BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
A. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sebagai Lex Specialis Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang lingkungan hidup. Diantaranya tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana di bidang lingkungan hidup, kejahatan di bidang lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009), tidak terdapat rumusan yang mutlak tentang tindak pidana lingkungan hidup tersebut. 23 Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran dalam UUPPLH 2009 dapat dijerat dengan ketentuan undang-undang? Dan dalam hal-hal apa saja tindak pidana lingkungan hidup dapat dijerat dengan ketentuan UUPPLH 2009 Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate lex generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan aparatur
23
http://raspati.blogspot.com/2008/03/tinjauan-yuridis-penerapan-asas-lex.html, diakses tanggal 1 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.24 Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat lex generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan atauran main (game rules) dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus. Akibat dari persoalan di atas, seperti yang dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes, “The paradigm now constituted a problem rather than a solution: not waiving but drowning. The public prosecutorial executive had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere”. Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidakadilan karena menggunakan unsur paksaan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan
24
M. Arief Amrullah., Op. cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut. 25 Khsusnya undang-undang lingkungan hidup. 26 Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act), serta membuktikan unsur mens rea (criminal act). Oleh karena itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada kejahatan perorangan, karena kejahatan korporasi lebih bersifat abstrak untuk menyangka dan menuntut subjek hukum yang melakukan kejahatan korporasi tersebut.27 Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, 25
Roeslan Saleh., Op. cit., hal. 80. Khudzaifah Dimayti., “Pola Pemikiran Hukum Responsif”, Jurnal Ilmu Hukum, Voli. 10, No. 1, Maret 2007. 27 Korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan itu adalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan pekerjaannya atas nama korporasi. 2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara langsung atau pun tidak langsung. 3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan korporasi. 4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. 5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus. 26
Universitas Sumatera Utara
KUH Pidana juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. 28 Jadi, dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang persorangan atau legal persoon. Perlu diketahui bahwa, pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (seperti dalam hukum lingkungan hidup), yang akan lahir sebagai satu kesatuan yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi apabila mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehubungan dengan itu, mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Secara yuridis terhadap Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009, yang disebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
28
Ibid., hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam hal ini adalah korporasi. Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau suatu korporasi yang melakukan kejahatan dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas. 29 Selain dari pada korporasi yang diatur sebagai subjek hukum dalam hukum
lingkungan,
juga
diatur
hal-hal
yang
berkenaan
dengan
pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban mutlak ini tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana masih menggunakan
pertanggungjawaban
dengan
kesalahan,
sementara
pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus dibuktikan ada atau tidaknya kesalahan si pembuat. Mengenai hal tersebut di atas, UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis, bukan merupakan suatu penyimpangan asas akan tetapi merupakan penyempurnaan terhadap asas umum, sebab kejahatan di bidang lingkungan hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra oridnary crime) sehingga 29
T. Suhaimi., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, (Bandung: BooksTerrace & Library, 2010), hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
penanganannya harus dilakukan luar biasa termasuk dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang berlaku umum.
B. Perbandingan Pengaturan Antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997), telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Dalam UUPPLH 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar antara UUPLH 1997 dengan UUPPLH 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam UUPPLH 2009 tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian prinsip-prinsip good governance. Prinsip-prinsip tersebut adalah partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. 30
30
Sofyan Nasution., ”Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan PrinsipPrinsip Good Governance”, Disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang
Universitas Sumatera Utara
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, agar berjalan good governance tersebut, maka semua prinsip-prinsip good governance harus diupayakan oleh birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, prinsip-prinsip tersebut harus menjadi pedoman birokrasi dalam melaksanakan tugasnya untuk pelayanan publik. 31 Perlu diketahui, beberapa poin terpenting dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009) antara lain: 32 1. 2. 3. 4.
Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup; Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah; Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup; Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian; 6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem; 7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global; 8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; 10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan 11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup. diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal. 2-3. 31 Koesnadi Hardjasoemantri, “Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003, hal. 2003, hal. 20. 32 Rina Suliastini., Perbandingan UU No 23 Tahun 1997 dan UU No 32 Tahun 2009 Mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009), hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
UUPPLH 2009 memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui UUPPLH 2009, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997). Pada bagian ketiga UUPPLH, diatur mengenai penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Ketentuan ini merupakan memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. RPPLH terdiri dari RPPLH nasional, RPPLH provinsi, dan RPPLH kabupaten/kota. Dalam Pasal 9 ayat
(4)
UUPPLH
dinyatakan
bahwa
RPPLH
kabupaten/kota
disusun
berdasarkan: RPPLH provinsi, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan, dan inventarisasi tingkat ekoregion. Pasal 10 UUPPLH memberikan kewenangan untuk membuat RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyusunan RPPLH berdasarkan kewenagan itu harus memperhatikan: a. Keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. Sebaran penduduk; c. Sebaran potensi sumber daya alam;
Universitas Sumatera Utara
d. Kearifan lokal; e. Aspirasi masyarakat; dan f. Perubahan iklim. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan UUPPLH 2009 tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan
portofolio
menetapkan,
melaksanakan,
mengawasi
kebijakan
perlindungan, dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. 33 Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai untuk Pemerintah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai untuk pemerintah daerah. Dalam UUPPLH 2009 sebagai pengganti UUPLH 1997, yang dimaksud Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dalam undang-undang tersebut meliputi: 1. Aspek perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). 2. Aspek pemanfaatan Sumber Daya Alam yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Dalam UUPPLH 2009 telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan Sumber Daya Alam
33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Dalam UUPPLH 2009 juga dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam UUPLH 1997. Dalam UUPPLH 2009, diatur pula mengenai pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi. Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menerbitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetika tanpa hak, pengelola limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke
Universitas Sumatera Utara
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup, dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) menjadikannya sebagai jabatan fungsional. Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik kepada perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap baku mutu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam UUPPLH 2009 mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL dalam UUPPLH 2009 berbeda dengan pengertian AMDAL dalam UUPLH 1997, perbedaannya yaitu hilangnya “dampak besar”. Jika dalam UUPLH 1997 disebutkan bahwa, “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”, 34 sedangkan pada UUPPLH 2009 disebutkan bahwa, “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada 34
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997). Garis bawah di atas diberikan oleh penulis.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”. 35 Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasalpasal penting yang sebelumnya tidak termuat dalam UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH 1997) maupun PP No. 27 Tahun 1999 dan memberikan implikasi yang besar bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat pemberi ijin. Hal-hal baru yang penting terkait dengan AMDAL termuat dalam UUPPLH 2009, yang tidak diatur dalam UUPLH 1997 antara lain: 1. AMDAL dan UKL-UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; 2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; 3. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; 4. Amdal dan UKL-UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan; 5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya. Selain kelima tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam UUPPLH 2009, yaitu dikenakan sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksisanksi tersebut, yaitu:
35
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Garis bawah di atas diberikan oleh penulis.
Universitas Sumatera Utara
1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan; 2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi; 3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.
C. Kaitan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dengan Permen Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2008 dan Permen Lingkungan Hidup No. 06 Tahun 2008 Terdapat kaitan antara UUPPLH 2009 dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2008 tentang Persyaratan Kompetensi Dalam Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Permen LH No. 11 Tahun 2008). Sebelum disahkannya UUPPLH 2009, Kementerian Lingkungan Hidup sudah menerbitkan peraturan menteri yang mengatur tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL (Permen LH No. 11 Tahun 2008). Pada Pasal 4 Permen LH No. 11 Tahun 2008 disebutkan bahwa persyaratan minimal untuk menyusun suatu dokumen AMDAL adalah 3 (tiga) orang dengan kualifikasi 1 (satu) orang Ketua Tim dan 2 (dua) orang Anggota Tim yang kesemuanya sudah memiliki sertifikat kompetensi. Sementara amanat dalam UUPPLH 2009 yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) adalah ”Penyusun AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki
Universitas Sumatera Utara
sertifikat kompetensi penyusun AMDAL”. Jika yang dimaksud “penyusun dokumen AMDAL” pada undang-undang lingkungan yang baru adalah seluruh tim yang ada dalam suatu proses penyusunan dokumen AMDAL, maka dengan demikian Permen LH No. 11 Tahun 2008 Pasal 4 sudah tidak berlaku lagi. Implikasinya selanjutnya adalah masa berlakunya persyaratan tersebut harus mundur sampai ada peraturan menteri yang secara rinci mengatur tentang hal itu sesuai amanat dalam Pasal 28 Ayat (4) yang memberikan kewenangan kepada KLH untuk membuat peraturan yang mengatur lebih rinci hal tersebut. Terdapat pula kaitan antara UUPPLH 2009 dengan Peraturan Menteri Nomor 06 Tahun 2008 tentang Tata Laksana Lisensi Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota. Sama seperti Permen LH No. 11 Tahun 2008, ada perbedaan pengaturan yang diamanatkan dalam UUPPLH 2009 dengan Permen LH No. 06 Tahun 2008 yang berlaku efektif pada tanggal 16 Juli 2009. Dalam peraturan ini persyaratan lisensi komisi penilai diberikan kepada komisi penilai AMDAL kabupaten atau kota dan yang menerbitkan lisensi tersebut adalah instansi lingkungan hidup propinsi. Sementara dalam UUPPLH 2009, komisi penilai AMDAL yang harus dilisensi selain komisi penilai AMDAL kabupaten atau kota, tetapi juga terhadap komisi penilai AMDAL pusat dan propinsi yang bukti lisensinya diberikan oleh masing-masing pejabatnya (Menteri, gubernur, bupati dan walikota). Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bentuk pengawasan terhadap pemberian lisensi tersebut jika masing-masing pejabat berhak mengeluarkan bukti lisensi terhadap komisi penilainya. Maka dalam perubahan Permen No. 06 Tahun 2008, Kementerian
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan Hidup harus mengetatkan persyaratan penerbitan lisensi untuk komisi penilai masing-masing daerah termasuk untuk komisi penilai penilai pusat.
D. Pengaturan Mengenai Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Definisi tindak pidana menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 36 Sementara, disebutkan Simons, bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak disengaja oleh seseorang yang dapat dipertangungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 37 Berdasarkan kedua pendapat tersebut, pandangan Simons lebih luas dari pada pandangan Moeljatno dimana Simons disebutkannya tindakan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja maupun yang tidak disengaja. Definisi tindak pidana lingkungan hidup di dalam UUPPLH 2009 tidak dapat ditemukan secara lengkap. Namun dapat dirujuk kepada Pasal 97 UUPPLH 2009, disebutkan bahwa, “Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan”. Sedangkan kejahatan menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi, merupakan suatu perbuatan jelas dapat dipidana. 38 Oleh sebab itu, maka tepatlah jika disamakan antara tindak pidana sama saja dengan kejahatan.
36
Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Op. cit., hal. 54. Leden Marpaung., Op. cit., hal. 4. 38 EY. Kanter., dan SR. Sianturi., Op. Cit., hal. 10-11. 37
Universitas Sumatera Utara
Subjek hukum dalam UUPPLH 2009 disebutkan pada Pasal 1 angka 32 yaitu “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum maksudnya adalah korporasi. 39 Tindak pidana lingkungan hidup dapat pula ditelaah terhadap pasal-pasal dalam UUPPLH 2009, dimana dalam Pasal 60 disebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin”. Kemudian dapat diambil lagi ketentuan dalam Pasal 69 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang dilarang: 1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; 2. Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 5. Membuang limbah ke media lingkungan hidup; 6. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; 7. Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; 8. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; 9. Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau 10. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
39
Subjek hukum yang berbadan hukum adalah institusi atau lembaga yang tekah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan subjek hukum yang tidak berbadan hukum adalah orang perorangan atau korporasi yang tidak terdaftar di Kemenerian Hukum dan HAM.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) di atas, dapat dipahami bahwa tindak pidana lingkungan hidup itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dalam konteks “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Mencemarkan atau merusak lingkungan, menurut Alvi Syahrin, 40 merupakan genus atau rumusan umum, mejadi species atau rumusan khususnya dapat dilihat dari berbagai ketentuan di dalam pasal-pasal UUPPLH 2009. Dirujuk kepada Pasal 69 ayat (1) di atas, dalam angka 1 disebutkan ”melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Inilah yang disebut dengan genus tindak pidana lingkungan hidup. Akan tetapi mulai dari angka 2 sampai dengan angka 10 merupakan species tidank pidana lingkungan hidup. Sampai pada penafsiran di dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 UUPPLH 2009, merupakan ketentuan yang menggariskan species-species tindak pidana lingkungan hidup tersebut. Berdasarkan Pasal 98 sampai dengan Pasal 120 di atas, dapat diketahui bentuk-bentuk tindak pidana yang dikenal di dalam UUPPLH 2009. dalam Pasal 98 ayat (1), disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. 40
Alvi Syahrin., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Sofmedia, 2009), hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 99 ayat (1): Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 100 ayat (1): Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana. Pasal 101: Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Pasal 102: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin. Pasal 103: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan. Dalam Pasal 104: Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 105: Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 106: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 107: Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 108: Setiap orang yang melakukan pembakaran Lahan. Pasal 109: Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan. Pasal 110: Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Pasal 111 ayat (1): Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. Dalam Pasal 112: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
Universitas Sumatera Utara
kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan tanpa izin lingkungan. Pasal 113:
Setiap
orang
yang
memberikan
informasi
palsu,
menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Pasal 114: Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 115: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Pasal 116 ayat (1): Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. Badan usaha; dan/atau b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Semua ketentuan di atas, merupakan bentuk-bentuk tindak pidana di dalam lingkungan hidup. Bentuk-bentuk tindak pidana lingkungan hidup di atas, selalu diawali dengan kalimat “setiap orang”, artinya adalah bahwa hanya orang lah yang dapat dipidana walupun dalam UUPPLH 2009 dikenal adanya badan hukum atau korporasi akan tetapi tidak disebutkan kalimat yang diawali dengan “setiap badan hukum” atau setiap korporasi”. Logikanya adalah mana bisa mungkin suatu
Universitas Sumatera Utara
lembaga organisasi atau badan hukum atau badan usaha atau korporasi dapat dipidana secara fisiknya, melainkan pengurus-pengurusnya lah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Universitas Sumatera Utara