URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1 Abstract The development of science and technology and globalization were already unstoppable today, not only have a beneficial impact, but also often have a negative impact for example by the "globalization of crime" and the development of quality (modus of operation) and the quantity of criminal acts. Offenses rife nowadays with regard to the corporate existence of the corporation is a criminal offense that could result in serious and widespread impact, damage the joints of the nation and threatens the stability of the State. Therefore, the law should take back its role in order to create justice and welfare and in handling needed ways remarkable that one of them is to make the corporation as a subject of criminal law that is considered to be committing a crime and can be criminally) Keywords: criminal law, corporate criminal offense, criminal liability corporation Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang sudah tidak terbendung dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya dengan adanya “globalisasi kejahatan” dan berkembangnya kualitas (modus operandi) dan kuantitas tindak pidana. Tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini berkaitan dengan eksistensi korporasi adalah tindak pidana korporasi yang akan menimbulkan dampak serius dan meluas, merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan mengancam stabilitas Negara. Oleh sebab itu, hukum harus mengambil kembali peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat dan dalam penangannya dibutuhkan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya adalah menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana) Kata kunci: hukum pidana, tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban pidana korporasi
1
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung. Alamat kontak:
[email protected].
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
I.
547
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang, dikatakan demikian karena Pembangunan Nasional Indonesia dewasa ini telah memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menyangkut pembangunan di bidang ekonomi semata namun menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di bidang hukum, pembangunan dibidang ekonomi bahkan dibidang sosial dan politik. Perkembangan dan pembangunan sebagaimana telah dikemukakan diatas sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu cepat. Namun demikian, globalisasi ini tentu saja di samping menimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia sudah tentu harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yaitu adanya “globalisasi kejahatan” dan meningkatnya kuantitas (modus operandi) serta kualitas tindak pidana di berbagai negara dan antar negara.2 Dengan adanya globalisasi dan modernisasi tepatnya dalam hal kemajuan teknologi, komunikasi, transportasi dan informatika khususnya di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi, kemajuan dan perkembangan dunia, seolah-olah membuat batas-batas negara, kedaulatan dan hak-hak berdaulat menjadi kabur. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif yang sangat memprihatinkan. Atau dengan perkataan lain bahwa manusia seringkali memanfaatkan perkembangan tersebut untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak dikendalikan akal dan hati nurani dan sebaliknya justru menggunakan alat-alat teknologi modern tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana, tidak jarang disertai violence yang bertentangan dengan peradaban manusia. Dengan berkembangnya berbagai jenis kejahatan yang semakin kompleks sudah tentu menuntut adanya sarana penanganan yang mampu untuk memecahkan dan tanggap akan kondisi tersebut. Hal ini diperkuat dengan Article 1 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000 (TOC) disebutkan dengan tegas bahwa: The purpose of this convention is to promote cooperation to prevent and combat transnational organized crime more effectively. (tujuan dari konvensi ini adalah untuk memajukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif). Dilihat ketentuan tersebut, terbukti adanya peningkatan kejahatan dan keprihatinan masyarakat internasional mengenai kejahatan yang berkembang dewasa ini yang tidak saja merupakan masalah suatu negara, tetapi juga merupakan masalah global. Kemudian diperkuat pula dengan laporan Kongres PBB ke-5 dan ke 6 mengenai The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders terungkap bahwa Crime As Business merupakan bentuk kejahatan dalam bidang bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi 2 Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum, Makalah: disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Undip Tahun 2010, tanggal 18 September 2010.
548
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dan mereka mempunyai kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau dapat dikatakan sebagai white collar crime. Dan dalam Kongres ke-6 PBB lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana bisnis atau tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi meliputi berbagai bidang tidak dapat dipisahpisahkan melainkan kesemuanya memiliki hubungan satu dengan yang lain. Hal ini akan membawa konsekuensi lebih lanjut dalam hal atau upaya pencegahan dan pemberantasannya. Karena kesemua bidang tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain, maka dalam upaya pencegahan dan pemberantasannyapun tidak dapat dilakukan satu persatu atau bagian perbagian melainkan harus dilakukan secara terpadu dengan sebuah kebijakan hukum pidana (criminal penal policy). Menghadapi efek negatif dari globalisasi yaitu adanya “globalisasi kejahatan” serta peningkatan terhadap kuantitas dan kualitas kejahatan sebagaimana telah dikemukakan diatas, hukum harus kembali mengambil peranannya sebagai sarana atau alat untuk mengatur ketertiban umum dan memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam tataran Negara Republik Indonesia, hukum harus mengambil peranananya dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam alinea ke 4 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam kaitannya dengan era globalisasi dewasa ini, eksistensi suatu korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi kepentingan manusia ataupun bagi kepentingan negara. Dikatakan demikian karena korporasi tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan bermasyarakat atau dengan kata lain, dalam rangka mencukupi kebutuhan umat manusia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan korporasi. Sebagaimana dikemukakan diatas, selain bagi manusia, eksistensi korporasipun dirasakan penting bagi kepentingan Negara. Hal ini dikarenakan korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap perekonomian nasional tepatnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa korporasi memiliki peranan penting seperti meningkatkan penerimaan Negara dengan penerimaan pajak, menciptakan lapangan pekerjaan, alih teknologi, terlebih untuk sebuah bank, korporasi (yang dalam hal ini adalah bank) dapat dikatakan sebagai pilar penopang perekonomian nasional. Namun demikian, peranan penting dan hal positif yang dapat diambil dari suatu korporasi sebagaimana tersebut tidak selamanya dapat terealisasi melainkan dengan tidak dapat dilepaskannya eksistensi korporasi dewasa ini, seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran atau bahkan perbuatan melanggar hukum termasuk pelanggaran hukum pidana. Salah satu contoh perbuatan pidana yang seringkali dilakukan oleh suatu korporasi misalnya
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
549
adalah korporasi melakukan pencemaran lingkungan, melakukan unfair business atau bahkan melakukan suatu tindak pidana di bidang ekonomi seperti tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang (tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara pasif bahkan secara aktif) yang tidak hanya merugikan orang perseorangan ataupun masyarakat luas tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan suatu kerugian Negara. Selain itu, tindak pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena kejahatan korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsurunsurnya yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang tersistematis karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingankepentingan lain, dengan kode etik yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan “unsur-unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi selalu ada kelompok (protector) yang antara lain terdiri atas para oknum penegak hukum dan professional. dan kelompok-kelompok masyarakat yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara tersistematis tersebut. 3 Perlu pula dikemukakan bahwa kejahatan ini seringkali mengandung elemen-elemen kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (ilegal circumvention) sehingga sangat merugikan masyarakat secara luas.4 Selain itu, menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh Shutherland berikut ini: “…is a violation of criminal law by the person of the upper socioeconomic class in the course of his occupational activities” (kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan jabatannya). Melihat hal-hal tersebut diatas, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa tindak pidana korporasi sebagai bentuk kejahatan yang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terkait dengan korporasi sebagai pembuat tindak pidana, ketika korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka korporasi tersebut seharusnya dapat dimintakan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya baik yang ditunjukan langsung kepada korporasi yang bersangkutan ataupun yang ditunjukan kepada pengurus-pengurusnya (organorgan korporasi). Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (corporate criminal responsibility) 3 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010, hal. 111. 4 Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. Xiii.
550
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
bukanlah merupakan hal baru yang menimbulkan banyak persoalan hukum dan suatu perdebatan baik dikalangan akademisi maupun dikalangan praktisi hukum. Permasalahan mengenai pertanggungjawaban korporasi ini baru muncul manakala pertanggungjawaban korporasi ini dikaitkan dengan pertanyaan mendasar dalam hukum pidana diantaranya: Apa yang dimaksud dengan korporasi itu? Kapan suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana? Apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana? Kemudian apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana Indonesia yang menganut asas kesalahan (mens rea), maka akan timbul pertanyaan bagaimana kesalahan (mens rea) sebagaimana tergambar dari asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld; keine strafe ohne schuld) diterapkan terhadap korporasi? Dan bentuk pertanggungjawaban seperti apakah yang dapat dimintakan terhadap korporasi? Apakah hanya pidana denda ataukah dapat pula diterapkan sanksi pidana lain seperti pidana mati atau pidana penjara? Namun sebelum menjawab hal-hal berikut, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai definisi dari korporasi itu sendiri. II.
Pengertian Korporasi
Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah) sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula subjek hukum yang lain yaitu badan hukum (korporasi) yang padanya melekat hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum. Atas dasar itu, untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh karena istilah korporasi sangat erat kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang dikenal dalam bidang hukum perdata. Perlu pula dikemukakan bahwa menurut Rudi Prasetya, “Kata korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.5 Sedangkan apabila dilihat secara etimologisnya, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu “corporatio”.6 Terkait dengan istilah “corporatio” ini, menurut Muladi dan Dwidja Priyatno: Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio” maka “corporatio” dianggap sebagai kata benda (substantivum) 5 Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”, (Bandung: STHB, 1991), hal. 13. 6 Ibid.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
551
yang berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. “Corporare” itu sendiri berasal dari kata “corpus” yang dalam bahasa Indonesia berarti “badan” atau dapat disimpulkan bahwa corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.7 Menurut Garner dan Bryan A, mengemukakan bahwa pengertian korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-Undang diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya.8 Dilain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya Corporation Law menyatakan bahwa: A corporation is an artificial person. It can do anything a person can do. It can buy and sell property, both real and personal, in its own name. It can sue and be sued in its own name. It is formal.9 (korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual properti, baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini menyebabkan korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya sendiri). Mengenai hakekat dari korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa: Korporasi adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya sendiri dibanding dengan tubuhnya sendiri; kehendak yang dijalankan dan bersifat mengarahkan harus secara konsisten dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin disebut agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi.10
7
Ibid., hal. 12. Garner, Bryan A., (Ed.), “Black’s Law Dictionary”, Second Pocket Edition, (tanpa kota, tanpa penerbit, 2003), page. 147 9 Kenneth S. Ferber, “Corporation Law”, Prentice Hall, 2002, page. 18 10 Peter Gillies (Penyunting: Barda Nawawi Arief), “Criminal Law”, (Tanpa kota, tanpa penerbit, 1990), page. 126 8
552
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun ditentukan oleh hukum.11 Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Sutan Remi Sjahdeini menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang luas. Beliau menyatakan bahwa: Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya‖ korporasi itu diakui oleh hukum.12 Sedangkan secara luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum pidana, beliau mendefinisikan korporasi sebagai berikut: “Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum”.13 Hampir senada dengan pandapat Sutan Remi Sjahdeini diatas, menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi itu? Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi, dalam hal ini hanya dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Adapun alasan yang dikemukakan oleh kelompok pertama ini bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 13. Sutan Remi Sjahdeini, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hal. 43. 13 Ibid., hal. 45. 11 12
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
553
secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.14 Terkait dengan hal ini, H. Setiyono mengemukakan bahwa: Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau legal person. Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan”.15 Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan ruang lingkup mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah “badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan hanya yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa beberapa pengertian korporasi sebagaimana dikemukakan diatas merupakan pengertian korporasi yang disampaikan oleh para ahli hukum sedangkan perumusan definisi sebagai hukum positif belum ada. Keadaan ini tentu dalam prakteknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena penafsiran apa yang dimaksud dengan “korporasi” akan sangat bergantung dari pendapat siapa kita berangkat. Singkatnya, apabila dilihat dari sudut pandang hukum pidana Indonesia, terminologi “korporasi” belum didefinisikan secara tegas. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat dalam hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda masing menganut individual responsibility. Namun demikian, didalam beberapa Undang-Undang yang bersifat khusus seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau
Loebby Loqman, “Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian”, (Jakarta, Datacom, 2002), hal. 32. 15 H.Setiyono, “Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Edisi kedua, Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia Publishing, 2003), hal. 17. 14
554
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Berikut ini akan diuraikan Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus diluar KUHP yang ruang lingkupnya diatur sedemikian luas (lebih luas dari pengertian korporasi dalam hukum perdata) yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-undang berikut ini:16 Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UndangUndang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; dan lain sebagainya. Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang tersebut diatas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa:17 1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus; 2. Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten; 3. Istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam UndangUndang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993. Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang khusus diluar KUHP. Oleh karena itu, menuruh hemat saya, perumusan korporasi sebagai subjek hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I KUHP sehingga dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi baik tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur diluar KUHP. Hal ini dapat dijumpai dalam Rancangan KUHP (yang selanjutnya akan disingkat RKUHP) tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 47 yang menyatakan: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana” dan pasal 182 yang menyatakan bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. III. Pengertian Dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering disebut juga dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini Lihat selengkapnya dalam Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, Op. Cit., hal. 225-226 dan Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Op. Cit., hal. 168-172. 17 Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 226. 16
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
555
berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white collar crime itu sendiri Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memberikan definisi yaitu sebagai: white collar crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and bussines world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).18 Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup tindak pidana korporasi melingkupi:19 1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. 2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan). 3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban. Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini, Muladi membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan korporasi sebagai berikut: Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya banyak, sedangkan secara individual kerugiannya sangat sedikit.20 Sedangkan menurut Clinard dan Yeager, terdapat enam jenis korban kejahatan korporasi yaitu:21 1. Konsumen (keamanan atau kualitas produk).
Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 44. 19 Lihat juga Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 41. 20 Arief Amrullah, “Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on Democracy)”, (Malang: Banyumedia Publishing, 2006), hal. 133. 21 Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 140. 18
556
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Bilamana resiko keamanan dan kesehatan dihubungkan dengan penggunaan produk, maka konsumen telah menjadi korban dari produk tersebut. 2. Konsumen (kekuasaan ekonomi). Pelanggaran kredit, yakni memberikan informasi yang salah dalam periklanan dengan tujuan untuk mempengaruhi konsumen. 3. Sebagian besar sistem ekonomi telah terpengaruh oleh praktik-praktik perdagangan yang tidak jujur secara langsung (pelanggaran terhadap ketentuan anti monopoli dan pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan persaingan lainnya) dan kebanyakan pelanggaran keuangan kecuali yang berkaitan dengan belanjaan konsumen. 4. Pelanggaran lingkungan (pencemaran udara dan air), yang menjadi korban yakni lingkungan fisik. 5. Tenaga kerja menjadi korban dalam pelanggaran terhadap ketentuan upah. 6. Pemerintah menjadi korban, karena adanya pelanggaran-pelanggaran administrasi atau perintah pengadilan dan kasus-kasus penipuan pajak. Selain itu, tindak pidana korporasi telah menimbulkan kerugian diberbagai bidang misalnya kerugian di bidang: 1. Kerugian di bidang ekonomi atau kerugian materil Berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommitee on Antitrust and Monoplay of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4 miliar. 2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa Menurut Geis, setiap tahunnya korporasi bertanggungjawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi. 3. Kerugian di bidang sosial dan moral Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
557
kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis. The President‘s Commision on Law Enforcement and Administration of Justice pernah menyatakan bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling penting mencemaskan bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business). Mengingat dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi sangat berdampak luas, menurut hemat saya, terdapat urgensi untuk mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Namun demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi harus tetap memperhatikan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Clinard dan Yeagar sebagai berikut:22 1. The degree of loss to the public. (Derajat kerugian terhadap public); 2. The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat keterlibatan oleh jajaran manager); 3. The duration of the violation. (Lamanya pelanggaran). 4. The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi); 5. Evidence of intent to violate. (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran); 6. Evidence of extortion, as in bribery cases. (Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap); 7. The degree of notoriety engendered by the media. (Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan media); 8. Precedent in law. (Jurisprudensi); 9. The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi); 10. Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan); 11. The degree of cooperation evinced by the corporation. (Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi). Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi menyangkut tujuan yang bersifat integratif yang mencakup :23 1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak 22 23
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal. 118. H.Setiyono, Op. Cit., hal. 121-123.
558
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat. 2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana. 3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. . Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara. 4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Mengutip kembali pernyataan Muladi diatas yang menyatakan bahwa: …Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi…24 Hazel Croall, menyatakan bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan korporasi ini karena karakteristik umum yang melekat pada white collar crime, yaitu:25 1. Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (Diffusion Responsibility) 2. Ketidakjelasan korban (Diffusion Of Victim) 3. Aturan hukum yang samar (Ambiguous Criminal Law)
24 25
Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 133. H. Setiyono, Op. Cit., hal. 54 – 56.
Of
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
559
4. Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (Weak Detection And Prosecution). Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korban kejahatan korporasi tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga kerugian imateril seperti kesehatan, bahkan bukan tidak mungkin kehilangan nyawa dan juga menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup. Kerugian materi yang diderita oleh korban kejahatan korporasi sangat sulit untuk diestimasi. Hal ini dikarenakan korban kejahatan korporasi yang sangat luas (masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang dihasilkan korporasi baik berupa barang maupun jasa, korporasi yang bertindak selaku kompetitor, para karyawan dan pemegang saham dalam sebuah korporasi, bahkan negarapun dapat menjadi korban kejahatan korporasi). Selain itu, tidak jarang kerugian yang diderita oleh korban kejahatan korporasi bersifat kompleks sehingga tidak mudah melakukan pembuktiannya dan korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi. IV. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin pertanyaan inilah yang pertama-tama harus dijawab. Istilah “kriminalisasi” pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “Criminalization” yang menurut penulis secara sederhana dapat diartikan bahwa sebuah langkah atau proses yang diambil oleh legislative untuk menilai, menentukan dan merumuskan, apakah suatu perbuatan yang sebelumnya dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) menjadi suatu tindak pidana. Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, pada dasarnya akan meliputi dua masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:26 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perlu memperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu diperhatikan kriteria umum sebagai berikut:27 1. Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan atau mendatangkan korban; 2. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan 26 Kristian, Draf buku “Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban pidana korporasi”, non publikasi hal 34. 27 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial”, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 62.
560
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai; 3. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga terjadi ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyaranyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak hukum; 4. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, yakni terwujudnya masyarakt yang adil dan makmur sehingga merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat. Jadi dapat disimpulkan pula bahwa istilah “krimanalisasi” hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana. Proses kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.28 Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan hukum yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas disini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintahan. Disinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa proses kriminalisasi di bidang tindak pidana ekonomi yang salah satunya tindak pidana korporasi terus berlangsung dari waktu ke watu dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar mengingat salah satu peran negara adalah melindungi warganya. Dalam rangka ini, negara (pemerintah) melakukan banyak kriminalisasi terhadap tindak pidana baru di bidang ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 sebagaimana saat ini telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kriminalisasi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kriminalisasi di bidang perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diubah dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 dan kriminalisasi di bidang perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, (Bogor: Politeia, tanpa tahun), hal. 27. 28
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
561
Perbankan. Berdasarkan uraian singkat diatas, dapat dilihat bahwa proses kriminalisasi dalam hal tindak pidana di bidang ekonomi berlangsung begitu cepat dan diatur dalam berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masingmasing. Namun demikian, berbeda dengan hal sebagaimana disebutkan diatas, kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai dengan saat ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Sudah tentu hal ini nampaknya akan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kualitas dan kuantitas kejahatan yang bersangkutan dan akan sangat berpengaruh dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi. Selain itu, dengan terlambatnya melakukan kriminalisasi tindak pidana korporasi maka akan manimbulkan dampak yang sangat serius. Hal ini dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahayanya. Hal ini Nampak dalam hal lumpur Lapindo, apabila tindak pidana lumpur Lapindo ini sudah menimbulkan dampak (rusaknya lingkungan) maka sangat sulit atau tidak ada lagi cara yang dapat diambil Negara untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula. Oleh sebab itu, alangkah baiknya dalam proses kriminalisasi tindak pidana korporasi ini dirumusakan baik dengan menggunakan rumusan delik formal ataupun material, delik aduan ataupun delik biasa sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dapat dilaksanakan secara efektif dan evisien. Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan yang mengkriminalisasi tindak pidana di bidang ekonomi adalah berkaitan dengan subtansi atau pengaturannya. Dalam hal ini seringkali ditemukan terjadi tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan evisiensi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tetapi justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ekonomi yang dalam hal ini adalah tindak pidana korporasi (yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan bidang lainnya) dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana dikemukakan diatas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana (criminal penal policy) yang terpadu dan dibutuhkan kebijakan penal mengenai kriminalisasi di bidang ekonomi itu sendiri. V.
Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi
yang
Dilihat dari segi historis, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan
562
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
pertanggungjawaban secara pidana sudah berlangsung sejak 1635. Pengakuan korporasi ini dimulai ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana namun hanya terbatas pada tindak pidana ringan.29 Berbeda dengan sistem hukum Inggris, di Amerika Serikat, Eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diakui dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana baru diakui eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan pengadilan.30 Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi pertanggungjawaban korporasi atau mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dimintakan pertanggungjawaban secara pidana berkembang pula pada beberapa Negara seperti Belanda, Italia, Perancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberapa Negara Eropa termasuk berkembang pula di Indonesia.31 Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia, menurut KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara common law seperti Inggris, Amerika Serikat dan Canada. Di negara-negara Common Law tersebut perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Pengadilan Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum.32 Perlu pula dikemukakan bahwa pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul pada dasarnya tidak melalui penelitian yang mendalam dari para ahli hukum, melainkan hanya sebagai trend akibat dari adanya kecenderungan dari formalisme hukum (legal formalism). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi berkembang melalui peran pengadilan tanpa adanya teori pendukung yang membenarkannya. Dalam perkembangannya lebih lanjut, konsep pertanggungjawaban korporasi yang hanya terbatas bagi tindak pidana ringan dirasakan tidak mencukupi oleh sebab itu konsep pertanggungjawaban korporasi hanya terbatas pada tindak pidana ringan hanya bertahan hingga akhir abad ke-1913. Setelah itu, para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana barulah mencari dasar pembenar perlunya korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Berikut beberapa alasan yang dapat 29
Andrew Weissmann dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate Liability, “Indiana Law Journal”, 2007, hal. 419. 30 Leonard Orland, The Transformation of Corporate Criminal Law, “Brooklyn Journal of Corporate, Finansial & Commercial Law”, 2006, hal. 46, Zachary Bookman, Convergences And Omissions In Reporting Corporate And White Collar Crime, “DePaul Business & Commercial Law Journal”, 2008, hal. 347. 31 Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (Strick Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 30. 32 Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi, hal. 2.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
563
dijadikan dasar pembenar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana: 1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan.33 2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan actor rasional korporasi.34 3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi seringkali menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari mengulangi tindakannya itu.35 4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;36 5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi, atau pengurus saja;37 6. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula; 7. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat; Berbeda dengan pemikiran diatas, terdapat beberapa para ahli hukum pidana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan alasan sebagai berikut :38 1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah (manusia alamiah); 2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi Arief dalam perkara yang menurut kodratnya tidak
33 Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, hal. 46;bandingkan juga dengan Dwidja Priyanto, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 27-28 dan Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008. 34 Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, “American Criminal Law Review”, 2007, hal. 1288. 35 Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, “Journal of Business & Technology Law”, 2007, hal. 27. 36 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 47. 37 Ibid. 38 H.Setiyono, Op. Cit., hal. 10.
564
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah palsu”39 3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara atau pidana mati”40 4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah; 5. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana; Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum ada putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan badan hukum atau korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat setidaknya tiga putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 136/KR/1966, tertanggal 1 Maret 1969; putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66/KR/1969, tertanggal 19 September 1970; putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 346/KR/1980, tertanggal 26 Januari 1984.41 Dengan adanya ketiga putusan Mahkamah Agung tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab. VI. Tahap-Tahan Perkembangan Pertanggungjawaban Korporasi Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa korporasi diatur atau dijadikan sebagai subjek hukum karena adanya perkembangan masyarakat yang tidak terbendung lagi. Dengan adanya perkembangan masyarakat ini, dirasakan perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dimana korporasi sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek hukum, korporasi tersebut dapat melakukan hak dan kewajibannya dengan nyata. Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis besar dapat dibagi dalam tiga tahap sebagaimana akan diuraikan dibawah ini. Perlu pula dikemukakan bahwa tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi ini akan mempengaruhi bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. 39 Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 45-46. 40 Ibid. 41 Lihat selengkapnya dalam Dwidja Priyatno dan Muladi, hal 169 sampai dengan 196.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
565
1. Tahap Pertama Pada tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.42 Pandangan pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.43 Jadi, apabila dalam suatu korporasi terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Asas “societas delinquere non potest” ini merupakan dasar dan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S.) yang berbunyi: Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana. Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan dari manusia. 2. Tahap Ke Dua Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi) namun demikian tanggung jawab untuk itu tetap menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Tanggungjawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya atau dengan perkataan lain bahwa pertanggungjawaban pidana tetap dimintakan terhadap pengurus yang secara nyata memimpin korporasi tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku tindak pidana akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggotanya atau pengurusnya selama dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan ataupun dalam aturan korporasi yang bersangkutan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum muncul.44
42
Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 52. Ibid., hal. 53. 44 Ibid., hal 53-54 43
566
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Dalam upaya menggambarkan korporasi sebagai subjek hukum yang perbuatannya dilihat dari perbuatan para pegawai yang mewakilinya, Denning L.J menjelaskannya secara metaforis: A company may in many ways be likened to a human body. It has a brain and a nerve centre which control what it does. It also has hands which holds the tools and act in accordance with directions from the centre. Some of the people of the company are mere servants and agent who are nothing more than hands to do the work and cannot be said to represent the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing mind and will of the company, and control what it does. The state of mind of these managers are the state of mind of the company and is treated by the law as such. So you will find that in cases where the law requires a personal fault as a condition of lability in tort, the fault of the manager will be the personal fault of the company. So also in the criminal law. In cases where the law requires a guilty mind as a condition of a criminal offence, the guilty mind of the directors or managers will render the company itself guilty.45 Adapun contoh dari peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini antara lain:46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Tenaga Kerja); Undang-Undang Nomor 2 tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing); Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (UndangUndang Penerbangan); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (UndangUndang Telekomunikasi; berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998); dan lain sebagainya.
45
Peter Gillies, Op. Cit., page 136. Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Cetakan Ke Dua Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 223. 46
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
567
3. Tahap Ke Tiga Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan diaturnya korporasi sebagai pembuat dan pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.47 Pada mulanya, peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan: Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya. Berdasarkan perumusan diatas dapat dilihat bahwa yang dapat melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah orang dan korporasi itu sendiri. Tahap ketiga ini telah mempengaruhi politik hukum pidana (criminal penal policy) Indonesia dimana hal ini menyebabkan peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai mencantumkan tanggungjawab langsung dari korporasi dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertangguingjawabkan secara pidana meskipun masih terbatas hanya dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP. Peraturan perundang-undangan khsus ini diantaranya: 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Kerja; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 47 Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia”, (Bandung, CV Utomo, 2004), hal. 27. 48 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 233.
568
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
1951 Tentang Kecelakaan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api; Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan. Sedangkan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana antara lain dalam:49 Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak Pidana Ekonomi); Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 (Pos); Undang-Undang Nomor 11 Prips. 1963 (Subversi; sudah dicabut); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 (Psikotropika); Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 (Perindustrian); Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 (Perikanan); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 (Pasar Modal); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup) ; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) dan lain sebagainya. Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut:50 1) Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. 2) Atas dasar kekeluargaan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. 3) Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan). 4) Untuk perlindungan konsumen. 5) Untuk kemajuan tehnologi. Perlu pula dikemukakan bahwa menurut Muladi, tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun sekarang di Negeri Belanda menurut beliau telah memasuki tahap keempat, yaitu pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di luar KUHP (WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya Undang-Undang Tanggal 23 Juni 1976 Stb 377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi : 1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
49
Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 89. Edi Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus)”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 31. 50
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
569
2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap : badan hukum atau terhadap yang “memerintah” melakukan tindakan yang dilarang itu; atau terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama . 3) Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan. Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda (pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi. Dalam RKUHP Tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 48 mencantumkan kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara langsung yaitu: Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersamasama”. Dan Pasal 50 yang menyatakan bahwa: Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”. Dengan melihat fase-fase perkembangan sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek yang mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan korporasi itu dijadikan subjek hukum pidana, pertama kali disebabkan oleh perkembangan di bidang perekonomian, yang kedua adalah merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang memiliki aspek ganda yaitu: 1) Modernisasi hukum, yaitu memperbaharui hukum positif sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat seirama dengan perkembangan masyarakat.
570
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
2) Fungsionalisasi hukum, yaitu memberikan peranan pada hukum untuk ikut dalam mengadakan perubahan pada masa pembangunan VII. Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior inilah yang kemudian menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.51 Namun sebelum membahas teori teori tersebut, perlu ditekankan bahwa antara teori teori tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. 1. Identification Theory Atau Direct Liability Doctrine Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teoriteori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.52 Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” (senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan “pejabat senior” (senior officer) dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi, dalam teori ini agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka 51 Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995), hal. 53. Wayne R LaFave & Austin W. Scott Jr., “Criminal Law”, (Michigan: West Publishing co, 1982, hal. 228. 52 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 140.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
571
orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat didentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan “directing mind” dari korporasi tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Card, yang menyatakan bahwa; “the acts and state of mind of the person are the acts and state of mind of the corporation ” (tindakan atau kehendak direktur adalah merupakan tindakan dan kehendak korporasi).53 Jadi, dalam teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” atau “teori organ” yang dapat diartikan secara sempit maupun secara luas, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu sebagai:54 1) Arti sempit (Inggris): Hanya perbuatan pejabat senior atau otak korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Secara sempit teori identifikasi hanya membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pejabat senior karena pejabat seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah kegiatan korporasi adalah pejabat senior atau dengan perkataan lain bahwa pada umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali perusahaan yang didalamnya terdiri dari para direktur dan manajer. 2) Arti luas (Amerika Serikat): Tidak hanya pejabat senior atau direktur tetapi juga agen dibawahnya. Tetapi apabila ditafsirkan secara luas, pertanggungjawaban secara pidana tidak hanya dapat dibebaknan terhadap pejabat senior saja melainkan juga dapat dibebani kepada mereka yang berada dibawahnya. Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi berdasarkan asas identifikasi ini. Misalnya dalam hal ini suatu korporasi yang melakukan tindak pidana (yang mensyaratkan adanya mens rea dan actus reus). Pengadilan dalam hal ini dapat memandang atau menganggap bahwa perbuatan dan sikap batin dari pejabat tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari “kedirian” organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi. Korporasi dalam hal ini bukan dipandang bertanggungjawab atas dasar pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu sendiri yang bertanggungjawab seperti halnya dalam pelanggaran 53 54
Muladi, Op. Cit., hal 21. Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 246.
572
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan tindak pidana itu secara pribadi.55 Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, bagaimana menentukan siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat yang mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya. Disisi lain, Lord Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah: “mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan”.56 Selain itu, menurut Lord Morris, yang dapat dikatakan sebagai pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari the directing mind and will of the company”.57 (Pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari The directing mind and will of the company). Oleh sebab itu, mengenai hakikat pejabat senior itu sendiri pada dasarnya adalah mereka yang baik secara individual maupun kolektif, diberikan kewenangan untuk mengendalikan korporasi melalui tindakan atau kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Pejabat senior dari segi struktural dan kewenangan (biasanya direktur dan manejer) berbeda dari mereka yang bekerja sebagai pegawai atau agen yang melaksanakan perintah atau keputusan yang dibuat oleh pejabat senior. Selain itu, menurut Hanafi, penerapan prinsip identifikasi dapat menimbulkan beberapa masalah antara lain:58 1) Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah perusahan, maka besar kemungkinan bahwa perusahan tersebut akan menghindar dari tanggung jawab. Sebagai contoh yang dapat diambil untuk menggambarkan kondisi ini, misalnya dalam kasus Tesco yang memiliki lebih dari 800 cabang yang dituntut melakukan tindak pidana berdasarkan “The Trade Description Act 1968” yang dilakukan oleh manager cabang toko tersebut. Dalam kasus ini, House Of Lord memutuskan bahwa manager cabang adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak perusahaan, belum ada pelimpahan oleh direksi berupa pelimpahan fungsi managerial mereka sehubungan dengan urusan perusahaan dengan manager cabang itu. Dia harus memenuhi aturan umum dari perusahan dan menerima perintah dari atasannya pada tingkat regional dan distrik, karenanya perbuatannya atau kelalaiannya bukan kesalahan perusahan. 55
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 45-46. Ibid., hal. 234. 57 Ibid. 58 Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 63-64. 56
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
573
2) Bahwa perusahan hanya bertanggungjawab apabila orang itu diidentifikasikan dengan perusahan, yaitu dirinya sendiri yang secara perorangan atau individual bertanggungjawab karena dia memiliki “mens rea” untuk melakukan tindak pidana. Apabila terdapat beberapa “superior officers” yang terlibat, maka masingmasing mungkin tidak memiliki tingkat pengetahuan yang disyaratkan agar merupakan “mens rea” dari tindak pidana tersebut. Dapatkah perusahan bertanggungjawab jika apa yang diketahui secara bersama-sama oleh para pejabat perusahaan tersebut sudah cukup merupakan “mens rea”. Dari pendapat tersebut, terlihat beberapa persamaan antara korporasi dengan tubuh manusia berkaitan dengan pusat atau otak dan organ yang melaksanakan perintah dari otak. Pada korporasi juga terdapat direktur dan manejer yang mengontrol kegiatan korporasi dan para pegawai atau agen yang melaksanakan kebijakan dari direktur atau manajer. Sikap batin dan keinginan dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap sebagai keinginan dan sikap batin dari korporasi. Berbeda dengan sikap batin dan keinginan dari direktur atau manejer yang dapat dianggap sebagai sikap batin dan keinginan dari korporasi, karena direktur atau manejer merupakan directing mind dari korporasi. Pada akhirnya dalam teori identifikasi, pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada korporasi harus memperhatikan dengan teliti siapa yang benar-benar menjadi otak atau pemegang kontrol operasional korporasi, yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil keputusan atas nama korporasi. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pejabat senior korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut. 2. Strict Liability Atau Absolute Liability Doktrin kedua yang mendukung pertanggungjawaban pidana korporasi adalah strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau disebut dengan no-fault liability atau liability without fault. Dalam prinsip ini, pertanggungjawaban dapat dimintakan tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, sering dipersoalkan apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Jadi dapat dikatakan bahwa kelompok pertama ini menyamakan pengertian antara strict liability dan absolute liability. Adapun alasan atau dasar pemikirannya bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan
574
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.59 Menurut Curzon, adanya doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:60 1) Adalah sangat esensiil untuk menjamin dipatuhinya peraturanperaturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. 2) Pembuktian akan adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran–pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat itu (dalam hal ini salah satunya adalah tindak pidana ekonomi). 3) Tingginya tingkat “bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Dalam hukum pidana Inggris, pertanggungjawaban yang bersifat mutlak hanya dapat diterapkan pada pelanggaran ringan misalnya, pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahateraan umum. Pelanggaran terhadap tata tertib atau penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court), pencemaran nama baik, atau menggangu ketertiban masyarakat merupakan contoh pelanggaran yang masuk dalam ketagori pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum.61 Strict liability menurut Russel Heaton dalam bukunya Criminal Law Textbook diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.62 Jadi dalam hal ini, strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Romli Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain menganut asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a harmful act without a blame worthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes”.63 Apabila diperhatikan, terdapat dua istilah yang berbeda untuk menggambarkan strict liability. Ada yang menggunakan istilah “strict liability” dan ada pula yang menggunakan istilah “strict liability crimes”. Kedua istilah tersebut nampaknya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Namun demikian, dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan 59
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 40. Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit., hal. 141. 61 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 110. 62 Russel Heaton, “Criminal Law Textbook”, (London: Oxford University Press, L, 2006), hal. 403. 63 Romli Atmasasmita, “Perbandingan Hukum Pidana”, Cetakan I, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hal. 76. 60
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
575
istilah “strict liability” mengingat dalam Black’s Law Dictionary, pengertian Strict-liablity crimes adalah: a crime that does not require a mens rea element, such as speeding or attempting to carry a weapon aboard an aircraft. Jadi pengertiannya adalah kejahatan atau tindak pidana. Sedangkan terkait dengan bentuk pertanggungjawabannya disebut dengan istilah “strict liability”. Selanjutnya, Hamzah Hatrik mendefenisikan bahwa strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat.64 Disamping itu, Hanafi dalam bukunya “Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana” menegaskan bahwa dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).65 Selain itu, Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga menerangkan bahwa menurut doktrin ”strict liability” (pertanggungjawaban ketat) seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).66 Pendapat senada juga diutarakan oleh Muladi sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemar Lingkungan.67 Terkait dengan hal ini, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat bahwa: “Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak pidana-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak pidana-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibitation”.68 64
Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 110. Hanafi, Loc. Cit. 66 Siswanto Sunarso, “Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 141. 67 M. Hamdan, “Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup”, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 89-90. 65
576
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Selain pendapat tersebut, terdapat pendapat lain yang berbeda yang menyatakan bahwa strict liability bukan atau tidak sama dengan absolute liability. Dalam hal ini, orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang (actus reus) tidak harus atau belum tentu dapat dipidana. Menurut doktrin strict liability (pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).69 Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (dalil atau alasan) yang bisa dikemukakan untuk penerapan strict liability adalah sebagai berikut:70 a) Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu. b) Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk, menghindari adanya bahaya yang sangat luas. c) Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan. Mengenai penerapan strict liability maupun vicarious liability (sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya), Muladi dan Dwidja Priyatno mengemukakan bahwa: “Menurut hemat penulis penerapan doktrin “strict liability” maupun “vicarious liability” hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran yang sifatnya ringan saja seperti dalam pelanggaran lalu lintas dan dalam kejahatan-kejahatan yang membutuhkan penanganan luar biasa. Kemudian menurut hemat penulis (Muladi dan Dwidja Priyatno), doktrin tersebut terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum atau masyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan, minuman serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku atau korban sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur” atau dapat dikatakan sebagai fakta sudah berbicara sendiri”.71 Oleh sebab itu, strict liability dan vicarious liability juga pada dasarnya dapat diterapkan terhadap korporasi atas pelanggaran hukum yang telah dilakukannya yang sudah tentu membahayakan kepentingan masyarakat umum. Dalam konteks ius constituendum, RKUHP 2010 telah mengadopsi doktrin pertanggungjawaban strict liability tersebut. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dari RKUHP 2010, yaitu: Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata
68
Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 78. Muladi dan Dwija Priyatno, Op.Cit Op. Cit., hal. 107. 70 Ibid., hal. 108. 71 Ibid., hal. 94. 69
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
577
karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, strict liability hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu saja yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana akan dibebani pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan (mens rea) ketika perbuatan (actus reus) dilakukan. Menurut hemat saya, pemberlakuan ketentuan strict liability terhadap tindak pidana tertentu saja adalah sudah tepat, karena penerapannya tidak boleh sembarangan melainkan harus dengan pembatasan, sehingga penerapannya tidak meluas dan tetap menjamin kepastian hukum. Mengenai pertangunggjawaban mutlak (strict liability) itu sendiri dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi juga dapat dibebani pertanggunggjawaban atas tindak pidana tertentu yang tidak harus dibuktikan unsur kesalahannya (mens rea), yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Masalah yang perlu diperhatikan terkait penerapannya adalah apakah tindak pidana tertentu yang tidak mensyaratkan adanya usur kesalahan yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut harus dapat mengakomodasi sekian banyak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sebagai perbandingan, Negeri Belanda dewasa ini sudah tidak memberlakukan lagi pertanggungjawaban yang didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban muktlak. Di Belanda, pertanggungjawaban mutlak tersebut dikenal dengan istilah leer van het materielle feit atau fait materielle yang hanya diberlakukan terhadap tindak pidana yang berupa pelanggaran. Seiring dengan perkembangan hukum itu sendiri, penerapan pertanggungjawaban mutlak ditiadakan dengan arrest susu tahun 1916 dari Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad Netherland).72 3. Vicarious Liability Doctrine Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban korporasi adalah vicarious liability. Pada dasarnya, doktrin vicarious liability didasarkan pada prinsip “employment principle”. Yang dimaksud dengan prinsip employment principle dalam hal ini bahwa majikan (employer) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhnya atau karyawannya. Jadi dalam hal ini terlihat prinsip “the servant’s act is the master act in law” atau yang dikenal juga dengan prinsip the agency principle yang berbunyi “the company is liable for the wrongful acts of all its employees”.73 Oleh sebab itu, perlu dikemukakan dimuka bahwa dalam pembahasan mengenai doktrin vicarious liability ini mencakup pula pembahasan mengenai Doctrine of Delegation atau The Delegation Principle. 72 73
Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 80. Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 249.
578
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Hai ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Peter Gillies yang menyatakan bahwa: According to the doctrine of vicarious liability in the criminal law, a person may incur liability by virtue of attribution to her or him of responsibility for the act, or state of mind, or both the act and state of mind of another person; an offence, or element in an offence, commited by another person: Such liability is almost wholly confined to statutory offences, and the basis for its imposition is the (presumed) intention of legislature, as gleaned from a reading of the enacting provision in question, that this offence should be able to be commited vicariously as well as directly. In other words, not all offences may be commited vicariously. The courts have evolved a number of principle of specialist application in this context. One of them is the scope of employment principle.74 Disisi lain, Vicarious Liability Doctrine ini sering diartikan sebagai pertanggungjawaban pengganti (pertanggungjawaban menurut hukum dimana seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).75 Pada dasarnya, teori atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut asas repondeat superior, di mana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku pendapat dari Maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se. Menurut Maxim tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap di sendiri yang melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu, ajaran vicarious liability juga disebut sebagai ajaran respondent superior.76 Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi yang menyatakan bahwa vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doktrin respondeat superior.77 Berdasarkan doktrin pertanggungjawaban pengganti ini, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan atau kesalahan atau perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban seperti ini hampir seluruhnya diterapkan pada tindak pidana yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain, tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan beberapa 74
Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hal. 101. Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 41. 76 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84. 77 Ibid., hal. 84. 75
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
579
prinsip yang dapat diaplikasikan secara khusus mengenai hal ini. Salah satunya adalah employment principle sebagaimana telah dikemukakan diatas. Mengenai employment principle ini, Peter Gillies mengemukakan beberapa pendapat dalam kaitannya dengan vicarious liability, yaitu:78 1) Suatu perusahaan atau korporasi (seperti halnya manusia sebagai pelaku atau pengusaha) dapat bertanggungjawab secara pengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan atau agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious. 2) Dalam hubunganya dengan “employment principle”, tindak pidana ini sebagian besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan. 3) Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk atau perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan. Perlu ditekankan bahwa dalam employment principle, majikan adalah pihak yang utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan oleh buruh dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaannya. Di negara Australia dinyatakan dengan tegas bahwa the vicar’s criminal act (perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar’s guilty mind (kesalahan atau sikap batin jahat dalam delik vicarious) adalah tanggungjawab majikan. Berbeda halnya dengan negara Inggris, a guilty mind hanya dapat dianggap menjadi tanggungjawab majikan hanya jika ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (a relevan “delegation” of power and duties) menurut undang-undang.79 Dengan kata lain ada prinsip delegasi (delegation principle) yang dianut, dimana kesalahan (guilty mind) dari buruh atau karyawan dapat dipertangungjawabkan kepada majikan, hanya apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban dan hanya untuk delik yang ditentukan oleh undang-undang (statutory offences). Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan konsep pertanggungjawaban 78
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. hal. 236. Barda Nawawi Arief, “Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 152. 79
580
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
ini dengan istilah “pertanggungjawaban pengganti”. Lebih tepatnya, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”, adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.80 Hamzah Hatrik mengutip pendapat Black mengenai vicarious liability ini, yaitu indirect legal responsibility, for example, the liability of an employer for the acts of an employes, or principal for torts an contracts of an agent.81 Hatrik juga mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious liability, maka orang yang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat.82 Dikaitkan dengan pertanggungjawaban Korporasi, menurut V.S. Khanna dalam tulisannya berjudul “Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be Criminality Liabel?” Dikemukakan bahwa terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu; agen melakukan suatu kejahatan; kejahatan yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya; dan dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi.83 Teori ini juga hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertangungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.84 Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).85 Jadi dalam hal ini, doktrin pertanggungjawaban pengganti hanya dapat diterapkan apabila benarbenar dapat dibuktikan bahwa ada hubungan atasan dan bawahan antara majikan (dalam hal ini korporasi) dengan buruh atau karyawan yang melakukan tindak pidana. Oleh sebab itu, harus diperhatikan benar-benar apakah hubungan antara korporasi dengan organ-organnya cukup layak untuk dapat membebankan pertanggungjawaban kepada majikan (dalam hal ini korporasi) atas tindak pidana yang dilakukan oleh organorgannya. Selain itu juga harus juga dipastikan apakah buruh atau
80
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84. Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 115. 82 Ibid., hal. 116. 83 V.S. Khanna, Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be Criminality Liabel?, “American Criminal Law Review”, 2000, hal. 1242-1243. 84 C.M.V. Clarkson, “Understanding Criminal Law”, Second Edition, (London: Sweet & Maxwell, 1998), hal. 44. 85 Ibid., hal. 45. 81
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
581
karyawan tersebut dalam hal tindak pidana yang dilakukan, benar-benar bertindak dalam kapasitas lingkup pekerjaannya. Sedangkan menurut Menurut Marcus Flatcher dalam perkara pidana ada 2 (dua) syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut adalah:86 1) Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara majikan dan pegawai atau pekerja; 2) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Menurut undang-undang (statute law) vicarious liability, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:87 1) Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian (the delegation principle). 2) Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum, perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan. Perlu pula dikemukakan bahwa Doktrin atau teori pertanggungjawaban pengganti pada satu sisi dirasa bertentangan nilainilai moral yang terkandung dalam prinsip keadilan, dimana dalam pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan saja (act), tetapi juga kesalahan (state of mind) sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan karena melakukan perbuatan (act) atau tidak melakukan (omission) perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Boisvert, teori ini secara serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea karena berpendirian bahwa kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apapun. Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability, maka jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Hal ini tercermin pula dalam Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions yang menyatakan bahwa: “In general, the process of judicial interpretation of the statutory objected to corporate liability being imposed only for regulatory offences, especially those offences which did not require proof of mens rea or a mental element.”88
86 87
Hanafi, Op. Cit., hal. 34. Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op. Cit., hal. 62.
582
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Berdasarkan pengertian kalimat diatas pada umumnya penafsiran hukum menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak mensyaratkan mens rea atau unsur kejiwaan. Sedangkan perbedaannya terdapat pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung kepada pelaku melainkan “dilimpahkan” atau “digantikan” kepada orang lain.89 Dalam KUHP Indonesia saat ini, tidak mengenal adanya pertanggungjawaban pengganti, tetapi doktrin pertanggungjawaban pengganti telah diadopsi dalam RKUHP 2010, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) yang menyatakan: “Dalam hal ditentukan oleh UndangUndang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”. Dalam penjelasannya juga dikemukakan bahwa “ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan”. Ini artinya, lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak piana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Dengan diterapkannya doktrin pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) ini diharapkan dapat menjadi faktor yang dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya tindak pidana baik tindak pidana yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. 4. The Corporate Culture Model Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban korporasi adalah doktrin The Corporate Culture Model. Menurut doktrin atau teori the corporate culture model ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya, atau budayanya (the procedures, operating systems, or culture of a company).
88 Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, page 4 of 10 89 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hal. 110.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
583
Oleh karena itu, teori budaya ini sering juga disebut teori atau model sistem atau model organisasi (organisational or systems model).90 Dilihat dari pengaplikasiannya, teori The Corporate culture Model ini dapat diterapkan apabila:91 1) An attitude, policy, rule, course of conduct or practice within the corporate body generally or in the part of the body corporate where the offences occured. 2) Evidence maybe led that the company’s unwritten rules tacitly authorised noncpmpliance or failed to create a culture of compliance. VIII. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ketika korporasi dinyatakan bertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan, maka pada umumnya dikenal tiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu:92 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap pertama), 2. Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ke dua) 3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ketiga). Namun demikian, hemat saya, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep sebagaimana dikemukakan diats, dalam hal ini, harus ditambahkan 1 konsep lagi yaitu: “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana”. Hal ini penulis kutip dari pendapat yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini. Berikut penjelasannya. Beberapa alasan yang digunakan Sutan Remy Sjahdeini berkaitan dengan konsep “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana” antara lain sebagai berikut:93 1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan 90
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 251. Ibid., hal. 252. 92 Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 Novemser 1989, hal. 9. 93 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 162-163. 91
584
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. 2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan” atau mengalihkan pertanggungjawaban. Dengan kata lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih bahwa perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi. 3. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicrious liability), pertanggungjawaban atas tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, korporasi dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah baik dalam lapangan keperdataan maupun yang diatur oleh ketentuan pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi. Dalam hal perbuatan hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus tindak pidana itu dilakukan oleh manusia pelaku tindak pidana itu (pengurus). Dengan mendasarkan pada pemahaman atas kenyataan yang demikian itu, maka tidak seyogianya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah bahwa hanya korporasi yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar telah dilakukan oleh pengurus korporasi dan sikap sikap batin pengurus dalam melakukan tindak pidana itu adalah benar bersalah dan karena itu pengurus yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab secara pidana, maka pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada korporasi. Tanpa terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa pengurus memang benar telah melakukan tindak pidana dan memang benar pengurus tersebut memiliki sikap batin yang bersalah dalam melakukan tindak pidan itu, tidak mungkin dapat dilakukan pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi yang dipimpin oleh pengurus tersebut.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
585
Sutan Remy Sjahdeini menambahkan bahwa apabila sistem yang diberlakukan bukan sistem yang ke empat, yaitu membebankan pertanggungjawaban pidana baik kepada korporasi yang melakukan tindak pidana maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi, maka kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah manusia pelakunya (pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan korporasinya bebas. Ini adalah sistem yang dianut oleh KUHP yang berlaku sekarang, yang justru ingin ditinggalkan. Namun tidak mungkin memberlakukan yang sebaliknya, yaitu membebankan pertanggungjawaban pidana hanya kepada korporasi sedangkan manusia pelakunya bebas. Hal ini bertentangan dengan sifat pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Kondisi seperti ini jelas bertentangan pula dengan asas bahwa korporsi tidak dapat bertindak sendiri tetapi harus melalui pengurusnya.94 Apabila pada bagian sebelumnya sudah dibahas mengenai apa itu korporasi, apa itu tindak pidana korporasi, kriminalisasi tindak pidana korporasi, sejarah dan tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi, doktrin yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi serta sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, hal yang tidak kalah penting yang penulis ingin kemukakan adalah masalah implementasi atau penerapan aturan yang bersangkutan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, didalam hukum pidana khusus seperti dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau dalam Undang-Undang No. 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang korporasi sudah dengan tegas diatur sebagai subjek hukum. Ini artinya, seharusnya korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana manakala terjadi tindak pidana yang bersangkutan. Namun demikian, dalam kenyataannya, hukum pidana hanya berkonsentrasi menjatuhkan pidana kepada orang perseorangan atau dengan perkataan lain korporasi yang terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan tidak pernah dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (pidana denda yang dijatuhkan bagi perusahaan si koruptor misalnya). Hal ini membuktikan bahwa meskipun korporasi sudah diatur sebagai subjek hukum pidana (meskipun hanya dalam hukum pidana khusus) apabila ketentuan tersebut tidak pernah diimplementasikan maka ketentuan itu akan menjadi “ketentuan yang mati”. Jadi dalam hal ini, penulis menekankan bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah sesuatu yang penting dan sama pentingnya dengan pelaksanaan dari ketentuan yang mengatur korporasi dapat ditertanggungjawabkan secara pidana tersebut.
94
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 162-163.
586
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Konsep Rumusan Pertanggungjawaban Rancangan KUHP
Pidana
Korporasi
dalam
Pertanggungjawaban pidana korporasi diangap sebagai sesuatu yang penting, sehingga Ketua Penyusunan RKUHP, Muladi menyatakan bahwa pasal 47 sampai dengan pasal 53 RKUHP mengatur tentang “corporate criminal liability”. Dengan dimasukkannya hal tersebut berarti bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi berlaku umum untuk semua tindak pidana, termasuk yang berada di luar KUHP.95 Menurut Muladi, pasal 18 Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999) dapat dijadikan pedoman, dimana dinyatakan:96 ...that legal persons can be held liable for the criminal offences …Committed for their benefit by any natural person, acting either individually or as part of an organ of the legal person, who has a leading position within the legal person, based on: a. b. c. d.
A power of representation of the legal person; An authority to decisions on behalf of the legal person; An authority to exercise control within the legal person; As well as for involvement of such a natural person as accessory or instigator in the above-mentioned offences.”
Adapun rumusan pasal-pasal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RKUHP 2010 adalah sebagai berikut: 1) Pasal 47: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana”. 2) Pasal 48: “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”. 3) Pasal 49: “Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. 4) Pasal 50: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”.
95
, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.16. 96 , diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11. 25.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
587
5) Pasal 51: “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi”. 6) Pasal 52 (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim. 7) Pasal 53: “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. Pasal 44: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana”. Penutup Kesimpulan Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta era globalisasi dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif melainkan juga dapat menghasilkan dampak negatif. Dampak negatif disini yaitu adanya globalisasi kejahatan dan berkembangnya kualitas (modus operandi) dan kuantitas dari kejahatan itu sendiri. Terlebih lagi apabila dikaitkan dengan eksistensi sebuah korporasi dewasa ini, maka kualitas dan kuantitas tindak pidana yang terjadi tidak hanya merugikan segelintir orang saja tetapi akan menimbulkan dampak yang sangat mengkhawatirkan. Dalam hal ini, dampak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dapat sangat meluas, mengancam stabilitas perekonomian nasional, membahayakan integritas sistem keuangan nasional, merusak sendi-sendi kehidupan bangsa serta tindak pidana korporasi ini dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian atau jabatan (white collar crime) sehingga tidak mudah pembuktiannya. Saran Mengingat hal tersebut, hukum harus mengambil kembali peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamatkan oleh UUD 1945. Oleh sebab itu, hukum harus kembali “memiliki taring” dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korporasi ini. Meskipun demikian, dalam penangan tindak pidana korporasi ini dibutuhkan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya
588
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
adalah menjadikan atau mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Selain dilakukan pengaturan, sudah tentu aturan tersebut harus dilaksanakan. Dikatakan demikian karena menuruh hemat penulis, sampai dengan saat ini belum pernah ada penjatuhan pidana bagi korporasi padahal korporasi sudah diatur secara tegas sebagai subjek hukum misalnya dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Singkatnya, selain diatur sudah tentu ketentuan tersebut harus diimplementasikan atau diterapkan. Dengan cara demikian, diharapkan dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korporasi.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
589
Daftar Pustaka Ali, Mahrus. Kejahatan Korporasi, Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008. Amrullah, Arief. Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on Democracy), Malang: Banyumedia Publishing, 2006. Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. -----------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ke Dua Edisi Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. -----------------------, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. -----------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010. Atmasasmita, Romli. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada Media, 2003. -----------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Bandung: Mandar Maju, 1996. Clarkson, C.M.V. Understanding Criminal Law, Second Edition, London: Sweet & Maxwell, 1998. Ferber, Kenneth S. Corporation Law, New Jersey: Prentice Hall, 2002. Garner, Bryan A., (Ed.), Black’s Law Dictionary, Second Pocket Edition, 2003. Hamdan, M. Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: Mandar Maju, 2000. Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997. Hatrik, Hamzah. Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (Strick Liability dan Vicarious Liability), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996. Heaton, Russel. Criminal Law Textbook, London: Oxford University Press, 2006. LaFave Wayne R., & Austin W. Scott Jr. Criminal Law, New Jersey: West Publishing co, 1982. Loqman, Loebby. Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta: Datacom, 2002. Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi. -----------------------, dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: STHB, 1991.
590
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Raharjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1983. Reksodiputro, Mardjono. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 Novemser 1989. Reid, Sue Titus. Criminal Law, Third Edition, New Jersey: Prentice Hall, 1995, Priyanto, Dwidja. Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, Bandung: CV. Utomo, 2004; -----------------------, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004. Putra Jaya, Nyoman Serikat. Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum, Makalah: disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Undip Tahun 2010, tanggal 18 September 2010. -----------------------, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010. Sjahdeini, Sutan Remi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006. Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua, Cetakan Pertama, Malang: Banyumedia Publishing, 2003. Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Sunarso, Siswanto. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, tt. -----------------------, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Yunara, Edi. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Jurnal Bookman, Zachary. Convergences And Omissions In Reporting Corporate And White Collar Crime, ”DePaul Business & Commercial Law Journal”, 2008. Bucy, Pamela H. Trends In Corporate Criminal Prosecutions, ”American Criminal Law Review”, 2007. Khanna, V.S. Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be Criminality Liabel?, ”American Criminal Law Review”, 2000.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian
591
Moohr, Szott. Geraldine. On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, ”Journal of Business & Technology Law”, 2007. Orland, Leonard. The Transformation of Corporate Criminal Law, ”Brooklyn Journal of Corporate, Finansial & Commercial Law”, 2006. Stephens, Beth. The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Rights, ”Berkeley Journal of International Law”, 2002; Weissmann, Andrew, dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate Liability, ”Indiana Law Journal”, 2007. Internet , diakses pada tanggal 16 November 2012. , diakses pada tanggal 16 November 2012.