KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI TINDAKAN BAGI PENGGUNA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA Hatarto Pakpahan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Jl. Terusan Raya Dieng 62-64 Malang Email:
[email protected]
Abstract Drug abusers to yourself (addicts) basically get bail rehabilitation but the criminal provisions of Article 127 of Law Repulik Indonesian law number 35 of 2009 on Narcotics with the threat of imprisonment . In the practice of law enforcement when someone is abusing narcotics for yourself also applied criminal Article 111 and Article 112 or Article 114 because even meet the elements of: have, save,master, and or buy. This paper aims to find , test and analyze whether the sanctions measures can be used as an alternative form of sanctions, and the sanctions that can be used as an alternative sanction in the reformulation of narcotic crime in the future . This paper is made based on the results of research using the normative with Statute Approach, Case Approach , Conceptual Approach and Comparative Approach . The results showed that the drug abusers themselves should only be penalized in the form of medical rehabilitation measures and social rehabilitation for drug abusers are victims as well as sick people who should get treatment so it can recover . Although his actions comply with Article 111 and Article 112 or Article 114 even if the mens rea is to be used for the actors themselves to be in rehab. Key words: abusers, victims, narcotics, rehabilitation
Abstrak Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri (pecandu)pada dasarnya mendapatkan jaminan rehabilitasi akan tetapi dalam ketentuan pidana pasal 127 undang undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman pidana penjara. Dalam praktek ketika seseorang yang menyalahgunakan narkotika bagi diri sendiri juga diterapkan pidana pasal 111 dan atau pasal 112 bahkan pasal 114 karena juga memenuhi unsur “memiliki”, “menyimpan”, “menguasai” dan atau “membeli”.Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui, menguji dan menganalisis apakah sanksi tindakan dapat dijadikan sebagai alternatif sanksi serta bentuk sanksi tindakan yang dapat dijadikan sebagai sanksi alternatif dalam reformulasi tindak pidana narkotika dimasa mendatang. Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil penelitian normatif yang menggunakan pendekatan Statute Approach, case Approach, Conceptual approach dan komparatif Approach.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyalah guna narkotika bagi diri harusnya hanya dikenakan sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial karena penyalah guna narkotika adalah korban sekaligus sebagai orang sakit yang harus mendapatkan pengobatan sehingga dapat pulih kembali. Sekalipun perbuatannya memenuhi pasal 111 dan atau pasal 112 maupun pasal 114 jika sikap bathin (mens rea) pelaku adalah untuk digunakan bagi diri sendiri harus di rehabilitasi. Kata kunci: penyalah guna, korban, narkotika, rehabilitasi
225
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
226
Latar Belakang
Penyalahgunaan Narkotika dewasa ini
Saat ini ada tiga jenis keadaan darurat
semakin hari semakin meningkat pula. Dapat
(bentuk penjajahan) yang dihadapi Indonesia
kita amati dari pemberitaan-pemberitaan
yang
dan
bahkan
baik di media cetak maupun elektronik yang
dan
generasi
hampir setiap hari memberitakan tentang
bangsa ini, yaitu penyalahgunaan narkotika,
penangkapan para pelaku penyalahgunaan
pornografi
senang
narkotika oleh aparat negara baik melalui
mengimport segala sesuatu dari luar negeri.
Badan Narkotika Nasional (BNN) maupun
Tiga keadaan ini merupakan suatu fenomena
pihak Polisi Republik Indonsesia (POLRI).
yang saat ini sudah kita anggap lazim akan
Meluasnya penyalagunan sekaligus korban
tetapi dampaknya untuk generasi maupun
tindak pidana narkotika ini telah merambah
masa depan bangsa indonesia sangat besar
kesemua lapisan masyarakat tanpa terkecuali
karena terutama pemuda sebagai generasi
mulai dari anak-anak, remaja, pemuda, orang
bangsa yang kerapkali sebagai korban yang
tua, baik yang berpendidikan maupun orang
terlena menikmatinya sehingga lalai dalam
yang tidak berpendidikan serta dari berbagai
melaksanakan
jenis profesi.
sangat
mengancam
berbahaya masa
dan
depan juga
tugas
tindakan
dan
kewajibannya
sebagai pemuda dan generasi penerus bangsa.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
Satu dari tiga keadaan tersebut yang sekaligus
2009 tentang Narkotika juga telah disebutkan
termasuk dalam kategori tindak pidana adalah penyalahgunaan narkotika. Kejahatan narkotika merupakan jenis kejahatan yang cukup serius yang mengancam masa depan generasi bangsa, untuk itu perlu mendapatkan penangan yang tepat dan serius pula. Melihat pada ketentuan umum Undangundang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa Narkotika adalah zat atauobat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baiksintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran,
hilangnya
rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU. No. 35 Tahun 2009.
tentang beberapa istilah yang memiliki esensi yang sama dengan pengguna Narkotika itu sendiri, antara lain Pecandu Narkotika, Penyalah Guna, Korban penyalahgunaan, Mantan Pecandu Narkotika dan Pasien. Berpijak dari berbagai istilh yang beragam terkait dengan Penyalah Guna narkotika tersebut sehingga menimbulkan dampak dan implikasi yang berbeda sehingga ada ketidak konsistenan dalam hal memperlakukan orang yang menggunakan narkotika sebagai korban penyalah guna narkotika bagi diri sendiri. Pada prinsipnya penyalahguna narkotika mendapatkan jaminan rehabilitasi medis dan juga rehabilitasi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 butir (d), dan juga Pasal 54 yang menyebutkan bahwa “Pecandu Narkotika
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
227
dankorban penyalahgunaanNarkotika wajib
UU Narkotika dengan delik pidana lain yang
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
terdapat dalam UU Narkotika, dimana pengguna
sosial”. Namun dalam ketentuan pidana juga
narkotika yang mendapatkan narkotika secara
telah diatur sanksi pidana bagi orang yang
melawan hukum pastilah memenuhi unsur
menggunakan narkotika sebagaimana diatur
“menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”,
dalam Pasal 127.
dan atau “membeli”narkotika dimana hal
Namun karena Sistem Peradilan Pidana
tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana
Indonesia menganut asas legalitas maka
tersendiri dalam UU Narkotika. D a l a m
dalam praktek pada umumnya, semua kasus
prakteknya aparat penegak hukum
narkotika termasuk Pemakai narkotika untuk
j u g a m e n g a i t k a n (termasuk / include /
diri sendiri yang bukan pengedar biasanya
juncto) antara delik pidana pengguna narkotika
juga selalu diproses secara hukum sesuai
dengan delik pidana penguasaan, pemilikan,
dengan norma hukum sebagaimana yang
penyimpanan
ditetapkan dalam UU Narkotika yaitu dengan
secara tanpa hak dan melawan hukum dimana
ancaman sanksi pidana penjara. Sehingga
ancaman pidananya menjadi jauh lebih tinggi
Penyalah Guna narkotika bagi diri sendiri
serta menggunakan sanksi minimum khusus yaitu
yang bukan pengedar dimana awalnya sebagai
minimal 4 tahun penjara dan denda paling sedikit
korban yang mestinya direhabilitasi menjadi
Rp 800.000.000,- (delapan ratus ribu rupiah).
atau
pembelian
narkotika
harus menjalani pidana penjara sebagaimana
Banyaknya jumlah kasus penyalahgunaan
diatur dalam Pasal 127. Bukan hanya
narkotika khusunya penyalah guna narkotika
sebatas itu saja Pengguna narkotika yang
bagi diri sendiri serta kebijakan kriminal
bukan Pengedar ketika dihadapkan didepan
(Criminal Policy) yang menyikapi hal tersebut
persidangan akan didakwa dengan pasal
secara represif sebagaimana diatur dalam
lain yang saling tumpang tindih. Logikanya
Pasal 127 juntoPasal 111 dan atau Pasal 112
pengguna yang mendapatkan narkotika
atau bahkan Pasal 114 UU No. 35 tahun 2009
secara melawan hukum, maka sudah barang
yang lebih mengedepankan keadilan retributif
tentu terdapat juga sekaligus beberapa perbuatan
tentu hal ini akan membawa konsekwensi
yang dilakukan pengguna tersebutsebagaimana
logis bagi jumlah penghuni di Lembaga
yang dirumuskan dalam Pasal 111 dan atau
Pemasyarakatan disamping bagi pengguna
Pasal 112 atau bahkan Pasal 114 yang memiliki
yang bukan pengedar yang menjadi double
unsur membeli, menguasai, menyimpan, atau
victimization.
memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri.
Banyaknya Nara Pidana (NAPI) narkotika
Undang-undang tentang Narkotika sendiri
yang di hukum berdasarkan hukum positif
tidak memberikan pembedaan / garis yang
yang berlaku di indonesia menyebabkan
jelas antara delik pidana dalam Pasal 127
jumlah NAPI dalam Lembaga Pemasyarakatan
228
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
(LAPAS) menjadi mendominasi disamping
Disisi
lain
dengan
dikumpulkannya
belum memadainya LAPAS khusus narkotika,
Pengguna, Pengedar, Bandar, Pengimport dan
menyebabkan lapas yang ada di Indonesia
juga para pelaku kwalifikasi tindak pidana
penuh atau kelebihan kapasitas (over load). Hal
narkotika yang lain di dalam satu LAPAS
ini juga senada dengan apa yang disampaikan
maka yang terjadi adalah Pasar Narkotika
oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nova
dalam LAPAS. Keadaan ini dapat kita lihat
Riyanti Yusuf menyebutkan bahwa 70 %
dengan seringnya terdapat narkoba di dalam
penghuni LAPAS saat ini dihuni oleh mereka
LAPAS dan bahkan ada juga narapidana
yang tersangkut kasus narkotika.1 Dari 32
yang mengendalikan peredaran narkotika
Kanwil LAPAS di Indonesia 23 lapas telah
dari dalam LAPAS itu sendiri, sehingga
kelebihan kapasitas dan yang tidak melebihi
dalam praktek dilapangan LAPAS merupakan
kapasitas hanyalah berjumlah 9 (sembilan)
tempat transaksi narkotika yang paling aman.
yaitu: Yogyakarta, Jawa Tengah, Maluku,
Misalkan hal ini dapat kita lihat seperti
Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi
yang
Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara.2 kabar
diberitakan
dalam
berbagai
surat
yang mengungkap bahwa ternyata
Tingkat hunian yang melebihi kapasitas
berdasarkan razia lapas yang dilakukan
serta lemahnya pengawasan terhadap NAPI
oleh pihak Kepolisian dan BNN di Jawa
narkotika menyebabkan banyak permasalahan.
Timur ternyata ditemukan berbagai macam
Hal ini terlihat dari seringnya terjadi pertikaian
jenis narkoba yang dikonsumsi dan bahkan
baik antara NAPI maupun antara NAPI dengan
diedarkan oleh para NAPI itu sendiri seperti
petugas penjaga LAPAS itu sendiri. Dampak
Lapas narkoba Madiun, Rutan Mandaeng
dari hal itu bisa kita lihat dimana para NAPI
Sidoarjo, Lapas Lowokwaru Malang, Lapas
yang banyak melarikan diri, merusak fasilitas
Delta Sidoarjo, Lapas Narkoba Pamekasan,
LAPAS dan bahkan membakar LAPAS
dan juga lapas pasuruan.4 Belum lagi ketika
seperti yang terjadi pada hari Kamis, 11 Juli
hal ini diperparah dengan keterlibatan petugas
2013, dimana LAPAS Tanjung Gusta Kelas
LAPAS dengan narapidana dan mendapatkan
1 A, Sumatera Utara Medan terbakar yang
keuntungan dari transaksi narkoba menambah
mengakibatkan sekitar 300 (tiga ratus) orang
beban dalam pemberantasan narkoba di
NAPI berhasil meloloskan diri.3
Indonesia
1 Suara Pembaruan, Penghuni Lapas Kasus Narkotika, http://www.suarapembaruan.com/home/70-penghunilapas-kasus-narkotika/44305, diakses 14 Desember 2014 pukul 13.10 WIB. 2 Lilik Mulyadi, Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba, Op.cit., Bab II. 3 Kompasiana, Di Balik Pembakaran Lapas Tanjung Gusta, http://blog.kompasiana.com/2013/07/21/dibalik-pembakaran-lapas-tanjung–gusta-575224.html, diakses 14 Desember 2014 pukul 14.10 WIB. 4 Harian Pagi SURYA, 18 Desember 2013, Spirit Baru Jawa Timur, hlm. 1.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
Berdasarkan
uraian
diatas,
229
terdapat
akan tetapi dalam Pasal 127 diancam pidana
permasalahan hukum. Pertama, mengenai
penjara sekaligus perbuatan tersebut juga
Sanksi tindakan sebagai sanksi alternatif
memenuhi kwalifikasi perbuatan sebagaimana
dalam tindak pidana narkotika. Kedua, bentuk
yang diatur dalam Pasal 111 dan atau Pasal
sanksi tindakan yang dapat dijadikan sebagai
112 atau bahkan Pasal 114 UU No 35 Tahun
sanksi alternatif dalam reformulasi tindak
2009.
pidana narkotika. Dengan demikian rumusan
Metode
pendekatan
yang
digunakan
masalah pada tulisan ini yaitu:
yaitu
1. Apakah sanksi tindakan dapat dijadikan
(statute approach);Pendekatan Kasus (case
sebagai alternatif sanksi dalam tindak
approach);Pendekatan Konsep (conceptual
pidana narkotika di Indonesia?
approach); dan Pendekatan Perbandingan
2. Bagaimanakah bentuk sanksi tindakan
Pendekatan
(comparative
Perundang-undangan
approach).6
Adapun
teori
yang dapat dijadikan sebagai sanksi
hukum yang digunakan dalam membahas
alternatif
rumusan masalah pertama adalah Teori
dalam
reformulasi
tindak
pidana narkotika dimasa mendatang?
Pertanggungjawaban Pidana,
teori Tujuan
Tujuan dari tulisan ini ialah untuk menguji
Pemidanaan dan teori Viktimologi serta untuk
dan menganalisis apakah sanksi tindakan
membahas rumusan masalah yang kedua
dapat dijadikan sebagai alternatif sanksi dalam
adalah Teori kebijakan Hukum Pidana, Teori
tindak pidana narkotika di Indonesia serta
Keadilan Restoratif dan juga Teori Tujuan
untuk memahami dan menjelaskan tentang
Pemidanaan.
bentuk sanksi tindakan yang dapat dijadikan
Analisis dalam penelitian ini menggunakan
sebagai sanksi alternatif dalam reformulasi
deskripsi analisis dimana bahan hukum yang
tindak pidana narkotika dimasa mendatang.
telah diperoleh terlebih dahulu direduksi
Tulisan ini merupakan jenis penelitian
untuk memilah kesahihannya sebagai bahan
hukum normatif yang dapat diartikan sebagai
hukum serta kesesuaiannya dengan bahan
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
penulisan jurnal ini.
kebenaran hukum
berdasarkan
dari
sisi
logika
keilmuan
normatifnya.5 Adapun
Pembahasan
norma yang diteliti ialah pertentangan norma
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
sekaligus kekaburan norma dalam Pasal 4
2009 tentang Narkotika adapun kwalifikasi
dan Pasal 54 UU NO 35 Tahun 2009 tentang
perbuatan melawan hukum yang dikategorikan
Narkotika yang intinya menjamin rehabilitasi
sebagai tindak pidana narkotika terdiri dari
bagi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri
lima kategori, yaitu:
5 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2012, hlm. 57. 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 93.
230
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
1. Kategori Pertama;
Salah satu permasalahan akibat banyaknya
Semua perbuatan - perbuatan yang berupa
istilah terhadap pengguna narkotika adalah
memiliki, menyimpan, menguasai atau
keracuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf
menyediakan narkotika dan prekursor
d UU Narkotika yang menyatakan tujuan
narkotika.
undang-undang Narkotika adalah “Menjamin
2. Kategori Kedua;
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
Semua perbuatan - perbuatan berupa
sosial bagi penyalahguna dan pecandu
memproduksi, mengimpor, mengekspor
narkotika”, akan tetapi dalam Pasal 54 UU
atau
Narkotika menyebutkan “Pecandu Narkotika
menyalurkan
narkotika
dan
prekursor narkotika.
dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib
3. Kategori Ketiga;
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
Semua perbuatan - perbuatan berupa
sosial” sehingga hak penyalah guna untuk
menawarkan
menjual,
mendapat rehabilitasi sebagaimana diatur
membeli, menerima, menjadi perantara
dalam Pasal 54 menjadi tidak diakui dengan
dalam
atau
adanya ancaman sanksi pidana bagi pengguna
menyerahkan narkotika dan presekutor
narkotika sebagaimana yang diatur dalam
narkotika.
Pasal 127.
jual
untuk beli,
dijual,
menukar
4. Kategori Keempat;
Penyalahguna narkotika bagi diri sendiri
Semua perbuatan - perbuatan berupa
merupakan jenis kejahatan tanpa korban
membawa, mengirim, mengangkut atau
“crime without victim”dimana penyalaguna
mentransit narkotika dan presekutor
narkotika bagi diri sendiri yang tanpa disertai
narkotika.
dengan perbuatan kwalifikasi tidak pidana lain
5. Kategori Kelima; Semua
perbuatan
seperti pengedar, memproduksi, Mengimpor, penyalahgunaan
Mengekspor dan berbagai kwalifikasi lain
Narkotika Golongan I, II dan III bagi diri
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
sendiri.
2009, selain sebagai pelaku kejahatan namun
Terminologi Penyalahgunaan Narkotika bagi diri sendiri secara normatif memang tidak disebutkan secara tegas dalam UU No.35 Tahun 2009, namun hanya menjelaskan beberapa istilah yang memiliki esensi yang hampir sama dengan penyalahguna untuk diri sendiri, antara lain:Pecandu Narkotika, Penyalah Guna, Korban penyalahguna, Mantan Pecandu Narkotika, Pasien.
juga sekaligus sebagai korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri. Ditinjau
dari
segi
victimologymaka
penyalah guna narkotika bagi diri sendiri adalah termasuk dalam tipologi korban “self victimizing victims” yakni korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri. Oleh sebab itu maka, yang paling tepat dilakukan kepadanya adalah suatu sanksi tindakan dan
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
231
bukan pidana penjara karena penyalah guna
ketergantungan telah diteliti ahli kesehatan
narkotika bagi diri sendiri pada hakikatnya
dan dikategorikan sebagai brain diseases
merupakan korban dari suatu kejahatan yang
atau kerusakan terhadap sel-sel otak yang
perlu mendapatkan pengobatan dan/atau
bekerja di dalam tubuh manusia, dimana
perawatan, dan oleh karena ia merupakan
tubuh yang dikontrol oleh otak yang telah
pihak yang juga mengalami kerugian dari suatu
terganggu
kejahatan yakni kejahatan penyalahgunaan
dalam
narkotika.
menginginkan zat tersebut untuk dikonsumsi
Kerugian
yang
dialami
karena
narkotika
penggunaan
zat-zat
mengakibatkan
tubuh
pengguna
secara terus-menerus. Akibatnya, pemidanaan
narkotika tidak saja merasakan kerugian
tidak akan sertamerta membuat orang yang
materi, namun juga kerugian sosial, psikis,
ketergantungan akan zat-zat tersebut sembuh
fisik, dan kesehatan. Kerugian sosial yang
dan tidak akan menggunakan zat tersebut
dialami seorang pengguna narkotika berupa
lagi, namun ketergantungan ini hanya dapat
stigma atau cap buruk yang ditimpakan
ditanggulangi dengan proses medis dan
oleh masyarakat, seperti sebutan pengguna
sosial.8
narkotika adalah sampah masyarakat dan
Ketika
narkotika
masuk
ke
dalam
sebutan buruk lainnya. Kerugian psikis
tubuh semua akan bekerja di otak, sehingga
yang dialami pengguna narkotika jelas
akan mempengaruhi perilaku maupun pola
kondisi kejiwaan yang tidak stabil akibat
pikir orang tersebut. Perubahan tersebut
ketergantungan pada zat narkotika, apalagi
melalui
jika pengguna narkotika khususnya pengguna
“Neuroadaptasi”. Makin lama seseorang
narkotika suntik tertular virus HIV yang
menggunakan
menyebabkan pengguna tersebut akhirnya
perubahan pada ujung-ujung saraf dalam
menderita AIDS. Inilah kerugian fisik dan
fungsinya menerima dan memberikan efek
kesehatan
dampak
narkotika ke tubuh seseorang, sehingga
penggunaan narkotika suntik yang berlipat
pengguna tersebut harus meningkatkan dosis
ganda, bukan saja mendapat cap buruk akibat
untuk mendapatkan efek yang sama seperti
ketergantungan narkotika tetapi juga stigma
sebelumnya.
sebagai
akibat
dari
ditinjau
dari
proses narkotika
yang
dinamakan
akan
terjadi
Adanya neuroadaptasi tersebut maka
karena terinfeksi HIV.7 Jika
suatu
segi
kesehatan
jumlah
zat
narkotika
yang
digunakan
penyalahguna narkotika bagi diri sendiri
makin lama semakin tinggi dan apabila
terutama mereka yang sudah mengalami
diturunkan atau dihentikan sama sekali akan
7 Keterangan Ahli Inang Winarso dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 48/PUUIX/2011, hlm. 67. 8 Keterangan Ahli Asmin Fransiska dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 48/PUUIX/2011, hlm. 65.
232
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
menimbulkan gejala putus zat, yang membuat
narkotika harusnya memang mendapatkan
seseorang pengguna narkotika merasa tidak
sanksi pidana yang tegas dan seberat beratnya
nyaman baik secara fisik maupun psikologis;
dalam rangka menyelamatkan masa depan
Narkotika bekerja di otak pada suatu area yang
dan generasi bangsa indonesia.
namaya “pusat kesenangan”, karena adanya
Fenomena ini memang tidak dapat
efek yang menyenangkan akibat efek positif
dipungkiri apalagi ketika pelaku tindak pidana
narkotikamenyebabkan otak sulit menghapus
narkotika tersebut merupakan jaringan dari
memori yang telah terekam. Apabila seseorang
kejahatan internasional yang tidak menutup
pengguna melihat atau merasakan sesuatu
kemungkinan memiliki suatu kepentingan
yang tidak nyaman maka hal yang akan diingat
politik yaitu dengan memakai narkotika
adalah menggunakan narkotika kembali untuk
sebagai alat subversi (mengahancurkan lawan
mendapatkan rasa senang tersebut. Kondisi
secara diam-diam melalui usaha-usaha agar
ini akan menyebabkan seseorang yang sudah
lawan mengalami kehancuran dari dalam) dari
ketergantungan
suatu
pihak maupun negara tertentu yaitu dengan
penyakit yang kronis dan kambuhan karena
mengedarkan narkortika di indonesia dan
sulitnya melepaskan sel reseptor yang telah
merusak masa depan generasi muda bangsa
mengikat
tersebut.9
indonesia maka suatu saat bisa menguasai dan
Kwalifikasi Penyalahguna narkotika bagi
menjajah negara kesatuan Republik Indonesia.
diri sendiri berbeda dengan jenis kwalifikasi
Sehingga sangat beralasan jika pelaku
lain yang dikategorikan sebagai tindak pidana
tindak pidana narkotika selain penyalahguna
narkotika
bagi diri sendiri memang harus di tindak
zat
Pengekspor,
narkotika
menjadi
adiktif/narkotika
seperti
Pengedar,
Pembawa,
Pengimpor,
Penjual,
yang
tegas karena perbuatan mereka yang sangat
Pemproduksi dan jenis perbuatan lain, dimana
merugikan masyarakat dan juga negara. Hal
kwalifikasi perbuatan tersebut merupakan
ini terlihat dari sasaran korban mereka yang
suatu kejahatan yang sangat berbahaya dan
pada umumnya adalah para pemuda yang
memberikan dampak kerugian yang besar baik
harusnya penerus dan generasi bangsa. Akan
pada korbannya maupun pada kepentingan
tetapi jika pelaku adalah pengguna narkotika
bangsa dan negara dimasa dan generasi
bagi diri sendiri haruslah diselamatkan
mendatang. Adapun yang menjadi korban
karena dengan menyelamatkan korban yaitu
penyalahguna narkotika bagi diri sendiri adalah
penyalaguna narkotika bagi diri sendiri sama
pada umumnya para pemuda yang harusnya
halnya menyelamatkan generasi dan masa
menjadi generasi bangsa. Sehingga selain
depan negara ini.
kwalifikasi pengguna narkotika untuk diri
Pada prinsipnya penyalahguna narkotika
sendiri maka setiap kwalifikasi tindak pidana
bagi diri sendiri adalah mendapatkan jaminan
9 Keterangan Ahli dr. Diah Setia Utami Sp.KJ, MARS, Ibid., hlm. 70.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
233
rehabilitasi, akan tetapi pada Pasal 127
menyediakan Narkotika Golongan I
Undang undang No 35 Tahun 2009 tentang
dalam bentuk tanaman, dipidana dengan
Narkotika penyalah guna narkotika kemudiaan
pidana penjara palingsingkat 4 (empat)
juga menjadi subyek yang dapat dipidana
tahun dan paling lama12 (dua belas)
dan dapat kehilangan hak rehabilitasinya,
tahun dan pidana dendapaling sedikit Rp.
kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai
800.000.000,00 (delapanratus juta rupiah)
korban narkotika. Dalam praktek penerapan
dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00
hukum dilapangan aplikasi dari norma pasal
(delapanmiliar rupiah).
tersebut menjadi semakain rancu dimana
Pasal 112
sekalipun pengguna narkotika untuk diri
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau
sendiri sekaligus korban dari perbuatannya
melawan hukum memiliki,menyimpan,
namun dia tetap dikenakan sanksi pidana
menguasai,ataumenyediakan Narkotika
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal
Golongan I bukan tanaman, dipidana
127
dakwaannya
dengan pidana penjara paling singkat
juga m e n g a i t k a n (termasuk / include /
4(empat) tahun dan paling lama12
juncto) Pasal 111 atau Pasal 112 karena juga
(duabelas) tahun dan pidana denda paling
memenuhi unsur dalam norma pasal tersebut.
sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan
Adapun bunyi pasal pidana yang mengatur
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
yang
biasanyadalam
terkait dengan pengguna narkotika untuk diri sendiri adalah sebagai berikut:
Jika melihat ketentuan norma tersebut
Pasal 127
maka kita dapat mengetahui bahwa pada
(1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. orangyang
tanpa
prinsipnya penyalahguna narkotika bagi diri sendiri dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 dan dalam ketentuan norma Pasal 103 mengatur bahwa seorang hakim “dapat” memutuskan untuk menempatkan
pengguna
tersebut
untuk
mejalani rehabilitasi dimana masa rehabilitasi tersebut juga dihitung sebagai masa hukuman dimana sistem yang demikian dalam ilmu hukum pidana dikenal sebagai Double Track
Pasal 111 (1) Setiap
8.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
hak
atau
melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
System. Selain dengan ancaman sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 tersebut, seorang penyalahguna narkotika
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
234
bagi diri sendiri juga dituntut dengan rumusan
dimana ancaman pidananya jauh lebih berat
Pasal 111 dan atau Pasal 112 karena ketika
yaitu pidana penjara dan denda dengan
seseorang memenuhi unsur Pasal 127 sudah
kumulasi “minimum khusus” sehingga tidak
barang tentu sekaligus memenuhi unsur dalam
ada pilihan lain bagi hakim untuk memutus
Pasal 111 dan atau Pasal 112 yaitu unsur yang
rehabilitasi tanpa pidana penjara dan denda
bersifat alternatif yaitu “memiliki, menyimpan,
yang tinggi karena adanya batas pemidanaan
menguasai” dimana unsur ini tidak harus
yang tinggi pula dalam pasal tersebut. Hal
terpenuhi keseluruhan namun salah satupun
ini sesuai dengan teori Pertanggungjawaban
dari unsur tersebut terpenuhi sudah termasuk
pidana khususnya aliran dualistis10 yang pada
dalam kategori norma tersebut karena unsur
intinya menyatakan bahwa semua perbuatan
dalam pasal ini adalah bersifat alternatif.
pidana harus pidana sepanjang memenuhi
Jika
ditelusuri
lebih
jauh
sebelum
unsur-unsur dari norma pasal pidana tersebut. Logikanya,
seseorang menyalahgunakan narkotika bagi “memiliki, menyimpan, menguasai” juga ada
menyalahgunakan narkotika bagi diri sendiri
suatu perbuatan asal yang dilakukannya untuk
sudah barang tentu sebelumnya telah terjadi
dapat menyalahgunakan narkotika tersebut
suatu perbuatan yang terkait dengan sumber
yaitu berupa tindakan “membeli” yang
barang yang diperolehnya tersebut. Secara
memenuhi kwalifikasi tindak pidana narkotika
umum hal ini biasanya terjadi diawali ketika
misalnya Pasal 114 (1) dengan ancaman pidana
adanya pengaruh konflik internal maupun
seumur hidup atau pidana penjara paling
keadaan eksternal pelaku sehingga dia
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
menerima tawaran barang haram tersebut
puluh) tahun dan juga disertai dengan pidana
dalam rangka penenangan diri untuk sesaat
denda
atau bahkan hanya untuk coba-coba, sehingga
(satu miliar rupiah)dan paling
banyak
Rp10.000.000.000,00(sepuluhmiliarrupiah).
ketika
dapat
kita
Rp1.000.000.000,00
bahwa
sederhana
diri sendiri dan juga yang memenuhi unsur
palingsedikit
ketahui
secara
seseorang
pada suatu waktu tertentu ketika pengguna sudah berada pada posisi yang kecanduan
Jadi ketika seseorang menyalah gunakan
akibat dari zat tersebut maka sipengguna
narkotika bagi sendiri serta tidak diberikan
biasanya juga akan mencari sendiri atau
batasan yang jelas dengan pasal lain maka
membeli zat nakotika tersebut untuk dapat
perbuatan tersebut juga bisa memenuhi pasal
dikonsumsi.
tindak pidana narkotika yang lain sepanjang
Berdasarkan pada uraian peristiwa pada
memenuhi unsur “memiliki”, “menyimpan”,
umumnya, biasanya sebelum adanya perbuatan
“menguasai” dan atau “membeli” narkotika
penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri
dengan cara tanpa hak atau melawan hukum
sesungguhnya sudah terjadi suatu perbuatan
10 Sudarto, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum UNDIP, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm. 41.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
yang mengawalinya yaitu yang memenuhi
235
Bagi Penyalahguna narkotika tersebut
unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, dan
sesungguhnya
atau membeli” sebagaimana yang dimaksud
tubuh/kesehatan sendiriatas perbuatan yang
dalam Pasal 111 dan atau Pasal 112 maupun
dilakukannya
Pasal 114 UU NO. 35 tahun 2009.
berupa perampasan hak dalam hal menjalani
adalah dan
korban
sekaligus
terhadap penderitaan
Keadaan yang demikian dapat kita jumpai
pidana penjara. Hal ini juga semakin
pada kasus penyalagunaan narkotika bagi
diperparah dengan kondisi LAPAS saat
diri sendiri pada umumnya. Dimana secara
ini yang belum menjalankan fungsinya
umum yang awalnya seseorang melakukan
dengan maksimal seperti masih adanya
penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri
penggabungan pengguna narkotika dengan
karena norma pasal yang saling menganulir/ bertentangan (conflik of norm) dan bahkan adanya norma pasal tertentu yang kabur (obscur) sehingga penyalahguna narkotika bagi diri sendiri tersebut selalu berakhir dengan pidana penjara dan juga disertai degan kwalifikasi tindak pidana yang lain. Hal ini misalanya dapat kita lihat pada Putusan
Nomor:
130/Pid.Sus/2011/PN.
Malang yang menjatuhkan sanksi pidana bagi seorang mahasiswa yang berinisial SRR yang menyalagunakan narkotika bagi diri sendiri karena terpengaruh oleh temannya tanpa disertai dengan kwalifikasi lain seperti mengedarkan / menjual dst, namun dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga mendakwa dengan pasal tindak pidana narkotika kwalifikasi lain yang menurut penilaian hakim dianggap juga memenuhi unsur Pasal 111 UU No. 35 tahun 2009 sehingga dihukum dengan pidana penjara 4 (empat) tahun serta denda Rp. 800.000.000,(delapanratus juta rupiah) serta menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan hukum penjara selama 3 (tiga) bulan.
pelaku tindak pidana lain, terdapatnya orang yang menggunakan narkotika bahkan sebagai pengendali pengedaran narkotika di dalam LAPAS sehingga sangat dimungkinkan ketika seorang narapidana pengguna narkotika yang sudah selesai menjalani masa tahanannya juga melakukan perbuatan yang sama (residivis) dan bahkan dengan cara yang jauh lebih lihai sebagai akibat dari penggabungan semua pelaku kejahatan dalam LAPAS. Penyalahguna narkotika bagi diri-sendiri semestinya
harus
di
posisikan
sebagai
orang yang sakit yang butuh pengobatan dan pemulihan akibat dari dampak negatif dari penyalahgunaan zat narkotika yang digunakannya (korban yang harusnya hak haknya dilindungi sebagai korban).11 Sehingga sanksi yang harusnya harus diterapkan khusus kepada penyalahguna narkotika bagi diri sendiri yang tanpa disertai dengan kwalifikasi tindak pidana utama yang lain adalah suatu jenis sanksi yang dapat memulihkan keadaanya terhadap keadaaan semula yaitu berupa suatu sanksi tindakan.
11 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 1989, hlm. 52.
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
236
Berdasarkan
tujuan
pemidanaan
perbuatan yang dilakukannya. Kwalifikasi
khususnya yang bersifat relatif (deterrence)
perbuatan penyalahguna narkotika bagi diri
memandang bahwa pidana tersebut ditujukan
sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 127
kepada hari hari yang akan datang, yaitu
pada prinsipnya menganut sistem pemidanaan
dengan maksud mendidik orang yang telah
ganda (double track system), dimana hakim
berbuat jahat menjadi baik kembali12 serta
yang memeriksa perkara penyalaggunaan
orang yang sakit dalam hal ini orang yang
narkotika tersebut diberi kebebasan untuk
memiliki ketergantungan dengan narkotika
memutus untuk menempatkan penyalahguna
jadi sembuh atau bebas dari ketergantungan
narkotika bagi diri sendiri dipenjara atau
(kecanduan). Di sisi lain jika penyalahguna
memerintahkan untuk direhabilitasi.
narkotika bagi diri sendiri menggunakan zat
Disamping itu berdasarkan pada Pasal
narkotika tersebut, dimana dia adalah orang
103 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika
yang sakit (ketergantungan pada obat) maka
Mahkamah Agung RI telah membuat suatu
tidak
terobosan
tepat
mempertanggungjawabkannya
dengan
mengeluarkan
Surat
dengan pidana penjara melainkan harus berupa
Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun 2010
suatu tindakan yang dapat menyembuhkannya
tentang penetapan penyalahgunaan, korban
sehingga bebas dari ketergantungan pada zat
penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika
tersebut dan dapat pulih kedalam keadaan
ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
semula.
Rehabilitasi Sosial sebagai pengganti dari
Berdasarkan uraian dan berbagai argumen
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07
yang dikemukan diatas maka sanksi tindakan
Tahun 2009. Akan tetapi dalam Penerapannya
merupakan suatu sanksi yang hendaknya di
SEMA tersebut terkendala karena untuk
pertimbangkan juga harus memberikan suatu
memutuskan perkara pengguna narkotika
kemanfaatan terhadap pengguna narkotika
hakim tidak dapat mengintervensi aparat
bagi diri sendiri yang tanpa disertai kwalifikasi
penegak hukum lainya (penyidik dan penuntut
tindak pidana narkotika yang lain.
umum).
Bentuk Sanksi Tindakan sebagai Sanksi
Selain SEMA No 04 Tahun 2010
Alternatif dalam Reformulasi Tindak Pidana
belakangan ini juga ada beberapa ketentuan
Narkotika di Masa Mendatang
lain
seperti
Peraturan
Bersama
ketua
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak
tentang Narkotika sudah mengklasifikasikan
Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri
suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai
Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian
tindak pidana narkotika beserta dengan
Negara Republik Indonesia, Kepala Badan
sanksi pidana sesuai dengan jenis kwalifikasi
Narkotika Nasional Republik Indonesia,
12 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, 1985, hlm. 153.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
237
tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan
sendiri dimana tiap definisi tersebut memiliki
Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam
makna dan konsekwensi yang berbeda beda
Lembaga Rehabilitasi yang ditetapkan di
juga. Disisi lain Pasal 111 dan atau Pasal 112,
Jakarta pada tanggal 11 maret 2014. Selain
Pasal 114 dan juga pasal kwalifikasi tindak
itu Badan Narkotika Nasional Republik
pidana narkotika yang lain sepanjang kata
Indonesia telah mengeluarkan MAKLUMAT
“memiliki”, “menyimpan”, “menguasai” dan
Nomor:
Tentang
atau “membeli” tidak menyebutkan secara
Penyelamatan Pengguna Narkoba yang dibuat
jelas dan tegas tentang sasaran pasal tersebut
di Jakarta pada tanggal: 27 Maret 2014 yang
sehingga norma pasal tersebut dapat dimaknai
itinya menyatakan bahwa pemulihan berupa
dan ditujukan pada penyalahguna narkotika
Rehabilitasi merupakan cara terbaik yang di
bagi diri sendiri (pecandu), pengedar, penjual,
terapkan kepada penyalaguna narkotika bagi
Pemroduksi, Pengimport dan atau juga
diri sendiri (korban penyalah guna).
kwalifikasi tindak pidana narkotika yang lain.
MAK/01/III/2014/BNN
Akan tetapi sangat disayangkan karena
Pada hal tiap kwalifikasi perbuatan tersebut
dalam praktek dilapangan banyak penegak
memiliki makna, konsekwensi dan dampak
hukum baik dari penyidik, penuntut, hingga
kerugian yang berbeda-beda juga.
hakim masih terbelengguh dengan konsep
Dalam rangka Penyelamatan penyalah
legalistik, yang menuntut dan memutus
guna narkotika bagi diri sendiri dari ancaman
perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana
pidana penjara, maka hal yang perlu dilakukan
dan harus menjalani pidana penjara karena
adalah melakukan reformulasi norma Undang-
perbuatan yang demikian juga memenuhi
undang Nomor 35 tahun 2009 khusnya
unsur Pasal 111 dan atau Pasal 112, Pasal 114
terkait kedudukan penyalah guna narkotika
serta pasal lain sepanjang memenuhi unsur
melalui pengaturan jenis sanksi yang tepat
“memiliki”, “menyimpan”, “menguasai” dan
dan memberikan kemanfaatan sesuai dengan
atau “membeli” sehingga korban penyalah
kedudukannya serta penegasan tujuan pasal
guna tersebut menjadi bermuara di penjara
kwalifikasi tindak pidana narkotika yang
dan tidak mendapatkan rehabilitasi.
lain yang unsurnya dapat terpenuhi secara
Penegakan hukum yang demikian terjadi karena sesungguhnya telah terjadi suatu kekaburan norma (obscur norm) sekaligus
otomatis ketika seseorang menyalah gunakan narkotika bagi diri sendiri. Permasalahan sentral dalam kebijakan
juga pertentangan antara norma yang satu
penal
dengan norma yang lain (konflik of norm).
yang seharusnya dijadikan tindak pidana
Kekaburan norma yang dimaksud adalah
(yaitu
ketidak jelasan arti dan batasan dari pada
dan sanksi apa yang sebaiknya dijatuhkan
definisi penyalahguna narkotika untuk diri
kepada sipelanggar (yaitu melalui kebijakan
adalah melalui
penentuan kebijakan
perbuatan
apa
kriminalisasi),
238
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
penalisasi).13 Barda Nawawi Arief dan Muladi
untuk penanganan pelaku tindak pidana
menyatakan bahwa hubungan antara penetapan
yang bermasalah dengan hukum karena
sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah
menawarkan solusi yang komprehensif dan
titik penting dalam menentukan strategi
efektif.16
perencanaan politik kriminal. Menentukan
Untuk memahami secara utuh tentang jenis
tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan
sanksi tindakan yang relefan dan ideal yang
untuk menentukan cara, sarana atau tindakan
mestinya diterapkan terhadap penyalahguna
yang akan digunakan.14 Selanjutnya Barda
narkotika bagi diri sendiri dapat kita liahat
Nawawi Arief menegaskan bahwa politik
dari tujuan pembuatan yang sekaligus sebagai
kriminal merupakan bagian integral dari upaya
roh dalam UU No 35 tahun 2009 sebagaimana
perlindungan masyarakat (social defence)
yang diatur dalam Pasal 4 (d) “menjamin
dan upaya untuk mencapai kesejahteraan
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
masyarakat (social welfare). Olehkarena itu,
bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika”.
tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
Hal ini kemudian ditegaskan kembali dalam
kriminal adalah “perlindungan masyarakat
Pasal 54 yang berbunyi “Pecandu Narkotika
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.15
dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib
Dalam rangka reformulasi kebijakan
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sanksi khususnya bagi pengguna narkotika
sosial”. Hal ini menunjukkan bahwa sanksi
kedepan yaitu dengan menerapkan sansi
yang harusnya diterapkan bagi penyalahguna
tindakan perlu mempertimbangkan jenis atau
narkotika bagi diri sendiri adalah berupa sanksi
bentuk dari sanksi tindakan yang tepat dan
tindakan yang wujudnya berupa “rehabilitasi
bermanfaat dalam rangka menyelamatkan
medisdanrehabilitasisosial” dan bukan sanksi
penyalaguna narkotika bagi diri sendiri
pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal
(pecandu). Untuk menentukan jenis sanksi
127.
tindakan
tersebut
perlu
memperhatikan
Rehabilitasi
Medis
yang
dimaksud
beberapa hal seperti konvensi negara-negara
adalah suatu proses kegiatan pengobatan
di dunia mencerminkan paradigma baru untuk
secara terpadu untuk membebaskan pecandu
menghindari peradilan pidana. Restorative
dari ketergantungan narkotika. Sedangkan
justice (selanjutnya diterjemahkan menjadi
Rehabilitasi Sosial yang dimaksud adalah
keadilan
alternatif
suatu proses kegiatan pemulihan secara
yang populer diberbagai belahan dunia
terpadu, baik fisik, mental maupun sosial,
restoratif)adalah
13 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Op.cit., hlm. 160. 14 Ibid., hlm. 95. 15 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., hlm. 4. 16 Gordon Bazemore dan Mara Schiff, dalam DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Op.cit., hlm. 4.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
agar
bekas
dapat
pidana penjara melainkan harus secara tegas
kehidupan
mengatur sanksi tindakan yang wujudnya
masyarakat.17 Jadi pedoman kriteria yang
berupa rehabilitasi medisdanrehabilitasisosial.
mestinya
Atau dalam arti sederhana, setiap penyalahguna
kembali
pecandu
bersosialisasi
rehabilitasi
digunakan bagi
Narkotika
239
dalam untuk
pelaku
menerapkan
tindak
pidana
narkotika bagi diri sendiri tanpa disertai
narkotika adalah dilihat dari sikap batin (mens
dengan jenis kewalifikasi tindak pidana lain
rea / criminal intention) dari sipelaku tindak
seperti mengedar, menjual, import, produksi
pidana tersebut. Jika pelaku tindak pidana
tidak
narkotika melakukan suatu perbuatan dan
melainkan wajib untuk di rehabilitasi
dikenakan
sanksi
pidana
penjara
terbukti bahwa sikap batinnya sesuai dengan
Misalnya apabila si A yang sedang
perbuatan yang dilakukannya maka tepat jika
ketergantungan pada zat narkotika, dimana
diterapkan hukuman pidana yang paling berat
dalam rangka menenangkan dirinya atas
bagi pelaku tindak pidana narkotika tersebut
suatu derita ketergantungan yang dideritanya
dalam rangka memberantas peredaran gelap
dia membeli narkotika tersebut sehingga
narkotika yang merupakan kejahatan yang
dia sebagai pemilik juga menguasai dan
bersifat transnasioal. Misalnya apabila tuan
bahkan meyimpan dengan maksud untuk
X menjual, mengedarkan, mengimport dan
stok pemakaian berikutnya bagi diri sendiri,
atau memperoduksi zat berupa narkotika
maka dalam hal ini si A harus di rehabilitasi
dimana dia bermaksud untuk mendapatkan
dan bukan dipenjara sekalipun unsurnya
keuntungan dari perbuatan yang dilakukannya
telah memenuhi kwalifikasi tindak pidana
atau bahkan hal tersebut merupakan pekerjaan
lain sebagaimana yang diatur dalam pasal
bahkan mata pencaharian baginya maka tepat
111, pasal 112, pasal 114 dan pasal lain yang
dan beralasan jika kepada tuan X tersebut
unsurnya terpenuhi atas perbuatan tersebut.
dikenakan sanksi pidana yang berat baik
Karena tujuan utamanya dalam hal memiliki,
berupa Penjara, denda dan atau bahkan pidana
menyimpan, menguasai atau bahkan membeli
mati.
adalah untuk pemakaian bagi diri sendiri yang
Namun sekalipun perbuatan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri memenuhi unsur
kebetulan memenuhi unsur kwalifikasi tindak pidana narkotika yang lain.
kwalifikasi tindak tindak pidana yang diatur
Atau dalam rangka reformulasi undang
dalam pasal yang lain, sepanjang niat (mens
undang narkotika kedepan harus membuat
rea / criminal intention) sipelaku adalah
suatu penegasan bahwa Pasal 111, 112,114
untuk digunakan sendiri akibat dari suatu
dan pasal lain yang memenuhi unsur
ketergantungan pada jenis narkotika tersebut
“memiliki”,
maka sipelaku tidak boleh diterapkan sanksi
dan atau “membeli” adalah pasal yang
“menyimpan”,
17 Ketentuan Umum Undang-undang No 35 Tahun 2009 Pasal 1 (16) dan (17).
“menguasai”
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
240
ditujukan terhadap pengedar, pengimport,
Indonesia akibat dampak negatif dari suatu
orang yang memproduksi dan kwalifikasi
pidana penjara yang diterapkan padanya.
tindak pidana narkotika yang lain dan bukan
Sanksi tindakan berupa rehabilitasi untuk
ditujukan pada penyalahguna narkotika bagi
penyalah guna narkotika bagi diri sendiri
diri sendiri. Apabila penyalahguna narkotika
sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu
bagi diri sendiri memenuhi unsur tersebut
teori
dan terbukti bahwa sikap batin (mens rea
pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada
/ criminal intention) dari sipelaku tidak
pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.
lebih dari pada untuk digunakan bagi diri
Pemidanaan yang dimaksud oleh aliran ini
sendiri maka dalam rangka penyelamatan korban penyalaguna narkotika bagi diri sendiri hakim diwajibkan untuk memutuskan untuk menerapkan sanksi tindakan berupa rehabilitasi medisdanrehabilitasisosial bagi si pelaku. Dengan menghapuskan ketentuan pidana dan
mewajibkan
untuk
merehabilitasi
penyalah guna narkotika bagi diri sendiri paling tidak hal itu dapat menyelamatkan masa kini maupun masa depan dari penyalahguna tersebut, serta disisi lain dapat mengurangi beban konflik dan kerugian yang dialami negara. Karena
dengan kebijakan pidana
selama ini yang selalu memutuskan untuk pidana penjara bagi penyalahguna narkotika untuk diri sendiri tersebut sesungguhnya menambahkan beban penderitaan baginya karena Pengguna
tersebut sesungguhnya
sudah kehilangan masa lalu akibat pemakaian narkotika yang dia gunakan, masa kini dan juga kehilangan masa depannya sendiri dan juga masa depan generasi bangsa negara
treatmentyang
berpendapat
bahwa
adalah untuk memberikan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Aliran ini didasarkan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).18 Sehingga dalam hal ini pelaku penyala guna narkotika bagi diri sendiri adalah sebagai orang yang sakit yang memerlukan pengobatan berupa suatu tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) berupa rehabilitasi medis dan juga rehabilitasi sosial tanpa disertai dengan pidana penjara. Sehingga rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika bagi diri sendiri merupakan sanksi alternatif yang efektif yang sesuai dengan kondisi penjahat bukan dengan sifat kejahatan dalam
rangka
memulihkannya
kedalam
keadaan semula sehingga dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat.
18 Rudolp J. Gerber and Patrick D. Mcanany, Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction, 1970.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
241
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan
sudah berhasil merehabilitasi empat ratus ribu
dr. Kusman Suriakusumah, Sp.Kj.MPH,19
orang pertahun dengan menggunakan rumah
pengguna narkoba bisa pulih total harus
sakit dan puskesmas serta Lembaga tangsi-
memenuhi empat hal yaitu Drugs free (bebas
tangsi kesehatan TNI POLRI.21 Sebagai
narkoba), Crime free (bebas dari criminal)
perbandingan
formulasi
Produktif (bekerja) dan Health life (hidup
pengaturan penyalah guna narkotika dapat
sehat), Bagi mantan penyalah guna narkoba
kita lihat di negara Portugal. Pengaturan
dapat dikatakan produktif, jika mantan
di
penyalah guna narkoba tersebut sudah mampu
menyatakan bahwa pecandu narkotika yang
bekerja sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan
memiliki narkotika untuk digunakan sendiri
kegiatan-kegiatan bagi mereka yang dapat
tetap terlarang, namun pelanggaran dari aturan
membuka
ini akan dianggap pelanggaran administratif
jejaring
untuk
memperoleh
pekerjaan sehingga penyalah guna narkotika tersebut pulih total dan menjauhkan diri dari obat terlarang tersebut. Menerapkan
rehabilitasi
terhadap
penyalahguna narkotika bagi diri sendiri merupakan jenis sanksi tindakan yang dapat memulihkan
kedalam
keadaaan
semula
atau jenis sanksi yang mencerminkan nilai Restorative justice. Penerapan rehabilitasi ini dapat menggunakan fasilitas kesehatan berupa rumah sakit dan juga puskesmas yang ada di indonesia. Dimana potensi pelayanan rehabilitasi di Indonesia sangat besar yaitu dengan 2.200 Rumah Sakit dan 11.000 Puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia.20 Rehabilitasi besar-besaran dalam rangka penyelamatan pengguna narkotika bagi diri sendiri dapat kita bandingkan dengan negara Thailand yang
Portugal
(Portugal’s
Law
30/2000)
dan bukan lagi dianggap sebagai kejahatan. Kebijakan dekriminalisasi di Portugal bukan berarti bahwa menempatkan penyalahgunaan narkotika sebagai suatu hal yang legal, namun memisahkan dengan tegas antara penyalahguna narkotika dengan pengedar atau penjual, untuk kemudian diperlakukan berbeda pula.22 Kesimpulan dari kajian terhadap kebijakan yang demikian yaitu dengan menghilangkan rasa takut terhadap pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika, Portugal telah berhasil
mendorong,
memotivasi,
dan
memberi kesempatan penyalahguna untuk menyembuhkan
diri
kemudian
menjadi
contoh bagi lingkungan sekitar. Berkaca dari keberhasilan di Portugal tersebut berbagai negara
mulai
dekriminalisasi
juga
mempertimbangkan
terhadap
penyalah
guna
narkotika.23
19 Majalah SINAR edisi II – 2014 Badan Narkotika Nasional Republik indonesia, Sinergitas BNN dan POLRI dalam P4GN, hlm. 43. 20 Ibid., hlm. 7. 21 Nanang Iskandar (Kepala BNN), Roger, Layak Ditahan atau Direhab, ILC di TV One, 25 Februari 2014. 22 Ibid. 23 Ibid.
242
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
Pengalaman terbaik (best practices) dalam
1. Sanksi tindakan dapat dijadikan sebagai
penanggulangan penggunaan Narkotika di
alternatif sanksi dalam tindak pidana
manca negarakhususnya di Australia, juga
narkotika di Indonesia yaitu khusus untuk
menunjukkan bahwa diversi ke treatment
penyalaguna narkotika bagi diri sendiri
dan
yang tanpa disertai dengan kwalifikasi
rehabilitasi
bagi
pengguna
Napza
terbukti lebih efektif dan murah dibanding pemenjaraan. Drug and Alcohol Review (2001) 20,281-294 Diversion strategies for Australian drug-related offenders. Semangat ini cocok dengan filosofi reintegrasi dari program pemasyarakatan itu sendiri yang telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang tercantum dalam Pasal 127 ayat (3) dan Pasal 128 ayat (3). Pasalpasal inilah yang seharusnya menjadi prioritas dalam penegakan hukum bagi pengguna dan pecandu.24 Sebagaimana keberhasilan yang diraih oleh negara tersebut maka harusnya Indonesia dapat berkaca bahwa penegak hukum dalam hal ini Polisi, Jaksa Penuntut Umum, BNN maupun Hakim menempatkan penyalah guna narkotika sebagai orang yang sakit sekaligus
tindak
pidana
narkotika
yang
lain
seperti Pengedar, Pengimport, Penyedia maupun yang memproduksi. Hal ini didasarkan pada keadaan dan kedudukan Penyalah Guna yang merupakan sebagai orang yang sakit sekaligus korban dari perbuatan yang dilakukannya, yang harusnya mendapatkan suatu perlakuan khusus untuk dapat pulih kedalam keadaan semula / tidak untuk dipenjara. Hukum positif tindak pidana narkotika saat ini menganut Double Track System. Akan tetapi dalam prakteknya para penegak hukum baik Penyidik dan Penuntut Umum mendakwa Penyalah Guna tersebut dengan Pasal 111, Pasal 112 atau bahkan Pasal 114 dengan ancaman pidana khusus yaitu minimal 4 tahun penjara.
sebagai korban dari suatu tindak pidana yang
2. Bentuk sanksi tindakan yang dapat
harus di rehabilitasi sehingga fokus penegak
dijadikan sebagai sanksi alternatif dalam
hukum ke depan adalah menangkap pengedar
reformulasi tindak pidana narkotika
yang merupakan pelaku kejahatan narkotika
dimasa mendatang adalah sesuatu yang
yang sebenarnya.
sesuai dengan kondisi penyalahguna narkotika sebagai orang yang sakit dan
Simpulan
sesuai dengan tujuan pembentukan UU
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana
No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik
sekaligus roh dari pembuatan undang-
kesimpulan sebagai berikut:
undang tersebut adalah berupa suatu
24 Irwanto (Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta), Op.cit., hlm. 74.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
243
“rehabilitasi medisdan rehabilitasisosial”,
untuk penyalaguna narkotika bagi diri
sebagai tindak lanjutnya Mahkamah
sendiri adalah sanksi tindakan berupa
Agung juga sudah mengeluarkan SEMA
“rehabilitasi medisdanrehabilitasisosial”
nomor 4 Tahun 2010 akan tetapi masih
serta menegaskan bahwa Pasal 111, Pasal
sulit dalam implementasinya.
112 dan Pasal 114 adalah dikhususkan
Berdasarkan pada hasil penelitian ini, penulis memberikan rekomendasi: 1. Sebelum adanya reformulasi UU No 35 tahun 2009, harusnya para penegak hukum mulai dari penyidik, BNN, Penuntut Umum maupun hakim harus memahami
dan
dapat
mengambil
kebijakan bahwa penyalaguna narkotika adalah korban dan orang sakit yang butuh pengobatan sehingga tidak layak untuk diterapkan pidana penjara. 2. Pemberantasan tindak pidana narkotika terutama pengedar narkotika merupakan komitmen
kita
bersama
terutama
para penegak hukum. Pemberantasan peredaran
narkotika
memang
hal
yang amat sangat sulit namun jangan karena kesulitan menangkap pengedar sehingga
penyalah
guna
narkotika
bagi diri sendiripun menjadi korban dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Jadi dalam penegakan hukum kedepan harusnya penegak hukum lebih fokus pada para pengedar maupun bandar narkotika. 3. Dalam Undang
rangka Nomor
reformulasi 35
tahun
Undang 2009
tentang Narkotika dimasa mendatang hendaknya lembaga legislatif maupun eksekutif merumuskan dengan tegas bahwa sanksi yang harus diterapkan
bagi pengedar dan bukan untuk Penyalah Guna (Pecandu). 4. Dalam rangka memulihkan dan menjamin hak korban kejahatan narkotika maka perlu diadakan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan merubah ketentuan Pasal 127 dengan usulan ketentuan yang baru sebagai berikut: Pasal 127 (1) Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, Golongan II dan Golongan III bagi diri sendiri wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam rangka pemulihan terhadap Penyala Guna bagi diri sendiri kedalam keadaan semula. (2) Dalam hal penyalagunaan narkotika bagi diri sendiri memenuhi unsur kwalifikasi tindak pidana narkotika yang diatur dalam pasal yang lain maka harus di nilai dari “sikap batin / mens rea” dari sipelaku, sepanjang sikap batinnya untuk digunakan
sendiri
untuk
kebutuhan
ketergantungannya maka hakim wajib memutuskan untuk diterapkan sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (3) Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri adalah korban dari Tindak Pidana Narkotika.
244
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
DAFTAR PUSTAKA Buku
______, 2009, Kebijakan Legislatif dalam
Abdurrahman, 2007, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan
undangan,
Ilmu
Citra
PerundangAditya
Bakti,
Pidana Penjara, Genta Publishing, Semarang. ______,
Bandung. Ahmad syaufi, 2014, Mediasi Penal sebagai Alternatif
Penanggulangan Kejahatan dengan
Penyelesaian
Perkara
1994,
Beberapa
Aspek
Pengembangan Ilmu Hukum Pidana: Menyongsong
Generasi
Baru
Pidana Beraspek Perikatan, Disertasi,
Hukum Pidana Indonesia, Naskah
FH Universitas Brawijaya.
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Andi Hamzah, 2010, Asas-asas Hukum Pidana, edisi revisi, Rineka Cipta,
Ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. ______, 2011, Bunga Rampai Kebijakan
Jakarta. Allison Morris and C. Brielle Maxwell, 2001,
Hukum
Pidana,
Perkembangan
Restorative Justice for Juveniles;
Penyusunan Konsep KUHP Baru,
Konferencing Mediation and Circles,
Kencana
Hart
Jakarta.
Publishing,
Oxford-Portland
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta. Bambang Poernomo, 1988, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta. Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra ______, 2007, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan
Hukum
Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta. ______, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Pidana,
Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Jakarta.
Group,
Pradana
Media
Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta. --------,
1982,
Pikiran-pikiran
Pertanggungjawaban
tentang Pidana,
Cetakan I, Ghalia Indonesia, Jakarta. Rudolp J. Gerber and Patrick D. Mcanany, 1970, Philosophy of Punishment,
Aditya Bakti, Bandung.
Hukum
Media
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan
Oregon.
dan
Pradana
Group,
dalam The Sociology of Punishment & Correction. Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Samidjo,
1985,
Pengantar
Hukum
Indonesia, Armico, Bandung. Septa Candra dkk, 2012, Hukum Pidana dalam Perspektif, Editor Agustinus Pohan dkk, Pustaka Larasan, Bali.
Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan bagi Pengguna...
Siswanto, 2012, Politik Hukum dalam
dan
Cipta, Jakarta.
Yogyakarta.
Paradigma, Metode dan Dinamika
Hukum,
Nuha
Medika,
Soedjono D, 1997, Patologi Sosial, Cetakan ke-II, Alumni, Bandung.
Masalahnya, ELSAM HUMA, Jakarta.
Smith Kline dan Frech Clinical, 2007, A
Pengantar
Manual for Law Enforcement Officer
Soerjono
Soekanto,
1986,
Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. ______, Sri
Masmudji, 2004, Penelitian
Drugs
Abuse
Penyalahgunaan
dalam:
Mardani,
Narkoba
dalam
Hukum Normatif suatu Tinjauan
Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Singkat,
Pidana
RajaGrafindo
Persada,
Nasional,
RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Jakarta. Sofyan Sastrawidjadja, 1995, Hukum Pidana
Abdul Mun’im Idris et al, 1985, Ilmu
(Asas Hukum Pidana sampai dengan
Kedokteran
Alasan Peniadaan Pidana), Armico,
ke-II, Gunung Agung, Jakarta.
Sudarto, Hukum Pidana I, 1990, Semarang, Yayasan
Sudarto–Fakultas
Hukum
UNDIP. _______, 1981, Hukum dan Hukum Pidana,
cetakan
_______, 1981, Kapita Selekta Hukum
dan
Penyalahgunaan
Narkotika, Armico, Bandung.
Jurnal
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung. Narkotika
Kejahatan
Narkotika
Perspektif
Sosiologi Hukum, Legality Jurnal
Pidana, Bandung, Alumni.
2003,
Remaja
I Nyoman Nurjaya, 2005, Penanggulangan
Alumni, Bandung.
Sasangka,
Kehakiman,
A.W., Widjaya, 1985, Masalah Kenakalan
Bandung.
Hari
Gangguan Jiwa, Tinjauan Kesehatan
Undang-undang Narkotika, Rineka Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum:
245
dan
Psikotropika dalam Hukum Pidana,
Ilmiah Hukum, Volume 13 No. 1, Maret-Agustus.
Makalah Totok Yuliyanto, Pengurus PBHI Nasional
Penerbit Mandar Maju, Bandung.
dalam dialog satu tahun pelaksanaan UU
Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar
No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
dan UU No 36 Tahun 2009 tentang
Jakarta.
Kesehatan dalam Upaya Pencegahan
Juliana Lisa & Nengah Sutrisna
W,
2013, Narkoba, Psikotropika dan
dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
246
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 2, Agustus 2014, Halaman 151-302
Peraturan Perundang-undangan
Surat Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun
Undang-Undang Dasar Negara Republik
2010
tentang
Penetapan
Penyalahgunaan, Korban Penyalah-
Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
gunaan, dan Pecandu Narkotika ke
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Hukum Acara Pidana. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Peraturan 1999
Pemerintah tentang
Pembimbingan Pemasyarakatan.
No.
31
Tahun
Pembinaan Warga
dan
Binaan
Naskah Internet Lilik
Mulyadi,
Pemidanaan
terhadap
Pengedar dan Pengguna Narkoba, Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktik Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan,
Bab
III,
http://www.
jaringnews.com/politik-peristiwa/ umum/43615/kepala-bnn-tahanannarkoba-membludak-lantaran-hakimtak-terapkan-uu-narkotika.