37
BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi 1. Defenisi Kejahatan Korporasi Istilah kejahatan korporasi digunakan dalam berbagai konteks maupun penamaan. J.E. Sahetapy memberikan catatan penting bahwa istilah kejahatan korporasi (corporate crime) seringkali digunakan untuk menggambarkan konsep white-collar crime, organizational crime, organized crime, georganiseerde misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crimes of bussiness (bussiness crime), syndicate crime.84 David
O.
Friedrichs
sebagaimana
dikutip
dalam
Mahrus
Ali
mendefenisikan kejahatan korporasi85 sebagai: offences committed by corporate officials for their corporation or offences of the corporation itself, yang berarti: tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri.86
84
J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Cetakan Kedua, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2002), hlm. 1. Menurut Sahetapy, berbagai nama, makna dan ruang lingkup apa pun yang hendak diberikan bertalian dengan corporate crime atau kejahatan korporasi, pada dasar dan sifat, kejahatan korporasi bukanlah suatu barang baru; yang baru adalah kemasan, bentuk, serta perwujudannya. 85 Bandingkan dengan Gary Slapper dan Steve Tombs, Corporate Crime, (London, Great Britain: Longman, 1999), hlm. 16. Mengenai defenisi kejahatan korporasi itu sendiri Friedrichs menyatakan bahwa mengenai defenisi kejahatan korporasi yang tidak dapat diterima oleh semua orang, melahirkan suatu kewajiban bagi para sarjana menentukan bagaimana mereka berniat menggunakan defenisi-defenisi yang ada, sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan dan dengan penyajian yang diharapkan. 86 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
38
Marshaal B. Clinaard dan Peter C. Yeager sebagaimana dikutip dalam Setiyono memberikan pengertian kejahatan korporasi sebagai: any act committed by corporation that is punished by the state, regardless of whether it is punished under administrative, civil, or criminal law, yang artinya: setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata maupun hukum pidana.87 Gary Slapper dan Steve Tombs merangkum pendapat beberapa ahli seperti Kramer, Box, Schrager and Short, serta Clinard dan Yeager, kemudian mendefenisikan kejahatan korporasi (corporate crime) sebagai: criminal acts (of omission or comission) which are the result of deliberate decision making (or culpable negligence) of those who occupy structural positions within the organization as corporate executives or managers. These decisionas are organizationally based – made in accordance with the normative goals (primarily corporate profit), standard operating procedures, cultural norms of organizations – and are intended to benefit the corporation itself. 88 (perbuatan pidana, baik yang berbentuk delik omisi maupun delik komisi, yang merupakan hasil dari keputusan yang disengaja atau kelalaian dari orang-orang yang menempati jabatan struktural dalam organisasi sebagai pihak eksekutif atau manajer dari perusahaan. Keputusan ini dibuat secara terorganisir berdasarkan tujuan normatif organisasi yakni keuntungan korporasi itu sendiri)
Terlihat melalui berbagai pengertian di atas bahwa ciri khas yang dapat ditemui dari kejahatan korporasi adalah bahwa ia dilakukan oleh korporasi atau pengurusnya (baik pemilik, manager, atau karyawan) untuk kepentingan korporasi itu sendiri, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mendatangkan
87
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cetakan Ketiga, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 20. 88 Gary Slapper dan Steve Tombs, op.cit, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
39
kerugian terhadap para stakeholder, yang menurut Etty Utju R.K. dengan mengutip pendapat Muladi, terdiri atas:89 a. Negara (state), sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi, dan lain-lain. b. Masyarakat (public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penggelapan, penghindaran pajak, dan lain-lain. c. Konsumen (consumers), sebagai akibat advertensi yang menyesatkan, menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya, dan lain-lain. d. Karyawan (employees), sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum dan lain-lain. e. Pemegang saham (shareholders/investor), sebagai akibat penipuan dan pemalsuan akuntansi, dan lain-lain. f. Perusahaan saingan (competitors), sebagai akibat kejahatan spionase industri yang melanggar. Konsepsi ini membuat istilah kejahatan korporasi (corporate crime) sama sekali berbeda dengan crime against corporation dan criminal corporation. Konsep crime against corporation atau yang biasa disebut kejahatan jabatan atau kejahatan terhadap korporasi, merupakan kejahatan di mana pelaku kejahatan tersebut melakukan kejahatan yang ditujukan kepada korporasi.90 Pelaku
89
Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi Penegakan Hukum terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 6. 90 H.G. Van de Bunt dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
40
kejahatan ini tak hanya terbatas karyawan dari badan hukum atau korporasi yang bersangkutan, tapi juga masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan korporasi jenis ini. Sedangkan criminal corporation merupakan padanan lain kejahatan sindikat. Ia diartikan sebagai korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan, dengan kata lain kedudukan korporasi hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan.91
2. Karakteristik Kejahatan Korporasi Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kejahatan korporasi menimbulkan kerugian lebih besar jika dibandingkan dengan kejahatan individual atau sering disebut juga sebagai kejahatan konvensional/tradisional. Hal ini diakibatkan oleh karakteristik kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:92 a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem organisasi yang kompleks; b. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan sebuah yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun; c. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of resposibility), yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
91
Ibid., hlm 13. Setiyono, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Averros Press, 2002), hlm. 54-55. 92
Universitas Sumatera Utara
41
d. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization), seperti polusi dan penipuan; e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution), sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan. f. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum; dan g. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Dalam hal perbuatannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi apa yang dilakukan memang merupakan perbuatan yang ilegal. Dalam konteks tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, karakteristik ini cenderung lebih relevan jika meninjau konsep kejahatan korporasi sebagai white collar crime atau kejahatan kerah putih.93 Istilah kejahatan kerah putih itu sendiri telah dikenalkan sejak puluhan tahun yang lalu oleh Edwin Sutherland. Sutherland mengemukakan kejahatan korporasi sebagai: “...any person of higher socioeconomics status who commits a legal violation in the course of his or her occupation”94, yang dapat diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam
93
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 26 & 36. Selain sebagai white collar crime, kejahatan korporasi juga identik dengan transnational crime dan organized crime. Transnational crime menggambarkan kejahatan yang tidak hanya terjadi di internasional dan kejahatan lintas negara yang mencakup dua saja, tetapi juga kejahatan yang memiliki sifat harus melintasi perbatasan sebagai sebuah bagian dari tindak kejahatan. Sedangkan organized crime lebih merujuk pada adanya kejahatan terorganisir dan aktivisnya seperti perdagangan narkoba, pencucian uang, perdagangan senjata ilegal, penipuan, dan kegiatan ilegal lainnyayang memberi ancaman terhadap stabilitas global. 94 J.E. Sahetapy, op.cit, hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
42
menjalankan jabatannya. Artinya, defenisi ini mengambil fokus pada dua hal, yakni pelaku kejahatan dan status sosial tinggi yang dimilikinya. Kekhususan kejahatan kerah putih adalah pada wilayah kerjanya yang meliputi bidang keuangan dan industri, di mana kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut tidak begitu nyata, kesalahan pelaku tidak begitu jelas, dan perbuatan pelaku tidak bertentangan dengan moral. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep kejahatan jalanan (street crimes) yang dengan mudah dapat diidentifikasi, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, atau pencurian. Kejahatan jalanan umumnya juga melibatkan penggunaan ancaman dan penggunaan kekerasan secara fisik terhadap korban atau pencurian dengan menggunakan kekerasan serta kejahatan-kejahatan lain yang berhubungan dengan hal itu.95 Lebih lanjut Simpson mengemukakan ada tiga hal yang patut dicermati dalam kejahatan korporasi. Pertama, bahwa perbuatan ilegal yang dilakukan korporasi dan agennya berbeda dengan yang dilakukan mereka yang memiliki status ekonomi yang lebih rendah, yang semakin menunjukkan perbedaan kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional lainnya. Kedua, baik korporasi dan representasinya dikenali sebagai pelaku. Ketiga, motivasi utama dari suatu kejahatan korporasi adalah bukan untuk kepentingan individu, namun untuk kepentingan korporasi. Oleh karena itu untuk menjaga keuntungan, mengatur suatu pasar, menurunkan biaya perusahaan, atau untuk menyingkirkan
95
Lisa H. Nicholson, “The Culture of Under-Enforcement: Buried Treasure, SarbanesOxley and the Corporate Pirate”, DePaul Business & Commercial Law Journal, 2007, http://via.library.depaul.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1174&context=bclj, diakses pada tanggal 6 April 2016, hlm. 330.
Universitas Sumatera Utara
43
saingan dalam dunia usaha, korporasi mungkin saja mencemari lingkungan, melakukan penipuan dan manipulasi, menciptakan kondisi kerja yang berbahaya dan lainnya. Kebijakan managerial untuk melakukan tindakan terlarang tersebut dapat dibantu dengan norma dalam korporasi dan subkultur korporasi.96
3. Dimensi Kejahatan Korporasi Dimensi kejahatan korporasi di Indonesia terus berkembang seiring dengan perkembangan perekonomian nasional dan internasional. Berbagai jenis kejahatan korporasi semakin menonjol sebagai dampak dari era globalisasi seperti kecenderungan berkembangnya persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition) yang mengarah pada perkembangan praktek monopoli, oligopoli, konsentrasi industri, market limitation, misrepresenting products,97 price fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan) yang sering terjadi di bidang farmasi (obat-obatan), dan enviromental crime (kejahatan lingkungan hidup),98 serta kejahatan perbankan seperti: cyber crime dan money laundering.99 Dimensi-dimensi tersebut perlu diklasifikasi menjadi beberapa bentuk, Dimensi ini terpolakan dalam bentuk-bentuk seperti:100 a. Defrauding stockholders
96
Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2002), http://catdir.loc.gov/catdir/samples/cam031/2001025804.pdf, diakses pada tanggal 6 April 2016, hlm. 7. 97 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 16. 98 Soedjono Dirdjosisworo, Respons Terhadap Kejahatan: Introduksi Hukum Penanggulangan Kejahatan (Introduction to The Law of Crime Prevention), (Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung Press, 2002), hlm. 65. 99 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 5. 100 Suparman Marzuki, “Dimensi „Kejahatan Korporasi‟ dan reaksi sosial”, Jurnal Hukum, Vol. 1 No. 2, 1994, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
44
Dimaksudkan tidak melaporkan dengan sebenarnya keuntungan yang diperoleh sehingga menimbulkan penipuan terhadap para pemegang saham. Dimensi ini terkait erat dengan pemegang saham perusahaan yang diberi informasi secara tidak benar tentang berapa besar jumlah keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha perusahaan.101 b. Defrauding the public Dapat diartikan sebagai penipuan terhadap masyarakat terjelma dalam bentuk persekongkolan penentuan harga dan produk yang tidak representatif. Wujud lainnya juga dapat dilihat dalam penipuan informasi layanan (iklan) tentang suatu produk dari perusahaan tertentu. c. Defrauding the government Merupakan tindakan penipuan oleh suatu korporasi yang ditujukan langsung kepada pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari kewajiban membayar pajak sesuai dengan pendapatan atau keuntungan korporasi yang sesungguhnya. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak mempunyai daftar pembukuan lebih dari satu. Hal ini dimaksudkan untuk mengelabuhi pemerintah agar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk membayar pajak.102 d. Endangering the public welfare Adalah dimensi kejahatan korporasi yang mengarah pada membahayakan kesejahteraan umum. Misalnya, korporasi menimbulkan polusi industri yang membahayakan lingkungan di sekitarnya. 101 102
Hanafi, op.cit, hlm.5. Ibid., hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
45
e. Endangering employees Yaitu tidak memedulikan keselamatan kerja. Tindakan semacam ini sering dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan cara mengeksploitasi tenaga kerja tanpa diiringi dengan perhatian yang cukup besar terhadap keselamatan mereka, sehingga banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan karena sarana dan prasarana produksi perusahaan tidak memenuhi standar keselamatan kerja. f. Illegal intervention in the public process Melakukan intervensi yang melanggar hukun terhadap proses politik, terutama dalam konteks pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah. Praktiknya sering berupa sumbangan dana politik kampanye partai dalam proses pemilihan umum yang tujuannya paling tidak keinginan-keinginan atau tendensi tertentu dari korporasi bersangkutan bisa tercapai melalui munculnya sebuah kebijakan pemerintah hasil pemilu tersebut.103 Niall F. Coburn secara lebih luas mengklasifikasikan dimensi kejahatan korporasi dapat berbentuk sebagai berikut:104 a. Penggelapan dana perusahaan b. Penipuan terhadap hasil audit internal dan pelanggaran terhadap kepatuhan kerja c. Pelanggaran surat berharga termasuk perusahaan yang tidak menerapkan prinsip keterbukaan kepada publik d. Penyuapan e. Penjualan aset perusahaan yang melibatkan orang dalam f. Manipulasi pasar g. Korupsi h. Menghindarkan kewajiban membayar pajak i. Praktik-praktik perdagangan dan perbuatan pasar. j. Bisnis perusahaan yang pailit 103
Ibid., hlm. 7. Niall F. Coburn, “Article of Corporate Investigations”, Journal of Financial Crime, (London: 2006), http://coburnci.com/wp-content/uploads/2012/10/Article-on-Corporate-Investi gations-NC.pdf, diakses pada tanggal 6 April 2016, hlm. 4. 104
Universitas Sumatera Utara
46
k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u. v.
Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan Bisnis perusahaan yang pailit. Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan Pembukuan keuangan perusahaan yang tiak jujur Penyelenggaraan perusahaan terkait dengan transaksi partai politik dan kewajiban direktor Regulasi yang bersifat rahasia Standar makanan Standar jalan raya dan kereta api Tindak pidana ekonomi terhadap dan oleh pekerja Praktik-praktik diskriminatif pada saat bekerja dan di tempat kerja Pelanggaran terhadap aturan di bidang lingkungan hidup. Keamanan dan kesehatan kerja. Sementara itu, untuk kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat
luas, menurut Setiyono, antara lain dapat berbentuk:105 1. Kejahatan terhadap Lingkungan Hidup; 2. Kejahatan terhadap Konsumen 3. Kejahatan terhadap Pemegang Saham (Investor)
Berdasarkan klasifikasi dimensi ini, tindak pidana pembakaran lahan perkebunan sejatinya merupakan sebuah bentuk kejahatan korporasi dari dimensi “endangering the public welfare” dalam bentuk kejahatan lingkungan hidup. Dikatakan demikian karena tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang dilakukan
korporasi
ini
berdampak
pada
tereganggunya
aspek-aspek
kesejahteraan masyarakat, seperti lingkungan hidup, ekonomi, yang berdampak pula pada aktivitas sosial masyarakat secara luas.
105
Setiyono, op.cit, hlm. 83.
Universitas Sumatera Utara
47
B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana 1. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan. Pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok (group), sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Perkembangan kelompok-kelompok tersebut di Romawi terlihat dengan dibentuknya suatu organisasi yang dalam banyak hal memiliki fungsi yang mirip seperti korporasi yang sudah kita kenal sekarang. Kelompok tersebut bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum, keagamaan, militer, dan perdagangan. Organisasi ini memiliki kekayaan yang terpisah dari anggotanya. Pada masa ancient time ini mulai dikenal perbedaan kedudukan individu dalam organisasi dan kedudukan individu yang terlepas dari organisasi. Pada Abad Pertengahan dengan ditandai mulai menurunnya kekuasaan Romawi, dan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak mungkin melakukan suatu usaha/perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan militer dan tertib sosial. Pada masa itu dengan terbentuk Dewan Gereja yang dipengaruhi oleh hukum Romawi, Dewan Gereja ini memiliki kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum manusia. Gereja sebagai kemudian dikenal sebagai suatu prototype korporasi berdiri untuk pertama kali diperkenalkan oleh Paus Innocent IV (1243-1254).
Universitas Sumatera Utara
48
Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang dapat menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini (Abad XIV) mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya bentuk kota praja.106 Pada permulaan zaman modern, sifat bisnis perdagangan yang semakin kompleks sangat mempengaruhi perkembangan korporasi. Pada zaman Raja James I (1566-1625) di Inggris mulai dikenal korporasi sebagai subjek hukum (legal person), yang berbeda dengan manusia.107 Korporasi yang bersifat modern di Inggris dikenal dengan nama Hudson‟s Bay Company yang diresmikan oleh Raja Inggris pada tahun 1670, beroperasi di Kanada dan mempunyai hak monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana dari pemerintah kolonial Inggris. Terjadinya
Revolusi
Industri
di
Inggris,
yang ditandai
dengan
perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan revolusi di bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, menimbulkan kebutuhan akan modal yang besar dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum yang memadai, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”.108
106
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 35. Ibid, hlm. 36. 108 Ibid, hlm.37. 107
Universitas Sumatera Utara
49
Sedangkan di Amerika, pada tahun 1795, tepatnya di North Carolina didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang berlaku pada waktu itu, yang bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum. Seperti di Massachusetts pada tahun 1799, berbentuk korporasi di bidang penyediaan air bersih. Kemudian pada Tahun 1811, New York menjadi negara bagian yang pertama kali memperkenalkan korporasi bersifat umum yang bergerak di bidang Manufaktur.109 Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1807. Bagaimanapun juga, karena Perancis pernah menjajah Belanda, maka terdapat hubungan antara pembuatan rancangan Wetboek van Koophandel (W.v.K) Nederland yang dibuat pada tahun 1809 dan kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaklah waktunya sangat berdekatan dan dalam hubungan sebagai suatu negara yang dikuasai Perancis akan tercermin dalam W.v.K tersebut, yang mana sistem dan isi W.v.K Nederland ternyata mengacu pada Code de Commerce dan Code de La Marine.110 Dengan asas konkordansi maka setiap perkembangan W.v.K Nederland memiliki pengaruh di Nederlandsch Indie seperti halnya tentang ketentuan maatschap, kata maatschap sejenis pula dengan kata “societas” dari Romawi, yang terkenal dalam sejarah hukum Romawi Lama dengan Romainse Societas. Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk kontrak kerja sama (samenwerkingcontracten), yang agak berbeda dengan dengan 109
M. Natsir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia (Perorangan), (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 3. 110 Ibid., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
50
societas, disebut “Commanditaire Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”, yang di Belanda sampai sekarang ini diatur dalam W.v.K, sedangkan di Indonesia diatur dalam pasal 16 sampai dengan pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Pada permulaan abad XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin meluasnya perdagangan pelayanan ke Indonesia di mana banyak yang menanamkan modalnya pada perusahaan pelayanan dengan cara meminjamkan uang (geldschieters) dengan sistem kepercayaan (toevertrouwen). Pada tahun 1602, terbentuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang terdiri antara pengusaha-pengusaha (voorcompagnieen), dan menandai terbentuknya suatu “Societe Anonyme” seperti yang diatur di dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang.111 Sesudah tahun 1838, bentuk badan usaha CV maupun Firma dan NV masing-masing diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut karena perkembangan perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali bentuk CV. Di samping itu, berkembang pula perusahaan pemerintah sejak tahun 1925 yang didirikan berdasarkan Indische Comptabiliteitswet (I.C.W) Stb. 1927 Nomor 419. Perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian ikut serta dalam suatu perusahaan tersebut terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang tunduk pada hukum perdata dan dagang.
111
Ibid. hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
51
Sesudah perusahaan-perusahaan milik Belanda dikenakan nasionalisasi dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, maka berkembanglah perusahaan-perusahaan pemerintah dalam bentuk perseroan terbatas swasta yang tunduk pada KUH Perdata dan KUH Dagang, namun kemudian dengan UndangUndang No. 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, maka bentuk perusahaan negara dengan bentuk perseroan terbatas negara maupun yang tunduk pada I.C.W dan I.B.W (Indische Bedrijvenwet) kesemuanya diatur menurut Undang-Undang ini. Akan tetapi, perkembangan perseroan terbatas negara ini sangat menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian, sehingga perlu dilakukan reorganisasi perusahaan negara dengan dikeluarkannya UU. No. 1 Prp Tahun 1969 Tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, yang ditetapkan dengan Undangundang Nomor 9 Tahun 1969. Pasal 1 Undang-Undang tersebut menetapkan adanya tiga macam bentuk usaha negara, yaitu:112 a. Perusahaan Jawatan (Perja); b. Perusahaan Umum (Perum); c. Perusahaan Perseroan (Persero). Demikianlah sejarah korporasi yang akhirnya menjadi subjek hukum di samping subjek hukum manusia. Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah mulai luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan itu
112
M. Natsir Said, op.cit, hlm. 5-8
Universitas Sumatera Utara
52
sendiri tidak dapat terlepas dari perkembangan teknologi dan era globalisasi itu sendiri. Dengan demikian sejak Revolusi Industri di Inggris, peranan teknologi dalam sejarah perkembangan korporasi merupakan pengaruh yang sangat fundamental (fundamental influence) dalam rangka pertumbuhan korporasi itu sendiri. Dalam sejarah perkembangan itu pula, korporasi pada akhirnya digolongkan ke dalam jenis-jenis tertentu dengan berdasarkan berbagai pandangan. Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:113 1) Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota; 2) Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi yang dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT. Garuda Tbk; 3) Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara. Di Indonesia, secara umum korporasi diartikan secara luas, sehingga terbagi menjadi 2, yakni yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum:
113
Dwidja Prayitno, op.cit, hlm. 14-15
Universitas Sumatera Utara
53
a. Badan hukum Pengertian badan hukum itu sendiri awalnya lahir sebagai akibat dari perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih primitif ataupun didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat menghimpun modal yang lebih berhasil daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk membuat suatu wadah seperti badan hukum agar kepentingan-kepentingan masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.114 Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui hakekat badan hukum yaitu antara lain: 1) Teori Fictie Dari Von Savigny Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. 2) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie) Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum, namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang,
114
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
54
tetapi kekayaan itu terikat dengan tujuan tertentu. Kekayaan inilah yang disebut badan hukum. 3) Teori Organ dari Otto Van Gierke Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak (fiksi) dan bukan merupakan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantara alat-alat yang ada padanya (pengurus dan anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai panca indera. 4) Teori Propriete Collective Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraff yang mengatakan bahwa hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama semua anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja. 5) Teori Kenyataan Yuridis Badan hukum merupakan suatu reliteit, konkrit, rill, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Universitas Sumatera Utara
55
Menurut Rudhy Prasetya, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain: 115 1) Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III Buku I KUHP Pasal 36-57; 2) Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP; 3) Dapat berbentuk koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi; 4) Berbentuk BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 berupa perusahaan perseroan, perusahaan jawatan, perusahaan jawatan; 5) Yayasan (Stichting) merupakan badan hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Penggolongan badan hukum jika dilihat dari jenisnya dapat pula dibedakan menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum privat misalnya 115
Mahmud Mulyadi, Hakekat Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup, (Medan: Pustaka Bangsa Pers, 2004), hlm. 203.
Universitas Sumatera Utara
56
Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk menentukan suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada dua yaitu:116 1) Dilihat
dari
pengelolaannya,
badan
hukum
publik
didirikan
oelh
Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan orangperseorangan; 2) Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika lapangan pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan hukum privat. Berkaitan dengan badan hukum (korporasi) sebagai subyek hukum, menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hak dan kewajiban dari hukum itu hanyalah manusia.117 Kenyataan dewasa ini, dalam lapangan masyarakat bukan saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum. Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai
116
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 67. 117
Universitas Sumatera Utara
57
subyek hukum secara materil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai berikut:118 1) Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya). 2) Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan. 3) Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus. 5) Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya. 118
Alvi Syahrin, Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 862/K/PID.SUS/2010,http://alviprofdr.blogspot.com/2013/11/tinjauan-terhadap-putusan-marino.html#more, diakses tanggal 12 April 2016.
Universitas Sumatera Utara
58
6) Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya. 7) Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut. b. Bukan Badan Hukum Adapun badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat dikategorikan
menjadi
tiga
bentuk
yaitu:
persekutuan
perdata,
persekutuan/perusahaan firma (fa) persekutuan/perusahaan komanditer (CV). Perbedaan antara badan hukum yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha tersebut. Untuk pendirian badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum, maka syarat adanya pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.119Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat dikategorikan sebagai: a) Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya: perusahaan industri, perusahaan dagang dan perusahaan jasa. b) Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang
119
Mahmud Mulyadi, Hakekat... op.cit, hlm. 209.
Universitas Sumatera Utara
59
industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma (fa) dan persekutuan komanditer (CV).120 Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana tentang apa yang dimaksud dengan korporasi sebenarnya terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain adalah yang bersifat luas; dimana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam
hubungan
suatu
dagang
ataupun
usaha
lainnya,
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum, melainkan meliputi badan hukum maupun bukan badan hukum., bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum, tetapi juga firma, CV, dan persekutuan yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukanlah suatu badan hukum.121 Adapun menurut penulis, pada hakikatnya apabila korporasi hanya dimaknai secara sempit sebagai badan hukum, tidaklah dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Karena dalam perkembangan kehidupan perekonomian global yang semakin kompleks, sesungguhnya pelaku 120
Ibid., hal. 210 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm. 45. 121
Universitas Sumatera Utara
60
usaha, yang dalam tulisan ini adalah pelaku usaha perkebunan nyatanya bukan hanya berasal dari sebuah korporasi berbadan hukum, tetapi juga korporasi tidak berbadan hukum. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam arti yang luas.
2. Tahap-Tahap Pengakuan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana sudah dimulai sejak tahun 1635, ketika itu sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana ringan. 122 Adapun pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana sesungguhnya tidak muncul melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tapi justru merupakan akibat dari formalisme hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia tidak dapat dilepaskan dari peran pengadilan. Adalah hakim dalam sistem common law yang melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya.123 Yedidia Z. Stern sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali menyatakan bahwa para hakim yang ada pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan tindakan para agen kepada korporasi, berusaha mempertanyakan
122
Andrew Weissmann dan David Newman, “Rethinking Criminal Corporate Liability”, Indiana Law Journal, 2007, http://www.corporatecrimereporter.com/wp-content/uploads/ 2013/07/weissmann.pdf, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 419. 123 Ibid., hlm. 418 - 419.
Universitas Sumatera Utara
61
apakah suatu korporasi, dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisi/keadaan psikologis untuk adanya suatu
penuntutan
sebagaimana
halnya
kejahatan-kejahatan
lain
yang
mensyaratkan adanya hal itu.124 Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek hukum pidana manusia. Hambatan-hambatan teoritis tersebut dapat didasarkan pada dua hal, yakni: Pertama, begitu kuatnya teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan Carl Von Savigny125, dan Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.126 Dominasi asas ini dapat dilihat dalam KUHP Indonesia yang memang tidak mencantumkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dapat disimpulkan, bahwa KUHP Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia sedangkan badan hukum tidak diakui dalam hukum pidana.127 Dalam perkembangannya, dua alasan di atas lama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, korporasi merupakan aktor utama perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode paling efektif untuk memengaruhi tindakan-tindakan 124
Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 99. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 30. 126 Bandingkan dengan Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hlm. 25. Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah semata. Pandangan ini dianut KUHP melalui Pasal 59, yang dipengaruhi asas “societas delinquere non potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik. 127 Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010). hlm, 39. 125
Universitas Sumatera Utara
62
aktor rasional korporasi.128 Kedua, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang apabila korporasi hanya dijaruhi sanksi keperdataan. Dalam kedua konteks inilah sanksi pidana diperlukan.129 Dikarenakan anggapan bahwa tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia, maka muncullah tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Tahap tersebut antara lain: a. Perkembangan Tahap Pertama Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah semata, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).130 Akibatnya, ketika suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, karena telah dibebankan “tugas mengurus” (zorgplicht), maka tindak pidana tersebut dianggap dapat dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.131 Perkembangan tahap ini telah terlihat sejak KUHP tahun 1886 dibentuk, di mana pembentuk undang-undang telah mulai memasukkan larangan-larangan dan perintah-perintah terhadap pengurus yang bertanggung jawab, berupa kewajiban-kewajiban dalam beberapa peraturan dan undang-undang khusus tertentu, dengan maksud supaya
128
Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnasional Corporation and Human Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, http://scholarship.law.berkeley.edu /cgi/viewcontent.cgi?article=1207&context=bjil, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 46. 129 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28. 130 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 66 131 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
63
mereka bertanggung jawab dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut terhadap badan atau perusahaan yang dipimpinnya. 132 Alasan tidak dapatnya korporasi dipidana, antar lain: Pertama, asas hukum pidana yang ada di KUHP berlandaskan pada ajaran kesalahan pribadi dan hanya ditujukan kepada orang alamiah.133 Kedua, hukuman-hukuman pokok yang ada di KUHP mempunyai sifat kepribadian. Ketiga, hukuman yang menyangkut kemerdekaan tidak dapat dilaksanakan oleh korporasi. Keempat, meski hukuman denda dapat dijatuhkan kepada korporasi, yang dijatuhi hukuman denda itu dapat memilih untuk membayar denda atau menjalani hukuman kurungan sebagai penggantinya.134 Pandangan ini dianut KUHP Indonesia melalui Pasal 59, yang berbunyi: “Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak pidana.”
Melalui bunyi pasal tersebut, telah terlihat bahwa secara implisit pidana ditentukan hanya kepada pengurus, pasal ini masih dipengaruhi asas “societas delinquere non potest”135, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.136 Oleh 132
Schaffmeister, Nico Keijzer dan Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan pleh J. E. Sahetapy, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 274. 133 Bandingkan dengan Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 28, yang mengatakan bahwa pada mulanya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam perkara pidana karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. 134 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 289. 135 Endsche sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 53. Menyatakan bahwa ketentuan universitas delinquere non potest adalah contoh khas dari pemikiran secara khas dari abad XIX, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan manusia, sehingga erat kaitannya dengan sifat individualisasi KUHP.
Universitas Sumatera Utara
64
sebab itu apabila suatu korporasi melakukan delik, itu dianggap dilakukan oleh pengurusnya, karena melakukan delik pada waktu itu diartikan sebagai sesuatu perbuatan fisik dari si pembuat.137 Dalam perkembangannya pada tahap pertama ini tantangan besar muncul berkenaan dengan tertutupnya kemungkinan menerapkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggung jawab,
maka
bagimana
memutuskan
tentang
pembuat
dan
pertanggungjawabannya? Kesulitan inilah yang akan dijawab pada perkembangan tahap kedua. b. Perkembangan Tahap Kedua Ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu pimpinan atau karena suatu korporasi. Tuntutan pidana dan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Perumusan ini dilandasi pemikiran bahwa sering terjadi kedudukan dalam korporasi itu yang memberi kesempatan untuk melakukan delik.138 Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau
136
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 25. Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 277. 138 Ibid, hlm. 277. Bandingkan dengan Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 36-37. 137
Universitas Sumatera Utara
65
kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.139 Meskipun
demikian,
Hasbullah
F.
Sjawie
berpendapat
bahwa
perkembangan yang terjadi ini belum dapat dikategorikan suatu perubahan tahapan karena meski di sini sudah ada pengakuan bahwa subjek hukum pidana meliputi juga korporasi, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan kepada pengurusnya. Oleh sebab itu, pada hakikatnya perkembangan ini tidak dapat dijadikan sebagai tahapan tersendiri karena Pasal 59 KUHP itu juga secara tidak langsung mengakui adanya korporasi walau tidak disebut bahwa korporasi adalah juga subjek hukum pidana, yang dipertanggungjawabkan adalah pengurusnya.140 c. Perkembangan Tahap Ketiga Merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung korporasi. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasannya sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, 139 140
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 26. Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm 277.
Universitas Sumatera Utara
66
diharapkan
dapat
memaksa
korporasi
untuk
menaati
peraturan
yang
bersangkutan.141 Berkaitan dengan hal di atas, merujuk pada ketentuan dan Memorie van Toelichting (MvT) Pasal 59 KUHP, bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh seseorang dan keberadaan badan hukum tidak berlaku dalam hukum pidana. Oemar Seno Adji berpendapat bahwa mungkin pembuat undang-undang pada saat itu tidak voorzien (menduga) bahwa hukum pidana ekonomi, fiskal, dan bahkan hukum pidana politik akan mengandung ketentuan yang meninggalkan asas bahwa hanya orang yang dapat melakukan sesuatu tindak pidana dan fiksi mengenai badan hukum itu tidak berlaku dalam hukum pidana. Teori fiksi sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menyediakan tempat bagi suatu pandangan yang sebelumnya dikemukakan oleh von Gierke, yang melihat badan hukum itu sebagai suatu realitas dan bukan fiksi lagi, yang terpisah dari orang perorangannya. Karena, jika hukum pidana ekonomi, fiskal, dan hukum pidana politik menerima adanya pemidanaan terhadap korporasi, itu didasarkan tidak saja pada pertimbangan-pertimbangan utilitis, tetapi juga atas dasar-dasar teoritis yang dapat dibenarkan. Hal ini merupakan penyimpangan Pasal 59 KUHP. 142 Berkenaan dengan tahapan ini, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa, baik perundang-undangan maupun ilmu hukum telah mematahkan persoalan mengenai tanggung jawab pidana dari korporasi dan telah mengesampingkan pikiran dalam KUHP bahwa hanya peroranganlah yang dapat dipandang sebagai subjek dari suatu tindak pidana. Ia berpandangan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana 141
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1984), hlm. 159-160. 142
Universitas Sumatera Utara
67
Ekonomi, demikian pula Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, undang-undang dan praktik hukum di luar negeri, ajaran-ajaran yang digariskan oleh von Gierke, adalah petunjuk-petunjuk bahwa harus ditempuh jalan baru mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana karena dalam zaman modern ini korporasi tersebut merupakan faktor yang cukup dominan yang bergerak dalam perekonomian dan perdagangan, maka tentu akan meletakkan jejaknya pula terhadap hukum pidana.143
3. Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam Perundang-undangan di Indonesia Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum di Indonesia tidak mengikuti perkembangan di Belanda, yang dewasa ini perkembangannya telah sampai pada tahap di mana ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak lagi tersebar di luar Wetboek van Strafrecht (WvS). Sejak lahirnya Undang-undang tanggal 23 Juni 1976 Staatsblad 377 yang disahkan pada tanggal 1 September 1976, mengenai subjek hukum korporasi selain manusia telah ditempatkan dalam ketentuan umum Pasal 51 WvS (Strafbarefeiten kunnen worde begaan door natuurlijke personen en rechtspersonen).144 Sejak itulah korporasi diperlakukan sebagai subjek hukum pidana di Belanda secara keseluruhan. Pasal 51 WvS Belanda tidaklah menggunakan istilah corporatie, tetapi istilah rechtspersoon atau badan hukum, selengkapnya berbunyi:145 (1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
143 144
Ibid., hlm. 280. Lihat Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, (Jakarta: Ind.Hill-Co., 1993), hlm.
100. 145
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 69-70.
Universitas Sumatera Utara
68
(2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: a. Badan hukum, atau; b. Terhadap mereka yang memerintah melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu; c. Terhadap yang disebutkan dalam a dan b bersama-sama. (3) Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.
Dengan lahirnya undang-undang ini, maka di Belanda badan hukum sebagai subjek hukum pidana bukan lagi merupakan penyimpangan asas, karena telah diatur dalam KUHP mereka, karena semua ketentuan perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar WvS Belanda yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 WvS Belanda, maka sebagai ketentuan umum berdasar Pasal 91 WvS Belanda (Pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.146 Perkembangan yang tidak diikuti oleh KUHP Indonesia ini 147 dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, memang perubahan tersebut telah diterima, akan tetapi karena sulitnya melakukan perubahan KUHP sehingga
146
Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 284. Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 9. Aturan mengenai korporasi justru terpencar pada perundang-undangan di luar KUHP. Hal tersebut disebabkan oleh: 147 1. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidananya. Hukum di sini telah berfungsi, baik sebagai social engineering maupun social control; 2. Kehidupan modern semakin kompleks sehingga di samping adanya peraturan hukum pidana berupa unifikasi yang tahan lama-KUHP-di perlukan pula peraturan pidana yang bersifat temporer. 147
Universitas Sumatera Utara
69
perubahan hanya dilakukan dalam perundang-undangan pidana khusus. Kedua, adalah mungkin memang secara umum belum dapat diterima di Indonesia badan hukum dianggap sebagai subjek hukum pidana dan atas hal-hal tertentu saja dimungkinkan penyimpangan itu.148 Di Indonesia dewasa ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung memang hanya terdapat dan berlaku terhadap beberapa perundangundangan khusus di luar KUHP, 149 yang pada tulisan ini diambil beberapa contoh perundang-undangan yang erat kaitannya dengan bidang perkebunan, antara lain: 1. Undang-Undang Penataan Ruang Ketentuan pasal 1 angka 33 UU No. 26 Tahun 2007 150 telah menyebutkan bahwa “orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi”. Pengaturan ini selanjutnya diikuti dengan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dapat dilakukan korporasi dalam pasal 74 yang berbunyi: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72. Pengaturan mengenai korporasi dalam UU No. 26 Tahun 2007 telah menunjukkan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun pengaturan ini belum secara eksplisit menjelaskan korporasi manakah yang dirujuknya
148
Loebby Loqman, op.cit, hlm 109. Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 60. Perundang-undangan di luar KUHP itu dinamakan perundang-undangan pidana khusus, yaitu semua perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan pidana. Sedangkan perundang-undangan pidana umum adalah KUHP dan semua perundang-undangan yang mengubah atau menambah KUHP. Lihat juga Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 5. 150 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725) 149
Universitas Sumatera Utara
70
sebagai subjek dalam Undang-Undang ini, apakah korporasi berbadan hukum atau bukan berbadan hukum. 2. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 33 UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” Selanjutnya pengaturan bahwa korporasi dapat dipidana diatur dalam pasal 116 ayat (1): Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Istilah korporasi tidak secara eksplisit digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2009, istilah yang dipergunakan adalah badan usaha, yang sesungguhnya mengacu pada istilah korporasi, sebagai suatu subjek yang dapat bertindak dan dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang dilakukannya. Korporasi atau dalam hal ini badan usaha pun dimaknai secara luas, yaitu berbadan hukum dan bukan berbadan hukum.
3. Undang-Undang Kehutanan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa: “setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau
Universitas Sumatera Utara
71
berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia”. Selanjutnya korporasi sebagai subjek tindak pidana juga dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 119 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: Pasal 109 (1) Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.
UU No. 18 Tahun 2013 telah secara eksplisit menegaskan bahwa korporasi merupakan suatu entitas yang dapat melakukan tindak pidana, dan dapat melakukan pertanggungjawaban pidana. Korporasi yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 22, yakni korporasi berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum. 4. Undang-Undang Tentang Perkebunan Sejalan dengan ketiga Undang-Undang yang telah diuraikan sebelumnya, UU No. 39 Tahun 2014 juga menyebutkan secara eksplisit bahwa: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” Aturan yang telah mengartikan korporasi dalam pemaknaannya secara luas ini, juga diikuti aturan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi yang tercantum dalam Pasal 113 ayat (1), yang berbunyi: Pasal 113 (1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104,
Universitas Sumatera Utara
72
Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut. Pengaturan ini berbeda dengan Undang-Undang Perkebunan sebelumnya, yakni UU No. 18 Tahun 2004 yang telah dicabut. UU No. 18 Tahun 2004 sama sekali tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung. Pada Pasal 1 Angka 4 memang telah dijelaskan bahwa “pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.” Kemudian yang dimaksud dengan perusahaan perkebunan dijelaskan pada Pasal 1 Angka 6 yang berbunyi: “Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.” Kedua pasal dalam UU 18 Tahun 2004 ini sebenarnya telah menerangkan bahwa sesungguhnya perusahaan atau yang dalam peraturan lain lazim disebut sebagai badan usaha merupakan subjek hukum di bidang perkebunan. Akan tetapi timbul kerancuan ketika bab mengenai ketentuan pidana justru memakai frasa “setiap orang” 151 yang mana tidak dijelaskan sama sekali dalam bab ketentuan umum tersebut mengenai siapakah yang dimaksud dengan “setiap orang” tersebut. Kemudian, apabila mencermati bab ketentuan pidana dalam UU No. 18 Tahun 2004, memang tidak ada menyebutkan sama sekali mengenai pertanggungjawaban
151
pidana oleh korporasi, sehingga dapatlah
Perhatikan Pasal 46-54 UU No. 18 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
73
disimpulkan bahwa UU No. 18 Tahun 2004 belum mengklasifikasikan korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Melalui perbandingan beberapa undang-undang khusus di atas, terlihat bahwa pengaturan tentang korporasi belum seragam. Nampaknya pembentuk Undang-Undang belum dapat menentukan sebuah defenisi konkrit mengenai korporasi sehingga dapat dijadikan acuan bagi aturan perundang-undangan secara umum. Perkembangan pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana tampak sudah mendunia dan telah dibuktikan, antara lain, dengan diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of Corporation di Athena pada tanggal 31 Juli - 6 Agustus 1994. Pada konferensi tersebut, misalnya Finlandia yang semula tidak megatur korporasi sebagai subjek hukum pidana tetapi dalam perkembangannya telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan. 152 Semakin kuatnya pendirian banyak negara untuk menetapkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dan kedudukannya yang tidak hanya di dalam hukum pidana khusus, membuat Indonesia mulai menerima pendirian demikian. Melalui Rancangan UndangUndang KUHP 2012, Indonesia telah mengatur tentang pengertian korporasi dalam ketentuan umum Buku I. Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut: 152
M. Arief Amrullah, Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Makalah disampaikan dalam Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan PUSHAM UII, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
74
Paragraf 6 Korporasi Pasal 47 Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Pasal 48 Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pasal 49 Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pasal 50 Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Pasal 51 Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Pasal 52 (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim. Pasal 53 Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.
Perubahan aturan-aturan hukum pidana nasional yang terlihat dalam RUU KUHP, dilakukan dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana nasional.153
153
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Draft Naskah Akademik Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Maret 2015), hlm. 2. Muladi dan Diah Sulistyanti sebagaimana dikutip dari Naskah Akademik RUU KUHP menyatakan bahwa pembaharuan dan pembangunan hukum pidana tidak dapat dilakukan secara ad-hoc (partial) tetapi harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik dalam bentuk rekodifikasi yang mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana
Universitas Sumatera Utara
75
Rancangan KUHP tahun 2012 ini menghapus keragu-raguan dan sekaligus menegaskan kedudukan subjek hukum korporasi dalam hukum pidana Indonesia.
C. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam usaha untuk mencapai keuntungannya, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, korporasi melakukan segala kegiatan usahanya dengan menganut hirarki organisasi. Perbuatan yang memang ditujukan untuk memberikan keuntungan dilakukan oleh mereka yang menduduki posisi tertentu. Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya perkembangan doktrin pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Doktrin ini digunakan untuk mencari cara bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui perbuatan pribadi atau pihak tertentu yang mempunyai hubungan dengan korporasi. Langkah
pertama
untuk
menerapkan
pertanggungjawaban
pidana
korporasi diambil oleh negara-negara Common Law seperti Inggris, Amerika Serikat dan Kanada, dikarenakan revolusi industri terlebih dahulu terjadi pada negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan semula untuk menghukum korporasi,154 pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh
(criminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan. 154 Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 24. Beberapa alasan keengganan tersebut yaitu: korporasi merupakan subjek hukum fiksi, dan menurut paham ultra vires (bersalah karena bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila melanggar Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya mens rea serta siapa yang harus dihadirkan ke persidangan secara pribadi.
Universitas Sumatera Utara
76
pengadilan Inggris dimulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal dalam menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.155 Beberapa kurun waktu, pengadilan Inggris memakai doktrin respondeat superior
atau
vicarious
liability,
dimana
tindakan
bawahan/subordinat
dilimpahkan kepada korporasi. Meskipun demikian, tanggung jawab eksplisit hanya digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran tertentu, dan kemudian digantikan oleh teori identifikasi (identification theory).156 Sistem hukum Anglo-Saxon telah menciptakan dua bentuk dasar untuk meminta
pertanggungjawaban
korporasi,
yaitu
vicarious
liability
dan
identification doctrine. Kedua bentuk ini berasal dari ranah hukum perdata yang diserap dalam hukum pidana, walaupun identification doctrine dibentuk melalui pemikiran hukum pidana. Walapun terdapat perbedaan yang mendasar dari keduanya, dalam hal esensi, struktur, dan untuk sebagian besar jangkauannya, kedua bentuk pertanggungjawaban ini ingin mengadaptasi dan mengimitasi bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan pada manusia kodrati. Akan tetapi perkembangan pemikiran manusia menimbulkan berbagai doktrin baru mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Vicarious Liability Lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious liability adalah 155 156
Ibid. Ibid., hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
77
suatu konsep pertanggungjawaban seorang atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya. (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment).157 Black‟s Law Dictionary mendefenisikan vicarious liability sebagai berikut: “Liability that a supervisor party (such as an employer) bear for the action are conduct of sub-ordinate or associate (such as an employee) because of the relationship between the two parties.”158 Dengan pengertian tersebut, doktrin ini pada dasarnya adalah untuk menjawab
pertanyaan,
apakah
terhadap
seseorang
dapat
dikenakan
pertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.159 Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diri pembuatnya terdapat unsur kesalahan, dengan vicarious liability diberikan pengecualian, di mana seorang lain bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.160 Pengecualian ini terjadi apabila ada hubungan kerja, sebagaimana dalam asas respondeat superior,161 dijelaskan sebagai bentuk adanya hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, dimana
157
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 33. 158 Black‟s Law Dictionary, dikutip dari Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119. 159 Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 301. Menurut Hasbullah, secara umum tidak dimungkinkan adanya permintaan pertanggungjawaban secara pidana kepada seseorang atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain karena sifatnya yang personal dan seseorang itu dipidana akibat dari kesalahannya sendiri dan bukan akibat kesalahan orang lain. 160 M. Arief Amrullah, op.cit, hlm. 18. 161 Lihat Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 37. Respondeat superior sebenarnya merupakan hasil pengadopsian dari prinsip yang ada dalam hukum perdata, yaitu perbuatan melawan hukum, di mana dikenal suatu prinsip bahwa majikan akan bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karyawannya.
Universitas Sumatera Utara
78
berlaku adagium yang berbunyi qui facit per alium facit per se (seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu). Dalam
perbuatan-perbuatan
perdata,
seorang
pemberi
kerja
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. 162 Hal ini memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum mereka untuk menggugat pemberi kerjanya agar membayar ganti rugi sepanjang dapat dibuktikan pertanggungjawabannya. 163 Rasionalitas penerapan doktrin ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi). Prinsip hubungan kerja yang dikenal dalam doktrin vicarious liability, disebut juga dengan prinsip delegasi.164 Prinsip delegasi terkait dengan mendelegasikan wewenang seseorang (korporasi) kepada bawahannya atau kuasanya yang bertindak untuk dan atas namanya, tetapi pemberi kuasa harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan penerima wewenang apabila ia melakukan tindak pidana, sekalipun dia tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh bawahannya itu. Hal ini patut untuk ditekankan bagi korporasi, sebagaimana pendapat Scalan dan Ryan menyatakan bahwa kebijakan hukum telah menentukan bahwa suatu pendelegasian tidak dapat menjadi alasan pemaaf bagi seorang pemberi kerja untuk tidak memikul pertanggungjawaban pidana 162
C. M. V. Clarkson dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119. Vicarious liability hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggung jawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. 163 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit,, hlm. 84. 164 Ibid., hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
79
semata-mata karena tindak pidana tersebut telah dilakukan oleh bawahannya yang telah menerima pelimpahan wewenang darinya. 165 Salah satu contoh penerapan teori vicarious liability adalah kasus Allen vs Whitehead:166 X adalah pemilik rumah makan yang pengelolaannya diserahkan kepada Y (sebagai manager). Berdasarkan peringatan polisi, X telah menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah makan itu, yang ternyata dilanggar Y. Dalam kasus itu, X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act, 1839, Pasal 44. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y (manager rumah makan). Dengan telah dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu pada manager, maka pengetahuan si manager merupakan pengetahuan dari si pemilik rumah makan.
Terdapat beberapa alasan mengapa doktrin vicarious liability dibutuhkan dimana pertanggungjawaban
pidana secara individual tidak dapat digunakan
sehingga terdapat tempat bagi korporasi untuk bertanggung jawab, antara lain: 167 a. Penerima kuasa seringkali tidak mempunyai aset yang mencukupi untuk membayar
kerugian
yang
timbul
akibat
suatu
kesalahan
dan
pertanggungjawaban pidana korporasi dapat membantu mengurangi masalah yang timbul dari kesalahannya. b. Pertanggungjawaban korporasi meningkatkan pencegahan jika penerima kuasa terbukti menempatkan aset korporasi dalam bahaya dan memaksa korporasi untuk menginternalisasi “biaya” sosial yang timbul akibat kesalahan tersebut. Jika korporasi yang menanggung biaya tersebut, maka korporasi telah 165
Lihat Mahrus Ali., op.cit, hlm. 120 Hamzah Hatrik, op.cit, hlm. 116-117. 167 V.S Khanna, “Corporate Liability Standards: When Should Corporations Be Held Criminally Liable?”, American Criminal Law Review, http://crawl.prod.proquest.com.s3. amazonaws.com/fpcache/c32f92d88d0cedd33b2058d54439f274.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJF 7V7KNV2KKY2NUQ&Expires=1464668037&Signature=drsWw3axPSjQgJB3D7mYeM0RTSU %3D, diakses pada tanggal 15 April 2016, hlm. 3 166
Universitas Sumatera Utara
80
meningkatkan motivasi untuk memonitor para penerima kuasa, mencegah mereka melakukan kesalahan. c. Jika penerima kuasa tidak terbukti melakukan kesalahan, maka mereka tidak dapat dikenai pertanggungjawaban lewat identification doctrine karena para penerima kuasa tidak dapat merespon pertanggungjawaban yang dibebankan kepadanya. Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Namun dapat disimpulkan berdasarkan uraian di atas, setidaknya terdapat dua syarat penting untuk menerapkan doktrin vicarious liability, yaitu: harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan pekerja, serta tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau massih dalam ruang lingkup pekerjaannya. 2. Identification doctrine Teori ini juga dikenal dengan istilah direct corporate criminal liability168 pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri.169 Sehingga apabila perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya tindak pidana atau kerugian, sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan tindak pidana 168
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80 & 105. Mahrus Ali dalam bukunya membedakan penjelasan mengenai identification doctrine dengan direct corporate criminal liability. Meskipun dalam penjelasannya, Mahrus Ali menyatakan bahwa corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan agen tertentu dalam suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Lihat hlm. 106. 169 Eric Colvin dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
81
yang dilakukan korporasi. Identification doctrine adalah doktrin yang menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orangorang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.170 Doktrin ini juga berpandangan bahwa korporasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Artinya, perbuatan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi . jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.171 Munculnya doktrin ini dilatarbelakangi oleh teori organ172, dikarenakan orang-orang yang identik dengan korporasi sangat bergantung kepada jenis dan struktur organisasi. Organisasi dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia. Korporasi sebagai sebuah organisasi memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu hanyalah karyawan dan agen yang tidak lebih dari tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin atau kehendak perusahaan.173
170
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 87. Dwidja Priyatno, op.cit, hlm 89. 172 Lihat Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 307. Dengan menggunakan teori organ, pengadilan bisa secara bijaksana menetapkan dan memperlakukan the state of mind of the senior officers of the company as being the state of mind of the company. 173 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 91. Bandingkan dengan tanggapan Hakim Denning sebagaimana dikutip dari Dwidja Priyatno, Ia memberi tanggapannya sebagai berikut: “A company may in many ways be likened to a human body. It has a brain and a nerve centre which can controls what it does. It also had hands which hold the tools and act in accordance with are mere servants and agents who are nothing more that hands to do the work and cannot be said represent 171
Universitas Sumatera Utara
82
Di sisi lain, direktur atau pejabat setingkatnya mewakili sikap batin yang mengarahkan, mewakili kehendak perusahaan dan mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin mereka merupakan sikap batin korporasi.174 Artinya, doktrin ini diharapkan dapat mendorong pertanggungjawaban pidana dari korporasi atas actus reus dan mens rea dari pejabat berwenang (controlling officers), tapi terbatas pada pejabat tersebut. Directing mind atau orang-orang yang identik dengan korporasi menurut Yedidia Z. Stern meliputi the general meeting, board of directors, managing directors, general manager, chief executive, and possibly individual directors, secretaries and shop managers.175 Namun timbul pertanyaan apakah jabatan tersebut dengan sendirinya akan bertanggung jawab setiap terjadi tindak pidana dalam lingkup korporasi? Untuk itulah, pendekatan menggunakan identification doctrine dalam menentukan directing mind korporasi harus dianalisis secara kontekstual.176 Sutan Remy Sjahdeini mengutip pendapat Little dan Savoline terkait dianutnya identification doctrine dalam putusan Mahkamah Agung Kanada dalam perkara Canadian Dredge and Dock vs The Queen177, yang menyatakan
the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing state of mind of these managers is the state of the mind of the company and is treated by the law as such.” 174 Eric Colvin, op.cit, hlm. 8-9. 175 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 106. Terkait dengan orang-orang yang identik dengan korporasi Yedidia Z. Stern mengungkapkan terdapat lima pendekatan untuk menentukan kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dianggap sebagai tindakan korporasi, yaitu: deskripsi yang samar, kriteria formal, pendekatan pragmatis, analisis hierarki, dan analisis fungsi. 176 Sutan Remy Sajhdeini, op.cit, hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing mind dari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus. 177 Ibid. Mahkamah Agung Kanada dalam perkara tersebut berpendapat bahwa directing mind dari suatu korporasi adalah “the ego”, “the „center‟”, dan/atau “the „vital organ‟” of corporation.
Universitas Sumatera Utara
83
bahwa telah muncul beberapa asas terkait identification doctrine dari putusan tersebut:178 a. Directing mind dari suatu korporasi tidak terbatas pada satu orang saja. Sejumlah pejabat (officer) dan direktur dapat merupakan directing mind dari korporasi tersebut. b. Geografi bukan merupakan faktor. Kenyataan bahwa suatu korporasi memiliki berbagai operasi (multiple operation) di berbagai lokasi geografis (memiliki berbagai kantor cabang) tidak akan mempengaruhi penentuan mengenai siapa orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab hanya karena dia melakukan operasinya dari suatu lokasi yang terpisah dari lokasi di mana tindak pidana itu terjadi. c. Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab dengan mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana itu telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum. d. Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana, orang tersebut harus memiliki kalbu yang salah atau niat yang jahat (have a guilty mind and/or criminal intent), yaitu yang dikenal dalam hukum pidana pidana sebagai mens rea. Dalam doktrin ini, pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut tidak dapat dipertnaggungjawabkan atas suatu tindak pidana apabila tindak pidana itu tidak disadarinya. e. Untuk menerapkan identification doctrine harus dapat ditunjukkan bahwa perbuatan dari personil yang menjadi directing mind korporasi itu termasuk dalam bidang kegiatan yang ditugaskan kepadanya, tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang bersangkutan, dan tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat bagi korporasi. f. Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis kontekstual (contextual analysis). Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan kasus per kasus (on a case by a case basis). Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak dengan sendirinya membuat dia bertanggung jawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan korporasi atau untuk dapat membuat keputusan-keputusan penting harus dilengkapi dengan melakukan analisis kontekstual tersebut.
3. Strict Liability
178
Ibid., hlm. 106.
Universitas Sumatera Utara
84
Doktrin strict liability mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada pelakunya. Strict liability ini merupakan konsep pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Dengan kata lain, konsep strict liability dirumuskan sebagai “that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at least one element of their actus reus” (suatu bentuk pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan).179 Roeslan Saleh menambahkan, dalam tindak pidana yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan) bukan mens rea (kesalahan).180 Konsep strict liability di negara-negara common law diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak, yakni tidak adanya persyaratan tentang kesalahan.181 Sejak pertengahan abad ke-19, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa kasus, yang sebagian besar berkaitan dengan resiko lingkungan182, dan keamanan/kesehatan makanan, perlindungan konsumen, di samping ketertiban umum, fitnah atau 179
Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 28. Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 21. 181 Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 298. 182 Ibid. 180
Universitas Sumatera Utara
85
pencemaran nama baik, dan contempt of court, serta pelanggaran lalu lintas.183 Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana kesejahteraan (public welfare offences) yang bersifat tindak pidana ringan yang diancam tindak pidana denda. Argumen ini dikemukakan pula oleh Muladi dan Dwidja Priyatno sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, yang menyatakan bahwa:184 “Penerapan doktrin “strict liability” dan “vicarious liability” hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran yang sifatnya ringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu lintas. Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum/masyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan, minuman, serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana korporasi dengan adagium res ipsa loquitur (fakta sudah berbicara sendiri).”
L. B. Curzon sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengatakan bahwa strict liability dianut dalam hukum pidana didasarkan atas tiga premis, yaitu:185 Pertama, sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Kedua, pembuktian adanya mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan. Doktrin strict liability ini terdapat dalam delik-delik yang diatur menurut undang-undang (statutory offences; regulatory offences, mala prohibita), yang pada umumnya merupakan delik kesejahteraan umum. Lord Pearce sebagaimana 183
Ibid. Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 83. 185 Hamzah Hatrik, op.cit, hlm. 13-14. 184
Universitas Sumatera Utara
86
dikutip dalam
Yusuf Shofie
menyatakan bahwa
banyak faktor
yang
melatarbelakangi pembentuk undang-undang menetapkan penggunaan strict liability dalam hukum pidana, seperti: karakteristik suatu tindak pidana, pemidanaan yang diancamkan, ketiadaan sanksi sosial, kerusakan tertentu yang ditimbulkan, cakupan aktivitas yang dilakukan, dan perumusan ayat-ayat tertentu dan konteksnya dalam suatu perundang-undangan.186 Selanjutnya mengutip pendapat Romli Atmasasmita, pembentuk undang-undang telah menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut:187 a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat; b. Ancaman hukumannya adalah ringan; c. Syarat adanya mens rea akan menghambat adanya tujuan perundangundangan; d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hakhak orang lain; e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak diperlukan.
Contoh kasus yang menerapkan strict liability sebagaimana dikutip dalam Hanafi adalah kasus Alphaceel Ltd Vs Woodward (1972):188 Suatu perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang tuduhan itu dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan, kelupaan, atau kesembronoan dari terdakwa. House of Lord menolak argumen terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.
186
Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 362-363. Keenam faktor tersebut menunjukkan betapa pentingnya perhatian publik (public concern) terhadap perilakuperilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability, agar keamanan masyarakat (public safety), lingkungan hidup (environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat (the economic interest of the public), termasuk perlindungan konsumen tetap terjaga. 187 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 78. 188 Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, 1997), hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
87
4. Management Failure Model Doktrin ini merupakan sebuah bentuk baru kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh korporasi (corporate manslaughter). The Law Comission Inggris189 berpendapat bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh korporasi terjadi apabila ada kesalahan oleh managemen korporasi yang menyebabkan kematian orang. Kejahatan ini diartikan sebagai suatu kesalahan dari managemen (kebalikan dari kesalahan korporasi), karena The Law Comission berpendapat bahwa orang-orang yang berada di dalam korporasilah yang melakukan kejahatan dan tindak pidana baru yang ada di Inggris, yaitu kelalaian yang menyebabkan kematian (killing by gross carelessness), tidak dapat diaplikasikan terhadap korporasi.190 Kejahatan ini sendiri tidak memperhatikan konsep mens rea yang berusahan menangkap kesalahan seseorang yang akan diartikan sebagai kesalahan korporasi. Sekilas doktrin ini mirip dengan identification doctrine, akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan signifikan dari kedua teori ini. Identification doctrine sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mencari kesalahan dari individu yang identik dengan korporasi atau beberapa orang yang mempunyai kendali atas korporasi, sedangkan management failure model mencari kesalahan managemen. Kesalahan managemen oleh The Law Comission didefenisikan sebagai kesalahan untuk tidak menjamin keselamatan di dalam managemen atau 189
Law Comission, http://lawcomission.justic.gov.uk/about-us.html, diakses pada hari Kamis, 28 April 2016. The Law Comission adalah lembaga non-departemen yang berada di bawah Kementerian Hukum Inggris yang bertugas untuk mengawasi jalannya hukum di Inggris, mengadakan penelitian yang akan digunakan sebagai rekomendassi bagi Parlemen Inggris, dan mengkodifikasi hukum Inggris agar mengurangi ketidaksesuaian antara hukum yang berlaku. 190 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam RUU KUHP, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
88
organisasi dari kegiatan korporasi (a failure to ensure safety in the management or organisation of the corporation‟s activities).191 Doktrin ini sesungguhnya berfokus pada struktur dari suatu korporasi dan aktivitasnya, bukan pada perbuatan individu dalam korporasi. Namun, penting untuk menjadi catatan, bahwa doktrin ini masih belum menjawab pertanyaan klasik, pejabat mana dalam struktur atau sistem manakah yang dapat disebut sebagai suatu korporasi.
5. Aggregation Doctrine Doktrin ini merupakan tanggapan terhadap doktrin identifikasi yang dianggap kurang dapat mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam banyak perusahaan modern.192 Oleh karena itulah disarankan beberapa metode alternatif untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana suatu korporasi, salah satunya adalah aggregation doctrine.193 Ajaran ini memungkinkan aggregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang untuk diatributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Tindak pidana yang dilakukan seseorang digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau dengan kata lain ia merupakan akumulasi kesalahan atau kelalaian yang merupakan sikap kalbu194 dari tiap-tiap pelaku. Ketika kesalahan-kesalahan tersebut, setelah
191
Ibid, hlm. 16. Mahrus Ali, op.cit, hlm. 125. Dalam berbagai kasus seringkali ditemukan bahwa aktivitas korporasi merupakan hasil dari usaha-usaha kolektif beberapa atau bahkan banyak agen. Dalam situasi ini, jelas tidak terdapat individu khusus yang bertanggung jawab secara penuh atas aktivitas tersebut, sehingga dapat ditarik menjadi kejahatan yang dilakukan korporasi, sebagaimana yang dianut dalam identification doctrine. 193 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 119. 194 Ibid., hlm. 37.Istilah “sikap kalbu” dipergunakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, dengan mengingat bahwa apa yang ada di dalam kalbu seseorang itu merupakan hasil dari proses cipta, rasa, dan karsa. 192
Universitas Sumatera Utara
89
dijumlahkan, ternyata memenuhi unsur yang dipersyaratkan dalam suatu mens rea, maka aggregation doctrine terpenuhi di sini.195 Ajaran ini menurut Clarkson dan Keiting memiliki keuntungan karena dalam banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan di mana dia bekerja. Ajaran ini dapat mencegah perusahaan-perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam struktur korporasi. Namun, ajaran ini mengabadikan personifikasi dari mitos perusahaan (prepetuates the personification of companies myth). Apabila dalam identification doctrine cukuplah untuk dapat menemukan hanya satu orang yang perbuatannya dapat diatributkan kepada perusahaan, maka dalam ajaran aggregasi diharuskan untuk menemukan beberapa orang yang aggregasi dari perbuatan mereka secara keseluruhan diatributkan sebagai perbuatan perusahaan. Dengan demikian, teori aggregasi ini sesungguhnya mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang salah mungkin saja bukan berupa penyatuan dari apa yang telah dilakukan oleh tiap-tiap orang, tetapi berupa fakta bahwa perusahaan tidak memiliki kebijakan untuk dapat mencegah seseorang dalam perusahaan itu untuk melakukan suatu perbuatan yang secara kumulatif merupakan suatu tindak pidana.196
195
Stephanie Earl dalam Mahrus Ali., op.cit, hlm. 126. C.M.V Clarkson dan HM. Keating sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 110. 196
Universitas Sumatera Utara
90
Ajaran ini diterima di Kanada, Amerika Serikat, dan Australia, namun ditolak di New Zealand dan di Inggris. 197 Kanada memasukkan prinsip-prinsip ajaran aggregasi ke dalam kitab undang-undang hukum pidananya khusus terkait dengan tanggung jawab pidana organisasi. Pasal 22.2 mengatur tentang bagaimana suatu korporasi dinyatakan sebagai pihak yang bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan.unsur-unsur delik dianggap terpenuhi apabila pengurus korporasi berada dalam lingkup kewenangannya, atau jika beberapa tindak pidana tersebut dilakukan dua atau lebih pengurus korporasi. Sedangkan unsur kesalahan dianggap terpenuhi apabila pejabat senior atau semua pejabat-pejabat senior tidak mencegah, dengan caracara yang masuk akal, tindakan bawahannya dari melakukan suatu perbuatan yang dilarang.198
6. Corporate Mens Rea Doctrine Seringkali dikemukakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana, korporasi tidak dapat berpikir, dan tidak memiliki niat. Hanya orangorang yang di dalam korporasilah yang dapat melakukan tindak pidana. Akan 197
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 127. The Law Comission Inggris menolak penggunaan teori aggregasi sebagai metode perluasan tanggung jawab pidana korporasi ketika membentuk undangundang pidana terkait pembunuhan yang tidak disengaja. Menurut Komisi Hukum Inggris ini, penerapan ajaran aggregasi sebagai perluasan dari teori identifikasi akan menimbulkan ketidakpuasan. Secara lebih rinci dijelaskan: “...it would be no more than a gloss on the identification principle, and would not obviate the need to conduct a detailed ivestigation into the conduct and state of mind of particular controlling officers; and it might well give rise to difficult (and perhaps insoluble) problems where different controlling officers knew or believed different things.” 198 Ibid., hlm. 217. Pengurus di sini dimaknai secara luas yaitu: director, partner, employee, member, agent or contractor of the organisation. Sedangkan pejabat senior yang dimaksud berdasarkan pasal 12.1 adalah orang-orang yang memiliki peranan penting dalam pengambilan kebijakan suatu korporasi atau orang-orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan aspek-aspek penting kegiatan korporasi.
Universitas Sumatera Utara
91
tetapi disaat seluruh pemikiran tentang personalitas adalah fiksi tetaplah merupakan suatu yang nyata dan fungsional, maka seakan tidak lagi ada alasan mengapa hukum tidak menciptakan suatu doktrin mengenai mens rea korporasi yang fiksi. Doktrin-doktrin yang telah diuraikan sebelumnya melibatkan hilangnya pertanggung jawaban fiksi dari korporasi (fictious imputations of responsibility).199 Corporate mens rea doctrine memiliki ide dasar bahwa doktrin lainnya tidak memperlihatkan realita dari kompleksnya organisasi korporasi serta dinamika dari proses, struktur, tujuan, kultur, dan hirarki dari organisasi, yang dikombinasikan dengan etos yang mendorong suatu kejahatan.200 Berdasarkan pandangan ini, korporasi dapat dianggap sebagai “culpability-bearing agents” yang “bertindak” melalui pekerjaannya dimana “mens rea” dapat ditemukan di dalam praktek dan kebijakan korporasi. Penolakan terhadap doktrin ini adalah kesulitan untuk menentukan apakah kebijakan dan praktek di dalam perusahaan cukup dianggap menyalahi untuk diputuskan bersalah dalam tingkatan yang vital. Selain itu kesulitan juga dialami jika tidak ada bentuk kesalahan sehingga mempersulit identifikasi dari kebijakan dan prakteknya dalam memenuhi unsur mens rea. 7. Spesific Corporate Offences The Law Comission di Inggris mengajukan sebuah bentuk kejahatan baru yaitu pembunuhan oleh korporasi atau corporate killing, yang diintrodusir lewat perundang-undangan di Inggris. Kejahatan ini menciptakan bentuk yang terpisah 199 200
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), op.cit, hlm. 16. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
92
dari manslaughter serta hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Berkaitan dengan penegasan akan pertanggungjawaban pidana korporasi. Jika argumentasi ini dapat dihubungkan dengan mens rea korporasi dan dapat diterima, tentu saja tidak dibutuhkan kejahatan khusus oleh korporasi. Argumen kuat mengapa doktrin ini dapat diterapkan adalah usulan Law Comission memiliki beberapa kekurangan yaitu timbul kemungkinan yang mengantarkan pada marginalisasi dari corporate manslaughter. Kejahatan ini tidak akan dianggap sebagai manslaughter yang serius dan kesalahan serta simbol dari peranan dalam kejahatan korporasi akan runtuh.201 Kelemahan doktrin ini adalah perbedaan struktur dalam kejahatan ini mengantar pada persepsi bahwa kejahatan oleh korporasi berbeda tipis dengan pelanggaran administratif, bahwa kejahatan korporasi tidaklah sejahat tindak pidana yang sebenarnya. 8. Reactive Corporate Fault Fisse and Braithwaite sebagaimana dikutip oleh Clarkson menciptakan sebuah bentuk baru dari doktrin pertanggungjawaban korporasi, yaitu reactive corporate fault. Doktrin ini menyatakan bahwa disaat actus reus dari suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan oleh dan atas nama korporasi, pengadilan sepatutnya memiliki dasar untuk meminta korporasi melakukan investigasi untuk mencari tahu siapakah individu yang bertanggung jawab dan melakukan tindakan penegakan disiplin terhadap individu tersebut serta melakukan koreksi atas kesalahan yang ia lakukan. Apabila korporasi melakukan koreksi maka korporasi tidak akan diminta pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban korporasi hanya
201
Ibid., hlm. 17
Universitas Sumatera Utara
93
dapat diminta jika korporasi gagal untuk memenuhi perintah pengadilan. Kelalaian korporasi adalah apabila korporasi gagal bertindak secara wajar sesuai permintaan pengadilan terhadap perbuatan salah satu pegawainya. 202 Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa keuntungan dari doktrin ini adalah doktrin “memaksa” korporasi untuk melakukan pemeriksaan, bukan pemerintah yang melakukan. Tidak hanya menghemat uang dan waktu, doktrin ini menjadikan korporasi mengerti dan bisa memasuki struktur dari organisasinya. Hal ini dilakukan sebagaimana tujuan utama dari doktrin ini, yaitu agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Sedangkan kelemahan dari doktrin ini adalah terdapat kemungkinan timbulnya perilaku manipulatif dalam perkara yang melibatkan pejabat tinggi/senior korporasi yang berpengaruh, dengan mengorbankan pegawai lainnya. Lalu penentuan bentuk hukuman apakah yang sesuai untuk mencegah terulangnya tindak pidana oleh pegawai korporasi? Bagaimana cara mengukur tindakan korektif dan sanksi disiplin seperti apa yang cukup untuk menghindari tanggung jawab pidana? Cukupkah teguran secara formal kepada seorang karyawan yang dibarengi dengan sirkulasi sebuah memorandum internal yang menasehati staf tentang sejumlah tindakan yang akan dilakukan di masa depan?203 Sederhananya, the reactive fault doctrine memiliki time frame yang seluruhnya keliru. Perbuatan salah adalah tindakan yang asli atau kelalaian yang menimbulkan kerugian. Kesalahan harus tetap dinilai dengan mengacu pada perbuatan atau kelalaian tersebut. Bukan hanya pada perbuatan atau kelalaian yang dilakukan dalam menanggulanginya. 202 203
Ibid., hlm. 12. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
94
9. Corporate Cultural Model Doktrin ini diterapkan di Australia, menggantikan konsep vicarious liability yang sebelumnya dianut hingga tahun 1995. Pertanggungjawaban pidana yang berbasis pada “budaya korporasi” (...to base corporate criminal liability on a test of the “corporate culture”), mengutip pendapat Alvi Syahrin diartikan sebagai tingkah laku, kebijakan, peraturan, maksud dari suatu langkah ataupun kegiatan yang terdapat dalam lingkungan perusahaan itu secara umum atau dalam bagian lain dari perusahaan tersebut dimana kegiatan yang relevan terjadi (...an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant activities take place).204 Dalam ajaran corporate cultural model ini, Alvi Syahrin menyatakan terdapat unsur-unsur yang harus dapat dibuktikan, antara lain:205 “suatu kebiasaan atau tingkah laku perusahaan yang memerintah, mendorong, mentoleransi ataupun membiarkan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan;” atau perusahaan tersebut gagal untuk mempertahankan suatu kegiatan yang sesuai dengan peraturan, perlu juga mengetahui bahwa dewan direktur “secara sengaja, mengetahui atau membiarkan terjadinya suatu tindakan atau secara terang-terangan atau diam-diam memerintah atau mengizinkan suatu tindakan yang melanggar aturan.”206
Dengan kata lain, menurut corporate culture model ini tidak perlu ditemukan orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang melanggar hukum itu untuk dapat
dipertanggungjawabkannya perbuatan orang itu kepada
204
Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 26. Ibid. 206 Ibid. Terkait dengan dewan direksi, dapat mengajukan pembelaan berdasarkan konsep due diligence (tindakan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab), jika orang tersebut telah membuktikan bahwa ia telah sejalan dengan due diligence tersebut guna menghindari atau memerintah atau memberi izin untuk terjadinya tindakan yang melanggar hukum tersebut. 205
Universitas Sumatera Utara
95
korporasi.207 Sebaliknya, pendekatan tersebut menentukan bahwa korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus bertanggung jawab karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab .208 Pasal 12.3 ayat (2) KUHP Australia 1995 menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi bila:209 a. Direksi korporasi dengan sengaja atau mengetahui, atau dengan sembrono telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut. b. Pejabat tinggi dari korporasi tersebut dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan sembrono telah terlibat dalam tindak pidana dimaksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut. c. Korporasi memiliki budaya kerja yang mengarahkan, mendorong, mentolerir, atau mengakibatkan tidak dipenuhinya ketentuan perundang-undangan d. Korporasi tidak membuat (memiliki) dan memelihara suatu budaya kerja yang mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
D. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Model pertanggungjawaban pidana korporasi ini pada dasarnya menurut hemat penulis mengikuti tahapan perkembangan korporasi yang telah diuraikan sebelumnya. Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana, terdiri atas beberapa jenis, yaitu:210
207
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 112. Hal ini dikarenakan apabila seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi yang berwenang telah memberikan wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut. 208 Ibid. 209 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 131. 210 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 86
Universitas Sumatera Utara
96
1. Pengurus Korporasi sebagai Pembuat dan Pengurus yang Bertanggung Jawab Secara Pidana Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Mengenai pengurus korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab, maka terhadap pengurus diberikan kewajiban-kewajiban yang sebenarnya adalah kewajiban korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu delik, tetapi selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. Pada sistem ini penyusun KUHP terlihat masih amat dipengaruhi asas “societas delinguere non potest” yaitu badan hukum tidak mungkin melakukan tindak pidana. bahwa subjek tindak pidana adalah orang (natuurlijk persoon). Ketentuan yang mengatur hal ini terdapat dalam KUHP, seperti pasal 169 KUHP, Pasal 398 KUHP dan 399 KUHP. Asas ini memang berlaku pada abad lalu dan sejalan dengan pendapatpendapat hukum pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan kemudian aliran modern dalam hukum pidana.211 Dalam Memori Penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diberlakukan pada tanggal 1 September 1886, dapat dibaca : “suatu tindak pidana hanya dilakukan oleh perorangan (natuurlijk persoon)”. Pemikiran fiksi (fictie) tentang sifat badan hukum tidak berlaku dalam hukum pidana.212 211 212
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 134. Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 53.
Universitas Sumatera Utara
97
Menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan menggunakan sistem ini dapat ditentukan beberapa ilustrasi, yaitu:213 a. Berkaitan dengan fungsi, yakni: perbuatan dilakukan atau diperintahkan oleh pelaku tindak pidana, akan tetapi perbuatan tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan pengurus, maka pengurus tidak berwenang mengambil keputusan yang mengikat untuk korporasi dalam melakukan tindak pidana. b. Pengurus atau pegawai korporasi yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan pengurus tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat korporasi dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan itu agar dilakukan oleh orang lain, namun tidak sesuai dengan tujuan dan maksud korporasi sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasarnya maka korporasi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. 2. Korporasi sebagai Pembuat Tindak Pidana dan Pengurus Korporasi yang Bertanggung Jawab Secara Pidana Dalam sistem ini korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi) akan tetapi tanggung jawab itu menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Sehingga apa yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat kelengkapan koporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi,
213
Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 52.
Universitas Sumatera Utara
98
pada pokoknya tindak pidana dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan badan hukum tersebut. Menetapkan korporasi sebagai pembuat, dapat dilakukan dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan pencapaian tujuan badan hukum. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah merupakan perbuatan seseorang sebagai pengurus badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk.214 Suatu perbuatan dipandang sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pegawai/pengurus dari korporasi yang memiliki kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan dari korporasi itu sendiri. Oleh karena itu dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.215 3. Korporasi sebagai Pembuat Tindak Pidana dan sebagai yang Bertanggung Jawab Secara Pidana. Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di samping manusia alamiah (natuurlijk persoon). Jadi, penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin “societas delinguere non potest” sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functional daderschaap).216 J. E Sahetapy menyatakan bahwa ciri khas konsep pelaku fungsional ini adalah perilaku fisik 214
Dwidja Prayitno, op.cit, hlm. 55 Setiyono, op.cit, hlm. 14. 216 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 135. Lihat juga Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November 1989, hlm. 5. 215
Universitas Sumatera Utara
99
dari pelaku yang satu, yang sebenarnya melakukan suatu tindak pidana, menghasilkan perilaku fungsional terhadap pelaku lainnya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa teori pelaku fungsional sesungguhnya erat hubungannya dengan karya interpretasi dari hakim. Suatu tindak pidana diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan. 217 Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa delik fungsional dapat diartikan bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi pembuat (korporasi) tidak perlu selalu melakukan perbuatan itu secara fisik, tapi bisa saja perbuatan itu dilakukan oleh pegawainya, asal saja perbuatan itu masih dalam ruang lingkup fungsi-fungsi dan kewenangan korporasi yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari korporasi tersebut.218 Jadi, jika pegawai tersebut melakukan suatu perbuatan yang dilarang hukum (tindak pidana) ataupun perbuatan yang tidak seharusnya menjadi fungsi atau kewenangan yang diberikan korporasi kepadanya, sesungguhnya perbuatan itu merupakan tindak pidana yang hakikatnya dilakukan oleh korporasi. Sistem ini memandang korporasi sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Alasannya adalah bahwa dengan memperhatikan perkembangan dari korporasi itu sendiri, yaitu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk beberapa delik tertentu, seperti ekonomi dan fiskal ditetapkannya pengurus saja yang dapat 217
J. E Sahetapy, op.cit, hlm. 37-38. M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 61. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa pencantuman maksud dan tujuan serta kegiatan usaha suatu perseroan dalam anggaran dasar memegang fungsi prinsipil (prinsiple function). Dikatakan memegang peran fungsi prinsipil karena pencantuman itu dalam anggaran daar merupakan landasan hukum (legal foundation) bagi pengurus perseroan, dalam hal ini direksi dalam menjalankan pengurusan dan pengelolaan kegiatan usaha perseroan sehingga pada setiap transaksi atau kontrak yang mereka lakukan tidak menyimpang atau keluar maupun melampaui dari maksud dan tujuan serta kegiatan yang ditentukan dalam anggaran dasar. 218
Universitas Sumatera Utara
100
dipidana ternyata tidak cukup untuk menghukum korporasi dengan sanksi kepada pengurus saja, karena hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus atas kerugian ditimbulkan dalam masyarakat dibandingkan keuntungan yang diperoleh korporasi, tidak akan seimbang. Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan korporasi
melakukan
kesalahan
yang
sama,
sehingga
diberlakukannya
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dianggap sebagai solusi ampuh untuk meminimalisir kejadian serupa. Sutan
Remy
Sjahdeini
menambahkan
satu
bentuk
sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi, sehingga menurutnyabentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang keempat adalah sebagai berikut:219 4. Pengurus dan Korporasi sebagai Pembuat Tindak Pidana dan Pengurus Bersama Korporasi yang Bertanggung jawab secara pidana Penjatuhan pidana kepada pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Oleh karena itu diperlukan pula untuk memidana korporasi dan pengurusnya. Alasanalasan pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi khususnya menyangkut pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pula yang bertanggung jawab, dapat diberlakukan terhadap keduanya:220 a. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian akibat perbuatan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan bagi korporasi; 219 220
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 59. Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 55-56.
Universitas Sumatera Utara
101
b. Apabila hanya korporasi yang dibebani pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurus tidak memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”; c. Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious liability; d. Segala perbuatan hukum dilakukan oleh manusia dalam menjalankan kepengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya hanya korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurusnya dibebaskan maupun sebaliknya. Sistem ini, menurut Hasbullah F. Sjawie menunjukkan bahwa tindak pidana korporasi mempunyai dua struktur pertanggungjawaban, yaitu dengan pembebanan pertanggungjawaban dan pemberian sanksi, baik kepada pengurus maupun kepada korporasi yang bersangkutan.221 Karena pada sistem ini tidak saja korporasi ditempatkan sebagai subjek hukum pidana (artinya bisa melakukan delik), tetapi padanya juga ada elemen mens rea, yang sebagai konsekuensinya, jika korporasi bersalah, dapat dipidana. Karena korporasi itu hanya bisa berbuat dengan “tangan” pihak lain, dalam hal ini pengurusnya, maka pengurus yang bersangkutan pun harus bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Lebih lanjut dalam korporasi haruslah dibedakan antara tanggung jawab pribadi dengan tanggung jawab fungsional. Pengurus korporasi tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya
secara
pribadi
selama
ia
menjalankan
wewenangnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik sesuai peraturan
221
Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm 273.
Universitas Sumatera Utara
102
perundang-undangan maupun sesuai dengan peraturan internal yang berlaku bagi korporasi
tersebut.
Menurut
pendapat
Elliot
pertanggungjawaban
korporasi
dibandingkan
dan
Quinn,
dengan
pentingnya
pertanggungjawaban
individual, adalah:222 a. Tanpa
pertanggungjawaban
pidana
korporasi,
perusahaan-perusahaan
(korporasi) bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan; b. Dalam beberapa delik, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut korporasi daripada para pegawai atau pengurusnya; c. Sebuah korporasi lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut; d. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan; e. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang illegal, seharusnya perusahaan perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja; f. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya baik secara langsung maupun tidak langsung, agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang illegal;
222
Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 54.
Universitas Sumatera Utara
103
g. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan (korporasi) itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan illegal.
Universitas Sumatera Utara