BAB II PENGATURAN TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Bab ini akan membahas mengenai pengaturan tentang pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup. Seperti diketahui bahwa tindak pidana biasanya dilakukan oleh perseorangan (inpersoon), atau dengan kata lain, tindak pidana biasanya dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini telah dikenal pertanggung jawaban korporasi yaitu pertanggung jawaban bagi badan hukum (korporasi) yang telah melakukan pelanggaran hukum, dalam hal ini hukum lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
A.
Ketentuan Hukum Pertanggung Jawaban Korporasi 1.
Pengertian Kejahatan Korporasi
Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas (bawaan sejak lahir, warisan), juga bukan merupakan warisan biologis. Tindak kejahatan bisa dilakukan siapapun, baik wanita maupun pria, dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Tindak kejahatan bisa dilakukan tertentu secara sadar benar. Kejahatan merupakan suatu konsepsi yang bersifat abstrak, dimana kejahatan tidak dapat diraba dan dilihat kecuali akibatnya saja. 62
62
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 125-126.
46
Universitas Sumatera Utara
Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum tercantum). 63 Kejahatan (rechtdelicten) menurut Memorie van Toelichting (M.v.T) yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. 64 Menurut M.A. Elliot, kejahatan adalah problem dalam masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dan dapat dijatuhi hukuman yang bisa berupa hukuman penjara, hukuman mati, hukuman denda, dan lain-lain. 65 Pengertian korporasi menurut Rochmat Soemitro adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak, serta berkewajiban seperti seorang pribadi. 66 Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi adalah badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya unsur memasukkan unsure
63
Ibid., hal. 126. Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1987), hal.
64
71. 65
M.A. Elliot dalam Hari Saherodji, Pokok-Pokok Kriminologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1995),
hal. 14. 66
R. Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung : Eresco, 1993), hal. 159, menjelaskan tentang Korporasi sudah dikenal sejak tahun 1882, penjelasan lengkap, sebagai berikut : “Yayasan sebagai badan hukum telah diterima dalam suatu yurisprudensi tahun 1882. Hoge Raad yang merupakan badan peradilan tertinggi di negeri Belanda bependirian bahwa Yayasan sebagai badan hukum adalah sah menurut hukum dan karenanya dapat didirikan. Pendapat Hoge Rad ini diikuti oleh Hooggerechtshof di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dalam putusannya dari tahun 1884. Sejak tahun 1956 Nederland sudah mengubah dasar hukumnya (Burgerlijk Wetboek)-nya bahkan untuk Yayasan sudah terdapat ketentuan khusus dalam BW-nya yakni Wet op Stichtingen Stb. No. 327”.
Universitas Sumatera Utara
animusyang membuat badan mempunyai kepribadian. 67 Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka oleh penciptanya, kematiannya ditentukan oleh hukum. Menurut Henry Campbell Black dalam kamus Black’s Law Dictionary mengartikannya “Coporation is an artificial or legal created by or under the authority of the laws of state or nation, composed, in some rar instances, of a single person an his successors, being incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association of numerous individuals”, 68 yang dalam terjemahannya adalah sebagai berikut “Korporasi adalah suatu yang disahkan tiruan yang diciptakan oleh atau dibawah wewenang hukum suatu negara atau bangsa, yang terdiri, dalam beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti, menjadi pejabat kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu asosiasi banyak individu”. Kejahatan korporasi menurut Marshall B. Clinard dan Peter C Yeager adalah setiap tindakan korporasi yang bias, dimana diberi hukuman oleh Negara, entah dibawah hukum administrasi Negara, hukum perdata, atau hukum pidana.
69
Kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan kerah putih, namun lebih spesifik merupakan kejahatan terorganisasi dalam hubungan yang kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif dan manager dalam suatu tangan. Dapat
67
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 23-24. Lihat pula : Lu Sudirman dan Feronica, “Pembuktian Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan dan Korupsi Korporasi di Indonesia dan Singapura dalam Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 2, Juni 2011, hal. 295. 68 Henry Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Op.cit., hal. 1032. 69 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Bayumedia Publishing, 2005), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
juga berbentuk sebagai perusahaan keluarga, namun tetap dalam kejahatan kerah putih. 70 Menurut Henry Campbell Black dalam kamus Black’s Law Dictionary menyebutkan “Corporate Crime is any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g. price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”, 71 yang dalam terjemahannya yaitu : Kejahatan korporasi adalah segala tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada sebuah korporasi karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pegawai dan karyawannya (contohnya : Penetapan harga, pembuangan limbah), sering dikenal sebagai kejahatan kerah putih. Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. 72 Pada awalnya korporasiatau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. 73 Apa yang dinamakan
70
Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (United Kingdom : Cambridge University Press, 2002), hal. 6, menjelaskan bahwa : “Kejahatan korporasi atau corporation crime adalah salah satu bentuk dari white collar crime atau kejahatan kerahputih. Edwin Sutherland sebagaimana dikutip dari Sally S. Simpson, merupakan orang yang memperkenalkan konsep perbuatan kriminal yang dilakukan oleh seseorang dalam status sosial yang tinggi serta menggunakan posisi dari jabatannya untuk melanggar hukum. Sebagai sub-kategori dari white collar crime, terdapat banyak definisi dari kejahatan korporasi. Salah satunya dikemukakan oleh Braithwaite sebagaimana dikutip dari Simpson, yang mengatakan bahwa kejahatan korporasi adalah “conduct of corporation, or of employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law”. 71 Henry Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Op.cit., hal. 1121. 72 Ningrum Natasya Sirait, “Pidana Korporasi dan Persoalan Hukumnya”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013, hal. 16. 73 Muladi dan Dwija Prijatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hal. 14, menyatakan bahwa : “Corporatio (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang sesuatu negara untuk menjalankan sauatu usaha atau aktivitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu
Universitas Sumatera Utara
badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). 74 Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan
peluang
yang
besar
akan
tumbuhnya
perusahaan-perusahaan
transnasional, maka peran dari korporasi makin sering dirasakan bahkan banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Pada tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di BhopalIndia. Tragedi tersebut dikenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun. Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam
terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut dimuka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakannya menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara . Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir”. 74 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hal. 216.
Universitas Sumatera Utara
lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya. 75 Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salah satunya dengan menggunakan istrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik). Sebenarnya kejahatan korporasi(corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri,corporate crimemerupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White Collar Crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan “...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939”. Semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut. 76 Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana, ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere non potest'' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukumyang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal, 75
Ali Azhar Akbar, Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo, (Jakarta : Galangpress, 2007), hal.
76
Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 14.
34.
Universitas Sumatera Utara
dalam suatu delik/tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan “actus non facit reum, nisi mens sit rea”. 77 Namun, masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. MenurutMardjono Reksodiputro, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat dia, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader), namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional”(functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan, maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi. 78
77
Actus Reus adalah tindakan nyata, baik seluruh atau sebagian dalam peristiwa pidana. Actus reus adalah menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawfull act). Teori ini pertama kali dikembangkan dalam sistem hukum common law di Inggris. Sumber : Rocky Marbun, et.al., Kamus Hukum Lengkap, Cet. Ke-1, (Jakarta : Visimedia, 2012), hal. 7. 78 Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Pidato Dies PTIK, Jakarta, 2014, hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
Di negara-negara Common Law System, seperti Amerika, Inggris, dan Kanada, upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan “doctrine of vicarious liability”. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan, sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B. 79 Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka ruang lingkup kejahatan korporasi yang dikutip dari tulisan Steven Box adalah sebagai berikut 80 : 1. “Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. 2. Criminal corporation yakni korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan). 3. Crimes against corporation yakni kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban”.
79
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Grafiti Pers, 2006), hal. 78-80. 80 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta : Sofmedia, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan Cohen , yaitu :“A very complete description of the characteristics of an organization is provided by Dan Cohen who finds that an organization possesses functional structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has decision making structures”. 81
Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi menurut Dan Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi, memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan.Eratnya keterkaitan antara hukum pidana, persaingan usaha dan korporasi menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana selanjutnya diperdebatkan kemampuannya dalam bertanggung jawab terhadap kejahatan yang diperbuatnya.
2.
Korporasi Sebagai Subjek Hukum Korporasi di dalam KUH Pid yang digunakan saat ini belum mencantumkan
korporasi sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawabannya, akan tetapi di dalam RUU KUHP 2012 disebutkan : “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”. Korporasi yang pada awalnya hanya menjadi subjek hukum dalam hukum perdata, kini juga dibahas dan dirancang sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. 81
Jennifer A. Quaid, “The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of Corporate Identity: An Analysis”,Mcgill Law Journal, Montreal, Canada, 1998, hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa sarjana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan alasan sebagai berikut 82 : 1. “Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan kesalahan yang terdapat pada persona alamiah. 2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya ; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal : bigami, perkosaan, sumpah palsu”. 83 3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi, “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, missal pidana penjara atau pidana mati”. 84 4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah. 5. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana”.
Sedangkan sarjana yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan : 1. “Mengingat di dalam kehidupan sosial ekonomi, korporasi semakin memainkan perananan yang penting pula. 85 2. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat dan menegakkan norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat. 86
82
H. Setiyono, Op.cit., hal. 10. Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 45-46. 84 Ibid. 85 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.cit., hal. 18. 86 Ibid. 83
Universitas Sumatera Utara
3. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri. 87 4. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, atau pengurus saja”. 88
Subjek hukum yang dirumuskan oleh Soenawar Soekowati yaitu manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. 89 Menurut Achmad Ichsan, subjek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban (dragger van rechten en plichten). 90 Menurut Ridwan Syahrani membedakan badan hukum dari segi wujudnya, yaitu 91 : 1. “Korporasi (corporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang dalam pergaulan hukum, bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri, karena itu korporasi itu merupakan badan yang beranggota. Akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para anggotanya, misalnya Perusahaan Terbatas (PT). 2. Yayasan (stichting) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu, jadi pada yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi subjek hukum adalah orang atau manusia saja, hal ini terlihat dari bunyi Pasal 59 KUHP, 87
Muladi dan Dwija Priyatno, Op.cit., hal. 47. Ibid. 89 Soenawar Soekowati dalam Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni,Bandung, 1987, hlm. 7. 90 Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia Segi Hukum, Segi Manajemen, Struktur/Bentuk Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986,hlm. 34. 88
Universitas Sumatera Utara
yaitu : “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota dan pengurus atau komisaris-komisaris, yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana”. RUU KUHP 2012 mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, dengan demikian, maka kejahatan korporasi (corporate crime) dapat dikenakan pertanggungjawaban pidan dan merupakan subjek tindak pidana. Kejahatan korporasi adalah tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang atas nama perusahaan, maka perusahaannya yang harus memikul resiko. 92 Adapun korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 93 Mengenai pertanggung jawaban korporasi, Braithwaite mengemukakan : “….is defined here as any act punishable by the state, regardless of whether it is punished by administrative or civil law, more specifically, corporate crime has been defined as the conduct of corporation, or individual acting on behalf of the corporation, that is proscribed by law”. 94 Korporasi selaku subjek hokum dapat dikenakan sanksi secara administratif, hukum perdata, maupun hukum pidana, dan korporasi bertanggung jawab atas
92
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996),
hal. 176. 93
Korporasi selaku subjek tindak pidana diatur dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus, misalnya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003. 94 Braithwaite, Enforced Self Regulation : a new strategy for corporate crime control, Michigan Law Review 80, 1982, hlm. 1466-1507 dalam Marshal B. Clinard, Corporate Ethics and Crime The Role of Middle Management, (England : Sage Publication, 1983), hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan yang dilakukan oleh anggogatanya yang berhubungan dengan ruang lingkup kerjanya. Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno, sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah 95 : 1. “Pidana Denda; 2. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim; 3. Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib; 4. Sanksi perdata (ganti kerugian)”.
Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara.
96
Undang-undang yang
menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan antara lain: 1. Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. 2. Undang-Undang No.6 Tahun 1984 tentang Pos. 3. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 4. Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. 6. Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
95
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (STH Bandung, 1991), hal. 113. 96 Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan UU Nomor 23 Tahun 1997, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, vol. 1/No.1, Aspekhupiki, Bandung, 1998, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
7. Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 9. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 10. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3.
Teori atau Ajaran Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana juga memerlukan kajian
yang mendalam terhadap kesengajaan dan kealpaan pada korporasi, yaitu sebagai berikut : 1.
Kesengajaan dan Kealpaan Pada Korporasi Sangat sulit untuk menentukan unsur kesalahan dalam tindak pidana korporasi
dan mempertahankan asas tiada pidana tanpa kesalahan (green straf zonder schuld) khususnya masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi.Menurut Remmelik, bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu apabila mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, apabila dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri. 97 Menurut Daniela Holler Branco, menyatakan bahwa 98 :
97
Muladi dan Dwija Priyatno, Op.cit., hal. 126. Daniela Holler Branco, Towards a New Paradigm for Corporate Criminal Liability in Brazil : Lessons From Common Law Development, University of Saskatchewan. 98
Universitas Sumatera Utara
“Ascriptions of criminal liability require that the agent had acted intending to do wrong, or in a reckless or negligent way. The maxim actus non facit reum nisi mens sit rea which can be translated as an act is not criminal in the absence of a guilty mind is a distinctive feature of criminal law. There are only few exceptions to this principle, usually statutory offences and often in the field of regulatory offences. It prevails in both common law and civil law legal systems that to characterize an offence, mens rea must bepresent and contemporanous to the actus reus. Accordingly, in order to attribute criminal liability to a corporate entity corporate mens rea must be found”.
Sulitnya mengetahui dan menentukan kapan suatu korporasi melakukan kesengajaan kelalaian menyebabkan asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak dapat berlaku mutlak terhadap korporasi. Ketika sebuah korporasi, pengurusnya melakukan rapat-rapat, maka di dalam rapat tersebut diketahui dan dikehendaki adanya pembakaran hutan. Selanjutnya, di dalam rapat pasti ada notulen rapat yang dapat dijadikan sebagai bukti tentang siapa-siapa saja yang mengajukan rencana pembakaran hutan, siapa yang tidak setuju juga akan kelihatan. Oleh karena itu, di dalam sebuah rapat korporasi jelas dipimpin oleh seorang pimpinan rapat, sehingga diketahui directing mind siapayang mengajukan rencana pembakaran hutan.
2.
Alasan Penghapusan Pidana Korporasi Seperti
halnya
subjek
hukum
alamiah
(natuurlijk
person),
badan
hukum/korporasi juga memiliki alasan penghapusan pidana sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum pidana pada dasarnya dapat menunjuk alasan-alasan penghapusan pidana kecuali yang berkaitan dengan keadaan kejiwaan tertentu (Pasal 44, Pasal 48 s/d 51 KUHP).Sesuai dengan kemandirian (persoonlijk) alasan-alasan penghapus pidana harus dicari pada
Universitas Sumatera Utara
korporasi itu sendiri. Mungkin sekali terjadi pada diri seseorang terdapat alasan penghapus pidana, tetapi tidak demikian halnya pada korporasi. 99 Vicarious liability adalah suatu pertanggung-jawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). 100 Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability adalah suatu konsep pertanggung-jawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment). 101 Sutan Remy Sjahdeini menterjemahkan vicarious liability menjadi pertanggungjawaban vikarius atau pertanggung-jawaban pengganti. 102 Contoh kasus untuk vicarious liability, sebagai berikut 103 : “X adalah seorang pemilik tempat menjual makanan dan minuman telah melarang Y (manajer rumah makan/minum tersebut) untuk mengizinkan atau menyediakan di tempat itu, tetapi Y telah melanggarnya. X tetap dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan. Dasar pertimbangannya antara lain dikontstruksikan sebagai berikut : X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y sebagai manajer. Ia telah melimpahkan pelaksanaan dari kebijaksanaan tindakan di bidang perdagangan itu kepada manajer, ini berarti hanya ada suatu kesimpulan yaitu bahwa pengetahuan si manager adlaah pengetahuan dari si pemilik rumah makan/minum itu. Lain halnya, jika misalnya X sebagai pemilik restoran telah menyatakan kepada pelayannya Y, untuk tidak menjual minuman keras kepada orang-
99
Muladi dan Dwija Priyatno, Loc.cit., hal. 131. Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hal. 93. 101 Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 118. 102 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Grafiti Pers, 2006), hal. 84. 103 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op.cit., hal. 113. 100
Universitas Sumatera Utara
orang yang tidak membeli makanan. Dalam hal Y, si pelayan, telah melanggar, X tidak dapat dinyatakan bersalah atas pelanggaran uu”.
Berdasarkan uraian ahli-ahli hukum di atas dan ilustrasi contoh kasus tersebut, maka alasan penghapusan pidana bagi korporasi hanya berlaku kepada orang yang melarang perbuatan melawan hukum tersebut. Namun, pelarangan tersebut harus dilihat lagi apakah melanggar hukum atau tidak, apabila tidak melanggar hukum, maka orang yang melarang tidak akan dapat dimintai pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, hapuslah pidananya karena telah mengingatkan orang lain di dalam suatu korporasi tersebut. Akan tetapi, apabila larangannya tersebut melanggar hukum, malah dirinya-lah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan dari orang lain (vicarious liability) di dalam korporasi tersebut, malah orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa dalam menentukan ada atau tidak adanya alasan penghapusan pidana pada korporasi tak selalu dapat dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi suatu korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan. 104 Terhadap alasan pembenar dan pemaaf terdapat dalam Konsep Rancangan KUHP Tahun 2004 Pasal 50 yang menyatakan : “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi”. Alasan pemaaf 104
Ibid., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada korporasi akan meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Bagi korporasi alasan pemaaf tersebut juga berlaku sepanjang hal itu diajukan terlebih dahulu oleh korporasi. Dalam pertanggungjawaban pidana korporasi ada dikenal beberapa teori atau doktrin yaitu : 1.
Identification Theory/Direct Liability Doctrine Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah
salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana korporasi, meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat
senior”
(senior
officer)
dan
diidentifikasi
sebagai
perbuatan
perusahaan/korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan dipandang sebagai perbuatan korporasi, sehingga pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Teori ini disebut juga teori/doktrin “alter ego” atau “teori organ” 105 : a. Arti sempit (Inggris) : Hanya
perbuatan
pejabat
senior
(otak
korporasi)
yang
dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi b. Arti luas (Amerika Serikat) :
105
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010),
hal. 132.
Universitas Sumatera Utara
Tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen dibawahnya.
2.
Doktrin Strict Liability Doktrin Strict Liability disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (no-fault liability or liability without fault) yaitu prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya, cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undangundang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana. 106
3.
Doktrin Vicarious Liability Doktrin ini didasarkan pada “employment principle”, yaitu bahwa majikan
(“employer”) adalah merupakan penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawan : jadi “the servant’s act is the master act in law”. Prinsip ini dikenal
106
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 45-46.
Universitas Sumatera Utara
juga dengan istilah the agency principle (the company is liable for the wrongful acts of all its employees). 107 Ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana, yaitu tentang perbuatan melawan hukum (the law of tort), berdasarkan doctrine of respondeat superior, dimana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim qui facit per alium per se, artinya seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu. Vicarious Liability sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another) 108 atau sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”. Menurut Remy Sjahdeini 109 bahwa kalangan ahli hukum dan para pembuat undang-undang masih mencari-cari doktrin-doktrin lain. Dan untuk keperluan itu, telah dikembangkan beberapa doktrin atau ajaran, yaitu Doctrin of Delegation, Doctrine of Identification, Doctrine of Aggregation, The Corporate Culture Model dan Relative Corporate Fault. 110 Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability, maka jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaannya yaitu, baik strict liability maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana.“in general, the process of judicial interpretation of
107
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hal. 249. Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 41. 109 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit.,hal. 80-87. 110 Lebih jauh lihat :Ibid., hal. 97-117. 108
Universitas Sumatera Utara
the statutory objected to corporate liability being imposed only for regulatory offences, especially those offences which did not require proof of mens rea or a mental element”. 111 Yang mana pengertian dari kalimat diatas yaitu : pada umumnya penafsiran hukum menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak mensyaratkan mens rea atau unsur kejiwaan. Sedangkan yang menjadi perbedaan antara strict liability dengan vicarious liability yaitu pertanggung jawaban pada strict liability bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, akan tetapi pada vicarious liability, pertanggungjawaban pidananya bersifat tidak langsung.
4.
Doctrine of Delegation Atau sering juga disebut The Delegation Principle (prinsip pendelegasian)
merupakan
salah
satu
asas
pembenaran
untuk
dapat
membebankan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan pegawainya kepada korporasi. Menurut doktrin ini, yang menjadi alasan agar dapat diberikan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yaitu adanya pendelegasian kewenangan dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. 112 Sehingga oleh karenanya, “a guilty mind” dari buruh/karyawan dapat dihubungkan kepada majikannya apabila ada pendelegasian kewenangan dan 111
Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, hal. 4 dari 10. 112 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.cit., hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of powers and duties”)menurut undang-undang. 113
5.
The Corporate Culture Model Menurut doktrin/teori ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari
prosedur, sistem kerjanya, atau budanya (the procedures, operating systems, or culture of a company). Oleh sebab itu, maka teori budaya ini sering juga disebut teori/model sistem atau model organisasi (organizational or systems model). 114 Pendekatan model budaya kerja perusahaan memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat, yang mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya. 115 Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada korporasi, apabila berhasil menemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi tersebut memiliki kewenangan, telah diberikan wewenang, atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut untuk kepentingan korporasi, maka korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus juga bertanggungjawab karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang telah melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggungjawab. 116
113
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hal. 250. Ibid., hal. 251. 115 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 68. 116 Ibid., hal. 68. 114
Universitas Sumatera Utara
6.
Doctrine of Aggregation Adalah doktrin yang mengkombinasikan kesalahan dari sejumlah orang secara
kolektif yang terikat kewenangan korporasi (struktur organisasi perusahaan), bertindak dan atas nama, kepentingan, manfaat korporasi untuk diatributkan kepada korporasi sehingga dapat dibebani pertanggungjawaban. 117 Menurut ajararn ini, semua perbuatan dan unsur mental dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja. 118 Kelemahan dari teori ini adalah : Tidak dapat digunakan ketika suatu tindak pidana memerlukan pembuktian mengenai adanya kesalahan subjektif dan mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang salah mungkin saja bukan berupa penyatuan dari suatu perbuatan yang salah, atau bukan berupa penyatuan dari apa yang telah dilakukan oleh masing-masing orang, tetapi fakta bahwa suatu perusahaan tidak memiliki struktur organisasi atau tidak memiliki kebijakan untuk dapat mencegah seseorang dalam perusahaan itu melakukan perbuatan yang secara kumulatif merupakan suatu tindak pidana. 119 Adapun keuntungan dari ajaran ini adalah : banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan tempat ia bekerja, maka
117
Ibid., hal. 67. Ibid., hal. 67. 119 Ibid., hal. 67. 118
Universitas Sumatera Utara
ajaran ini mencegah perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggungjawabnya dalam struktur korporasi. 120
7.
Doctrine of Reactive Corporate Fault Fisse dan Braithwaite menyatakan bahwa apabila actus reus dari suatu tindak
pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka pengadilan sepanjang telah dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada perusahaan untuk 121 : a. “Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggungjawab di dalam organisasi perusahaan itu. b. Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin terhadap mereka yang bertanggungjawab. c. Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang telah diambil perusahaan”.
Apabila perusahaan memenuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah-langkah yang telah diambil oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang bertanggungjawab, maka pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada korporasi yang bersangkutan. 122 Apabila tanggapan dari korporasi terhadap pemerintah pengadilan dianggap tidak memadai, maka perusahaan atau pimpinan perusahaan akan dibebani dengan
120
Ibid., hal. 68. Ibid., hal. 69. 122 Ibid., hal. 69. 121
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah pejabat pemerintah. 123
B.
Tindak Pidana Lingkungan Hidup 1.
Pengertian Tindak Pidana dan Lingkungan Hidup a.
Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht)dikenal dengan istilah strafbaar feit dan di dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering digunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. 124 Tindak pidana adalah merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam istilah hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa hukum pidana, yang mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. 125 Seperti yang telah diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana,Moeljatno, yang memberikan pengertian tindak pidana atau yang menurut istilah beliau adalah
123
Ibid., hal. 69. Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993), hal. 90. 125 Bambang Djatmo Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa, 1990), hal. 62. 124
Universitas Sumatera Utara
perbuatan pidana yaitu : “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. 126 Sehingga, bila berdasarkan pendapat tersebut, maka pengertian dari tindak pidana adalah bahwa perbuatan pidana ataupun tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana, yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan tersebut.Akan tetapi, haruslah diingat bahwasanya aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, dan oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula. Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut :“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. 127 Dalam perumusan tersebut mengandung kalimat “aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang
126 127
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal. 54. Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 130.
Universitas Sumatera Utara
Poernomojuga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. 128 Adapun maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, ataupun peristiwa hukum pidana dan sebagainya adalah untuk mengalihkan bahasa asing dari istilah strafbaar feit, akan tetapi belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa tersebut dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah ataukah sekedar mengalihkan bahasanya saja, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan.Selain itu juga, di tengahtengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. 129 Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana
pada
orang
yang
telah
melakukan
perbuatan
pidana
atas
dasar
pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality), azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, atau dalam bahasa latin dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu), ucapan itu berasal dariAnselm von
128
Ibid., hal. 130 Bambang Djatmo Kartonegoro, Op.cit., hal. 30.
129
Universitas Sumatera Utara
Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Asas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu 130 : 1. “Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut”.
Tindak pidana merupakan bagian dasar daripada suatu kesalahan yang dilakukan seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan (schuld) hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan, haruslah berupa kesengajaan (dolus)atau kealpaan (culpa).Dikatakan bahwa dolus dan culpa adalah bentuk schuld, sedangkan kesalahan (schuld) adalah
yang
menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, sehingga atas perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala bentuk pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya. 131 Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda, yaitu : “strafbaar feit”, yang terdiri dari 3 (tiga) kata yaitu : straf, baar dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah
130
Moelyatno, Op.cit., hal. 25. Lihat juga : Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1998), hal. 36. 131 Bambang Djatmo Kartonegoro, Loc.cit., hal. 156.
Universitas Sumatera Utara
digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, sebagai berikut 132: 1. “Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No.20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya. 2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya : R. Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana”, H.J. van Schravendijk dalam bukunya “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”, A. Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk undang-undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)]. 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan straftbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.Utrecht, walaupun beliau menggunakan istilah lain, yakni peristiwa pidana (dalam buku “ Hukum Pidana I”. Moeljatno juga pernah menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana. 4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang berjudul “ Pokok-Pokok Hukum Pidana”. 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau “ Ringkasan tentang Hukum Pidana”, begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”. 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undangundang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3). 7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas Hukum Pidana”.
132
Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002) ,hal 6768. Lihat juga : Mohammad Ekaputra, Dasar -Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010 ), hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa pengertian dari tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan dualisme 133 : 1. “Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan yang dapat dihukum”. 134 Pompe mengatakan bahwa “ strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. 135 2. Menurut Prof. Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”. 136 3. H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh undang-undang. 137 4. Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 138Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut 139 : a. Harus ada suatu perbuatan manusia. b. Perbuatan harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hokum. c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum. e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang”.
133
Ibid., hal. 73. Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 91. 135 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 182. 136 Ibid., hal. 182. 137 Mohammad Eka Putra, Op.cit., hal. 81 138 R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959), hal. 27. 139 Ibid., hal. 28. 134
Universitas Sumatera Utara
Selain pandangan dualism, ada juga pandangan lain, yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat ahli monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana yaitu sebagai berikut 140 : 1. J.E. Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua pengertian 141 : a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang b. Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers 142 , sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini, ternyata definisi tindak pidana yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa pidana juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers, hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungan dengan si pembuat. 2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 3. H.J. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan. 4. Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang
140
Adami Chazawi, Op.cit., hal. 75. Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 91. 142 Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 141
136.
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari Simons apa sebabnya “Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena : a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang-Undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling. 143 5. Menurut Jan Remmelink 144 bahwa sekilas tampak bahwa membatasi pengertian “ bahaya “ ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum (rechtsgoederen) yang dilindungi oleh hukum. 6. J. Baumann dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. 145
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggungjawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana. 143
P.A.F. Lamintang,Op.cit., hal. 176. Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 64-65. 145 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 42. 144
Universitas Sumatera Utara
b.
Pengertian Lingkungan Hidup Lingkungan hidup terdiri dari dua kata yaitu lingkungan dan hidup. Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia lingkungan berarti daerah, golongan, kalangan, dan semua yang mempengaruhi pertumbuhan manasia dan hewan 146 Sedangkan hidup berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya. 147 Jika kedua kata tersebut digabungkan, maka lingkungan hidup berarti daerah atau tempat dimana makhluk hidup untuk bertahan dan bergerak sebagaimana mestinya. Secara umum, lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. 148 Definisi lingkungan hidup menurut beberapa ahli dan pakar lingkungan, yaitu: 1. Menurut Emil Salim, lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. 149 2. Munadjat Danusaputro, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar Lingkungan Universitas Padjajaran mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah
146
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hal. 675. 147 Ibid., hal. 400 148 A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Rineka Cipa, 2000), Cet. Ke-2, hal. 6. 149 Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cet. Ke-5, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1985), hal.16.
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. 150 3. Otto Suemarwoto, seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi) mendefinisikan lingkungan hidup yaitu jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis ruang itu tidak terbatas jumlahnya, namun secara praktis ruang itu selalu diberi batas menurut kebutuhan yang dapat ditentukan.
Istilah lingkungan hidup merupakan hal yang baru di Indonesia. Dimana istilah lingkungan hidup baru muncul sekitar tahun 1970-an seiring dengan adanya Konferensi Stockholm mengenai lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan di tahun 1972. 151 Menurut pengertian yuridis, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1)Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengartikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perkehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 152
150
N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta : Erlangga,2004),
hal.4. 151
Ahmad Faqih Syarafaddin, “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencemaran Dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009”, Skripsi, Konsentrasi Perbandingan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011, hal. 30. 152 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, Cet. Ke-1, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal. 130.
Universitas Sumatera Utara
Dari definisi-definisi tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa lingkungan hidup adalah suatu rangkaian atau suatu sistem yang saling mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan, baik terhadap manusia, hewan, tumbuhan maupun terhadap benda mati lainnya.
2.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana atau strafbaar feit menurut Prof. Simons adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 153 Menurut Simons merumuskan tindak pidana seperti diatas adalah karena 154 : 1. “Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undangundang, dalam hal ini pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 2. Agar sesuatu itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. 3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum”.
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUH Pid meliputi unsur-unsurnya, yang dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan
153
P.A.F. Lamintang, Op.cit., hal. 185. Ibid., hal. 10-11.
154
Universitas Sumatera Utara
diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. 155 Unsur subjektif terdiri dari 156 : 1. “Hal dapat dipertanggungjawabkannya seorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan. 2. Kesalahan seseorang”.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. 157Dikatakan unsur objektif, adalah jika unsur tersebut terdapat di luar si pembuat, yaitu berupa 158 : 1. “Suatu perbuatan, perbuatan mana dapat berupa berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 2. Suatu akibat. 3. Masalah-masalah, keadaan-keadaan, yang mana semuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang”.
Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yakni : 1. Unsur Subjektif Unsur subjektif yaitu unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukum kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus not facit reum nisi mens sit 155
Ibid., hal. 193. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus, (Bandung : Tarsito, 1995),
156
hal. 16. 157 158
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 194. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir,Loc.cit., hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
rea). Kesalahan disini yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opset/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni : a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk). b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn). c. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantalis).
2. Unsur Objektif. Merupakan unsur dari luar pelaku yang terdiri atas : a. Perbuatan manusia, berupa : 1) Act, yakni berupa aktif atau perubahan positif; 2) Omission, yakni perubahan pasif atas perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. b. Akibat (result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawanya, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan kebahagian. c. Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain : 1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; 2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan. d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Universitas Sumatera Utara
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sikap melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenan dengan larangan atau perintah.
Menurut Bambang Poernomo menyebutkan beberapa ahli yang membagi unsur-unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut 159 : 1. “Menurut Van Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seseorang pembuat (dader) mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu. 2. Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen-elemen dari Straftbaar feit dapat dibedakan menjadi : a. Elementen voor de strafbaar feit van het feit, yang terletak dalam objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum. b. Mengenai elementen woor strafbaarheid van dedader, yang terletak dalam subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/sikap batin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan”.
Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksudkan ke dalam “aliran monistis”, yaitu 160: 1. “Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah : a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan). b. Diancam dengan pidana (satbaar gesteld). c. Melawan hukum (onrechtmatig). d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand). 159 160
Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 103. Sudarto, Op.cit.,hal. 40-42.
Universitas Sumatera Utara
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person). Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit). a. Unsur objektif , yaitu : 1) Perbuatan orang. 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. 3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUH Pid sifat “openbaar” atau “di muka umum”. b. Unsur subjektif : 1) Orang yang mampu bertanggung jawab. 2) Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbutan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 2. Van Hamel memberikan defenisi straftbaar feit adalah : “eem wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten”. Jadi unsur-unsurnya adalah : a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang. b. Melawan hukum. c. Dilakukan dengan kesalahan. d. Patut dipidana. 3. E. Mezger, menurutnya unsur-unsur tindak pidana ialah : a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan). b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun yang subjektif). c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang. d. Diancam dengan pidana 4. Karni memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut : Bahwa delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. 5. Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana”.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya beberapa ahli yang dimasukkan sebagai golongan yang mempunyai pandangan dualistis tentang syarat-syarat pemidanaan adalah 161 : 1. “H.B. Vos, menyatakan Strafbaar Feit berunsurkan : a. Kelakuan manusia. b. Diancam pidana dalam undang-undang. 2. W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum positif straafbaar feit adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. (volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets anders date en feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven). Memang beliau mengatakan, bahwa menurut teori, strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. 3. Moeljatno, menyatakan unsur-unsur perbuatan pidana adalah : a. Perbuatan (manusia). b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil). c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)”.
Syarat formil itu harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. syarat materil itu harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. 1. Unsur-unsur tindak pidana menurut Tresna adalah sebagai berikut 162 : a. “Harus ada perbuatan manusia. b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, maksudnya adalah bahwa kalau seseorang itu 161
Ibid.,hal. 42-43. R. Tresna, Op.cit.,hal. 58.
162
Universitas Sumatera Utara
dituduh atau disangka melakukan suatu tindak pidana, unsur-unsur dalam pasal yang dilanggar haruslah terpenuhi semuanya, kalau salah satu dari unsurnya tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dalam pasal tersebut. c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat mempertanggungjawabkan, bahwa untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang tidak cukup dilakukannya suatu tindak pidana, akan tetapi haruslah pula adanya kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela. Dalam hal ini dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld atau unless the mind is quality. d. Perbuatan itu haruslah bertentangan dengan hukum. e. Terhadap perbuatan hukum itu haruslah hukumannya di dalam undang-undang”.
tersedia
ancaman
2. Menurut R. Abdoel Djamali, unsur-unsur tindak pidana barulah dikatakan sebagai peristiwa pidana apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut 163 : a. “Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang, pelakunya telah melakukan suatu kesalahan dan harus dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya. c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan itu memang harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar suatu ketentuan hukum. d. Harus berlawanan dengan hukum, artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksud kalau tindak pidananya nyatanyata bertentangan dengan hukum. e. Harus adanya ancaman hukuman dengan kata lain ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya”.
3.
Tindak Pidana Lingkungan Hidup Pengaturan tentang sanksi pidana tidak jauh berbeda bagaimana bentuk-
bentuk tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang 163
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993),
hal. 159.
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dibandingkan dengan UndangUndang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana dibagi dalam delik materil maupun delik formil. Hanya dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 pengaturan pasal lebih banyak pasal sanksi pidananya bila dibandingkan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 hanya ada 6 (enam) pasal yang menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan (Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 115). Jika diamati dan dibadingkan pengaturan pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana, atau dengan kata lain, pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa pasal. Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Menurut Sukanda Husin delik materil dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut 164: 1. “Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin. 164
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
2. Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi”.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yang berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu: Pasal 105 : “Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000”. Pasal 106 : “Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000”. Pasal 107 : “Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000”. Pasal 108 : “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga belas tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000”.
Universitas Sumatera Utara
Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang harus didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga dapat dilihat dalam beberapa pasal seperti: Pasal 98 : “Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.10.000.000.000”. Pasal 102 : “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 3.000.000.000”.
Hal yang membedakan antara Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah pada sanksi pidana dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan rupiah tetapi dinaikkan menjadi standar miliaran rupiah. Dalam undang-undang yang baru tersebut, juga diatur masalah pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, yang selanjutnya dapat dikenakan kepada yang memerintah sehingga terwujud tindak pidana pencemaran lingkungan, tanpa memerhatikan terjadinya tindak pidana itu secara bersama-sama (vide: Pasal 116 ayat 2). Pengaturan yang berbeda juga dapat diamati pada peran kejaksaan yang dapat berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab dibidang perlindungan hidup
Universitas Sumatera Utara
untuk melaksanakan eksekusi dalam melaksanakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib (vide: Pasal 119 dan Pasal 120).
C.
Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Bidang Tindak Pidana Lingkungan Hidup Selain orang perseorangan atau individu yang dapat dikelompokkan sebagai
subjek yang melakukan tindak pidana lingkungan adalah badan usaha, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Berdasarkan Pasal 1 angka 32 di atas, bahwa subjek tindak pidana lingkungan, antara lain 165 : 1. “Orang Perseorangan atau Individu; 2. Badan Usaha; 3. Badan Usaha Yang Berbadan Hukum”.
Badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum sebagai subjek dalam hukum pidana dengan istilah atau nama “korporasi”. Formulasi tentang badan hukum sebagai subjek hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat digolongkan ke bagian, yaitu 166 : 1. “Ada peraturan perundang-undangan yang merumuskan secara tegas bahwa badan hukum merupakan subjek hukum dari undang-undang
165
Syamsul Arifin, Op.cit., hal. 229. Ibid., hal. 229.
166
Universitas Sumatera Utara
tersebut dan sekaligus dimuat dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana. 2. Ada peraturan perundang-undangan yang merumuskan bahwa badan hukum termasuk dalam subjek hukum dari undang-undang tersebut, akan tetapi tidak dimuat secara tegas dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidananya”.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120. 167 Pasal 116, berbunyi : (1) “Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : a. Badan Usaha; dan/atau b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pimpinan dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama”.
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga (Pasal 117 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar
167
Ibid., hal. 229-230.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional (Pasal 118 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). 168 Adapun yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum. tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan ada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut. Sedangkan, yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut. 169 Berdasarkan rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, terdapat tiga pihak yang dapat dikenakan tuntutan dan hukuman, yaitu 170 : 1. “Badan Usaha itu sendiri; 2. Orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana; dan 3. Pengurus atau pimpinan badan usaha”.
Rumusan ketentuan dan Penjelasan pasal 118 merupakan terobosan baru atau kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh-sungguh melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan
168
Ibid., hal. 230. Ibid., hal. 230-231. 170 Ibid., hal. 231. 169
Universitas Sumatera Utara
pemulihan pencemaran atau perusakan lingkungan manakala mempimpin sebuah badan usaha. Rumusan ketentuan Pasal 118 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mirip dengan vicarious liability dalam sistem Anglo Saxon. 171 Di dalam sistem hukum Anglo Saxon , syarat seseorang dapat dimintakan pertanggung jawaban pidananya adalah dengan adanya unsur kesalahan dikenal dengan asas “mens rea”. Namun demikian, syarat umum adanya kesalahan itu dapat dikecualikan untuk tindak pidana tertentu, yaitu dengan adanya prinsip : Strict Liability dan Vicarious Liability. 172 Menurut doktrin “strict liability” (pertanggung jawaban yang ketat) seseorang sudah dapat dipertanggung jawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Diartikan, sebagai “liability without fault” (pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan). Sedangkan, “vicarious liability” adalah suatu pertanggung jawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). 173 Pertanggung jawaban pidana yang demikian, misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu dalam ruang lingkup pekerjaan atau dasarnya hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian “vicarious liability” ini, walaupun
171
Ibid., hal. 231. Ibid., hal. 231. 173 Ibid., hal. 231-232. 172
Universitas Sumatera Utara
seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dipertanggung jawabkan. 174 Muladi dalam Hamdan, menguraikan tentang pertanggung jawaban badan hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup, sebagai berikut 175 : 1. “Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non-badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; 2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity); 3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employees) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-punishment provision); 4. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision; 5. Pertanggung jawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orangorang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasi, dituntut, dan dipidana; 6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa di Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan “corporate death penalty” dan “corporate imprisonment”, yang mengandung pengertian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha; 7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan; 8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power and of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh korporasi tersebut”.
Selain pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan usaha, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib, berupa 176 : 174
Ibid., hal. 232. Ibid., hal. 232-233.
175
Universitas Sumatera Utara
1. 2. 3. 4. 5.
“Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindakan pidana; Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; Perbaikan akibat tindak pidana; Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun”.
Bentuk-bentuk pidana tambahan atau tindakan tata tertib dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut 177 : 1. “Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Badan usaha baik yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum dalam aktivitas usahanya akan mendapat keuntungan yang diperoleh dalam jumlah yang sangat besar, akan tetapi, jika akitivitasnya itu menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, tentunya akan menimbulkan kerugian yang besar yang akan dialami oleh masyarakat atau negara. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan rambu-rambu bagi penjatuhan pidana denda terhadap pelaku tindak pidana yang berupa badan usaha, baik dalam bentuk Perseroan Terbatas, perserikatan, yayasan, organisasi lain yang jumlahnya diperberat sepertiga dari jumlah denda yang dijatuhkan jika pelaku tindak pidana adalah perseorangan. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dalam bentuk pembayaran sejumlah uang atas taksiran keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Dicantumkannya ancaman seperti itu agar suatu korporasi akan berpikir dua kali untuk mengulangi tindakan pidana yang pernah dilakukannya, sebab hal itu akan menjadikan ia tidak menikmati sama sekali keuntungan yang diperolehnya dari tindak pidana tersebut. 2. Penutupan seluruh atau sebagian sempat usaha dan/atau kegiatan. Tindakan penutupan korporasi dilakukan, disebabkan oleh tindak pidana yang telah menimbulkan korbanyang sangat luas. Penutupan tempat usaha merupakan salah satu bentuk sanksi tindakan yang sangat ampuh untuk menanggulangi kejahatan di bidang lingkungan hidup. Di dalam bentuk sanksi seperti itu terdapat unsur pengawasan (kontrol) eksternal dan ekses pamor korporasi tertentu di mata publik. Pengawasan dan anggapan negatif dari publik terhadap sebuah badan usaha dampaknya jauh lebih besar dari penghukuman pidana, karena keduanya mengandung dimensi 176
Ibid., hal. 233. Ibid., hal. 233-236.
177
Universitas Sumatera Utara
sarana penal dan non-penal, yakni pengawasan dan pengenaan rasa malu. Tentu saja penutupan suatu korporasi yang dilakukan oleh hakim setelah mempertimbangkan banyak hal yang meliputi sifat dari tindakan pidana, korban dan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan pidana itu sendiri. Selain itu hakim juga mempertimbangkan nasib para buruh dan karyawan yang bekerja, jangan sampai penutupan suatu korporasi akan menimbulkan ekses yang lain. 3. Perbaikan akibat tindak pidana. Bentuk sanksi tindakan ini dijatuhkan hakim apabila tindakan pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi telah mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang sangat parah, sehingga kalau hanya dijatuhi hukuman denda, dirasa belum sebanding dengan akibat yang ditimbulkannya. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu bisa berakibat pada berubahnya fungsi lingkungan dari kondisi semula. 4. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak. Setiap badan usaha atau korporasi pada umumnya dibentuk untuk tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan tertentu pula. Suatu korporasi, di dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Jika ternyata dalam prakteknya korporasi tersebut lalai dengan tidak mengindahkan kewajiban yang telah ditetapkan dalam hukum positif, maka hakim dapat menjatuhkan sanksi berupa suatu kewajiban bagi korporasi untuk mengembalikan kondisi lingkungan hidup seperti semula, yaitu pada waktu sebelum korporasi didirikan (rona awal). 5. Menempatkan perusahaan di bawah pengawasan paling lama 3 (tiga) tahun. Menempatkan perusahaan dalam pengawasan agar badan usaha tersebut lebih berhati-hati di dalam menjalankan aktivitasnya, lebih-lebih jika aktivitasnya tersebut berkaitan erat dengan kepentingan umum. Bentuk sanksi tindak pidana berupa pengawasan ini sangat ampuh untuk menanggulangi kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup. Dampaknya juga sangat luas atas hukuman dijatuhkan kepada korporasi karena dianggap sebagai korporasi yang mempunyai kinerja dan reputasi buruk dan berakibatkan akan turunnya pamor koporasi di mata masyarakat”.
Universitas Sumatera Utara
Untuk penjatuhan pidana tambahan atau tindakan tata tertib di atas, Pasal 19 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 menetapkan, bahwa : (1) “Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi; (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Pengaturan tentang pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pada Pasal 67, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Sementara itu, yang dimaksud dengan ‘orang’ diatur dalam Pasal 1 angka 32, menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Oleh karena itu, subjek hukum di dalam undang-undang tersebut adalah perseorangan maupun badan hukum atau korporasi. Tindak pidana lingkungan hidup dalam Pasal 1 angka 30 Jo. Pasal 116 yang dilakukan oleh korporasi yang dikualifikasi sebagai Tersangka/Terdakwa, maka yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, adalah : Orang yang memberikan perintah (pemimpin) atas nama badan hukum dan pelaku baik yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang atas nama suatu korporasi dalam melaksanakan kebijaksanaan pimpinan korporasi tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi
Universitas Sumatera Utara
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, dalam hal ini badan hukum, maka sudah sewajarnya, jika dikenakan hukuman pidana bukan hanya terhadap pengurusnya saja, melainkan juga korporasinya atau korporasi dan pengurusnya sekaligus.
Universitas Sumatera Utara