LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP
O L E H
PUTERI HIKMAWATI
PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2016
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. Pendahuluan Seiring dengan berkembangnya tindak pidana terorganisasi, baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi harus juga mencakup korporasi. Hal ini karena korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation). Undang-Undang (UU) Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi merupakan UU pertama yang memuat “korporasi” sebagai subjek tindak pidana, dengan sebutan badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan. Setelah itu diikuti dengan berbagai undang-undang lainnya, sehingga sekarang banyak peraturan di luar KUHP, yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Walaupun telah banyak diatur dalam UU, penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana menimbulkan pro dan kontra. Pendapat yang pro mengatakan tidak layak bila korporasi mendapat keuntungan namun tidak diberi sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya; dan tidak adil bila hanya pegawai atau pengurus saja yang dapat dikenakan pidana. Sedangkan pendapat yang kontra mengatakan korporasi tidak mungkin memiliki “kehendak”; dan tujuan pemidanaan tidak akan pernah dicapai terhadap korporasi (rehabilitasi, pencegahan, dan lain-lain). Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2015 (RUU KUHP), yang merupakan RUU Usul Pemerintah, saat ini sedang dibahas oleh Panja Komisi 3 DPR RI bersama dengan Pemerintah. Salah satu hal baru yang diatur dalam RUU tersebut, terkait dengan korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Dengan dimuatnya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader). Permasalahan muncul sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari korporasi, karena asas utama dari pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan (schuld) pada pelaku, sehingga bagaimana harus mengkonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi, serta bagaimana pertanggungjawaban pidana dan unsur kesalahan pada korporasi. Walaupun karya tulis ilmiah terkait pertanggungjawaban pidana korporasi sudah banyak ditulis, namun ada perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian ini mengkaji pembaharuan hukum pidana mengenai pengaturan pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam RUU KUHP, dengan melihat pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perundang-undangan saat ini dan penegakan hukumnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana pembaharuan hukum pidana mengenai pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RUU KUHP. Dari permasalahan itu, pertanyaan penelitian yang akan diajukan adalah: 1. Bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU dan bagaimana penegakan hukumnya? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi sebaiknya diatur dalam RUU KUHP. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji: 1. pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU dan penegakan hukumnya, dan 2. pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi sebaiknya dalam RUU KUHP. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
dapat memperkuat khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi DPR RI dalam melakukan pembahasan RUU KUHP terkait pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan pertanggungjawabannya. B. Metodologi Penelitian
tentang
“Pembaharuan
Hukum
Pidana:
Pertanggungjawaban Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU KUHP” merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yang dimaksudkan adalah penelitian terhadap sistematika hukum. Sedangkan penelitian yuridis empiris yang dimaksudkan adalah penelitian terhadap efektivitas hukum, yaitu penelitian yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat. Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya. Untuk itu dilakukan studi kepustakaan dan wawancara terhadap narasumber atau informan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disiapkan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dimaksudkan terdiri atas bahan hukum primer (primary sources) berupa undang-undang yang memuat pertanggungjawaban pidana korporasi, dan bahan hukum sekunder (secondary sources) berupa ulasan atau komentar para pakar yang terdapat dalam buku dan jurnal, termasuk yang dapat diakses melalui internet. Sedangkan data primer berkaitan dengan data/informasi mengenai pengaturan atau penegakan hukum terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana. Dalam rangka itu, maka wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang berkompeten, yaitu aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), akademisi yang memiliki
kompetensi
dalam masalah hukum pidana,
dan
lembaga bantuan
hukum/advokat. Selain itu, pengumpulan data secara langsung, dilaksanakan dengan melakukan focus group discussion (FGD). Penelitian ini dilakukan sejak bulan Februari sampai dengan November 2016. Penelitian ke daerah dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara (25 April - 4 Mei 2016) dan Jawa Timur (8 – 17 Agustus 2016). Adapun instansi/narasumber yang dikunjungi untuk diwawancara adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan akademisi/pakar hukum pidana. C. Hasil Penelitian Korporasi menjadi subjek tindak pidana telah ditetapkan sejak UU Drt No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi.
Saat
ini
lebih
dari
60
UU
yang
mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi. Beberapa UU tersebut antara lain UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1984; UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos yang menggantikan UU No. 6 Tahun 1984; UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004; UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992; UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan UU No. 22 Tahun 1997; UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menggantikan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat; UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999; UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; UU
No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana; UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang; UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Walaupun telah banyak UU di luar KUHP yang menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana, namun hanya sedikit aparat penegak hukum yang menetapkan korporasi sebagai tersangka pelaku tindak pidana. Hal ini disebabkan karena aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam menjerat korporasi. Salah satu penyebabnya adalah kurang lengkapnya ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum dalam undang-undang terkait. Selain itu, penyidik mengalami kesulitan untuk mencari bukti dan menentukan identitas pelaku korporasi. Penyebab lainnya, KUHP masih menetapkan manusia sebagai subjek hukum, yang tercermin dari unsur “barangsiapa” dalam berbagai rumusan deliknya. Tak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam KUHP, mengakibatkan ketika terjadi kejahatan yang berkait badan hukum atau korporasi maka hanya orang perorangan dari korporasi itulah yang dimintai pertanggungjawaban pidananya. Mengingat kemajuan di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi harus juga mencakup korporasi. Hal ini karena korporasi dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation). Berdasarkan hal tersebut, korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum
dianggap
mampu
dipertanggungjawabkan responsibility).
melakukan
dalam
hukum
tindak
pidana
dan
pidana
(corporate
dapat criminal
Dalam RUU KUHP korporasi menjadi salah satu subjek tindak pidana, diatur dalam Buku I. Pasal 49 RUU KUHP menyebutkan “tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.” Dalam pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam RUU KUHP terdapat beberapa kelemahan. Dalam ketentuan tersebut frasa “berdasarkan hubungan lain”, tidak memenuhi asas lex certa yaitu UU harus rigid, tidak boleh multitafsir. Kelemahan lain dari RUU KUHP, pengertian korporasi termasuk non badan hukum, padahal non badan hukum bukan merupakan korporasi, tetapi milik orang perseorangan. Selain itu, pengaturan korporasi belum memberikan kejelasan mengenai tindak pidana korporasi dan tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi. D. Penutup Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam RUU KUHP memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain pengertian korporasi yang meliputi badan hukum dan non badan hukum, padahal non badan hukum bukan merupakan korporasi. Selain itu, pengaturan korporasi belum memberikan kejelasan mengenai tindak pidana korporasi dan tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi. Kondisi dimana tindak pidana korporasi dilakukan “berdasarkan hubungan lain”, dianggap tidak memenuhi asas lex certa yaitu UU harus rigid, tidak boleh multitafsir. Oleh karena itu, rumusan terkait korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam RUU KUHP perlu dirumuskan ulang.