BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
A. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia Tahun 1927 Sejak tahun 1909, tercatat bahwa Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt memprakarsai pembentukan Komisi Opium Internasional (KOI) di Sanghai, untuk mencari langkah-langkah terbaik mengatasi demam opium (candu) di beberapa belahan dunia. Karena pada tahun 1909, peredaran opium telah meluas di berbagai negara. Sesudah terbentuknya KOI tersebut, beberapa negara di dunia telah berkali-kali telah mengadakan pertemuan dan menyempurnakan Konvensi Opium Internasional yang intinya mengatur dan membatasi secara ketat peredaran opium. Opium hanya boleh diproduksi secara terbatas oleh pemerintahan di sebuah negara, terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan dengan tujuan pengobatan. Di luar dari tujuan tersebut, memproduksi opium digolongkan tindak kejahatan dan kriminalitas, dan bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam hukum Internasional. 57 Pada masa kejayaan VOC di Indonesia, candu telah menjadi bagian dari komoditi perdagangan antar pulau bahkan antar wilayah negara. Pada taraf perkembangannya, perdagangan candu mengalami berbagai regulasi yang semakin ketat, mengingat sifatnya yang dapat merusak mental maupun fisik para pemakainya
dengan
dibuatnya
Undang-Undang
(Verdovende
Middelen
57
M. Arief Hakim., Narkoba Bahaya dan Penanggulangannya, (Bandung: Jembar, 2007), hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia pasca kemerdekaan, wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya melalui State Gaette No.419, Tahun 1949 yang diikuti berbagai peraturan lainnya pada masa pemerintah Orde Baru. Pada tahun 1927, pengaturan yang berkenaan dengan narkotika dan psikotropika yang berlaku pada masa penjajahan Belanda di Indonesia yakni Stb. 1927 Nomor 278 tentang Obat Bius. Pengaturan mengenai narkotika di Indonesia telah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1927, ordonansi tersebut adalah Verdoovende Middelen Ordonantie (VMO) Stb. 1927 Nomor 278 jo 536. Ordonansi tersebut disahkan pada tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku di seluruh wilayah Indonesia termasuk di daerah istimewa pada tanggal 1 Januari 1928. Ordonansi ini kemudian disempurnakan dengan Lembaran Tambahan Negara tanggal 22 Juli 1927 dan tanggal 3 Februari 1928.58 Ordonansi yang terdiri dari 29 pasal ini pada dasarnya telah cukup banyak mengatur mengenai penggunaan dan peredaran narkotika. Ordonansi ini mengatur bagaimana ekspor dan impor narkotika dapat dilakukan. Selain itu, ordonansi ini juga telah mencantumkan larangan-larangan terhadap penggunaan beberapa jenis narkotika. Dalam hal ini pelanggaran, ordonansi ini juga telah dilengkapi dengan aturan pidananya. 59 Pada awalnya dalam Stb. Nomor 278 tentang Obat Bius, tindak pidana narkotika hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 25. Dalam pasal tersebut 58
OC. Kaligis., dan Soedjono Dirdjosisworo., Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan), (Bandung: PT. Alumni, 2002), hal. 29. 59 Soedjono D., Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, (Bandung: Karya Nusantara, 1977), hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
terdapat beberapa jenis perbuatan yang dilarang beserta dengan hukuman yang diancamkannya. Dalam ordonansi tahun 1927 ini, hukuman paling berat yang dapat dijatuhkan adalah kurungan 4 (empat) tahun dan denda maksimal 60. 000 Gulden. Adapun uraian dari beberapa jenis tindak pidana tersebut akan dijelaskan dalam paparan di bawah ini. Kejahatan yang diatur dalam Pasal 25 tersebut, melarang perbuatan impor, ekspor,
memiliki,
menyimpan,
atau
dalam
persediaan,
mengangkut,
menggunakan, membuat, mengolah secara pabrik, pengolahan, menjual, dan menyerahkan obat-obat bius, papaver, dan indische hennep, juga impor dan ekspor daun coca bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Dalam Pasal 2 Nomor 3 huruf (a) ini, diatur mengenai ketentuan-ketentuan obat bius itu sendiri, yaitu: 1. Tidak melebihi dari 100 gram candu kasar, olahan atau medis; 2. Obat-obat bius lain daripada yang disebut di bawah 1 gram sampai jumlahnya tidak melebihi dari 10 gram; dan 3. Papaver, indische hennep, dan daun coca sampai jumlahnya tidak melebihi dari 10 kilogram. Dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 3 (tiga) bulan atau hukuman denda maksimal 1000 Gulden. Segala tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, menurut ordonansi obat bius, dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 4 (empat) tahun dan hukuman denda maksimal 60.000 Gulden. Jika jumlah dengan mana pelanggaran tersebut dilakukan, melebihi dari 30 kilogram candu kasar, olahan atau medis, 3 kilogram obat-obat bius lain atau 3.000 kilogram papaver, indische hennep atau daun coca, hukuman denda
Universitas Sumatera Utara
dinaikkan dengan maksimal 2.000 Gulden untuk tiap kilogram candu kasar, olahan atau medis, tiap 100 gram obat-obat bius lain dan tiap 100 kilogram papaver, indische hennep atau daun coca melebihi jumlah yang sudah ditentukan sebelumnya. Percobaan suatu pelanggaran candu, bila maksud dari pelaku terlibat pada permulaan pelaksanaan ini hanya akibat dari keadaan, tidak bergantung kepada kemauannya, tidak selesai, maka dihukum maksimal sebanyak 2/3 hukuman pokok, yang diancam terhadap pelanggaran tersebut, sedangkan mengenai penyitaan terhadap percobaan tersebut, berlaku seperti terhadap pelanggarannya sendiri.
B. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Ordonansi yang sering disebut sebagai ordonansi obat bius ini berlaku selama sekitar setengah abad. Pada perkembangannya kemudian ordonansi ini digantikan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-undang ini disahkan pada tanggal 26 Juli 1976. Ordonansi obat bius tahun 1927 dinyatakan tidak berlaku lagi setelah ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Salah satu latar belakang dibentuknya undang-undang ini adalah karena adanya ordonansi konvensi tunggal tentang narkotika beserta protokol yang mengubahnya. Berdasarkan konvensi ini, maka ordonansi obat bius tersebut dianggap sudah tidak lagi memadai untuk menanggulangi masalah narkotika di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Berlakunya undang-undang baru ini, menyebabkan beberapa perubahan yang cukup mendasar dalam pengaturan mengenai narkotika. Dengan berlakunya undang-undang ini maka dibuka kemungkinan untuk mengimpor, mengekspor, menanam, memelihara narkotika bagi kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa dasarnya narkotika masih sangat dibutuhkan bagi pengobatan. 60 Selain itu, dalam undangundang ini diterapkan suatu ancaman hukuman yang cukup berat bagi para pelanggar tindak pidana narkotika. Dalam undang-undang ini, pelaku tindak pidana narkotika tertentu dapat dijatuhi hukuman mati. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tersebut, mengenai tindak pidananya diatur dalam bab tersendiri, yaitu bab VIII tetang ketentuan pidana. Ketentuan yang ada dalam bab yang terdiri dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 53 ini sebenarnya adalah bentuk dari sanksi yang dapat diterapkan terhadap ketentuan-ketentuan yang tersebar dalam undang-undang itu sendiri. Undang-undang ini mulai memperkenalkan adanya hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika. Dengan diterapkannya ancaman hukuman mati tersebut diharapkan akan menimbulkan rasa takut kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika tersebut. Adapun uraian dari beberapa jenis tindak pidana tersebut akan dijelaskan dalam uraian di bawah ini berdasarkan pasal-pasal yang mengatur pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :
60
Soedjono D., Hukum Narkotika Indonesia, (Bandung: PT. Citra Adtya Bakti, 1990),
hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
a. Pemidanaan bagi pelaku penyalahgunaan tindak pidana narkotika menurut Pasal 36 Dalam pasal ini dibagi menjadi 8 (delapan) ayat dimana di dalam pasal ini mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pemidanaan seperti yang telah diatur dalam pasal-pasal yang telah ada pengaturannya di dalam undangundang ini. Dalam undang-undang ini juga telah memperkenalkan jenis hukuman pidana mati dan pemidanaan yang bersifat kumulasi antara pidana penjara dan pidana denda. b. Percobaan melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menurut Pasal 37 Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana penjara bagi tindak pidananya. c. Kejahatan narkotika yang melibatkan anak di bawah umur menurut Pasal 38 Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diancam dengan pidana sebagaimana dengan yang telah ditentukan dalam pasal tersebut ditambah dengan sepertiganya, dengan ketentuan selamalamanya 20 (duapuluh) tahun. d. Ketentuan bagi narapidana tindak pidana penyalahgunaan narkotika menurut Pasal 39
Universitas Sumatera Utara
Dalam pasal ini mengatur mengenai ketentuan bagi setiap terpidana yang sedang menjalani pidana melakukan kembali tindak pidana pada waktu menjalani pemidanaan belum melewati 2 (dua) tahun untuk ditambah sepertiganya dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya. e. Ketentuan bagi para tenaga medis menurut Pasal 40 Dokter yang dengan sengaja melanggar Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (duabelas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000,- (duapuluh juta rupiah). f. Ketentuan impor menurut Pasal 41 Importir yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah). g. Ketentuan bagi lembaga hukum menurut Pasal 42 sampai Pasal 44) Ketentuan ini diberlakukan bagi lembaga hukum yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Lembaga-lembaga hukum yang dimaksud diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 untuk pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 19, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 dapat dikenakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak seperti diatur dalam Pasal 35 KUHP Ayat (1) dan Ayat (6). h. Proses penyidikan menurut Pasal 45 Barangsiapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 5 (lima) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah); i. Saksi menurut Pasal 46 Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan di depan pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun. Hal ini bukan merupakan kejahatan melainkan merupakan pelanggaran. j. Informasi tindak pidana penyalahgunaan narkotika menurut Pasal 48 Barangsiapa yang mengetahui tentang adanya narkotika yang tidak sah dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah). k. Mengenai badan hukum menurut Pasal 49
Universitas Sumatera Utara
Jika suatu tindak pidana mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya. l. Pidana tambahan menurut Pasal 51 sampai dengan 53 Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang ini dapat dicantumkan ancaman pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
C. Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang dilakukan melalui berbagai upaya kesehatan, diantaranya penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
kepada
masyarakat.
Dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut, psikotropika memegang peranan
Universitas Sumatera Utara
penting. Di samping itu, psikotropika juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan, dan pengajaran sehingga ketersediaannya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor. Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Perbuatan
yang
termasuk
ruang
lingkup
pelanggaran
terhadap
penyahgunaan Psikotropika adalah menggunakan, memproduksi, mengedarkan, menyalurkan, menyerahkan, mengekspor, mengimpor, mentransito. Perbuatan seperti di atas, merupakan bagian-bagian yang dilarang apabila dilakukan melanggar ketentuan peraturan. Mengenai ketentuan pidana yang diancamkan terhadap pelaku golongan I Psikotropika, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sebagai berikut: (1) Barangsiapa: a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau b. Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Ketentuan yang mengatur mengenai memproduksi Psikotropika yang belum terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan ditentukan dalam Pasal 60 yakni, “Barangsiapa memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5 atau memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atau memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 62 disebutkan bahwa, “Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Ketentuan dalam Pasal 62 ditentukan sanksi pidana penjara 5 tahun dan denda minimal Rp.100.000.000,00 bagi siapa saja yang secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa Psikotropika. Akan tetapi golongan Psikotropika tidak disebutkan dalam pasal ini. Jika dibandingkan dengan Pasal 59 jelas disebutkan pelanggarannya hanya kepada golongan I. Di dalam penerapan sanksi, kemungkinan akan ditemukan tumpang tindih pasal mengenai hal ini, apa maksud pasal 62 ini tidak jelas mengatur terhadap bagian yang mana.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian mengenai ekspor dan impor Psikotropika ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) yakni, “Barangsiapa mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, atau mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Ketentuan mengenai sanksi, baik sanksi pidana maupun denda untuk pelanggaran Psikotropika jika diteliti sanksinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan sanksi yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang relatif sanksi pidananya tinggi dan besar. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Penyalahgunaan psikotropika mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap psikotropika menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang makin meluas dan berdimensi internasional. Oleh
karena,
itu,
diperlukan
upaya
pencegahan
dan
penanggulangan
penyalahgunaan psikotropika dan upaya pemberantasan peredaran gelap. Di samping itu, upaya pemberantasan peredaran gelap psikotropika terlebih dalam era globalisasi komunikasi, informasi, dan transportasi sekarang ini sangat diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Psikotropika ini mengatur kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang digolongkan menjadi: a. Psikotropika golongan I; b. Psikotropika golongan II; c. Psikotropika golongan III; d. Psikotropika golongan IV. Penggolongan ini sejalan dengan Konvensi Psikotropika 1971, sedangkan psikotropika yang tidak termasuk golongan I, golongan II, golongan III, dan golongan IV pengaturannya tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang obat keras. Akan tetapi setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa golongan I dan golongan II yang terdapat di dalam undang-undang psikotropika telah dimasukkan ke dalam golongan I sebagai narkotika daalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Undang-undang
Psikotropika
mengatur
mengenai
produksi,
peredaran,
penyaluran, penyerahan, ekspor dan impor, pengangkutan, transito, pemeriksaan, label dan iklan, kebutuhan tahunan dan pelaporan, pengguna psikotropika dan rehabilitasi, pemantauan prekursor, pembinaan dan pengawasan, pemusnahan, peran serta masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana. 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (tidak diberlakukan lagi sekarang) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika berlaku hampir seperempat abad lamanya. Undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-undang narkotika ini berlaku pada saat diundangkan, yaitu pada tanggal 1
Universitas Sumatera Utara
September 1997. Salah satu latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah karena kejahatan narkotika telah bersifat transnasional dan dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih, sementara peraturan perundang-undangan yang ada, sudah kurang dapat menanggulangi hal tersebut. Selain itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini juga dipicu oleh adanya United Nation Convention Against Ilicit Traffict in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika lahir karena didorong dengan berbagai tuntutan keadaan yang semakin diwarnai oleh banyaknya penyalahgunaan psikotropika. 61 Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan narkotika dalam undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika sama seperti bagian dan ruang lingkup Psikotropika seperti menggunakan, memproduksi, mengedarkan, menyalurkan, menyerahkan, mengekspor, mengimpor, mentransito. Perbuatan seperti di atas, merupakan bagian-bagian yang dilarang apabila dilakukan melanggar ketentuan undang-undang. Narkotika digolongkan menjadi: a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III. 61
Yustisia., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Anti Narkoba., Loc. cit, hal.
126.
Universitas Sumatera Utara
Sanksi pidana dan denda untuk golongan I Narkotika sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 78 sangat jauh berbeda dengan sanksi pidana maupun sanksi denda yang disebutkan dalam undang-undang Psikotropika. Untuk lebih jelasnya Pasal 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah sebagai berikut: (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman; atau b. Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan , atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). c. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). d. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). e. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Kemudian untuk golongan II dan golongan III Narkotika disebutkan dalam Pasal 79 ayat (1) yaitu barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah); b. Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau mnguasai narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) .
Universitas Sumatera Utara
Pasal 80 ayat (1) huruf a barang siapa memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 ( dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), kemudian pada ayat (1) huruf b juga disebutkan untuk golongan II narkotika yakni memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); Golongan I dan golongan II Psikotropika telah dimasukkan ke dalam golongan I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun penggolongannya tetap terdiri dari 3 (tiga) golongan sebagaimana Pasal 6 undangundang Narkotika digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III. Sesuai dengan asas dan tujuan undang-undang narkotika pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan keadilan, pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nilai ilmiah, dan kepastian hukum. Tujuan undang-undang narkotika tercantum dalam Pasal 4 adalah: a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
Universitas Sumatera Utara
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika. Oleh karena itu, pengaturan sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi denda dalam undang-undang narkotika tersebut sanksinya sangat besar dibandingkan dengan sanksi di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Keberadaan Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskannya undang-undang tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana narkotika dan psikotropika yang dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun demikian dalam kenyataannya para pelaku kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya faktor penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya. Pada tanggal 12 Oktober 2009, oleh Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, telah mengundangkan undang-undang yang baru yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Lembaran Negara tahun 2009 Nomor 143. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-ndang ini. 62 Di dalam Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terdapat ketentuan yang memberikan batasan mengenai pemberlakuan undang-undang dan kelompok atau golongan narkotika atau psikotropika yang baru. Dengan berlakunya undang-undang:
62
Pasal 152, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut undang-undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang baru tersebut, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang lama sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi berdasarkan Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang baru bahwa UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika masih tetap berlaku sampai saat ini hanya saja terjadi sedikit perubahan mengenai jenis psikotropika golongan I dan golongan II pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 telah dipindahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menjadi golongan I.
D. Pengaturan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) (Pasal 111). 2. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) (Pasal 112). 3. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 113). 4. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 114). 5. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 116). 6. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
Universitas Sumatera Utara
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 117). 7. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) (Pasal 118). 8. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) (Pasal 119). 9. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 120). 10. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) (Pasal 122). 11. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 123). 12. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 124). 13. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) (Pasal 125).
Universitas Sumatera Utara
14. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 126). Jelaslah terlihat ruang lingkup perbuatan yang dilarang dan diancam dalam undang-undang Narkotika tersebut sangat besar-besar dan tinggi-tinggi baik sanksi pidana maupun sanksi dendanya. Hal ini dicantumkan karena mengingat tujuan regulator dan pemerintah untuk melindungi dan memelihara warga negara Indonesia dari pengaruh penyalahgunaan Narkotika tersebut memiliki peranan yang sangat penting. Jika diteliti saat ini, tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai prekursor narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis prekursor narkotika. Dan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini dimasukkan jenis psikotropika golongan I dan golongan II masuk ke dalam jenis narkotika golongan I. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana
Universitas Sumatera Utara
minimum khusus, pidana penjara 20 (duapuluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah narkotika. Dalam mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam UndangUndang
ini,
BNN
tersebut
ditingkatkan
menjadi
lembaga
pemerintah
nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam undang-undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan
Universitas Sumatera Utara
prekursor narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DARI PERSPEKTIF VICTIMOLOGI A. Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Penyalahgunaaan Narkotika dan Psikotropika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Ditinjau dari Perlindungan Terhadap Korban Berdasarkan Pasal 153 dan Pasal 155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Perubahan istilah “narkoba” menjadi “narkotika” tidak merubah maksud yaitu zat yang pada dasarnya sangat bermanfaat bagi kesehatan namun dapat merusak susunan syaraf pusat dan berbahaya apabila disalahgunakan oleh orang yang tidak berhak memakainya karena akan dapat menimbulkan ketergantungan (kecanduan) dan kematian. Termasuk tidak merubah jenis-jenis benda yang mengandung zat-zat narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya. Perubahan tersebut dalam hal bertambahnya tuntutan hukum baik sanksi pidananya maupun denda kepada siapapun yang menyalahgunakan narkotika dengan adanya kurungan minimal. Sebelumnya para pengguna, kurir, pengedar, dan pembuat narkotika ada kalanya hanya mendapat hukuman ringan. Namun sekarang, mereka akan mendapatkan hukuman minimal 4 atau 5 tahun. Poin penting lainnya, bahan pembuat narkotika juga sudah diatur penyedia dan tuntutan hukum bagi yang menyalah gunakan dan bagi yang tidak melaporkan tindak penyalahgunaan pada yang berwajib.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan mengenai sanksi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tenang Narkotika sangat besar. Sanksi pidana paling sedikit 4 (empat) tahun penjara sampai 20 (dua puluh) tahun penjara bahkan pidana mati jika memproduksi Narkotika golongan I lebih dari 1 (satu) atau 5 (lima) kilogram. Denda yang dicantumkan dalam undang-undang Narkotika tersebut berkisar antara Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Secara
filosofis
pembentukan
undang-undang
Narkotika
dengan
mencantumkan sanksi yang besar dan tinggi dalam ketentuan pidana UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah menunjukkan bahwa terdapat suatu makna untuk melindungi korban dari kejahatan penyalahgunaan Narkotika dengan demikian korban yang telah pernah dipidana akan menjadi takut untuk mengulangi kejahatannya lagi. Secara otomatis bahwa pelaku atau korban terlindungi karena salah satu tujuan dari sanksi pidana pada korban Narkotika sebagai self victimizing victims adalah melindungi dirinya dengan menimbulkan rasa takut dan efek jera terhadap individu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sanksi
pidana
maupun
denda
terhadap
bagi
siapa
saja
yang
menyalahgunakan narkotika atau psikotropika terdapat dalam ketentuan pidana pada Bab XV mulai dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Beberapa ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut di antaranya adalah: Pasal 111 dinyatakan bahwa: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 112 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 113 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
Universitas Sumatera Utara
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 115 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Universitas Sumatera Utara
Pasal 116 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 117 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 118 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Universitas Sumatera Utara
Pasal 119 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 120 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 121 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Universitas Sumatera Utara
Pasal 122 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 123 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 124 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Universitas Sumatera Utara
Pasal 125 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 126 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 127 (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 128 (1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana. (3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. (4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 129 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Pasal 130 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 131 Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Jika dilihat mengenai sanksi pidana dan sanksi denda dalam undangundang yang baru ini, bahwa sanksi hukuman penjara di atas 1 tahun bakal diterapkan, bagi pengguna dan pengedar narkotika ke masyarakat. Ancaman ini tertuang dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang selama ini dipakai. Ancaman sanksi ini lebih berat dibandingkan yang tertulis di Undang-Undang Narkotika sebelumnya. Contohnya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Bab Ketentuan Pidana pada Pasal 86, tentang penyedia dan pihak yang memproduksi Narkotika golongan 1 seperti ganja dan sebagainya dapat diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling sedikit penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.200 juta dan paling banyak senilai Rp.2 miliar. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini dinilainya memiliki sanksi yang lebih jelas dan lebih tegas dibandingkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Perbedaan dalam undang-undang yang baru dimana tidak diatur pidana kurungan minimal (undang-undang yang lama), yang ada hanya maksimal (undang-undang yang baru), seperti untuk pengedar narkotika golongan satu, dimana di dalam undang-undang yang lama tidak diterangkan sanksi minimal
Universitas Sumatera Utara
namun di undang-undang yang baru jelas dibunyikan ancaman minimal 1 (satu) tahun bagi pengedar narkoba. Sehubungan dengan Akuang hanya divonis 20 tahun penjara dan denda Rp.200 juta yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang terhadap terdakwa Akuang pemilik shabu-shabu (crystal methamphetamine) seberat 955 kg, maka terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang dijatuhkan pada waktu itu, sudah selayaknya dan sepantasnya untuk dilakukan revisi. Jika diteliti dalam penerapan ketentuan dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika ditentukan bahwa ancaman hukuman terhadap psikotropika golongan II adalah hukuman 15 tahun penjara. Tetapi apabila bisa dibuktikan terjadi konspirasi dan kerja sama dalam pengedaran shabu-shabu itu, maka bisa ditambah 1/3 dari hukumannya alias 5 tahun. Jadi, total maksimal ancaman hukumannya adalah 20 tahun. Selengkapnya Pasal 71 berbunyi: (1) Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, mengan-jurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 dipidana sebagai permufakatan jahat. (2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut. Banyak kalangan masyarakat yang mengharapkan Kejaksaan menuntut hukuman mati terhadap terdakwa Akuang, bukan 20 tahun penjara. Akan tetapi, Salman, (Kapuspenkum Kejagung Tangerang) menanggapi bahwa tuntutan hukuman mati tidak bisa digunakan dalam psikotropika golongan II dengan alasan
Universitas Sumatera Utara
tidak bisa menghukum tetapi malah melanggar hukum, itu sama saja telah menciderai hukum itu sendiri. Berapun pun jumlah Psikotropika golongan II itu, 1 ton atau 10 ton, ancaman hukumannya maksimal tetap saja 20 tahun. Oleh sebab itu, Salman menghimbau kepada berbagai kalangan untuk menjadikan pengalaman ini sebagai masukan untuk melakukan perbaikan undang-undang Psikotropika tersebut. Kalau tidak dilakukan perbaikan, maka ancaman hukuman untuk golongan II hanya tetap 20 tahun penjara. 63 Berdasarkan penelitian dapat dipahami bahwa kelemahan dari undangundang Psikotropika tersebut, sedikit atau banyak jumlah barang buktinya, ancaman hukumannya hanya 20 tahun penjara. Mengingat berbagai kelemahan pengaturan mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tersebut, maka golongan I dan golongan II dalam undang-undang psikotropika dimasukkan ke dalam golongan I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, undang-undang inilah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dimana bahwa kedua undang-undang tersebut digabungkan pengaturannya menjadi satu undang-undang saja yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal tersebut senada dengan pendapat Humas BNN Sri Sulastri yang menyatakan bahwa BNN juga kecewa dengan rendahnya ancaman hukuman
63
http://pn-tangerang.info/, diakses terakhir tanggal 1 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
dalam undang-undang Psikotropika tersebut karena pada kasus atas terdakwa Akuang sebagai pemilik shabu-shabu itu juga merusak tubuh manusia. 64 Pada awalnya, terkait dengan rencana penggabungan kedua undangundang tersbut, Pemerintah merasa keberatan dengan menginformasikan rencana tersebut telah kandas. Akan tetapi sebenarnya hanya undang-undnag Narkotika yang mau direvisi. Alasan keberatan pemerintah berkaitan dengan mekanisme revisi undang-undang Psikotropika itu harus ada Ampres (amanat presiden) dari presiden. Kalau misalnya mau membahas undang-undang Psikotropika juga, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan prosesnya harus mulai dari awal lagi. Bila dilihat dari sejarah pembentukan undang-undang Psikotropika, sudah tidak relevan lagi. Dulu waktu membuat undang-undang Psikotropika tersebut, shabu-shabu belum begitu marak. Jadi hukumannya sangat ringan. Akan tetapi melihat maraknya peredaran shabu-shabu saat ini, maka dilakukan revisi terhadap undang-undang Psikotropika. Hukuman mati nampaknya sudah menjadi momok menakutkan bagi para pengedar Narkotika dan Psikotropika yang gentayangan di Indonesia. Para Hakim, sudah mulai unjuk gigi, dengan berani tanpa tedeng aling-aling ketuk palu, memvonis hukuman mati. Sudah banyak yang diketuk vonis oleh hakim pemberani. Yang paling terkenal adalah hukuman mati yang dijatuhkan pada Ayodya Prasad Chaubey di Pengadilan Negeri Medan, yang dalam pengakuannya berasal dari dari Desa Belsari Post Office Purwakaqar Distrik Gorakhpur Uttar 64
http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=764%_+ Perlu+Direvisi&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&lang=en, diakses terakhir tanggal 1 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
Prades Da 70 India, tetapi juga punya alamat lain yang tercatat di dokumennya yakni di Rai Soi 9 House Nomor 100, Bangkok, Thailand. Ayodya ditangkap di Medan pada 21 Februari 1994 lalu. Ayodya dituduh sebagai pemilik barang haram, 12,19 kg heroin yang dibawa dua warga Thailand, Saelow Praseart dan Namsong Sirilak. Warga India ini pada tanggal 8 September 1994, dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Medan lewat Putusan No.544/Pid.B/1994 karena melanggar Pasal 23 dan 36 UU Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Kasusnya kemudian menggelinding, setelah terkatung-katung soal eksekusinya. Amnesty Internasional pernah mempertanyakan keabsahan vonis mati Ayodya. Senasib dengan Ayodya, Til Bhandari (Nepal) pembawa 1,750 gram ini, divonis mati oleh PN Tangerang. Lalu ada Bir Bahadur Gurung (Nepal), Nar Bahandur Tamang (Nepal), Bala Tamang. Semuanya asal Nepal yang juga di ketuk palu oleh hakim PN Tangerang dengan vonis hukuman mati. Kemudian meminta grasi, tetapi oleh Presiden Megawati, waktu itu di tolak. Pastinya, Sang algojo pengetuk palu bagi para Bandar dan pengedar narkoba kelas kakap datang dari korps kehakiman. Karena para hakim lah yang memutus akhir, proses sebuah tuntutan hukum terhadap para tersangka. Tidak mudah memang, menjadi penentu bagi panjang pendeknya riwayat seseorang. Apalagi berhadapan langsung dengan para Bandar narkoba yang sudah menjadi semacam mafia. Bisa-bisa teror akan dituai oleh para pengetuk palu vonis tersebut. Belum lagi pro dan kontra di masyarakat yang terus bergulir. Sehubungan dengan Akuang hanya divonis 20 tahun penjara dan denda Rp.200 juta jika penerapan ketentuan pidananya dihubungkan dan dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
dengan Pasal 111 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan mengenai sanksi pidana lebih jelasnya berbunyi: ”Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).” Ketentuan pidana yang disebutkan dalam Pasal 111 Ayat (2) ini jelas ditentukan adanya sanksi pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara dan adanya penambahan sanksi 1/3 (sepertiga). Dalam Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengguna maupun pemilik narkotika akan mendapat ganjaran hukuman minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (duabelas) tahun. Sedangkan denda minimal Rp.800 juta rupiah dan maksimal Rp.8 miliar. Tidak hanya itu, bagi warga/masyarakat yang memiliki narkotika seberat 1 kilogram atau lebih dari 5 batang pohon akan dijerat dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Sanksi tersebut lebih tinggi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang hanya memberikan ancaman hukuman penjara 2 tahun. Meski pemerintah telah mengesahkan undang-undang narkotika yang baru sejak tanggal 12 Oktober 2009, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Kejaksan
Universitas Sumatera Utara
Tinggi (Kejati) Sumsel sampai saat ini belum menggunakan undang-undang tersebut. 65 Beberapa perubahan yang mendasar dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika misalnya terdapat pada Pasal 111, ada standar minimal hukuman penjara kepada pelaku narkotika yakni hukuman penjara minimal 4 (empat) tahun atau denda minimal Rp.800 juta. Bahkan jika barang buktinya melebihi 1 kg, dipidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Jika pelaku narkotika tidak bisa membayar denda yang dibebankan kepadanya maka hukuman penjaranya akan ditambah maksimal 2 tahun penjara, itu sesuai dengan pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain itu, dalam undang undang yang baru tidak ada lagi perbedaan hukuman antara pengguna narkotika dan psikotropika. Psikotropika dan narkotika semuanya menjadi golongan I. Perbedaan juga terdapat pada penyisihan barang bukti, yang tadinya hanya boleh untuk pembuktian dan pengembangan ilmu dan pengetahuan, saat ini bertambah untuk pendidikan dan latihan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini juga mengatur mengenai penguatan lembaga Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga pemerintah non departemen yang memiliki kewenangan untuk menyelidik, menyidik, mempercepat pemusnahan barang bukti, dan menyadap pihak yang terkait penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Jika pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini dikaji dari sisi perlindungan terhadap korban, dengan mencoba menelusuri 65
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=articl&id=1405:2010kejati-aru-terapkan-uu-no-352009&catid=44:ilir-barat-i-bukit-kecil&Itemid=94, diakses terakhir tanggal 12 Januari 2010.
Universitas Sumatera Utara
sejauhmana undang-undang narkotika yang baru ini mengatur tentang perlindungan korban kejahatan narkotika dan bagaimana perlindungan itu diterapkan dalam praktiknya, maka kita dapat mengetahui seberapa besar perlindungan terhadap korban kejahatan narkotika tersebut telah diberikan. Dalam hukum pidana di Indonesia, terdapat adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Perlindungan korban memiliki hubungan erat dengan teori pemidanaan yang dikemukakan Wirjono Prodjodikoro, tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan. 66 Ada juga yang mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan dapat dilihat melalui 2 (dua) teori mengenai alasan-alasan yang membenarkan (justification) penjatuhan hukuman (sanksi) yaitu Teori Absolut (Vergeldingstheorie) dan Teori Relatif atau Doeltheorie. 67 Menurut Teori Absolut (Vergeldingstheorie), tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat, sedangkan Roeslan Saleh mengatakan sebagai reaksi-reaksi atas
66
Wirjono Prodjodikoro., Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 4. 67 Leden Marpaung., Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik 68 . Menurut Teori Relatif (Doeltheorie), tujuan pemidanaan adalah: 69 a. Menjerakan, agar si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum agar mengertahui jika melakukan perbuatan yang sama, akan mengalami hukuman yang serupa atau disebut pula general preventie; b. Memperbaiki pribadi si terpidana, berdasarkan perlakuan dan pendidikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebgai orang baik dan berguna; dan c. Membinasakan (menjatuhkan hukuman mati) atau membuat terpidana tidak berdaya dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup. Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzonderesanctierecht), sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana difungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua sarjana menyetujui maksud diadakannya pidana seperti itu (sebagai suatu nestapa), karena muncul pendapat bahwa di samping pidana ditujukan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, pemidanaan juga bertujuan agar pelaku dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana mestinya. Alasan yang paling menonjol terhadap upaya perubahan tersebut adalah dengan memperhatikan sisi kemanusiaan, yang memandang bahwa sekalipun tersangka telah melakukan kesalahan ia tetap berkedudukan sebagai manusia utuh yang harus tetap diperlakukan sama dengan manusia lainnya, dan dilindungi hak asasi manusianya. Karena itu, pidana penjara saat ini sedang mengalami “masa
68 69
Roeslan Saleh., Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 5. Leden Marpaung., Op.cit., hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
krisis”, karena termasuk jenis pidana yang kurang disukai. Banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektifitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat lainnya menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. 70 Banyaknya kritik yang diarahkan pada bentuk pemidanaan berupa perampasan kemerdekaan (yang ditujukan untuk membuat jera pelaku), sehingga berkembanglah bentuk pemidanaan lain yang dianggap lebih manusiawi yaitu penjatuhan pidana berupa denda atau pemberian ganti kerugian kepada korban. Pemberian ganti kerugian pada awalnya merupakan konsep keperdataan, seperti halnya dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mewajibkan setiap orang yang menyebabkan orang lain menderita kerugian untuk membayar ganti rugi. Dalam perkembangannya konsep ini diterapkan pula dalam hukum pidana, mengingat akibat yang ditimbulkan pada korban tindak pidana akan selalu disertai dengan kerugian, baik mental, fisik maupun material, sehingga sangat wajar apabila korban pun menuntut ganti kerugian pada pelaku guna memulihkan derita yang dialaminya. Dengan memperhatikan pada beberapa teori klasik tentang tujuan pemidanaan, dapat disimpulkan bahwa penjatuhan pidana lebih banyak ditujukan untuk “kepentingan” pelaku, dengan kata lain, tujuan pemidanaan hanya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari pelaku kejahatan, agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, sedangkan kepentingan korban sama sekali diabaikan. 70
Barda Nawawi Arief., Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan Latar Belakang Pemikirannya, Bahan Penataran Hukum Pidana, FH. Undana Kupang, tanggal 31 Juli-12 Agustus 1989.
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan terhadap korban narkotika, jika dihubungkan dengan beberapa teori pemidanaan yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti mengkaji bahwa dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang baru ini terdapat keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku kejahatan narkotika dengan korban. Dimana bahwa berdasarkan sanksi baik pidana maupun denda yang terdapat dalam undang-undang ini sangatlah berat-berat, dan tegas. Ini berarti bahwa undang-undang ini lebih mementingkan korban dari pada pelaku kejahatan narkotika. Mengingat bahwa dengan adanya pelaku atau pengedar narkotika dapat menimbulkan korban semakin banyak yang berjatuhan, sehingga daripada korbannya anak bangsa yang memiliki masa depan yang cerah terhadap bangsa dan negara Indonesia, maka lebih baik menetapkan sanksi atau hukuman yang seberat-beratnya terhadap si pelaku tindak pidana narkotika bahkan pidana mati atau seumur hidup. Jika diperhatikan dalam ketentuan beberapa pasal undang-undang yang baru ini, juga diatur mengenai rehabilitasi terhadap korban, baik korban yang diakibatkan oleh orang lain maupun karena self victimizing victims atau korban yang karena perbuatan pidana si pelaku itu sendiri.
B. Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Sebagai Bentuk Self Victimizing Victims 1. Self-victimizing victims narkotika dan psikotropika Suatu viktimisasi adalah sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan kenyataan sosial hal ini disebabkan karena setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Contohnya
Universitas Sumatera Utara
adalah seseorang akibat perbuatannya memakai narkotika dapat menimbulkan bahwa si pemakai tersebut menjadi tidak berdaya upaya dengan kata lain bahwa si pelaku telah menjadi korban akibat perbuatannya sendiri yang menimbulkan perbuatan kriminal. Penyalahgunaan narkotika atau psikotropika merupakan perbuatan kriminal karena telah melanggar ketentuan di dalam undang-undang yang ada yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tetang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terlibatnya si pelaku kejahatan atau tindak pidana yang menimbulkan kerugian terhadap dirinya sendiri dalam hal inilah yang disebut dengan istilah self victimizing victims yang merupakan bagian dari viktimisasi. Sehubungan dengan itu, maka Wolfgang menyatakan beberapa jenis viktimisasi ialah: 71 1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan terjadinya korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku. 2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku. 3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban 4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa. 5. Socially weak victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan sebagainya. 6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
71
http://thed03.blogspot.com/2008/10/hukum-viktimologi.html, diakses terakhir tanggal 12 Januari 2010.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, kedudukan viktimologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang korban memiliki peranan yang sangat penting, ruang lingkup viktimologi ini meliputi: 1. Semua macam, setiap macam perbuatan kriminal yang mengakibatkan orang-orang menjadi korban; 2. Setiap orang atau pihak yang dapat menjadi korban baik orang perorangan maupun suatu korporasi atau organisasi; 3. Setiap orang atau pihak yang dapat menimbulkan korban artinya dimana disatu sisi orang tersebut dapat merugikan orang lain sehingga orang tidak merasa aman akibat tindakanya; 4. Cara-cara viktimisasi atau penimbulan korban; 5. Bentuk-bentuk viktimisasi yang terdiri dari primary victimization, adalah korban individual/perorangan bukan kelompok; secondary victimization, korbannya
adalah
kelompok,
misalnya
badan
hukum;
tertiary
Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas; non victimozation, korbannya tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan hasil produksi; 6. Akibat viktimisasi; 7. Pengaruh viktimisasi; 8. Reaksi atau respons terhadap viktimisasi; 9. Penyelesaian viktimisasi; dan 10. Pengaturan yang berkaitan dengan viktimisasi (yang menjadi perhatian viktimologi).
Universitas Sumatera Utara
Studi viktimologi akan memberikan pemahaman kepada setiap individu mengenai hak dan kewajibannya dalam rangka mengantisipasi berbagai bahaya yang mengancamnya. Viktimologi memberikan sumbangan pemikiran mengenai masalah viktimisasi tidak langsung, dampak sosial polusi industri, viktimisasi ekonomi, politik dan penyalahgunaan kewenangan. Viktimologi ini juga memberikan dasar pemikiran dalam penyelesaian viktimisasi kriminal atau factor victimogen dalam sistem peradilan pidana. Pengertian viktimologi secara etimologi, bahwa victimologi berasal dari kata “victim” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Dalam pengertian secara terminologi, victimologi adalah studi yang mempelajari tentang korban, penyebab terjadinya korban/timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan social. Sedangkan “korban” menurut Arif Gosita, adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. 72 Manfaat dari viktimologi adalah sebagaimana diketahui bahwa viktimologi juga merupakan sarana penanggulangan kejahatan/mengantisipasi perkembangan kriminalitas
dalam
masyarakat.
Sehingga
viktimologi
sebagai
sarana
penanggulangan kejahatan juga masuk ke dalam salah satu proses kebijakan publik. Antisipasi kejahatan yang dimaksud meliputi perkembangan atau
72
Arif Gosita., Loc. cit, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, intensitas kejahatan dan kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan. Tentu saja pelaksanaan pembangunan dapat menjadi factor viktimogen, hal ini disebabkan akibat adanya perubahan dalam struktur kehidupan masyarakat terutama dalam tuntutan perekonomian dan sosial budaya masyarakat. Kehidupan di kota besar seperti Jakarta, banyak orang melakukan bermacam-macam tindakan kriminal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan berjalannya proses pelaksanaan pembangunan hal ini disebabkan karena jumlah tenaga kerja yang diserap tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh sehingga ini menjadi salah satu factor viktimogen tindak kriminal yang artinya berbagai macam korban tindak kriminal, seperti penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Apabila dipandang dari sudut viktimologi, korban dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, merupakan self-victimizing victims yaitu seseorang yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri. Namun ada juga yang mengelompokkannya dalam victimless crime atau kejahatan tanpa korban karena dalam kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak adalah terlibat. Kejahatan lain yang dapat dikelompokkan dalam victimless crime adalah perjudian, prostitusi, pornografi. Jenis kejahatan ini telah diorganisir oleh sebuah jaringan kejahatan internasional (Transnational Organized Crime) sehingga sukar untuk diberantas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa korban adalah orangorang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian,
Universitas Sumatera Utara
termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau ganguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui suatu perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika menurut Ezzat Abdul Fateh, adalah dalam tipologi, “false victims yaitu mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri”. Dari perspektif tanggungjawab korban, menurut Stephen Schafer menyatakan self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban. Akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 (dua) hal, yaitu penjahat dan korban. Sebagai contoh dari self-victimizing victims adalah: pecandu obat bius (koersif), alkoholisme, homoseks, judi. 73 Dari perspektif Ikatan Korban Napza (IKON) Bali, yang dimaksud sebagai korban adalah “orang/perorangan yang menderita secara langsung dari penyalahgunaan napza dan termasuk pula keluarga atau tanggungan langsung dari korban”. Namun karena hukum di Indonesia memandang pengguna napza adalah kriminal maka terjadilah dampak-dampak negatif yang dialami oleh pengguna napza yang merupakan korban seperti diskriminasi, kriminalisasi, kesehatan, dan stigmatisasi. Maka sebagai korban, IKON Bali mendorong agar dihentikannya 73
http://www.ikonbali.org/26/06/2009/advokasi/petisi-ikon-bali-segera-terapkan-sema, ”Petisi Ikatan Korban Napza (IKON) dalam rangka menyambut Hari Anti Narkotika (HANI) dan Hari Anti Penyiksaan 2009, diakses terakhir tanggal 12 Januari 2010.
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi terhadap korban napza, mendorong vonis rehabilitasi untuk korban napza, mendorong agar dihentikannya penyiksaan terhadap korban napza, dan yang terakhir adalah mendorong terpenuhinya hak atas kesehatan bagi korban dan orang terinfeksi HIV. Dengan melihat kondisi permasalahan penanggulangan napza yang semakin tidak menentu dan meningkatnya jumlah korban napza secara terus-menerus. Maka Ikon Bali meminta agar: 74 1) Penerapan SEMA Nomor 7 Tahun 2009 sebagai pemenuhan hak atas kesehatan terhadap korban napza; 2) Meminta kepada Pengadilan Negeri Denpasar untuk menjadi insiator dalam penyusunan langkah teknis penerapan SEMA Nomor 7 Tahun 2009; 3) Meminta kepada seluruh instansi terkait untuk mulai mengambil langkah nyata dalam penanggulangan napza; 4) Meminta agar korban napza diperlakukan secara manusiawi tanpa penyiksaan, stigma dan diskriminasi; 5) Ikon Bali mendukung secara penuh program-program pemerintah dalam penanggulangan napza; 2. Rehabilitasi terhadap self-victimizing victims Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan undang-undang yang baru menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Adapun pasal-pasal di dalam undang-undang ini yang mengatur mengenai perlindungan korban adalah berbagai pasal-pasal yang
74
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mencantumkan rehabilitas kepada korban maupun pelaku tindak pidana narkotika. Pasal 1 ayat (16) menentukan defenisi mengenai rehabilitasi dipandang dari sisi medis yakni, ”Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika”. Sementara itu dalam Pasal 1 ayat (17) ditentukan defenisi rehabilitasi dipandang dari sisi sosial yakni, ”Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat”. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan undang-undang baru ini, tentu mempunyai maksud dan tujuannya. Adapun tujuan yang terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi: Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika. Bentuk perlindungan terhadap korban dan pelaku kejahatan tindak pidana narkotika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 disebutkan ada 2 (dua) macam yakni pengobatan dan rehabilitasi terhadap korban maupun pelaku. Pada Pasal 53 ayat (3) tersebut di atas bahwa yang dimaksud dengan ”bukti yang
Universitas Sumatera Utara
sah” antara lain surat keterangan dokter, salinan resep, atau label/etiket. Selengkapnya mengenai pengobatan ditentukan dalam Pasal 53 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri. (3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengenai rehabilitasi terhadap korban dan pelaku tindak pidana kejahatan penyalahgunaan narkotika merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah dan instansi masyarakat. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 54 bahwa, ”Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Dalam Pasal 56 disebutkan juga bahwa: (1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 57 bahwa selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Salah satu tugas dan wewenang Badan Narkotika Nasional adalah meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini, terdapat pengecualian dalam hal tuntutan pidana terhadap anak yang masih berada di bawah umur. Misalnya terdapat di dalam salah satu pasalnya yakni pada Pasal 128 ayat (1) yang berbunyi, ”Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Tetapi di dalam ketentuan lain yakni pada Pasal 128 ayat (2) dan ayat (3) ditentukan bahwa anak yang masih di bawah umur, tidak dapat dituntut pidana, selengkapnya pasal tersebut berbunyi, ”Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana” (Pasal 128 ayat (2)) dan ”Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana”. Pada awalnya, narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
peruntukan
narkotika
mengalami perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan
Universitas Sumatera Utara
umat manusia, maka peredarannya harus diawasi secara ketat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyebutkan: Pasal 60 ditentukan bahwa: (1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya: a. Memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah penyalahgunaan Narkotika; c. Mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas; d. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan e. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pasal 61 ditentukan bahwa: (1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika; (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 2. Alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; 3. Evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan; 4. Produksi; 5. Impor dan ekspor; 6. Peredaran; 7. Pelabelan; 8. Informasi; dan 9. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 62 berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana dimaksud
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dan dalam Pasal 63 disebutkan bahwa, ”Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Berdasarkan bunyi beberapa pasal di atas mengenai pengawasan terhadap pentingnya peredaran narkotika wajib diawasi secara ketat dikarenakan saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu, melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah di Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk dilepaskan ketergantungannya. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengenai narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, namun undang-undang ini tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya karena adanya perkembangan kualitas kejahatan narkotika yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan umat manusia. Pengguna narkotika sangat beragam dan menjangkau semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, orang awam hingga artis bahkan hingga pejabat publik. Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika secara berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik maupun psikis. Bahkan tidak jarang, penggunaan narkotika dapat memicu terjadinya berbagai tindak pidana. Karena itu, untuk mencegah semakin meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika, maka pengawasan tidak hanya terbatas pada peredaran narkotika tetapi juga pada mereka yang menjadi korban, misalnya seseorang yang menderita ketergantungan narkotika (pecandu) Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, maka untuk memberikan
kesempatan
pada
yang
bersangkutan
agar
terbebas
dari
kecanduannya, maka hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Pengobatan dan perawatan terhadap pecandu narkotika dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Rehabilitasi medis dan sosial yang diberikan kepada pecandu dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya. Selain pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat dilaksanakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Sebagai contoh, di Pakem, Sleman, Yogyakarta telah didirikan suatu klinik atau Pusat Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat-zat Aditif lainnya (NAPZA) Terpadu yang didirikan atas kerjasama Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diresmikan pada tanggal 7 Desember 2005. Tujuan umum pendirian pusat rehabilitasi terpadu ini adalah untuk memberikan jaminan penanganan paripurna
Universitas Sumatera Utara
kepada korban penyalahgunaan Napza melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual serta pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang NAPZA secara terpadu, sedangkan tujuan khususnya adalah: 75 1. Terhindarnya korban dan institusi dan penetrasi pengedar; 2. Terhindarnya kerusakan mental dan masa depan para penyalah guna Napza yang akan membunuh potensi pengembangan mereka; 3. Terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit-penyakit seperti Hepatitis, HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya; 4. Terwujudnya penanganan huklum yang selaras dengan pelayanan rehabilitasi medis/sosial; 5. Terwujudnya proses pengembangan penanganan korban NAPZA dan aspek ilmiah serta keilmuan yang dinamis, sesuai perkembangan zaman sebagai pusat jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis penanganan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional. Pemberian perlindungan kepada korban narkotika, tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah, peran serta masyarakat pun diharapkan ada salah satunya diterimanya kembali mantan para pengguna dalam lingkungannya tanpa melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya diskriminatif bahkan dengan memposisikan mereka sebagai warga kelas dua yang harus dijauhi. Bentuk perlindungan yang diberikan terhadap pelaku maupun korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dalam
75
bentuk rehabilitasi.
Dikdik M. Arif Mansur., dan Elistaris Gultom., Loc. cit, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai narkotika dan psikotropika yang sudah menjalani program kuratif. 76 Tujuannya agar pelaku tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkotika dan psikotropika. 3. Tahapan-tahapan rehabilitasi terhadap self-victimizing victims Tahapan-tahapan rehabilitasi terhadap self-victimizing victims atas penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang ada di Indonesia tidak sama. Ada yang menekankan rehabilitasi hanya pada aspek medis, ada pula yang lebih menekankan pada aspek rohani. Atau memadukan kedua pendekatan tersebut dengan komposisi yang seimbang. Yang ideal rehabilitasi seorang korban narkotika dan psikotropika harus dilakukan secara holisitik baik secara fisik, psikis maupun kerohaniannya. 77 1. Tahapan pengobatan (rehabilitasi) Secara umum ada beberapa tahapan yang harus dilewati. Masing-masing tahapan tersebut memakan waktu bervariasi; ada yang seminggu, sebulan dan bahkan berbulan-bulan tergantung tingkat ketergantungan, tekad korban, dan juga dukungan berbagai pihak terutama keluarga dalam seluruh proses tersebut. Setiap tahapan tersebut disusun dan dibuat untuk mengantar pasien secara bertahap melepaskan dari ketergantungan narkotika dan psikotropika. Beberapa tahapan rehabilitasi ini yang disajikan berikut sudah teruji dapat menyembuhkan atau memulihkan korban narkotika dan psikotropika secara maksimal. a. Tahapan transisi 76 77
Subagyo Partodiharjo., Loc. cit, hal. 105. E.M. Giri Prastowo., loc. cit, hal. 28-29.
Universitas Sumatera Utara
Penekanan dalam tahap ini lebih kepada informasi awal tentang korban seperti: 1) Latar belakang korban; 2) Lama ketergantungan; 3) Jenis obat yang dipakai; 4) Akibat-akibat ketergantungan; dan 5) Berbagai informasi lainnya. Hal ini penting sehingga pada saatnya akan menjadi acuan bagi pihak yang terlibat secara intensif dalam proses rehabilitasi. Ahli yang berkompeten (dokter) akan menganalisa tingkat ketergantungan korban untuk kemudian menentukan tingkat pengobatan dan tingkat pembinaan bagi si korban, sehingga terapi dan metode pengobatan bisa dilakukan secara terukur. Tahapan ini juga dapat dijadikan rujukan untuk mencari model rehabilitasi yang paling tepat bagi yang bersangkutan. Pada tahap ini tim rehabilitasi akan membantu korban agar menyadari dirinya sedang menghadapi masalah ketergantungan narkotika dan psikotropika. Korban diajak untuk bersama-sama mengatasinya. Hal ini penting karena proses rehabilitasi tidak akan berhasil tanpa adanya kesadaran korban tentang adanya bahaya yang dihadapinya. Dari situ akan dibangun
tekad
dan
komitmennya
untuk
meninggalkan
narkotika
dan
psikotropika. Selain itu, pada tahapan ini akan diteliti akibat fisik dari penggunaan narkotika dan psikotropika. Sejauh mana tingkat kerusakan syaraf, dan organorgan tubuhnya yang rusak. Untuk itu diadakan pemeriksaan laboratorium
Universitas Sumatera Utara
lengkap dan tes penunjang untuk mendeteksi penyakit yang diderita korban. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan satu atau beberapa penyakit maka terlebih dahulu diadakan pengobatan medis sebelum penderita mendapat proses rehabilitasi lanjutan. Langkah ini penting selain agar tubuh yang bersangkutan bebas dari penyakit juga untuk mencegah terjadinya penularan baik kepada korban narkotika dan psikotropika ini diadakan pembersihan darah pada tubuh pecandu sehingga darah menjadi bersih dan sistem metabolisme tubuh kembali normal. Proses ini dapat dilakukan melalui cara-cara berikut: 78 1) Cold Turkey (abrupt withdrawal) yaitu proses penghentian pemakaian narkotika dan psikotropika secara tiba-tiba tanpa disertai dengan substitusi antidotum; 2) Bertahap atau substitusi bertahap, misalnya dengan kodein, methadone, CPZ, atau clocaril selama 1-2 minggu; 3) Rapid Detoxification: dilakukan dengan anestesi umum (6-12 jam); dan 4) Simtomatik: tergantung gejala yang dirasakan. 2. Rehabilitasi intensif Setelah melewati masa transisi (pengumpulan informasi tentang keadaan korban dan latar belakangnya) baru masuk pada fase berikutnya yakni proses penyembuhan secara psikis. Motivasi dan potensi dirinya dibangun dalam tahap ini. Korban diajak untuk menemukan dirinya dan segala potensinya sambil juga menyadari berbagai keterbatasannya. Bahwa untuk mengatasi masalah hidup yang bersangkutan tidak perlu harus mengkonsumsi narkotika dan psikotropika. Narkotika dan psikotropika justru menciptakan masalah baru yang jauh lebih besar dalam hidupnya. Narkotika dan psikotropika bukanlah solusi tetapi menjadi
78
Ibid, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
sumber masalah. Pada tahap ini berbagai contoh dapat diperlihatkan kepada korban. Yang terlibat di dalam tahap ini yang utama adalah korban itu sendiri sebagai pelaku (self-victimizing victims). Korban harus punya tekad untuk hidup tanpa narkotika dan psikotropika. Korban harus bisa menatap masa depan dengan penuh optimisme. Selain yang bersangkutan, peranan keluarga (orang tua dan saudara-saudaranya, suami atau istri) juga sangat penting. Anggota keluarga ini harus secara intensif mendampingi dan menopang korban. Staf di panti rehabilitasi, para konselor, psikolog dan semua pihak di panti rehabilitasi untuk bersama-sama membangun kepercayaan diri korban. Seluruh proses ini membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan selama bertahun-tahun tergantung tingkat ketergantungan dan efeknya bagi korban. Berbagai terapi yang dilakukan selama dalam tahap ini baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama, lewat berbagai aktivitas di panti rehabilitasi tersebut bertujuan untuk memberdayakan kembali korban yang disekian lama telah terpuruk oleh narkotika dan psikotropika. Sebagai langkah awal untuk sosialisasi diri dengan masyarakat, korban juga secara bertahap mulai membangun komunikasi dengan orang lain di luar komunitas rehabilitasi. Menurut Romo Lambertus Somar MSC dalam bukunya ”Rehabilitasi Pecandu Narkotika dan Psikotropika”, pada tahap ini ada tiga titik yang harus dilewati yang lebih dikenal dengan tahapan stabilisasi pribadi yaitu: 79
79
E.M. Giri Prastowo., Loc. cit, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
1. Secara sadar dan tekun melepaskan diri dari berbagai penyakit dan akibatakibat lainnya (no to drugs). Tahap ini merupakan tahap stabilisasi awal atau tahap konsolidasi (consolidation); 2. Menemukan jati diri, menguasai kiat-kiat dan keterampilan-keterampilan untuk menyehatkan serta mengisi hidup secara lebih bermakna dan bermutu. Latihan keterampilan vokasional (kerja) dan pengungkapan diri dari dimulai dibina, sehingga disebut juga tahap pengukuan diri (personal appraisal). Inilah tahap stabilisasi menengah (madya); 3. Dengan inisiatif pribadi, orang secara sadar mulai berfikir dan bertindak untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, sehingga disebut juga tahap positive thinking and doing. Tahap ini merupakan tahap stabilisasi akhir; 4. Tahap rekonsiliasi. Tahapan berikut yang harus dilewati dan sangat vital adalah tahap rekonsiliasi. Para korban tidak langsung berinteraksi secara bebas dengan masyarakat, akan tetapi terlebih dahulu ditampung di sebuah lingkungan khusus selama beberapa waktu sampai pasien benar-benar siap secara mental dan rohani kembali kelingkungannya semula. Yang paling utama dalam fase ini adalah pembinaan mental spiritual, keimanan dan ketakwaan, serta kesepakatan sosial kemasyarakatan. Proses ini bisa meliputi program pembinaan jasmani dan rohani. Sampai ke tahap ini yang bersangkutan masih terikat dengan rehabilitasi formal, namun sudah mulai membiasakan diri dengan masyarakat luar, sehingga
Universitas Sumatera Utara
merupakan proses resosialisasi (reentry) atau penyesuaian (reconciliation). Proses ini melewati tiga titik penting juga yaitu: 80 1. Tinggal lebih sering dan lebih lama di lingkungan keluarga sebagai tempat tinggal tetap atau pun tempat tinggal transit untuk resosialisasi, sambil melanjutkan kegiatan pilihan sebagai penunjang masa selanjutnya. Di sini terjadi
perdamaian
dan
penyesuaian-penyesuaian
kembali
dengan
lingkungan. 2. Rencana masa depan yang jelas dan siap direalisasikan dengan dukungan keluarga atau pihak-pihak lain. Pada tahap ini korban dapat memulai aktivitasnya lagi seperti sekolah/kuliah, mulai bekerja atau merintis usaha sendiri. 3. Kontak
awal
dengan
kelompok-kelompok
atau
program-program
pemeliharaan lanjut (oftercare). Di sini orang menerima dirinya seperti apa adanya, merasa puas, lalu mempercayakan dirinya ke tangan orang lain. 4. Pemeliharaan Lanjut. Pada tahap ini walaupun secara fisik yang bersangkutan sudah dinyatakan sehat dan secara psikis pun sudah pulih, namun masih ada kemungkinan mereka akan tergelincir kembali, lebihlebih saat mereka sedang menghadapi masalah. Pada saat itu bisa jadi mereka bernostagia dengan menikmati narkotika dan psikotropika. Saat ini juga rawan. Karena itu setiap korban yang memasuki tahap ini
80
Ibid, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
dipersiapkan sungguh-sungguh agar dapat melewati dan mengatasi situasi rawan ini dengan melewati tiga titik ini yakni: 81 a.
Mengubah, menghilangkan, atau menjauhi hal-hal yang bersifat nostalgia kesenangan narkotika dan psikotropika;
b.
Setiap mengikuti program-program dan acara-acara aftercare (pemeliharaan lanjut); dan
c.
Dapat juga melibatkan diri dalam gerakan atau kelompok bersih narkoba dan peduli penanggulangannya.
81
Ibid, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dipaparkan tersebut di atas, peneliti memberikan
beberapa
kesimpulan
yang
merupakan
jawaban
terhadap
permasalahan di dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Di antara berbagai faktor yang dapat mempengaruhi seseorang atau individu menyalahgunakan narkotika atau psikotropika terdapat faktor yang paling dominan yakni faktor yang bersumber dari keadaan keluarga dan lingkungan bukan karena faktor individunya. Karena faktor keluarga yang buruk dan lingkungan yang juga buruk dan saling mendukung dapat mempengaruhi individu menjadi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tersebut dengan kata lain faktor keluarga dan lingkungan yang buruk ini membuka kesempatan kepada seseorang untuk merasakan pergaulan dengan narkotika atau psikotropika sehingga dapat menimbulkan ketergantungan terhadapnya. 2. Dari berbagai pengaturan mengenai narkotika dan psikotropika yang ada mulai sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia, tahun 1976, tahun 1997, hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika,
memuat
berbagai
ketentuan
yang
semakin
mementingkan terhadap perlindungan terhadap korban, hal tersebut dapat dimengerti dari ketentuan sanksi pidana maupun sanksi denda yang diperberat bagi pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika. Begitu
Universitas Sumatera Utara
pula dicantumkan di dalam undang-undang tersebut mengenai rehabilitasi terhadap korban sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dan bekerjasama dengan lembaga masyarakat. 3. Perlindungan terhadap korban narkotika, jika dihubungkan dengan beberapa teori pemidanaan dalam perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang baru terdapat keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku kejahatan narkotika dengan korban. Dimana bahwa berdasarkan sanksi baik pidana maupun denda yang terdapat dalam undang-undang ini sangatlah berat-berat, dan tegas. Ini berarti bahwa undang-undang narkotika yang baru tersebut lebih mementingkan korban dari pada pelaku kejahatan narkotika. Mengingat bahwa dengan adanya pelaku atau pengedar narkotika dapat menimbulkan korban semakin banyak yang berjatuhan, sehingga daripada korbannya anak bangsa yang memiliki masa depan yang cerah terhadap bangsa dan negara Indonesia, maka lebih baik menetapkan sanksi atau hukuman yang seberat-beratnya terhadap si pelaku tindak pidana narkotika bahkan pidana mati atau seumur hidup. Jika diperhatikan dalam ketentuan beberapa pasal undangundang yang baru ini, juga diatur mengenai rehabilitasi terhadap korban, baik korban yang diakibatkan oleh orang lain maupun karena self victimizing victims atau korban yang karena perbuatan pidana si pelaku itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran Adapun yang menjadi saran peneliti di dalam penelitian ini yang menjadi harapan untuk diperhatikan bersama adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan bagi setiap keluarga untuk menjaga keharmonisan, melakukan pengawasan, dan menanamkan pendidikan yang benar terutama dalam hal menyeimbangkan antara emosi, inteligensi, dan spritual sejak dari dini terhadap anak sebagai benteng terhadap dirinya untuk dapat membentengi dari pengaruh narkotika dan psikotropika yang semakin mengancam keadaan lingkungan masyarakat. 2. Diharapkan terhadap pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang terintegrasi dan menyeluruh terhadap semua lapisan masyarakat baik masyarakat di pedesan (primitif) maupun masyarakat kota betapa besarnya sanksi pidana dan denda yang digariskan di dalam undang-undang narkotika dan psikotropika misalnya dengan mempublikasikannya dalam bentuk billboard di persimpangan jalan sehingga setiap orang yang lewat dengan
secara
otomatis
masyarakat
akan
mengetahuinya
dan
berkemungkinan orang yang membacanya setidaknya timbul rasa takut untuk terjun ke dalam penyalahgunaaan narkotika dan psikotropika tersebut. 3. Diharapkan sanksi pidana maupun denda yang digariskan dalam undangundang narkotika dan psikotropika tersebut benar-benar dapat diterapkan kepada setiap pelaku penyalahgunaannya tanpa pandang bulu bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya baik dilakukan sendiri-sendiri maupun
Universitas Sumatera Utara
kelompok atau korporasi seperti memiliki, mengonsumsi, menyimpan, mengedarkan, menjual, membeli, memproduksi, dan lain-lain untuk keperluan ilegal.
Universitas Sumatera Utara