BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP DALAM MASYARAKAT INTERNASIOANAL
Lingkungan hidup merupakan aspek yang sangat penting dan vital bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Hal ini dianggap sangat penting karena apa yang terjadi terhadap lingkungan hidup akan sangat mempengaruhi kehidupan mahluk hidup yang tinggal di dalamnya. Termasuk juga dalam hal ini apabila terjadi kerusakan terhadap lingkungan hidup yang ada. Kerusakan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola dan tata kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia. Memandang pentingnya hal ini, maka sudah sewajarnya lingkungan hidup yang ada harus selalu dijaga dan dilestarikan, sehingga tidak menjadi rusak, dam membawa dampak yang buruk bagi manusia dan mahluk hidup lainnya, baik untuk jangka waktu sekarang maupun di masa yang akan datang. Pada kenyataan yang terjadi, baik di masa lampau maupun sekarang, masih banyak kerusakan yang terjadi terhadap lingkungan hidup yang dikarenakan kegiatan maupun aktivitas manusia. Hal ini terjadi karena kurangnya kesdaran manusia tentang pentingnya lingkungan hidup begi keberlangsungan hidup di masa sekarang dan di masa depan. Contoh secara nyata dapat kita lihat dari pembuangan limbah secara semarangan, pembalakan hutan secara liar, dan lain sebagainya. Pengerusakan lingkungan hidup yang terjadi akan membawa dampak negatif yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Oleh karenanya, dari sejak dulu pemerintah negara-negara telah berusaha
24
25
mencegah perusakan secara lebih lanjut dengan melakukan kerjasama-kerjasama dan kesepakatan-kesepakatan, serta membuat pedoman ataupun ketentuan tentang upaya pelestarian lingkungan hidup, baik dalam skala kecil maupun luas. Kerjasama-kerjasama maupun kesepakatan-kesepakatn yang dibentuk tersebut dalam skala besar dibuat dalam bentuk perjanjanjian internasional antara negaranegara. Hasil dari kerjasama atau kesepaktan ini dapat menghasilkan suatu kesepakatan, pedoman, maupun kesatuan komitmen dalam rangka pelestarian dan pencegahan kerusakan lingkungan. Secara lanjut pengaturan lingkungan hidup dalam skala luas (internasional) ini dijelaskan sebagai berikut.
A. Perkembangan Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup Jika melihat sejarah hukum internasional yang ada, posisi perjanjian internasional sebagai sumber dan bagian dari hukum internasional itu sendiri sebenarnya telah ada sejak dahulu kala. Keberadaan perjanjian internasional terutama dalam arti luas, sudah dikenal sejak 3000 tahun Sebelum Masehi (SM). Perjanjian Internasional ini dapat ditemukan dalam Traktat antara Lagash dan Umma yang disetujui sekitar tahun 3100 SM. Traktat ini diabadikan dalam sebuah batu (stele) dan menggunakan bahasa Sumeriah. Traktat yang ditandatangani pada waktu itu masih sangat sederhana dan dipengaruhi oleh tata cara pada zaman itu. Berbagai perjanjian internasional yang selanjutnya semakin banyak muncul, secara umum berkembang dalam berbagai variasi dan jenis yang pada prinsipnya didasarkan pada kehendak dan persetujuan para pihak.14
14
Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internaasional (Implementasi Hukum Perjanjian Internasiona Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia), Malang: Setara Press, 2014, hal.6
26
Apabila dilihat dari segi historisnya, perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup telah hadir dan dikenal di dalam perjanjian internasional yang bersifat umum, seperti perjanjian perbatasan. Dalam perjanjian internasional yang berupa perjanjian perbatasan seperti ini, diatur mengenai batas-batas wilayah suatu negara yang berbatasan dengan negara lainnya, baik di wilayah daratan, perairan, maupun udara. Perjanjian perbatasan yang dilakukan antar negara yang saling berbatasan tersebut, pada hakekatnya tidak hanya mengatur mengenai batasan wilayah negaranya masing-masing, melainkan juga mengatur banyak hal lainnya, seperti pembagian sumber daya atau kekayaan alam yang ada di wilayah perbatasan, ketentuan perlindunga wilayah perbatasan, dan kerjasama antar negara dalam pengembangan dan pengelolaan wilayah perbatasan. Perjanjian sejenis ini dapat ditemukan dalam perjanjian internasional bilateral dalam berbagai bentuk. Misalnya perjanjian internasional berbentuk konvensi yang ditandatangani tahun 1867 antara Perancis-Inggris yang berhubungan dengan perikanan (Convention Between France and Great Britain relative to Fisheries) yang kemudian disusul dengan beberapa perjanjian internasional sejenis seperti Overfishing Convention yang ditandatangani tahun 1882. Perjanjian internasional ini masih menekankan pada aspek pemanfaatan sumber daya alam hayati khususnya perikanan. Sejak timbulnya Kasus Penangkapan Anjing Laut di Perairan Behring (Behring Sea Fur Case) sekitar tahun 1891 telah disetujui perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dengan Inggris. Perjanjian Internasional ini, kemudian diperluas 20 tahun kemudian dengan ditandatangani Konvensi Pelestarian dan Perlindungan Anjing Laut yang dikenal dengan nama Convention Between the United State of America, the United
27
Kingdomof Great Britain and Northern Ireland and Russia for the Preservation and Protection of Fur Seals.15 Kemudian sejak tahun 1900, beberapa perjanjian internasional yang penting pada saat itu, yang telah ditandatangani antara lain Convention Between the Riverine States of the Rhine Respecting Regulation Governing the Transport of Corrosive and Poisonous Subtances (1900), Convention Destinee a Assurer la Conservation des Diverses Especes Animals Vivant a L’Etat Sauvage en Afrique Qui Sont Utiles a L’Homme ou Inoffensive (1900), Convention for the Protection of Birds Useful to Agriculture (1902), Treaty Relating to the Boundary Waters and Questions Arising Along the Boundary Between the United States and Canada (1909). Perjanjian Internasional lainnya khususnya terkait kelembagaan juga telah berkembang pada masa berikutnya diantaranya adalah pembentukan Komite Konsultasi mengenai Perlindungan Alam Internasional melalui Act of Foundation a Consultative Commite for the International Protection of Nature (1913), pembentukan Organisasi Kampanye Melawan Serangga Locusts dengan ditandatanganinya Convention Regarding the Organisation of the Campaign Against Locusts (1920), pembentukan Kantor Internasional melalui International Agreement for the Creation of an International Office for Dealing with Contagious Diseases of Animals (1924).16 Pada tahapan perkembangan hukum perjanjian internasional selanjutnya, terjadilah peningkatan perburuan ikan paus, yang dapat menyebabkan
15 16
Ibid, hal.7 Ibid
28
berkurangnya
populasi
ikan
paus
yang
ada
di
laut,
dan
bahkan
dapatmengakibatkan kepunahan bagi spesies ini. Untuk mencegah hal itu, maka ditandatanganilah Convention for the Regulation of Whaling pada tahun 1911, yang kemudian diperbaharui pada tahun 1937 melalui International Agreement for the Regulation of Whaling dan diperbaharui kembali melalui International Convention for the Regulation of Whaling (1946). Dalam masa sesudah Perang Dunia ke II perkembangan perjanjian internasional
di
bidang
lingkungan
hidup
semakin
meningkat
seperti
ditandatangani FAO Agreement for the Estabilishment of a General Fisheries Council for the Mediteranean (1949), International Convention for the Protection of Birds (1950), FAO International Plant Protection Convention (1951) dimana Indonesia telah meratifikasi konvensi ini. Selanjutnya menyusul beberapa perjanjian internasional lainnya seperti International
Convention for the
Prevention of Pollution of the Sea by Oil (1954), Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954), FAO Plant Protection Agreement for South East Asia and Pacific Region (1956), Geneva Conventions of Law of the Sea (1958), Plant Protection Agreement (1959), ILO Convention No. 115 concerning the Protection of Workers Against Ionising Radiation (1960), OECD Convention on the Liability of Operators of Nuclear Ships (1962). Hingga menjelang diadakannya Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Confrence on Human Enviroment) di Stockholm, Swedia, tahun 1972 telah ditandatangani beberapa perjanjian penting diantaranya Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (1963), Nuclear Test Ban Treaty (1963), Outer Space Treaty (1967), Non-Proliferation Treaty (1968), International
29
Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution Damage (1969), International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (1969), Benelux Convention on the Hunting and Protection of Birds (1970), Ramsar Convention (1971), ILO Benzene Convention (1971), Oil Pollution Fund Convention (1971), OSLO Convention (1972), Biological and Toxic Weapons Convention (1972), dan Antaric Seals Convention (1972).17 Sebagai bentuk upaya kesadaran global dalam memperjuangkan aspek lingkungan disamping aspek ekonomi dan pembangunan, maka pada tahun 1972, di Stockholm, Swedia, diadakanlah suatu konferensi yang membahas tentang masalah lingkungan. Konferensi yang ini diprakarsai oleh negara-negara maju dan diterima oleh Majelis Umum PBB ini kemudian dukenal dengan nama Konferensi Stockholm 1972. Konferensi ini menghasilkan resolusi-resolusi dan dokumendokumen penting, beberapa diantaranya adalah Deklarasi Stockholm (Stockholm Declaration on Human Enviroment), Action Plan and 109 Recommendation, dan usulan pembentukan sebuah badan PBB khusus untuk masalah lingkungan dengan nama United Nation Enviromental Programme (UNEP). Selain itu, dalam konferensi ini juga juga berkembang konsep eco developement atau pembangunan berwawasan lingkungan (ekologi). Dengan lahirnya Deklarasi Stockholm dan dibentuknya UNEP, kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup pun semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari munculnya perjanjian-perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup setelahnya, seperti Convention for the Protection of the World Cultural and Natural Heritage yang disepakati dan ditandatangani oleh negara-negara anggota 17
Ibid, hal.8
30
UNESCO. Beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup yang disepakati selanjutnya adalah London Dumping Convention (1972), Convention International Trade in Endangered Species Wild of Fauna and Floral/CITIES (1973), Marine Pollution Convention (1973), Polar Bears Agreement (1973), Nordic Enviromental Convention (1974), Paris Land-Based Sources Convention (1974), SOLAS (1974), dan beberapa konvensi lainnya. UNEP ikut mendukung beberapa perjanjian internasional diatas dan mulai memerankan
peranan
penting
dengan
mendorong
terbentuknya
model
kesepakatan internasional yang dikenal sebagai soft law and hard law approaches. Beberapa perjanjian internasional (hard law) yang dibentuk badan ini diantaranya melalui program laut UNEP atau UNEP Regional Seas Programme seperti Barcelona Convention (1976), Aipa Convention (1976), Kuwait Convention (1978), Abidjan Convention (1981), Lima Convention (1981), Jedah Convention (1982), Cartagena Convention (1983). Beberapa perjanjian internasional lainnya yang berada diluar program laut UNEP diantaranya Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals (1979), Convention on the Protection of the Ozone Layer (1985), Montreal Protocol (1987), Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their Disposal (1989). Hingga menjelang diadakannya KTT Bumi 1992, UNEP juga telah mempersiapkan tiga perjanjian internasional diantaranya Konvensi Melawan Penggurunan (Combat Desertification Convention/UNCCD), Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change Convention/UNFCCC), dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity Convention/UNCBD). 18
18
Ibid, hal.9
31
Kemudian, dalam rangka mempertegas kerja UNEP sebagai penggerak pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup, maka pada tahun 1983, Majelis Umum PBB membentuk sebuah badan lain di bidang lingkungan hidup, yaitu the World Commission on Enviroment and Development (WCED), dengan tugas merumuskan Agenda Global untuk Perubahan (A global agenda for change). Melalui laporannya “our common future” atau lebih dikenal dengan Laporan Brundtland (Brundtland Report) yang dirilis tahun 1987, WCED merumuskan arti/defenisi pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri" (development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Melalui laporan ini, WCED juga menegaskan bahwa lingkungan dan pembangunan merupakam dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: lingkungan adalah tempat di mana kita semua hidup; dan di sisi lain pembangunan adalah sesuatu yang kita lakukan sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki keadaan dan tingkat kehidupan kita di dalam tempat yang kita tinggali tersebut. Untuk
menindaklanjuti
rekomendasi-rekomendasi
Laporan
Komisi
Brutland, Majelis Umum PBB memutuskan untuk menyelenggarakan Konferensi di Rio de Jeneiro, Brasil, 1992. Konferensi ini dihadiri oleh 178 utusan negara, 115 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, 1400 orang perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat. Karena peserta Konferensi Rio mewakili berbagai kepentingan dan negara dunia, maka konferensi itu juga disebut Earth Summit. Konferensi Rio atau Earth Summit menghasilkan kesepakatan berikut: a. Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
32
b. Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (the Biodiversity Convention). c. Konvensi tentang Perubahan Iklim (the Climate Change Convention). d. Agenda 21, sebuah dokumen berjumlah 800 halaman, yang berisi “cetak biru” pembangunan berkelanjutan di abad ke-21. e. Prinsip-prinsip pengolahan hutan yang tidak mengikat. f. Pengembangan lebih lanjut instrumen-instrumen hukum dari Konvensi tentang Desertifikasi, Konvensi Pencemaran Laut yang Bersumber dari Daratan. g. Perjanjian untuk membentuk Komisi tentang Pembangunan Berkelanjutan yang tugasnya memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan Rio dan Agenda 21.19
B. Ruang Lingkup Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup 1. Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup yang bersifat Multilateral Perjanjian Internasional yang bersifat Multilateral merupakan suatu perjanjian internasional yang disepakati atau disetujui secara sah oleh para pihak yang terkait di dalamnya, dimana jumlah para pihak yang ikut serta tersebut adalah lebih dari dua subjek hukum internasional. Kaidah hukum yang terkandung di dalam perjanjian multilateral ini dapat bersifat khusus maupun umum. Dikatakan bersifat khusus, karena coraknya yang tertutup, yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam perjanjian multilateral hanya mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan para pihak yang merupakan
19
Prof.Dr.Takdir Rahmadi, S.H., LLM., Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2011, hal. 13
33
peserta perjanjian multilateral tersebut, Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum memiliki corak yang terbuka, yaitu bahwa hal-hal yang diatur dalam perjanjian itu tidak hanya mengatur masalah-masalah terkait kepentingan para peserta perjanjian tersebut, melainkan juga kepentingan pihak ketiga atau pihak lainnya. Perjanjian multilateral yang bersifat terbuka ini membuka kemungkinan bagi pihak ketiga atau pihak lainnya untuk ikut serta manjadi bagian dalam perjanjian ini.
Perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup
sekarang ini pun semakin berkembang dan untuk perjanjian yang bersifat multilateral sering disebut dengan istilah Multilateral Enviromental Agreement (MEA). MEAs merupakan perjanjian internasional yang hidup (living agreement) dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat internasional.20 Perjanjian multilateral pertama kali dibentuk untuk manangani masalah perdagangan gading dan perlindungan habitat hewan dan tumbuhan yang dilakukan di benua Afrika, dimana sebagai upaya untuk menangani masalah ini diadakan lah pertemuan negara-negara kolonial di Afrika (Inggris, Perancis, Jerman, Belgia (Kongo)), yang kemudian menghasilkan suatu konvensi, yaitu London Convention, yang ditandatangani pada tanggal 19 Mei 1900. Selanjutnya, perkembangan perjanjian multilateral di bidang lingkungan hidup muncul terkait adanya perburuan mamalia laut (ikan paus), sehingga untuk mencegah hal ini, disepakatilah Convention for the Regulation of Whaling tahun 1911, yang kemudian diperbaharui dengan International Agreement for International Convention for the Regulation of Whaling pada 2 Desember 1946, yang memuat pembentukan Komisi Ikan Paus Internationa (International Whaling Commision). Pada tahap selanjutnya, 20
Andreas Pramudianto,Op.Cit., hal.70
34
perjanjian multilateral di bidang lingkungan hidup berkembang sesuai dengan kebutuhan global dan kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi. Perkembangan itu dapat dilihat dengan adanya pengaturan global mengenai perkembangan teknologi, tenaga nuklir, limbah pembuangan, perlindungan satwa dan fauna, serta kebutuhan global lainnya. Kasus-kasus lingkungan internasional seperti kasus nuklir Chernobyl, kasus limbah B3 Seveso, dan kasus-kasus lainnya, juga membuat para subjek internasional untuk bersama-sama melakukan perundingan dan membuat perjanjian dalam rangka mencegah dan menanggulangi kasus-kasus serupa. Kemudian, hadirnya Deklarasi Stockholm 1992 dan terbentuknya UNEP, semakin mendorong pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, seperti disetujuinya London Dumping Convention, yang merupakan tahap awal terbentuknya MEA, dan disusul dengan perjanjian-perjanjian lainnya, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITIES) tahun 1973, International Convention for the Prevention of Pollution by Ships, 1973, MARPOL 1978, Bonn Convention 1979, United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Convention on the Protection of the Ozone Layer 1985, Protokol Montreal 1987, hingga Basel Convention tahun 1989. Selanjutnya setelah KTT Bumi 1992, UNEP mendorong terbentuknya beberapa MEA seperti United Nations Framework Convention on Climate Change atau UNFCCC 1992, United Nations Convention in Biological Diversity atau UNCBD 1992, United Nations Convention to Combat Desertification atau UNCCD 1994, dan beberapa perjanjian internasional lainnya. Selain itu, pada era ini beberapa produk hukum internasional berupa protokol juga berkembang, seperti Protocol to the London Dumping Convention 1996, Kyoto Protocol 1997, Protocol to the Basel
35
Convention atau Liability Protocol 1999, dan Biosafety Protocol tahun 2000. Setelah KTT Johanesburg tahun 2000 hingga Rio plus 20 tahun 2012, tidak banyak MEA yang berhasil disepakati, kecuali di tahun 2013 Minamata Convention on Mercury.21 Perkembangan MEA selanjutnya ditandai dengan sibuknya pertemuan-pertemuan rutin para peserta perjanjian, pertemuan teknis dengan para ahli, dan pertemua badan-badan MEA. Selain itu, adanya keterkaitan antar perjanjian internasional antara satu dengan yang lainnya, menyebabkan dibentuknya suatu badan yang mengkkordinasi beberapa perjanjian internasional di satu bidang yang sama. 2. Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup yang Bersifat Regional Perjanjian regional merupakan kesepakatan-kesepakatan atau persetujuanpersetujuan yang dilakukan dua negara atau lebih yang berada dalam satu wilayah atau kawasan regional tertentu. Di bidang lingkungan hidup terdapat juga bentuk perjanjian regional yang dibentuk oleh negara-negara suatu kawasan regional tertentu yang membahas masalah-masalah tertentu yang terjadi di wilayah regionalnya. Beberapa masalah-masalah lingkungan hidup yang dijadikan pokok permasalahan di dalam perjanjian regional adalah mengenai pertanian, perikanan, pelestarian flora dan fauna, dampak pemakaian atom/nuklir pada lingkungan, hujan asam, dan berbagai masalah lainnya. Perjanjian-perjanjian regioanal seperti di atas secara lebih lengkap dapat dilihat di dalam tabel berikut:
21
Andreas Pramudianto,Op.Cit., hal.70
36
Contoh Perjanjian Internasional Regional No
Nama Perjanjian Internasional
Tahun
Regional
1
International Convention for the Protection
1950
Eropa
1951
Eropa
1956
Asia –
Birds 2
Convention
for
Estabilishment
of
the
European and Mediterranean Plant Protection Organization 3
Plant Protection Agreement for the South East Asia and the Pacific Region
4
Convention of the African Migratory Locust
Pasifik 1962
Afrika
1964
Antartika
1968
Eropa
Organization 5
Agreed Measure for the Conservation of Antartic Fauna and Flora
6
Convention the Protection Animal During International Transport
7
Agreement on the Conservation of Polar Bear
1973
Artik
8
Convention on Conservation of Nature in the
1976
Pasifik
South Pacific 9
Kuwait Regional Convention for Cooperation
Selatan 1978
on the Protection of the Marine Environment
Timur Tengah
from Pollution 10
Convention on the Conservation European Wildlife and Natural Habitat
1979
Eropa
37
11
Convention on the Conservation Management
1979
of the Vicuna 12
Amerika Latin
Convention Nature Conservation and
1982
Eropa
1985
Asia
Landscape Protection 13
ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources
14
Convention on the Ban of Import into Africa
Tenggara
1991
Afrika
and the Control of Transboundary Movement and Management
of Hazardous Wastes
Within Africa Sumber: Danusaputro (1982) dan UNEP (2006) dalam Pramudianto (2008)
Pembentukan perjanjian internasional di tingkat regional akan sangat membantu di tingkat global terutama dalam proses penanganan dampak yang muncul dari kegiatan regional. Di sisi lain, diplomasi lingkungan tidak berhenti atau selesai ketika perjanjian internasional itu telah disepakati. Pertemuan-pertemuan berikutnya akan terus dilakukan sepanjang berlakunya perjanjian internasional tersebut melalui perangkat Confrence of Parties (CoP), Meeting of the Parties (MOP), Intersessional Meeting, Subsidary Bodies Meeting, Adhoc Working Group Meeting, dan lain-lain.22 3. Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup yang Bersifat Bilateral Perjanjian Internasional yang bersifat Bilateral merupakan perjanjian internasional yang dibuat atau dibentuk berdasarkan kesepakatan dua subjek 22
Pramudianto, Op.Cit, hal.99
38
hukum internasional saja. Kaidah hukum yang terdapat dalam perjanjian bilateral bersifat khusus dan tertutup (Closed Treaty). Perjanjian ini dikatakan bersifat khusus karena isi dan segala ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam perjanjian tersebut hanya berlaku bagi kedua pihak yang bersangkutan saja, sedangkan yang dimaksudkan dengan bersifat tertutup adalah bahwa, perjanjian ini menutup kemungkinan masuknya pihak ketiga atau pihak lainnya untuk ikut serta di dalam perjanjian ini. Perjanjian Bilateral di bidang lingkungan hidup sering juga disebut dengan istilah Bilateral Enviromental Agreement (BEAs). Perjanjian internasional bilateral ini umumnya lahir dari
adanya diplomasi
bilateral (bilateral diplomacy) antar kedua negara yang saling bersangkutan, karena adanya suatu permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan masingmasing negara. Diplomasi bilateral merupakan diplomasi yang dilakukan oleh dua negara dalam hubungan internasional secara tertutup atau rahasia.23 Selain itu, diplomasi bilateral dapat juga diartikan sebagai hubungan antara dua pihak dimana mereka saling bertemu untuk membicarakan suatu hal dengan tujuan melakukan kerjasama, penempatan duta besar, mengadakan perjanjian atau hanya sekedar melakukan kunjungan kenegaraan.24 Dalam diplomasi bilateral ini, hal yang perlu dicatat dan diingat adalah bahwa bilateral diplomasi dapat terjadi apabila ada keinginan satu pihak untuk membahas suatu persoalan tertentu. Di bidang lingkungan hidup, terdapat juga diplomasi-diplomasi bilateral yang dilakukan antar negara yang menghasilkan perjanjian-perjanjian bilateral
23
Evans, Graham dan Jeffrey Newnham. 1997. Dictionary of International Relation. London: Penguin Reference. 24 Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arkola.
39
mengenai kepentingan lingkungan hidup di wilayah negaranya masing-masing. Beberapa contoh perjanjian bilateral di bidang lingkungan hidup dapat dilihat lebih jelas dalam daftar berikut: Contoh Perjanjian Internasional Bilateral: Tahun 1906
Nama Perjanjian Conventin
Concerning
the
Para Pihak Equitable Meksiko -
Distribution of the Waters of the Rio Amerikan Serikat Grande for Irrigation 1909
Boundary
Water
Treaty
concluded Kanada -
Between Great Britain (atas nama Kanada) Amerika Serikat and the United States
1911
Treaty Between the USA and the Great Amerika Serikat Britain Providing for the Preservation and – Inggris Protection of Fur Seals
1931
Convention Between Latvia and Lithuania Latvia relating to Fishing in the Boundary Waters
1958
Lithuania
Convention Between the United States and Amerika Serikat Cuba for the Conservation of Shrimp
1962
–
Convention
Between
France
- Kuba
and Perancis – Swiss
Switzerland concerning the Protection of the Waters of Lake Geneva Against Pollution
40
1966
Agreement on the Plant Protection and Bulgaria Phytosanitary Quarantine Between The Republik Peoples of Bulgaria and the Untied Arab Persatuan Arab Republic
1969
Convention Between the Government of Bolivia – Peru the
Republic
of
Bolivia
and
the
Government of the Republic of Peru Concerning Vicuna Conservation 1972
Agreemant Between the USA and Japan Amerika Serikat Concerning an International Observer – Jepang Scheme for Whaling Operation from Land Stations in the North Pacific Ocean
1974
Agreement Between the Government of Jepang- Australia Australia and the Government of Japan for the Protection of Migratory Birds in Danger of Extiction and their Enviroment
1986
Agreement Between the Goverment of Kanada
-
Canada and the Government of the United Amerika Serikat States
of
America
Concerning
the
Transboundary Movement of Hazardous Waste
1986
Agreement Between the Government of Australia – China Australia and the Government of the
41
People’s Republic of China for the Protection of Migratory Birds and their Enviroment Dll Sumber: Danusaputro (1982) dan UNEP (2006) dalam Pramudianto (2008)
Selain perjanjian-perjanjian yang disebutkan di atas, sebenarnya masih terdapat banyak perundingan-perundingan diplomatik di bidang lingkungan hidup yang disepakati melalui perjanjian bilateral antar-negara. Dalam penerapannya, perjanjian bilateral di bidang lingkungan hidup ini telah memperkaya kerjasama yang bersifat kemitraan antar dua negara, sebagaimana yang diamanatkan dalam Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm 1972, KTT Rio 1992, dan KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002.
C. Jenis-jenis Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup Di dalam penerapan hukum internasional terdapat beberapa jenis perjanjian internasional yang secara sah diakui dan dilakukan para subjek hukum Internasional. Beberapa perjanjian internasional tersebut pun digunakan juga secara umum dalam penerapan hukum internasional di bidang lingkungan hidup, yang diantaranya berupa: 1. Traktat (Treaty) Merupakan suatu persetujuan yang dilakukan oleh dua Negara atau lebih yang mengadakan suatu hubungan diantara mereka. Traktat memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena mengatur suatu permasalahan yang sifatnya mendasar atau fundamental. Jenis perjanjian internasional seperti ini biasanya
42
digunakan dalam perjanjian multilateral, baik yang bersifat terbuka maupun terbatas. Contoh traktat sebagai perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup adalah sebagai berikut: -
Treaty for Amazonian Cooperation ( Brasil, 3 Juli 1978 )
-
South Pacific Nuclear Free Zone ( kota Raratonga, 6 Agustus 1958 )
2. Piagam (Charter) Merupakan
suatu
himpunan
peraturan
yang
ditetapkan
berdasarkan
persetujuan internasional, baik yang mengatur mengenai kesatuan-kesatuan tertentu maupun ruang lingkup hak, kewajiban, kewenangan, tugas, dan juga tanggung jawab lembaga-lembaga internasional. Nomenkaltur Piagam atau Charter biasanya diberikan kepada perjanjian internasional yang membentuk suatu organisasi internasional ataupun lembaga tertentu. Sebagai contoh adalah Piagam pembentukan Perserikatan Bangsa-bangsa atau Charter of the United Nations 1945. Akan tetapi hal ini tidak bisa konsisten terutama terkait dengan pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Piagam atau Charter dapat merupakan soft law yang non legally binding bukan sebagai hard law yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Sebagai contoh adalah Piagam Dunia untuk Alam atau World Charter for Nature yang kemudian diperkuat menjadi Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/37/7. Contoh lainnya adalah Piagam Bumi 1992 (Earth Charter 1992) yang disepakati oleh beberapa negara, NGO, dan Organisasi Internasional pada waktu KTT Bumi 1992 di Rio de Jeneiro, Brasil.25
25
Pramudianto, Op.Cit, hal.67
43
3. Konvensi (Convention) Merupakan suatu persetujuan resmi yang bersifat multilateral atau dapat juga diartikan sebagai persetujuan yang diterima oleh organ suatu organisasi internasional. Istilah konvensi ini dalam terminologi khusus digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak negara pihak dan mengatur tentang masalah yang besar dan penting. Konvensi pada umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat law-making artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum masyarakat internasional. Perangkat internasional
yang
dirundingkan
atas
prakarsa/naungan
organisasi
internasional umumnya juga menggunakan istilah konvensi.26 Konvensi banyak digunakan dalam perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Bentuk
perjanjian
diperkenalkannya
ini
semakin
sering
digunakan
karena
mulai
suatu metode atau model yang disebut “Convention-
Protocol Approach”, yang mana banyak dipakai dalam perjanjian-perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Salah satu contoh konvensi adalah Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer yang ditandatangani di kota Wina, 22 Maret 1985, yang selanjutnya memberlakukan protokolnya, yaitu Monteral Protokol 1987. 4. Protokol (Protocol) Merupakan persetujan internasional yang isinya melengkapi (suplemen) suatu konvensi dan pada umumnya dibuat oleh Kepala Negara. Permasalahan atau hal-hal yang diatur di dalam suatu protokol hanyalah permasalahan atau hal26
Boer Mauna, Hukum Internasional, cetakan ketiga, Jakarta: PT.Alumni, 2010, hal.91
44
hal tambahan saja, seperti pengertian atau penafsiran klausal-klausal tertentu dari suatu konvensi. Dalam perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, penggunaan protokol umumnya hanya digunakan sebagai pelengkap dari suatu konvensi atau dapat juga merupakan instrument tambahan yang bersifat independen dari suatu konvensi. Suatu protocol dapat bersifat independen karena para pihak peserta protokol belum tentu sama dengan para pihak peserta konvensi. Salah satu contoh protokol di bidang lingkungan hidup adalah Kyoto Protocol 1997 yang merupakan protokol independen dari Framework Convention on Climate Change 1992. 5. Pengaturan (Arrangements) Merupakan suatu bentuk perjanjian yang pada umumnya digunakan untuk transaksi-transaksi yang sifatnya sementara dan mengatur hal-hal yang sifatnya khusus. .Perjanjian dalam bentuk pengaturan ini sebenarnya jarang digunakan dalam perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Salah satu contoh pengaturan di bidang lingkungan hidup adalah Arrangements for the Regulation of Antartic Palagic Whaling, yang ditandatangani di Roma, pada tanggal 18 November 1959. 6. Persetujuan (Agreement) Merupakan suatu bentuk perjanjian internasional yang pada umumnya berkedudukan lebih rendah daripada traktat dan konvensi, dan mengatur halhal tertentu yang bersifat khusus atau hal-hal lainnya yang bersifat teknis administratif. Contoh persetujuan dalam bidang lingkungan hidup dapat dilihat dari Agreemant on the Conservation of Polar Bears 1973 dan
45
Agreement for Estabilishement on a Permanent Basis of a Latin American Forest Research and Training Institute 1959. 7. Tindakan (Act) Beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup memakai istilah ini yang umumnya bersifat sangat teknis. Sebagai contoh adalah Act Regarding Navigation and Economic Cooperation Between States of the Niger Basin yang ditandatangani pada tanggal 26 Oktober 1963 di Niamey. Contoh lainnya adalah Act of Foundation of a Consultative Committee for the International Protection of Nature yang ditandatangani pada tanggal 19 November 1913 di kota Berne, Swiss. 27 8. Penyesuaian (Adjustment) Merupakan bentuk perjanjian internasional sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan di dalam suatu protokol atau dapat juga berfungsi sebagai amandemen dari suatu protokol. Contoh penyesuaian di bidang lingkungan hidup diantaranya ialah London Adjustment and Amandemends to the 1987 Montreal Protocol (London/29 Juni 1990), Copenhagen Adjustment and Amandemends to the Montreal Protocol (Kopenhagen, 5 November 1992). 9. Memorandum of Understanding (MoU) Secara harafiah dapat diartikan sebagai nota kesepakatan atau memorandum saling pengertian, tetapi secara hukum dapat diartikan sebagai suatu dokumen sah yang menggambarkan suatu persetujuan/perjanjian antara para pihak dan merupakan suatu alternatif yang lebih formal bagi suatu persetujuan/ 27
Pramudianto, Op.Cit, hal.68
46
perjanjian, tetapi lebih sedikit formal dibandingkan suatu kontrak. (29) MoU sebagai salah satu bentuk persetujuan atau perjanjian internasional telah berkembang dan memiliki pengertian yang semakin luas ruang lingkupnya. Sebelumnya, MoU dianggap sebagai soft law, sehingga tidak mengikat secara hukum, namun sejalan dengan perkembangannya, MoU, pada masa sekarang, dapat dianggap setara dengan persetujuan-persetujuan pada umumnya, karena adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diemban oleh para pihak yang menandatanganinya. Beberapa contoh penerapan nomenklatur MoU ini di bidang lingkungan hidup adalah MoU on the Conservation and Management Marine Turtles and Their Habitats of the Indian Ocean and South East Asia (Manila, 23 Juni 2001), MoU on ASEAN Sea Turtles Conservation and Protection (Bangkok, 12 September 1997). 10. Persetujuan (Accord) Merupakan bentuk yang jarang digunakan dalam perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Sebagai contoh adalah Accord of Cooperation for the Protection of the Coasts and Water of the North East Atlantic Against Pollution Due to Hydrocarborns or Other Harmful Subtances yang ditandatangani di kota Lisbon pada tanggal 17 Oktober 1990. Namun hal yang perlu dicatat bahwa nomenklatur Accord ternyata ada juga yang bersifat soft law dan tidak mengikat secara hukum (non legally binding). Contoh kasus ini adalah Copenhagen Accord yang merupakan kesepakatan yang dicapai para pihak dalam COP UNFCCC ke-14 di Kopenhagen, Denmark.28
28
Ibid, hal.69
47
Selain bentuk perjanjian internasional di atas, masih terdapat beberapa bentuk perjanjian internasional lainnya di bidang lingkungan hidup, yaitu Exchanges of Notes (EON), Framework Convention (FC), Joint Protocol (JP), Letter of Intent (LOI), Letter of Understanding (LoU), Memorandum of Agreement (MoA), Modus Vivendi, Agreed Minutes, Summary Records, Interim Convention, Agreement Suplementary, Outline Convention, Mutual Agreement, Statute (MAS), dan Additional Protocol. Sebagian besar dari perjanjian-perjanjian ini pada umumnya merupakan gabungan atau kombinasi dari bentuk-bentuk yang telah ada sebelumnya.
D. Tahapan-tahapan di dalam Pembentukan Perjanjian Internasional Di dalam membuat suatu perjanjian internasional, biasanya diperlukan prosedur-prosedur atau tahapan-tahapan tertentu yang berlaku secara sah dan diakui di dalam hubungan internasional. Secara umum, tahapan-tahapan dalam pembentukan suatu perjanjian internasional diatur di dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Berdasarkan konvensi ini, pembuatan perjanjian internasional, baik yang berbentuk bilateral maupun multilateral, dilakukan melaului tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Perundingan (negotiation) b. Penandatanganan (signature) c. Pengesahan (ratification) Tahapan-tahapan ini dilakukan oleh para pihak secara berurutan, yang dimulai dari tahapan perundingan isi perjanjian oleh negara-negara yang bersangkutan, penandatangan dokumen-dokumen perjanjian, seperti MOU, Agreement, maupun
48
Treaty, yang mengikat para pihak di dalam perjanjian, hingga pada tahapan pengesahan atau ratifikasi perjanjian, yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen. Untuk lebih memahami tahapan-tahapan di atas, secara lebih rinci dijelaskan tahapannya sebagai berikut: a. Perundingan (Negotiation) Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negaranegara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan. b. Penandatanganan (Signature) Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian. c. Pengesahan (Ratification) Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila
49
perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.29
Di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam undang-undang ini dijelaskan juga mengenai tahapan-tahapan yang dilalui di dalam membuat suatu perjanjian internasional. yaitu melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan. 30 Tahapantahapan pembentukan perjanjian internasional ini haruslah dilakukan secara berurutan, sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Untuk lebih jelasnya,
tahapan-tahapan
pembentukan
perjanjian
internasional
di
atas
diterangkan sebagai berikut: 1. Penjajakan Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh para pihak dengan cara melakukan perundingan mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan Merupakan tahap kedua dalam pembentuakan perjanjian internasional. Dalam tahap ini akan dibahas mengenai substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional
29
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT.Alumni, 2003, hal.? 30 Pasal 6 Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
50
3. Perumusan Naskah Merupakan tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional yang bertujuan untuk merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional yang akan ditandatangani para pihak terkait. Dalam tahapan ini, dilakukan perancangan dan penyusunan naskah yang berisi ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam perjanjian internasional. 4. Penerimaan Merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang umumnya dilakukan dengan mencantumkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua atau perwakilan dari delegasi masing-masing negara. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional. 5. Penandatanganan Merupakan tahapan akhir dalam perundingan bilateral. Penandatanganan dilakukan dengan tujuan melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Sedangkan, dalam perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan suatu bentuk pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dalam perjanjian multilateral dapat dilakukan melalui proses pengesahan.
51
Dalam ketentuan Hukum Perjanjian Internasional di Indonesia, proses mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian internasional dilakukan melaui beberapa cara, yaitu penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, dan cara-cara lainnya sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.31 Negara dapat dikatakan terikat pada suatu perjanjian internasional, apabila negara tersebut telah melakukan proses pengesahan terhadap perjanjian internasional yang dibentuk atau disetujuinya, baik dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), maupun penyetujuan (approval). Pengesahan merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional tertentu, yang dapat berbentuk: a) Ratifikasi (ratification) Ratifikasi (ratification) dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan suatu suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian. b) Aksesi (accession) Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. c) Penerimaan (acceptance) dan Penyetujuan (approval) Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.
31
Pasal 3 Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
52
Pembentukan perjanjian internasional di atas, berlaku sebagai acuan atau patokan bagi pembentukan hukum internasional secara global dan yang berlaku di Indonesia (pengaturan hukum nasionalnya). Disamping ketentuan-ketentuan mengenai tahapan pembentukan perjanjian internasional di atas, terdapat juga ketentuan lainnya yang bersifat lebih khusus dalam pengaturan pembentukan perjanjian internasional, yaitu pengaturan pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, yang diatur secara lebih rinci di dalam ketentuan UNEP. Berdasarkan ketentuan UNEP ini, terdapat beberapa tahapan di dalam proses perundingan perjanjian internasional, yaitu tahap pre-negosiasi, negosiasi, adopsi, dan penandatanganan naskah, ratifikasi atau aksesi, dan berlakunya perjanjian internasional. Tahapantahapan perundingan di atas, akan dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut: 1. Sebelum Perundingan dimulai (Pre-negotiation) Dalam tahapan pre-negotiation ini diperlukan beberapa hal yang harus disiapkan, diantaranya adalah: a. Mempersiapkan isu-isu lingkungan hidup yang akan dibahas terutama yang berhubungan dengan kegiatan lintas batas negara. b. Melakukan kegiatan konsultasi formal maupun informal di tingkat nasional, regional, maupun internasional. c. Menunjuk pejabat tertentu atau pengambil keputusan yang sesuai dengan kompetensinya.32 d. Melakukan analisis data-data ilmiah yang menunjang dalam persoalan lingkungan hidup yang akan dibicarakan.
32
Pramudianto, Op.Cit, hal.29
53
e. Manilai keberadaan aturan-aturan hukum baik yang berlaku nasional maupun internasional.
2. Perundingan (Negotiation) Dalam tahapan ini paling tidak ada beberapa hal yang harus dipersiapkan diantaranya: a. Menghadiri pertemuan mengenai pembentukan struktur organisasi untuk negosiasi menjadi anggotanya. b. Struktur-struktur yang dibentuk biasanya adalah International Negotiating Committee
(INC), Preparatory Committee
(PrepCom), sekretariat
negosiasi dan badan-badan pelengkap lainnya yang dibentuk sesuai kebutuhan misalnya berbentuk biro (bureau), seperti atau kelompok kerja (working group), seperti group on the technical and legal expert. c. Mengikuti atau menjadi anggota panitia persiapan (preparatory committee) agar dapat terlibat aktif. d. Mengetahui proses negosiasi baik yang informal maupun yang formal dengan mengetahui berbagai informasi lainnya seperti jadwal pertemuan, topik bahasan, dll. e. Mengetahui posisi yang diinginkan dengan kertas posisi (position paper) atau kertas kerja (working paper) yang jelas dan posisi negara lain, baik yang netral, menentang, maupun yang mendukung. f. Membentuk kerjasama dengan negara lain sesuai keinginan, baik dalam bentuk formal maupun informal.
54
g. Ikut serta dalam berbagai perundingan dan memberikan masukan, baik di tingkat ad hoc meeting maupun permanent meeting.33
3. Adopsi dan penandatanganan (Adoption and signature) Dalam tahapan mengadopsi suatu dokumen maupun menandatangani, maka diperlukan beberapa hal, diantaranya: a. Mengetahui dan memahami isi dari hasil-hasil yang disepakati dalam negosiasi. b. Mempersiapkan hasil dan laporan (report) yang akan disampaikan pada waktu adopsi dan penandatanganan. c. Mengetahui bentuk pertemuan untuk adopsi dan penandatanganan, apakah berbentuk konperensi diplomatik (diplomatic conference) (pejabat yang ditunjuk) atau conference of plenipotentiaries (duta besar) serta kewenangan penandatanganan suatu dokumen internasional. d. Mengetahui aturan prosedural (rule of procedure) dari adopsi dan penandatanganan. e. Mengetahui apakah proses adopsi dan penandatanganan dilakukan beberapa jam setelah proses negosiasi atau ada waktu jeda yang cukup (beberapa hari atau bulan). 34
4. Ratifikasi atau aksesi (Ratification or Accesion) Setelah proses adopsi dan penandatanganan naskah teks dokumen atau perjanjian internasional, maka sesuai dengan ketentuan yang disepakati dalam
33 34
Ibid, hal. 30-31 Ibid, hal 32
55
perjanjian internasional diperlukan proses berikutnya. Untuk itu ada beberapa hal yang harus dipersiapkan: a. Naskah perjanjian internasional tersebut dibawa ke negara masing-masing. b. Kemudian naskah tersebut diarsipkan dan disiapkan untuk proses ratifikasi. c. Melakukan sosialisasi dan desiminasi naskah perjanjian internasional kepada seluruh stakeholders di tingkat daerah maupun nasional. d. Mengadakan persiapan ratifikasi dengan membentuk tim antar instansi dan antar stakeholders. e. Melakukan pertemuan untuk persiapan ratifikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. f. Melakukan pertemuan formal dan informal antara eksekutif dan legislatif. g. Melakukan proses ratifikasi dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. h. Hasil ratifikasi kemudian diundangkan melalui prosedur peraturan perundang-undangan nasional, yang kemudian menjadi bagian dari undang-undang nasional. i. Naskah/Dokumen ratifikasi lalu dilaporkan dan dikirim sesuai prosedur dalam perjanjian internasional itu, untuk disimpan atau didepositkan. 35
5. Berlakunya perjanjian internasional (enter into force) Pada tahapan ini, perjanjian internasional akan berlaku setelah memenuhi persyaratan tertentu yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Halhal yang dperhatikan adalah: 35
Ibid, hal. 33
56
a. Persyaratan berlakunya perjanjian internasional, apakah langsung berlaku atau ada tenggang waktu. b. Perlu mengetahui strategi berlakunya perjanjian internasional, apakah berdasarkan jumlah negara yang meratifikasi atau ada ketentuan lainnya seperti jumlah negara berdasarkan emisi atau berdasarkan kuota tertentu atau ada hal-hal teknis lainnya. c. Berlakunya perjanjian internasional akan mempengaruhi persiapan berikutnya seperti hal-hal yang harus dilaksanakan, pertemuan-pertemuan para pihak, dll. d. Berlakunya
perjanjian
internasional
berarti
harus
mempersiapkan
keterlibatan-keterlibatan untuk mengimplementasikan di tingkat nasional.36
36
Ibid, hal. 34