BAB II PENGATURAN KEJAHATAN DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
A. Pengelolaan Sumber Daya Alam di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Lingkungan hidup di Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pendayagunaan sumber daya alam sebagai suatu asset mewujudkan
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Disebutkan dalam ketentuan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya dalam UU ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seluruhnya. Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan “asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan hidup. Secara umum dalam Pasal 1 angka (10) disebutkan bahwa sumber daya adalah
Universitas Sumatera Utara
unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini menentukan: 1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah. 2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah: a) Mengatur pengelolaan lingkungan hidup. b) Mengatur lingkungan hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika dan mengembangkan kebijaksanaan penyediaan, peruntukan. c) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika. d) Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial. e) Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku Ditegaskan lebih jauh dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
dengan
memperhatikan
permasalahan dengan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya: 1) Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya. 2) Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan. 3) Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap. 4) Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat global. 5) Menerapkan mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
6) Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan secara efektif penggunaan. 7) Mengikutsertakan permasalahan lingkungan global.
B. Kejahatan di bidang Lingkungan Hidup Penentuan kejahatan lingkungan hidup harus dimulai dari penempatan kejahatan lingkungan hidup di dalam undang-undang, yang lazim dikatakan sebagai Kriminalisasi 56 . Tindak pidana lingkungan hidup dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-undang ini merupakan payung hukum (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup. Pengaturan menyangkut lingkungan hidup sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait kejahatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat dilihat dari perumusan Pasal 69 yang menyatakan bahwa: 56
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 44-47, menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga (overbelasting).
Universitas Sumatera Utara
(1) Setiap orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. e. membuang limbah ke media lingkungan hidup. f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup. g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di atas maka menyangkut kriminalisasi kejahatan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 115. Adapun ketentuan dimaksud sebagai berikut: Pasal 98: (1)“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. (2) “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Universitas Sumatera Utara
(3) “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”. Pasal 99: (1)“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. (2)”Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”. (3)“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah)”. Pasal 100: (1)“Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administrative yang telah di jatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”. Pasal 101: “Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal 102: “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
Universitas Sumatera Utara
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal 103: “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal 104: ”Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal 105: ” Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”. Pasal 106: ” Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”. Pasal 107: “Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”. Pasal 108: “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 109: ” Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal 110: ” Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal 111: (1) “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan ijin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. (2) “ Pejabat pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan ijin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada pasal 40 ayat (1) di dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal 112: “ Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Pasal 113: “ Setiap orang yang memberikan informasi palsu, mennyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Pasal 114: “ Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 115:” Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam undang-undang ini tentang prinsipprinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan Beberapa point penting dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 antara lain:
1. 2. 3. 4.
5. 6. 7.
8.
Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup; Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah; Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup; Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian; Pendayagunaan pendekatan ekosistem; Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global; Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
Universitas Sumatera Utara
9. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan 10. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mensyaratkan bahwa yang dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang meliputi:
1. Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH. 2. Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. 4. Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS, tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, UKLUPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundangundangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
5. Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. 6. Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi: a) Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, b) Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional. c) Ada
pasal-pasal
yang
mengatur
sanksi
pidana
dan
perdata
AMDAL Dalam UU NO. 32 TAHUN 2009. Dari 127 pasal yang ada, 23
pasal
diantaranya
mengatur
tentang
AMDAL.
Pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya kalimat dampak besar. Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup , sedangkan pada UU No.
Universitas Sumatera Utara
32 Tahun 2009 disebutkan bahwa, AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan. d) Hal baru yang penting terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain: Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan; Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memperkenalkan ancaman
Universitas Sumatera Utara
hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan memperhatikan azas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Menyangkut ultimum remedium Alvi Syahrin dalam buku “Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan” mengemukakan bahwa: 57 “hukum pidana dipandang sebagai ultimum remedium artinya hukum pidana hendaknya dipandang sebagai upaya yang terakhir dalam memperbaiki kelakukan manusia. Perkataan ultimum remedium ini pertama sekali dipergunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda yaitu Mr Modderman dalam menjawab pertanyaan Mr Mackay seorang anggota parlemen Belanda mengenai dasar hukum perlunya penjatuhan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Atas pertanyaan tersebut Modderman menyatakan:”... bahwa yang dapat dihukum itu pertama-tama adalah pelanggaran-pelanggaran hukum. Ini merupakan conditio sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak ada). Kedua, yang dapat dihukum itu adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah dapat ditiadakan dengan cara-cara lain. Hukuman itu hendaknya merupakan suatu upaya terakhir (ultimum remedium). Memang terhadap setiap ancaman pidana ada keberatannya. Setiap orang yang berpikir sehat akan mengerti hal tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian ancaman pidana benar-benar menjadi upaya penyembuhan serta harus menjaga jangan sampai membuat penyakitnya lebih parah”. Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang ini meliputi prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang 57
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 9
Universitas Sumatera Utara
didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melalui Peraturan Perundangan ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 yakni
tindak
pidana pencegahan pencemaran. 58 Terkait tindak pidana lingkungan hidup undangundang merumuskan berupa: 59 1. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 2. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. 3. melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: Pertama, melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di dan/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air. Kedua, impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut,
menyimpan
bahan,
menjalankan
instalasi,
yang
dapat
58
Pasal 1 angka (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 59 Ibid, hlm. 21-22
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum. 4. melakukan
perbuatan
berupa
memberikan
informasi
palsu,
atau
menghilangkan informasi, atau menyembunyikan informasi atau merusak informasi yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. 5. melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
C. Pemidanaan Korporasi di bidang Lingkungan Hidup Pidana hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan pemidanaan. 60 Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”. 61 Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana. 62 Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan
60
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2005), hlm. 98 61 62
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), hlm. 83. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya. Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana sebagai alat, diperlukan permahaman terhadap alat itu sendiri. Pemahaman terhadap pidana sebagai alat merupakan hal yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Menurut Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 63 Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang 63
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana. 64 Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat. 65 Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan. 66 Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika “straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”. 67
Selanjutnya terkait penghukuman pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup (korporasi dapat dipidana) maka pemidanan terhadap korporasi di atur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya Pasal 98 ayat (1) 64
Lihat : R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm 35, Lihat juga : R. Sugandhi, KUHP dengan penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hlm 12. 65 Ibid, hlm 42. 66 Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 1. 67
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Op cit, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
mengandung beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam kerangka penerapan pemidanaan yakni: Pertama, unsur barang siapa. Kedua, secara melawan hukum. Ketiga, dengan sengaja. Keempat, melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan Pasal 116
ayat (1)
menyebutkan bahwa “apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: badan usaha; dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. jika tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal ini, dilakukan oleh atau atas orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha maka sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Ayat (2) menyatakan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. 68 Berdasarkan rumusan Pasal 116 ayat (1) di atas mensyaratkan bahwa pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kerusakan lingkungan hidup dapat dijatuhkan kepada badan usaha; dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Oleh karenanya korporasi dalam upaya pengelolaan
lingkungan
hidup
mempunyai
kewajiban
untuk
membuat
kebijakan/langkah-langkah yang harus diambilnya yaitu: 69 1. Merumuskan kebijakan di bidang lingkungan; 2. Merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut; 3. Merumuskan intruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang menganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkutan. 4. Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup; 68
Lihat, Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 69 Ibid, hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
Jika
terhadap
kewajiban-kewajiban,
korporasi
tidak
atau
kurang
memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa korporasi kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang. Selanjutnya, untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan khususnya kejahatan korporasi (corporate crime), 70 ada beberap faktor yang harus diperhatikan yaitu: 71 1. Apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana. 2. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan. 3. Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tersebut.
70
Singgih dalam Mahmul Mulyadi, Op.cit, hlm. 26-28, bahwa kejahatan korporasi (corporate crime) dibagi dan didefenisikan dalam 6 (enam) kategori yaitu: 1. Defrauding the stock holders (perusahaan tidak melaporkan besar keuntungan yang sebenarnya kepada pemegang saham). 2. Defrauding the public (mengelabui publik tentang produk-produk terutama yang berkaitan dengan mutu dan bahan). 3. Defrauding the Government (membuat laporan pajak yang tidak benar). 4. Endangering employess (perusahaan yang tidak memperhatikan keselamatan kerja para karyawan). 5. Illegal intervention in the political process (berkolusi dengan partai politik dengan memberikan sumbangan kampanye). 6. Endangering the public welfare (proses produksi yang menimbulkan polusi yakni debu, limbah, suara dan lain sebagainya. Berbagai fakta dan data tentang kejahatan korporasi di tingkat nasional, misalnya pencemaran kali Brantas yang dilakukan oleh pabrik tahu PT. Sidomakmur, kasus Indorayon Utama di Sumatera Utara dan bahkan kasus yang masih hangat dibicarakan dan menjadi perhatian sekarang ini bagi semua elemen lapisan masyarakat, dalam menggambarkan perilaku korporasi yang membahayakan dan merugikan masyarakat luas adalah ”kasus lumpur Lapindo Brantas” di Sidoharjo, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyrakat sekita, dimana lumpur ini telah menggenangi dua belas desa dan tiga kecamatan. Kasus lumpur Lapindo Brantas ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime). 71 Ibid, hlm. 36
Universitas Sumatera Utara