BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA Pada umumnya perbuatan persetubuhan dapat dilakukan dengan pemaksaan yang lebih dikenal dengan pemerkosaan dan dapat dilakukan tanpa pemaksaan. Hukum positif yang berlaku di Indonesia telah mengatur perbuatan persetubuhan secara umum terhadap orang yang dewasa dan anak-anak dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan secara khusus jika dilakukan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta jika dilakukan terhadap orang yang masih termasuk dalam hubungan keluarga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
A. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pada umumnya jika membicarakan tentang hukum pidana, maka yang dimaksudkan ialah peraturan-peraturan pidana yang terkumpul dalam suatu kitab yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disingkat KUHP (Wetboek van Strafrecht = H.v.S). 133 E. Utrech mengatakan, bilamana orang mengatakan hukum pidana maka pada umumnya yang dimaksud adalah hukum pidana materiil. 134
133
C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 245. E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur oleh M. S. Djindang, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1983), hlm. 388. 134
Universitas Sumatera utara
Hukum pidana materil adalah hukum yang berisi tentang aturan tingkah laku (perbuatan) yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan. 135 Satochid Kartanegara menulis, hukum pidana materil berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan apa yang dapat dipidana (masalah
tindak
pidana-pen),
siapa-siapa
yang
dapat
dipidana
(masalah
pertanggungjawaban pidana-pen) dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggar hukum (penjatuhan pidana-pen). 136 Singkatnya hukum pidana materil mengatur tentang apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum. 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHP memasukkan perbuatan persetubuhan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan. 138 Andi Hamzah 139 menyatakan bahwa kesusilaan (goede zeden) adalah kesusilaan moral dengan norma kesopanan, khususnya dibidang seksual. Persetubuhan secara sederhana diartikan sebagai aktifitas/ hubungan seksual yang umum dilakukan untuk memperoleh kenikmatan seksual atau untuk proses memperoleh anak. Persetubuhan dengan demikian bukanlah sebuah bentuk kejahatan tapi merupakan perbuatan manusiawi karena lumrah dilakukan bahkan merupakan
135
E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 20. Satochid Kartanegara, Op.Cit, hlm. 1 137 C.S.T. Cansil, Op.Cit, hlm. 249. 138 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), dan R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” sedangkan R. Soesilo, Op.Cit, mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesopanan”. 139 Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 150. 136
Universitas Sumatera utara
kebutuhan kodrati. Sifat jahat terhadap aktifitas seksual ini kemudian melekat jika itu dilakukan tidak sesuai dengan hukum sehingga disebutlah perbuatan itu sebagai kejahatan seksual. Terminologi persetubuhan dan terminologi pencabulan memiliki perbedaan prinsipil secara yuridis. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. 140 Menurut J. M. Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Neng Djubaedah, 141 mengemukakan bahwa perbuatan cabul itu termasuk persetubuhan dan homoseksualitas atau perbuatan cabul yang bertentangan dengan alam. Perbuatan cabul tidak mengharuskan adanya hubungan kelamin asal saja perbuatan itu dinilai sebagai pelanggaran kesusilaan dalam ruang lingkup nasfu berahi, tetapi persebutuhan mengharuskan adanya hubungan kelamin. Perbuatan cabul dengan demikian lebih mengandung pengertian yang lebih luas dari pengertian persetubuhan sehingga dikatakan bahwa persetubuhan termasuk perbuatan cabul tetapi perbuatan cabul tidak selalu dapat dikatakan persetubuhan. KUHP secara tegas memisahkan pengaturan perihal persetubuhan dengan perbuatan cabul mengindikasikan bahwa kedua perbuatan ini secara hukum memiliki perbedaan. Tindak pidana pencabulan terhadap orang dewasa diatur dalam Pasal
140 141
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 212. Neng Djubaidah, Op.Cit, hlm. 75.
Universitas Sumatera utara
289 142, Pasal 290 ayat (1) 143, Pasal 294 ayat (2) KUHP 144, sedangkan pencabulan yang dilakukan khusus terhadap orang belum cukup umur 15 tahun diatur dalam Pasal Pasal 290 ayat (2) dan (3) KUHP 145, pencabulan terhadap orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 292 146, Pasal 293 147 dan Pasal 294 ayat (1) KUHP148,
142
Pasal 289 KUHP berbunyi: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan. 143 Pasal 290 ayat 1 KUHP berbunyi: Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. 144 Pasal 294 ayat (2) KUHP berbunyi: 2. Dengan hukuman yang serupa dihukum: (1) Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga. (2) Pengurus, dokter, guru, pegawai/pejabat, pengawas, atau pembantu suatu lembaga pemasyarakatan, lembaga kerja negara, lembaga pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga-lembaga kebajikan, yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang yang dimasukkan ke dalamnya. 145 Pasal 290 ayat 2 dan 3 KUHP berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: (2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. (3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain. 146 Pasal 292 KUHP berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum dewasa, diancam pidana penjara paling lama lima tahun. 147 Pasal 293 KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyelahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaaan, atau dengan menyesatkan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. (3)Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 (sembilan) bulan dan 12 (dua belas) bulan. 148 Pasal 294 ayat (1) KUHP berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa , diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Universitas Sumatera utara
sementara itu ketentuan Pasal 295 KUHP 149 adalah mengatur tentang menyebabkan/ memudahkan pencabulan oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak asuhnya yang belum dewasa dengan pihak ketiga orang lain dan jika mangadakan atau memudahkan perbuatan cabul itu menjadi pencaharian atau kebiasaan diatur dalam Pasal 296 KUHP 150. Keseluruhan pasal-pasal terkait tindak pidana pencabulan dalam KUHP dimaksud tidak akan dibahas dalam tulisan ini secara luas, karena fokus pembahasan tulisan ini adalah tentang tindak pidana persetubuhan. James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Neng Jubaidah, 151 merumuskan beberapa hubungan seksual yang termasuk kejahatan seksual (sexual offences) diantaranya: 1) Forcible rape, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang perempuan dengan menggunakan ancaman pemaksaan dan kekerasan yang menakutkan. 2) Statory rape, yaitu hubungan seksual yang telah dilakukan dengan seorang perempuan di bawah usia yang ditentukan (biasanya 16 tahun atau 18 tahun, tetapi kadang-kadang 14 tahun) dengan atau tanpa persetujuan dari perempuan tersebut. 3) Fornication, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang tidak (belum) dalam ikatan perkawinan. 149
Pasal 295 KUHP berbunyi: 1. Diancam: (1.1) Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak yang dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain. (1.2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. 2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga. 150 Pasal 296 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah. 151 Neng Djubaidah, Op.Cit, hlm. 259-260.
Universitas Sumatera utara
4) Adultery, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sekurang-kurangnya salah satu dari mereka terikat perkawinan dengan orang lain. 5) Incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, antar saudara kandung, atau antara hubungan darah yang relatif dekat. 6) Sodomy, yaitu perbuatan-perbuatan hubungan seksual yang meliputi: a. Fellatio, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks laki-laki; b. Cunnilingus, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks perempuan; c. Buggery, yaitu penetrasi melalui anus; d. Homosexuality, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya; e. Bestiality, yaitu hubungan seksual dengan binatang; f. Pederasty, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang anak laki-laki secara tidak alamiah; g. Necrophilia, yaitu hubungan seksual dengan mayat. 1. Definisi Anak Menurut KUHP KUHP tidak mengenal secara spesifik pengertian tentang anak, tetapi hanya mengenal pengertian ”belum dewasa” atau ”belum cukup umur” (minderjarig). Walau tidak ada pembatasan umur secara tegas tentang anak dalam KUHP, tetapi tidak menjadikan pengertian anak dalam KUHP tidak ada sama sekali. Pengertian anak dalam KUHP selalu terikat dengan ketentuan pasal yang terkait misalnya tentang anak yang berumur di bawah 12 tahun, anak berumur di bawah 15 tahun, anak yang berumur di bawah 16 tahun dan anak yang berumur di bawah 17 tahun sehingga kesemuanya memiliki fungsi dan kepentingan yang berbeda. Anak versi KUHP adalah dipandang dari berbagai sudut kepentingannya yang secara langsung tertuang dalam pasal-pasal terkait. Keseluruhan pengertian anak tersebut termasuk dalam kategori orang yang belum dewasa atau belum cukup umur yang lebih dikenal dengan istilah anak.
Universitas Sumatera utara
Anak yang berumur di bawah 12 tahun misalnya dipergunakan sebagai dasar untuk penuntutan tanpa pengaduan korban. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 287 ayat 2 KUHP yang berbunyi: ”Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.” 152 Anak yang berumur di bawah 15 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus yang diharapkan diketahui oleh pelaku misalnya dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP dan Pasal 290 angka 2 dan 3 KUHP. Pasal 290 angka (2) dan (3) berbunyi: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahunn atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat kawin. 2. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin. Anak yang berumur di bawah 16 tahun dipergunakan sebagai pedoman bagi hakim dalam penjatuhan hukuman (pemidanaan). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 45 KUHP yang berbunyi: 153
152
Pasal 291 KUHP adalah tentang perbuatan persetubuhan yang berakibat luka berat pada tubuh atau mati sedangkan Pasal 294 KUHP adalah tentang perbuatan cabul terhadap anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa atau anak yang belum dewasa yang pemiliharaanya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya. 153 Berdasarkan ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45 KUHP ini tidak berlaku lagi. Pasal 67 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak berbunyi: “Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHPidana dinyatakan tidak berlaku lagi”. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 batas umur pelaku yang dapat dipidana (atau sebagai pedoman hakim dalam pemidanaan terhadap anak) adalah harus telah berumur minimal 8 tahun. Pasal
Universitas Sumatera utara
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan itu merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaaran berdasarkan pasal-pasal 489,..” Anak yang berumur di bawah 17 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus yang diharapkan diketahui oleh pelaku dalam bidang mempertunjukkan tulisan atau gambar yang menyinggung perasaan kesopanan. Ketentuan ini misalnya diatur dalam Pasal 283 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9000,- dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa orang itu belum cukup umur 17 tahun suatu tulisan, suatu gambar atau suatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau suatu cara yang dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu kehamilan, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya. Secara umum pengertian-pengertian belum cukup umur atau belum dewasa dalam KUHP adalah semakna dengan pengertian anak sebagai lawan kata dari dewasa. Menurut L.N. 1931 No. 54, pengertian ”belum dewasa” bagi orang Indonesia adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. 154 Dewasa adalah
4 ini kemudian telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/ PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 yang menegaskan bahwa batas usia anak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum yaitu minimal berumur 12 (dua belas) tahun. Putusan MK ini sejalan dengan batas usia yang telah direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment pada 10 Februari 2007. 154 R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 61.
Universitas Sumatera utara
sudah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, tetapi sudah kawin atau pernah kawin. 155 2. Persetubuhan Dengan Paksaan Dalam KUHP Persetubuhan dengan paksaan umumnya lebih dikenal dengan istilah pemerkosaan. Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda-bahkan jika dangkal-dengan cara pemaksaan baik fisik atau nonfisik.” 156 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pemerkosaan sebagai suatu proses atau cara perbuatan memerkosa, sedangkan perkosa atau memerkosa berarti menundukkan dengan kekerasan atau memaksa dengan kekerasan. 157 Tindak pidana pemerkosaan (verkrachting) diatur secara spesifik dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin158 di luar pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Jika pemerkosan itu mengakibatkan korbannya mati maka pelaku diancam hukuman penjara selamalamanya lima belas tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP).
155
Ibid, hlm. 216. http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerkosaan, diakses tanggal 01-03-2013. 157 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1059. 158 Formulasi Pasal-Pasal KUHP tentang kejahatan kesusilaan dalam tulisan ini umumnya dikutip dari buku P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit. Istilah “hubungan kelamin” disini dalam buku R. Soesilo, Op.Cit dan R. Soenarto Soerodibroto, Op.Cit, menggunakan istilah “bersetubuh”, sehingga dalam tulisan ini kata ini semakna dan saling dapat dipertukarkan. 156
Universitas Sumatera utara
Merujuk ketentuan Pasal 285 KUHP di atas dapat diambil beberapa syarat penting yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai pemerkosaan yaitu : a) Adanya hubungan kelamin di luar perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 159 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholitdhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 160 Van Vemmellen dan Van Hattum berpendapat bahwa untuk adanya suatu perbuatan hubungan kelamin tidak disyaratkan telah terjadinya suatu ejaculatio seminis, melainkan cukup jika orang telah memasukkan penisnya 161 kedalam vagina 162 seorang wanita. 163 Arrest tanggal 5 Februari 1912 W. 9292 Hoge Raad
159
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam. 161 Penis dari bahasa Latin yang artinya "ekor", akar katanya sama dengan phallus, yang memiliki arti sama adalah alat kelamin jantan. Penis merupakan organ eksternal, karena berada di luar ruang tubuh. Pemakaian istilah "penis" praktis selalu dalam konteks biologi atau kedokteran. Istilah "falus" (dari phallus) dipakai dalam konteks budaya, khususnya mengenai penggambaran penis yang menegang (ereksi). Lingga (atau lingam) adalah salah satu penggambaran falus. Literatur keagamaan (Islam), lebih sering memakai kata zakar. Banyak masyarakat menganggap organ ini tabu untuk dibicarakan secara terbuka, berbagai eufemisme (penghalusan kata atau makna) dipakai untuk menyatakannya, seperti "burung", "pisang", dick, atau cock (bahasa Inggris). Fungsi penis secara biologi adalah sebagai alat pembuangan (organ ekskresi) sisa metabolisme berwujud cairan (urinasi) dan sebagai alat bantu reproduksi. Penis sejati dimiliki oleh mamalia dan menjadi penciri utama jenis kelamin jantan. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Penis. Diakses Tanggal 1-03-2013. Penis merupakan organ kelamin luar yang penting untuk kopulasi. Kopulasi adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan wanita bertujuan memindahkan sel sperma ke saluran kelamin wanita. Lihat Yanti, Buku Ajar: Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta: Pustaka Rihama, 2011), hlm. 39. 162 Vagina kata Latin yang makna literalnya "pelindung" atau "selongsong" adalah saluran berbentuk tabung yang menghubungkan uterus (rahim) ke bagian luar tubuh pada mamalia dan marsupilia betina, atau ke kloaka pada burung betina, monotrem, dan beberapa jenis reptil. Ukuran vagina bermacam-macam pada wanita, namun ukuran panjangnya berkisar 6 sampai 7,5 cm (2,5 - 3 inchi) meliputi dinding anterior, dan 9 cm (3,5 inchi) untuk panjang yang meliputi dinding posterior. 160
Universitas Sumatera utara
memutuskan bahwa suatu persinggungan di luar antara alat-alat kelamin pria dan wanita bukan merupakan persatuan antara alat-alat kelamin yang diperlukan dalam suatu perkosaan. 164 Kiranya cukup jelas tulis P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang 165 bahwa yang tidak dikehendaki oleh ketentuan Pasal 285 KUHP adalah timbulnya akibat berupa dimasukkannya penis pelaku ke dalam vagina korban, sehingga pasal ini dapat dikatakan sebagai delik materil. 166 Merujuk pendapat di atas, maka penggunaan sarana/ alat berupa alat-alat seks (sex toys) yang mungkin dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam vagina wanita walau diluar perkawinan dan dengan paksaan tidak dapat disebut pemerkosaan. Penetrasi 167 penis terhadap vagina harus benar-benar terjadi jika masih diluar vagina maka tidak dapat disebut pemerkosaan tetapi termasuk percobaan pemerkosaan. Bagian yang sudah termasuk bagian dalam vagina ialah jika telah menyentuh labia minora (bibir dalam vagina). Adanya syarat ini menjadikan hubungan kelamin dalam perkawinan tidak akan pernah masuk kategori pemerkosaan meskipun dilakukan dengan paksaan. Disaat rangsangan seksual, ukuran panjang dan lebar vagina akan meningkat. Keelastisan vagina dapat membantu proses dalam hubungan seksual, dan selain itu membantu saat proses kelahiran. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Vagina. Diakses tanggal 1-03-2013. Vagina berfungsi mengeluarkan ekskresi uterus (rahim) pada haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan). Lihat, Yanti, Op.Cit, hlm. 34. 163 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 102. 164 Ibid. 165 Ibid. 166 Delik berarti tindak pidana, merupakan perbuatan melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Lihat Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 29-30. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai jika akibat yang dilarang telah terjadi. Sedangkan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai jika tindakan yang dilarang dalam rumusan undang-undang telah terpenuhi. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 237. 167 Istilah penetrasi digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana alat kelamin pria dimasukkan ke dalam vagina.
Universitas Sumatera utara
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka perkawinan yang dimaksud disini haruslah merujuk ketentuan undang-undang itu khususnya ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”. b) Harus dilakukan terhadap wanita. R. Soesilo menyatakan bahwa pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata kondisi ini dianggap tidak mungkin tetapi karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak berakibat buruk atau merugikan, justeru perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak karena itu. 168 Ketentuan ini mensyaratkan bahwa objek pemerkosaan itu haruslah seorang wanita. KUHP menyebutkan adanya berbagai wanita, yaitu wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun (pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP), wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP) dan wanita pada umumnya. Adapun yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP ialah wanita pada umumnya. 169 Adanya syarat ini, menutup kemungkinan laki-laki dapat dianggap sebagai korban pemerkosaan. Hal ini logis mengingat bukankah mustahil akan berhasil
168 169
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 210. P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 101.
Universitas Sumatera utara
terpenuhi penetrasi sehingga juga tidak mungkin terjadi persetubuhan jika kondisi laki-laki sedang dalam keadaan terancam atau sedang tidak mood atau psikologisnya sedang terancam? c) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa. Penjelasan yang sangat tepat terhadap maksud kekerasan atau ancaman kekerasan tidak dijumpai dalam undang-undang baik dalam yurisprudensi. Simon menyatakan yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu ringan. 170 Menurut R. Soesilo 171 melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Andi Hamzah 172 mendefinisikan ancaman sebagai tekanan yang ditujukan terhadap kejiwaan psikis orang. Menurut ketentuan Pasal 89 KUHP ditegaskan bahwa “Yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya”. Menurut Hoge Raad dalam arrest tanggal 5 Januari 1914, NJ 1914 halaman 397, W. 9604 dan tanggal 18 Oktober 1915, NJ 1915 halaman 1116, mengenai ancaman kekerasan disyaratkan yakni: 173 a. Bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam,
170 171 172 173
Ibid, hlm. 98. R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 98. Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 10. P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 99.
Universitas Sumatera utara
bahwa yang diancam itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya; b. Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu. Wujud adanya ancaman kekerasan ini haruslah ditafsirkan secara kasuistis dengan mempertimbangkan tingkat kematangan kejiwaan dan kognisi (kecerdasan) korban yang diancam, sehingga dengan membandingkan dengan orang yang rata-rata sama kematangan jiwa dan kognisinya dengan korban misalnya, ditemukan kesamaan penilaian terhadap ancaman kekerasan, maka ancaman kekerasan ini haruslah dianggap telah terjadi. Menurut ketentuan pasal ini, unsur kekerasan dengan unsur ancaman kekerasan bersifat alternatif, dalam pengertian tidaklah harus kekerasan itu telah nyata-nyata terjadi cukup jika telah terbukti adanya ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kesan merugikan atau membahayakan bagi yang diancam, sehingga pada akhirnya kesan merugikan atau membahayakan ini logis karena disertai pula dengan perbuatan pelaku berupa memaksa korban untuk melakukan persetubuhan. d) Dengan dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan kata-kata “dengan dirinya” adalah diri orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan telah memaksa korban untuk mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan. 174 Itu berarti jika seorang lakilaki memaksa seorang wanita untuk melakukan hubungan kelamin diluar perkawinan
174
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 105.
Universitas Sumatera utara
dengan orang selain dirinya sendiri bukan termasuk pemerkosaan tetapi masuk kategori membantu terjadinya pemerkosaan. Berdasarkan syarat-syarat pada huruf a, b, c dan d di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerkosaan hanya dapat terjadi jika pelakunya adalah seorang laki-laki (karena objeknya perempuan), yang berakibat terjadinya penetrasi penis kedalam vagina diluar perkawinan yang sah untuk dirinya sendiri, penetrasi itu terjadi karena pemaksaan akibat kekerasan atau ancaman kekerasan. 3. Persetubuhan Tanpa Paksaan Dalam KUHP Persetubuhan tanpa paksaan dari pelaku terhadap korban di atur dalam KUHP dengan berbagai bentuk yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu: pertama, dari sudut hubungan perkawinan; dan kedua, dari sudut umur korban. Jika melihat dari sudut hubungan perkawinan dibagi menjadi persetubuhan tanpa paksaan di luar dan di dalam perkawinan, sedangkan jika dilihat dari sudut umur korban maka dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu persetubuhan tanpa paksaan terhadap dewasa dan persetubuhan tanpa paksaan terhadap anak. a) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Hal ini diatur dalam Pasal 286 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan dengan seorang wanita yang ia ketahui bahwa wanita tersebut sedang berada dalam keadaan pingsan atau dalam
Universitas Sumatera utara
keadaan tidak berdaya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun”. Syarat hubungan kelamin, di luar perkawinan dan dengan wanita sama dengan pembahasan pasal 285 KUHP. Syarat mutlak lainnya untuk terpenuhinya perbuatan ini adalah adanya keadaan korban (wanita) yang pingsan atau tidak berdaya ini bukan disebabkan perbuatan pelaku. Jika keadaan pingsan atau tidak berdaya itu disebabkan oleh perbuatan pelaku maka perbuatannya diklasifikasikan sebagai tindak pidana pemerkosaan sebagaimana ketentuan Pasal 285 KUHP karena keadaan pingsan atau tidak berdaya secara yuridis disamakan dengan melakukan kekerasan (vide Pasal 89 KUHP). Simon sebagaimana dikutip oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang175 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan berada dalam keadaan pingsan ialah berada dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan berada dalam keadaan tidak berdaya ialah berada dalam keadaan tidak berdaya secara fisik, yang membuat wanita tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan. Istilah medis untuk pingsan adalah sinkop yang didefinisikan sebagai kehilangan kesadaran sementara dan lemahnya / jatuhnya postural tubuh ditandai dengan onset cepat, berdurasi pendek, dan pemulihan spontan akibat hipoperfusi serebral global yang disebabkan oleh hipotensi. 176 Pingsan atau sinkop adalah suatu
175
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 111. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2283004pengertian-pingsan/, diakses tanggal 01-03-2013. 176
Universitas Sumatera utara
kondisi kehilangan kesadaran yang mendadak, dan biasanya sementara, yang disebabkan oleh kurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. 177 Ketentuan Pasal 286 KUHP, tidak secara eksplisit menegaskan perihal umur korban apakah dewasa atau anak tetapi hanya menegaskan perihal kondisi berupa pingsan atau tidak berdaya dan hubungan di luar perkawinan. Pertanyaannya adalah bagaimana jika sekiranya wanita itu dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya dan masih di bawah umur? Peneliti berpendapat bahwa pasal ini dapat diposisikan sebagai ketentuan hukum yang mengatur tentang persetubuhan tanpa paksaan diluar perkawinan baik terhadap wanita dewasa ataupun wanita belum dewasa atau anak. b) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita yang umurnya belum lima belas tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Barang siapa mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dengan seorang wanita, yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga bahwa wanita itu belum mencapai usia lima belas tahun ataupun jika tidak dapat diketahui dari usianya, wanita itu merupakan seorang wanita yang belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, ketentuan pidana dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP dibuat untuk mencegah penyalahgunaan ketidakpengalaman anakanak (het misbruik maken van jeudige onervarenheid) oleh orang dewasa. 178 Itulah sebabnya undang-undang melarang perbuatan hubungan kelamin di luar pernikahan
177 178
http://id.wikipedia.org/wiki/Pingsan, diakses tanggal 01-03-2013. P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 117-118.
Universitas Sumatera utara
dengan anak-anak yang belum berusia lima belas tahun atau yang belum dapat dinikahi. 179 Kata-kata “belum dapat dinikahi” adalah terminologi yuridis yang bermaksud merujuk kepada aturan syarat-syarat perkawinan yang khusus di Indonesia ditentukan bahwa perkawinan diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (vide Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Itu berarti bahwa sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka usia wanita yang dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP di atas selain belum mencapai usia lima belas tahun juga mencakup wanita yang belum mencapai usia 16 tahun. Ancaman hukuman dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP ini dapat diperberat menjadi selama-lamanya 12 (dua belas) tahun jika menyebabkan luka berat pada tubuh (vide Pasal 291 ayat (1) KUHP) dan jika menyebabkan mati 180 diperberat lagi 179
Ibid. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia, pada Pasal 1 huruf (g) disebutkan: “Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Sunatrio S, anestosiologi Fakutlas Kedokteran Univesitas Indonesia/ RSCM menyatakan bahwa, kebanyakan kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan hukum sekarang ini mendefinisikan kematian dalam pengertian MO (mati otak) walaupun jantung mungkin masih berdenyut dan ventilasi buatan dipertahankan. Akan tetapi banyak pula yang memakai konsep MBO (mati batang otak) sebagai pengganti MO dalam penentuan mati. Menurut pernyataan IDI 1988, seseorang dinyatakan mati bila: a) fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau ; b) telah terbukti terjadi MBO. Secara klasis dokter menyatakan mati berdasarkan butir a tersebut dan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam atau di luar rumah sakit. Lihat http://penentuanmati.webs.com/definisimati.htm, diakses tanggal 1-03-2013. Sonatrio S juga menyatakan bhawa diagnosis MBO (yang dianut oleh IDI) dapat dibuat oleh seorang dokter atau dokter-dokter sebagai dasar pernyataan dan sertifikat mati, menurut praktek medis yang diterima masa kini. Penentuan mati secara hukum dibuat sehubungan dengan autopsi dan pemakaman, transplantasi organ jenazah, malpraktek medis, mati tidak sah/salah, warisan dan pembunuhan. Lihat http://www.freewebs.com/penentuanmati/, diakses tanggal 1-03-2013. 180
Universitas Sumatera utara
menjadi 15 (lima belas) tahun (vide Pasal 291 ayat (2) KUHP). Luka berat pada tubuh secara yuridis ditentukan dalam Pasal 90 KUHP yaitu: penyakit atau luka yang tak boleh diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau menimbulkan bahaya maut, tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian, kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Dengan demikian pasal ini termasuk kedalam ketentuan hukum yang mengatur perihal persetubuhan tanpa paksaan diluar perkawinan khusus terhadap anak yang belum berusia 15 tahun dan belum berusia 16 tahun. c) Persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi. Persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi diatur dalam Pasal 288 KUHP yang berbunyi: 1. Barang siapa mengadakan hubungan kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga bahwa wanita tersebut belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, jika perbuatan itu menimbulkan luka pada tubuh. 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat pada tubuh, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun. 3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pernikahan yang dimaksud oleh rumusan pasal 288 KUHP di atas adalah pernikahan yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah
Universitas Sumatera utara
No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 181 Tentang wanita mana yang dapat dipandang sebagai wanita yang belum dapat dinikahi, undang-undang sendiri ternyata tidak memberikan penjelasan, akan tetapi dengan menggunakan metode penafsiran secara teleologis 182 kiranya wanita yang dimaksud disini adalah wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun, karena undang-undang pidana kita pada dasarnya bermaksud melindungi wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun. 183 Maksud “wanita yang belum dapat dinikahi” adalah harus merujuk ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang secara khsusus menentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun, walaupun memang pada ayat (2) diberikan ruang penyimpangan dari ketentuan ayat (1) dengan meminta dispensasi 184 kepada Pengadilan. Artinya “wanita yang dapat dinikahi” adalah wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun, dan jika
181
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 126. Penafsiran teleologis (sosiologis) adalah sebuah cara penafsian undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang sehingga tujuan lebih diperhatikan ketimbang bunyi katakatanya dan penafsiaran ini terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Lihat Bambang Sutioso, Metode Penemuan Hukum:Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 88. 183 Ibid, hlm. 127. 184 Dispensasi adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan khusus; pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 335. WF. Prins sebagaimana dikutip Ridwan HR mengatakan bahwa disepensasi adalah tindakan pemerintahan yang menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxatio legis). Lihat Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 205. Tampak disini bahwa WF. Prins memandang “pemerintah” diartikan secara luas yang meliputi seluruh kelengkapan negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam arti sempit hanya kekuasaan eksekutif. 182
Universitas Sumatera utara
belum mencapai umur 16 tahun maka satu-satunya alasan yang dapat mengijinkan pernikahan itu adalah dispensasi pengadilan. Hal itu berarti bahwa sejak berlakunya UU Perkawinan, ketentuan Pasal 288 KUHP ini hanya dapat diterapkan terhadap keadaan persetubuhan dalam suatu perkawinan yang dilangsungkan atas dasar dispensasi pengadilan dan ternyata kemudian akibat persetubuhan itu timbul luka pada tubuh atau luka berat atau bahkan berakibat mati. Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. 185 Jika melihat bunyi Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya” dan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” dapat diketahui bahwa pada pokoknya seseorang baik lakilaki maupun perempuan yang belum mencapai umur 21 tahun dilarang/ tidak dapat kawin tanpa izin kedua orang tuanya dan khusus laki-laki yang belum mencapai umur 19 tahun dan wanita yang belum mencapai umur 16 tahun dilarang/ tidak dapat kawin kecuali ada izin orang tuanya dan sekaligus juga harus ada dispensasi dari pengadilan.
185
Ridwan HR, Op.Cit, hlm. 207-208.
Universitas Sumatera utara
Pasca berlakunya UU Perkawinan maka ketentuan Pasal 288 KUHP ini dapat dikatakan sebagai aturan hukum yang mengatur perihal pesetubuhan tanpa paksaan dalam perkawinan terhadap anak perempuan yang berusia di bawah 16 tahun. Akan tetapi jika memperhatikan rumusan pasal ini dikaitkan dengan isi Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan maka otomatis Pasal 288 KUHP ini secara faktual telah kehilangan daya berlakunya. Formulasi Pasal 288 KUHP tidaklah mungkin lagi terpenuhi karena terhalang oleh ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang hanya mengijinkan perkawinan bagi wanita jika telah berumur 16 tahun atau di bawah umur 16 tahun dengan kompensasi pengadilan, artinya adalah perkawinan hanya mungkin terjadi jika wanita telah berumur 16 tahun. Wanita di bawah umur 16 tahun belum dapat dinikahi berarti tidak mungkin ada perkawinan kecuali kompensasi pengadilan, sehingga juga tidak mungkin terpenuhi formulasi “persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP. UU Perkawinan menjamin bahwa perkawinan hanya dapat terjadi terhadap wanita yang dapat dinikahi.
B. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut UndangUndang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-undang yang secara spesifik mengatur perihal perlindungan anak adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
Universitas Sumatera utara
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan yang dimaksud dengan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. 186 Menurut Maidin Gultom, perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial. 187 1. Definisi Anak Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Perlindungan Anak secara spesifik memberikan definisi tentang anak yaitu pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pengertian anak versi Undang-Undang Perlindungan Anak ini sekaligus menegaskan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang berumur di bawah 18 tahun digolongkan sebagai anak tanpa memperhatikan status perkawinan, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 186 187
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 35.
Universitas Sumatera utara
Definisi anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah sebuah definisi anak secara umum tanpa terikat kondisi tertentu kecuali demi kepentingan hukumnya yang sangat istimewa misalnya karena demi perlindungan kehidupannya atau demi pembagian warisan dari orang tuanya sehingga anak yang dalam kandungan dimasukkan sebagai anak. Sedangkan definisi anak secara khusus jika berkaitan dengan kondisi-kondisi tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) yang akan diberlakukan sejak tanggal 30 Juli 2014 mendatang. Definisi anak versi UUSPPA dapat dilihat dari berbagai sudut kepentingan hukumnya yaitu: pertama, dari sudut karena berkonflik dengan hukum; kedua, karena korban tindak pidana; dan ketiga, dari sudut karena saksi dalam tindak pidana yang kesemuanya dipandang sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Pada Pasal 1 angka 2 UUSPPA berbunyi: “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam pasal 1 angka 3 UUSPPA yang berbunyi: “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. 188 Anak yang menjadi korban tindak pidana diatur dalam Pasal 1 ayat 4 UUSPPA yang berbunyi: “Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya 188
Batas umur minimal anak yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana yaitu 12 tahun dalam UU ini telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yaitu Putusan No.1/ PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011.
Universitas Sumatera utara
disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Sedangkan anak yang menjadi saksi tindak pidana diatur dalam Pasal 1 angka 5 UUSPPA yang berbunyi: “ Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”
Undang-Undang Perlindungan Anak tidak mengenal istilah “belum dewasa” sebagaimana yang selama ini dianut dalam KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang diartikan sebagai orang yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Pasal 330 KUHPerdata menyebutkan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin”. Syarat “tidak terlebih dahulu kawin” merupakan syarat kumulatif dengan syarat “umur belum genap 21 tahun” dalam arti selain belum mencapai umur genap 21 tahun juga tidak telah/ pernah kawin. Maka jika seseorang berumur di bawah 21 tahun tetapi sudah/ pernah kawin, otomatis telah dianggap dewasa oleh KUHP dan KUHPerdata. Undang-Undang Perlindungan Anak tidak mengenal persyaratan ini, karena yang menjadi tolak ukurnya adalah apakah umurnya di bawah 18 tahun atau tidak tanpa mempersoalkan apakah sudah/ pernah kawin atau tidak, seseorang di bawah umur 18 tahun ex jure dianggap anak. Definisi anak dikaitkan dengan pengertian hak anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak kontradiksi dengan definisi anak yang di anut oleh Undang-
Universitas Sumatera utara
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UUHAM) yang pada Pasal 1 angka 5 menyebutkan: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Merujuk formulasi anak dalam UUHAM di atas, maka seorang disebut sebagai anak jika belum berusia 18 tahun ditambah syarat lain berupa belum pernah kawin, karenanya jika telah pernah kawin walaupun berusia di bawah 18 tahun tidak lagi termasuk anak sehingga tidak dapat menikmati hak anak yang diuraikan dalam Pasal 52 hingga Pasal 66 UU HAM. 189
189
Pasal 52 berbunyi: (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53 berbunyi: (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pasal 54 berbunyi: Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 55 berbunyi: Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri. (2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 berbunyi: (1) setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat attau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atai pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut. (2) Dalam hal oorang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 59 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang
Universitas Sumatera utara
Convention on the Right of the Child/CRC 190 memberikan batasan anak dalam Pasal 1 yaitu “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasan dicapai lebih awal”. Itu berarti bahwa CRC masih membuka ruang untuk mengakui kedewasaan seseorang dapat dicapai di bawah umur 18 tahun jika undang-undang menentukan demikian. tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alas an dan atauran yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. (2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 60 berbunyi: (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. (2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepattutan. Pasal 61 berbunyi: Setiap anak berhak untuk istirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Pasal 62 berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mentak spiritualnya. Pasal 63 berbunyi: Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64 berbunyi: Setiap anak berhak untukmemperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membehayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Pasal 65 berbunyi: Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya. Pasal 66 berbunyi: (1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. (5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. (6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. (7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. 190 Convention on the Right of the Child/CRC adalah bermula dari dicanangkannya tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”. Untuk momen ini, Pemerintah Polandia mengusulkan perumusan dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak secara yuridis. Pada tahun 1989 rancangan Convention on the Right of the Child/CRC (Konvensi Hak Anak/ KHA) diselesaikan dan pada tahun itu juga disahkan dengan bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 yang dituangkan dengan Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. KHA ini telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Kepres Nomor 36 Tanggal 25 Agustus 1990. Lihat, Hadi Supeno, Op.Cit, hlm. 33.
Universitas Sumatera utara
2. Pasal Yang Mengatur Tentang Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang
Perlindungan
Anak
secara
tegas
mempergunakan
terminologi ”persetubuhan” yang secara spesifik terdapat pada Pasal 81 sedangkan dalam Pasal 82 191 dipergunakan terminologi ”pencabulan” dan Pasal 88192 mempergunakan terminologi ”eksploitasi seksual”. Oleh karena itu istilah persetubuhan, pencabulan dan eksploitasi seksual telah menjadi terminologi yuridis dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Merujuk ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) di atas dapat diambil beberapa syarat penting yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai persetubuhan terhadap anak yaitu: 191
Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 192 Pasal 88 Undang-Undang Perlindungan Anak berbunyi: Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Universitas Sumatera utara
a) Adanya persetubuhan. Persetubuhan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu harus benar-benar terjadi berupa penetrasi penis ke dalam vagina yang umum dilakukan untuk memperoleh kepuasan seksual atau untuk memperoleh anak. Jika tidak sampai terjadi penetrasi penis ke dalam vagina (misalnya hanya sebatas perbuatan berupa meraba, mencium atau memeluk) maka perbuatan itu menjadi ruang lingkup perbuatan cabul yang secara khusus diatur dalam Pasal 82 UndangUndang Perlindungan Anak. b) Harus dilakukan terhadap anak. Persetubuhan itu harus dilakukan terhadap seorang anak yaitu seorang yang masih berusia di bawah 18 tahun. Anak yang dimaksud disini dapat berarti anak lakilaki maupun anak jenis kelamin perempuan. Pelaku disini dapat saja masih berusia yang tergolong anak dan juga pelaku usia dewasa. Jika berpatokan kepada pendapat bahwa laki-laki tidak mungkin berhasil melakukan penetrasi dalam keadaan di bawah ancaman kekerasan karena akan mengganggu psikologisnya maka anak sebagai korban disini tidaklah mungkin seorang laki-laki sehingga istilah ”anak” dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak otomatis haruslah dianggap sebagai anak jenis kelamin perempuan karena itu pelakunya haruslah laki-laki, tetapi jika memperhatikan bunyi Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak di atas, kemungkinan anak laki-laki dapat sebagai korban persetubuhan karena dilakukan dengan upaya-upaya berupa tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau bujukan
Universitas Sumatera utara
yang semua upaya itu masih dimungkinkan dapat merangsang birahi seorang anak laki-laki untuk melakukan penetrasi sehingga pelaku persetubuhan (sebagai korban) disini dapat berjenis kelamin laki-laki dan juga jenis kelamin perempuan. c) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk. Terjadinya persetubuhan terhadap anak itu haruslah dimotivasi oleh perbuatan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak. Penjelasan tentang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan disini sama dengan penjelasan sebelumnya pada pasal 285 KUHP. Adami Chazawi menyatakan bahwa ”tipu muslihat diartikan sebagai suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar”. 193 Hoge Raad dalam Arrestnya tanggal 30-01-1911 menyatakan bahwa tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang menyesatkan, yang dapat menimbulkan dalih-dalih yang palsu
dan
gambaran-gambaran
yang
keliru
dan
memaksa
orang
untuk
menerimanya. 194 Tipu muslihat, tulis R. Soesilo adalah suatu tipu yang demikian liciknya sehingga seseorang yang berfikiran normal dapat tertipu. 195 Rangkaian kebohongan menunjukkan bahwa kebohongan atau ketidakbenaran ucapan itu seolah-
193
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media, 2004), hlm.
194
Ibid, hlm. 126-127. R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 261.
126. 195
Universitas Sumatera utara
olah benar adanya bagi korban, sehingga karena rangkaian maka kata bohong yang satu dengan kata bohong yang lainnya memiliki hubungan atau kaitan dimana yang satu menimbulkan kesan membenarkan atau menguatkan yang lain. Rangkaian kebohongan mempuyai unsur: (1) berupa perkataan yang isinya tidak benar, (2) lebih dari satu bohong, dan (3) bohong yang satu menguatkan bohong yang lain. 196 Membujuk adalah berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk 197 atau melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian. 198 Sesuai dengan ketentuan Pasal 89 KUHP yang menyamakan melakukan kekerasan dengan membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya, maka hanya persetubuhan terhadap anak perempuanlah yang dapat menjadi korban dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya, karena seandainya anak laki-laki dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya tidak mungkin akan terjadi persetubuhan karena tidak akan mungkin terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. d) Dengan dirinya sendiri atau orang lain. Persetubuhan disini dapat ditujukan untuk diri pemaksa sendiri ataupun untuk diri orang lain selain diri pemaksa ataupun untuk diri pelaku yang melakukan tipu muslihat/ serangkaian kebohongan atau pembujuk atau selain dirinya. Kalimat ”...dengannya atau diri orang lain” sekaligus menunjukkan bahwa persetubuhan 196 197 198
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 127. R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 215. Ibid, hlm. 261.
Universitas Sumatera utara
dalam pasal ini dapat diterapkan juga terhadap pelaku perempuan dan pelaku lakilaki. Pelaku perempuan dapat dipersalahkan karena melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan
memaksa seorang anak
perempuan
untuk
melakukan
persetubuhan dengan laki-laki lain selain pemaksa. Pelaku perempuan juga dapat disalahkan karena melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk: pertama, anak laki-laki untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan perempuan lain selain dengan dirinya, atau, kedua, seorang anak perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain. Pelaku laki-laki dapat dipersalahkan karena melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan
memaksa seorang anak
perempuan
untuk
melakukan
persetubuhan dengan dirinya atau dengan diri orang lain selain diri pemaksa. Pelaku laki-laki juga dapat dipersalahkan karena melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk: pertama, anak perempuan melakukan persetubuhan dengan dirinya atau diri orang lain selain dirinya, atau kedua, seorang anak laki-laki untuk melakukan persetubuhan dengan perempuan lain. Ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak di atas adalah persetubuhan yang didasarkan atas kekerasan atau ancaman kekerasan dengan paksaan, sedangkan ketentuan ayat (2) nya adalah tentang persetubuhan yang didasarkan karena adanya tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau bujukan. Gradasi ketercelaan secara logis tentu saja berbeda karena persetubuhan atas dasar
Universitas Sumatera utara
kekerasan lebih nista dari persetubuhan atas dasar tipu muslihat, kebohongan atau bujukan meskipun yang terakhir ini tetap saja tercela. Undang-Undang Perlindungan Anak ternyata memandang kualifikasi ”persetubuhan karena kekerasan” dengan ”persetubuhan karena tipu muslihat, kebohongan atau bujukan” sebagai perbuatan yang memiliki kesamaan dari sudut kesalahan. Hal ini secara tegas dapat dipahami jika dilihat dari formulasi Pasal 81 ayat (2) yang memberlakukan ketentuan pidana ayat (1) terhadap ayat (2) secara sama berat dan jenisnya.
C. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UUKDRT) tidak mengatur secara khusus mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak, namun setidaknya ada pasal tertentu yang memiliki jiwa yang sama dengan tujuan melindungi anak dari tindakan persetubuhan yaitu Pasal 46 yang mempergunakan terminologi ”kekerasan seksual” dan Pasal 47 yang menggunakan termonologi ”hubungan seksual”. Pasal 46 UUKDRT berbunyi: ”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf (a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Universitas Sumatera utara
Pasal 47 UUKDRT berbunyi: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf (b) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 8 huruf (a) dan (b) UUKDRT berbunyi: Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Penjelasan Pasal 8 UUKDRT disebutkan bahwa: ”Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu”. Pengertian terminologi “hubungan seksual” tidak ditemukan secara tegas dalam UUKDRT, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 47 diketahui bahwa tingkat ancaman pidana “hubungan seksual” terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, lebih tinggi ketimbang ancaman “kekerasan seksual” dalam Pasal 46. Pemberatan pidana dalam pasal 47 logis mengingat karena hubungan seksual itu didasarkan atas paksaan terhadap orang-orang dalam ruang lingkup rumah tangganya untuk tujuan komersial.
Universitas Sumatera utara
Pemakaian pasal-pasal ini hanya terikat pada status pelaku dan korban sebagai dalam lingkup rumah tangga yang meliputi suami, isteri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena darah, perkawinan, susuan, pengasuhan, perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut dan pembantu rumah tangga yang menetap dalam rumah tangga tersebut. 199 Hal ini berarti kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47 UUKDRT, dapat menjerat pelaku persetubuhan jika dilakukan terhadap seseorang yang termasuk anak, dimana hubungan pelaku dengan anak dimaksud terikat dalam ruang lingkup rumah tangga.
199
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Universitas Sumatera utara