ALASAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU-KUHP)
REASON FOR TERMINATION OF CRIME PROSECUTION BOOK OF THE DRAFT LAW CRIMINAL LAW (DRAFT-KUHP)
Ikbal, M. Said Karim, Muhadar Konsetrasi Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Ikbal, S.Hi. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90222 HP: 0812 3638 0641 Email:
[email protected]
Abstrak Kemajuan tehknologi merupakan salah satu faktor utama yang memicu perubahan masyarakat Indonesia khususnya, meningkatnya model kejahatan dalam dunia kriminal adalah salah dampak dari perubahan tersebut. Dengan demikin hukum pidana sebagai hukum publik dituntut untuk sedapat mungkin mengikuti perkembangan tersebut dan melakukan pembaruan terutama hukum pidana materill yang dinilai tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai pancasila sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana alasan-alasan penghentian penuntutan dalam KUHP; dan bagaimana alasan penghentian penuntutan dalam RUUKUHP. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian normatif, karena penelitian ini penelitian pustaka, teknik melakukan penelitian dilakukan dengan menelusuri bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan alasan penghentian penututan tindak pidana, dan menarik analisa dalam bentuk argumentasi, selanjutnya dilakukan analisis yang sifatnya diskriptif analitis dan kritis serta dilengkapi dengan analisis komparatif untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa alasan penghentian penuntutan dalam KUHP sebenarnya sudah cukup bagus walaupun tidak bisa dipungkiri tidak dapat mewujudkan kepastian hukum, kalau dilihat dari pelaksanaan UU di Indonesia, sangat jauh dari apa yang menjadi ketentuan perundang-undangan dikarenakan oleh para pelaksana UU atau penegak hukum yang tidak disiplin dan tidak patuh dalam menjalankan UU. RUU-KUHP menawarkan suatu konsep hukum pidana yang sangat lengkap sesuai dengan budaya dan nilai pancasila sebagaimana yang dicita-citakan bangsa ini, serta mampu mewujudkan nilai keadilan dan kepastian hukum, karena RUU-KUHP di samping memegang UU sebagai dasar hukum juga tetap memperhatikan hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat. Kesimpulannya Indonesia perlu melakukan pembaharuan huku pidana materiil, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana membentuk etika pelaksana dan penegak hukum agar dapat manjalankan hukum sesuai dengan UU. Kata Kunci : penegakkan hukum, penghentian penuntutan, kepastian hukum.
Abstract Tehknologi progress is one of the main factors that triggered the change in Indonesia in particular, the increasing crime in the criminal world models is the impact of such changes. Accordingly with the criminal law as public law is required to the extent possible follow these developments and to update the law, especially criminal mterill considered no longer compatible with the values enshrined in the Pancasila and related with UUD 1945. This study aims to determine how the reasons for termination of the prosecution in KUHP, and how the reasons for termination of the prosecution in RUU-KUHP. The research was conducted using the normative type of research because the research literature, research technique carried out by tracing the legal materials relating to the reasons for termination of criminal prosecution, and the interesting analysis in the form of argument, then performed the analysis of the descriptive nature of the analytical and critical and equipped with a comparative analysis to answer the problem in this study. The results of this study reveals that the reason for termination of the prosecution in KUHP has actually been quite good, although not denying can’t realize the rule of law, judging from the implementation of the Law in Indonesia, a far cry from what the statutory provisions due to the implementation or enforcement of Law are not disciplined and not obedient in carrying out the Act. RUU-KUHP offers a concept of criminal law is very complete in accordance with the culture and values of Pancasila as the nation aspired to, and be able to realize the value of justice and the rule of law, because RUU-KUHP, in addition to holding as well as the legal basis taking into account legal live within the community. In conclusion Indonesia needs to reform the criminal law material, but is no less important is how to shape the implementation and enforcement of ethics laws in order to implementation law in accordance with the Act. Keywords: law enforcement, Prosecution Cessation, Legal Certainty
1
PEDAHULUAN Perubahan dan pembaruan di bidang hukum pidana, khususnya mengenai hukum pidana materiil (substantif) merupakan hal yang penting dan mendasar, karena hukum yang sekarang berlaku, khususnya hukum pidana materiil peninggalan kolonial Belanda sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Hal ini sesuai dengan realita hukum bahwa hukum pidana atau KUHP yang sekarang berlaku bukan berasal, berakar atau bersumber dari pandangan/konsep nilai-nilai dasar dan keyataan sosial ekonomi serta sosial budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Pembaharuan hukum pidana nasional merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka mengubah dan mengganti KUHP warisan Kolonial Belanda yang sekarang berlaku karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, untuk menjadi KUHP baru yang bersifat nasional sesuai dengan pandangan hidup bangsa yang berakar pada nilai-nilai sosial, budaya dan struktur masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang diyatakan oleh Satjipto Rahardjo “Bahwa penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal-balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam membicarakan penegakan hukum, sebaiknya tidak diabaikan pembahasan mengenai struktur masyarakat yang ada di belakangnya” (Rahardjo,2009). Pembaruan hukum pidana di Indonesia khususnya hukum pidana materiil, sudah dilakukan sejak tahun 1946 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam pasal lima (5) yang menetapkan, bahwa: “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai Negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi” (UU No. 1 Tahun 1946). Sehubungan dengan hal tersebut maka usaha untuk pembaruan hukum pidana harus terus berlanjut (kontinyu) tanpa henti. Dalam rangka melakukan pembaruan hukum pidana di Indonesia, tentu tidak terlepas dari tugas politik hukum untuk meneliti perubahanperubahan yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada sehingga dapat memenuhi tuntutantuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat. Sekalipun KUHP sudah dimiliki Indonesia, namun pertauran yang tengah dimiliki itu masih belum cukup mampu untuk menjerat pelaku kejahatan yang semakin hari semakin lincah. Salah satu kelemahan dalam KUHP dapat ditemukan khususnya pada pasal 1 KUHP, yang menyebutkan bahwa “Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan Undang-undang”. Artinya, 2
pasal ini menegaskan bahwa adanya kesulitan untuk menjerat pelaku tindak pidana yang belum diatur dalam KUHP ( Anwar & Adang, 2008). Pada saat sekarang prinsip perlindungan dari hukum pidana selain untuk perlindungan masyarakat, juga mendapat penekanan pada prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan prinsip perlindungan asasi manusia yang paling fundamental dalam hukum pidana materiil adalah pada asas legalitas (suatu perbuatan pidana tidak dapat dipidana sebelum diundangkan) dan asas culpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan). Kedua asas penting ini dirumuskan secara eksplisit dalam Rancangan KUHP tahun 2005. Perkembangan selanjutnya dalam lapangan hukum pidana adalah mulai diintrodusirnya perlindungan korban kejahatan. Dalam KUHP yang berlaku sekarang masalah korban kejahatan kurang mendapat perhatian. Tidak ada pidana ganti rugi didalam KUHP, baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana tambahan. Dalam sistem hukum Indonesia yang mengandung asas praduga tak bersalah (presumption of ennocence “seseorang tidak dinyatakan bersalah hingga pengadilan menyatakan besalah), pidana sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis hakim melelui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila tidak terbukti bersalah atau dengan pertimbangan lain maka tersangka harus dibebaskan (Setiadi & Rena Yulia, 2010). Dengan demikian, kedua hal di atas, yakni mengenai subjek delik (manusia) dan mengenai asas kesalahan, di dalam perkembangannya mengalami perluasan. Terhadap subjek delik (manusia), dengan adanya perkembangan masyarakat, dituntut adanya pengakuan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Berangkat dari tujuan yang tersirat dalam konsep KUHP, adalah untuk meberikan rasa keadilan dan rasa aman, baik terhadap pelaku tindak pidana maupun terhadap korban. Adalah merupakan hal yang menarik samapai judul tulisan ini diangkat oleh penulis, disamping dari tujuan yang terkandung dalam konsep KUHP sebagaiman dijelaskan di atas, di mana terdapat beberapa poin yang tidak terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang, sperti alasan penghentian penuntutan tindak pidana yang sangat luas cakupan dan menurut penulis mampu mewujudkan nilai kepastian hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan, seperti yang tertuang dalam Pasal 145 mengenai dasar hukum gugurnya kewenangan Negara untuk menuntut suatu perkara pidana. Berangkat dari masalah tersebut di atas yang memandang bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak dapat lagi mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia 3
seutuhnya, dan dengan adanya ide pembaharuan untuk merubah KUHP sesuai dengan kebutuhan masyarakat indonesia seutuhnya. Dengan ide tersebut melahirkan Konsep KUHP baru atau yang lebih dikenal dengan RUU-KUHP yang menawarkan konsep yang berlandaskan nilai kemanusian yang hidup dalam masyarakat Indonesia sesuai dengan nilai yang terkandung dalam tujuan diciptakannya hukum. Jika diperhatikan nilai yang terkandung dalam RUUKUHP maka menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti apakah bentuk alasan penghentian penuntutan tindak pidana dalam RUU-KUH, dan perbedaan KUHP yang berlaku sekarang dengan RUU-KUHP dalam hal alasan penghentian tuntutan pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk landasan yuridis alasan penghentian penuntutan tindak pidana dalam KUHP dan KUHAP, bagaimana bentuk alasan penghentian penuntutan tindak pidana dalam RUU-KUHP, serta apa hal apa yang membedakan antara KUHP dengan RUUKUHP dalam hal penghentian penuntutan tindak pidana.
METODE PENELITIAN Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
dengan bersumber pada data
sekunder, dan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Yakni peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan isu penelitian sebagai dasar melakukan analisis. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder. Sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer, dan akan dikumpulkan dengan menggunakan teknik sebagai berikut: 1)Data Sekunder, Data kepustakaan (Library Reacsearch) Pengumpulan data akan dilakukan dengan mengadakan pengumpulan, pengkajian dan pengolahan secara sistimatis terhadap literatur peraturan perundang-undangan dan buku-buku maupun kariah ilmiah sebagai penunjang teori dalam penulisan serta pembahasan hasil penelitian. 2) Data Primer, Pengumpulan data primer dilakukan dengan menganalisa isu-isu yang berkaiatan dengan penelitian ini.
4
Analisis Data Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari luar pustaka, setelah semua data terkumpul dilakukan analisis secara kualitatif dan selanjutnya dideskripsikan guna menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
HASIL Bentuk Alasan Penghentian Penuntutan dalam KUHP dan KUHAP Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada penuntut umum. Jika ada dasar peniadaan pidana penuntut umum melakukan penuntutan, maka putusannya mestinya lepas dari segala tuntutan hukum. Sebaliknya, jika ada dasar peniadaan penuntutan, penuntut umum tetap menuntut, maka
putusannya
ialah
tuntutan
jaksa
tidak
dapat
diterima
(niet
ontvankelijk
verklaring)(Hamzah,2008). Yang berwenang memperkarakan seseorang yang diduga menjadi pelaku tindak pidana adalah negara, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum. Secara umum, tidak ada alasan apa pun yang dibenarkan untuk tidak menuntut seseorang atas terjadinya suatu tindak pidana. Doktrin hukum pidana menyatakan bahwa lex dura septimen scripta (hukum itu keras, tapi harus ditegakkan). Dalam undang-undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut umum, yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana No. 8 Tahun 1981. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP tercantum definisi penuntutan sebagai berikut (Effendi,2011) “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan suoaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.
Tetapi demikian, tidaklah semua tindak pidana yang terjadi dapat dituntut. Oleh keadaankeadaan tertentu, maka suatu peristiwa pidana tidak dapat dituntut atau diteruskan ke pengadilan. Hapusnya atau gugurnya hak menuntut berarti bahwa oleh keadaan tertentu, maka wewenang negara untuk menuntut seseorang menjadi gugur atau hapus demi hukum. Hal ini berbeda dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Dalam alasan pemaaf dan pembenar terjadi peniadaan sifat melawan hukum atas suatu tindak pidana. Suatu perbuatan itu tetaplah merupakan tindak pidana, tetapin unsur tindak pidana menjadi tidak terpenuhi karena adanya alasan atau keadaan yang meniadakan sifat melawan hukum suatu perbuatan. Dalam hal gugur atau hapusnya wewenang menuntut, tidak ada peniadaan sifat melawan hukum. Suatu perbuatan 5
itu tetaplah tindak pidana, tetapi oleh keadaan tertentu, maka atas perbuatan tersebut tidak lagi dapat dituntut. Dasar yuridis penghentian penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam KUHP Bab VIII Buku I adalah sebagai berikut: Pertama, Telah ada putusan hakim yang berkekuatan tetap, adalah perbuatan yang telah diputus dengan putusan yang telah dan berkekuatan hukum tetap, sebagaimana yang tertera dalam uraian Pasal 76 ayat (1) KUHP adalah (Chazawi,2002): “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap”.
Ketentuan tersebut di atas berkenaan dengan asas “ne bis in aidem”, dengan adayanya ketentuan tersebut diharapkan agar supaya terjamin kepastian hukum bagi seorang yang telah melakukan tindak pidana dan telah mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan tetap (inkracht) tidak menjadi sasaran penyalahgunaan aparat
penegak hukum untuk menuntutnya lagi. Dengan
maksud untuk menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakukan delik yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Kedua, Terdakwa meninggal dunia, berdasarkan Pasal 77 KUHP, bahwa penuntutan menjadi gugur apabila terdakwa meninggal dunia, dengan asumsi behaw pertanggung jawaban pidana tidak bisa diwakilkan atau diwariskan kepada orang lain atau ahli waris, kecuali tindak pidana korupsi yang telah cukup bukti untuk menuntut maka dengan meninggalnya terdakwa tidak menghalangi penuntutannya. Ketiga, Daluwarsa Pasal 78 ayat (1) KUHP, latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai salah satu alasan untuk menghentikan penuntutan pidana, adalah dikaitkan dengan kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti hilang atau tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian. Daya ingat manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi seringkali tidak mampu untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Dengan demikian bahan pembuktian yang diperlukan dalam perkara semakin sulit dipertanggungjawabkan yang disebabkan oleh kerusakan dan lainlain (Ali,2011). Keempat , Penyelesaian di luar pengadilan, dalam Pasal 82 KUHP telah diuraikan jika suatu delik diancam dengan pidana hanya denda, maka dapat dihindari penuntutan dengan membayar langsung maksimum denda. Pada tahun lima puluhan, di Indonesia sering dilakukan pembayaran denda yang disepakati antara penuntut umum dan tersangka, khusus dalam hal tindak pidana ekonomi yang sering disebut schikking. Hal itu terjadi karena di dalam WED (UUTPE) Belanda tahun 1950 dikenal afdoening buiten process dalam delik ekonomi. Meskipun ternyata 6
ketentuan mengenai afdoening buiten process tidak diatur dalam UUTPE Indonesia tahun 1955. Praktik afdoening buiten process dilakukan oleh Jaksa Agung berupa denda "damai" dengan menunjuk asas oportunitas yang dimilikinya (Hamzah,2008). Apa yang menjadi ketentuan KUHP mengenai penghentian penuntutan sebagaimana yang diuraikan di atas, juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagimana telah diatur dalam pasal 13, pasal 14 huruf h, pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP yang pada intinya menyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang mempunyai wewenang untuk melakukan penuntutan dan menutup perkara demi hukum atau menutup perkara karena tidak terdapat cukup bukti atau menutup perkara karena peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana dengan memuatnya dalam sebuah surat ketetapan. Pasal 13 KUHAP: “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang – undang ini melakukan penuntutan dan melakukan penetapan hakim”. Pasal 14 huruf h KUHAP: “Penuntut umum mempunyai wewenang: h. menutup perkara demi kepentingan hukum”. Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP: “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”. Dengan demikian dapat kita garis bawahi bahwa jaksa penuntut umum adalah satu – satunya penegak hukum yang dapat melakukan penuntutan dan menghentikan penuntutan. Tetapi kita jangan sampai terjebak oleh kata “jaksa”, karena seorang jaksa belum tentu penuntut umum, tetapi penuntut umum sudah pasti seorang jaksa. Oleh karena itu, jaksa yang dimaksud disini adalah jaksa yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Bentuk Alasan Penghentian Penuntutan dala Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Merupakan bagian utama cita-cita negara Indonesia dan telah dituangkan dalam Undangundang Dasar 1945 adalah mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Akan tetapi pada keyataannya masih belum juga bisa diwujudkan, sebagian pakar hukum mengatakan salah satu alasannya adalah negara Indonesia masih menggunakan KUHP yang merupakan warisan kolonial Belanda yang dianggap tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyrakat Indonesia. Maka dari itu para pakar dan ahli huku Indonesia merancang Konsep KUHP yang sesui dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan yang dicita-citakan olah bangsa Indonesia. Dengan harapan bahwa dengan diberlakukan RUU-KUHP tersebut nilai keadilan dan 7
kepastian hukum dapat terwujud bagi masyarakat Indonesia yang mencari keadilan. Tapi entah kenapa samapai sekarang RUU-KUHP tersebut belum disyahkan. Dalam konsep KUHP, penulis melihat banyak mengalami perubahan yang mengarah kepada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dan lebih khususnya dalam hal gugurnya kewenangan penuntutan pidana atau alasan penghentian penuntutan pidana, di mana dalam RUU-KUHP rumusan menganai alasan-alasan penghentian penuntutan diperluas lebih dari empat hal seperti yang ada dalam KUHP yang berlaku sekarang, adapun hal-hal yang dapat menghentika penuntutan dalam RUU-KUHP tersebut sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 145 Bab IV RUU-KUHP adalah, sebagai berikut: “Kewenangan penuntutan gugur jika: a) Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; b) Terdakwa meninggal dunia; c) Daluwarsa; d) Penyelesaian di luar proses; e) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidan yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II; f) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategor III; g) Presiden memberi amnesti atau abolisi; h) Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain sesuai dengan perjanjian; i) Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau j) Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
PEMBAHASAN Bertolak dari kenyataan, bahwa rumusan ketentuan alasan penghentian penuntutan tindak pidana yang tertuang dalam KUHP yang berlaku sekarang dianggap kurang cocok dalam tradisi masyarakat, maka rumusan ketentuan alasan penghentian penuntutan tindak pidana dalam RUUKUHP dimaksudkan untuk mewujudkan nilai keadilan dan kepastian hukum sesuai dengan nilainilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri (Tongat,2009). Pada dasarnya penegakan hukum di Indonesia haruslah mencakup tiga aspek penting yang sangat mendasar, yaitu: Kultur masyarakat tempat di mana nilai-nilai hukum itu akan ditegakan, Struktur dari penegak hukumnya itu sendiri, kemudian Substansi hukum yang akan ditegakkan. Dengan demikian dapat diketahui problematika penegakkan hukum di Indonesia adalah “terjadinya keterpurukan (kebobrokan) supermasi hukum yang ditandai dengban semakin banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum yang dibarengi pula semakin maraknya penghakiman
8
massa terhadap tindak kriminal di masyarakat, berkorelasi dengan hukum yang positvistik” (Utsman,2010). Dengan demikian, produk peraturan perundang-undangan, terutama KUHP, KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan alasan penghentian penuntutan tindak pidana belum memuat rasa keadilan masyarakat sesuai dengan Undanng-Undang Dasar 1945. Bila KUHP, KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan alasan penghentian penuntutan, dalam rumusan substansi harus memuat rasa keadilan masyarakat, sehingga prospek hukum pidana Indonesia dapat diwujudkan rasa keadilan masyarakat dengan indikator trend kriminalitas menurun, para tahanan dan narapidan semakin menurun. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaiman membentuk rasa keadilan dalam jiwa para penegak hukum sebagai pelaksan undang-undang.
KESIMPULAN DAN SARAN Dengan tetap berpegang pada prinsip serta tujuan hukum pidana yang selelu ingin melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakat dan negara dengan perimmbangan yang serasi dari kejahatan maupun tindakan sewenang-sewenang penguasa. Akan tetapi, kalo kita perhatikan hukum pidana dalam praktek dan pelaksanaanya saat sekarang ini sangat jauh dari apa yang menjadi tujuan dari hukum pidana tersebut, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan rasa keadilan. KUHP yang merupakan pedoman pelaksanaan hukum pidana yang berlaku sekarang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai kultur masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kalo menurut penulis tidak semua apa yang tertuang dalam KUHP tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat bangsa ini, seperti yang tetuang dalam Pasal 76 samapai Pasal 82 KUHP yang mengatur tentang “hapusnya kewenangan penuntutan terhadap tindak pidana”, itu tetap mampu mewujudkan nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat sesuai dengan perkembanga dunia modern seperti sekarang ini. Walapun memang tidak bisa kita pungkiri bahwa kita menginginkan perubahan kerah yang lebih baik, dan dalam konsep KUHP juga tetap mengikutsertakan alasanalasan yang ada dalam pasal-pasal tersebut. Penulis dapat menyimpulkan, bahwa untuk terwujudnya tujuan dan kepastian hukum serta rasa keadilan untuk masyarakat sebagai subjek hukum pidana, masalahnya bukan pada KUHP yang dinilai tidak sesuai lagi dengan keadaan atau budaya masyarakat Indonesia, akan tetapi kembali pada pelaksana KUHP itu sendiri yaitu para 9
penegak hukum dan penguasan di negara ini sebagai pemegang kendali dalam mengarahkan hukum kepada tujan hukum sebagaiman mestinya. Dalam RUU-KUHP mengenai alasan-alasan penghentian penuntutan tertuanng dalam Pasal 145 sampi dengan Pasal 152, dalam Pasal 145 tertuang 10 (sepuluh) alasan-alasan yang dapat menghentikan penuntutan tindak pidana, akan tetapi 4 (empat) di antaranya diadopsi/diambil dari kententuan KUHP yang berlaku sekarang, sedangkan 6 (enam) lainnya diambil dari beberapa peraturan perundang-undangan di luar KHUP dan juga diambil dari hukum kebiasaan (hukum adat) yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut dilakukan untuk dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.
10
DAFTAR PUSTAKA Abdussalam. H. R. (2006). Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat (Hukum Pidana Materiil). Restu Agung. Jakarta. Anwar. Yesmil dan Adang. (2008). Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Pidana). PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Ali. Mahrus. (2011). Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Chaczawi. Adami. (2009). Penafsiaran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas (Pelajaran Hukum Pidana 2). PT Rajagrafindo Persada. Jakarta. Effendi. Erdianto. (2011). Hukum Pidana Indonesia (Suatu Pengantar). PT Rafika Aditama. Bandung. Kristiana. Yudi. (2009). Menuju Kejaksaan Progresif (Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana). LSHP. Yogyakarta. Hamzah. Andi. (2008). Asas-asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta. Jakarta. Moeljatno. (2000). Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta. Jakarta. Rahardjo. Satjibto. (2009). Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis). Genta Publishing. Yogyakarta. Setiadi. Edi dan Rena Yulia. (2010). Hukum Pidana Ekonomi. Graha Ilmu. Yogyakarta. Tongat. (2009). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pemnaharuan. UMM Pers. Malang. Utsman. Sabian. (2010). Menuju Penegakan Hukum Responsif. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
11