1
PENERAPAN DELIK FORMIL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Skripsi Pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo
Brian Fauzan H1A1 12 431
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2016
2
3
iv 4
ABSTRAK Brian Fauzan, Stambuk H1A112431 Penerapan Delik Materil dan Delik Formil Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dibimbing oleh Prof. Dr. H. Muntaha,S.H.,M.H., sebagai sembimbing I dan Rustam Ukkas,S.H.,M.Si.,M.H.. sebagai Pembimbing II. Tujuan Penelitian ini untuk untuk mengetahui untuk mengetahui penerapan delik formil dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Tipe penelitian adalah normatif; pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menelaah berbagai literatur, yang berkenaan dengan obyek penelitian. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan teknik analisis preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkenan dengan pengaturan tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, ketentuan tentang delik materil terdapat di dalam Pasal 98 dan 99, delik materilnya adalah melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kealpaannya sedangkan delik formilnya terdapat di dalam Pasal 100 dan Pasal 115 yaitu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, baik sengaja maupun karena kealpaannya. Berkaitan dengan hal tersebut penegakan hukum pidana lingkungan bersifat represif dengan memidana setiap perbuatan yang terbukti melanggar hukum (undang-undang), karena unsur kesengajaan dan kelalaian mengakibatkan luka berat, kematian dan kerugian materiil bagi orang lain. Dari segi pemidanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenal dua macam sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana lingkungan yaitu sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda serta sanksi tindakan tata tertib yaitu (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (b) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; (c) perbaikan akibat tindak pidana; (d) pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (e) penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Demikian juga sistem perumusan pidananya menganut sistem kumulatif dan hanya satu pasal yang menganut sistem alternatif yaitu Pasal 113 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
v5
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan taufik dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Penerapan Delik Materil dan Delik Formil Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009” sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas
Halu Oleo. Disadari
sepenuhnya bahwa terwujudnya Skripsi ini berkat arahan dan bimbingan akademisi senior Hukum Pidana dan Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo, yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Muntaha,S.H.,M.H.; baik selaku Pembimbing maupun selaku Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Beliau telah membagi ilmu pengetahuannya yang begitu luas, khususnya dalam hukum pidana dan kriminologi. Ilmu pengetahuan tersebut penulis serap dan berupaya memanfaatkannya semaksimal mungkin, meskipun dengan keterbatasan daya nalar penulis, akan banyak hal yang luput dan salah tangkap dalam kemampuan untuk mencerna dalam ajaranajaran beliau melalui perkuliahan. Ucapan terima kasih yang sama dihaturkan pula kepada pihak yang langsung maupun tidak secara langsung berperan mengantarkan penulis dari awal hingga selesainya skripsi ini :
6
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Rianse,M.S. selaku Rektor Universitas Haluoleo atas perkenannya sehingga penulis dapat diterima dan mengikuti pendidikan di universitas ini. 2. Bapak DR. H. Muntaha,S.H.,M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo. 3. Para Wakil Dekan dalam lingkungan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo; 4. Ketua Jurusan
Ilmu Hukum, Ketua Konsentrasi Hukum Pidana yang telah
memberi rekomendasi kepada penulis mulai dari pengajuan judul sampai pada akhir penulisan skripsi ini. 5. Seluruh dosen dan Civitas Akademika Fakultas Hukum Unhalu; secara khusus kepada tim penguji yang telah memberi masukan, saran dan pendapat, pada saat ujian akhir. Selanjutnya secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Kedua orang tuaku serta Saudara-saudaraku yang selama ini telah mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum.
2. Sahabat-sahabat penulis yang selalu setia dan kompak dalam keadaan apapun saling membantu dan mensuport dalam berbagai suka maupun duka. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi dan kualitas skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan guna kesempurnaannya. Semoga Allah SWT, senantiasa menganugrahkan taufiq dan rahmatNya kepada setiap hambahnya. Amien ya Rabbal alamin.
vi7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………..
i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………
ii
HALAMAN PENGESAHAN….. ……………………………………………….
iii
ABSTRAK……………………………………… ………………………………
iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………
v
DAFTAR ISI………. ……………………………………………………………
vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah……………………………………………………... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………… 7 1. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 7 2. Manfaat Penelitian………………………………………………….. 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Delik, Unsur dan Jenis-jenisnya ……………………..
9
1. Pengertian Delik (tindak pidana)……………………………...
9
2. Unsur-unsur tindak pidana ……………………………………
11
3. Macam-macam delik (tindak pidana)…………………………
13
4. Unsur-unsur tindak pidana lingkungan ……………………….
16
2. Konsep Penegakan Hukum Pidana……………………………….
18
3. Konsep Penegakan Hukum Lingkungan …………………………
21
4. Teori Kausalitas Dalam Hukum Pidana…………………………
23
1. Pengertian Teori Kausalitas……………………………………
23
2. Jenis-jenis Teori Kausalitas……………………………………
24
8
BAB III
BAB IV
METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian……………………………………………………
31
B. Pendekatan Masalah ……………………………………………..
31
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum…………………………………
32
D. Pengumpulan Hukum…………………………………………….
32
E. Analisis Bahan Hukum …………………………………………..
33
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Sanksi Pidana Lingkungan Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009……………………………………………
34
1. Delik materiil………………………………………………….
35
2. Delik formil……………………………………………………
37
3. Jenis sanksi ……………………………………………………
38
4. Sistem ancaman pidana dan lamanya pidana …………………
39
5. Sistem Perumusan Pidana …………………………………….
40
B. Penerapan Delik Formil Dalam Undang-Undang Nomor 32
BAB V
Tahun 2009……………………………………………………….
41
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………..
53
B. Saran………………………………………………………….....
55
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2009 telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, yang diundangkan pada tanggal 3 Oktober 2009. Berdasarkan Pasal 127 Undang-Undang
tersebut
dinyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai
berlaku sejak tanggal diundangkan”. Latar belakang filosofis, dikeluarkannya Undang-Undang ini adalah bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan Bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan nusantara. Demikian juga dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dinyatakan bahwa lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan
2
pengelolaan lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta mahluk hidup lain. 1 Lebih lanjut ditegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan penegelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat dan udara berdasarkan wawasan nusantara. Selain itu, Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulaupulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati. Di samping itu juga ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun
kualitas
tidak
merata,
sedangkan
kegiatan
pembangunan
membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan
1
Siahaan, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009, hal. 407
3
produktivitas lingkungan hidup menurun yang dapa akhirnya menjadi bebas sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara,
asas
berkelanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat mememberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan
berdasarkan
prinsip
kehati-hatian,
demokrasi
lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekwensinya kebijakan, rencana, dan atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian
lingkungan
hidup
dan
mewujudkan
tujuan
pembangunan
berkelanjutan. Manusia sejak dilahirkan di dunia ini, telah berada pada suatu lingkungan hidup tertentu. Kehidupan manusia haruslah seimbang atau serasi dengan lingkungan hidupnya. Apabila terjadi kerusakan, maka kehidupan manusia akan terancam dari akibat pengrusakan alam. Tindak pidana lingkungan hidup merupakan kejahatan yang meliputi perbuatan sebagai berikut : (1) perbuatan pencemaran lingkungan hidup; (2) perbuatan perusakan lingkungan hidup, dan
4
(3) perbuatan lain yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Perusakan
lingkungan
hidup
adalah
tindakan
yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam hal ini cukup banyak tersebar di berbagai tingkat peraturan. Lingkungan saat ini telah menjadi perhatian dunia internasional, mulai dengan diselenggarakannya pertemuan tingkat internasional untuk membahas tentang pemeliharaan lingkungan sampai dengan lahirnya konvensi dan perjanjian hokum sebagai landasan pengaturan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian peraturan tersebut diratifikasi oleh masing- masing Negara menjadi suatu undang- undang dengan konten salahsatunya menerapkan sanksi pidana atau menerapkan pemahaman bahwa pencemaran atau pengerusakan lingkungan tertentu sebagai suatu kejahatan terhadap lingkungan.
5
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan aset pendukung yang sangat penting bagi kelangsungan sebuah bangsa. Sebaliknya kerusakan lingkungan akan membawa malapetaka bagi bangsa tersebut. Lingkungan yang rusak akan mengakibatkan bencana bagi masyarakat sekitarnya yang tentunya akan mengakibatkan kerugian material dan non material yang sangat besar, apalagi kejadian bencana setiap tahun selalu terulang. Masalah Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menganut asas ini yang sebelumnya dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih lanjut, yaitu mengenai penerapannya dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim serta perkembangannya saat ini yang telah menggunakan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009. Penjatuhan sanksi pidana terhadap pencemar dan perusak lingkungan hidup dari sisi hubungan antara negara dan masyarakat adalah sangat diperlukan karena tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat dan lingkungan hidup dari perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang diharuskan atau kewajiban yang dilakukan oleh para pelaku pembangunan. Secara khusus penghukuman dimaksud bertujuan untuk (1) mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah; dan (2) mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar. 2
2
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 121-122.
6
Penegakan hukum yang dilakukan selama ini semata-mata ditafsirkan secara sempit dari segi penerapan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana pencemaran lingkungan yang berlaku secara represif atau dengan kata lain sama dengan menegakkan Pasal 4-48 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Pemikiran demikian dapat dipahami, karena masalah lingkungan adalah berkaitan dengan lintas ilmu dan lintas sektoral. Pada hukum lingkungan misalnya, penegakan meliputi pula sanksi hukum administrasi dan hukum perdata. Sementara hakikat sanksi hukum pidana adalah sarana atau alat untuk memidana (menghukum) secara fisik dan materiil bagi para pencemar lingkungan yang terbukti bersalah dengan melanggar hukum. Namun, sanksi pidana dalam hukum lingkungan adalah alternatif atau sarana hukum terakhir (ultimum remedium) dan bukan pula sanksi utama (primum remedium) setelah sanksi administrasi dan sanksi keperdataan tidak mampu diterapkan dan menjerakan para pencemar lingkungan hidup. 4 Penanggulangan yang dilakukan di dalam hukum pidana selama ini hanya merupakan terapi penyembuhan/pengobatan simptomatis bukan pengobatan kausatif, dan pemidanaannya (pengobatannya) hanya bersifat individual/ personal, tidak bersifat fungsional/struktural.5 Berpijak pada masalah penegakan dapat dibahas dari segi peraturan atau undang-undang, segi aparat penegak hukum dan segi kesadaran masyarakat 3
4 5
Sitti Sundari Rangkuti, dalam Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 160 Ibid, hal. 161 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 49
7
yang terkena peraturan. Kajian terhadap Undang-Undang Lingkungan dan perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan dewasa ini yang berlaku mengungkapkan banyak sekali kelemahan dan kerancuan upaya perumusan yang memerlukan pemahaman secara proporsional, khususnya dalam rangka menerapkan sanksi pidana oleh aparat penegak hukum yang bertujuan untuk menjerakan para pelanggar hukum lingkungan. Kelemahan dan kerancuan demikian menimbulkan kesan, Undang-Undang Lingkungan kurang operatif dan efektif dalam upaya penegakan hukum lingkungan kepidanaan terhadap para pencemar dan usaha indistri yang umumnya dimiliki oleh pengusaha besar dengan becking pejabat atau instansi tertentu. Berdasarkan uraian di atas Penulis tertarik melakukan penelitian dalam bentuk Skripsi
dengan judul “Penerapan Delik Materil dan Delik Formil
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah “Bagaimana penerapan delik formil dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian Skripsi ini adalah untuk mengetahui penerapan delik formil dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009.
8
2. Manfaat Penelitian Sejalan dengan tujuan tersebut di atas, maka penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. a. Manfaat Teoritis 1) Sebagai sumbangan pemikiran terhadap dunia akademik dan ilmu pengetahuan pada umumnya dan dapat memperkaya pengetahuan hukum pidana, teori-teori pidana dan pemidanaan 2) Sebagai upaya untuk menemukan rumusan dalam kerangka teoritis tentang karakteristik hukum pidana dalam konteks ultimum remedium. b. Manfaat Praktis Sumbangan pemikiran terhadap dunia praktis, berupa rekomendasi terhadap aparat penegak hukum khususnya dalam sistem peradilan pidana.
yang terlibat langsung
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Delik, Unsur dan Jenis-jenisnya 1. Pengertian Delik (Tindak Pidana) Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang di dalam Wetboek van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang” Delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberikan definisi berbeda, demikian juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia terutama dengan lahirnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, digunakan istilah tindak pidana. Tindak pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP, sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang sebagai sesuatu yang dibuat oleh orang yang menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera maupun meninggalnya seseorang. Perbuatan pidana tersebut menunjukkan kepada tingkah laku yang berupa kejadian tertentu dan menimbulkan akibat pada orang lain. Tindak pidana yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perbuatan pidana yang mengakibatkan lingkungan rusak dan tercemar yang menimbulkan orang lain mati atau cidera.
10
Menurut Moeljatno,
6
perbuatan pidana menurut ujud dan sifatnya
bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu perbuatan yang melawan (melanggar) hukum. Lebih lanjut
Moeljatno
menyatakan bahwa perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua keadaan konkrit; pertama : adanya jaminan yang tertentu dan kedua : adanya yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena istilah perbuatan pidana bersifat abstrak sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno, maka istilah itu akhirnya menjadi tindak pidana atau delik dengan maksud yang sama. Perbuatan dengan mengambil istilah Belanda Strafbaar feit, maka menurut Simons bahwa Strafbaar feit, adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Demikian juga van Hamel, merumuskan Strafbaar feit, adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana, dan dilakukan dengan kesalahan.7 Akan tetapi pada umumnya dalam setiap undang-undang tidak menggunakan perbuatan perbuatan pidana, tetapi menggunakan tindak pidana, dan juga kadang-kandang orang menyebutnya dengan delik. Dengan demikian, perbuatan pidana merupakan perbuatan yang menurut hukumdiancam dengan sanksi pidana bagi siapa saja yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Demikian juga ancaman pidana ditujukan kepada perbuatannya, sehingga 6
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 2
7
Ibid, hal. 52-54
11
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut, maka antara larangan dan ancaman pidana harus ada hubungan yang erat, juga antara kejadian dan ancaman pidana harus ada hubungan yang erat, juga antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat juga. Dalam hukum pidana tidak melarang adanya orang mati atau cidera, tetapi yang dilarang oleh hukum pidana ialah adanya orang mati atau cidera karena disebabkan oleh perbuatan orang lain. 8 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat dikemukakan tentang tindak pidana, bahwa perbuatan pidana yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut adalah perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Dengan demikian, perbuatan yang mengakibatkan tercemar dan rusaknya lingkungan hidup adalah perbuatan pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, sehingga secara tegas dapat dirumuskan perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam pasal-pasal tersebut, termasuk pasal yang merupakan hukuman tambahan dalam bentuk tindakan tat tertib. 2. Unsur-Unsur Delik (Tindak Pidana) Berkaitan dengan penerapan hukum pidana materil, maka unsur-unsur tindak pidana merupakan hal yang sangat mendasar. Menurut Tongat, bahwa
8
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 159
12
secara umum unsur-unsur
tindak pidana dapat dibedakan ke dalam dua
macam, yaitu : 9 a. Unsur obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa: 1) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. 2) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. 3) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. b. Unsur subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku, yang berupa : 1) Hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggung jawab). 2) Kesalahan atau schuld.
Berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab terurai di atas, timbul persoalan kapan seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab. Menurut Satochid Kartanegara, seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu :10 a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dank arena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu; b. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya; c. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang.
Berkaitan dengan persoalan kemampuan bertanggung jawab, pembentuk KUHP berpendirian, bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggung jawab. Konsekuensi dari pendirian ini
9
10
adalah bahwa masalah kemampuan
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2008, hal. 4-5 Ibid, hal. 5
13
bertanggung jawab ini tidak perlu dibuktikan adanya di pengadilan “kecuali” apabila terdapat keragu-raguan terhadap unsur tersebut. Demikian juga Lamintang, mengemukakan unsur-unsur tindak pidana ke dalam dua hal, yaitu : 11 a. Unsur subyektif, meliputi : 1) kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2) maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3) macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam tindak pidana pencurian; 4) merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP. b. Unsur obyektif, meliputi : 1) sifat melanggar (melawan) hukum; 2) kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP, antara lain ditegaskan : “seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan jabatan umum ……)”; 3) kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.
3. Jenis-Jenis Delik (tindak pidana) a. Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik hukuman, ancaman hukumannya lebih berat; b. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik undang-undang yang ancaman hukumannya memberi alternatif bagi setiap pelanggarnya; c. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa melihat akibatnya; Contoh delik pencurian Pasal 362 KUHP, dalam Pasal ini yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik; 11
Fuad Usfa, A dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, hal. 33-34
14
d. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik; Contoh : Delik pembunuhan Pasal 338, Undang-undang Hukum pidana, tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan, tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati terbunuh, sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik; e. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan diberlakukan secara umum; Contoh penerapan delik kejahatan dalam Buku II KUHP misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP; f. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu dalam kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain; g. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban aparat negara untuk melakukan tindakan; h. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan sengaja. Contoh Pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain; i. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya, kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena salahnya seseorang yang mengakibatkan orang lain menjadi korban; Contoh : Seorang sopir yang menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas mobil, tiba-tiba jatuh terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;
15
j. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. Contoh : Pasal 363 KUHP, pencurian yang dilakukan pada waktu malam, atau mencuri hewan atau dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang berkualifikasi; k. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan keadaan yang memberiatkan. Contoh : Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa; l. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan lain lagi. Contoh: Seseorang masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak mencuri dan memperkosa; m. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan; n. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-undang bersifat larangan untuk dilakukan.Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362 KUHP; o. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal 164 KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan;
16
p. Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban.Contoh: Pencurian Keluarga Pasal 367 KUHP;Delik Penghinaan Pasal 310 KUHP; Delik Perzinahan Pasal 284 KUHP. 4. Unsur-Unsur Tindak Pidana Lingkungan Pencemaran sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009, memuat unsur-unsur perbuatan pencemaran lingkungan hidup, yaitu : a. Masuknya atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen ke dalam lainnya lingkungan; b. Dilakukan (adanya kegiatan manusia); c. Turunnya kualitas lingkungan sampai pada tingkat tertentu; d. Menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan Perusakan Lingkungan Hidup yang perumusannya termuat dalam Pasal 1 angka 16, memuat unsur-unsur perbuatan perusakan lingkungan hidup, yaitu : a. Adanya suatu tindakan manusia; b. Terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan; c. Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang mengakibatkan rusaknya ekosistem bahkan biosfer bumi, yang dapat terganggunya kelestarian lingkungan hidup itu (ekosistem dan biosfer) baik untuk generasi masa sekarang ataupun masa yang akan datang.
17
Sebagaimana dinyatakan oleh Abdurrahman, (1990) bahwa bahaya yang senantiasa mengancam lingkungan dari waktu ke waktu ialah pencemaran dan perusakan lingkungan. Ekosistem dari suatu lingkungan dapat terganggu kelestariannya oleh karena pencemaran dan perusakan lingkungan. Pendekatan hukum lingkungan dari sudut pidana ini ditentukan pada nestapa atau sanksi pidana yang dijatuhkan oleh negara kepada warga negara yang menjadi tersangka, dan yang diduga telah melakukan tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, karena rumusan dalam ketentuan pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengakibatkan timbulnya kerusakan dan tercemarnya lingkungan hidup secara keseluruhan. Berdasarkan uraian yang dikemukakan dapat diketahui unsur-unsur perbuatan pidana terhadap lingkungan hidup, sebagai berikut : a. Barang siapa yang secara nyata melawan hukum; b. Karena sengaja atau karena kealpaannya c. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. Perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup; e. Perbutan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup; f. Mengakibatkan orang mati atau luka berat (membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain); g. Diancam dengan pidana.
18
B. Konsep Penegakan Hukum Pidana Penegakan hukum merupakan hal yang esensial pada suatu negara hukum yang mengutamakan berlakunya hukum negara berdasarkan undangundang guna dapat terwujud tujuan hukum, yaitu keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan dan masyarakat. Kepastian hukum merupakan perlindungan bagi setiap warga masyarakat yang terkena hukum terhadap tindakan sewenang-wenang atau perbuatan yang merugikan dari orang lain. Adanya kepastian hukum, maka masyarakat akan lebih tertib, karena jelas antara kedudukan hak dan kewajiban setiap orang menurut yang ditetapkan oleh hukum atau undang-undang negara. Tujuannya adalah untuk tercapai ketertiban masyarakat dengan sifat hukum untuk menyelesaikan konflik/ sengketa atau pelanggaran hukum dalam kehidupan masyarakat. Apabila kepastian hukum merupakan salah satu pendulum penegakan hukum, maka arah pendulum yang lain adalah keadilan, baik keadilan procedural
maupun
keadilan
substansial.
Idealnya,
harus
tercapai
keseimbangan antara kepastian dan keadilan, namun dalam praktik sulit tercapai keduanya secara penuh dan bersamaan, sebab biasanya jika keadilan yang diraih, maka kepastian hukum akan berkurang. Sebaliknya, jika kepastian hukum tercapai keadilan justru berkurang dirasakan oleh masyarakat. 12
12
Muktie Fadjar, dalam Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 199
19
Hal tersebut akan menimbulkan dilemma, apakah harus mendahulukan kepastian hukum atau rasa keadilan masyarakat. Seyogiyanya, keduanya harus dapat berjalan dengan mulus yang saling berbarengan tanpa menimbulkan efek buruk pada penegakan hukum. Ibarat menarik rambut dalam tumpukan tepung, rambut tak putus, tepung pun tak terserak, artinya harus ada kesadaran dan kepatuhan hukum dalam penegakan hukum, baik oleh warga masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri supaya tidak merugikan pihak lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.13 Penekanan salah satu aspek kepastian hukum atau keadilan sangat dipengaruhi oleh “tradisi hukum” yang dianut suatu negara dalam penegakan hukum. Bagi negara yang menganut tradisi hukum sipil (civil law tradition) lebih menekannkan pada hukum perundang-undangan, maka penegakan hukumnya mengarah pada kepastian hukum, akan tetapi belum tentu adil dirasakan rakyat, seperti di Prancis, Belanda dan Indonesia. Sebaliknya pada Negara-negara yang menganut tradisi hukum kebiasaan (common law tradition) yang berpangkal pada prinsip hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dengan bertumpu pada hukum kebiasaan dan kasus, rasa keadilan masyarakat lebih terakomodasi lewat hukum dan putusan hakim, seperti yang diterapkan di Inggris, Kanada dan Amerika Serikat. Sistem hukum yang diterapkan berlaku sebagai norma yang berkaitan dengan criteria subordinasi dan derivasi serta didukung oleh produk legislasi pihak berwenang.14
13
14
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Jakarta, 1982, hal. 239 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Op cit, hal. 200
20
Selain aspek hukum dan keadilan, penegakan hukum juga harus diperhatikan pada aspek kemanfaatan atau kegunaan hukum bagi masyarakat luas sebagai salah satu unsur kepatuhan hukum. Ia berasal dari pemberian perintah dan aturan konstitusi negara yang harus dipatuhi. Jangan sampai hukum
berup
undang-undang atau
peraturan,
baru
ditegakkan
atau
dilaksanakan, masalah baru akan timbul berupa adanya keresahan dalam kehidupan
masyarakat,
karena
hukum
dianggap
memberatkan
atau
menyusahkan bagi masyarakat. Lawrence M. Friedmen, mengemukakan bahwa untuk menegakkan hukum yang mendekati kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, ada faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, yaitu (1) faktor substansial, dalam hal ini kaidah, undang-undang atau peraturan hukum yang diberlakukan; (2) faktor struktural, dalam hal ini aparatur penegak hukum yang tegas dan berwibawa; (3) faktor kultural, dalam hal ini kesadaran hukum masyarakat; dan (4) faktor manajerial, dalam hal ini adalah administrasi dan organisasi pengelolaan penegakan hukum.15 Dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana, apabila dilihat dari suatu proses kebijakan, maka penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap. Pertama, tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap legslatif. Kedua, tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari
15
Ibid, hal. 202
21
kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. Ketiga, tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut kebijakan eksekutif atau administratif. 16 C. Konsep Penegakan Hukum Lingkungan Makna hakiki dari penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum dimaksud adalah pemikiran-pemikiran pihak badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang bakal diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum memuat aspek legislatif dari suatu peraturan yang diterapkan pada setiap orang dan/atau badan hukum (korporasi) dengan adanya perintah, larangan, dan ancaman sanksi pidana yang dapat dikenal terhadap setiap pelanggar yang terbukti bersalah berdasarkan putusan hakim. Aspek legalitas ini menyebabkan penegakan hukum akan mempunyai kekuatan yang mengkat terhadap setiap perbuatan orang yang melanggar hukum. Pengakan hukum lingkungan hidup berkaitan erat dengan kemampuan aparatur penegak hukum dan kepatuhan warga masyarakat terhap berbagai peraturan hukum lingkungan yang berlaku (ius operatum) dan meliputi pada tiga bidang hukum, yaitu administrasi, perdata dan pidana atas segala perusakan dan/atau pencemaran lingkungan. Upaya dalam penyelamatan lingkungan hidup tergantung pada kesadaran hukum, yakni pemerintah, aparat 16
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 111
22
penegak hukum, masyarakat setempat, dan pihak pencemar dengan bersamasama menjaga lingkungannya dan kepatuhan hukum. Sesuai dengan sifat dan efektivitas masalah lingkungan, maka upaya penegakan hukum lingkungan terhadap perbuatan yang mencemarkan dan/atau merusak lingkungan dapat dilakukan dalam dua bentuk, sebagai berikut : 17 Pertama, penegakan hukum lingkungan preventif. Penegakan hukum ini berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap
kepatuhan kepada peraturan
lingkungan tanpa kejadian langsung menyangkut pada peristiwa konkret yang menimbulkan dugaan atau sangkaan bahwa suatu peraturan hukum telah dilanggar oleh pencemar. Instrumen dalam penegakan hukum lingkungan preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan melalui pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin pabrik dan sebagainya. Pihak penegak hukum lingkungan yang utama adalah pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang dalam member perizinan dan mampu mencegah terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan. Kedua, penegakan hukum lingkungan represif. Penegakan hukum ini dilakukan dalam hal setiap perbuatan yang diduga telah melanggar peraturan/undang-undang dan bertujuan untuk mengahiri secara langsung perbuatan terlarang tersebut. Penindakan secara sanksi pidana umumnya selalu menyusul pada bentuk pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan atau memulihkan kembali akibat pelanggaran tersebut. Pihak penegak hukum lingkungan yang utama adalah kepolisian, kejaksaan, hakim, 17
Siti Sundari Rangkuti dalam Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 166
23
dan penasihat hukum. Untuk menghindarkan penindakan hukum pidana secara berulang-ulang, maka para pelaku (pencemar) sendiri yang seharusnya menghentikan keadaan itu. Kesadaran hukum dari para pencemar sebenarnya yang dituntut untuk tercipta lingkungan hidup yang sehat, asri, dan nyaman bagi semua pihak. D. Teori-teori Kausalitas Dalam Hukum Pidana 1. Pengertian Teori Kausalitas Istilah teori kausalitas berasal dari terjemahan bahasa Inggris causality theory. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diartikan kausalitas adalah perihal kausal atau sebab akibat. Kausal adalah bersifat sebab dari suatu kejadian. Sementara itu kausa diartikan sebab dari suatu kejadian.18 Teori kausalitas merupakan teori yang dikenal dalam hukum pidana. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah causaliteitsleer, yaitu suatu ajaran yang menentukan dalam hal bagaimana suatu hubungan sebab akibat dapat dianggap ada. 19 Andi Hamzah, 20 juga mengemukakan pengertian hubungan kausal. Hubungan kausal artinya sebab akibat atau kausalitas, misalnya A telah meninggal dunia. Pertanyaannya, apa yang menjadi penyebab kematian si A tersebut. Asumsi sementara bahwa yang menjadi penyebab meninggalnya A adalah dibunuh atau ditembak atau jatuh dari pohon dan seterusnya. Sementara
18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 389. 19 Algra, dalam Salim, HS., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 139 20 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,Jakarta, 2004, hal. 166
24
itu akibatnya adalah meninggalnya A. Apabila mengacu pada pengertian dan contoh kasus di atas, kausalitas dimaknakan sebagai sebab dan akibat. Ada penyebabnya, tentu ada akibatnya, meninggalnya A disebabkan karena ditikam oleh B. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui pengertian teori kausalitas, yang mengkaji dan menganalisis tentang hubungan antara sebab dan akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang terhadap yang lainnya. 2. Jenis-jenis Teori Kausalitas Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang hubungan antara sebab dan akibat suatu perbuatan pidana dapat digolongkan menjadi empat teori, yaitu : 21 a. b. c. d.
Teori condition sine qua non; Teori mengindividualisasi; Teori yang menggeneralisasi; Teori relevansi.
ad. a. Teori Condition Sine Qua Non Teori ini pertama kali dicetuskan oleh von Buri pada tahun 1873, kemudian dikembangkan oleh van Hamel. Menurut von Buri, Penentuan sebab suatu akibat dalam hubungannya dengan penerapan ilmu hukum menimbulkan beberapa aliran atau teori dalam hubungan kausalitas. Teori condition sine qua non (secara harfiah diterjemahkan : syarat-syarat tanpa mana tidak). Menurut von Buri, bahwa semua syarat, semua faktor, yang turut serta dan bersama-sama menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan 21
Moeljatno, 2007, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 91-116
25
dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan, adalah causa (sebab) akibat itu. Tiap faktor yang dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak diberi nilai. Demikian pula sebaliknya tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan harus diberi nilai yang sama. Semua faktor tersebut adalah sama dan sederajat. Karena adanya faktor-faktor yang tidak dapat dihilangkan itu perlu untuk terwujudnya akibat, maka teori von Buri disebut pula teori Conditio Sine Qua Non. Oleh karena von Buri menyatakan bahwa semua faktor-faktor itu sama nilainya, maka teorinya juga dinamakan teori ekuivalensi. Di samping itu teori von Buri menerima beberapa causa (sebab), maka teorinya disebut juga Bedingungstheorie, oleh karena antara syarat dengan causa (sebab) itu tidak ada perbedaan.22 Penganut teori von Buri adalah van Hamel, berpendapat bahwa : 23 Secara ilmiah jadi terlepas dari pengertian yang dianut oleh undangundang, maka teori von Buri adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori-teori lain bagi van Hamel tidak mempunyai dasar yang pasti dalam menentukan batas suatu sebab, maka untuk menggunakannya dalam hukum pidana ia harus didampingi oleh teori tentang kesalahan yang baik, yang mengoreksi dan meregulirnya. Teori tentang kesalahan atau ajaran tentang kesalahan ialah ajaran yang menentukan bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang, maka harus dibuktikan tentang sikap batinnya, ialah sengaja atau kelalaiannya seperti ditentukan oleh undang-undang pidana. Dalam perkembangannya teori von Buri banyak menimbulkan tanggapan dari kalangan ahli hukum antara lain; Moeljatno dan van Bemmelen. Menurut
22
23
Andi Zainal Abidin, 1987, Andi Hamsah, 1994, dan Moeljatno, 1987 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987, hal 302
26
Moeljatno, yang menganut pandangan dualistis tentang delik, yang hanya mengakui unsur-unsur perbuatan pidana sebagai unsur-unsur delik dan memasukkan unsur-unsur pembuat seperti sengaja atau kelalaian sebagai unsur pembuat tentu tak dapat menerima teori van Hamel. Demikian juga, van Bemmelen berpendapat bahwa teori von Buri terlampau luas jangkauannya, oleh karena perkataan sebab dengan demikian diperkosa.24 ad. b. Teori Mengindividualisir Karena teori ekivalensi itu menyamaratakan semua faktor sebagai sebab akibat dan sulit diperbaiki dalam memutus perkara pidana, maka lahirlah teori mengindividualisir. Salah seorang penganut teori ini ialah Birkmeijer. Teori ini mengajarkan bahwa dari rangkaian faktor-faktor yang oleh von Buri diterima sebagai causa, maka dicari faktor yang dipandang paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang bersangkutan. Pendapat Birkmeijer berpangkal pada dalil “Ursache ist die wirksamste Bedingung” yang menjadi causa (sebab) adalah faktor atau kejadian yang paling berpengaruh.25 Menurut Andi Zainal Abidin,26 berpendapat bahwa teori ini juga ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah terutama apabila diantara semua faktorfaktor itu sama berpengaruh atau kalau sifat dan coraknya dalam rangkaian faktor-faktor itu tidak sama.
24 25 26
Andi Zainal Abidin, Ibid, hal. 302 Andi Hamzah, 1984, Op Cit, hal. 170 Andi Zainal Abidin 1987, Op Cit, hal. 304
27
ad. c. Teori Yang Menggeneralisasi Teori ini lahir dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi. Pada prinsipnya teori tersebut menjelaskan bahwa teori von Buri terlalu luas sehingga harus dipilih satu faktor saja yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa (sebab). Andi Hamzah, 27 mengemukakan teori yang menggeneralisasi ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : a) Teori Adaequaat dari von Kries.
Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbang, sepadan. Jadi dikaitkan dengan delik maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diakui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat. Teori von Kries dapat juga disebut sebagai teori generalisasi yang subyektif adaequaat, oleh karena menurut von Kries yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima yaitu yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh si pembuat. b) Teori Obyektif dari Rumeling.
Teori Rumeling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi.
27
Andi Hamzah, 1984, Op Cit, hal. 171-172
28
Tolok ukur teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi “menetapkan harus timbul suatu akibat.” Jadi akibat itu walau bagaimanapun harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudah terjadinya delik. Tolok ukur tersebut merupakan logika yang dicapai menurut pengetahuan alam yang obyektif. Jadi, kalau yang tersebut pada butir 1 berpangkal pada subyektif, maka teori yang kedua ini berpangkal pada yang obyektif dilihat sesudah terjadi delik. c) Teori Adaequaat dari Traeger
Menurut Traeger bahwa akibat delik haruslah in het algemeen voozienbaar artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Teori tersebut mendapat komentar dari van Bemmelen bahwa yang disebut dengan in het algemeen voozienbaar ialah een hogemate van waarschijnlikheid yang artinya adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi. Teori Traeger dalam hal ini dapat dimasukkan atau dikelompokkan ke dalam teori adaequaat dari von Kries. Berdasarkan beberapa
teori
yang dikemukakan di
atas, dapat
menimbulkan pertanyaan lebih lanjut teori manakah yang harus digunakan oleh hakim. KUHP tidak menentukan teori yang harus dipergunakan oleh hakim. Utrecht, 28 menyatakan bahwa yurisprudensi di Nederland dan diikuti di Indonesia menggunakan teori von Kries, yang lazim disebut teori kausaliteit yang subyektif adekuat, karena yang diberi nilai dan harus diperhatikan oleh 28
Andi Zainal Abidin, 1987, Op Cit, hal. 314
29
hakim ialah perbuatan yang akan menimbulkan akibat sebelumnya dapat diketahui atau dapat diramalkan dengan kepastian yang kuat oleh pembuat delik. Menurut Andi Zainal Abidin,
29
teori apapun yang dipakai, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Perbuatan yang adequaat itu mempunyai hubungan yang logis dengan akibat yang ditimbulkannya; dan 2. Perbuatan itu melawan hukum. Untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa harus memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana ialah kemampuan bertanggung jawab dan kesalahan, serta tidak adanya alasan pemaaf. ad. d. Teori Relevansi Penganut teori relevansi adalah Langmeyer dan diikuti oleh Mezger. Teori ini tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, seperti teori menggeneralisasi dan mengindividualisasi, tetapi dimulai dengan menginterpretasi rumusan delik yang bersangkutan. Berdasarkan rumusan delik yang hanya memuat akibat yang dilarang dicoba untuk menentukan kelakuan-kelakuan apakah yang kiranya dimaksud pada waktu membuat larangan itu. Titik sentral teori relevansi adalah pada penafsiran undang-undang. Pemilihan antara syarat-syarat yang relevan didfasarkan atas rumusan delik,
29
Ibid
30
jadi abstrak dan umum. Langemeyer mengemukakan cara bekerjanya teori relevansi sebagai berikut : 30 “Ketika wet menggunakan istilah-istilah yang mengandung anggapan adanya hubungan kausal, kiranya istilah-istilah itu bukan menunjuk pada hubungan kausal saja, tetapi menunjuk pada syarat-syarat lain untuk mempertanggung-jawabkan orang atas akibat-akibatnya apakah syaratsyarat lain itu harus ditentukan mengingat arti taalkundig yang precies dari kata-kata yang menurut maksud pertanggungjawaban dalam wet yang tertentu”.
Mezger menyatakan bahwa teori relevansi mengadakan perbedaan antara pengertian kausal dan haftung (pertanggungjawaban). Dalam soal kausal, teori relevansi berpegang pada makna kausal secara ilmu yang umum. Akan tetapi soal pertanggungjawaban ditentukan semata-mata menurut pandangan dalam hukum pidana, yaitu maksudnya rumusan delik masing-masing pada ketika itu.
30
Moeljatno, 2007, Op Cit, hal. 112
31
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat normatif dan doktrinal, yang bertujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum serta permasalahan yang timbul di dalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan. Peter Mahmud
Marzuki
31
menyatakan bahwa
penelitian hukum
merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Sehubungan dengan metode yang digunakan, maka tipe penelitian yang dilakukan dalam penulisan Skripsi ini adalah normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak analisis adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencemaran dan perusakan lingkungan. B. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundangan-undangan diperlukan guna mengkaji lebih lanjut terhadap pola atau model pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana dalam suatu konsep baru. Oleh karena itu, perlu dilakukan penganalisaan melalui pendekatan perundang-undangan yang menjadi dasar penerapan sanksi tersebut.
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005
32
Pendekatan konseptual, digunakan untuk memahami konsep-konsep pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana sehingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum dalam mengkaji serta menganalisis kerangka pikir atau kerangka konseptual maupun landasan teoritis sesuai dengan tujuan penelitian ini. C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang dimaksud adalah : a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); b. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup; 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal, internet dan pendapat para sarjana. D. Pengolahan Bahan Hukum Baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan (diinventarisasi) kemudian dikelompokkan dan dikaji dengan pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan konsep guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum. Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan klasifikasi, kemudian dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum yang dikemukakan oleh para ahli, untuk akhirnya dianalisa secara normatif.
33
E. Analisis Bahan Hukum Untuk menghasilkan informasi penelitian yang lebih rasional dan obyektif, maka bahan yang diperoleh dianalisis dengan cara preskriptif yakni menafsirkan dan menjabarkan berdasarkan asas-asas hukum, norma hukum dan teori hukum. Dalam menganalisis bahan hukum digunakan metode analisa yang bersifat kualitatif. Bahan hukum yang mengarah pada kajian-kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas, konsepsi-konsepsi, pandanganpandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisa secara kualitatif.
34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penerapan Delik Formil Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Penegakan hukum lingkungan kepidanaan bersifat represif untuk dapat menindak pelaku (pencemar) yang terbukti secara meyakinkan bersalah dengan memberi pidana penjara dan/atau denda berdasarkan putusan hakim dalam menegakkan
peraturan/undang-undang
lingkungan.
Hukum
lingkungan
sebagaimana halnya hukum pidana termasuk ke dalam hukum publik. 32 Sanksi pidana lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat diterapkan pada kejahatan lingkungan, karena menimbulkan kerugian besar bagi korban. Berdasarkan kajian teori hukum pidana, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa sanksi pidana merupakan ultimum remedium terhadap setiap pelanggaran lingkungan. Pendapat ini didasarkan pemahaman bahwa pengelolaan lingkungan merupakan urusan pemerintah yang berwujud sebagai tindakan administrasi. Tindakan administrasi ini berawal pada penetapan izin oleh instansi atau lembaga yang berwenang. Apabila terjadi pelanggaran, maka pelanggaran itu merupakan pelanggaran administratif dan para pelanggarnya dapat dikenakan sanksi administratif. 33
32
St. Munadjat Danusaputro, dalam Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 170
33
Ibid, h. 171
35
Menurut pendapat ini, tindakan pertama yang diterapkan terhadap para pencemar adalah sanksi administrasi, kemudian sanksi perdata berupa pembayaran sejumlah ganti rugi atas kerugian materil yang dialamim oleh pihak korban. Sanksi pidana baru akan diterapkan kepada pihak pencemar apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata tidak mampu berfungsi dengan baik. 34 Jadi ada tahapan penjatuhan sanksi kepada pencemar dalam mekanisme penegakan hukum lingkungan. Penegakan hukum pidana di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memperkenalkan ancamana hukuman minimum di samping hukuman maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limba, emisi, dan gangguan. Pengaturan delik Materil dan delik Formil dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dapat ditelaah sebagai berikut : 1. Delik Materiil Delik
materil
adalah
perbuatan
pidana
yang
perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang hal yang dirumuskan dalam
34
Sitti Sundari Rangkuti, dalam Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Ibid, h. 171.
36
suatu undang-undang. Oleh karena itu, delik materil yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat hukum. Menurut Schaffmeister, 35 pada delik materil yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu, misalnya matinya orang lain. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, ketentuan tentang delik materil terdapat di dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 99, sebagaimana disebutkan di atas. Ketentuan delik materilnya adalah melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kealpaannya. Jadi perbuatan pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang dari suatu perbuatan yang telah terjadi. Dalam rumusan delik materil perlu dituntut pembuktian yang lebih rumit dibandingkan dengan rumusan delik formil yang tidak memerlukan pembuktian dari perbuatan pencemar dan perusak lingkungan, sehingga ketentuan Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyangkut penyiapan alat bukti serta penentuan hubungan kausal misalnya antara perbuatan pencemar dan tercemarnya lingkungan yang mekanisme penyidikannya tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Rumusan delik materil dalam Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut menyangkut persiapan penyidik dalam delik lingkungan yang sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan alat bukti yang sering kali bersifat ilmiah. Oleh karena sering bersifat ilmiah, maka 35
Sodikin, Op cit, hal. 164
37
pihak penyidik dalam mengumpulkan alat bukti dalam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan ini seringkali mendapat kesulitan apalagi pencemaran dan perusakan lingkungan sering terjadi secara kumulatif. 2. Delik Formil Delik formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Demikian juga menurut Schaffmeister, bahwa delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas dari akibat yang mungkin timbul, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana. 36 Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, ketentuan tentang delik formil terdapat di dalam Pasal 100 dan Pasal 119 sebagaimana disebutkan di atas. Ketentuan delik formilnya adalah melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, baik sengaja maupun karena kealpaannya. Jadi, perbuatan pidana itu setelah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Delik formil yang dirumuskan dalam Pasal 100 dan 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai delik formil yang tidak memerlukan pembuktian akibat dari perbuatan pencemar atau perusak lingkungan, sehingga suatu akibat tertentu hanya dapat memberatkan atau meringankan pidana, meskipun tanpa akibat perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan dapa dipidana apabila dilakukannya. 36
Dengan
demikian,
delik
formil
menekankan
pada
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Djambatan, Jakarta, Sodikin, 2007, h.165
38
perbuatannya, terlepas apakah akibat yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan perintah atau larangan dan sudah dapat dipidana. Sanksi pidana merupakan alternatif terakhir atau sarana hukum pamungkas sebagai ultimum remedium untuk menanggulangi pelanggaran hukum.
Sebelum membaha lebih lanjut penerapan delik formil dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terlebih dahulu dikemukakan pengaturan sanksi pidana lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dikenal jenis sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku Tindak Pidana Lingkungan, yaitu : 1. Jenis Sanksi a. Sanksi Pidana Jenis sanksi pidana yang digunakan hanya pidana pokok berupa penjara, dan denda; tidak ada tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan. Tidak adanya pidana kurungan ini disebabkan semua Tindak Pidana Lingkungan
menurut
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
dikualifikasikan sebagai “kejahatan”. Walaupun menurut pola yang dianut selama ini (di dalam/di luar KUHP) bisa saja suatu kejahatan diancam dengan pidana kurungan. b. Sanksi “Tindakan Tata Tertib” Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 membawa perubahan paradigma terhadap hukum pidana, yang sebelumnya menganut teori bahwa hanya individu atau orang perorangan yang dapat dihukum dengan sanksi pidana,
39
sedangkan badan hukum karena dia tidak bisa melakukan kejahatan, tidak dapat
dijatuhi
sanksi
pidana.
Undang-Undang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui tentang tanggung jawab korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 116 sampai Pasal 119 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009. Berdasarkan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, jika tindak pidana dilakukan oleh badan usaha, tindak pidana bisa dijatuhi hukuman pokok berupa denda dan hukuman tambahan berupa tindakan tata tertib, (Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009), sebagai berikut : a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. 2. Sistem Ancaman Pidana dan lamanya pidana Delik inti atau delik utama menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ialah “pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup” yang diatur dalam Pasal 98 (untuk delik dolus/sengaja) dan dalam Pasal 99 (untuk delik culpa). Maksimum pidananya ialah : a. Untuk delik dolus; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
40
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 98 ); b. Untuk delik culpa; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) (Pasal 99 ); 3. Sistem Perumusan Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di atas, lebih berat jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Bila dibandingkan pada perumusan ancaman pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak bahwa Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menganut sistem perumusan kumulatif kecuali hanya satu pasal yang menganut sistem perumusan alternatif yaitu Pasal 112. Berbeda halnya dengan
Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1997 yang menganut sistem perumusan kumulatif. Dalam perundang-undangan lingkungan sektoral, maksimum ancaman pidananya kebanyakan masih berorientasi pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982, walaupun ada beberapa penyimpangan untuk maksimum ancaman pidana denda. Sistem perumusan ancaman pidananya juga kebanyakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yaitu sistem kumulatif alternatif, walaupun ada juga yang dirumuskan dengan sistem kumulatif (Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan ada yang menggunakan sistem alternatif (Pasal 119 dan 120 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992.
41
Adapun sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan atau pelanggaran di bidang konservasi keanekaragaman hayati secara umum dapat dikenai ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dimuat dari Pasal 98 sampai Pasal 119 berupa pidana penjara dan denda
sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sanksi
pidana penjara dan denda yaitu terdapat dalam Pasal 78. Oleh karena berfungsi sebagai umbrella provision, maka ketentuan sanksi pidana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 terhadap sanksi pidana yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 berlaku adagium “Lex Specialis Derogat Legi Genelrali atau Lex Posterior Derogat Legi Periori” Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka secara dogmatis dapat dikatakan bahwa di dalam hukum pidana terdapat tiga permasalahan pokok, yaitu (1) perbuatan yang dilarang, (2) orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu; dan (3) pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu.37 Sejalan dengan itu, menurut Sauer 38 ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu (1) sifat melawan hukum; (2) kesalahan dan (3) pidana. Ciri khas hukum pidana, yang membedakan dengan hukum yang lain ialah adanya sanksi yang berupa pidana. Pidana itu sendiri dari pelbagai pandangan para pakar merupakan suatu nespatapa, derita, ketidakenakan,
37
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 45
38
Ibid
42
ketidaknyamanan, pengekangan hak-hak seseorang, yang dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Hukum pidana sengaja memberikan penderitaan dalam mempertahankan yang diakui dalam hukum.39 Lebih lanjut ditegaskan, bahwa fungsi hukum pidana itu sendiri adalah melindungi kepentingan hukum, baik kepentingan hukum orang, warga masyarakat maupun negara dari rongrongan atau pelanggaran atau perkosaan oleh siapapun. Disisi lain, fungsi hukum pidana melalui pengaturan sanksi pidana dalam undang-undang ada dua fungsi yaitu (1) ultimum remedium yang diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir dan (2) primum remedium yang diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi yang utama.40 Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan pidana. Apabila proses peradilan pidana yang berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai dengan asas peradilan, niscaya peradilan dinilai baik, tetapi apabila sebaliknya tentu saja dinilai sebaliknya pula bahkan dapat di cap sebagai kemerosotan kewibawaan hukum. Walaupun undang-undang mengatur persamaan semua orang dihadapan hukum (equality before the law), sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan undang-undang itu pula terdapat pengecualian, yaitu tiada undang-undang tanpa pengecualian. 39
Didik Endro Purwoleksono, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bahan Kuliah Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) Surabaya, tnp, 2010, hal. 13
40
Didik Endro Purwoleksono, Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undang-Undang (Pidato Pengukuhan Guru Besar : 12 Juli 2008) dalam Kebijakan Hukum Pidana, (Bahan Kuliah Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) tnp, Surabaya, 2010, hal. 22.
43
Sebelum penulis membahas lebih lanjut sebagaimana yang dikemukakan dalam rumusan masalah terlebih dahulu diuraikan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tercantum pada Pasal 97 sampai dengan Pasal 120, dan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut tidak ditemukan perumusan tindak pidana, tetapi mengatur tentang ketentuan pidana bagi barang siapa yang dengan sengaja atau karena kealpaannya melakukan perbuatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Dengan demikian, formulasi tindak pidana lingkungan dengan memahami pengertian yuridis “pencemaran lingkungan” dan “perusakan lingkungan” sebagai berikut : Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
44
rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
45
Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b,
46
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana
47
dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersamasama.
48
Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 120 (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi. (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan pidana sebagaimana dikemukakan pada uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa sanksi hukum yang dapat dikenakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, terdiri dari : 1) Pidana penjara;
49
2) Pidana denda; 3) Tindakan tata tertib yang terdiri dari : a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau; e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila seseorang didakwa dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana yang ditentukan dalam Undang Nomor 32 Tahun 2009, maka pelaku tersebut akan dijatuhi pidana penjara, bahkan sekaligus pidana denda dengan membayar sejumlah uang. Di samping kedua jenis pidana tersebut pelaku juga dapat dijatuhi pidana berupa salah satu atau beberapa atau ke enam jenis tindakan tata tertib tersebut di atas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009; maka ketentuan delik materil dan delik formil, adalah : 1. Delik Materiil Delik
materil
adalah
perbuatan
pidana
yang
perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang hal yang dirumuskan dalam suatu undang-undang. Oleh karena itu, delik materil yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat hukum.
50
Menurut Schaffmeister, 41 pada delik materil yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu, misalnya matinya orang lain. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, ketentuan tentang delik materil terdapat di dalam Pasal 98 dan 99, sebagaimana disebutkan di atas. Ketentuan delik materilnya adalah melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kealpaannya. Jadi perbuatan pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang dari suatu perbuatan yang telah terjadi. Dalam rumusan delik materil perlu dituntut pembuktian yang lebih rumit dibandingkan dengan rumusan delik formil yang tidak memerlukan pembuktian dari perbuatan pencemar dan perusak lingkungan, sehingga ketentuan Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyangkut penyiapan alat bukti serta penentuan hubungan kausal misalnya antara perbuatan pencemar dan tercemarnya lingkungan yang mekanisme penyidikannya tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Rumusan delik materil pada Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut menyangkut persiapan penyidik dalam delik lingkungan yang sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan alat bukti yang sering kali bersifat ilmiah. Oleh karena sering bersifat ilmiah, maka pihak penyidik dalam mengumpulkan alat bukti dalam kasus pencemaran dan
41
Sodikin, Op Cit, h. 164
51
perusakan lingkungan ini seringkali mendapat kesulitan apalagi pencemaran dan perusakan lingkungan sering terjadi secara kumulatif. 2. Delik Formil Delik formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Demikian juga menurut Schaffmeister, bahwa delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas dari akibat yang mungkin timbul, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana. 42 Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, ketentuan tentang delik formil terdapat di dalam Pasal 100 dan Pasal 115 sebagaimana disebutkan di atas. Ketentuan delik formilnya adalah melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, baik sengaja maupun karena kealpaannya. Jadi, perbuatan pidana itu setelah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Delik formil yang dirumuskan dalam Pasal 100 dan 115 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai delik formil yang tidak memerlukan pembuktian akibat dari perbuatan pencemar atau perusak lingkungan, sehingga suatu akibat tertentu hanya dapat memberatkan atau meringankan pidana, meskipun tanpa akibat perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan dapa dipidana apabila dilakukannya. Dengan demikian, delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas apakah akibat yang mungkin
42
Sodikin, Ibid, hal. 165
52
timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan perintah atau larangan dan sudah dapat dipidana.
53
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang dilakukan terhadap permasalahan yang diteliti dihasilkan temuan konklusif, sebagai berikut : Berkenaan dengan ketentuan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dapat diketahui bahwa ketentuan tentang tindak pidana materil terdapat di dalam Pasal 98 dan 99, yaitu melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kealpaannya sedangkan tindak pidana formilnya terdapat di dalam Pasal 100 dan Pasal 115 yaitu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, baik sengaja maupun karena kealpaannya. Berkaitan dengan hal tersebut penegakan hukum pidana lingkungan bersifat represif dengan memidana setiap perbuatan yang terbukti melanggar hukum (undang-undang), karena unsur kesengajaan dan kelalaian mengakibatkan luka berat, kematian dan kerugian materiil bagi orang lain. Dari segi pemidanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenal dua macam sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup yaitu sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda serta sanksi tindakan tata tertib yaitu (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (b) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; (c) perbaikan akibat tindak pidana; (d) pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (e) penempatan perusahaan di bawah
54
pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Demikian juga sistem perumusan pidananya menganut sistem kumulatif dan hanya satu pasal yang menganut sistem alternatif yaitu Pasal 113 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Sanksi pidana yang dijatuhkan hakim dalam kasus-kasus lingkungan selama ini relatif rendah. Sanksi pidana para pencemar/perusak lingkungan bervariasi antara 6 bulan sampai lima tahun dengan denda paling tinggi lima puluh juta rupiah atau hanya diperintahkan membayar denda bahkan dibebaskan hakim sama sekali. B. Saran Berdasarkan konklusi yang telah dikemukakan di atas, maka perlu direkomendasikan, sebagai berikut : 1. Mengacu pada kedua jenis sanksi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, patut digaris bawahi bahwa bentuk tindakan berupa “perampasan keuntungan” dan “penutupan perusahaan” (Pasal 119 sub a dan b di atas). Perampasan keuntungan pada hakikatnya merupakan salah satu pidana tambahan menurut KUHP.
Demikian pula penutupan
perusahaan, pada hakekatnya merupakan perluasan dari pidana tambahan berupa “pencabutan hak”, karena penutupan perusahaan dapat mengandung di dalamnya pencabutan hak/izin usaha. 2. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 maka seyogiyanya ada peninjauan kembali terhadap keseluruhan pola maksimum. Namun perlu digarisbawahi bahwa sistem perumusan kumulatif dalam
55
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 mempunyai kelemahan karena bersifat imperatif. Sifat imperatif/kumulatif tidak memberikan keleluasaan kepada hakim untuk memilih, dan sulit diterapkan apabila hakim akan menjatuhkan pidana pelaku sebagai korporasi/badan hukum, bukan sebagai “yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin”.
1
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1990, Pengantar Hukum Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,Jakarta. Andi Zainal Abidin, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung. Barda Nawawi Arief,, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Fuad Usfa, A dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang. Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Siahaan, N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta. Sodikin, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Djambatan, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Jakarta. Sukanda Husin, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang. Teguh Prasetyo,2010, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung. Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2
Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sumber lain : Didik Endro Purwoleksono, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bahan Kuliah Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) Surabaya, tnp. _______, 2010, Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undang-Undang (Pidato Pengukuhan Guru Besar : 12 Juli 2008) dalam Kebijakan Hukum Pidana, (Bahan Kuliah Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) tnp, Surabaya.