29
BAB II BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH KORPORASI
A. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana 1. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Subjek Hukum adalah pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan adanya akibat hukum dari perbuatan tersebut. Dalam hal ini subjek hukum dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan hukum yang dilakukan. Subjek hukum adalah setiap pembawa hak (recht, right) dan kewajiban (verplicht, obligation) dalam hukum 36. Asal mula korporasi sendiri masih jadi persoalan hingga sekarang, walau masyarakat sendiri sudah hidup dalam suatu kelompok (group), persoalan itu masih ada walau sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok dan telah dikenal kedudukan seorang individu dalam sebuah kelompok. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani dan masyarakat Romawi 37. Pada abad pertengahan ditandai dengan mulai menurunnya kekuasaan Romawi, perdaganganpun
36
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang & Keluarga, (Medan:USU Press,2011),Hal. 20. 37 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,(Bandung:Sekolah Tinggi Hukum Bandung,1991),Hal 22
29 Universitas Sumatera Utara
30
mulai suram karena pada masa itu orang tidak mungkin melakukan suatu perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan militer dan tertib social. Pada masa itu perkembangan korporasi di Eropa ditandai dengan adanya Dewan Gereja yang dipengaruhi oleh Hukum Romawi. Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap “the concept of thye
corporate
personality”
yakni
dalam
bentuk
“Kota
Praja”
yang
menyelenggarakan pemerintahan secara umum 38. Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya kompleks. Misalnya pada tahun 1599 dibentuklah “The English East India Company”. Kemudian sebelumnya dibentuk juga beberapa usaha dagang seperti di Rusia, dibentuk “The Muscovy Company” pada tahun 1555. Amerika pada tahun 1795 tepatnya di North Carolina didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan pada prinsip hukum yang berlaku pada waktu itu, dimana bergerak pada bidang penyelenggaraa kepentingan umum. Prancis sendiri baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi “Code de Commerce” pada tahun 1807. Nampaklah waktu yang berdekatan dan hubungannya sebagai suatu Negara yang dikuasai Prancis akan tercermin dalam W.v.K Nederland, yang sistem dan isi W.v.KNederland secara nyata mengacu pada “Code de Commerce” dan “Code de La Marine”.
38
Ibid Hal 23
Universitas Sumatera Utara
31
Pada permulaan abad ke XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin meluasnya perdagangan pelayaran ke Indonesia dimana banyak yang menanamkan modalnya pada perusahaan pelayaran dengan cara meminjamkan uang dengan sistem kepercayaan (toevertrouwen). Tahun 1602 terbentuklah VOC yang terdiri atas pengusaha-pengusaha dan pada saat inilah pertama kali terbentuk badan usaha yang mempunyai bentuk N.V yang disebut dengan “Societe Anonyme” yang diatur dalam Pasal 36 sampai Pasal 56 KUH Dagang 39. Kedua peraturan ini setelah Indonesia merdeka mengalami perubahan dan diadakan pembaharuan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia merdeka. Namun, pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang prinsipal kecuali lebih disederhanakan prosedur kerjanya dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1954 L.N. Nomor 6 Tahun 1954 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1955 L.N Tahun 1955. Perusahaan-perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian atau ikut serta dalam sebuah perusahaan terdapat pula dalam bentuk Perseroan Terbatas atau N.V. yang tunduk pada hukum perdata dan dagang, antara lain PT. Jakarta Loyd dengan Akta Notaris No. 81 Tahun 1851, PT.Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dengan Akta Notaris No. 92 Tahun 1952 dan lainnya. Akan tetapi perkembangan PT-PT sangat menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian-kerugian sehingga perlu diadakan reorganisasi Perusahaan Negara dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Prp Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, ditetapkan dengan
39
Ibid Hal 5
Universitas Sumatera Utara
32
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. Dalam pasal 1 menetapkan ada 3 bentu usaha Negara yakni: a. Perusahaan Jawatan (PERJAN) b. Perusahaan Umum (PERUM) c. Perusahaan Perseroan (PERSERO) 40 Korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah mulai luas dan mencakup bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemerintah dan perkembangan teknologi itu sendiri. Hal inilah yang membuat pengaturan korporasi terus berkembang. Terutama pengaturan hukumnya, harus terus berkembang karena perkembangan korporasi dari waktu ke waktu sifatnnya dinamis. 2. Perkembangan Dan Perubahan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Dalam
paham
konvensional,
subjek
hukum
meliputi
manusia
(natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya manusia yang mendapat posisi sebagai subjek hukum. Korporasi juga telah mendapat pengakuan sebagai salah satu subjek hukum. Jadi manusia dan badan hukum membawa hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum. Hak ialah wewenang yang didapat oleh subjek hukum umtuk melakukan atau tidak melakukan
40
Ibid Hal 8
Universitas Sumatera Utara
33
suatu perbuatan hukum. Kewajiban merupakan pembebanan yang diberikan hukum terhadap subjek hukum untuk melakukan sesuatu. Hukum perdata mengenal subjek hukum sebagai pembawa hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Status subjek hukum diperoleh manusia pada saat momentum ketika manusia itu dilahirkan (sudah merupakan kodrat) dan akan berakhir ketika meninggal dunia 41. Dalam KUHPerdata telah mengatur mengenai prinsip pengakuan manusia sebagai subjek hukum yakni Pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi; “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada”. Hal ini berarti bahwa hukum perdata mengakui keberadaan subjek hukum sekalipun subjek hukum itu belum lahir ke duni ini, apabila ada kepentingan khusus. 42
Subjek hukum badan hukum sendiri merupakan suatu lembaga yang dibuat oleh hukum serta mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum tersebut memiliki kekayaan yang terpisah dengan kekayaan anggotanya. Badan hukum hukum tersebut juga memiliki hak dan kewajiban yang terpisah pulak dengan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anggotanya. Objek hukum itu sendiri merupakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum. Perolehan objek hukum ini sendiri berasal dari hubungan hukum yang
41
Ibid Hal 20. KUH Perdata
42
Universitas Sumatera Utara
34
telah dilakukan terlebih dahulu oleh subjek hukum yang bersangkutan. Objek hukum juga dikenai hak dan kewajiban subjek hukum. Simons mencampur unsur objektif (perbuatan) dan unsur subjektif (pembuat). Yang disebut sebagai unsur objektif ialah: a. Perbuatan orang b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu c. Ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan seperti itu dalam Pasal 281 KUHP yang sifatnya “openbaar” atau “di muka umum” 43. Subjek Hukum Pidana Korporasi di Indonesia dikenal sejak tahun 1951, yakni ada pada Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang. Mulai dikenal secara luas sejak muncul Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1)), Pasal 49 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Sehingga demikian korporasi sebagai subyek hukum pidana hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk Hukum Pidana atau KUHP itu sendiri masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia (Pasal 59 KUHP). Dalam
perubahan
korporasi
menjadi
subyek
hukum
pidana masih
menimbulkan pertentangan. Adanya pro dan kontra dikarenakan ketidaksepahaman
43
Asep Supriadi, Kecelakaan Lalu Lintas Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia,(Bandung:PT.Alumni,2014),Hal.35
Universitas Sumatera Utara
35
tiap orang dalam memandang kedudukan korporasi itu sendiri. Adapun alasan pihak yang tidak setuju jika korporasi dijadikan sebagai subyek hukum pidana ialah 44: 1. Masalah kejahatan yang berhubungan dengan kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat dalam person alamiah. 2. Tingkah laku materiil yang adalah syarat dapat dilakukannya pidana beberapa delik, hanya dapat dilakukan oleh persona alamiah. 3. Pidana dan tindakan berupa perampasan kemerdekaan orang tidak dapat dikenakan pada korporasi. 4. Dalam kenyataannya tidak mudah menentukan normas dan dasar hukum untuk memutus apakah korporasi saja atau pengurus daja atau malah keduanya yang harus dituntut dan dipidana. Sedangkan pihak yang berpendapat setuju menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana menyatakan 45: a. Dalam perkembangan di kehidupan social dan ekonomi, korporasi semakin memainkan peran yang penting pula. b. Dipidananya pengurus ternyata tidak cukup untuk mengadakan repressi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh korporasi. c. Hukum pidana harus bisa melindungi masyarakat dan menegakkan norma yang berlaku. Jika hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak dapat tercapai. Maka tidak ada alasan untuk menentang menjatuhkan pidana pada korporasi. d. Pidana pada korporasi merupakan upaya agar pengurus yang tidak bersalah tidak serta merta harus bertanggungjawab atas perbuatan yang tidak sepenuhnya mereka lakukan 46. Namun, dalam kenyataannya sangat sulit menemukan kasus dimana dimuat korporasi dijatuhi pidana. namun kedudukan badan hukum atau korporasi sebagai subyek hukum pidana telah dimuat dalam suatu Putusan yakni Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor 136/Kr/1966 dalam perkara
44
Ibid Hal. 40-41 Ibid Hal. 42 46 Muladi dan Dwidja Priyatno, Opcit, Hal 32 45
Universitas Sumatera Utara
36
PT.Kosmo dan PT.Sinar Sahara, yang menyatakan bahwa “suatu badan hukum tidak dapat disita”. Menurut Prof. Muladi, pandangan Mahkamah Agung itu tepat, yakni kedua perusahaan itu memang tidak dapat disita karena keduanya bukanlah barang melainkan subyek hukum. Dengan kata lain Putusan Mahkamah Agung ini menegaskan bahwa badan hukum atau korporasi adalah subyek hukum dalam hukum pidana. Penulisan skripsi ini berhubungan erat dengan Lingkungan Hidup. UU Lingkungan hidup pun telah menempatkan korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana. Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “Orang adalah orang perorangan, dan.atau kelompok orang, dan/atau badan hukum. Maka dalam proses penyidikan, korporasi dapat diperikisa meliputi badan hukum itu sendiri, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lainnya”, Indonesia adalah negara yang telah mengalami proses modernisasi dengan melihat sejarah dan perkembangan kedudukan korporasi dalam sistem hukum yang berlaku. Hal ini memang sudah menjadi suatu keharusan. Glanville Williams dalam bukunya
“Textbook
of
Criminal
Law”
yang
menyatakan
bahwa
dapat
dipertanggungjawabkannya korporasi berdasarkan utilitarian theory, dan semata-mata
Universitas Sumatera Utara
37
bukan berdasarkan asas “theory of justice” tetapi adalah untuk pencegahan kejahatan 47. B. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ada beberapa teori tentang badan hukum. Teori tersebut diutarakan oleh Curzon, diantaranya: 1. Teori Fiksi Teori ini dikemukakan oleh Friedrich Carl Von Savigny yang mengatakan bahwa badan hukum itu adalah fiksi. Badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. a. Teori Harta Kekayaan Bertujuan A.Brinz mengatakan bahwa pemisahan harta kekayaan badan hukum dengan harta kekayaan anggota memiliki suatu tujuan tertentu. Dengan adanya pemisahan harta kekayaan ini, menjadikan badan hukum merupakan subjek hukum. b. Teori Organ Tokoh dari teori ini Otto Von Gierka yang menyatakan bahwa badan hukum sama saja dengan manusia sebagai subjek hukum. Hal ini dikarenakan badan hukum memiliki alat perlengkapan dan memiliki perantara untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dimana perantaranya berupa pengurus, komisaris, dan rapat anggota. 47
Ibid Hal 34
Universitas Sumatera Utara
38
c. Teori Kepemilikan bersama Bahwa badan hukum tidak lain merupakan perkumpulan manusia yang ada hak dan kewajiban anggota. Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum telah lama dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Konsep korporasi merupakan konsep dari stelsel hukum perdata. Konsep korporasi sendiri telah mencakup hampir semua bidang hukum. Jika berbicara dalam ranah administrasi negara, maka korporasi akan terkait dengan izin dari pendirian korporasi itu. Misalnya dalam stelsel hukum Indonesia sendiri, setiappendirian PT harus mendapat persetujuan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dimana syarat itu diberlakukan agar kelayakannya dapat dikontrol 48. Dalam hukum lingkungan, badan hukum diterima sebagai subjek hukum. Hal ini telah diatur secara yuridis dalam Pasal 38 dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jadi , selain ranah administrasi negara, hukum lingkungan juga menerima korporasi sebagai salah satu subjek hukum selain manusia. Selain Undang-Undang tersebut masih banyak lagi komponen peraturan perundang-undangan yang memuat korporasi sebagai subjek hukum yang diatur penggunaan hak dan kewajibannya, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh perangkat korporasi Korporasi merupakan subjek hukum dan dapat dikenai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini terjadi ketika sebuah korporasi 48
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang:Bayumedia, 2005), Hal. 8
Universitas Sumatera Utara
39
terbukti melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut kemudian menimbulkan akibat yang harus dipertanggungjawabkan oleh korporasi layaknya seorang manusia. Ketika korporasi melakukan perbuatan pidana yang mana mengakibatkan kerugian untuk masyarakat luas, maka korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana pula layaknya subjek hukum yang lainnya. Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana oleh korporasi yakni; 1. Doktrin Identifikasi Negara Anglo Saxon mengenal konsep direct corporate criminal liability atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Hal ini ada dalam rangka pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan delik secara langsung melalui orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh sebab itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Doktrin ini dikenal dengan istilah “The Identification doctrine” atau doktrin identifikasi. Suatu tindak pidana menurut “common law” atau “penal statute” yang tidak dapat diterapkan terhadap sebuah perusahaan. Contohnya tindak pidana yang memerlukan “mens rea”. Maka dikembangkan suatu sarana bagaimana mengaitkan pikiran ini sehingga perusahaan secara pidana bertanggungjawab dalam masalah tersebut. Perusahaan merupakan kesatuan buatan maka hanya dapat bertindak melalui
Universitas Sumatera Utara
40
agennya. Agen ini menurut Doktrin Identifikasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis perusahaan atau korporasi tersebut, maka “mens rea” para individu merupakan “mens rea” perusahaan tersebut 49. Perbuatan dan sikap batin orang tertentu dalam sebuah korporasi berhubungan dengan korporasi dan pengelolaan urusan korporasi. Orang-orang tertentu itu disebut sebagai “senior officers” dari perusahaan. Sehubungan dengan hal itu, secara spesifik Peter Gillies menyatakan; “More specifically, the criminal act and state of mind of the senior officer may be treated as being the company’s own act or state of mind, so as to create criminal liability in the company. The elements of an offence may be collected from the conduct and mental states of several of its senior officers, in appropriate circumstamces” 50 Adanya timbul kesalahan dari perbuatan/sikap batin pejabat senior merupakan perbuatan/sikap batin perusahaan juga. Terkait dengan hal itu, Michael Allen menyatakan bahwa korporasi hanya bertanggungjawab jika orang diidentifikasi dengan korporasi, bertindak dalam ruang lingkup jabatannya ; korporasi tidak akan bertanggungjawab atas perbuatan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang itu dalam kapasitas pribadinya. Doktrin pertanggungjawaban langsung ini (direct liability doctrin) dapat menuntut korporasi dalam kebanyakan delik. Pada sisi lain, doktrin ini membatasi
49
Dwidja Priyatno, Op.Cit. Hal 89 Ibid Hal 90
50
Universitas Sumatera Utara
41
pertanggungjawaban korporasi apabila kesalahan tersebut dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai status sebagai pejabat senior. Hal ini terkecuali jika UndangUndang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain. Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam situasi yang ditetapkan oleh Undang-Undang secara tegas dan implisit. Pejabat senior dipandang mewakili perusahaan untuk tujuan dari doktrin “the direct liability”, hanya saat perbuatan dilakukan dalam ruang lingkup kewenangan yakni kapasitas ebagai manajer atau pengendali perusahaan. Keadaan jiwa dari pejabat senior dapat dilibatkan pada perusahaan, bukan hanya untuk memperberat tapi juga untuk melepaskan perusahaan dari pertanggungjawaban pidana. 2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) Pertanggungjawaban pidana korporasi mengenal sistem pertanggungjawaban pidana pengganti, yakni pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi namun bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Peter Gillies mengemukakan pendapat yang berhubungan dengan doktrin “vicarious liability” yang dimuat dalam bukunya yang berjudul “Criminal Law” yakni: “According to the doctrine of vicarious liability in the criminal law, a person may incur liability by virtue of the attribution to her or him of responsibility for the act, or state of mind, or both the act and state of mind of another person; an offence, or element in an offence, commited by another person: such liability is almost wholly confined to statutory offences, and the basis for its imposition is the (presumed) intention of the legislature, as gleaned from a reading of the enacting provision in question, that this offence should be able to be commited vicariously as well as directly. In other words,
Universitas Sumatera Utara
42
not all offences may be commited vicariously. The courts have evolved a number of principles of specialist application in this context. One of them is the scope of employment principle” Vicarious
Liability
menurut
Barda
Nawawi
Arief,
diartikan
“pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another)51. Maka dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dan dasarnya adalah delik dapat dilakukan baik secara vicarious maupun langsung. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain? Common Law mempunyai ketentuan umum bahwa seseorang tidak dapat mempertanggungjawabkan secara vicarious tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini juga dianut dalam sistem hukum Indonesia. Jadi jika seseorang melakukan kesalahan, tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam hal pertanggungjawabannya. Berbeda dengan Statute Law, sistem ini menganut vicarious liability dalam beberapa hal diantaranya seorang mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain apabila telah mendelegasikannya. Kemudian, seorang majikan yang mempertanggungjawabkan pekerjaan pelayannya apabila dipandang perbuatan itu adalah perbuatan majikan.
51
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia,(Bandung:CV.Utomo,2004), Hal. 100
Universitas Sumatera Utara
43
Ajaran Vicarious Liability menyiratkan bahwa seseorang dimungkinkan untuk bertanggungjawab tehadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada sebuah korporasi, maka korporasi tersebut dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, mandatarisnya atau siapapun yang bertanggungjawab terhadap korporasi tersebut. Apapun yang dilakukan seorang manager atau majikan melalui agennya, maka hal ini sama saja dengan dia melakukan sendiri perbuatan itu. Dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen atapun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan dan pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan 52 Sebagai Ius Constituendum, doktrin pertanggungjawaban vicarious liability sudah ditampung dalam Rancangan KUHP 1999-2000 pada Pasal 32 Ayat 2 yang berbunyi: “Dalam hal tertentu, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undangundang” 53. Doktrin ini telah dipraktikkan dalam hukum lingkungan hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 116 ayat (2) UUPPLH yang mengandung prinsip vicarious liability. Berdasarkan prinsip ini juga, pimpinan korporasi atau siapapun yang memberi tugas bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya. Meskipun demikian, doktrin ini memiliki kelemahan yakni doktrin ini gagal
52
Asep Supriadi, Op.cit Hal. 92 Ibid Hal. 105
53
Universitas Sumatera Utara
44
memberikan penyelesaian yang komprehensif terhadap isu pembebanan tanggung jawab pidana terhadap badan hukum. 3. Doktrin Pertanggungjawaban Yang Ketat Menurut Undang-Undang (Strict Liability) Teori ini disebut juga teori pertanggungjawaban mutlak (absolute liability). Strict Liability merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada korporasi tersebut. Suatu pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana tertentu, tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsure kesalahan. Sutan Remi Sjahdeni berpendapat bahwa: “Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindaktindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan.Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. tindak-tindak pidana yang demikian itu juga disebut offences of strict liability atau yang sering disebut juga sebagai offences of absolute prohibition” Prinsip tanggungjawab berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan (liability on fault or negligence atau fault liability) adalah reaksi terhadap prinsip atau teori tanggung jawab mutlak yang berlaku di masyarakat primitif. Dalam sistem hukum primitif, tujuan hukum yang utama adalah adanya kerukunan dan keamanan dan menetapkan bahwa orang yang menderita kerugian karena orang lain harus medapat
Universitas Sumatera Utara
45
kompensasi tanpa melihat motivasi orang yang melakukan perbuatan itu. Jadi teori pertanggungjawaban mutlak lebih menitikberatkan pada unsur “penyebabnya” daripada “kesalahannya”. Namun, hukum mulai menaruh perhatian yang besar pada hal-hal yang bersifat pemberian maaf. Maka prinsip tanggung jawab mutlak sebagai hukuman yang diperlukan untuk menghindarkan perbuatan balas dendam berubah menjadi tanggung jawab yang didasarkan atas adanya unsur “kesalahan”E.Sefullah Wiradipradja berpendapat tentang masalah prinsip pertanggungjawaban mutlak ialah: “Prinsip tanggungjawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan ‘absolute liability’ atau ‘strict liability’. Dengan ‘prinsip pertanggungjawab mutlak’ dimaksudkan tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggungjawab yang memandang ‘kesalahan’ sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak” 54 Pada dasarnya antara strict liability dengan vicarious liabilitymemiliki persamaan yakni keduanya tidak mensyaratkan adanya “mens rea” atau adanya unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaan keduanya ada pada bentuk pertanggungjawaban pidananya , dimana pertanggungjawaban strict liability langsung pada orangnya tapi vicarious liability bersifat tidak langsung.
54
Ibid Hal. 107
Universitas Sumatera Utara
46
C. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi Pertanggungjawaban pidana memiliki dua pandangan yang berbeda yakni pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis dikemukakan oleh Simons yang merumuskan “strafbaar feit” sebagai “eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya) 55. Tidak semua manusia dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap sebuah perbuatan hukum. Orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban ialah orang yang mana telah dianggap cakap menurut hukum. Cakap bertindak dalam hukum dikenal dengan istilah rechtsbekwaamheid. Istilah kecakapan ini ada dimuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata angka 2. Namun tidak diuraikan secara jelas maksud dari kecakapan ini. Pada dasarnya setiap orang cakap dalam melakukan perbuatan hukum kecuali jika undang-undang yang menyatakan tidak cakap 56. Pihak-pihak yang dinyatakan tidak cakap oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum adalah : 1. Orang yang masih di bawah umur (belum berumur 21 tahun) 2. Orang yang berada di bawah pengampuan (curatele), tidak sehat pikirannya.
55 56
Muladi dan Dwidja Priyatno Op.cit Hal 50 Tan Kamello, Op.cit, Hal 22.
Universitas Sumatera Utara
47
3. Perempuan yang dalam pernikahan (wanita kawin) 57. Tampak ada pembedaan untuk orang-orang tertentu yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dikarenakan subjek hukum tersebut masuk dalam kategori dalam orang yang dipandang tidak cakap hukum. Telah diuraikan sebelumnya bahwa selain manusia, ada juga badan hukum yang dipandang juga sebagai salah satu subjek hukum. Hukum memberi status persoon kepada badan hukum untuk mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia. Namun, walaupun manusia dan badan hukum samasama subjek hukum tapi keduanya tetap memiliki perbedaan. Perbedaannya diantaranya ialah manusia dapat melakukan perkawinan yang merupakan salah satu perbuatan hukum sedangkan badan usaha tidak dapat melakukan perkawinan. Badan hukum bertindak dengan perantaraan yakni pengurusa dari badan hukum itu sendiri. Hal ini dikarenakan sifat badan hukum merupakan benda mati yang dijalankan oleh manusia sebagai penggerak badan hukum itu, sedangkan manusia dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum tanpa melalui perantaraan 58. Pengurus sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, maka kepada pengurus korporasilah dibebankan kewajiban dari korporasi. Kewajiban yang dibebankan ini sebenarnya kewajiban korporasi. Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab atas 57
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta:Penerbit Rineka Cipta, 2011), Hal 100. 58 Ibid Hal. 100
Universitas Sumatera Utara
48
perbuatan yang dilakukan oleh korporasi. Apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang pengurus dan berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum itu. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik-delik tertentu, dipidananya pengurus saja tidak memberi jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sama sekali melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh Undang-Undang tersebut. Tapi setidaknya ketika korporasi dikenakan pertanggungjawaban, dapat berefek sekaligus pada orang-orang yang menjalankan kegiatan korporasi tersebut. Terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup, korporasi telah dimuat menjadi salah satu subjek hukum. Terkait dengan status itu, korporasi dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Hal ini telah termuat dalam ketentuan pidana Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No 32 Tahun 2009). Dalam konsep corporate culture ini terdapat unsur yang harus dibuktikan yakni:”suatu kebiasaan atau tingkah laku perusahaan yang memerintah, mendorong,mentoleransi ataupun membiarkan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan:”. Perusahaan tersebut gagal mempertahankan suatu kegiatan yang
Universitas Sumatera Utara
49
sesuai dengan peraturan, perlu juga mengetahui bahwa dewan direktur itu”secara sengaja, mengetahui atau membiarkan terjadinya suatu tindakan” 59. Barda Nawawi Arief menyatakan untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas dulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Biasanya menyangkut masalah subyek hukum pidana pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang tindak pidana yang bersangkutan. Namun, faktanya memastikan siapa pembuat adalah tidak mudah. Setelah ditentukan, maka selanjutnya ialah bagaimana pertanggungjawabannya 60. Pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam kasus lingkungan hidup diatur dalam pasal 46 UUPLH. Pasal ini menetapkan bahwa “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalanm Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud Pasal 47 UUPLH dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau terhadap kedua-duanya”. Pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat didasarkan kepada:
59
Alvi Syahrin, Beberapa Isi Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta:PT.Sofmedia,2009), Hal.26 60 Muladi dan Dwidja Prayitno,Op.cit,Hal 66-67
Universitas Sumatera Utara
50
1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antar kepentingan pribadi dan social 2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945 3. Untuk memberantas anomie of success 4. Untuk perlindungan konsumen 5. Untuk kemajuan teknologi 61
D. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi Menurut Sistem Hukum Indonesia 1. Menurut KUHP Menurut sistem KUHP, Korporasi sebagai subyek hukum dalam hukum pidana belum ditemui. Padahal negeri Belanda sendiri sudah memuatnya sejak Tahun 1976, hal ini termuat dalam Buku I KUHP tentang ketentuan umum. Sedangkan di Indonesia sendiri masih menganut bahwa perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh orang atau manusia pribadi (Pasal 59 KUHP). KUHP juga memuat pasal lain yang tampaknya juga menyangkut tentang korporasi sebagai subyek hukum, namun disini yang diancam pidana adalah orang, bukan korporasinya 62. Hal ini kita lihat dalam Pasal 169 KUHP tentang turut serta 61
Alvi Syahrin, Op.cit Hal 39 Sudarto,Hukum Pidana I,(Semarang:Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah,FH UNDIPurus,1987),Hal.61 62
Universitas Sumatera Utara
51
dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang pengurus atau komisaris perseroan terbatas.Menurut Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI yang disusun oleh Sistem Engelbrecht, ada 19 Peraturan Perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Dari 19 peraturan perundangundangan itu, ada dua kategori peraturan yang menyangkut tanggungjawab korporasi dalam pidana yakni 63: 1. Peraturan perundang-undangan yang mengakui korporasi dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi pertanggungjawaban pidananya dibebankan terhadap anggota atau pengurus. Berdasarkan isi rumusan peratura perundang-undangan menurut kategori ini adalah korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana hanya saja yang dapat dipertanggungjawabkan
secara
pidana
adalah
pengurus,
atau
pemimpin dari korporasi, atau yang bertindak berdasarkan kuasa dari korporasi, sehingga tampak bahwa pelimpahan tanggungjawab yang dibebankan pada pengurus dari korporasi dengan mengabaika apakah yang bersangkutan mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. 2. Kategori kedua ini menganut bahwa dalam peraturan perundangundangan
mengakui
secara
tegas
korporasi
dapat
dipertanggungjawabkan secara langsung. Bila dihubungkan dengan
63
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit, Hal. 43
Universitas Sumatera Utara
52
tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka kategori ini masuk dalam tahap ketiga yakni korporasi sebagai pembuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana 64. Penetapan dan tempat korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, dalam peraturanb perundang-undangan di Indonesia, ditempatkan di luar KUH Pidana. Apabila melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yakni hukumnya sendiri, ternyata kebijakan legislasi ditempuh sebagai kebijakan factual dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia melalui peraturan diluar KUHP yakni 65: 01. Undang-Undaang No. 9 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi 02. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 03. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 04. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Indonesia (sekarang Undang-Undang No. 32 Tahun 2009) 05. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 06. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
64
Ibid Hal 43 - 49 Dwidja Prayitno, Op.cit Hal.22
65
Universitas Sumatera Utara
53
07. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pasal 103 KUHP menganut adagium “lex specialis derogate lex generali” artinya undang-undang khusus dapat mengesampingkan ketentuan umum 66. Apabila dikaitkan dengan kedudukan korporasi sebagai subyek hukum maka hal ini tidak ada diatur dalam KUHP. KUHP itu sendiri merupakan hukum pidana umum. Berdasarkan ketentuan pasal 103 KUHP tersebut, jika KUHP tidak mengatur kedudukan korporasi sebagai subyek hukum, maka yang berlaku adalah ketentuan perundang-undangan khusus di luar KUHP. Pasal 44 Rancangan KUHP 1999-2000 menyatakan: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana” 67. Berdasarkan ketentuan itu, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana, yang artinya adalah dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan
yang
telah
pertanggungjawaban
dilakukan.
pidana
dari
Kedudukan korporasi
sebagai
yang
pembuat
dikenal
dan
sebagai
sifat Model
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, memiliki beberapa kemungkinan yakni: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dank arena itu penguruslah yang bertanggungjawab 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab
66 67
Moeljatno,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,(Jakarta:Bumi Aksara, 1999),Hal 40 Rancangan KUHP 1999-2000
Universitas Sumatera Utara
54
Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya saja 68.Dalam hal penguruskorporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada korporasi diberikan kewajiban-kewajiban tertentu. Sebenarnya kewajiban yang dibebankan itu adalah kewajiban korporasi. Dasar pemikirannya
adalah
sebagai
berikut:
korporasi
itu
sendiri
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran melainkan pengurus lah yang melakukan delik itu. Karenanya penguruslah yang diancam pidana serta dipidana. Ketentuannya ada pada Pasal 169 KUHP , Pasal 398 dan 399 KUHP. Tindak pidana dalam pasal 169 KUHP adalah tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum (Bab V Buku II KUHP) yakni turut serta dalam perkumpulan terlarang. Apabila dilakukan oleh pengurus korporasi maka aka nada pemberatan. Sedangkan Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggungjawab pidan pada korporasi tapi pada pengurusnya. Ketentuan-ketentuan dalam KUHP jelas menganut subyek dalam hukum pidana adalah orang. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 KUHP. Bila dihubungkan dengan tahap perkembangan korporasi maka ini merupakan tahap pertama. Hal ini karena pertanggungjawaban pidana korporasi belum dikenal luas. Ditambah lagi kuatnya asas “societas non potest” yakni badan
68
Penjelasan Pasal 46 Rancangan KUHP 1999-2000
Universitas Sumatera Utara
55
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas “universitas delinquere non potest” yakni badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana. 2. Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup Kesadaran lingkungan hidup global ditandai dengan adanya Konfrensi PBB Tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 1972. Indonesia sebagai salah satu dari 113 negara peserta Konfrensi Stockholm 1972. Sebagai Negara peserta konfrensi, Indonesia harus menyiapkan “Laporan Nasional” tentang keadaan lingkungan hidup di Indonesia. Kemudian, pada masa itu Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup melakukan Pembentukan Kelompok Kerja dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup. Kelompok ini kemudian menghasilkan suatu rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tanggal 11 Maret 1982 Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menyetujui Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ini merupakan sumber formal pertama bagi lahirnya hukum lingkungan nasional modern di Indonesia.Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para pemerhati lingkungan hidup dipandang sebagai instrument kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Para pengambil kebijakan pemerintah, khususnya di lingkungan Kantor Menteri Negara
Universitas Sumatera Utara
56
Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan bahwa gagalnya kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dikarenakan kelemahan penegakan hukum UULH 1982. Oleh sebab itu UULH 1982 perlu “disempurnakan” 69. Tanggal 19 September 1997, pemerintah mengundangkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini memuat konsep atau hal yang sebelumnya tidak diatur dalam UULH 1982. Misalnya di bidang hak masyarakat, bidang instrument pengelolaan lingkungan, bidang audit lingkungan, bidang penyelesaian sengketa. Bidang sanksi pidana, UULH 1997 memberlakukan delik formal di samping materiil dan delik korporasi. Perkembangan selanjutnya adalah Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No. 140) Terkait dengan tindak pidana yang marak dilakukan oleh korporasi dalam bidang lingkungan hidup, maka akan kita bahas juga bagaimana UUPPLH ini mengatur
pertanggungjawaban
pidana
sebuah
korporasi.
Dalam
UUPPLH
pertanggungjawaban badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Pasal 116 UUPPLH memuat krireria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa saja yang bertanggungjawab. Jika ditilik rumusan pasal 116 UUPPLH, pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam suatu kondisi yakni:
69
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2015),Hal 41
Universitas Sumatera Utara
57
(1) Tindak pidana lingkungan hidup dilakukian oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau (2) Oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekierja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan kerja. Konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118 UUPPLH. Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu: 1. Badan Usaha itu sendiri 2. Orang yang memberi perintah atau byang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana 3. Pengurus atau pimpinan badan usaha. Jika badan usaha terbukti melakukan tindak pidana lingkungan, jenis hukuman terhadap badan usaha itu ada dalam Pasal 119 UUPPLH yaitu: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana b. Penutupanb seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan
Universitas Sumatera Utara
58
c. Perbaikan akibat tindak pidana d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. 70
70
Ibid Hal 253-257
Universitas Sumatera Utara