IJMA’ DI BIDANG HUKUM PIDANA ISLAM (KAJIAN TINDAK PIDANA ZINA DALAM KITAB AL MAJMU’) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh
SITI HAJAR BINTI HALIM NIM: 109045200028
K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R ’I Y Y A H PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
11 Maret 2011 M 6 Rabiul Akhir 1432 H
Penulis,
Siti Hajar Binti Halim
KATA PENGANTAR
ىٛثغى اهلل انشزًٍ انشز Subhanallah Sungguh hanya Allah Dzat yang Maha Suci dan Maha Mengetahui, serta segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah, dan rahmat-Nya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam untuk junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan seluruh pengikut yang menyeru dengan seruannya, berpedomankan petunjuk-petunjuk Allah SWT serta berpegang teguh dengan talinya (hablullah) sampai akhir zaman. Alhamdulilah berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Penulis juga menyadari bahwa selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata atas usaha penulis, tak luput dari bantuan teman, keluarga dan dari berbagai pihak lainnya. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada yth: 1. Pihak pimpinan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengizinkan penulis untuk menimba ilmu di sini. 2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan penulis izin tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat.
3. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 5. Bapak Dr. Asmawi MA.g dan Afwan Faizin MA. selaku ketua dan Seketaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak memberi motivasi dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA, selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis yang dengan sabar telah memberi bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis hingga skripsi ini selesai. Hanya Allah SWT yang membalas jasa baiknya kepada penulis. 7. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pimpinan dan staf Perpustakaan Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama serta staf yang ada di Internasional Office yang telah memberikan fasilitas berupa kemudahan tempat penulis memperolehi berbagai informasi dan sumber-sumber skripsi. 8. Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan yang mengambil alih peranan menjaga seluruh mahasiswa Malaysia di Negera Indonesia.
9. Teristimewa buat ayahanda Halim Bin Ismail dan Ibunda Rodziyah Binti Saidon, nenek dan datuk ayahanda dan ibunda serta saudara mara. Terima kasih yang tidak terkira atas segala curahan kasih sayang, yang menemani, merawat, kesabaran mengasuh, membesarkan, mendidik, memberikan motivasi, mendoakan dan mengorbankan segala hal terutama dari segi keuangan
kepada
ananda
tanpa
bosan
sehingga
ananda
dapat
menyelesaikan studi di sini dengan selamat dan sebaik-baiknya. 10. Tidak dilupakan untuk seluruh saudaraku, kakanda Khairul Anwar Bin Halim dan Siti Sarah Binti halim, dan adinda-adindaku, Siti Balqis Binti Halim, Siti Khadijah Binti Halim, Khairul Fikri Bin Halim dan Siti Aisyah Binti Halim. Semoga kalian menjadi anak yang soleh solehah dan insan yang berguna di dunia dan akhirat. 11. Pihak IPA (Institut Pengajian Al-Azhar) yang telah banyak memberi pengarahan kepada penulis, yaitu Ustaz Muhammad Zain, Ustaz Muhaiyat, Sir Haji Wan, Ustaz Zailani, dan Ustazah Hassanah. 12. Pihak KUDQI (Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah) yang telah memberi kesempatan untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dan banyak kepada penulis yaitu Ustaz Mahmod Sulaiman selaku Rektor Kudqi, dan yang lainnya ustaz dan ustazah. 13. Teman- teman seperjuangan angkatan 2009 yang sama-sama menimba ilmu di Negeri Indonesia yakni: Alfiyah, Rabiatul Adawiyyah, Faizah,
Rozilawati, Azidah, Al-Suwibah, An-Nur Hidayah, Shaidah, Zudeena, Najihah, Tuan Syazwani, Syazwani, Aminah, Khadijah, Nasrullah, Ridzuan Muhamad, Mu‟az, Najmi, Hanzalah, Sukri, Munir, Syammil, Khalil, Riduan Abd Hamid, Farid, Azahari, Ramadhan, Ukasyah, Sabri, Zalani, Saifuddin dan Hadi. Serta teman- teman senior dan junior baik dari KUDQI, APID, atau IPA yang juga sama-sama menimba ilmu di Negeri Indonesia ini bersama saya. Terima kasih saya ucapkan karena turut mendoakan kesuksesan, memberi dukungan, turut berpartisipasi, dan semangat kepada saya demi keberhasilan penulisan karya ilmiah ini. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada sahabat karib saya Muhammad Zulfa Bin Abd Malek dan keluarganya, terima kasih
banyak karena senantiasa
memberi semangat, bimbingan, dukungan, nasihat dan sebagainya kepada saya. Semoga hubungan yang terjalin ini mendapat rahmat dan ridha dari Allah SWT selamanya. 14. Teman–teman yang senantiasa terukir dalam memori yakni: Husna, Elyana, Anis Syamiza, Anis Madihah, Linda, Mumtaz, Imra‟tun, Not (sakinah), Ca‟un, Zahidah, Sopiah, Syakila, Nisa‟, Nor Naim, Ummi Kalsum, Saadiah, Hanifah, Saidah, Hamizah, Maziah, Kak Ina, Kak Saadiah, Munirah, Wani Halim, Islahana, Abdan, Faiz, Kak long, Kak Hajar Wahab, Kak Hajar Mohamed Taib, Ce‟mi, Kak Ummi, zulaikha, Noor Baayah, juga dapat mengenal erti persahabatan dari mahasiswa
KUDQI, teman-teman dari Yayasan Khairiah, Timor Leste,
Filipina,
Somalia, Thailand, sahabat UIN Bandung, UIN Lampung, UIN Malang, teman-teman
Indonesia
yang
telah
banyak
membantu
dalam
menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Ali Fahmi, Abd Karim Munthe dan teman seperjuangan menuntut ilmu bersama penulis, dan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas doa kalian, tidak lupa juga teman-teman di Indonesia yang juga banyak membantu penulis untuk memahami, dan shering lebih dalam mengenai ketatanegaraan Islam dan membantu penulis dalam menerjemahkan skripsi ini ke dalam bahasa Indonesia. 15. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu sepanjang penyusunan skripsi ini. Semoga segala bantuan dan niat baik tersebut diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah kalian berikan dan lakukan untuk penulis, semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada para pembaca. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan, oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan tulisan ini.
Kepada Allah SWT jugalah penulis memohon, semoga amal baik yang telah kalian sumbangkan menjadi amal soleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT Amin. Jakarta, 8 Februari 2011 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................
i
DAFTAR ISI........................................................................................................
vi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………
1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah………………………..
5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………………………............
5
D. Tinjauan Pustaka……………………………………………..
6
E. Metode Penelitian…………………………………….............
6
F. Sistematika Penulisan………………………………………...
8
LANDASAN TEORI
A. IJMA’ 1.
Pengertian Ijma‟……………………………………………..
10
2.
Rukun Ijma‟………………………………………………….
12
3.
Syarat-syarat Ijmā‟…………………………………………..
14
4.
Macam-macam Ijma‟………………………………………...
17
5.
Kedudukan Ijma‟…………………………………………….
18
B. HUKUM PIDANA ISLAM
BAB III
BAB IV
1. Pengertian Hukum Pidana Islam………..…………………..
22
2. Asas-asas Hukum Islam………………………………….…
23
3. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam……………………….…
24
4. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam……………………...
24
5. Tujuan Hukum Pidana islam………………………………..
25
JINAYAH DALAM KITAB MAJMU’ A. Biografi Imam Nawawi……………………………………...
26
B. Pengenalan Kitab Majmu‟…………………………………...
31
C. Pembahasan Bab Jinayah dalam Kitab Majmu‟……………..
32
IJMA’ MENURUT KITAB MAJMU’ DALAM HAD ZINA A. Hukuman Zina Bagi Orang Yang Telah Bernikah……..…....
38
B. Hukuman Bina Bagi Yang Belum Bernikah…………………
42
C. Pensabitan Zina………………………………………………
44
D. Terhalang Had Karena Subha……………………………….
46
E. Menyetubuhi Dalam Akad Nikah Yang Fasid (rosak)………
46
BAB IV
F. Liwat…………………………………………………………
48
G. Memelihara Kemaluan……………………………………….
50
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………...
52
B. Rekomendasi…………………………………………………
53
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
54
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam adalah keadilan, kepedulian, kasih sayang dan kesetaraan. Tidak hanya kesamaan di depan hukum, tetapi hukum Islam memberikan hak yang setara kepada setiap orang berdasarkan norma hidup yang berlaku di masyarakat. Dari kutipan rifqy yatunnisa dalam pernyataan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu “Asas dan pijakan syari‟at Islam adalah hikmah dan kemaslahatan, kebaikan, kehidupan duniawi dan ukhrawi umat manusia; semuanya bercitrakan keadilan, kemaslahatan dan hikmah kehidupan masyarakat; dan (syari‟at Islam) sebaliknya yang menentang segala bentuk kerusakan, kedzoliman dan kesia-siaan.”1 Sepertimana diketahui Islam sangat menitik beratkan mengenai lima Hak Asasi dasar manusia
)خ انخًظٚ (انضشٔسyaitu agama, nyawa, akal, martabat dan
harta. Islam memerintahkan umatnya untuk menikah dan melahirkan anak bukan melakukan perbuatan zina, dan juga menganjurkan untuk tidak hidup sendiri. Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah SWT. Hampir setiap mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakinah,
1
Rifqy Yatunnisa, Praktek Itsbat Nikah Pernikahan Sirri, 2010, h. 1.
mawaddah, warahmah.2 Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan keluarga yang sesuai dengan tujuan pernikahan adalah suatu hal yang tidak gampang.3 Zina (bahasa Arab: انضَب, kata dasar masdar daripada zana-yazni) adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan,4 atau hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang belum atau tidak ada ikatan nikah, yang ada ikatan nikah yakni (seperti nikah tanpa wali, nikah mut‟ah, dan hubungan beberapa laki-laki terhadap hamba perempuan yang dimiliki secara bersama) atau ikatan pemilikan (tuan atas hamba sahaja). Zina termasuk salah satu daripada tujuh dosa besar yang diancam hukuman hadd (hukuman yang ditentukan macam dan jenisnya oleh syarak dan merupa akan hak Allah Swt).5 Sebagaimana firman Allah tidak akan menjadikan manusia itu seperti makluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan hubungan antara laki-laki dengan perempuan secara anarkis. Tetapi untuk menjaga kehormatan dan martabatnya, sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan atas saling ridho-meridhoi. Di dalam kehidupan masyarakat banyak orang yang tidak kenal dengan dosa, banyak perzinaan terjadi dimana-mana baik di kota maupun di desa karena pergaulan bebas dan tidak ada bimbingan orang tua kepada anak, 2
Ibid, h. 2. Afif Waldy, Wanita-Wanita yang Dilarang Dinikahi dalam Prespektif al-Quran dan Adat di Minangkabau, 2010, h. 1. 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Zina 5 Ensiklopedia Islam, (Kuala Lumpur: Komplek Dawama), Cet. 1, 2004. 3
terutama pada kaum remaja yang harapannya masih panjang namun masa remaja digunakan untuk bermaksiat sehingga banyak free sex (sex bebas) terjadi di kalangan remaja, padahal itu termasuk perbuatan perzinaan yang dilarang oleh Allah dan termasuk dosa besar. Bahkan wanita hamil di luar pernikahan mereka anggap itu peerbuatan yang biasa karena dilakukan suka sama suka, akan tetapi itu menentukan keabsahan seorang anak yang dikandungnya. Untuk menjaga keluarga bahkan masyarakat agar tetap utuh dan damai, salah satu larangan dalam Islam adalah larangan berbuat zina, Islam melarang zina dengan hukuman bagi pelanggarnya, karena zina dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, baik secara individu maupun masyarakat. Sebagaimana Allah SWT dengan tegas melarang zina dengan firman-Nya:
Artinya: “Dan janganlah kamu menghampiri zina, Sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan Yang keji dan satu jalan Yang jahat (yang membawa kerosakan). ( 32 :)االعشاء Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu pezina muhshan dan ghairu muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang sudah memiliki pasangan sah (menikah). Sedangkan pezina ghairu muhshan adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah. Di bawah hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu dosa besar. Dalam agama Islam, hubungan seksual oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istri sahnya, termasuk perzinaan. Hukum menurut agama
Islam untuk para penzina adalah jika pelakunya muhshan, mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka dirajam sampai dengan batu sehingga mati. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali, dan buang daerah atau diasingkan selama setahun.6 Jika seorang hamba, laki-laki atau wanita berzina dan mereka telah disabitkan melakukan jenayah tersebut mereka akan dihukum. Hukuman zina bagi hamba wanita dan laki-laki separuh yaitu 50 kali cambuk dan dibuang negeri selama setengah tahun, tidak dikira sama ada mereka muhshan atau ghairu muhshan. Kedudukan hamba laki-laki boleh disamakan dengan hamba wanita karena mereka mempunyai status yang sama yaitu hamba.7 Penulis mengkaji kitab ini adalah kitab al-Majmu‟ karya An-Nawawi merupakan referensi fikih terbesar yang penuh dengan pendapat-pendapat fikih keempat imam madzhab dan lain-lainnya, sekalipun fokus pembahasannya di tingkat pertama madzhab Asy-Syafi'i secara khusus dan fikih Islam, kitab al-Majmu' juga merupakan khazanah terbesar bidang fikih Islam yang isinya menjelaskan konsepkonsep dasar dari hukum Islam yang membuat para ulama setelahnya kagum. Kitab Al-Majmu ' berbeda dari kitab-kitab fikih induk lainnya, dimana cakupan isinya memuat seluruh pendapat-pendapat madzhab berikut dalil-dalilnya disamping menyebutkan pentarjihan diantara pendapat-pendapat ini. 8
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Zina. Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Prospecta Printers), h. 1978. 8 Imam An Nawawi, Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, (Kuala Lumpur: Pustaka Azzam), jilid 1. 7
Secara umum untuk mengetahui secara mendalam berkaitan dengan penggunaan ijmā‟ dalam kitab al-majmū‟ yang tertumpu dalam bab jināyah khususnya dalam bab zina. Secara umumnya, seperti yang diketahui ijmā‟ merupakan salah satu sumber undang-undang Islam yang tergolong di dalam sumber yang tidak bertentangan. Ijma‟ adalah sumber yang ketiga selepas al-Quran dan as-Sunnah. Oleh yang demikian, ijmā‟ diistilahkan sebagai salah satu kaedah hukum yang digunakan untuk menetapkan sesuatu hukum yang boleh disepakati jika berlaku perselisihan dan hukum tersebut tidak terdapat dalam al-Quran atau as-Sunnah.9 Berdasarkan latar belakang dan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian tentang jinayah khususnya jarimah zina dalam sebuah skripsi dengan judul: “IJMA’ DI BIDANG HUKUM PIDANA ISLAM (KAJIAN TINDAK PIDANA ZINA DALAM KITAB Al-MAJMU’)”
B. Pembatasan dan Perumusan masalah Untuk menghindari kesalah pahaman serta mencapai suatu persepsi dalam masalah yang hendak penulis bahas dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan dan perumusan terhadap masalah yang akan dikaji. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah apa yang telah menjadi ijma‟ dalam kitab majmu‟ dalam tindak pidana zina. 9
Siti Hajar Mohd Taib, Al-Ijma‟ dalam bab Jinayah, h. 1.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang telah diijma‟kan dalam kasus pidana zina dalam kitab majmu‟. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat kita simpulkan manfaat adalah dari penelitian ini: 1.
Memberi pengetahuan dan informasi tentang Ijma‟ dalam kitab al-Majmu‟ khusus zina.
2.
Menambah wawasan bagi para akademis dan pembaca tentang Ijma‟ satu kajian kitab Al-Majmu‟ yang menjadi fokus dalam zina.
3.
Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah untuk menambahkan bahan bacaan dan sekaligus pengembangkan khazanah keilmuan di bidang fiqh jinayah.
D. Tinjauan Pustaka Dalam menentukan kajian tinjauan pustaka, penulis melakukan rujukan di dalam kitab majmu‟ seperti buku karangan Imam al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam an-Nawawi. Ada juga yang membahas kitab majmu‟ siti hajar mohd taib dalam tesis di Malaysia yang berjudul ijma‟ dalam bab jinayah dan nur rashidah arifin ijma‟ di dalam bab taharah.
E. Metode penelitian
1.
Jenis Penelitian Pada prinsipnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), yaitu kajian melalui penelitian pembacaan berbagai literatur karena sumber penelitian dan data hendaklah lebih di fokuskan pada studi pustaka. 2.
Sumber Data
Adapun sumber-sumber data yang di gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai : a.
Data Primer: adalah suatu metode penelitian dimana sumber data langsung diperoleh dari sumber yang asli atau data utama di lokasi atau objek penelitian.
b.
Data Sekunder: adalah suatu metode penelitian dimana sumber data diperoleh dari sumber kedua atau pendukung dari data yang dibutuhkan. Data ini akan didapatkan dalam bentuk buku-buku, dokumen dan literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian.
c.
Data Tertier: Data tertier merupakan data pelengkap yang terdiri dari kamus, jurnal, artikel dan lain-lain.
3.
Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang lebih bersifat faktual, teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara yaitu teknik pengumpulan data melalui metode Penelitian Kepustakaan (library research).
4.
Metode Dokumentasi Dalam metode ini, penulis mengambil informasi yang berasal dari buku-buku
fiqh, jurnal, majalah, dan juga contoh yang berasal dari latihan ilmiah yang di jadikan sebagai rujukan. Keadaan ini sedikit banyak dapat membantu penulis untuk menguraikan dan menambahkan informasi dengan lebih terperinci, penulis mengaplikasikan metode ini dalam bab dua. 5.
Metode Analisis Data Setelah
data-data
yang
diperlukan
terkumpul,
maka
penulis
akan
menggunakan metode analisis data untuk menganalisis semua data-data tersebut satu persatu yang diperoleh dari hasil kajian tersebut. Ketika menganalisis data, penulis melibatkan proses penelitian, penilaian dan penyusunan bagi keseluruhan data yang diperoleh. 6.
Teknik Penulisan Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudahkan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri atas sub-sub bab yang menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab kedua pada skripsi ini penulis memberikan gambaran terlebih dahulu landasan teori terbagi kepada dua yaitu ijma‟ dan hukum pidana Islam. Ijma‟ terbagi dari pengertian ijma‟, rukun ijma‟, syarat-syarat ijmā‟, macam-macam ijma‟, kedudukan ijma‟. Hukum pidana Islam terbagi kepada pengertian hukum pidana Islam, asas-asas hukum Islam, unsur-unsur hukum pidana Islam, ruang lingkup hukum pidana Islam, tujuan hukum pidana islam. Bab ketiga pada skripsi ini yang membahaskan tentang jinayah dalam kitab majmu‟, uraian tentang biografi imam nawawi, pengenalan kitab majmu‟, pembahasan bab jinayah dalam kitab majmu‟. Bab keempat pada skripsi ini yang membahaskan ijma‟ menurut kitab majmu‟ dalam had zina terbagi kepada beberapa bagian adalah hukuman zina bagi orang yang telah bernikah, hukuman zina bagi yang belum bernikah, pembuktian zina, terhalang had karena syubhat, menyetubuhi dalam akad nikah yang fasid (rusak), liwat, dan memelihara kemaluan. Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi dalam skripsi ini.
BAB II LANDASAN TEORI A. IJMA’ Ijma merupakan salah satu sumber hukum Islam yang tergolong dalam sumber yang disepakati oleh seluruh ulama mazhab, walaupun berbeda dalam memposisikan atau porsi penggunaan ijma‟. Seperti mazhab Syafi‟i yang memposisikan pada urutan yang ketiga. Penulis akan membahas dalam bab kedua ini terbagi kepada dua macam yaitu ijma, dan hukum pidana Islam. Dalam pembahasan ijma‟ terbagi beberapa macam yaitu dari sudut pengertian ijma‟, rukun ijma‟, syarat ijma‟, macam ijma‟, kedudukan ijma‟ terbagi (Al-Qur‟an, Hadis, dan dalil akal), dan menurut hukum pidana Islam pula terbagi beberapa macam yaitu pengertian hukum pidana islam, asas hukum Islam, unsur hukum pidana Islam, ruang lingkup hukum pidana Islam, tujuan hukum pidana Islam. 1. Pengertian Ijma’ a. Ijmā’ Menurut Bahasa Dalam bahasa arab kata ijma‟ berasal dari
Pertama:
ُدًِغ ْ ُٚ -َخًَغ ْ َا
memiliki dua arti:
ئٛ انؼضو ػهٗ انشatau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Kedua:
ijma‟ kesepakatan.10 Pengertian ijma‟ menurut kamus muhid karangan Fairuz Abadi, ijmā‟ ialah:
َؼًب َثؼْذْٛ ًِخ َ ُخؼَمَ ا ْنَأ ْيش َ َٔ ،ُخًْغ َ ِصشٌ ّأَخْهَبفُ انَُب َلخ َ َٔ ُ ّأَ ْنإِرِفَبق:" ُخًَبع ْ ِ" ّأَ ْنإ 11 ."ِْجَبطِٚفِ َٔا ْنإْٛ ِرَ َف ُشقِ َٔا ْنإِػْذَادِ َٔانزَدْف Artiya: “Persepakatan dalam menyelesaikan perkara yang menjadi perselisihan”. Sedangkan pengertian ijma‟ menurut kitab Mu‟jam al-Thullab karangan Dr Yusuf Shukri Farhad ialah:
."ِْذِ ا ْنإِخْ ِزًَبعِ َٔإِ ْثؼَبدِ ا ْنِإفْ ِزشَاقِٛشُ إِنَٗ َر ْأكْٛ ِظخٌ رُش َ نَ ْف-ُخًَغ ْ َ"ّأ
12
Artinya: “Lafaz yang menunjukkan kepada persepakatan dan mengelakkan perselisihan”. b. Ijmā’ Menurut Istilah Pengertian ijma‟ menurut istilah syed Muhammad Bakira as-Sadri ialah:
ُخخٍ رُْٕخِت َ َسكْىِ ثِ َذس ُ انِٙظشِ َٔانْفَزَْٕٖ ف ْ َُ شٌ يٍِْ ّأَْْمِ انْٛ ِ إِرَفَبقُ ػَذَدٌ كَج:ُخًَبع ْ ِ" اَ ْنإ 13 ."ِٙػ ِ ْشش َ سكْىِ ان ُ زشَاصُ ػَهَٗ ان ْ ِإ Artinya: “Persepakatan daripada sebilangan besar golongan mujtahid dan mengeluarkan fatwa di dalam hukum yang berkaitan dengan syara‟”. Pengertian ijmā‟ dari sudut istilah ini juga banyak diambil dari berbagai kitab, di mana penggunaannya banyak digunakan oleh para pengarang kitab usul.
ِصش ْ َ ػِٙسًَذٍ (صهؼى) َثؼْذَ َٔفَب ِرِّ ف َ ٍَُْ يٍِْ ُّأ َيخِ يِْٚغُ ا ْنًُدْ َزِٓذًِٛخ َ ُ" َُْٕ إِرِفَبق 14 ."ِٙػ ِ ْشش َ زكْىِ ان ُ َٗيٍِْ ا ْنؼُصُ ْٕسِ ػَه 10
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 112. Fairuz Abadi. Kamus Muhid. Muasasah Risalah. h. 917. 12 Yusuf Shukri Farhad. Mu‟jam Al-Thullab. )Lubnan: Darul Kitab Al-Ilmiah(, h. 101. 13 Syed Muhammad Bakira As-Sadri. Ilmu Usul Fiqh. 1986. Jil. 1.Cet. 2. Lubnan:Darul Kitab al-Lubnani. Maktabah al-Madrasah. h. 243-244. 11
Artinya: “Adalah kesepakatan seleuruh ulama mujtahid dari umat nabi muhammad SAW setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap hukum syari‟at”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ijma‟ merupakan consensus atau kesepakatan seluruh mujtahid Muslim, tentang satu kasus hukum yang berlaku pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‟.15 Hukum syara‟ adalah kesepatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum amaliah dan tidak menjangkau kepada masalah aqidah. Pada suatu permasalahan terhadap hukum syari‟at, jelaslah bahwa tidak dapat dikatakan ijma‟ kalau yang berpendapat hanya sebagian Mujtahid sahaja, juga tidak dikatan ijma‟ yang diputuskan sahabat pada saat Nabi masih hidup, karena setiap permasalahan yang belum ditemukan hukumnya akan dikembalikan kepada Nabi. Kemudian Nabilah yang akan memutuskan hukumnya. Pada hakikatnya ijma‟ itu mesti bersandar kepada ketentuan-ketentuan
yang
berdasarkan
al-Qur'an
dan
Hadits
dalam
suatu
permasalahan yang terjadi.16 2. Rukun Ijma’ Dengan demikian yang menjadi unsur pokok ijma‟ sekaligus merupakan suatu tonggak yang akan menentukan pendapat itu dikatakan ijma‟ atau bukan. Dengan demikian suatu pendapat dapat dikatakan sebagai ijma‟ apabila memenuhi syarat dan
14
Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. (Damaskus: Daar Fikr. 1994 M) cet 1 h. 46. Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 115. 16 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd Kajian Atas Fiqh Jinayat dalam Kitab “Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid”, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi), h. 254. 15
rukun-rukun dari ijma‟ tersebut, jumhur Ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma‟ yaitu:17 a. Seluruh mujtahid sepakat dengan apa yang mereka putuskan, apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukuman ijma‟. b. Mujtahid yang terlibat dalam memutuskan perkara tersebut adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam. c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya. d. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Quran. e. Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Quran dan hadits Rasulullah SAW. Apabila sudah tercapai rukun-rukun di atas yaitu bila telah berkumpul dan bertemu semua ulama Mujtahid Muslim dan dihadapkan kepada mereka suatu kasus yang memerlukan putusan hukum, kemudian setiap mujtahid mengemukakan pendapat dengan alasan yang terang dan jelas, baik dengan ucapan perkataan dan perbuatan, secara bersama-sama atau secara terpisah, ternyata pendapat mereka
17
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1996), jild. 2, h. 53.
tentang hukum tersebut sama tanpa ada perbedaan perndapat, maka hukum syara‟ yang disepakati tersebut menjadi wajib dan mengikat bagi seluruh umat muslim.18 3. Syarat-syarat Ijmā’ Selain kelima rukun yang dikemukakan di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa juga mensyarat ijma‟ yaitu: a. Ijmā‟ merupakan dasar hukum syara‟ yang hanya boleh dilaksanakan sesudah wafatnya Rasulullah SAW. b. Ahli ijtihad ataupun mujtahid hendaklah memenuhi syarat-syarat seperti mengetahui bahasa arab, menguasai al-Quran dan nasikh mansukh, menguasai sunnah, mengetahui yang disepakati dan diperdebatkan, mengetahui qiyas dan macam-macamnya, menguasai tujuan hukum, baik pemahamannya, dan baik niat aqidahnya.19 c. Persepakatan itu hendaklah dilahirkan oleh setiap orang dari pada mereka secara tegas terhadap peristiwa itu.20 d. Di waktu terjadinya peristiwa (persepakatan) itu, harus ada beberapa orang mujtahid dan seluruh mujtahid kaum muslimin menyetujui hukum syara‟ yang telah mereka putuskan. 21
18
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 115. Abu Zahrah, Ushul fiqh, (Kairo: Darul fikr al-Arabi, tt), h.302-309. 20 Muhammad Hassan Haitu, Al-Wajiz fi Usul Al-Tasyri' Al-Islami, (Muassasah Al-Risalah, 1984) Cet. 2, h.314; Drs. Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), Cet. 1. H. 84-85. 21 Muhammad Hassan Haitu, Al-Wajiz fi Usul Al-Tasyri‟ Al-Islami, (Muassasah Al-Rasilah 1984), cet. 2, h. 314; Dahlan Idhamy, karakteristik Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), cet. 1, h.84-85. 19
Syarat di atas ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, di antaranya:22 a) Para mujtahid itu adalah sahabat. b) Mujtahid itu kerabat Rasulullah SAW. c) Mujtahid itu adalah ulama Madinah. d) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya. e) Tidak terdapat hukum ijma‟ sebelum yang berkaitan dengan masalah yang sama. Syarat di atas memberikan penjelasan bahwa yang dikatakan syarat ijma‟ dikategorikan dua yaitu, disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh dan tidak disepakati para ulama. Apabila yang tidak disepakati para ulama syarat pertama dan kedua ini, para ulama ushul fiqh menyebut dengan ijma‟ sahabat. Sebagian para ulama ushul fiqh pendapat bahwa ijma‟ klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma‟, dan kebanyakan pendapat ulama atau jumhur Ulama meyakini bahwa akan terjadinya ijma‟, terutama pada zaman sahabat karena kedekatan tempat tinggal dan emosional mereka. Sebagian pengikut Syi‟ah di antaranya Al-Nazham mengatakan bahwa apabila mengikuti syarat dan rukun ijma‟ diatas tidak mungkin ijma‟ terjadi menurut lazimnya. Karena tidak mungkin merealisasikan rukun dan syarat 22
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1996), jild. 2, h. 53.
ijma‟ secara
penuh, ketentuan ijma‟ yang telah ditetapkan itu tidak mungkin terbentuk berdasarkan adat. Disebabkan sulitnya melakukan ijtihad dengan pemenuhan unsurunsur yang telah ada23, maka banyak penyebab mereka mengatakan bahwa ijma‟ ini tidak mungkin atau sulit untuk dilaksanakan diantaranya, yaitu:24 1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabkan seseorang patut disebut mujtahid, karena secara formal tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan mujtahid. 2. Kalau pun ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk menyatakan seseorang telah mencapai derajat serta dapat pula diketahui mujtahid itu di seluruh dunia, namun untuk dapat menghimpun pendapat mereka semua mengenai suatu masalah yang memerlukan hukum, secara menyakinkan atau dekat kepada yakin, adalah tidak mungkin karena mereka berada dalam lokasi yang berjauhan, dalam tempat yang terpisah serta berbeda latar belakang sosial dan budaya mereka. Tidak mungkin mengumpulkan mereka secara fisik atau mengumpulkan pendapat mereka secara kolektif atau secara perorangan. 3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorangan di seluruh dunia ini dan dapat menghimpun pendapat mereka menurut cara yang meyakinkan, namun siapa yang dapat menjamin bahwa setiap mujtahid yang 23
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu usul fiqh. (Bandung: Gema Risalah Press. 1968) terj. Cet. 7 h.
87 24
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 115.
telah mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah itu tetap pada pendiriannya sampai terkumpul pendapat mereka semua, karena syarat melangsungkan ijma‟ itu ialah bahwa kesepakatan itu berlaku dalam satu masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang memerlukan ijma‟ tersebut. 4. Mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk terjadi, sedangkan hakikat ijma‟ itu adalah kebulatan pendapat atau kesepakatan. Kemungkinan terjadinya ijma‟ jumhur Ulama mengatakan bahwa itu sangat mungkin terjadi, terutama di zaman sekarang ini yang semua komunikasi semakin memudahkan dalam melacak siapa sahaja yang sanggup untuk menjadi mujtahid. Adapun ijma‟ dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, seperti Muhammad Abu Zahrah, Khudari Bek, „Abdul Wahhab Khalaf, Fathi al-Duraini (guru besar fiqh dan ushul fiqh di Universitas Damaskus, Syria) dan Wahbah al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma‟ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah.25 4. Macam-macam ijma’ Apabila Mujtahid telah berkumpul dan mereka mengemukakan pendapatnya, dan ada sebagian Mujtahid memberikan pandangannya sedangkan yang lain tidak
25
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1996), jild. 2, h. 61.
memberikan pandangannya. Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara‟ para ulama ushul fiqh membagi ijma‟ kepada dua bagian yaitu:26 a. Ijma‟ shorih Ijama‟ shorih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui dalam pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam forum ijma‟ yang setiap mujtahid memberikan alasan yang jelas dan semuanya sepakat dalam memutuskan hukum tersebut. b. Ijma‟ sukuti Ijama‟ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan ijma‟ yang sebagian ulama memberikan pendapatnya dan sebagian yang lain tidak memberikan pandangan apaapa hanya diam. 5. Kedudukan Ijma’ Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma‟ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah al-Quran dan Sunnah, ini berarti ijma‟ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam apabila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Quran maupun Sunnah. Menurut syar‟i pada urutan yang ketiga setelah al-quran dan sunnah yang berdiri sendiri, untuk menguatkan pendapatnya jumhur mengemukakan beberapa dalil yang menguatkan. Dasar hukum ijmā‟ bersumber dari al-Quran, al-Hadits dan dalil akal.
26
Ibid, h. 56.
a.
Al-Quran
Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa‟: 115
Artinya: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu27 dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Dalam ayat ini, “jalan yang bukan orang mukmin” ini diartikan sebagai yang telah kesepakatan untuk dilakukan orang-orang mukmin. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa‟: 59
(۵۹/ ( ّأنُغأ Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman , taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada “ Uli‟l-Amri” (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu..”
Perintah mentaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul berarti perintah untuk mematuhi ijma‟, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu hukum, inilah yang disebut ijma‟. 27
Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan..
Firman Allah SWT dalam Surah Ali „Imran: 103
)۳.۱/ٌػًشا- ( ال Artinya: “ Dan berpegang teguhlah kamu sekelian kepada tali Allah Islam), dan jangan kamu bercerai-berai.”
(agama
Dalam ayat ini Allah SWT melarang umat berpecah belah, usaha menentang ijma‟ berarti berpecah belah. Hal itu adalah terlarang, tidak ada arti kedudukan ijma‟ sebagai hujah kecuali larangan untuk menyalahinya. b. Al-Hadits Apabila para mujtahid telah melakukan ijmā‟ tentang hukum syara‟ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijmā‟ tersebut harus diikuti karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan, maksiat atau berdusta. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa
Rasulullah SAW telah
bersabda:
َٗ إٌَِ ُإيَزِٗ الَ رَدْ َزًِغْ ػَه:َُمُْٕلٚ َِّ َٔعَهَىْٛ َع ًِؼْذُ سَعُْٕلُ اهللِ صَهَٗ اهلل ػَه َ" "ٍضالََنخ َ Artinya: “Aku (Anas bin Malik) telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: sesungguhnya Umatku tidak akan bersepakat melakukan kesesatan”28 (Riwayat Ibn Majah).
28
Ali Mohammad Mua‟wwidh,& Adil Ahmad Abdul Majid. Op.cit. h. 459; Ibn Majah, Sunan, Kitab al-Fitan, Bab: Al-Sawadu al-A‟zhom. No 3950.
c.
Dalil Akal Yakni apabila sahabat menghukum salah seseorang yang melanggar hukum
yang telah dipersepakati, mengikuti hukum yang disepakati itu adalah wajib karena sahabat tidak akan menghukum seseorang itu kecuali seseorang tersebut telah terbukti melanggar suatu hukum yang bertentangan dengan hukum syarak. Maka melanggar hukum yang telah disepakati adalah menyalahi syarak dan perkara yang disepakati itu adalah kehujjahan.29 Akan tetapi Ulama Syi‟ah berbeda pendapat dengan ahl al-sunnah, mereka tidak menganggap ijma‟ sebagai dalil yang berdiri sendiri seperti pendapat Ahl alSunnah. Syi‟ah mendudukkan ijma sebagai penyingkap atau penjelas adanya ijma‟ dalam arti ucapan atau perbuatan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan. Ulama Khawarij menerima ijma‟ dalam waktu terbatas, yaitu sebelum terjadi perpecahan umat Muslim mulai masa umar. Karena setelah masa perpecahan sangat sulit untuk mendapatkan kesepakatan. B. Hukum Pidana Islam Dalam bab kedua ini, penulis akan membahas secara umum tentang hukum pidana Islam (jinayah). Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang mengandungi kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat Islam dimaksudkan, secara materiil mengandungi kewajiban asasi bagi setiap 29
Abdul karim Zaidan. 1987. Al-Wajiz fi Usulul Fiqh. Cet. 2. Baghdad: Maktabah Al-Kudus. hlm.182; Ali Mohammad Mua‟wwidh, & Adil Ahmad Abdul Majid. Op.cit. h. 460-46; Al-Imam Mohammad Abu Zahrah. 1996. Tarikh Mazahib al-Islamiah fi al-Siasah wa al- A‟qaid wa tarikh alMazahib al-Fiqhiyyah. Kaherah: Dar al- Fikr al-Arabi. h, 452.
manusia
untuk
melaksanakannya.
Konsep
kewajiban
asasi
syariat,
yaitu
menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang kewajiban memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT yang dimaksudkan, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain. 1. Pengertian Hukum Pidana Islam Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fikih jinayah terdiri dari dua kata fikih dan jinayah. Kata fikih secara bahasa berarti faham. Sedangkan menurut istilah:
ٔخ ّأٛهٛخ انًكزغت يٍ ّأدنزٓب انزفصٛخ انؼًهٛانفمّ ْٕ انؼهى ثبألزكبو انششػ .خٛهٛخ انًغزفبدح يٍ ّأدنزٓب انزفصٛخ انؼًهْٕٛ يدًٕػخ األزكبو انششػ Artinya: “Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci, atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara‟ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.”30
Sedangkan kata jinayah secara bahasa berarti nama dari perbuatan yang buruk, sedangkan menurut istilah:
شٛخ اعى نفؼم يسشو ششػب عٕاء ٔلغ انفؼم ػهٗ َفظ أ يبل أ غٚفبندُب رانك Artinya: jinayah adalah sebuah nama dari perbuatan yang diharamkan syariat, baik dalam bentuk tindakan terhadap tubuh (jasmani), atau terhadap harta, dll.31
30
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. II, 2006,
31
Abdul Qadir Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al „Araby, Beirut,
h. 1. h. 67.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud dari kalimat Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-quran dan hadits.32 Hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah SAW. Oleh karenanya, pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri. Pada masa itu diterapkan oleh Rasulullah SWT sendiri dan kemudian diganti oleh Khulafaur Rasyidin. 2. Asas-Asas Hukum Islam Asas-asas hukum Islam berasal dari al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Diantara asas-asas yang ada dalam nash sebagai berikut: a. Asas keadilan, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 58. b. Asas manfaat, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 92. Yang menentukan sanksi (sanksi yang mengandung manfaat) bagi pelaku pembunuhan tidak sengaja berupa memerdekakan budak, diyat atau kafarat. c. Asas keseimbangan, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 178179 dan surat an-Nisa‟ ayat 92-93.
32
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), h. 86.
d. Asas kepastian hukum, sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 15. e. Asas dilarang memindahkan kesalahan kepada orang lain, sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 15, an-Najm ayat 38-39, al-Fathir ayat 18 dan Luqman ayat 33. f. Asas praduga tidak bersalah. g. Asas legalitas, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 58-59 dan 105, surat al-Hasyr ayat 7, al-Isra ayat 15. h. Asas tidak berlaku surut, sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 15 dan al-Anfal ayat 38. i. Asas pemberian maaf, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 178 dan 109, an-Nisa‟ ayat 92, dan Ali Imran ayat 134. j. Asas musyawarah, sebagimana termaktub dalam surat Ali Imran ayat 159, Asy-Syura ayat 38. k. Asas taubat dan asas kondisiona sebagimana termaktub dalam
surat al-
Baqarah ayat 178 dan an-Nisa‟ 92. l. Asas ekualitas (equality before the law), sebagaimana termaktub dalam surat al-Hujurat ayat 13, an-Nisa‟ ayat 58 dan 135. c.
Unsur-unsur Hukum Pidana Islam Menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, unsur normatif dan moral sebagai berikut:
a. Secara yuridis normatif adalah mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap suatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. (Pencipta manusia). b. Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. d. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam Ruang lingkup hukum pidana Islam adalah meliputi perzinaan (termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina (al-qadzaf), pencurian, meminum minuman memabukkan (khamar), membunuh atau melukai seseorang, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan. e.
Tujuan Hukum Pidana Islam Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh masyarakat. Masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan, namun tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Baik yang termuat di dalam al-Quran maupun yang terdapat di dalam hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil segala yang bermafaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia.
BAB III JINAYAH DALAM KITAB MAJMU’ A.Biografi Imam Nawawi Imam al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam an-Nawawi. Nama beliau dikaitkan dengan Nawa, sebuah desa yang terletak antara daerah Hauran dan Syiria yang kemudian berubah menjadi Damaskus. An-Nawawi lahir pada bulan Muharram tahun 631 H (1233 M) di Desa Nawa. Memasuki usia sepuluh tahun, anNawawi mulai belajar menghafal al-Qur‟an dan belajar ilmu fikih kepada salah seorang guru di sana. Kebetulan pada waktu itu ada seorang guru besar bernama Yasin ibnu Yusuf al-Marakisyi sedang berada di desa tersebut, guru menemui orang tua an-Nawawi dan memberikan nasihat supaya anaknya menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu. Dengan senang hati, orang tua an-Nawawi menerima nasihat tersebut.33 Pada tahun 649 H (1251 M) an-Nawawi merantau ke kota Damaskus untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan Dârul Haîts, beliau memilih untuk tinggal di asrama Madrasah ar-Rawahiah yang terletaknya berdekatan dengan masjid Umawiyah di sebelah timur. Pada tahun 651 H, an-Nawawi menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian imam an-Nawawi kembali pulang ke Damaskus. Pada
33
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, Riyadhus Shalihin, (Jakarta Timur: Arbarmedia, 2010), h. 16.
tahun 665 H (1266 M), an-Nawawi diberi tugas mengajar di Madrasah Darul Hadits pada bidang studi ilmu pendidikan, pada ketika itu usianya baru memasuki 34 tahun. Beliau menghabiskan waktunya di lembaga tersebut sampai wafat. Selama berada di Damaskus, kehidupan intelektual an-Nawawi sangat menonjol. Pada masa remaja, an-Nawawi gigih menuntut ilmu dan berusaha mempelajari semua bidang ilmu. Beliau sangat ahli di bidang bacaan dan hafalan, dalam kurun waktu empat setengah bulan hafal kitab Tanbiih dan di penghujung tahun yang sama hafal seperempat bagian ibadah dari kitab al-Muhadzab.34 Beliau sering menghafal kitab-kitab matan, dan setiap hari beliau mampu membaca dua belas mata kuliah. Beliau juga mampu memberikaan komentar dalam bentuk syarah (penjelasan para ulama tentang kitabkitab) yang sulit, menjelaskan ungkapan-ungkapan, dan mengedit bahasa.35 Ada seorang guru yang bernama Syaikh Abu Ibrahim Ishaq ibnu Ahmad al-Maghribi merasa sangat senang dengn an-Nawawi karena beliau dalam waktu relatif singkat berhasil menjaring banyak ilmu yang sangat mengagumkan sehingga gurunya mempercayai untuk mengajar di forum pengajiannya. Para penulis biografi sepakat bahwa sosok an-Nawawi adalah seorang yang terkenal sangat zuhud dan wara‟ (berhati-hati), selain dikenal piawi dalam memberikan pandangan tentang masalah-masalah hukum beliau juga sangat rajin mengamalkan kewajiban amar ma‟ruf nahi mungkar. Sikap zuhud an-Nawawi terlihat dengan jelas dari pola hidupnya yang sangat sederhana, beliau seakan-akan tidak 34
Ibid, h. 16. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syarah Arba‟in Nawawiyah, (Jakarta Timur: Akbarmedia, 2010), h. 5. 35
pernah tenggelam dalam kenikmatan makanan, pakaian, dan perkawinan. Sebagai ganti dari semua itu beliau sudah merasa cukup dengan kenikmatan ilmu, sebagai penduduk desa an-Nawawi memang pernah merantau ke kota metropolitan Damaskus yang penuh dengan kenikmatan serta saranan-saranan kesenangan duniawi. Tetapi, beliau sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal tersebut, padahal saat itu usianya masih cukup muda. An-Nawawi memilih dalam di dunia keilmuan dengan tetap mempertahankan gaya hidupnya sebagai orang desa yang lugu dan sangat bersahaja. Sikap wara‟ an-Nawawi tidak mau memakan sayuran yang berasal dari kota Damaskus. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Soalnya di Damaskus banyak tanah waqaf berupa lahan-lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang menyalahgunakan fungsinya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan umum.” Itulah yang membuatnya harus berhati-hati. Selama di Damaskus beliau lebih senang tinggal di asrama Madrasah ar-Rawahiah daripada di tempat-tempat lain, karena para donator madrasah ini adalah kaum pedagang yang terkenal sangat jujur.36 An-Nawawi sebagai guru di lembaga pendidikan Dârul Hadîts mendapat gaji yang cukup besar. Namun, beliau tidak pernah mengambil gajinya. Beliau sengaja mengumpulkan gajinya di tangan bendahara madrasah setelah gajinya terkumpul setahun kemudian mengambilnya, sebagian beliau gunakan untuk membeli sebidang tanah dan diwaqafkan kepada lembaga tempat di mana beliau mengajar dan sebagian 36
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, Riyâdhus Shâlihîn, (Jakarta Timur: Arbarmedia, 2010), h. 17.
lagi beliau gunakan untuk membeli beberapa kitab diwaqafkan kepada perpustakaan lembaga yang sama. An-Nawawi tidak pernah meminta bayaran dari orang lain atas jasanya, bahkan beliau tidak pernah mau menerima pemberian atau hadiah dari orang tua, kerabatnya dan siapa pun. Kedua orang tuanya sering mengirimnya pakaian, makanan, dan keperluan-keperluan yang lain. Kamar di asrama Madrasah arRawahiah yang beliau tempati sungguh sangat sederhana dan selama tinggal di Damaskus beliau tidak pernah punya keinginan untuk pindah ke tempat lain, beliau adalah orang yang sangat sederhana dan tidak banyak menuntut. An-Nawawi belajar kepada banyak guru. Di antaranya adalah Ar-Anshari, Zainuddin Abdul Da‟im, dan Imaduddin Abdul Karim Al-Harastani. Beliau juga membacakan sebuah kitab karyanya sendiri kepada Ibnu Malik. An-Nawawi berhasil mencetak sejumlah ulama besar, di antara anak muridnya adalah Al-Khathib Shadaruddin Sulaiman Al-Ja‟fari, Syihabuddin Ahmad bin Ja‟wan, Syihabuddin Al-Arbadi, dan Ala‟uddin bin Al-Ath thar. Ibnu Abul Fattah, Al-Mazi, dan Ibnu Al-Ath thar biasa meriwayatkan darinya.37 Selain sebagai ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, an-Nawawi juga dikenal sebagai sosok yang gigih dan pemberani dalam memberikan nasihat. Beliau berani melaksanakan kewajiban amar ma‟ruf nahi mungkar dengan menggunakan lisannya. Dan itu beliau lakukan demi berjuang di jalan Allah, dan dengan niat yang tulus ikhlas tanpa ada pamrih apa pun atau kepentingan pribadi. Karena itulah annawawi dikenal sebagai seorang tokoh yang pemberani dan tidak pernah takut atau
37
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syarah Arba‟in Nawawiyah, (Jakarta Timur: Akbarmedia, 2010), h. 5.
celaan siapa pun, beliau punya argument tersendiri dalam setiap tindakannya. Banyak orang yang datang kepadanya untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah hukum dan meminta fatwa, beliau selalu menerima mereka dengan ramah dan membantu mereka memberikan jalan keluar dari kesulitan yang mereka hadapi. Setelah pertempuran melawan pasukan Tartar, Raja Zhahir Baibaras tiba di kota Damaskus. Seorang menteri ekonomi melaporkan sang Raja tentang banyaknya lahan perkebunan dari hasil waqaf di kota ini yang tidak digarap, sang Raja segera mengeluarkan perintah untuk menguasai tanah-tanah itu untuk dijadikan asset milik kerajaan. Melihat tindakan itu, orang-orang mengadu kepada an-Nawawi. Beliau segera menulis surat singkat kepada sang Raja: “Apa yang Anda lakukan dengan menguasai tanah milik kaum muslimin ini jelas sangat merugikan mereka, dan menurut ulama dari mana pun tindakan Anda itu tidak bisa dibenarkan oleh syariat.” Karuan saja sang Raja menjadi sangat marah setelah membaca surut itu, beliau segera mengeluarkan perintah untuk menghapus gaji an-Nawawi dari Negara dab memecatnya dari jabatannya. Tetapi banyak penduduk yang memberanikan diri menghadap sang Raja, mereka mengatakan, “Beliau itu guru yang tidak pernah mendapatkan gaji dan jabatan dari pemerintah.” Mendengar isi suratnya tidak digubris dan protes mereka pun tidak didengar, dengan berani an-Nawawi menghadap sang Raja sendiri. Beliau mengucapkan kata-kata yang sangat keras, kemudian sang Raja bermaksud untuk menghukum Imam an-Nawawi. Tetapi Allah mengubah niatnya, sehingga an-Nawawi selamat.
Pada tahun 676 H (1277 M) an-Nawawi pulang ke Desa Nawa. Setelah mengembalikan semua kitab yang dipinjamnya dari perpustakaan, beliau berziarah ke makam gurunya. Di sana beliau berdoa dan menangis, beliau juga mengunjungi temannya yang masih hidup dan berpamitan kepada mereka. An-Nawawi banyak menyusun kitab-kitab fikih dan hadits yang amat bermanfaat. Antara lain ialah AlMajmu‟, Ar-Raudhah, Al-Minhaj, Syarah Shahiih Muslim, Riyaadhus Shaalihiin, AlAdzkaar, Al-Arba‟iin an-Nawawi, Tahdzibul Asmaa‟ wal Lughat, Al-Tibyan dan kitab-kitab yang berbobot lainnya.38 Beliau bahkan menulis kitab Syarah al-Bukhari (Fathul Bâri). Tetapi sayang sekali. Sebelum sempat menyelesaikannya, beliau lebih dulu dipanggil oleh Allah untuk selamanya. Terakhir, setelah menemui orang tuanya untuk pamit, beliau melanjutkan perjalanan ke Palestina dan Al-Khalil. Setiba di desanya kembali, an-Nawawi jatuh sakit dan wafat pada tanggal 24 Rajab tahun 676 H.39 Ketika berita duka ini sampai ke Damaskus, seluruh penduduk kota ini menangis sedih. Begitu pula dengan penduduk kota sekitarnya, umat Islam berkabung. Menteri kehakiman Izzuddin Muhammad ibnush Shaigh bersama rombongan datang melayat ke Desa Nawa untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang ulama besar. Beliau wafat dalam usia 48 tahun tanpa meninggalkan harta dan anak, karena selama hidupnya beliau belum sempat menikah demi pengabdiannya di dunia keilmuan.40
38
Ibid, h. 6. Ibid, h. 7. 40 Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, Riyadhus Shalihin, (Jakarta Timur: Arbarme, 2010), h. 18. 39
B. Pengenalan Kitab Majmu’ Kitab al-Majmū‟ adalah kitab yang dikarang oleh Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam an-Nawawi yang lebih dikenal dengan sebutan dengan gelaran Imam Nawawi. Kitab al-Majmu‟ terdiri dari 26 jilid, kitab ini merupakan salah satu sumber rujukan utama dalam bidang fiqh karena didalamnya terkandung pendapat empat mazhab yang terkemuka beserta dengan dalil-dalil yang kuat untuk bagi menjelaskan dan mengukuhkan pendapat-pendapat mazhab. Kitab al-Majmū‟ ini juga membahas mengenai pengetahuan yang umum dalam fiqh perundangan, tafsir dan hadits. Hukum utama yang dibicarakan dalam kitab ini berkaitan dengan lima bab terbesar dalam fiqh yaitu bab taharah, muamalat, jinayah, munakahat dan ibadah. Penulisan Imam Nawawi tertumpu kepada konsep penggunaan ijmā‟ yang bersandarkan kepada dalil al-Quran dan al-Sunnah.41 C. Pembahasan Bab Jinayah Adapun macam-macam jarimah sebagai berikut: 1.
Murtad (keluar dari Islam) Murtad atau riddah dalam bahasa arab adalah beralih daripada memeluk
Islam kepada memeluk agama lain atau anutan lain, murtad merupakan jenis kufur
41
Mohd Najib Mut‟I, Pengenalan ringkas kitab al-Majmū‟.
yang paling keji dan membabitkan hukuman dan implikasi yang amat berat. Dalil ialah sebagai mana yang dinyatakan oleh firman Allah Taala;
Artinya: Dan sesiapa di antara kamu Yang murtad (berpaling tadah) dari ugamanya (ugama Islam), lalu ia mati sedang ia tetap kafir, maka orang-orang Yang demikian, rosak binasalah amal usahanya (yang baik) di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah ahli neraka, kekal mereka di dalamnya (selama-lamanya). Murtad boleh berlaku melalui tiga perkara adalah menolak hukum yang telah disepakati, melakukan sesuatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh rang kafir, mengucapkan sesuatu yang bercanggah dengan pegangan Islam. 42 Hukuman bagi kesalahan murtad yang dikenakan kepada laki-laki dan perempuan adalah sama, apabila seorang laki-laki dan perempuan yang telah baligh dan berakal melakukan sesuatu sehingga membawa kepada kemurtadan. Maka mereka tertakluk kepada hukum adalah pesalah murtad wajib diminta segera bertaubat, pesalah diberi amaran tentang akibat buruk jika dia masih kekal murtad dan tidak menerima pelawaan supaya
bertaubat,
pelasah
wajib
dibunuh
jika
masih
mempertahankan
kemurtadaannya dan tidak mahu bertaubat.43
42
Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Prospecta Printers), h. 2042. 43 Ibid, 2044-2045.
2.
Memberontak Menurut para imam mazhab sepakat bahwa mengangkat pemimpin
hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim mempunyai pemimpin yang dapat menegakkan syiar-syiar agama Islam dan dapat menyelamatkan orang yang teraniaya dari orang-orang dzalim, tidak boleh bagi kaum Muslim di dunia ini dalam satu waktu mempunyai dua pemimpin. Dan pemimpin itu tidak boleh seorang perempuan, orang kafir, dan anak yang belum dewasa, dan orang gila.44 Pemimpin yang sah wajib ditaati perintahnya selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, menghukum mati orang yang tidak taat kepada pemimpin yang baik hukumnya adalah wajib. Apabila sekelompok orang yang memberontak atau tidak taat kepada pemimpinnya, dan mereka tidak mempunyai alasan yang jelas, maka mereka boleh diperangi sehingga kembali kepada perintah Allah SWT. Jika mereka kembali ke dalam jamaah kaum Muslim maka dilarang memerangi mereka, seperti tidakan terorisme dll.45 3.
Zina Para imam mazhab sepakat bahwa zina merupakan perbuatan keji yang besar,
yang wajibkan had atasnya. Orang-orang yang berzina dikategorikan dua golongan: muhshan dan ghairu muhshan, sanksi bagi pezina muhshan adalah rajam. Sedangkan hukuman bagi ghairu muhshan adalah seratus kali cambuk dan diasingkan selama
44
Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi‟i, (Jawa Tengah: Media Zikir), h. 430. 45 Ibid, h. 432.
setahun sejauh jarak diperbolehkannya mengqashar shalat, hukuman bagi budaklaki-laki atau wanita adalah setengah hukuman bagi orang yang merdeka. Hukuman had itu berbeda-beda menurut macam perzinaan itu sendiri, karena perbuatan zina terkadang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, seperti jejaka atau gadis, dan kadang-kadang dilakukan juga oleh muhshan, seperti orang yang sudah menikah, duda, atau janda.46 4.
Qadzaf (tuduhan zina) Para imam mazhab sepakat bahwa laki-laki yang berakal, merdeka, dewasa
dan mempunyai hak melakukan pekerjaan berdasarkan kemauannya, apabila menuduh berzina kepada orang lain yang merdeka, dewasa, berakal, muslimah, terpelihara, bukan perempuan yang pernah melakukan li‟an, tidak pernah dikenai had zina dengan zina yang jelas. Bahwa ada lima syarat pada pihak yang dituduh adalah Islam, baligh, berakal, berakhlak yaitu tidak pernah disabitkan dengan kesalahan zina sebelum itu, tidak memberi keizinan kepada penuduh untuk menuduh.47 Dan keduanya tidak di dar al-harb, dan dituntut orang yang dituduh agar dijatuhi hukuman had, maka yang menuduhnya dikenai hukuman jilid (cambuk) sebanyak delapan puluh kali tidak boleh lebih. Menuduh dengan sindiran tidak mewajibkan had, walaupun diniatkan untuk menuduh zina. Menurut pendapat Imam Hanafi dan
46 47
1989.
Ibid, h. 445. Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, Ali Asy-Syarbaji, Kitab fikih Mazhab Syafie, cet I,
Imam Maliki bahwa wajib had, menurut pendapat Imam Syafi‟i bahwa jika diniatkan menuduh zina dan diterangkan pengertiannya maka yang menyindir dikenai had. 5.
Mencuri Para imam mazhab sepakat bahwa pencuri yang wajib dipotong tangannya
adalah pencurian pertama yang dilakukannya dan orang yang mempunyai anggota badan yang lengkap. Oleh karena itu, memotong tangannya dimulai dari tangan kiri pada persendian telapak tangan. Jika mencuri lagi maka dipotong kaki kirinya di persendian telapak kaki, sedangkan jika termasuk orang yang tidak mempunyai telapak tangan atau telapak kaki maka dipotong bagian atasnya. Demikian pula jika kedua anggota badan tersebut lumpuh. Menurut pendapat Abu Hanifah bahwa tetap dipotong anggota badan yang lumpuh, menurut pendapat Syafi‟i bahwa pencuri yang tangan kanannya lumpuh dan menurut orang yang ahli bahwa jika tangan tersebut dipotong, maka tidak ada darahnya tetap dipotong. Sedangkan jika menurut keterangan orang ahli bahwa bagian tersebut tidak mengeluarkan darah dan dapat merusak maka yang dipotong adalah bagian atasnya.48 6.
Penyamun Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang pernah membunuh dan
merampas harta wajib dikenai hukuman had, walaupun wali korban memaafkan hal ini dapat membebaskan orang tersebut dari hukuman. Sedangkan orang yang mati
48
Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi‟i, (Jawa Tengah: Media Zikir), h. 457.
sebelum ditangkap tidak dikenai had, adalah hak Allah „Azza wa Jalla, dan yang dapat dituntut manusia adalah hak manusia saja, seperti jiwa, harta, dan pelukan, kecuali mereka memaafkannya. Apabila di antara para perampok tersebut terdapat seorang perempuan, yang ikut membunuh dan merampas harta, lalu tertangkap maka dikenai hukum bunuh sebagai had atasnya. Menurut pendapat Maliki, Hanifah, Syafi‟i, Hambali bahwa dibunuh sebagai qishas dan dikenai pertanggungan. Apabila di antara para perampok terdapat seorang kafir atau budak, atau anak kecil, maka dia tidak dibunuh. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali tidak dibunuh tetapi menurut pendapat Maliki dan Syafi‟i bahwa dibunuh.49 7.
Minum minuman keras (khamar). Menurut para imam mazhab sepakat bahwa atas keharaman khamar, Orang
yang menghalalkannya dihukumi kafir. Mereka sepakat bahwa apabila khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Menurut pendapat Syafi‟i dan Hanbali bahwa jika khamar berubah menjadi cuka karena dicampuri dengan sesuatu adalah tidak suci, menurut pendapat Malik bahwa mengubah khamar menjadi cuka hukumnya adalah makruh. Namun, jika khamar menjadi cuka, maka cuka itu hukumnya adalah suci dan halal. Menurut pendapat Hanafi bahwa khamar boleh dibuat cuka, dan apabila telah menjadi cuka maka hukumnya adalah suci dan halal. Jarimah khamar dikenakan sanksi had sebanyak 80
49
Ibid, h. 460.
kali pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi, Maliki Hanbali. Menurut pendapat Syafi‟i empat puluh kali cambuk.50
BAB IV IJMA’ DALAM MENURUT KITAB MAJMU’ HAD ZINA A. Hukuman zina bagi orang yang telah bernikah Membincangkan tentang hukuman zina bagi orang yang muhsan atau penzina yang telah nikah yaitu: seorang yang baligh, berakal, merdeka dan telah melakukan persetubuhan dalam satu ikatan pernikahan yang sah. Hukuman bagi mereka ialah rajam dengan batu hingga mati. Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak halal darah seorang mukmin kecuali dalam tiga keadaan, salah satu darinya adalah penzina yang telah nikah. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan petikan yang diambil dari kitab. Jarimah al-„Itishob fi Dhau‟ al-Syariah al-Islamiah wal Qanun al-Wad‟i karangan Dr. Naha Khotorji yang menyatakan bahwa ajma‟al ulama‟ atau ulama‟ bersepakat tentang hukuman rajam dengan batu hingga mati penzina muhsan.
ُُخَبنِ َفُٓىْ إِنَب انخََٕاسِجِ ِنأََُٓىْ "لَبنُٕا اندِهْذٚ ْخًَغَ انفُ َمَٓبءِ ػَهَٗ انشَخْىِ َٔنَى ْ َ" َٔلَذْ ّأ :َْٗتُ" نِمَِْٕنِّ َرؼَبنَٛنِهْ ِج ْكشِ َٔانْث 51
Artinya: “Maka telah bersepakat fuqaha‟ tentang hukuman rajam dan tidak ada perselisihan kecuali ulama‟ khawarij karena mereka bersabda: hukuman cambuk bagi gadis dan orang yang sudah bernikah”, dan firman Allah:
50
Ibid, h. 465. Naha al-Khotorji. 2003. Jarimah al-„Itishob fi Dhau‟ al-Syariah al-Islamiah wal Qanun alWad‟i. Cet. 1. Birut: Muassah al-Jamiah lil Dirasat wa al-Nasru wa al-Tauzi‟, h. 56. 51
Artinya: “Perempuan Yang berzina dan lelaki Yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali sebat; dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya Dalam menjalankan hukum ugama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat; dan hendaklah disaksikan hukuman seksa Yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang Yang beriman”. (Surat An-Nur: 2) Di dalam Surat an-Nur, 24, ayat 2, dinyatakan bahwa pelaksanaan hukuman terhadap pelaku perbuatan zina hendaklah disaksikan oleh sekelompok orang-orang beriman. Dengan disaksikan oleh orang banyak berarti si pelaku perbuatan zina dipermalukan di depan orang ramai karena dengan terjadinya perbuata zina rasa malu si pelaku perbuatan zina sudah luntur. Oleh sebab itu rasa malu ini perlu ditumbuhkan kembali dan juga dipermalukan ini mempunyai nilai preventif terhadap si pelaku agar tidak mengulangi kembali perbuatan zina tersebut dan juga bernilai preventif bagi orang lain yang berniat melakukan perbuatan zina.52 Kemudian penulis mengambil kata-kata Ahmad al-Mahshori dalam kitab karangan beliau al-Syiasah al-Jaza‟iah al-Hudud wa isrobah fi fiqh Islami yang menggunakan lafaz ajma‟a al-Shohabah di mana sahabat bersepakat bahwa rajam merupakan hukuman bagi penzina muhshan.
52
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: PT Bulan Bintang), h. 104.
ِّ َٔلَضَٗ ِث،ٍُِ انًُسْصَِٙخِ انشَخْىَ نِهضَاَٛ ِششُْٔػ ْ َخًَغَ انصَسَب َثخِ ػَهَٗ ي ْ َ" َٔلَذْ ّأ ."ْػِٓى ِ خًَب ْ ِؼْزَذُ ِثبَٚ ٍٍََِْْٚ انزًِِّٛ ػَُهًَبءُ انًُغِْهْٛ َخًَغُ ػَه ْ َ َكأِٙػ ًَشَ َٔػَه ُ 53
Artinya: “Maka bersepakat sahabat dalam pensyariatan rejam keatas penzina yang telah bernikah, begitu juga dengan Umar dan Ali seperti persepakatan ulama‟ muslim yang berpegang dengan persepakatan mereka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abi Hurairah yang menyatakan tentang hukuman cambuk sebagai salah satu hukuman bagi mereka yang berzina, dan hadits ini disepakati berdasarkan lafaz muttafaq „alaih. .َدِهْذََْب انسَذِ" فمتفق عليهْٛذكُىْ فَه َ َ "إِرَا صَ َذْ ُا َيخٌ ّأَز:شَحْٚ َ ُْشِْٙثُ ّأَثِٚ"َّأيَب زَذ Artinya: “Hadits daripada Abi Hurairah: Apabila berzina salah seorang di kalangan kamu, maka cambuk sebagai hukuman. Maka bersepakat ke atasnya”. 54
Lafaz ijmā‟ dalam kalimat ini merujuk kepada persepakatan jumhur yaitu al-Jumhur muttafaqun. Jumhur bersepakat untuk mengambil hukuman rajam berdasarkan kepada hadits-hadits yang lain tetapi dalam hal pengasingan atau buang negeri Hanafi tidak bersetuju.
َجمْهُىْرُ مَتَفِقُ ْىن ُ ْخشَٖ َٔ ال ْ ُْثَ اِٚزكْىُ انشَخْىِ يٍِْ اَزَبد ُ َدِجٌَُْٕ ِثأََُٓىْ اَخَزُْٔاَٚٔ" ."ِْتِٚخَ ػَهَٗ ػُمُْٕ َثخِ ان َز ْغشْٛ ِزَبشَب نِهسَُف 55
Artinya: “Dan diwajibkan kepada mereka untuk mengambil hukum rejam daripada hadits-hadits yang lain, dan jumhur bersepakat kecuali Hanafi dalam hukuman pengasingan.” Hukuman rajam di dalam fiqh Islami diketahui daripada taurat, dan diketahui sehingga sekarang. Tidak ditentang oleh kitab injil, maka taurat ketika itu dijadikan
53
Ahmad al-Mahshori.1993. al-Syiasah al-Jaza‟iah al-Hudud wa isrobah fi fiqh Islami. Jil. 2, Cet. 3. Dar al-Jil. h. 88. 54 Ibn Majah,Sunan,Kitab Hudud,Bab: إلبيخ انسذٔد ػهٗ اإليبء. No (2566); Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin al-Sharif al-Nawawi, Kitab Majmu‟, h. 28. 55 Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin al-Sharif al-Nawawi, Kitab Majmu‟, h. 33.
hujah ke atas orang Nasrani dan mereka tidak menolak kitab taurat ini. Lafaz yu kholifaha menunjukkan perselisihan, yaitu kitab injil yang menjadi perselisihan mereka dibanding taurat pada ketika itu.
ُدخ َ ُْىِ ََُْٕٔ انزَ ْٕسَاحُ زِٚ ان َؼْٓذِ انمَذِٙسكْىِ ّأٌَْ يَب ف ُ ِِٓىْ ثْٛ َ" َٔكَزَِنكَ كَب َذْ َٔاخِ َجخُ ػَه ."ْمِ يَب يُخَالِفُهَاِْٛذِ ََُْٕٔ اإلَِْدِٚ ان َؼْٓذِ اندَذِٙكٍُْ فَٚ ْػَهَٗ انَُصَبسَٖ إِرَا نَى 56
Artinya: “Dan demikian adalah wajib kepada mereka dengan satu hukum sebagian yang ada pada zaman yang lepas yaitu taurat yang digunakan sebagai perdebatan bagi orang nasrani apabila tidak terdapat pada zaman yang baru yaitu injil yang menjadi perselisihan mereka.”
Sebagian sahabat mengatakan hamba tidak termasuk dalam kategori muhshan dan kanak-kanak dikategorikan sebagai muhshan karena jika penzina itu kecil tetapi melakukan zina, dia tetap di kira sebagai muhshan. Dan setengah mereka mengatakan kanak-kanak tidak dianggap sebagai muhshan karena mereka bukan mukalaf, ini adalah pendapat jumhur. An-Nawawi dalam kitab karangannya iaitu Jarimah al-„Itishob fi Dhau‟ alSyariah al-Islamiah wal Qanun al-Wad‟i mengatakan bahwa Hanafi tidak menganggap kanak-kanak, orang gila, hamba dan orang kafir sebagai muhshan. Ini karena Hanafi melihat kepada keahlian seorang penzina itu.
َٔنَب،ِ َٔا ْنًَدْ ٌُِْٕ َٔا ْنؼَجْذِ َٔا ْنكَب ِفشْٙ فَهَب إِزْصَبٌُ نِهصِج:ِ"يَزَْْتُ األَزَُْبف ٌِكٍُْ انضَْٔخَبَٚ ْ َٔيَبنَى،ُِْٕخِذُ انذُخُْٕلٚ ْ َٔنَب ثَُِ ْفظِ ان ُِكَبذِ يَبنَى،ِثِبنْ ُِكَبذِ انفَبعِذ .ِؼًب َٔلْذُ انذُخُْٕلِ ػَهَٗ صِ َفخِ اإلِزْصَب َِظْٛ ًِخ َ 57
56 57
Ibid. h. 41. Dr.Naha al-Kotorji. Op.cit. hlm. 57.
Menurut mazhab Hanafi: bahwa tidak dianggap sebagai penzina muhshan bagi kanak-kanak, orang yang gila, hamba, orang kafir, tidak pada kawin yang batal, dan yang belum disetubuhi. Maka semua ini tidak dikira sebagai muhshan. Dari Ibn Umar bahwa nabi telah merajam dua orang yahudi bersandarkan taurat sebagai sumber hukum. Lafaz mukholifun dalam ayat ini menunjukan mereka berselisihan antara syariat yang dinyatakan dalam taurat dengan hukum yang berlaku ada di kalangan mereka.
ِْٓىْٛ َزكْىُ ِثِّ ػَه ُ زكْىَ انزَ ْٕسَاحُ يَْٕا ِفكُ َنًَب ُ ٌََْ ِفِٓىْ ّأِٚ"َٔإًََِب سَاخِغُ انزَ ْٕسَاحُ نِ َز ْؼش ."ْس ْك ًِِٓى ُ ِؼَ ِزِٓىْ مُخَالَفُ ْىنَ نْٚ ِشش َ َِٔآََُىْ رَب ُسكٌَُْٕ ن 58
“Dan kembali kepada taurat untuk mengetahui hukum yang terkandung di dalam taurat bersama hukum yang ada pada mereka, dan mereka meninggalkan syariat yang membuatkan mereka berselisihan dalam hukum sesama mereka.” B. Hukuman zina bagi yang belum bernikah Kenyataan ini menyatakan tentang hukuman cambuk bagi penzina ghairu muhshan yaitu sebanyak seratus kali cambuk. Dikuatkan lagi dengan firman Allah dalam surah an-Nur ayat dua dan terdapat lafaz ijmā‟ dalam kenyataan ini qola katsir min al-fuqaha‟, di mana kebanyakan fuqaha‟, bersetuju dengan ayat ini.
ّثمٕن
59
"ٍ لذ َغخزبٍٛٛ األٔنٛزٚ"ٔلذ قال كثير مه الفقهاء ّأٌ اال :ٗرؼبن
“Maka berkata kebanyakan dari kalangan Fuqaha‟: Sesungguhnya dua ayat yang terawal telah dinasakhkan.
58 59
Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin al-Sharif al-Nawawi. Op.cit. h. 45. Ibid, 32.
Seterusnya Imam Nawawi menggunakan lafaz ajmaā‟ „ala untuk menunjukan persepakatan fuqaha‟ dan pengamal hadits tentang hukuman cambuk dan buang negeri selama setahun.
َُذُلٚ ُْثِٚعلَى االَخْزَ ِثِّ انفُ َمَٓبءِ َٔانًُسْذِثٌَُْٕ كَب َفخٌ َٔإٌِْ َْزَا انسَذ َ َج َمع ْ َ" َٔلَذْ ا ."ِّأْخُزُْٔا ِثَٚ ْخِ نَىَٛ ِْتُ ػَبوِ ََٔنكٍِْ انسَُْفِٚػَهَٗ يَغَ اندِهْذِ َر ْغش 60
Artinya: “Sesungguhnya bersepakat fuqaha‟ dan pengamal hadits untuk mengambil hadits yang menunjukkan tentang hukuman cambuk dan pengasingan selama setahun, akan tetapi Hanafi tidak mengambil hadits ini”. Umar mengatakan apabila berzina di antara laki-laki dan wanita, maka cambuk ke atas mereka. Dan kata-kata Umar ini disepakati berdasarkan lafaz fa muttafaq „illaih di mana kenyataan ini didukung oleh „Ubadah dan Abu Hurairah.
ٍَْعلَ ْيهِ َٔيَضَٗ انكَهَبوِ ػ َ َْثُ اثٍِْ ػًش سضٗ اهلل ػَ ُْ ًَُٓب َفمُتَفَقِٚ"َّأيَب زَذ ."ُّ انفَصْمِ لَجَْهَِٙيؼَُْبُِ ف 61
“Adapun hadits Ibn Umar disepakati ke atasnya dan menghilangkan kata-kata daripada maknanya dalam fasal yang sebelumnya”. Dalam kitab Mausuah al-Ahkam al-Syarie‟yatu al-Maisaroh fi al-kitab wa alSunnah al-Muamalat wal bayanati wal „uqubat karangan Samih „Atif al-Zain mengatakan bahwa hukuman cambuk dan diasingkan selama setahun yaitu hukuman bagi mereka yang belum bernikah. Dan ini merupakan perintah Rasulullah SAW.
ِػًَهَب ِثكِزَبة َ ِشَ انًُسْصٍِِ يِب َئخِ خِهْ َذحْٛ َ خِهْذِ غِٙ"ّأٌََ ػُمُٕ َثخِ انضََِب َركٌُُْٕ ف ."ػًَهًب ثغُخ سعٕل اهلل َ ْ ُجُّ ػَبيًبِٚ َٔ َر ْغش،اهلل 62
60
Ibid, 33. Ibid, 47. 62 Samih „Atif al-Zain. 1995. Mausuah al-Ahkam al-Syarie‟yatu al-Maisaroh fi al-kitab wa al-Sunnah al-Muamalat wal bayanati wal „uqubat. Cet. 1. Lubnan: Dar al-Kitab al-Lubnani. hlm. 534. 61
“Sesungguhnya hukuman cambuk bagi penzina yang belum bernikah yaitu seratus kali cambuk mengikut nash al-Quran, dan hukuman pengasingan selama setahun adalah daripada sunnah Rasulullah Saw”. Bukti telah melakukan senggama (bersetubuh), pembuktian bahwa seorang wanita telah melakukan senggama dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan teknologi kedokteran forensic misalnya di dalam rahim atau vaniga si wanita ditemukan sperma seorang laki-laki dengan demikian dapat diteliti DNA-nya. Jika hasil penelitian tersebut menunjukkan DNA tersebut bukan DNA suaminya dan ditemukan tanda-tanda bekas persetubuhan pada vagina wanita tersebut maka hal itu tidak dapat membuktikan bahwa persetubuhan itu bukan karena diperkosa atau bukan karena syubhat.63 Pelaku zina (bujang dan gadis), yang melakukan perbuatan zina atas dasar suka sama suka sepanjang tidak ada halangan Syar‟i bagi mereka untuk menikah dalam keadaan normal, seharusnya mereka dinikahkan untuk meminimalisasi terulangnya kembali perzinaan baik di antara mereka berdua maupun dengan orang lain. Keharusan menikahkan mereka itu bisa menjadi wajib, mengingat mereka sudah saling menyukai dan kemudian besar mereka akan mengulangi perbuatan zina yang pernah dilakukannya, karena orang yang pernah cenderung akan mengulangi kembali perbuatan zina yang pernah dilakukannya. Di samping itu Allah SWT telah menegaskan di dalam al-Qur‟an (Surat An-Nur, ayat 3) bahwa orang yang tidak pernah berzina haram menikah dengan orang yang pernah berzina, jadi untuk
63
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: PT Bulan Bintang), h. 104.
mencegah (kemungkinan besar) terulangnya kembali perbuatan zina yang pernah lakukan maka mereka wajib dinikahkan. 64 C. Pembuktian zina Menyetubuhi yang wajib dikenakan had ialah apabila hilangnya zakar di dalam faraj dan jika terdapat seorang wanita bersama laki-laki asing dalam satu masa di mana mereka tidak mengetahui tentang ini, tidak di wajibkan had pada mereka. Berdasarkan lafaz lam ya‟lam minhuma ghoira dzalik. Ishak bin Rohawiyah berkata: wajib cambuk ke atas mereka berdasarkan kepada hadits Umar yaitu cambuk seratus kali.
زكَب ِو ْ َ ِنأٌََ ّأ،ِ ان َفشْجِْٙتَ انسَشَ َفخُ فَِٛدِتُ ِثِّ انسَذُ َُْٕ ّأٌَ َرغٚ ِ٘"َٔانْ َٕطْءُ انز ٌخُ يَغَ سَخْمِٛ َٔنَب رَ َزؼَهَك ِثًَب دَُُّْٔ َفإٌِْ ُٔخِذَدْ ِا ْيشََاحُ ّأَخَُْج،َان َٕطْءِ رَ َزؼََهكَ ثِزَِنك ."َُٓب زَذْٛ َت ػَه ُ َِدٚ نَب،َ عَبقِ َٔازِذ َولَمْ يَ ْعلَمْ مِنْ ُهمَا غَيْر َذ ِلكِٙف 65
“Menyetubuhi yang wajib dikenakan had ialah menghilangkan zakar di dalam faraj, karena hukum mensabitkan hukuman berkaitan dengannya, dan tidak disabitkan hukuman had jika seorang wanita bersama seorang lelaki tidak mengetahui tentang ini”.
َ ُِٔ َٔيَب س،ُِّ انسَذْٛ َْى ػَهَِٛمٚ ْ َٔنَى،َ اِعْ َزغِفَش اهلل َٔرََّٕض:ُّ" َٔسَٖٔ ّأَََّ لَبلَ َن ٖ ٍِْ َشحِ ثِٛ ْصخِ ان ًُغ َ ِ لِٙخلَافِ َذ ِلكَ ف ِ َػ ًَش ُ ٍَْػ ًَشَ َٔػَهَٗ فَمَذْ سََٖٔ ػ ُ ٍَْػ ."ِشؼْ َجخ ُ 66
“Dan telah berkata kepadanya: mintalah ampun kepada Allah, dan tidak dikenakan hukuman keatasnya, dan apa yang diriwayatkan oleh Umar dan Ali dan Umar berselisih pendapat berkenaan dengan kisah Mughirah bin Shu‟bah”. Dalam kitab al-Wajiz fi fiqh al-Jina‟I al-Islami karangan An-Nawawi mengatakan bahwa pensabitan zina berdasarkan kepada masuknya keseluruhan 64
Ibid, h. 163. Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin al-Sharif al-Nawawi, Kitab Majmu‟, h. 48. 66 Ibid. h. 49. 65
zakar laki-laki ke dalam faraj, namun jika sedikit (tidak keseluruhan) tidak dijatuhkan had. Akan tetapi ke atas mereka adalah ta‟zir.
ِْٙهَبج َر َكشِ انشَخُمِ فٚ ثِب،ِ ان َفشْجِٙكٌَُْٕ ان ْٕطَءِ فَٚ دًَبعُ رَبيًب ػُِْ َذيَب ْ كٌَُْٕ اِنَٚ َٔ" ُ َفًَب كَبٌَ َّألَم،ِ انجِ ْئشِٙ َٔانشَشَبدِ ف،ِ ان ًَكْسََهخِْٙمِ فًَٛ كَبنذِخَبلِ ان،ِلَجْمَ ان ًَشَّْأح ."ِشْٚ ِ ََٔنكٍِْ ثِبن َز ْؼض،ِِّ ثِبنْدِهْذِ َٔنَب ثِبنشَخْىْٛ َؼَبلِتُ ػَهُٚ يٍِْ رَِنكَ نَب 67
“Adapun menyetubuhi yang sempuna adalah melakukannya di faraj dengan memasukan zakar ke dalam faraj, seperti memasukkan anak celak ke dalam bekasnya, dan timba ke dalam perigi. Jikalau yang masuk hanya sedikit saja, tidak dijatuhkan hukuman cambuk mahupun rejam, akan tetapi dihukum ta‟zir”. D. Terhalang had karena syubhat Seterusnya, jika terdapat seorang wanita yang hamil tanpa suami, hendaklah ditanya sama ada berzina atau tidak. Sekiranya berzina, wanita itu wajib dikenakan had. Tetapi jika tiada had ke atasnya, ini merupakan pendapat Imam Malik. Manakala hadits Umar, setiap penzina laki-laki dan perempuan yang muhshan hendaklah di sabitkan dengan saksi, ini adalah untuk mengelakkan syubhah. Berlaku perselisihan berdasarkan lafaz khilafuhu dalam kenyataan ini di mana Imam Malik berselisih dengan pendapat Umar yaitu sama ada bertanya dahulu atau terus mendakwa penzina tersebut.
َ ِ انشَخْىِ َٔاخِتُ ػَهَٗ كُمِ يٍِْ صََِٗ ي:ّ" َٔلَذْ سََٖٔ ػًش سضٗ اهلل ػُّ لٕن ٍ ْهََُبِٛ دَن.ِشَٓب َدحِ ّأَْٔ اِػْ ِزشَافٍ ّأَْٔ زَجْم َ ِانشِخَبلِ َٔانُِغَبءِ إِرَا كَبٌَ يُسْصًَُب إِرَا ثَجَذَ ث َٔيَب،َِ ْذسَّأُ ثِبنشِ ْج َٓخٚ ُ َٔانْسَذ،ِِكٌَُْٕ يٍِْ َٔطْءِ شِ ْج َٓخِ ّأَْٔ ِإ ْك َشَٚ ٌَََسْ َزًِمُ ّأٚ َََّّأ ."ُخلَا َفه ِ ُّػ ًَشَ سضٗ ػَ ُُّْ فَمَذْ سََٖٔ ػ ُ ٍَْسَُٖٔ ػ 68
67 68
Mohd NaimYassin. 1983. al-Wajiz fi fiqh al-Jina‟I al-Islami. Cet. 1. Darul Furqan. h. 89. Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin al-Sharif al-Nawawi. Kitab Majmu‟, h. 54.
“Di riwayatkan oleh Umar: rajam wajib ke atas penzina sama ada laki-laki atau perempuan, apabila muhshan hendaklah disabitkan dengan saksi. Ini menunjukkan bahwa menyetubuhi yang subhah dan terpaksa tiada dikenakan had, karena hudud terhalang karena subhah. Dan berlaku perselisihan dalam periwayatanya”. E. Menyetubuhi dalam akad nikah yang fasid (rusak) Dan jika berlaku hubungan badan dalam sesuatu akad nikah yang fasid yaitu nikah tanpa wali atau kontrak, tidak wajib had. Dan kenyataan ini disepakati oleh Syafi‟i berdasarkan lafaz ya‟taqidu di mana Syafi‟i bersepakat bahwa nikah tanpa wali tidak sah. Sebagian sahabat Khurasan berpendapat bahwa hubungan badan dalam akad nikah tanpa wali wajib dikenakan had dalam setiap keadaan, kerana kebatilannya adalah jelas.
ِِّ ثِ َٕطْءِ ان ًَشَّْأحْٛ َر َٔخَتَ ػَه ُ َِصٚ ًب يَعْت ِقدُ اٌََ ان َُكَبذَ ثِهَب َِٔنٌٗ نَبِٛ"اٌِْ كَبٌَ شَب ِفؼ ِٙ إِرَا ُٔعِ َئَٓب ف:ٍََِ يٍَْ لَبلَِِٛٛخشَاعَب ُ َٔيٍِْ اَصْسَبثَُِب ان،ٍٗ ان ُِكَبذِ ثِهَب َِٔنِٙف ."ِِّ ِثكُمِ انسَذْٛ ََ َٔخَتَ ػَهٙان ُِكَبذَ ثِهَب َِٔن 69
“Syafi‟i bersepakat bahwa nikah tanpa wali tidak sah dan tidak wajib ke atasnya untuk bersetubuh dengan perempuan tersebut, dan sahabat dari kalangan Khurasan berpendapat bahwa menyetubuhi tanpa wali wajib dikenakan had ke atasnya”.
.ِِّ انسَذْٛ ََدِتُ ػَهٚ َْ َزَٓب فَ َٕعْ ِئَٓب نَىِٚ اٌِْ اِثَبزَذِ َنُّ صَْٔخَ َزُّ خَبس:فَخَُِٛ"لَبلَ ّأَثُٕ ز ِّْ انسَذِ َكًَب نَْٕ كَب َذْٛ ًَُّ فََٕخَتَ ػَهْٚ ِسش ْ َع َلىَ ر َ ُج َمع ْ َسشَوُ م ْ َِهَُُب ّأََُّ َٔطْءُ يْٛدَن ."ِّشِ صَْٔخَ ِزْٛ َِنغ 70
“Menurut Abu Hanifah berkata: maka harus ke atas istrinya dan tiada ada hukuman ke atasnya, ini menunjukkan kepada kita bahwa hubungan badan yang haram telah disepakati pengharamannya, maka wajib ke atasnya had sepertimana melakukan persetubuhan selain dari istrinya”. Lafaz ijtamā‟ dalam kenyataan ini menunjukan persepakatan tentang hubungan yang dikenakan had dan perkara yang menggugurkannya yaitu syubhah. 69 70
Ibid. h. 57. Ibid, h.58
Abu Thur bersepakat bahwa jika dalam melaksanakan sesuatu hukuman hudud itu terdapat perkara yang menghalang atau subhah, maka hudud tadi gugur.
ُ ُِْٕخٚ ان َٕطْءِ يَبِْٙهَُُب ّأََُّ اِجْ َت َمعَ فِٛ دَن.ِِّ انسَذْٛ ََدِتُ ػَهٚ :ِ" َٔلَبلَ ّأَثُٕ ثُ ْٕس ت ضَٓب ِ ْ ِنأٌََ انسُذَْٔدُ رَ ْذسُّأُ ثِبنشُ ْج َٓخِ َٔيََه َكخُ نِ َجؼ،ِ َفغُهِتُ االِعْمَبط،ُانسَذِ َٔاالِعْمَبط ."ٌِّ اِعْمَبطِ فَغَ َمظْٛ ِف 71
“Abu Tsaur berkata: wajib ke atasnya had. Ini menunjukkan kepada kita bahwa persepakatan dalam persetubuhan yang diwajibkan had dan menggugurkannya. Dan biasanya akan gugur kerana hudud terhalang karena syubhah, dan memiliki salah satu sebab pengguguran, maka akan gugur hukuman”. F. Liwat Liwat adalah memasukkan zakar pada dubur dan merupakan perbuatan yang haram, Allah SWT sendiri melakukan perbuatan ini. Dalam permasalahan ini terdapat lafaz ijtamaā‟ di mana sahabat bersepakat untuk membakar mereka yang melakukan liwat, ini didukung oleh Abu Bakar seterusnya menyuruh Khalid al-Walid untuk melaksanakannya.
ِز ك َ ِٙخًْغُ انَُبطِ ف َ ََُّ ّأ:ُّ اهلل ػٙ َث َكشَ سضِٙ ػٍَْ اَثَِٙٓمْٛ َخشَجُ انج ْ ِ"َٔا ٍَّْ ٔعهى ػٛغأَلَ ّأَصْسَبةَ سعٕلً اهلل صهٗ اهلل ػه َ َ ف،ََ ُْكِرُ انُِغَبءٚ ِسَخُم ْزا: عبنت كشو ٔخٓخ لبلٙ ثٍ ّأثََٙ ْٕيَئِزٍ لَْٕنًب ػَهٚ ْ َفكَهٍَ يٍَْ اَشَذُُْى،َرَِنك ،ْأليَىِ إِنَب ُّأ َيخٌ َٔازِذحٌ صََُغَ اهلل ِثَٓب يَب لَذْ ػَِهًْزُى ُ رََْتٌ نىَ ْ َرؼْصِ ِثِّ ُا َيخٌ يٍِْ ا ّ ٔعهىٛ فَاجْ َت َمعَ ّأَصَسَبة سعٕل اهلل صهٗ اهلل ػه،ِس ِش َلُّ ثِبنَُبس ْ َُشَٖ ّأٌََ ر ق ُ س ِش ْ َٚ ٌذ فأيشِ ّأٛ َفكَزَتَ ّأَثُٕ ثكش إِنَٗ خبنذ ثٍ انٕن،ِس ِشقَ ثِبنَُبس ْ َٚ ٌَْػهٗ ّأ ."ِثِبنَُبس 72
“Dikeluarkan oleh Baihaqi daripada Abu Bakar: Sesungguhnya telah mengumpulkan manusia dalam hak pernikahan, maka bertanya sahabat Rasulullah SAW tentang demikian, dan mereka mengambil kata-kata Ali bin Abi Talib dan berkata: ini perbuatan yang berdosa dan tidak dimaafkan sekalian umat itu kecuali 71 72
Ibid, h. 58. Ibid, h. 61.
diberi pengampunan sepertimana yang kamu ketahui, dan mereka berpendapat untuk membakar dengan api. Maka telah bersepakat para sahabat untuk membakar dengan api, maka Abu Bakar memerintahkan kepada Khalid bin Walid untuk membakar dengan api”.
Diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas bahawa dia telah bertanya tentang had seorang peliwat, maka Ibn Zubir berpendapat bahwa hukuman bagi orang yang meliwat ialah rajam dengan dibakar. Manakala Abu Bakar berpendapat hukuman bagi orang yang melakukan liwat dengan merajam sampai mati. Dan ini merupakan persepakatan sahabat berdasarkan lafaz ajmaā‟ sahabat. Tetapi mereka berselisih dalam cara melaksanakan hukuman tersebut iaitu berdasarkan lafaz ikhtilaf.
ِٙ َٔلَذْ سََٖٔ ػٍَْ ّأَث،َُُّ ْشأ َ كِ يٍَْ َْزَاْٚ ِسش ْ َ ِايَبسَ ِرِّ ثِزِٙشِ فٛ" َٔلَذْ ّأَخَزَ اثٍ انضث جمَاعُ الصحابة ْ ِ ََْٔزَا ا.ِ ْشيَٗ ػَهَٗ انِه َٕطِ زَب ِئظَٚ ََُّثكش سضٗ اهلل ػُّ ّأ "َِّمْزُمُ ِثٚ ْ َمخِ انمَزْمِ َٔيَبِٚعش َ ِْٙ َُُٓىْ فَٛ َٔإًََِب االختالف ث،ِّػَهَٗ لَزِْه 73
“Dan mengambil Ibn Zubir dalam perintah membakar dalam kuasanya, dan sesungguhnya diriwayatkan dari Abu Bakar sesungguhnya dirajam orang yang liwat dengan batu. Dan ini merupakan persepakatan sahabat dalam pembunuhannya. Sesungguhnya berlaku perselisihan di antara mereka dalam cara pembunuhan itu”.
خًَبع ْ ِ َٔألَََّ إ.َخًُٕا االَػْهَٗ َٔا ْنبَعْفَم ُ فبس: نفظٙ"سََٔاِ ّأثٕ دأد ٔف ِٙ َٔإًََِب اِخْ َتلَفُىا ف،ِّعلَى لَزِِه َ جمَعُىا َ فأَٓى،انصسبثخ سضٗ اهلل ػُٓى ."ِّصِفَ ِز 74
“Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kata-katanya: Maka rajamlah mereka di atas dan di bawah, karena persepakatan sahabat. Maka bersepakat atas pembunuhan dan mereka berselisih dalam menentukan sifatnya”.
73 74
Ibid, h. 61. Ibid. h. 61.
Hukuman rajam ke atas peliwat karena Allah SWT sendiri merajam kaum Luth dengan batu atas perbuatan liwat mereka, dan sebagian mereka berpendapat pengguguran hukuman ke atas mereka berselisih berdasarka lafaz yu kholif dalam kenyatan ini dengan nas dan ijmā‟.
َٖشَٚ ٌَ َٔإَّ كَب،ّ انغالوٛ"َٔازْزَحَ ازًذ سضٗ اهلل ػُّ ثِمَْٕلِ ػهٗ ػه َؼَبلِتَ يٍَْ َفؼَمُٚ ٌَ ّأَُِْٙ َجغَٛخ ًُُّ َِٔنأٌََ اهلل رؼبنٗ ػُزِةَ لَْٕوً نُ ْٕطٍ ثِبنشَخْىِ ف ْ َس ."ِخًَبع ْ ِ َٔلَْٕلُ يٍِْ اِعْ َمظِ انسَذِ ػَ ُُّْ يُخَالِفُ انَُصِ َٔا ْنإ،ِْفؼُْهُٓىْ ِثًِثْمِ ػُمُْٕ ِثِٓى
75
“Dan perdebatan Ahmad dengan sabda Nabi SAW dan melihat kepada rajam karena Allah SWT menurunkan azab ke atas kaum Luth dengan rajam, maka patut menghukum dengan perbuatan mereka mengikut hukuman, dan pengguguran had ke atasnya berselisih dengan nas dan ijmā‟”. Tetapi sebagian mereka mengatakan hukuman bagi mereka adalah ta‟zir, tetapi Abu Hanifah tidak bersetuju berdasarkan lafaz la yuwafiq dalam kenyataan ini.
ِفخ ػَهَٗ انمَْٕلُٛيُىَافِقُ ّأَثَب ز
َٔنَب:َِٙخُ ّأثٕزبيذ االَعْ َفشَاٛ"لَبنَضض انش ."َشِ اَزَذْٚ ِثِبن َز ْؼض 76
“Berkata Syeikh Abu Hamid al-Asfarani: dan tidak bersetuju Hanafi dengan hukuman ta‟zir”. Seterusnya sahabat berselisih pendapat berdasarkan lafaz ikhtalafa ashab dan mukhtalif dalam menentukan apakah perbuatan ini perlu dikenakan had atau tidak, karena dubur merupakan tempat syahwat.
75 76
Ibid. h. 62. Ibid. h. 62
G. Memelihara kemaluan Diharamkan ke atas zina dan liwat sebagai firman Allah SWT yang menyuruh hambanya memelihara kemaluan kecuali ke atas istri-istri mereka. Lafaz ajmaā‟ ulama‟ dalam kenyataan ini menunjukkan bahwa ulama‟ bersepakat dengan firman Allah SWT tentang keharusan memelihara kemaluan dan menggunakannya pada tempat yang dihalalkan
ْ ِغأََْب ي ٍ َ ُٚ ٌَْال ْيشََّأحُ ّأ ِ ُُسِمٚ خ فَهَبٚ االِْٙمُ فِْٚٔ َٔػَهَٗ َْزَا ان ُزأ:ِٙ"لَبلَ ان ُم ْشعِج َخ ٔنكُٓب نَْٕ اِػْزَمَ ُزُّ َثؼْذٚ االِٙشِ دَاخِهخ فْٛ َجمَاعَا ِمهْ ال ُع َلمَاءِ ِنأَََٓب غ ْ َِرًِْه ُكُّ ا ."ِد ًُْٓ ْٕس ُ شِ ػُِْذَ انْٛ ََدُ ْٕصُ ِنغٚ خَٓب َكًَب َ ََُٔ َزضٚ ٌَْيِ ْه ِكَٓب َنُّ خَبصَ َنُّ ّأ 77
“Berkata Qurtubi: dalam ayat ini tidak menghalalkan seorang perempuan disetubuhi dan ulama‟ bersepakat mengenainya karena tidak termasuk dalam ayat ini, akan tetapi jikalau seorang hamba telah dimiliki harus ke atasnya menikahi sepertimana harus disisi jumhur”.
Dalam pembahasan di atas, dapat disimpulkan berdasarkan serta lafaz-lafaz ijmā‟ yang terdapat dalam kitab al-Majmū‟ di bawah pengkhususan bab zina dan liwat, penulis menemukan tujuh masalah yang dikemukakan ole Imam Nawawi diputuskan berasaskan ijmā‟. Penulis membuat perbandingan di antara lafaz-lafaz ijmā‟ dalam bab dua dan bab tiga ini, penulis dapat simpulkan bahawa lafaz ijmā‟ yang digunakan oleh Imam Nawawi umumnya tidak dinyatakan secara jelas perkara ijmā‟ sekalipun perkara itu adalah ijmā‟. Contohnya beliau menggunakan lafaz فًزفك ّٛػه,ّٛ يدًغ ػهdan selainnya.
77
Ibid, h. 63.
BAB V PENUTUP
D. Kesimpulan Berdasarkan penelitian hal yang diijma‟kan dalam tindak pidana zina menurut kitab al-majmu‟ ada tujuh macam masalah, berdasarkan tersebut adalah pertama, hukuman zina bagi orang yang telah menikah adalah telah diijma‟kan oleh para ulama mengatakan bahwa cambuk keatas yang telah berzina. Kedua, hukuman zina bagi yang belum bernikah adalah telah pun diijma‟kan oleh fuqaha mengatakan bahwa bagi siapa yang berzina dikenakan hukuma cambuk seratus kali dan diasingkan daerah selama setahun. Ketiga, pensabitan zina adalah telah diijma‟kan oleh An-Nawawi dalam kitab al-wajiz fi fiqh al-jina‟i al-islami mengatakan bahwa pensabitan zina berdasarkan kepad masuk keseluruhan zakar laki-laki ke dalam faraj wajib dikenakan had tetapi jika sedikit tidak dijatuhkan had. Keempat, terhalang had karena syubhat adalah telah diijma‟kan oleh para ulama tetapi hanya imam Malik berselisih pendapat mengatakan bahwa menyetubuhi yang syubhat dan terpaksa tiada dikenakan had karena hudud terhalang dari syubhat. Kelima, menyetubuhi dalam akad nikah yang fasik (rusak) adalah telah diijma‟kan oleh para ulama mengatakan bahwa nikah tanpa wali adalah tidak sah wajib dikenakan had keatasnya dan tidak wajib keatasnya untuk bersetubuh dengan perempuan tersebut. Keenam, liwat adalah telah diijma‟kan oleh para fuqaha mengatakan bahwa mendatangkan zakar pada
dubur merupakan haram perbuatannya hukumannya rajam dengan membakar. Ketujuh, memelihara kemaluan adalah telah diijma‟kan oleh para ulama mengatakan bahwa keharusan memelihara kemaluan dan menggunakan pada tempat yang dihalalkan. E. Rekomendasi 1. Kepada semua pihak perlu memupuk dan mengasah minat pelajar dalam bidang ini, seperti menjadikan fiqh sebagai subjek yang wajib diikuti bagi pelajar pengajian Islam. Orang-orang yang bertanggungjawab mengeluarkan hukum perlu betul-betul memahami dan mendalami bidang fiqh dan bersungguh-sungguh menggunakan seluruh daya usaha dan tenaga dalam mengistinbatkan hukum yang berkaitan dengan nas syara‟, kemahiran dan ketelitian diperlukan dalam mengeluarkan hukum. 2. Kepada para akademis yang mendalami hukum pidana Islam untuk memperhatikan masalah-masalah yang dalam had zina, karena ijma‟ menemukan sumber hukum Islam dalam masalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Karim Abdullah, Musthafa, S.H. dan Ahmad, Ruben, S.H., Intisari Hukum Pidana, 1983. Ad-Dimasyqi, Al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi, Cet XIII, 2010. Ahmad, Haji Hassan bin Haji, dan Ahma, Haji Mohd Soleh bin Haji, Usul Fiqh & Qawaid Fiqhiyyah, Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, Cet I, 1998. Anduk, Ustaz Abdul Aziz Achik, Ilmu Usul Fiqh, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cet II, 1980. Al-Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin, Syarah Arba‟in Nawawiyah, Jakarta Timur: Akbarmedia, Cet II, 2010. Al-Asuadi, Sheikh Imam al-A‟llamah Saifuddin Abi al-Hassan Ali bin Abi Ali bin Mohammad, Al-Ahkam fi usul al-Ahkam, Juz. 1, Lubnan: Dar al-Kutub alIlmiah, 1980. Al-Armawi. Sirajuddin Mahmood bin Abi Bakrin, Al-Tashil min al-Mahsul. Juz. 2. Muassasah al-Risalah. Cet. 1. 1988. Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Bandung: Jabal, Cet V, 2010. Al-Bugha, Musthafa Dib, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi‟i, Jawa Tengah: Surakarta, Cet I, 2010. Al-Ghazali, Imam Abi Hamid Mohammad bin Mohammad bin Mohammad, AlMankhul min takliqati al-Usul li hujjati al- Islam, Syria: Darul Fikir Damsyik, Cet III, 1998. Al-Hadari, Syeikh Mohd, Usul al-Fiqh, Kaherah: Dar a-Hadith, Cet I, 2001. Al-Asqalani, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, Jakarta Timur: Akbarmedia, Cet V, 2010.
Aji, Dr. KH. Ahmad Mukri, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd Kajian atas Fiqh Jinayat dalam Kitab “Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid”, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, Cet II, 2010. Al-Khin, Dr. Mustofada, dan Al-Bugho, Dr. Mustofa, Ali, Asy-Syarbaji, Kitab fikih Mazhab Syafie, Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Cet I, 2005. Al-Khotorji, Dr.Naha, Jarimah al-„Itishob fi Dhau‟ al-Syariah al-Islamiah wal Qanun al-Wad‟I, Birut: Muassah al-Jamiah lil Dirasat wa al-Nasru wa alTauzi‟, Cet I, 2003. Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin, M.A., Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet II, 2009. Al-Mahshori, Ahmad, Al-Syiasah al-Jaza‟iah al-Hudud wa isrobah fi fiqh Islami, Jil. 2, Dar al-Jil, Cet III, 1993. al-Qazwini, Ibn Majah, Abu Abdullah Mohammad bin Yazid bin Abdullah, Sunan Ibn Majah, Juz. 1. Lubnan: Dar al-Ma‟rifah, 1981. Al-Ustsaimin, Syaikh Muhammad Shaleh, Riyadhus Shalihin, Jakarta Timur: Akbarmedia, Cet IV, 2010. Al-Zain, Samih„Atif, Mausuah al-Ahkam al-Syarie‟yatu al-Maisaroh fi al-kitab wa al-Sunnah al-Muamalat wal bayanati wal „uqubat, Lubnan: Dar alKitab al-Lubnani, Cet I, 1995. Al-Zarkasi, Imam Badaruddin Muhammad bin Bahadar bin Abdullah, Al-Bakr alMuhit fi usul al-Fiqh, Juz. 3, Lubnani: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Cet I, 2000. Al-As‟adi, Muhammad Ubaidillah, Al-Maujiz fi Usul al-Fiqh, Kaherah: Darul Salam, Mesir, Cet II, 1998. Audah, Abduh Qadir, Al-Tasyrik al-Jina‟I al-Islami, Juz.2. Lubnan: Muassah Risalah, Cet 14, 2001. Bakira, As-Sadri Syed Muhammad, Ilmu Usul Fiqh, Jil. Lubnan, Darul Kitab alLubnani, Maktabah al-Madrasah, Cet II, 1986. Basmih, Syeikh Abdullah bin Muhammad, Tafsir Pimpinan al-Rahman, Penerbit: Darul Fikir, Cet 16, 2000.
Bassam, Abdullah Abdurrahman Alu, Syarah Hadits Hukum Bukhari Muslim, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, Cet II, 2010. El-Muhammady, Abdul Halim, Sumber Undang-undang Islam dan Perundangan Orientalis, Kuala Lumpur: Penerbit:Budaya Ilmu Sdn Bhd, Cet I, 1994. Ensiklopedia Islam. Perpustakaan Negara Malaysia @karya Adaptasi Dewan Bahasa dan Pustaka, Malysia 2004. Damawa Sdn. Bhd. Cet I, 2004. Habieb, Sa‟di Abu, Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, Cet IV, 2006. Haitu, Dr.Muhammad Hassan, Al-Wajiz fi Usul Al-Tasyri' Al-Islami. Muasasah AlRisalah, Cet II, 1984. Hakim, Drs. H. Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet II, 2010. Hanapi, Mohd. Shukri. dan Latif, Mohd Tajul Sabki Abdul, kamus istilah undangundang jenayah syari‟ah (Hudud, Qisas & Ta‟zir. perpustakaan Negara. Cet I, 2003. Haroen, Drs. H. Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, Cet I, 1996. Idhamy, Drs. Dahlan, Karakteristik Hukum Islam, Surabaya. Penerbit: Al-Ikhlas. Cet I, 1994. Ismail, Dr.Faezah, Al-Fiqh al-Jina‟I al-Islami, Kuala Lumpur: Intel Multimedia and Publication, Cet I, 2001. Jaib, Sa‟di Abu, Mausuah al-Ijma‟ fi fiqhu al-Islami, Juz. 2. Damsyik: Dar alFikr, Cet III, 1997. Kamali, Mohammad Hashim, Principle of Islamic Jurisprudence, Petaling jaya.: Pelanduk Publications (M) Sdn.Bhd, 1989. Khalid, Salahuddin Abdullah Omar, Tafsir Mubin, Jil 3 Juz 11-15, Perpustakaan Negara Malaysia Cet I, 2009. Khallaf, Dr. Abdul Wahhab, Kaedah-kaedah Hukum Islam, Jil. Bandung: Penerbit Risalah 1, Cet I, 1984.
Khan, Dr.Mustafa Said, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Usuliyyah fi ikhtilaf alFuqaha‟, Mausuah al-Risalah, Cet 6, 1996. Shiha, Syeikh Kholil Ma‟mun, Sunan Ibn Majah bi sarhi al-Imam Abi al-Hassan al-Hanafi al-Maaruf bis-sindi, Lubnan: Darul Ma‟rifah, Cet I, 1996. Mua‟wwidh, Ali Mohammad & Abdul Maujud, Adil Ahmad, Tarikh al-Islami dirosat fi al-Tasyrik wa tatowwirihi wa rijalihi, Juz. I, Lubnan:Dar alKutub al-Ilmiah, Cet 1, 2000. Mucthar, Drs.H.Kamal, & rakan-rakan, Ushul Fiqh, Jil. 1. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995. Muslich, Drs. H. Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, Cet II, 2006. Nawawi, Imam Abi Zakaria Muhyiddin bin Syarif, Kitab Al- Majmu' Syarhu AlMahazzab Li Al- Syirozi, Juz. 23, Darul Ahya' Al- Turonul Arabi, Cet I, 1995. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah. Jakarta Pusat: PT. Pena Pundi Aksara, Cet III, 2008. Sarnap, Fadilah, Perundangan Islam Sejarah Perkembangan, Sumber dan Mazhabnya, Kuala Lumpur: Penerbit Perniagaan Jahabersa, Cet I, 1998. Santoso, Topo, S.H., M.H., Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, Cet I, 2003. Syafe‟i, Prof. Dr. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, Cet IV, 2010. Syarifuddin, Prof.Dr. H. Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet I, 1997. Yahya, Prof. Dr. H. Mukthar, dkk, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT al-Maarif, Cet 10, 1986. Yassin, Dr. Mohd Naim, Al-Wajiz fi fiqh al-Jina‟I al-Islami, Darul Furqan, Cet I, 1983. Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah, Fiqih Imam Syafi‟I, Jakarta Timur: Almahira, Cet I 2008.
Zaidan, Dr. Abdul Karim, Al-Wajiz fi usul al-Fiqh, Darul Tauzi‟ wa Nashul Islamiah, Cet I, 1993. Zaidan, Dr. Abdul karim, Al-wajiz fi Usulul Fiqh, Baghdad: Maktabah Al-Kudus. Cet II, 1987. Zahrah, Al-Imam Mohammad Abu, Tarikh Mazahib al-Islamiah fi al-Siasah wa al-A‟qaid wa tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyyah, Kaherah: Dar al- Fikr alArabi, 1996. http://en.wikipedia.org/wiki/Yahya_ibn_Sharaf_al-Nawawi http://fatwasyafii.wordpress.com/2010/05/19/biografi-al-imam-al-hafizhmuhyiddin-abu-zakariya-yahya-bin-syarf-an-nawawi-631-676-h/ http://id.wikipedia.org/wiki/Zina