseimbangan lingkungan hidup. Dimana pada dasanya pemanfaatan sumber daya alam yang berupa hutan harus dikelola secara terencana dan berkesinambungan sehingga hutan tersebut dapat memberikan manfaat secara optimal berkesinambungan dan lestari terhadap kekayaan alam hutannya. 4 Untuk mengatur pemanfaatan hasil hutan ada hukum yang sebagai sebuah sistem (legal system) yang terdiri dari berbagai subsistem yaitu subsistem pembentukan, sub sistem isi (materi) subsistem penegakkan dan sub sistem budaya hukum. 5 Pembentukan hukum terutama yang berbentuk peraturan perundangundangan bukan sekedar teknik menyusun secara sistematik bahan-bahan yang terkumpul dalam rumusan normatif, bukan pada sekedar menaati standar-standar perumusan dan penulisan yang telah dibakukan pembentukan hukum yang baik, harus memiliki berbagai syarat pembentukan hukum yang baik pada seperti asas tujuan, asas wewenangan asas keperluan mengadakan peraturan, asas bahwa peraturan tersebut dapat dilaksanakan dan lainnya yang termasuk hubungan sistematik dengan hukum yang lain seperti hubungan dengan UUD, serta mengikuti prosedur yang benar. Dipenuhinya berbagai syarat di atas sangat penting karena akan menentukan kualitas, bentuk dan corak isi suatu peraturan termasuk kemungkinan penegakkannya. Demikian pula halnya mengenai substansi (isi) hukum yang dibentuk akan sangat menentukan penegakkannya. Sebab suatu substansi hukum yang tidak
4
Ibid., hal. 2 Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XXIII No. 275 Oktober 2008, Konsistensi Pembangunan Nasional dan Penegakan Hukum, Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia, hal. 10 5
dapat ditegakkan karena dapat terjadi karena faktor hukum itu sendiri atau faktorfaktor diluarnya. Ditinjau dari faktor hukumnya, suatu aturan tidak dapat ditegakkan tidak selalu karena aturan tersebut kurang sempurna, tetapi juga terjadi karena pada saat pembentukkan kurang memperhitungkan berbagai kondisi yang akan menopang pelaksanaannya. Keadaan sumber daya yang tidak memadai, budaya yang tidak kondusif akan sangat mempengaruhi penegakkan hukum. Dalam penegakkan hukum. Sehingga terjadi keadaan yang selalu konsisten dengan harapan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh para penegak hukum, selain prasarana dan sarana, tidak kalah penting adalah peranan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang tidak memiliki keperdulian pada penegakkan hukum tidak akan memiliki daya tangkal efektif untuk mencegah penegakkan hukum yang tidak sejalan dengan rasa keadilan yang hidup dalam sanubari masyarakat. Bahkan kalau semata-mata diserahkan pada penegak hukum, mungkin dapat menjadi aturan-aturan hukum yang baik menjadi sarana mewujudkan keadilan dan ketentraman masyarakat. Oleh karena itu untuk menghindari penyalahgunaan tersebut maka betapa pentingnya budaya hukum sebagai subsistem hukum dari suatu sistem hukum. Budaya hukum mencerminkan sikap umum terhadap hukum, termasuk kepedulian terhadap penegakkan hukum. Sikap umum terhadap hukum ini akan ditentukan oleh budaya masyarakat. Corak hukum masyarakat akan mencerminkan tatanan dan nilai budaya masyarakat tersebut.
Suatu masyarakat demokratik baik dapat dipastikan akan memiliki corakcorak hukum yang demokratik baik dalam isi maupun dalam penegakkannya, sebaliknya masyarakat yang feodalistik akan memiliki tatanan yang feodalistik pula. 6 Oleh karena itu dalam hal penegakkan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan haruslah ada kerja sama yang baik antara pejabat yang berwenang dengan masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan hasil sumber daya alam hutannya. Menjamin kelancaran, ketertiban dan kelestarian pelaksanaan kegiatan hutan, diperlukan adanya landasan hukum yang dapat menampung segala segi persoalan secara menyeluruh mengenai hutan. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan), dibuat untuk menggantikan peraturan perundangan di bidang kehutanan yang sebagian besar berasal dari Pemerintahan Hindia Belanda yang masih bersifat kolonial. Hutan yang mempunyai fungsi menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain: 7 1. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. 2. Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor. 3. Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada khususnya. 4. Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik. 5. Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam membentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan. 6. Merupakan salah satu unsur basis strategi pembangunan nasional.
6 7
Ibid. Ibid.
Untuk melengkapi tulisan ini penulis juga membahas dan mengadakan studi kasus Nomor 152/Pid.B/2008/PN.Smd, dimana hakim hanya menjatuhkan hukuman kepada terdakwa pada Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) UU Kehutanan, UU Bonor 8 Tahun 1981 serta ketentuan lain yang terkait, dimana ancaman hukumannya adalah pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 2.000.000,0 (dua juta rupiah). Penulis sengaja memilih wilayah tersebut di atas yaitu Kalimantan Timur karena di wilayah Kalimantan Timur termasuk wilayah hutan yang terluas di Indonesia yang menghasilkan hasil hutan terbanyak. Sehingga penulis ingin mencoba dan memaparkan kendalakendala apa yang ditemukan dan yang dapat menghambat di dalam menjalankan penegakkan hukum untuk menjalankan dan menegakkan hukum terhadap tindak pidana pada umumnya dan secara khusus di wilayah Kalimantan Timur tersebut. Penegakkan hukum keadilan di negara kita tampaknya belum maksimal bahkan menjadi terpuruk dan keterpurukan dalam hukum tersebut semakin menjadi-jadi, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum semakin memburuk, sheingga khawatir masyarakat Indonesia tidak sekedar termasuk kepada keterpurukan kepedulian sosial, bahkan sudah kepada klasifikasi keterpurukan sosial. Keterpurukan hukum jelas berdampak terhadap sektor lain, termasuk sistem perekonomian. Untuk itu penegakkan hukum di bidang kehutanan menjadi penting untuk diperhatikan dalam menangani berbagai persoalan yang tidak kunjung selesai, seperti halnya pada masalah penebangan kayu hutan secara liar atau yang sering disebut dengan illegal logging, dan peredaran hutan secara liar atau yang disebut dengan illegal trade, oleh karena itu mengapa sering kita sebut penegakkan hukum di bidang kehutanan masih jauh
dari harapan? Karena hal ini dapat kita pahami karena sektor kehutanannya menyangkut kepentingan banyak dan permasalahannya bersifat multidimensi. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Agar selalu terjaga kesimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh menteri yang membidangi kehutanan. Pemanfaatan hutan tidak terbatashanya produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan lainnya dan jasa lingkungan, sehingga manfaat hutan lebih optimal. 8 Kita mengetahui adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam bidang kehutanan, dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut disebut dengan tinak pidana tersebut memiliki sanksi-sanksi hukumnya. Baik yang bersifat pidana ataupun administratif, tidak terkecuali pada tindak pidana di bidang kehutanan juga terdapat sanksi-sanksi pidananya yang akan diberlakukan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran di bidang kehutanan seperti halnya diatur mengenai penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari dan perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan suatu usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawaan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Serta mempertahankannya dan mencegah hak-hak Negara masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, 8
Penjelasan pada UU Kehutanan UU No. 41 Tahun 1999 Hal. 31 Penerbit Fokus Media
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Berdasarkan alasan di atas, maka sangat penting untuk mengkaji dalam skripsi ini mengenai upaya penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan.
B. Permasalahan Dalam penulisan sebuah skripsi, penulis harus mengemukakan beberapa permasalahan yang akan menjadi topik pembahasan selanjutnya. Maka dalam skripsi yang diberi judul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA
DI
152/Pid.B/2008/PN.Smda)”.
BIDANG Penulis
KEHUTANAN juga
akan
(Studi
Kasus
mengemukakan
No.
beberapa
permasalahan yang akan menjadi topik pembahasan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 ? 2. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap tindak pidana di bidang kehutanan
2. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda. Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan bagi perkembangan kemajuan hukum pidana pada khususnya serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan 2. Manfaat Praktis Dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan.
D. Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA
DI
BIDANG
KEHUTANAN
(Studi
Kasus
No.
152/Pid.B/2008/PN.Smda)” sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya dan bila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan yang sama, sebelum tulisan ini dibuat maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan Setiap penulisan karya ilmiah tentunya memerlukan suatu studi kepustakaan atau sering disebut dengan istilah tinjauan kepustakaan. Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat “trial and error”.
1. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat dari para ahli hukum, bahkan dalam hukum pidana pun tidak ada diatur secara defenitif
tentang pengertian dari tindak pidana. Dalam ilmu hukum pidana,
masalah tindak pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Berbagai masalah dalam hukum pidana seolah terpaut dan bersatu dengan persoalan tindak pidana. Oleh karena itu, memahami pengertian tindak pidana sangat penting. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “strafbaar feit dan delict”. 9 Begitu juga halnya dengan pendapat dari Satochid Kartanegara yang mengatakan bahwa istilah dari tindak pidana adalah strafbaarfeit atau delict yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman, namun di kalangan para sarjana hukum terdapat perbedaan pendapat. 10 Jadi secara sederhana tindak pidana dapat diartikan sebagai segala tindakan ataupun perhatian yang dapat dikenakan hukuman yang diatur oleh undang-undang dimana segala tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian 9
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Penerbit Alumni Ahem-Petehaem, hal. 200 10 Satochid Kartanegara, t.t., Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah dan Pendapat-Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka, Bagian Kedua, Jakarta : Penerbit Balai Lektur Mahasiswa, hal. 74
aktif, tapi juga dalam pengertian pasif. Oleh karena itu tidak melakukan sesuatupun apapun sepanjang hal tersebut dilarang oleh undang-undang maka hal tersebut termasuk dalam pengertian tindak pidana. Menurut van Scravendijk, yang dikutip oleh Satochid Kartanegara, bahwa perbuatan yang boleh dihukum itu adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan. 11 Tresna menyatakan bahwa peristiwa pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangan lainnya, terhadap tindakan mana diadakan tindakan penghukuman. 12 Menurut Simons seperti dikutip Andi Hamzah, strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawah hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung-jawab. 13 Menurut Muljatno bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 14 Menurut Vos sebagaimana dikutip oleh Bambang Poernomo, starfbaar feit adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam oleh undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. 15
11
Ibid, hal. 87 R. Tresna, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta : Penerbit Tiara, hal. 27 13 Andi Hamzah, 1994, Azas-Azas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, hal. 88 14 Muljatno (A), 1988, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Yogyakarta : Penerbit Gajah Mada, hal. 8 15 Bambang Poernomo, 1985, Asas - Asas Hukum Pidana, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, hal. 91 12
Istilah lain dari strafbaar feit yang sering digunakan dalam perundangundangan ataupun dalam literatur hukum adalah: 16 a. Tindak pidana yang merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan kita yang paling sering digunakan b. Peristiwa pidana c. Delik d. Pelanggaran Pidana e. Perbuatan yang boleh dihukum f. Perbuatan yang dapat dihukum g. Perbuatan pidana. Suharto RM menerangkan bahwa pengertian tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. 17 Dalam rumusan bahwa perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tidak boleh dilakukan karena terdapat ancaman sanksi pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Kata perbuatan dalam pembuatan perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjukkan pada 2 (dua) kejadian yang konkrit, antara lain : a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah ‘criminal act’. Dalam hal ini meskipun orang telah melakukan suatu
16 17
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 59 Suharto RM, 1996, Hukum Pidana Materil, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 28
perbuatan yang dilarang, belum berarti ia harus dipidana, atau harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya untuk menentukan kesalahan yang dikenal dengan istilah ‘criminal responsibility’. 18 Dari apa yang telah dikemukakan tentang tindak pidana maka dapatlah ditentukan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana apabila perbuatan itu : 19 1. melawan hukum; 2. merugikan masyarakat; 3. dilarang oleh aturan pidana; 4. berlakunya diancam dengan pidana.
2. Pertanggung jawaban Pidana a. Tiada pidana tanpa kesalahan (Asas kesalahan) Mengenai pengertian kesalahan dalam hukum pidana, telah banyak diteorikan para sarjana. Mereka telah membahasa pengertian kesalahan dengan berbagai cara dan menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana
tetapi
ada
juga
yang
menempatkannya
sebagai
unsur
dari
pertanggungjawaban pidana. Tentang kesalahan, terutama dalam hubungannya dengan pemidanaan sangat penting, karena telah umum dianut suatu adagium (yang semula berasal dari penafsiran Pasal 44 KUHP) yang berbunyi “tiada hukuman tanpa adanya kesalahan (geen straf zonder schuld atau Actus non facit reum nisi mens sit rea atau An act does not constitute itself guilt unless the mind is
18 19
Moeljatno (B), 1993, Asas-Asas Hukum Pidana., Jakarta : Rineka Cipta, hal. 55 Satochid Kartanegara, Op. Cit., hal. 75
guilty). 20 Asas ini oleh masyarakat Indonesia dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah dijatuhi pidana. Maksudnya adalah orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi hukuman kalau ia tidak melakukan perbuatan pidana). Tetapi meskipun demikian melakukan perbuatan pidana tidak selalu dapat dipidana. 21 Demikian halnya dengan pertanggungjawaban pidana yang dimaksud untuk
menentukan
apakah
seseorang
tersangka
atau
terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Seorang terdakwa jika akan dipidana atau dibebaskan jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan terdakwa menyadari tindakan yang dilakukan tersebut. 22 Selanjutnya perlu untuk diketahui bahwa tiada ketentuan hukum yang meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan tersebut atau tiada alasan pembenar. Tidak ada ketentuan yang meniadakan kesalahan terdakwa atau tiada alasan pemaaf. Dua unsur tersebut dibahas dalam Pasal 44 dan 51 KUHP. Kesengajaan (dolus) adalah kesediaan yang disadari untuk memperkosa suatu objek yang dilindungi oleh hukum. Kesengajaan harus mempunyai 3 (tiga) unsur dari tindak pidana, yaitu : 23
20
S.R. Sianturi, Op. Cit, hal. 159 Moeljatno (B), Op. Cit., hal. 153 22 S.R. Sianturi, Op. Cit, hal. 245 23 Wiryono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung Refika Aditama, hal. 66 21
a. perbuatan yang dilarang; b. akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu dan c. bahwa perbuatan itu melanggar hukum Lebih lanjut bahwa kesalahan merupakan kesalahan yang berlainan jenis dari pada kealpaan. Dasarnya adalah sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf. Dalam doktrin hukum pidana ada dikenal 3 (tiga) bentuk kesengajaan, antara lain : 24 a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet aloogmerk), berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu (yang sesuai dengan perumusan perundangundangan hukum pidana) adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku.Ternyata penggunaan istilah maksud dalam berbagai persoalan atau tindak pidana, tidak semudah uraian diatas pemecahannya. Maksud adalah sesuatu yang terkandung dalam bathin atau jiwa seseorang / pelaku. Orang boleh bermaksud apa saja, dan jika seseorang mempunyai suatu maksud, maka akan tergantung kepada perhitungannya tentang kemungkinan dan kemmapuan yang ada padanya untuk mewujudkan maksud tersebut. Selama maksud itu masih tersimpan dalam hatinya atau benaknya, kendatipun maksud adalah untuk melakukan suatu tindakan yang terlarang oleh hukum, maka sikap seperti ini belum dapat dicela oleh orang lain, apalagi untuk dipidana. Dalam hal maksud ini adalah untuk melakukan kejahatan (tertentu), 24
Ibid., hal. 68
walaupun hanya omong-omong yang terakhir dengan kesepakatan saja, sudah ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, bahkan mungkin sudah diancam dengan pidana. b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan(Opzet bij zekerheids of noodszakelijkheids bewustzijn), dimana yang menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dan pada suatu delik yang telah terjadi. Dalam hal ini termasuk tindakan atau atau akibat-akibat lainnya yang pasti / harus terjadi. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa sesoarng yang melakukan suatu perbuatan menyadari bahwa apabila suatu perbuatan itu dilakukan maka secara pasti akan mengakibatkan akibat yang melahirkan tindak pidana. c. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis). Kesengajaan jenis ini bergradasi yang rendah, bahkan sering sukar memperbedakan dengan kealpaan (culpa). Yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini ialah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang (beserta tindakan atau akibat lainnya) yang mungkin akan terjadi. Dengan demikian kesengajaan menyadari kemungkinan bahwa pelaku memandang akibat dari apa yang dilakukannya tidak sebagai suatu hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti waarschijnlijkheid. Kelalaian yang sering juga disebut dengan tidak sengaja merupakan lawan dari kesengajaan. Kelalaian yang berupa sikap batin dalam hubungannya dengan perbuatan sebenarnya adalah dalam hendak melakukan wujud perbuatan tertentu.
Seseorang tidak mengindahkan atau kurang mengindahkan, atau tidak bersikap hati-hati terhadap segala sesuatu yang ada dan berlaku mengenai perbuatan atau sekitar perbuatan itu. Sementara itu, sikap batin dalam kelalaian yang dalam hubungannya dengan akibat perbuatan dapat terletak pada dua hal, yaitu : 25 a. terletak pada ketiadaan pikiran sama sekali b. terletak pada pemikiran bahwa akibat tidak akan terjadi.
b. Kemampuan bertanggung jawab Pepatah mengatakan bahwa tangan menjinjing, bahu memikul, yang artinya seseorang harus menanggung semua atau segala tindakan serta kesalahannya. Di dalam hukum pidana juga ditentukan hal seperti itu, yang dinamakan dengan pertanggungjawaban pidana. Bedanya, jika makna pepatah tersebut mengandung sesuatu pengertian yang luas sekali, dalam hukum pertanggungjawaban pidana dibatasi dengan ketentuan-ketentuan dalam undangundang. Pertanggungjawaban pidana menuju kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang telarang (diharuskan) seseorang akan dipertanggungjawabkan dalam pidana atas tindakan-tindakan tersebut dan apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum
(dan
tidak
ada
peniadaan
sifat
melawan
hukum
atau
rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenaran) untuk itu maka bila dilihat dari 25
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 101
sudut kemampuan dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid), pada umumnya : 26 a. Keadaan jiwanya : 1) tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair); 2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan; 3) tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh
bawah-sadar/reflexe
beweging,
melindur/slaapwandel,
mengingau karena demam/koorts dan lain sebaginya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. b. Kemampuan jiwanya 1) dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya, 2) dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan; 3) dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir (vertandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstandelijke vermogens. 27 Pendapat Van Hamel yang dikutip oleh Satochid Kartanegara memberikan perumusan mengenai keadaan jiwa adalah: 28
26
Satochid Kartanegara, Op. Cit hal. 253 Ibid. 28 Ibid, hal. 254 27
1. Jiwa orang harus demikian rupa, hingga ia akan mengerti atau menginsyafi nilai dari pada perbuatannya. 2. Orang itu harus menginsyafi, bahwa perbuatannya menurut tata kemasyarakatan adalah dilarang. 3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya (ten anzien van do handeling zijn wil kunnen bepalon) Simons memberikan pengertian toerekeningsvat baarheid, adalah: 29 a. Keadaan jiwa seseorang harus demikian rupa, hingga ia harus dapat menginsyafi bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan yang terlarang. b. Orang itu harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya. Bila dikaitkan dengan Pasal 44 KUHP dan MvT, dapat diketahui bahwa bilamana orang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, yaitu: 30 a. Apabila seseorang tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan, yaitu dengan adanya tekanantekanan atau paksaan, misalnya A memaksa B untuk memukul A. b. Apabila seseorang keadaan jiwanya adalah demikian rupa, hingga ia tidak menginsyafi, bahwa perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan terlarang dan juga, hingga tidak dapat menginsyafi akibat daripada perbutan itu, yaitu orang yang jiwanya mengalami rasa tekanan (mata gelap) atau yang dihinggapi waanvoorstelling). Dengan demikian penjelasan dari Satochid Kartanegara mengenai MvT merupakan keadaan jiwa seseorang, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dengan melihat pendapat-pendapat dari para sarjana tersebut, maka dapat diketahuilah bahwa kalimat dapat dipertanggungjawabkan telah sesuai dan lebih bersifat positif sebab didalam teori dapat dipakai sebagai pegangan, namun di dalam prakteknya sangat sulit untuk dilaksanakan. Sebab sangat sulit sekali untuk menentukan sifat bebas seseorang 29 30
Ibid., hal. 255 Ibid., hal. 254
yang melakukan suatu perbuatan, karena sifat perbuatan yang melakukan tindak pidana tidak dapat dilihat dengan mata telanjang (uiterlijk waarnembaar).
c. Alasan Pembenaran Alasan pembenaran yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatannya, sehingga apa yang dilakukan oleh si pelaku lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pembenaran dapat dilihat dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang mengatakan bahwa mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 KUHP mengenai pelaksanaan ketentuan undang-undang dan Pasal 51 ayat (1) KUHP mengenai melaksanakan perintah dari pihak atasan. Alasan pembelaan darurat dapat disebut juga pembelaan darurat atau pembelaan terpaksa. Sebagaimana Moeljatno mengatakan isi Pasal 49 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. 31 Keistimewaa hasil karya Moeljatno ialah eerbaarheid diterjemahkan dengan secara sempit dengan melawat hak. Dengan demikian dalam hal adanya pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat yang bersifat lebih ringan, maka oleh hakim harus diperhatikan asas subsidarteit dan asas propositionaliteid yang berlaku pada daya paksa. Asas subsidarteit mensyaratkan, bahwa bilamana terdapat cara pembelian yang sifatnya lebih ringan, maka yang diserang tidak boleh menggunakan cara yang 31
Ibid.
memberikan kerugian lebih besar pada penyerang. Yang diserang harus memiliki cara yang tidak mendatangkan kerugian lebih besar yang pada penyerang daripada yang perlu. Kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai harus maksimal seimbang dengan kepentingan yang dikorbankan. Oleh karena adanya syarat bahwa serangan itu harus seketika itu juga mengancam, maka pembelaan terpaksa tidak dapat dilakukan dalam hal serangan yang mengancam itu akan terjadi di kemudian hari dan serangan itu telah selesai. 32 Bila diperhatikan dasar peniadaan karena menjalankan perintah undangundang (wettelijk voorschrift) yang terdapat pada Pasal 50 KUHP menyebutkan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undangundang tidak dipidana. Dengan demikian rumusan yang singkat dari Pasal 50 KUHP tersebut menerangkan beberapa hal, yaitu : 1. Tentang apa yang dimsksud dengan ketentuan undang-undang 2. Tentang apa yang dimaksu dengan perbuatan dan 3. Tentang apa yang dimaksud melaksanakan ketentuan undang-undang. Dalam Pasal 50 KUHP pada dasarnya bukan sekedar mengenai melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang saja, akan tetapi termasuk juga segala perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Hoge raad dalam pertimbangan suatu arrestnya menyatakan bahwa menjalankan undangundang tidak hanya sebatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang akan tetepi lebih luas lagi, ialah meliputi pula perbuatan32
A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 200
perbuatan yang dilakuka atas wewenang yang diberikan oleh suatu undangundang. 33 Lebih lanjut dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP (ambrelijk bevel) menyebutkan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,tidak dipidana. Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50) yang telah diterangkan di atas, dalam arti pada kedua-duanya dasar peniadaan pidana itu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan juga dimaksudkan pada kedua-duanya adalah berupa perbuatan yang boleh melakukan suatu perbuattan tertentu. 34
d. Alasan Pemaaf Menurut Memorie van Toelichting mengemukakan bahwa alasan pemaaf dapat dilihat Pasal 48 KUHP atau lebih dikenal dengan dengan nama. Tidak adanya alasan pemaaf juga merupakan suatu syarat dari adanya kesalahan, artinya untuk dapat dikatakan bahwa seseorang adalah bersalah, maka orang tersebut: 35 1. terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum 2. mampu bertanggung jawab 3. melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaannya dan 4. tidak ada alasan pemaaf Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap 33
Adami Chazawi, 2002, Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta : Rajawali Pres, hal., 97 34 Ibid., hal. 58 35 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana., Jakarta : Aksara Baru, hal. 125
kesalahan. Alasan pemaaf dapat dilihat dalam Pasal 48 KUHP yaitu tentang daya paksa dan Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan yang melampaui batas. Van Hattum berpendapat bahwa dalam Pasal 48 KUHP hanya ada alasan pemaaf. Perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum, tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena pengruh daya paksa, dimana fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar. 36 Jonkers berpendapat bahwa kata dwang (paksaan) berarti paksaan (psystiek), daya paksa, sedangkan kata dedrogen (dorongan) paksaan psychisch. Beliau membagi daya paksa dalam tiga macam, yaitu : 37 1. Daya paksa mutlak (absolute overmacht) Dalam hal pengertian termasuk hal-hal, yang pembuat tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat melawan. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat melawan, dengan kata lain ia tak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat demikian. 2. Daya paksa relatif (relative overmacht) Kekuasaan, kekuatan, dorongan atau paksaan physiek atau psychisch terhadap orang bersangkutan bersifat relatif atau nisbi. 3. Keadaan darurat (noodtoestand) Keadaan darurat terdapat dalam hal : -
Adanya pertentangan antara dua kepentingan hukum.
-
Adanya pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.
-
Adanya pertentangan antara dua kewajiban hukum.
36 37
Ibid., hal. 142 A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit., hal. 192
Menurut pendapat G. Flether perbedaan antara alasan pembenar dengan alasan pemaaf adalah : 38 1. Alasan pembenar, perbuatan pelaku sudah memenuhi peraturan sebagaimana yang dirumuskan undang-undang, akan tetapi apakah perbuatannya itu memang salah. Sedangkan dalam alasan pemaaf, perbuatan itu memang salah, tetapi apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. 2. Alasan pembenar membicarakan tentang kebenaran dari suatu pembenaran, sedangkan alasan pemaaf mempertanyakan apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang salah. 3. Dalam hal alasan pembenar hal ini berlaku secara universal, berlaku untuk para peserta yang lainnya, asalkan memenuhi syarat untuk tujuan perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan alasan pemaaf bersifat pribadi bagi si pelaku saja, tidak dapat diberlakukan untuk para peserta. Perbedaan antara alasan pembenaran dan alasan pemaaf menurut Flechter sejalan dengan pendapat Satochid Kartanegara, yaitu perbedaan itu penting apabila terjadi suatu delik yang dilakukan oleh lebih dari satu orang bersamasama. 39 Dengan kata lain perbedaan itu penting dalam masalah deelneming atau ikut melakukan. Perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf yang muncul dalam ilmu hukum pidana dan yurisprudensi adalah merujuk pada pemilahan antara tidak dapat dipidananya perbuatan/tindakan dan tidak dapat dipidananya pelaku.
38 39
M. Hamdan, 2008, Hasil Penelitian Disertasi, hal. 64 Satochid Kartanegara, Op. Cit hal. 443-444
e. Bersifat melawan hukum Simons mengatakan bahwa pengertian sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum pada umumnya. 40 Tetapi dalam hubungan bersifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari delik agar selalu berpegangan kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Seseorang yang melakukan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum tidak selalu diancam dengan pidana menurut undang-undang hukum pidana. Akibatnya timbul persoalan, apakah sifat melawan hukum harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak dirumuskan secara tegas. Secara formal suatu tindakan adalah bersifat melawan hukum apabila seseorang melanggar suatu ketentuan undang-undang, karena bertentangan dengan undangundang. Sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu : a. Sifat melawan hukum yang formil, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan hukum positif (tertulis). perbuatan yang dinyatakan melawan hukum apabila persesuaian dengan rumusan delik dan sesuatu pengecualian seperti daya paksa, pembelaan terpaksa itu hanyalah karen aditentukan tertulis dalam undang-undang b. Sifat melawan hukum yang materil, yaitu perbuatan yang bersumber pada masyarakat atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan asasasas umum / norma hukum tidak tertulis. Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya 40
S.R. Sianturi, Op. Cit, hal. 141
sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundangundangan. 41 Pertama-tama yang kita bahas dari pertanggung jawaban pidana adalah : bahwa tidak dapat di pidana jika tidak ada kesalahan. Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. Di dalam pasal-pasal yang terdapat pada Buku I bab III KUHP ada mengatur tentang pertanggungjawaban pidana apabila seseorang melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dan juga dalam undang-undang juga menggunakan pertanggungjawaban pidana namun secara penafsiran, yaitu yang disebut dengan argumentum a contrario. 42 Seseorang petindak yang telah melakukan suatu tindakan (yang dapat dipidana) mungkin dipidana (pemidanaan biasa, diperingan atau diperberat) atau dibebaskan. Pembebasan ada dua macam, yaitu pembebasan dari pemidanaan apabila tidak terdapaat kesalahan (vrijspraak) dan pelepasan dari segala dakwaan atau tuntutan hukum bilamana terdakwa terbukti akan tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana atau lebih tegas lagi tiada terdapat unsur bersifat melawan hukum. (Ontslag van alle rechtsvervolging). 43 Sebagaimana hal mengenai peniadaan pidana (strafuitsluitingsgronden) ada dikenal beberapa penggolongan atau pembedaan. Menurut memori penjelasan (Memorie van toelichting) pembedaan didasarkan pada sifatnya yang ada maka dengan
memperbandingkan
41
pertanggungjawabannya
Adami Chazami, Op. Cit., hal. 87 Ibid. 43 Ibid., hal. 257 42
tersebut,
peniadaan
pertanggungjawaban (inwendige en uitwendige oorzaken van ontoerebaarheid) di bagi atas dua bagian, yaitu penyebab-penyebab dari dalam dan penyebabpenyebab dari luar. Penyebab-penyebab dari dalam mengenai peniadaan pertanggungjawaban yaitu penghapusan pertanggungjawaban yang mana diatur dalam Pasal 44 KUHP, sedangkan penyebab-penyebab dari luar mengenai hal peniadaan pertanggungjawaban diatur dalam Pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP. 44 Pembedaan yang dibedakan menurut doktrin adalah dibedakannya antara dasar-dasar peniadaan pidana secara umum dengan yang secara khusus (algemene en bijzondere strafuitsluitings gronden). Dasar-dasar umum ditentukan dalam Bab III Buku I KUHP, sedangkan dasar-dasar khusus terdapat secara tersebar dalam berbagai pasal-pasal undang-undang seperti Pasal 166, 221 ayat (2), 367 ayat (1) dan Pasal 72 ayat (2) KUHP. Selanjutnya oleh doktrin tersebut dikenal juga pembedaan lainnya menurut sifatnya
yang
disebut
sebagai
dasar-dasar
peniadaan
kesalahan
(strafopheffingsgronden atau lebih tepat schuld-uitsluitingsgronden). Pada dasardasar peniadaan kesalahan, tindakan tersebut masih tetap bersifat melawan hukum, tetapi tiada kesalahan pada petindak atau kesalahan petindak ditiadakan karena sesuatu keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 KUHP, yaitu karena jiwa seseorang cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena sakit. Sedangkan dasar-dasar pembenaran, tindakan itu tetap merupakan tindakan terlarang. Tetapi karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang berlaku menjadi tidak bersifat melawan hukum, atau tindakan tersebut dibenarkan
44
Ibid., hal. 258
(gerechtsvaardig). Keadaan-keadaan seperti ini diatur dalam Pasal-Pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Menurut Ruslan Saleh yang mengatakan bahwa sehubungan dengan alasan penghapusan pidana maka penghapusan pidana itu mungkin karena : 45 1. Perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu, kemungkinan dipandang tidak bersifat melawan hukum (dalam arti material), atau ddengan pendek adanya alasan-alasan pembenar; 2. Melihat pada perbuatannya memanglah suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik, tetapi setelah dipertimbangkan keadaan pada orangnya maka dipandang bahwa dia tidak mempunyai kesalahan atau dengan pendek adanya alasan pemaaf. Dalam persoalan penghapusan atau peniadaan pidana, S.R Sianturi mengatakan bahwa pembedaan yang mendasari ketiadaan sifat melawan hukum dari suatu tindakan dan atau ketiadaan dari kesadaran petindak. Tetapi tidak dalam rangka pemisahan yang tegas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian tindakan yang terlarang dan pertanggungjawaban pidana mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, sehingga tidak memerlukan pemisahan secara tegas, walaupun tetap masih dapat dibedakan. 46 Jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka tiada pidana. Untuk istilah alasan pembenar serta alasan pemaaf, kiranya lebih erat digunakan istilah (dasardasar) peniadaan sifat melawan hukum dan dasar-dasar peniadaan kesalahan. Satu dan lain hal, pemakaian istilah ini, walaupun agak panjang adalah untuk memudahkan penerapan atau pengertiannya. Jadi seseorang yang melakukan suatu tindakan sesuai dengan rumusan delik, mungkin tindakan ini ternyata tidak bersifat melawan hukum, tetapi mungkin pula seyogianya bersifat melawan
45 46
S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 249 Ibid., hal. 250
hukum, tetapi oleh undang-undang justru dengan tegas sifat-sifat melawan hukum itu ditiadakan.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian hukum doctrinal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang membagi penelitain hukum sebagai berikut : 47 a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doktrinal) hukum positif c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu Menurut Johnny Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normative (doktrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa : 48 1. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach) 2. Pendekatan analisis (Analytical approach) 3. Pendekatan histories (Historical approach) 4. Pendekatan filsafat (Philosophical approach) 5. Pendekatan kasus (Case approach) 47
Soetanddyo Wignjosoebroto yang dikutip dalam Buku Bambang Sunggono, 2001, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Grafindo Parsada, hal. 42 48 Jonny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya : Bayu Media, hal. 300
Skripsi ini menggunakan penelitian hukum hukum normatif dengan metode pendekatan analisis ( Analytica approach) yaitu menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan oleh aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek dan putusan-putusan hukum. 49 serta menggunakan metode pendekatan kasus (Case approach) yaitu suatu penelitian normatif yang bertujuan untuk mempelajari norma-norma hukum atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. 50 Kasus tersebut akan dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormalan suatu aturan hukum dalam praktek hukum. Metode pendekatan kasus yang perlu dipahami bahwa alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya harus memperhatikan fakta-fakta materil berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya. Fakta materil tersebut diperlukan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. 51 Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang dilakukan dan ditujkan pada peraturan perundang-undangan tertulis dari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalhan dalam skripsi dan penerapannya dalam praktek. Penelitian dilakukan dengan menganalisis putusan Pengadilan Neeri Samarinda untuk mengetahui implementasi hukum pidana terhadap penegakan hukum di bidang kehutanan dengan tujuan untuk menemukan norma hukum 49
Ibid., hal. 310 Ibid., hal. 321 51 Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Pranada Media Group, hal. 119 50
tertentu in concreto. 52 Norma hukum tersebut kemudian dianalisis dengan tujuan untuk menemukan teori-teori tentang law in procces dan Law in action yang pada hakikatnya berfungsi dalam rangka menegakkan hukum pidana untuk melindungi hutan dan hasil hutan tersebut. Pendekatan yang digunakan pertama-tama ialah mengumpulkan refrensi atauapun literatur dan sumber-sumber hukum tentang perlindungan hutan dan hasil hutan yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini. 2. Jenis Data Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa KUHP dan undang-undang. b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana mengangkut hasil hutan, seperti seminar hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah tentang tindak pidana mengangkut hasil hutan dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
52
Banbang Sunggono, Op.Cit., hal. 143
3. Metode pengumpulan data Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode library research (penelitian kepustakaan) yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti, peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi. 4. Analisa data Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan kemudian diorganisasi dalam satu pola, kategori dan satu uraian dasar. Analisa data dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif yaitu menganalisa secara lengkap dan komprensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menajwab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini. 53
G. Sistematika penulisan Penulisan karya tulis penulis dirancang dengan susunan sebagai berikut : pada Bab I merupakan Bab pendahuluan yang merupakan latar belakang, permasalahan tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulis. Bab II menguraikan tentang tinjauan umum tentang pengertian kehutanan serta bentuk tindak pidana di bidang kehutanan dan pertanggung jawaban tindak pidana di bidang kehutanan yang ditinjau dari segi perundang-undangan kehutanan UU no 41 thn 1999.
53
hal. 93
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia,
Bab III membahas tentang penelitian terhadap studi-studi kasus yang dilampirkan dalam karya tulis penulis serta analisis kasus yang dilampirkan penulis. Bab IV sebagai Bab terakhir dari karya tulis penulis berisi kesimpulan dan saran dari karya tulis penulis.
BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN MENURUT UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UU NOMOR 41 TAHUN 1999
A.
Tinjauan Umum Tentang Hutan
1. Pengertian hutan Secara harafiah kita mengenal dengan adanya pengertian tentang apa yang disebut dengan hutan dalam bahasa sehari-hari kita mengenal hutan itu adalah bagian yang terdiri dari pepohonan-pepohonan yang tergabung pada suatu kawasan yang selanjutnya akan disebut dengan kawasan atau ruang lingkup kehutanan. Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forresr (Inggris). Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutana, seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) merupakan suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang luas dan burung-burung hutan. Di samping itu juga hutan dijadikan tempat perburuan, tempat istirahat dan tempat bersenang-senang bagi raja dan pegawai-pegawainya namun dalam perkembangan selanjutnya ciri khas ini menjadi hilang. 54 Menurut Dengler bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah sejumlah pohon yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi
54
Penjelasan UU Kehutanan UU Nomor 41 Tahun 1999, Penebrit Fokus Media
dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan / pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal / vertikal) 55 Selanjutnya defenisi hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika serta pelastar tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfera bumi yang paling penting. 56 Tetapi secara umum pengertian dari hutan adalah sumber daya alam yang merupakan karunia Tuhan yang mempunyai fungsi sangat penting untuk pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah dan pelestarian lingkungan dari kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Bila dilihat dari UU Kehutanan di mana yang di maksud dengan pengertian hutan adalah sebagai berikut : 1. Kehutanan adalah suatu sistem pengurusan yang berangkat paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang di selenggarakan secara terpadu. 2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan. 3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau di terapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
55 56
http://id.wikipedia.org/wiki/hutan Ibid.
Disamping itu terdapat juga pembagian pengertian tentang hutan, adapun pembagian tentang pengertian hutan adalah sebagai berikut : 58 1. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 2. Hutan hak adalah yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. 3. Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. 4. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hutan 5. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, untuk mencegah banjir, mengendalikan erosi mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 6. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan ke aneka ragaman tumbuhan dan 7. Satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itu Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya dan wajib disyukuri. Karunia yang diberikanya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. 58
Penjelasan UU Kehutanan UU Nomor 41 Tahun 1999, Penebrit Fokus Media
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia baik manfaat ekologi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu huta harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Dalam kedudukan sebagainya salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus di jaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyimbang lingkungan global sehingga keterkaitannyanya dengan dunia internasional menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Untuk menjaga terpenuhinya kesimbangan manfaat lingkungan manfaat sosial
budaya
dan
manfaat
ekonomi,
pemerintah
menetapkan
dan
mempertahankan kecakupan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sumber daya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. 59 Dengan demikian hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, 59
Penjelasan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, Penebrit Fokus Media
terbuka,
profesional,
serta
bertanggung-gugat.
pengurusan
hutan
yang
berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional Usaha-usaha untuk melindungi dan mengamankan hutan merupakan salah satu usaha dalam rangka pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam UU Kehutanan dengan tujuan agar hutan secara lestari dapat memenuhi fungsinya. Tindakan-tindakan perlindungan hutan dari kerusakan ada diatur tetapi berbagai macam corak pengaturannya, juga tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan pada waktu itu. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 UU Kehutanan, maka perlindungan hutan dari perusakan, meliputi : 60 a. Mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, dayadaya alam, hama dan penyakit. b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan, antara lain usaha perlindungan hutan atau dapat disebut usaha pengamanan teknis hutan dan usaha pengamanan hutan atau dapat disebut usaha pengamanan polisionil terhadap hutan. Dengan demikian bahwa penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh Pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah harus mengambil
inisiatif
dan
melakukan
koordinasi
dalam mendorong
menciptakan situasi yang kondusif.
60
Penjelasan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, Penebrit Fokus Media
dan
2. Asas dan penyelenggaraan kehutanan Pasal 2 UU Kehutanan menyebutkan bahwa asas dalam penyelenggaraan kehutanan adalah berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Lebih lanjut Pasal 3 UU kehutanan menyebutkan bahwa: Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Lebih lanjut maka penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni. Dengan demikian penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha
bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan
penyelenggaraan
kehutanan
mengikutsertakan
masyarakat
dan
memperhatikan aspirasi masyarakat. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.
3. Perlindungan hutan Perlindungan hutan oelh UU Kehutanan diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a yang merumuskan bahwa perlindungan hutan meliputi usaha-usaha mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. 61 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, yang melindungi antara lain : 62 a. Kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya (Pasal 4 – 6) b. Tanah hutan (Pasal 7 – 8) c. Kerusakan hutan (Pasal 9 – 12) d. Hasil hutan (Pasal 13 – 14)
61 62
Media
Penjelasan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, Penebrit Fokus Media Penjelasan PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Penebrit Fokus
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi hutan, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk : 63 a.
Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit
b.
Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Usaha perlindungan hutan hutan merupakan suatu usaha untuk mencegah
terjadinya kerusakan hutan. Ada lima penggolongan kerusakan hutan yang perlu mendapat perlindungan, yaitu 64 : 1. Kerusakan hutan akibat penggergajian / pendudukan tanah hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya dan pengrusakan hutan yang tidak bertanggung jawab. Dalam mengupayakan pencegahan kerusakan
hutan
dan
lingkungan
hidup
yang
disebabkan
adanya
penyalahgunaan gergaji rantai oleh masyarakat, telah ditetapkan Keppres Nomor 21 Tahun 1995 tentang Penjualan, Pemilikan dan Penggunaan Gergaji Rantai. 2. Kerusakan hutan akibat pengambilan batu, tanah dan bahan galian lainnya serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah 63
Penjelasan PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Penebrit Fokus
64
Penjelasan PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Penebrit Fokus
Media Media
3. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa izin 4. Kerusakan hutan akibat pengembalaan ternak dan akibat kebakaran 5. Kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, gangguan hama dan penyakit dan daya alam. Lebih lanjut bahwa perlindungan hasil hutan merupakan usaha untuk menjaga dan melindungi hak-hak negara terhadap hasil hutan, dimana hasil hutan berupa kayu harus diadakan pengukuran dan pengujian. Pengukuran dan pengujian merupakan suatu kegiatan penetapan jenis, penetapan ukuran (volume / berat) dan penetapan kualitas hasil hutan berupa kayu tersebut dan yang akan diuji dan diukur adalah : 65 1. Jenis hasil hutan 2. Ukuran (volume / berat) hasil hutan 3. Kualitas hasil hutan
B. Pengertian Dan Bentuk Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang diancam dengan sanksi terhadap pelanggaran perbuatan tersebut, dimana perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan tersebut melahirkan sanksi yang bersifat pidana, sanksi bersifat perdata ataupun sanksi yang bersifat administrasi. 66
65
Penjelasan PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Penebrit Fokus
Media 66
Abdul Khakim, 2005, Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hal. 160
Secara umum tindak pidana dapat di kategorikan kedalam 2 bagian, yaitu: 67 1. Tindak Pidana Umum di mana perundang-undangannya diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3 buku, 49 Bab serta 569 pasal-pasal yang tercantum di dalam KUHP. Dalam Pasal 103 KUHP Peraturan penghabisan Buku I KUHP adapun isi Pasal 103 KUHP sebagai berikut : Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang di hukum menurut peraturan perundangan-undangan lain, kecuali kalau ada undang-undang (wet tindakan umum pemerintahan Algemene maatregelen van bastur) atau ordonansi menentukan peraturan lain. Sedangkan bentuk tindak pidana yang ke dua adalah bentuk tindak pidana diluar tindak pidana umum atau diluar KUHP yaitu yang disebut dengan tindak pidana khusus dimana UUnya diatur diluar KUHP seperti a. UU Kehutanan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999. b. UU Tindak Pidana Korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2001 c. UU Narkotika diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 Oleh karena penulisan penulis berhubungan kepada tindak pidana dibidang kehutanan, maka hal tersebut terhubungkan kepada UU Nomor 41 Tahun 1999 yaitu UU Kehutanan, Adapun yang dibahas dalam tulisan penulis adalah tentang : a. Illegal Logging atau yang dikenal dengan penebangan hutan secara liar.
67
Ibid., hal. 162
b. Surat perizinan dimana untuk memperoleh kayu hasil hutan tersebut haruslah di sertai dengan surat perizinan yang dikeluarkan oleh wewenang pemerintah yang bersangkutan. c. Surat keterangan hasil hutan dimana setiap kayu hasil hutan yang akan dipergunakan untuk kepentingan dari yang bersangkutan haruslah memperoleh atau memilki surat keterangan hasil hutan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Illeggal Logging atau penebangan hutan secara sembarangan adalah kegiatan penebangan kayu yang tidak legal, tidak sah, tidak resmi, tidak menurut hukum atau melanggar hukum. Jika dikaitkan dalam praktek, pengertian (illegal logging) terbadi 2 (dua), yaitu pengertian secara sempit dan pengertian secara luas. Pengertian secara sempit hanya menyangkut penebangan kayu secara liar, sedangkan pengertian secara luas menyangkut setiap perbuatan/tindakan pelanggaran dalam kegiatan kehutanan yang meliputi perizinan, persiapan operasional, kegiatan produksi, pengangkutan, tata usaha kayu (TUK), pengolahan dan pemasaran. 68 Adapun yang dimaksud dengan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sedangkan yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainya yang tidak dapat dipisahkan.
68
Ibid. 165
Sedangkan jenis-jenis hutannya adalah sebagai berikut : 69 a. Hutan Negara b. Hutan Adat c. Hutan Produksi d. Hutan Lindung e. Hutan Konsuervasi. Dimana yang telah dibahas oleh penulis pada bagian yang terdahulu. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Illegal Logging adalah penebangan kayu secara liar dan sembarangan yang dilakukan oleh pihak yang bersangkuatan. Sedangkan surat perizinan diperoleh dari pejabat yang bewenang dalam mengeluarkan surat izin tersebut dikeluarkanlah surat sahnya hasil hutan tersebut yang akan digunakan oleh pengguna dalam pengangkutan kayu hutan yang akan diangkut dari daerah yang bersangkutan.dimana sebelum surat keterangan sah hasil hutan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang harus adanya Surat keterangan asal kayu sebagai syarat untuk dapat keluarnya surat keterangan sah hasil hutan (SKSHH) tersebut yang berupa dokumen Resmi yang dikeluarkan pejabat yang berwenang sebagai dokumen untuk pengangkutan hasil hutan, penguasaan dan kepemilikan hasil hutan sebagai legalitas hasil hutan. Akan tetapi banyak dari para pelaku yang menyalah gunakan hal ini. Akan tetapi banyak dari para pelaku yang menyalahgunakan dalam perizinan tersebut dimana para pelaku melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam penebangan kayu hutan khususnya dalam pengangkutan
hasil hutan
dimana para pelaku mengeluh atau seringnya keluhan-keluhan dari para pelaku 69
Penjelasan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, Penebrit Fokus Media
seiring dengan kesusahan-kesusahan yang di peroleh dalam proses pembuatan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagai alat bukti mereka dalam pengangkutan hasil hutan. Yang dimana jika pelanggaran itu terjadi maka proses akan di hadapi si pelaku adalah proses melalui hukum di pengadilan yang akan dikenakan dalam bentuk-bentuk ketentuan-ketentuan pidana di bidang kehutanan berdasarkan UU Kehutanan, antara lain : 1. Pasal 50 UU Kehutanan menyebutkan bahwa : 70 (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (3) Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. d. membakar hutan; e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; f. 70
Penjelasan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, Penebrit Fokus Media
menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Oleh karena itu para pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tindak pidana di bidang kehutanan akan dikenakan sanksi penjara kurungan ataupun sanksi-sanksi dendanya.
Dan berdasarkan jurnal diatas jelaslah terlihat bahwa tindak pidana di bidang kehutanan disebut dengan kejahatan.yang dimana dalam KUHP diatur klasifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran
C. Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Kata pertanggung jawaban itu berasal dari kata bertanggung jawab, yaitu dimana menurut Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa kesalahan, pertanggung jawaban dan pidana merupakan ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari baik moral, agama dan hukum. Ketiga unsur tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan berakar dalam suatu keadaan yang sama yaitu pidananya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan. Aturanaturan tersebut dapat bersifat luas dan beraneka ragam yang meliputi bidang hukum perdata dan hukum pidana aturan moral dan masih banyak lagi. Persamaan antara ketiga unsur tersebut meliputi suatu rangkaian aturan tentang tingkah laku, yang diikuti oleh sekelompok tertentu. Dengan demikian sistem yang melahirkan konsep tentang kesalahan, pertanggung jawaban dan pemidanaan itu adalah Sistem Normatif. 71 Bertanggung jawab atas suatu tindakan pidana berarti bahwa yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena tindakan yang telah dilakukannya itu. Suatu pidana dapat dikenakan secara sah apabila untuk tindakan tersebut sudah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tersebut. Dan sistem hukum itu
71
hal. 20
Koesnadi Hardjasoemantri, 1992, Hukum Tata Lingkungan, Penerbit Gajah Mada,
berlaku atas tindakan yang dilakukan itu. Dengan lain perkataan, tindakan itu tidak di benarkan oleh sistem tersebut. Inilah konsep dasarnya. Hukum bertujuan untuk mencapai keadilan (Rechtuaardigkeid) dan keadilan lazim diartikan kesamaan. 72 Dalam kaitanya dengan pertanggung jawaban pidana dalam kepustakaan di sebutkan 3 macam sistem pertanggungjawaban pidana yaitu sebagai berikut ; 73 1. Rumusan yang menyebutkan yang dapat melakukan tindakan pidana dan yang dapat di pertanggung jawabkan adalah orang sistem ini dianut oleh sistem KUHP yang berlaku sekarang. 2. Kedua rumusan yang menyebutkan yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang dan atau badan hukum yang dimana artinya apabila yang melakukan tindakan pidana itu adalah Badan Hukum, maka yang bertanggung jawab adalah anggota pengurus. Sistem ini di anut dalam sistem Ordonansi Devisa. 3. Ketiga rumusan lain yang menyebutkan yang dapat melakukan tindakan pidana dan dapat dipertanggung jawabkan adalah orang dan badan hukum. Sistem ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Tindakan Pidana Di Bidang Kehutanan Dan Illegal Logging UU Nomor 41 tahun 1999. 74 Berangkat dari (tiga) macam pertanggung jawaban pidana tersebut menurut Hermin Hadiati Koeswadji pada dasarnya ada tiga syarat untuk dapat di nyatakan seseorang itu mampu bertanggung jawab yaitu : 75
72
Supriadi, 2001, Hukum Lingkungan di Indonesia dalam Sebuah Pengantar, Jakarta : PT. Sinar Grafika, hal. 306. 73 Ibid. 74 Ibid., hal 306 – 307 75 Ibid, hal 307– 308
a. Dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya. b. Dapat mengisafi bahwa perbuatannya itu tidak di pandang dalam pergaulan masyarakat. c. Mampu untuk menentukan niat / kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut. Berdasarkan uraian yang di kemukakan di atas maka dalam kepustakaan hukum pidana di nyatakan bahwa bertanggung jawab adalah keadaan Normalitas psikis dan kematangan (Kecerdasan) yang membawa pada tiga kemampuan yaitu : a. Mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibat dari perbuatannya sendiri. b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak boleh. c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu. Bertitik tolak dari adanya persyaratan penjatuhan pidana diatas maka beberapa sarjana hukum lingkungan khususnya di bidang kehutanan handaklah dipandang sebagai Ultimatum Remedium. Jadi pertanggung jawaban pidana di bidang tindak pidana di bidang kehutanan adalah kemampuan bertanggung jawab dari orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran hukum pidana di bidang kehutanan. Serta terdapatnya larangan-larangan yang ditujukan kepada masyarakat kepada pengelolaan wilayah hutannya seperti yang tercantum pada Pasal 50 UU Kehutanan menyebutkan bahwa : 76
76
Abdul Hakim, 2004, Dalam Hukum Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Otonomi Daerah, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti hal.5 dan 9 dan UU Kehutanan dan Ilegall Logging, Penerbit Fokus Media., hal. 13 – 14
1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan 2. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu ataupun yang bukan kayu dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. 3. Setiap orang dilarang a. Mengerjakan atau menggunakan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah b. Merambah kawasan hutan c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan jaak sampai dengan : - 500 meter dari tepi waduk atau danau - 200 meter dari tepi mata air dam kiri kanan sungai di daerah rawa - 100 meter dari kiri kanan tepi sungai - 50 meter dari tepi kiri tepi kanan tepi anak sungai - 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang - 130 kali selisih pasang terendah dari tepi pantai. d. Membakar hutan e. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. f. Menerima atau menjual, menerima tukar atau menerima titipan menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut di duga yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
g. Melakukan kegiatan penyelidikan namun atau eksplorasi, eksploitasi, bahan tambang, di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. h. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. i. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. Juga dalam Pasal 78 UU Kehutanan menyebutkan bahwa : (1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling
lama
10
(sepuluh)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima *10011 puluh juta rupiah). (13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran. (14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. (15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. Dari isi pasal-pasal diatas dapatlah diketahui mengenai barangsiapa dari pelaku tindak pidana di bidang kehutanan merupakan manusia (natuurlijk
persoon) dan korporasi atau badan hukum (rechtsopersoon)
77
Pasal 1 butir 24
UU Nomor 23 Tahun 1997 yang menjadi subjek dalam tindak pidana lingkungan hidup, yaitu orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum. Para subjek hukum yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 akan mendapat sanksi atau hukuman baik itu sanksi pidana, perdata dan sanksi administrasi apalagi ketahuan melakukan pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup baik itu dengan kesengajaan maupun dengan kelalaiannya sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup tersebut. Dalam dunia hukum perkataan orang (persoon) dan kelompok orang berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban. Setiap manusia baik itu sebagai warga negara ataupun orang asing dan kelompok orang dengan tidak memandang agama, suku bahkan kebudayaannya dapat dikatakan sebagai subjek hukum. Seorang atau kelompok orang yang disebut sebagai subjek hukum apabila melakukan tindak pidana lingkungan hidup maka sanksi yang akan diterimanya adalah sanksi pidana dan sanksi perdata. Konsep korporasi (badan hukum) mulanya lahir dalam lingkungan hukum perdata. Hak tersebut sebenarnya suatu ciptaan hukum (fisik hukum), selain manusia alamiah, lalu diciptakan suatu korporasi (badan hukum) yang juga dapat menjadi subjek hukum dengan segala harta kekayaan yang ditimbulkan dari perbuatan itu. 77
Ali Ridho, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit Alumni Bandung, hal. 21
Dalam hukum pidana pengertian korporasi (badan hukum) adalah sama dengan badan-badan hukum di lapangan hukum perdata, yaitu salah bentuk dari badan hukum. Menurut sifatnya, badan hukum di lapangan hukum perdata terbagi atas dua golongan, yakni korporasi dan yayasan. Menurut STK Malikul Adil bahwa korporasi berasal dari kata corporatie (Belanda), corporation (Inggris dan Perancis), korporation (Jerman), sedangkan pada di Indonesia adalah badan. Jadi artinya adalah badan atau membadankan.
78
Dengan demikian corporatio tersebut adalah pekerjaan membadankan atau badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai tantangan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam. Menurut E. Utreht dan Moh. Saleh Djindang, yang dimaksud dengan badan hukum ialah setiap pendukung hak-hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta yang benar, dalam pergaulan hukum biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya. 79 Berkaitan dengan pembahasan di atas maka penulis mencoba memaparkan terhadap kajian dalam pelaku tindak pidana di bidang kehutanan dalam pasalpasal pengertian di KUHP yang mengatur tentang pelaku yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, adapun pembahasan pasal-pasal penyertaan di KUHP tindak pidana adalah sebagai berikut :
78
Chidir Ali, 1999, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 66 E. Utreht dan Moh. Saleh Djindang, 1995, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 226 79
Pasal 55 KUHP dikatakan bahwa dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana : 80 1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu ; 2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan. (2) Tentang orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan kepadanya banyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya Disini disebutkan peristiwa, pidana", jadi baik kejahatan maupun pelanggaran. Yang dihukum sebagai orang yang melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam yaitu: 81 1. Orang yang melakukan (pleger), Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status sebagai pegawai Negeri". 2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian toch ia dipandang dan dihukum sebagai orang
80 81
Penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana SR. Sianturi, Op. Cit., hal. 10-12
yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya, misalnya dalam hal sebagai berikut: a. Tidak dapat dipertanggung-jawabkan menurut Pasal 44, umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak berani melakukan sendiri telah menyuruh C (seorang gila) untuk melemparkan granat tangan kepada B, bila C betul-betul telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggung-jawabkan, sedang yang dihukum sebagai pembunuh ialah A. b. Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut pasal 48, umpamanya A berniat membakar rumah-B dan dengan menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C menurut membakar rumah itu, ia tidak dapat dihukum karena dipaksa, sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, toch dihukum sebagai pembakar. c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan.yang tidak syah menurut pasal 51, misalnya seorang Inspektur Polisi mau membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu dalam kamar lahanan. Ia menyuruh B seorang agen polisi dibawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan dalam tahanan orang tersebut dengan dikatakan, bahwa orang itu tersangka mencuri. Jika B melaksanakan suruhan itu, ia tidak dapat dihukum atas merampas kemerdekaan orang
karena ia menyangka bahwa perintah itu syah, sedang yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah tetap si Inspektur Polisi. d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali, misalnya A berniat akan mencuri sepeda yang sedang ditaruh dimuka kantor pos. Ia tidak berani menjalankan sendiri, akan tetapi ia dengan menunggu ditempat agak jauh minta tolong pada B untuk mengambilkan sepeda itu dengan dikatakan, bahwa itu adalah miiiknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak salah .mencuri, karena elemen “sengaja" tidak ada. Yang dihukum sebagai pencuri tetap A. 3. Orang yang turut melakukan (medepleger). Turut metakukan" dalam arti kata bersama-sama melakukan". Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk medepleger" akan tetapi dihukum sebagai membantu melakukan" medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56 UU Kehutanan. Contoh: A berniat mencuri dirumah B dan mengajak C untuk bersama-sama melakukan. Kedua-duanya masuk rumah dan mengambil barang-barang, atau C yang menggali lubang gasiran", sedang A yang masuk dan mengambil barang-barangnya.
Disini
C
dihukum sebagai
amedepleger",
karena
melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian itu. Andaikata C hanya berdiri
diluar untuk menjaga dan memberi isyarat kalau ada orang datang, maka C dihukum sebagai medeplichtige" Pasal 56, sebab perbuatannya hanya bersifat menolong saja. 4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dsb. Dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker). Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedang membujuknya harus memakai salah satu dan jalan-jalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan dsb. yang disebutkan daiam pasal itu, artinya tidak boleh memakai jalan lain. Disini seperti halnya dengan suruh melakukan" sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang membujuk dan yang dibujuk, hanya bedanya pada membujuk melakukan", orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedang pada disuruh melakukan", orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum.
BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN-Smda
A. Kronologis Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN-Smda 1. Kronologis Perkara Pada hari Minggu tanggal 11 November 2007 sekitar jam 05.00 Wita bertempat di Jl. Jakarta Loa Bakung Samarinda, petugas kepolisian sektor sungai kunjung terdiri dari saksi Manudi dan saksi Sugondo telah menghentikan sebuah mobil truk No.Pol. KT 8546 RI, berisi kayu bulat jenis sengon. Dimana, truk tersebut dikemudikan oleh Supri, sedangkan terdakwa waktu itu duduk di samping sopir. Petugas kepolisian bertanya kepada terdakwa mengenai
dokumen
kelengkapan
kayu
tersebut,
terdakwa
hanya
bisa
memperlihatkan surat keterangan tertanggal 11 November 2007 yang ditanda tangani Sekretaris Desa Benua Ilir Kabupaten Kutai Timur. Jumlah kayu bulat jenis sengon yang diangkut tersebut adalah sebanyak 123 potong atau sekitar 9,82 m3, dimana yang menurut pengakuan terdakwa adalah miliknya yang dibeli dari seorang bernama La Kahi dengan harga Rp. 400.000.00 di daerah Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur. Kayu jenis sengon yang diangkut terdakwa tersebut dibawa dari daerah Sangkulirang Kutai Timur dan akan dijual ke sebuah perusahaan RKR di daerah Loa Boa Samarinda. Terdakwa juga sudah pernah mengangkat kayu ke perusahaan tersebut menggunakan surat keterangan yang dikeluarkan kepala desa.
2. Dakwaan Bahwa ia terdakwa Suparman bin Ponidi, baik bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Supri (belum tertangkap) pada hari Minggu tanggal 11 November 2007. Sekira pukul 05.00 Wita, setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2007 bertempat di jalan Loa Bakung Sungai Kunjang Samarinda atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Samarinda, sebagai orang yang melakukan yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat sebanyak lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 (sembilan koma delapan puluh dua) m3 yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : - Awalnya terdakwa membeli kayu sengon bulat sebanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 (sembilan koma delapan puluh dua) m3 dari LA KAHI di daerah Sangkulirang Kutai Timur seharga Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) selanjutnya terdakwa menyuruh Supri (belum tertangkap) untuk mengangkut kayu sengon tersebut ke perusahaan RKR dengan menggunakan kenderaan truk No.Pol. KT 8546 RL dan saat itu juga terdakwa ikut bersama-sama Supri menuju ke perusahaan RKR tersebut, namun dalam perjalanan menuju Samarinda tepatnya di jalan Toa Bakung Sungai Kunjang Samarinda kendaraan truk tersebut diberhentikan oleh petugas kepolisian Polsekta Sei Kunjang yaitu saksi Sugondo dan saksi Mahudi kemudian pada saat dilakukan pemeriksaan, Supri berhasil melarikan diri sedangkan terdakwa
mengakui bahwa kayu sengon tersebut adalah miliknya dan tidak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan dari pihak berwenang atau dokumen yang sah yaitu berupa Surat Keterangan Sahnya Hasil Kayu Bulat (SKSKB), faktor angkutan bulat (FA-HHBK) Surat Angkutan Lelang (SAL), Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dan nota atau faktor perusahaan (nota/faktur). Selanjutnya terdakwa diamankan barang buktinya tersebut untuk diproses lebih lanjut. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dalam pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Tuntutan Hukum Telah mendengar tuntutan hukum penuntut umum yang dibacakan dan diserahkan dalam persidangan tanggal 28 April 2008 pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa SUPARMAN BIN PONIDI bersalah melakukan tindak pidana sebagai orang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat sebanyak kurang lebih 123 (Seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 (Sembilan koma delapan puluh dua) m3 yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf n jo Pasal 50 ayat 3 huruf H io Pasal 78 ayat (1)
Undang-undang No. 41 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam surat dakwaan. 2. Menjatuhkan pidana aterhadap terdakwa Suparman Bin Ponidi dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun potong masa tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan dan denda sebesar 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. 3. Menyatakan barang bukti berupa : - 1 (satu) unit truk KT 8546 RL berisi muatan kayu sengon bulat 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau 9,82 (sembilan koma delapan puluh dua) m3, 1 (satu) lembar STNK dan anak kunci dirampas untuk negara. - 1 (satu) lembar surat keterangan no. 05. 2006/145/3981/2007, tanggal 11 November 2007 dilampirkan dalam berkas perkara. 4. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah).
4. Fakta hukum Fakta hukum dirumuskan oleh oleh majelis hakim setelah mendengar dan memeriksa keterangan saksi-saksi dan juga terdakwa. a. Keterangan saksi Dipersidangan telah didengar keterangan para saksi, yaitu : 1. Sugondo 2. Mahudi 3. Abdul Muthalib, A.Ma bin Syahran 4. Saksi Ahli Agung Rohendi, S.Hut
5. Keterangan Terdakwa Para saksi setelah disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing yag pada pokoknya membenarkan keterangan yang telah diberikannya di depan penyidik sesuai dengan BAP Kepolisian yang telah dilaksanakan yang menerangkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan oleh penuntut umum sebagaimana dalam surta dakwaan. 1. Saksi Sugondo di depan persidangan menerangkan bahwa a) Benar pada hari Minggu tanggal 11 November 2007 sekitar jam 05.00 Wita saksi bersama teman dari Polsekta Sungai Kunjang yaitu Mahudi telah melakukan penanggakapan terhadap terdakwa di Jala Jakarta Loa Bakung Samarinda. b) Terdakwa ditangkap karema kedapatan sekitas 9,82 m3 dengan menggunakan truk No. Pol KT8546 RL yang dikemudikan oleh Supri tanpa dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan berupa surat keterangan asal usul kayu. c) Waktu ditangkap terdakwa mengaku sebagai pemiliki kayu sengon tersebut, sedangkan Dupri hanya sebagai supir dimana sewaktu saksi pergi menanyakan dokumen kayu kepada terdakwa, Supri pergi tanpa izin saksi dan sekarang masuk daftar pencarian orang (DPO) d) Menurut keterangan terdakwa bahwa kayu sengon bulat tersebut dibeli terdakwa dari masyarakat di Sangkulirang Kutai Timur kemudian diangkut dari Sangkulirang untuk dijual ke perusahaan RKR di Samarinda.
e) Benar ketika ditangkap terdakwa ada membawa surat keterangan tertanggal 11 November 2007 yang ditandatangani oleh Sekretaris Desa Benua Baru Ilir yang menerangkan bahwa kayu yang diangkut terdakwa tersebut benar adalah hasil dari kebun petani yang berada di wilayah desa Benua Ilir Kecamatan Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur. 2. Saksi Mahmud didepan persidangan menerangkan antara lain : a) Benar pada hari Minggu 11 November 2007 sekitar jam 05.00 Wita saksi bersama teman dari Polsekta Sungai Kunjang yaitu Sugondo telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa di Jl. Jakarto Loa Bakung Samarinda b) Bahwa terdakwa ditangkap karena kedapatan sedang mengangkut kayu jenis sengon bulat sebanyak 123 potong atau sekitar 9.82 M3 dengan menggunakan truk No. Pol KT8546 RL yang dikemudikan oleh Supri tanpa dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan berupa surat keterangan asal usul kayu. c) Waktu ditangkap terdakwa mengaku sebagai pemiliki kayu sengon tersebut, sedangkan Dupri hanya sebagai supir dimana sewaktu saksi pergi menanyakan dokumen kayu kepada terdakwa, Supri pergi tanpa izin saksi dan sekarang masuk daftar pencarian orang (DPO) d) Menurut keterangan terdakwa bahwa kayu sengon bulat tersebut dibeli terdakwa dari masyarakat di Sangkulirang Kutai Timur kemudian diangkut dari Sangkulirang untuk dijual ke perusahaan RKR di Samarinda.
e) Benar ketika ditangkap terdakwa ada membawa surat keterangan tertanggal 11 November 2007 yang ditandatangani oleh Sekretaris Desa Benua Baru Ilir yang menerangkan bahwa kayu yang diangkut terdakwa tersebut benar adalah hasil dari kebun petani yang berada di wilayah desa Benua Ilir Kecamatan Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur. 3. Saksi Abdul Muthalib, A.Ma bin Syahran, ataw permintaan jaksa penuntut umum yang disetujui terdakwa, keterangan saksi dalam berita acara penyidikan dibacakan pada pokoknya sebagai berikut : a) Saksi adalah sekretaris Desa Benua Baru Ilir dengan tugas dan tanggungjawabnya mengurusi segala administrasi dan menggatikan tugas kepala desa kalau kepala desa tidak ada di tempat. b) Benar saksi yang menandatangani Surat keterangan Nomor : 05.2006/145/3981/2007 tanggal 11 – 11 – 2007 yang menerangkan bahwa La Kahi telah menjual sengon sebanyak 8 m3 kepada Suparman yang akan diangkut ke Samarinda menggunakan truk 8546 RL e. Bahwa Kepala Desa Benua Baru Ilir sudah sering mengeluarkan surat keterangan untuk dokumen pengangkutan pengangkutan kayu sengon bulat kepada warga meskipun belum ada SK penunjukan sebagai pejabat penerbit SKAU dari Bupati Kutai Timur dan itu ditempu hanya sebatas kebijaksanaan Pak Muhammad Yani selaku kepada desa.
4. Saksi Ahli Agung Rohendi, S.Hut a) Saksi ahli adalah PNS ada Dinas Kehutanan UPTD PHH Samarinda secara khusus membidangi peredaran hasil hutan. b) Dokumen yang harus dimiliki dan dibawa saat menguasai, memiliki dan atas mengangkut hasil hutan berupa kayu : -
Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB)
-
Faktur angkutan kayu bulat (FA-KB)
-
Faktur angkutan kayu olahan (FA-KO)
-
Faktur angkutan hasil hutan bukan kayu (FA-HHBK)
-
Surat angkutan lelang (SAL)
-
Nota / faktur perusahaan penjual (Nota / Faktur)
c) Khusus untuk kayu jenis sengon bulat yang berasal dari hutan hak atau kebun rakyat, dokumen Surat Keterangan sahnya hasil hutan yang harus menyertainya adalah surat keterangan asal usul (SKUA) yang diterbitkan oleh Lurah / Kepala Desa setempat yang ditetapkan sebagai pejabat penerbit berdasarkan SK Bupati yang bersangkutan d) Sesuai Permenhut No. P.51/Menhut-II/2006 yaitu diubah dengan Permenhut
No.
P.33/Menhut-II/2007
bahwa
sebelum
SKAU
diterbitkan, Lurah / Kepala Desa yang bersangkutan harus harus mengecek dan melakukan pemeriksaan dan pengukuran terhadap jenis, jumlah dan volume kayu sebagai dasar pengisian SKAU dan SKAU yang harus digunakan adalah blanko SKAU yang berasal dari Dinas Kehutanan Propinsi.
e) Bahwa Surat Keterangan Nomor : 05.2006/145/3981/2007, tanggal 11 – 11 – 2007 yang ditandatangani Sekretaris Daerah Benua Baru Ilir bukan merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan untuk memiliki, menguasai atau mengangkut hasil hutan yang termasuk kayu sengon bulat karena sudah ada blanko khusus untuk itu yang berkop Dinas Kehutanan. b. Keterangan Terdakwa Dipersidangan terdakwa juga memberikan keterangan yang pada pokoknya membenarkan keterangan para saksi tersebut sesuai dengan BAP Kepolisian yang berisikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan penuntut umum sebagaimana dalam surat dakwaan. Adapun isi dari keterangan dari terdakwa adalah sebagai berikut : 1. Bahwa terdakwa ditangkap polisi ketika sedang membawa kayu jenis sengon bulat yang diangkut menggunakan mobil truk No. Pol 8546 RL yang disupuri Sukri tepatnya di Jl. Jakarta Loa Bakung Sungai Kunjang Samarinda pada hari Minggu tanggal 11 November 2007 sekitar pukul 05.00 Wita 2. Bahwa untuk itu saksi duduk di samping sopir dan pas ketika lewat di Jalan Jakarta mobil kami dihentikan oleh petugas kepolisian kemudian kami diperiksa 3. Bahwa kayu sengon yang kami angkut ketik ditangkap adalah sebanyak 123 potong kemudian setelah diukur oleh petugas jumlahnya 9,82 m3 dimana kayu tersebut terdakwa beli dari La Kahi di daerah Sangkulirang
Kutai Timur dengan harga Rp. 400.000,- kemudian kayu itu kami angkut dari Sangkulirang untuk dijual ke perusahaan RKR di daerah Lo Bua Sungai Kunjang Samarinda 4. Bahwa dalam mengangkut kayu sengon bulat tersebut, terdakwa telah membawa surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Benua Baru Ilir yang ditanda tangani oleh Sekretaris Desa yaitu Abdul Muthalib, A.Ma tertanggal 11 – 11 – 2007 dan meminta surat keterangan tersebut adalah La Kahi selaku pemilik kayu sebelumnya. 5. Bahwa terdakwa membeli kayu tersebut dari La Kahi sudah termasuk surat-suratnya dan apakah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa tersebut sah atau tidak, terdakwa tidak tahu, karena setahu terdakwa kalau kayu sengon itu cukup dilengkapi dengan surat keterangan dari Kepala Desa. 6. Bahwa terdakwa sudah dua kali mengangkut kayu sengon ke perusahaan RKR di Loa Bua tersebut dan surat yang digunakan adalah cukup dengan menggunakan surat keterangan dari Kepala Desa 7. Bahwa terdakwalah yang menyuruh supir mengangkut kayu tersebut dengan ongkos angkut Rp. 300.000,- sekali angkut dan ketika polisi sedang menanyakan dokumen kayu tersebut, Supri langsung pergi dan sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. 8. Bahwa terdakwa mengaku bersalah akibat ketidaktahuan terdakwa bahwa surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa tersebut adalah bukan Surat Keterangan yang sah untuk mengangkut kayu sengon dan terdakwa berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang salah tersebut.
c. Fakta hukum dari Majelis Hakim Dari keterangan para saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan fakta-fakta yuridis sebagai berikut : Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 11 November 2007 sekitar jam 05.00 Wita bertempat di Jl. Jakarta Loa Bakung Samarinda, petugas kepolisian sektor sungai kunjung terdiri dari saksi Manudi dan saksi Sugondo telah menghentikan sebuah mobil truk No.Pol. KT 8546 RI, berisi kayu bulat jenis sengon. Bahwa yang mengemudikan mobil truk berisi kayu bulat jenis sengon tersebut adalah Supri sedangkan terdakwa waktu itu duduk di samping sopir dan ketika terdakwa ditanya petugas kepolisian mengenai dokumen kelengkapannya, terdakwa hanya memperlihatkan surat keterangan tertanggal 11 November 2007 yang ditanda tangani Sekretaris Desa Benua Ilir Kabupaten Kutai Timur. Bahwa kayu bulat jenis sengon yang diangkut tersebut adalah sebanyak 123 potong atau sekitar 9,82 m3, dimana yang menurut pengakuan terdakwa adalah miliknya yang dibeli dari seorang bernama La Kahi dengan harga Rp. 400.000.00 di daerah Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur. Bahwa kayu jenis sengon yang diangkut terdakawa dibawa dari daerah Sangkulirang Kutai Timur dan akan dijual ke sebuah perusahaan RKR di daerah Loa Boa Samarinda dimana sebelumnya terdakwa sudah pernah mengangkat kayu ke perusahaan tersebut menggunakan surat keterangan yang dikeluarkan kepala desa
bahwa waktu terdakwa sedang ditanya polisi mengenai kelengkapan dokumen kayu yang diangkutnya, dimana Supri (sopir) yang pergi tanpa seijin petugas dan dimana yang sampai sekarang belum ditemukan petugas kepolisian. c. Pertimbangan hukum majelis hakim Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya mempertimbangkan bahwa terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan tunggal melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat 92) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengandung unsurunsurnya sebagai berikut : 1. Setiap orang 2. Dilarang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Majelis hakim menilai berdasarkan pertimbangan hukum tersebut secara sah tersebut di atas, maka terdakwa haruslah dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
sebagaimana
yang
didakwakan dalam dakwaan Suparman bin Ponidi, tersebut dan oleh karenanya ternayat tidak ada alasan pemaaf dan ataupun pembenaran dalam perbuatan terdakwa tersebut, serta terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya, maka terdakwa harus dijatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatannya tersebut. Sebelum menjatuhkan pidana apa yang paling tepat dan adil, sesuai dengan kesalahan
terdakwa
tersebut,
majelis
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
hakim
terlebih
dahulu
akan
Hal-hal yang memberatkan : 1. Perbuatan terdakwa dapat membahayakan kelestarian lingkungan hidup Hal-hal yang meringankan : 1. Terdakwa belum pernah dihukum 2. Terdakwa sopan dan mengakui terus terang perbuatannya 3. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga Bahwa berdasarkan di atas, maka terdakwa haruslah dijatuhkan pidana penjara sesuai bunyi putusan ini dan oleh karena terdakwa telah ditahan secara sah, maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa, sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, haruslah dikurangkan seluruhnya dari pidana tersebut.
a. Amar Putusan Dalam perkara ini majelis hakim menjatuhkan putusan yang isinya secara lengkap sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa SUPARMAN Bin PONIDI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengangkut, memiliki, atau menguasai hasil hutan tanpa dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan yang dilakukan secara bersama-sama; 2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurangan; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Memerintahkan supaya barang bukti dalam perkara ini berupa : -
1 (satu) unit mobil truk KT 8546 RL berisi kayu bulat jenis sengon sebanyak 123 potong atau sekitar 0,92 m3 dan 1 (satu) lembar STNK mobil truk KT 8546 RL dan 1 (satu) anak kunci mobil, dirampas untuk negara;
-
1 (satu) lembar surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Benua Baru Ilir Kutai Timur tetap terlampir dalam berkas perkara;
6. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah);
B. Analisis Kasus Putusan perkara dengan register perkara Nomor 152/Pid.B/2008 tentang mengangkut, memiliki atau menguasai hasil hutan tanpa dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan yang dilakukan bersama-sama, maka dapat diberikan beberapa analisa terhadap putusan tersebut. Kasus diatas maka penulis mencoba memaparkan terhadap kajian dalam pelaku tindak pidana di bidang kehutanan dalam Pasal 50 ayat (3) jo. Pasal 78 ayat (7) UU Kehutanan dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP mengenai hal pelaku yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, adapun pembahasan pasal-pasal penyertaan di KUHP tindak pidana. Bila dilihat dalam Pasal 50 ayat (3) huruh h UU Kehutanan maka yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana dalam kasus ini setelah dilakukan pemeriksaan dikenakan pada setiap orang dilarang adalah mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan
surat keterangan sahnya hasil hutan. Pada Pasal 78 ayat (8) yang dapat dikenakan adalah pada barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Pasal 55 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa ketika pasal di atas saling keterkaitan antara satu yang lain dimana terdapat orang yang melakukan (pleger), yaitu seseorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana. Dan juga dapat dilihat bahwa terdakwa dapat mempertanggungjawabkannya perbuatan pidana yang dilakukannya, sebagaimana jika telah melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang telarang (diharuskan) seseorang akan dipertanggungjawabkan dalam pidana atas tindakan-tindakan tersebut dan apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenaran) untuk itu maka bila dilihat dari sudut kemampuan dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid), pada umumnya karena : c. Keadaan jiwanya : 1) tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair); 2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan;
3) tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah-sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts dan lain sebaginya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. d. Kemampuan jiwanya 1) dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya, 2) dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan; 3) dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 82 Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir (vertandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstandelijke vermogens. Penyertaan (deelneming) diatur dalam Buku Kesatu tentang aturan umum, Bab V, Pasal 55 – 62 KUHP. Dikatakan ada suatu penyertaan jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih dari satu orang, keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat dilakukan secara psikis maupun phisik, sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa pidana tersebut. Harus dicari sejauhmana peranan masing-masing, sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya. Dalam menguraikan penyertaan melakukan tindak pidana, harus diketahui lebih dahulu siapa pelaku tindak pidana, sebab pada hakikatnya penyertaan dalam suatu tindak pidana akan mencari siapa yang bertanggungjawab atas terjadinya tindak pidana. 82
Satochid Kartanegara, Op. Cit hal. 253
Pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin merupakan mereka yang telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan, sedang pelaku menurut KUHP merupakan sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam KUHP sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku. Pasal 55 dan 56 KUHP memberikan klasifikasi tentang siapa orang yang dianggap sebagai pelaku dan pembantu dalam suatu tindak pidana. Ternyata berdasarkan pasal tersebut yang dianggap sebagai pelaku bukan saja mereka yang memenuhi unsur suatu delik, akan tetapi juga mereka yang tidak memenuhi semua unsur delik namun terlibat di dalam peristiwa tindak pidana tersebut. Bila dilihat pendapat dari Utrecht bahwa pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat, yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka bertanggungjawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. 83 Pasal 55 KUHP menyebutkan bahwa : (1)
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;
83
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan & Penyertaan, Jakarta : PT. Raja Grafindo, hal. 69
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu. (2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya . Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP tersebut diketahuilah bahwa orang yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas : a. Mereka yang melakukan tindak pidana (plegen) Untuk menentukan seseorang sebagai pelaku dalam arti sempit atau yang lebih dikenal dengan istilah pelaku tunggal (dader) cukup jika perbuatannya telah memenuhi syarat unsur delik. Sedangkan mereka yang melakukan tindak pidana (plegen) mengacu kepada orangnya disebut dengan pembuat pelaksana (pleger), adalah orang yang karena perbuatanyalah yang melahirkan tindak pidana tersebut, tanpa ada perbuatan-perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana tersebut tidak akan terwujud. Perbedaan pleger dengan dader adalah terhadp pleger masih diperlukan keterlibatan orang lain baik secara psikhis ataupu phisik, hanya saja keterlibatan orang lain ini harus sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut tidak sebagai penentu dalam mewujudkan tindak pidana yang dilakukan. b. Mereka yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana (doen plegen) Bentuk penyertaan ini terdapat seseorang yang ingin melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Dia menyuruh orang lain
untuk melaksanakannya. Syarat yang terpenting dalam bentuk menyuruh adalah
orang
yang
disurug
adalah
orang
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan. Jika diperinci syarat-syarat bentuk penyertaan menyuruh melakukan adalah sebagai berikut : -
Ada orang yangberkehendak melakukan tindak pidana
-
Orang tersebut tidak melakukannya sendiri
-
Menyuruh orang lain untuk melakukan
-
Orang
yang
disuruh
adalah
orang
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan. Penyertaan dalam bentuk menyuruh melakukan ini terdapat minimal dua orang yang terlibat, yaitu yang menyuruh melakukan (doen pleger) dan yang disuruh melakukan (pleger). Yang disuruh melakukan tindak pidana itu harus nyata merupakan suatu alat (instrumen) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. c. Mereka yang ikut serta melakukan tindak pidana (medeplegen) Syarat yang diperlukan agar dapat dikatakan telah terjadi suatu medeplegen adalah : 1. Harus ada kesadaran kerjasama dari setiap peserta, yaitu mereka sadar bahwa mereka bersama-sama akan melakukan tindak pidana. Dalam bentuk kesadaran kerjasama itu tidak harus jauh sebelumnya dilakukannya tindak pidana, jadi tidak perlu ada sebelumnya suatu perundingan untuk merencanakan tindak pidana. Kesadaran kerja sama diantara para peserta dapat terjadi pada saat terjadinya peristiwa.
2. Kerjasama dalam tindak pidana harus secara phisik. Semua peserta dalam ikut serta harus bersama-sama secara phisik melakukan tindak pidana itu. Namun tidak perlu semua peserta memenuhi secara persis seperti apa yang termuat sebagai unsur tindak pidana. Bagi setiap peserta dalam ikut serta mempunyai kapasitas yang sama sebagai pelaku dari tindak pidana yang mereka sepakati. Artinya kepada setiap peserta diancamkan pidana yang sama meskipun diantara mereka ada yang tidak memenuhi unsur dari tindak pidana yang dituduhkan. Karena setiap peserta dianggap sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut, maka semua peserta diancam dengan pidana yang sama. d. Mereka yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uitlokken) Van hamel merumuskan uitloken itu sebagai suatu bentuk deelneming atau ikut serta, yaitu kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undangundang, karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana. 84 Dengan demikian dapat diketahui bahwa antara menyuruh melakuakn (doen plegen) dengan yang menggerakkan orang lain (uitloken) itu terdapat suatu persamaan yaitu orang yang menyuruh dan orang yang menggerakkan itu
84
PAF. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : CV. Sinar Baru, hal. 606
sama-sama tidak melakukan sendiri tindak pidana yang ditujunya melainkan dengan perantaraan orang lain. Menurut
Loebby
Logman
bahwa
syarat
penyertaan
dalam
bentuk
menggerakkan ini adalah sebagai berikut : 85 a. Ada orang yang berkehendak melakukan suatu tindak pidana b. Orang tersebut tidak melakukannya sendiri c. Dengan suatu daya upaya yang telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang d. Menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana yang dikehendaki e. Orang digerakkan dalam melakukan tindak pidana adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Upaya menggerakkan agar orang lain melakukan tindak pidana dalam penggerakan ini telah diatur secara limitatif yang dapat dilihat di daalm Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP, yaitu : a. Memberikan sesuatu b. Memberikan janji c. Menyalahgunakan kekuasaan d. Menyalahgunakan martabat e. Kekerasan f. Ancaman g. Penyesatan 85
Loebby Loqman, 1995, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta : Universitas Tarumanagara, hal. 71
h. Memberikan kesempatan i.
Memberikan sarana
j.
Memberikan keterangan Pembantuan terdapat dalam penyertaan karena di dalam pembantuan
terlibat lebih dari satu orang dalam suatu tindak pidana, yaitu ada orang yang melakukan tindak pidana itu dan ada orang lain lagi yang membantu tindak pidana tersebut. Pembantuan terdapat dalam pasal 56, 57 dan 60 KUHP. Dalam Pasal 56 KUHP menyebutkan bahwa dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1. mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan; 2. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHP tersebut diketahui bahwa ada 2 bentuk membantu melakukan (medeplichtige), yaitu pembantuan sebelum kejahatan dilakukan dan pembantuan pada saat kejadian itu dilakukan. Putusan Pengadilan Negeri Samarinda pada kasus ini akan dianalisis dengan mempertimbangkan aspek kepastian hukum, aspek keadilan dan aspek kemanfaatan hukum. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah melanggar Pasal 78 ayat (7) UU Kehutanan yang rumusannya sebagai berikut : Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Perbuatan yang dikategorikan tindak pidana pada Pasal 78 ayat (7) UU Kehutanan diatas dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, yaitu mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Unsur objektif pada pasal ini adalah : a. Mengangkat hasil hutan atau Dalam mengangkut hasil hutan dalam kasus ini telah terbukti berdasarkan keterangan saksi Sugondo dan saksi Muhadi serta keterangan terdakwa bahwa pada hari Minggu tanggal 11 November 2007 sekitar pukul 05.00 Wita, mobil truk No. Pol KT 8546 RL yang dikemudikan Supri mengangkut kayu bulat jenis sengon sebanyak 123 potong atau sekitar 0,92 m3 dan terdakwa saat itu sedang berada di atas mobil truk duduk di samping supir. b. Menguasai hasil hutan Dalam hal menguasai hasil hutan telah terbukti hal ini dapat diketahui dari keterangan saksi Sugondo dan saksi Mahudi yang dibenarkan terdakwa bahwa mobil truk yang dihentikan petugas kepolisian tersebut memuat kayu bulat jenis sengon sebanyak 123 potong atau sekitar 0,92 m3 c. Memiliki hasil hutan Dalam hal menguasai hasil hutan yang dilakukan terdakwa telah terbukti, hal mana sesuai keterangan terdakwa yang dikuatkan dengan keterangan saksi Abdul Mutalib, A.Ma diperoleh fakta bahwa kayu bulat jenis sengon yang dimuat dalam mobil truk tersebut seluruhnya dibeli terdakwa di Sangkulirang
Kabupaten Kutai Timur sari seseorang bernama La Kahi dengan harga Rp. 400.000,- dan telah dibayar lunas terdakwa dan diangkut terdakwa untuk dijual ke perusahaan RKR di Loa Bua Samarinda sehingga dari fakta ini terbukti bahwa kayu bulat jenis sengon tersebut milik terdakwa. d. Tidak melengkapi surat-surat keterangan sahnya hasil hutan. Dalam hal tidak lengkapnya surat-surat keterangan yang sah menurut hasil hutan telah sesuai dengan keterangan terdakwa yang dikuatkan dengan keterangan saksi Abdul Mutalib, A.Ma diperoleh pula fakta bahwa jenis kayu sengon yang dimuat dalam truk tersebut ternyata tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan berupa surat keterangan asal usul kayu, sedangkan menurut keterangan terdakwa bahwa ia hanya emmbawa surat keterangan dari Kepala Desa Benua Baru Ilir yang ditandatangani oleh Sekretaris Desa Abdul Mutalib tertanggal 11 November 2007. Dengan melihat unsur-unsur yang telah terpenuhi keseluruhannya untuk dapat telah melakukan tindak pidana, sehingga dapat dikatakan terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 50 ayat (3) jo. Pasal 78 ayat (7) UU Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Unsur subjektif, yaitu dengan sengaja. Majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda yang memutuskan perkara ini di dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal pada dakwaan tunggal dan majelis hakim berkeyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (7) jo. Pasal 50
ayat (3) huruf h UU kehutanan. Selama proses pemeriksaan di persidangan, majelis hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa tersebut, baik alasan pemaaf maupun alasan pembenaran. Oleh karena itu terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukkannya maka terdakwa harus dijatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan tersebut. Majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda melalui putusannya Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda menjatuhkan vonis kepada terdakwa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 2.000.000,(dua juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurangan. Vonis majelis hakim ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut terdakwa supaya dipidana penjara selama 3 tahun potong masa tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 3.000.000,- subsidair 3 bulan kurungan. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, maka telah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat senbanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 m3 yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Dengan demikian kasus ini terdakwa telah memenuhi unsur objektif dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (1) UU Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa, tidak cukup sebatas
terpenuhinya
unsur
objektif
saja.
Terdakwa
dapat
diminta
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu apabila terbukti juga unsur subjektif yaitu berupa unsur kesengajaan di dalam melakukan perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan pernyataan Roeslan Saleh bahwa seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi hukuman pidana kalau telah melakukan perbuatan pidana, namun meskipun demikian seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidaklah selalu dapat dipidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia mempunyai kesalahan baik berupa kesengajaan atau kelalaian. Dengan demikian unsur tersebut di atas dalam hukum pidana berkaitan dengan pertanggungjawaban pelaku kejahatan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Criminal wetboek) Tahun 1809 dikatakan mengenai kesengajaan merupakan kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Dalam Memori van Toelichting (MtV) Menteri Kehakiman sewaktu mengajukan Criminal wetboek 1881 dijelaskan mengenai sengaja diartikan sebagai dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu. Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian sengaja, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. 86 Bila dilihat teori kehendak yang mengatakan bahwa kesengajaan adalah kehendak untuk 86
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I., Semarang : Penerbit Yayasan Sudarto, hal. 102 - 105
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang, sedangkan pada teori pengetahuan atau membayangkan, maka manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan banyangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Bila diperhatikan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa yang terungkap dipersidangan, maka ditemukan fakta bahwa terdakwa telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat sebanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 m3. Majelis hakim Pengadilan
Negeri
Samarinda
yang
memeriksa
perkara
ini
di
dalam
pertimbangannya telah membuktikan bahwa terdakwa berposisi sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan. Posisi terdakwa disini sangat penting sekali, sebab terdakwalah yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan, maka terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Dalam hukum pidana orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana disebut doen pleger atau manus domina, sedangkan orang yang disebut manus ministra. Dalam bentuk penyertaan ini terdapat seseorang yang ingin melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi terdakwa tidak melakukannya
sendiri. Terdakwa menyuruh orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan. Syarat yang terpenting dalam bentuk menyuruh melakukan adalah orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jika diperinci syarat-syarat bentuk penyertaan menyuruh melakukan adalah sebagai berikut : a. Ada orang yang berkehendak melakukan tindak pidana b. Orang tersebut tidak melakukannya sendiri c. Menyuruh orang lain untuk melakukan d. Orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 87 Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang menyuruh sama sekali tidak melakukan secara phisik tindak pidana yang dikehendaki. Justru orang yang disuruhnyalah yang memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana itu, orang yang disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini orang yang disuruh itu tidak akan dipidana, namun orang yang menyuruh melakukan itulah yang akan dipidana karena dianggap sebagai pelakunya. Meskipun orang yang menyuruh melakukan sama sekali tidak melakukan perbuatan apapun, dia dianggap sebagai pelaku dari tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang disuruhnya. Penyertaan dalam bentuk menyuruh melakukan atau yang dikenal dengan istilah pembuat menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh melakukan (pleger). Yang disuruh untuk melakukan tindak pidana itu hanya merupakan suatu alat
87
Loebby Loqman, Koc.Cit., hal. 63
(instrumen) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum yaitu dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Adapun siapa saja orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu harus kembali kepada masalah-masalah yang meniadakan pidana seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu : a. Mereka yang termasuk dalam kategori Pasal 44 KUHP, yaitu mereka yang jiwanya tidak tumbuh dengan sempurna, dan jiwanya dipengaruhi oleh penyakit. Oleh undang-undang orang seperti ini termasuk ke dalam kategoro orang yang tidak mampu bertanggungjawab. b. Demikian juga jika menyuruh seorang yang belum mampu bertanggungjawab untuk melakukan tindak pidana. Peristiwa ini juga termasuk bentuk penyertaan menyuruh melakukan. c. Orang yang disuruh melakukan (plegen) melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindari (overmacht) seperti yang diatur dalam Pasal 48 KUHP. d. Orang yang disuruh melakukan suatu perbuatan telah melakukan perbuatan tersebut atas perintah jabatan yang sah menurut Pasal 51 KUHP. e. Orang yang disuruh melakukan suatu perbuatan telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Berdasarkan uraian diatas, maka majelis hukum Pengadilan Negeri Samarinda harus membuktikan kesalahan terdakwa Suparman bin Ponidi berupa kesengajaan telah mengangkut hasil hutan berupa kayu sengon tanpa dilengkapi dengan surat keterangan yang sah hasil hutan. Namun bila di lihat dalam pertimbangan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda tidak
ditemukan uraian tentang pembuktian unsur kesengajaan pada diri terdakwa. Di dalam pertimbangan putusannya hanya dinyatakan bahwa majelis hakim menilai berdasarkan sepanjang persidangan berlangsung, tidak ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf sebagai alasan penghapus pidana bagi terdakwa, maka sudah selayaknya apabila terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya dan harus dijatuhi hukuman setimpal serta harus pula dibebani untuk membayar biaya perkara. Pernyataan terbuktinya unsur kesalahan pada diri terdakwa ini tidak didahului oleh uraian pemenuhan unsur kesengajaan pada diri terdakwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan. Seharusnya majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda harus menerangkan, menguraikan dan menjabarkan pada diri terdakwa ini dengan cara menggali tiga varian unsur kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk), kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian (opzet bijzekerheids-bewustzinj) atau kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana (voorwardelijk opzet atau dolus eventuales). Ketidakcermatan dan tidak konprehensifnya pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda di atas tentang pemenuhan unsur sengaja pada perkara ini tidak memberikan kepastian hukum sebagai ketentuan, ketetapan yang dijalankan oleh perangkat penegak hukum suatu negara yang mampu memberikan perlindungan serta menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum menurut Soedikno Mertikusumo, 88 merupakan salah satu syarat yang
88
Soedikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, hal. 145
harus dipenuhi dalam penegak hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Dari pertimbangan-pertimbangan hakim dari kasus di atas dapatlah diketahui bahwa dengan terbuktinya terdakwa berposisi sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan. Posisi Suparman bin Ponidi sebagai terdakwa disini sangat penting sekali, sebab terdakwalah yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan, maka terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Hal ini dapat dilihat dari fakta-fakta di persidangan yang telah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat sebanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 m3. Sehingga pada kasus ini telah memenuhi unsur objektif dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) UU Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa, tidaklah cukup sebatas
terpenuhinya
unsur
objektif
saja.
Terdakwa
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya ini apabila terbukti juga unsur subjektifnya, yaitu berupa alasan adanya unsur kesengajaan di dalam melakukan perbuatan tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka menurut penulis seharusnya majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda harus membuktikan kesalahan terdakwa Suparman bin Ponidu berupa kesengajaan telah melakukan, menyuruh melakukan
atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat sebanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 m3 tanpa dilengkapi surat keterangan yang sah hasil hutan. Namun di dalam pertimbangan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda ini tidak ditemukan uraian tentang pembuktian unsur sengaja pada diri terdakwa. Seharusnya majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda menguraikan dan menjabarkan secara mendalam tentang ada atau tidaknya unsur kesengajaan pada diri terdakwa ini dengan cara menggali tiga varian unsur kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk), kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian (opzet bijzekerheids-bewustzinj) atau kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana (voorwardelijk opzet atau dolus eventuales). Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda di atas yang hanya membuktikan kesalahan terdakwa berupa kesalahan melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat sebanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 m3, tetapi tidak menguraikan dan menerangkan tentang pemenuhan unsur sengaja pada kasus ini tidak tidaklah memberikan kepastian hukum serta jauh dari kedilan dan kemanfaatan sebagai tujuan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan dan menjamin ketertiban masyarakat. Dengan demikian menurut penulis bahwa putusan yang diberikan majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda kepada terdakwa tidak berkarakteristik konservatif dan tidak berkarakter progressif karena isi putusan tersebut tidak
mempunyai takaran secara ilmiah maupun tanggung jawab profesi sebagai hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sehingga dapatlah kita ketahui bahwa putusan yang dikeluarkan majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda terhadap terdakwa tidak memberikan kepastian hukum, cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan dan tidak mendatangkan manfaat bagi penegakan hukum sehingga menurut penulis putusan ini tidaklah dapat dijadikan yurisprudensi bagi hakim dikemudian hari apabila ada kasus yang serupa.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
Bahwa pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat diketahui dalam Pasal 50 : (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (3) Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. d. membakar hutan; e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Sedangkan sanksi terhadap para pelaku tindak pidana kehutanan yang terdapat dalam Pasal 50 UU Nomor 41 Tahun 1999 adalah Pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 serta untuk mengetahui siapa pelaku dari tindak pidana kehutanan tersebut dapat dilihat dari Pasal 55 KUHP.
Khususnya dalam Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yaitu yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) UU Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengenai melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. 2.
Bahwa penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan Studi Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN.Smda belumlah tercermin karena majelis hakim belumlah atau tidak menguraikan dan menjabarkan secara mendalam tentang ada atau tidaknya unsur kesengajaan atau unsur subjektif pada diri terdakwa. Dengan tidak diuraikan unsur subjektif ini mencerminkan majelis hakim belum memberikan kepastian hukum serta jauh dari keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan hukum dan menjamin ketertiban masyarakat. Selanjutnya dari uraian dan hasil analisa terhadap putusan pada perkara Nomor Kasus No. 152/Pid.B/2008/PN-Smda
diatas,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
berdasarkan fakta-fakta di persidangan, maka telah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat senbanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 m3. sehingga pada kasus ini telah memenuhi unsur objektif dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (1) UU Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Berdasarkan uraian diatas, maka majelis hakim Pengadilan negeri
Samarinda harus membuktikan kesalahan terdakwa berupa kesalahan melakukan,
menyuruh
melakukan
atau
turut
melakukan
perbuatan
mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu sengon bulat senbanyak kurang lebih 123 (seratus dua puluh tiga) potong atau sekitar 9,82 m3. namun dalam pertimbangan putusan majelis hakim tidak ditemukan uraian tentang pembuktian unsur kesengajaan atau unsur subjektif pada diri terdakwa, seharusnya majelis hakim menguraikan dan menjabarkan secara mendalam tentang ada atau tidaknya unsur subjektif pada diri terdakwa. Dengan tidak diuraikan unsur subjektif ini mencerminkan majelis hakim belum memberikan kepastian hukum serta jauh dari keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan hukum dan menjamin keteriban masyarakat.
B. Saran 1. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai penjabaran UU Kehutanan agar masyarakat tidak mudah dalam hal melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu 2. Adanya upaya dari pemerintah untuk melakukan sosialisasi khususnya dari aparat Departemen Kehutanan akan kegunaan fungsi hutan kepada masyarakat khususnya yang berada dalam daerah pinggiran hutan. 3. Diharapkan dari aparat hukum lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelaku tindak pidana kehutanan, agar para pelaku jera melakukan perusakan hutan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku : Ali, Chidir, 1999, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada --------------------, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta : Rajawali Pres --------------------, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan & Penyertaan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Farid, A. Zainal Abidin, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta : Sinar Grafika Hamdan, M., 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada ----------------, 2008, Hasil Penelitian Disertasi Hamzah, Andi, 1994, Azas-Azas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta Hakim, Abdul, 2004, Dalam Hukum Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Otonomi Daerah, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti hal.5 dan 9 dan UU Kehutanan dan Ilegall Logging, Penerbit Fokus Media Hardjasoemantri, Koesnadi, 1992, Hukum Tata Lingkungan, Penerbit Gajah Mada Ibrahim, Jonny, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya : Bayu Media Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Pranada Media Group Mertokusumo, Soedikno, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana., Jakarta : Rineka Cipta Muljatno, 1988, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada
Kartanegara, Satochid, t.t., Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah dan PendapatPendapat Para Ahli Hukum Terkemuka, Bagian Kedua, Jakarta : Penerbit Balai Lektur Mahasiswa Khakim, Abdul, 2005, Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Lamintang, PAF., 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : CV. Sinar Baru Loqman, Loebby, 1995, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta : Universitas Tarumanagara Poernomo, Bambang, 1985, Asas - Asas Hukum Pidana, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia Prodjodikoro, Wiryono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung Refika Aditama Ridho, Ali, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit Alumni Bandung Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana., Jakarta : Aksara Baru Sianturi, S.R., 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Penerbit Alumni Ahem-Petehaem Soemitro, Ronny Hanitijo, 1982, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia Suharto RM, 1996, Hukum Pidana Materil, Jakarta : Sinar Grafika Sudarto, 1990, Hukum Pidana I., Semarang : Penerbit Yayasan Sudarto Supriadi, 2001, Hukum Lingkungan di Indonesia dalam Sebuah Pengantar, Jakarta : PT. Sinar Grafika Tresna, R., 1989, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta : Penerbit Tiara Utreht, E. dan Moh. Saleh Djindang, 1995, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta Wignjosoebroto, Soetanddyo yang dikutip dalam Buku Bambang Sunggono, 2001, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Grafindo Parsada
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XXIII No. 275 Oktober 2008, Konsistensi Pembangunan Nasional dan Penegakan Hukum, Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia
B. Peraturan Perundang-Undangan : Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan -----------------------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana -----------------------, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana