REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email:
[email protected] ABSTRAK Pembaharuan hukum pidana mencakup persoalan utama yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, yakni tentang perbuatan yang dilarang, orang/korporasi sebagai subyek yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan pidana. Dalam hal pidana, terdapat suatu masalah yang hingga kini terus dicari pemecahannya, masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap sanksi pidana perampasan kemerdekaan (dalam hal ini pidana penjara). Dalam perkembangannya banyak yang mempersoalkan efektifitasnya sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan. Persoalan yang dihadapi menjadi semakin kompleks, manakala sanksi pidana penjara tersebut dijatuhkan kepada perempuan, dikarenakan perempuan secara fisik dan kodrati berbeda dengan laki-laki. Perempuan yang melakukan tindak pidana mempunyai karakteristik tertentu, baik dari segi jenis tindak pidananya maupun kausanya. Sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum pidana pada tahap formulasi, dan sebagai suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan, maka melalui pembahasan tulisan yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif ini bermaksud menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara analitis mengenai reorientasi kebijakan formulasi sanksi pidana penjara terhadap perempuan pelaku tindak pidana dalam Rancangan KUHP.
Kata kunci: reorientasi, pidana penjara, perempuan pelaku tindak pidana.
PENDAHULUAN Perkembangan tindak pidana tertentu selama ini (termasuk yang dilakukan oleh perempuan) menuntut suatu pemikiran atau peninjauan kembali, reorientasi maupun reevaluasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pemidanaan. Tentu saja hal ini berkaitan dengan masalah kebijakan menanggulangi kejahatan (politik kriminal). Untuk dapat terwujud, pemberian pidana direncanakan melalui beberapa tahap sebagai berikut: 1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang 2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang 3.
Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang. 1
Sebagai satu kesatuan dalam sistem penegakan hukum pidana, maka dalam
1
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1984, h. 91.
keseluruhan mekanisme penanggulangan kejahatan harus ada jalinan mata rantai dalam setiap tahap pemidanaan. Hal ini berarti, tahap pemberian pidana tidak dapat dilepaskan dari tahap penetapan pidana maupun tahap pelaksanaan pidana. Ketiga tahap pemidanaan tersebut dijalin dan disatukan oleh tujuan pemidanaan yang berlatar belakang filsafat pembinaan, oleh karena itu tujuan pemidanaan tersebut harus dihayati dan tercermin dalam setiap tahap pemidanaan mulai dari penetapan pidana, penerapan dan pelaksanaannya. Berkaitan dengan hal ini, maka fokus permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimanakah reorientasi kebijakan formulasi sanksi pidana penjara terhadap perempuan pelaku tindak pidana di masa mendatang (ius constituendum) dalam Rancangan KUHP?. Sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum pidana pada tahap formulasi berkaitan dengan substansi yang dibahas dalam tulisan ini, maka melalui pembahasan secara komprehensif, kebijakan formulasi sanksi pidana penjara terhadap perempuan di masa mendatang (ius constituendum) pada akhirnya merupakan kebijakan yang mampu mendukung kebijakan pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
PEMBAHASAN Kebijakan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum yang lebih luas meliputi perwujudan dari proses kebijakan tiga tahap, yaitu tahap penetapan kebijakan (tahap formulasi atau legislatif), tahap penetapan kebijakan (tahap aplikasi) dan tahap pelaksanaan (tahap eksekusi). Pada tahap kebijakan legislatif/formulasi, pengambil kebijakan menghadapi dua masalah sentral, yaitu penetapan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi) dan penetapan sanksi pidana (penalisasi).2 Dari ketiga proses yang harus dilalui pembuat kebijakan, tahap formulasi bukanlah proses yang sederhana dan bukanlah proses yang terjadi dalam lingkungan yang hampa. Pada tahap initiation misalnya untuk membuat perencanaan, mengubah atau meniadakan sebuah kebijakan. maka pembuat kebijakan harus memiliki alasan-alasan/dasar-dasar yang cukup kuat, baik dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis, politis maupun ekonomis untuk melakukannya. Kemudian pada tahap formulation, pembuat kebijakan harus memiliki 2
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2001. h. 75
kewenangan untuk melakukannya serta dibutuhkan spesialisasi dan profesionalisme. Kewenangan yang harus dimiliki pembuat kebijakan terkait dengan tahap/proses legitimasi. Kebijakan formulasi sanksi pidana penjara terhadap perempuan pelaku tindak pidana di masa mendatang (ius constituendum) berdasarkan perumusan dalam Rancangan KUHP 2015 dapat ditelusuri berdasarkan dua hal, yaitu yang berkaitan dengan pola lamanya atau berat-ringannya sanksi pidana penjara yang dijatuhkan, dan berkaitan pula dengan pola perumusan sanksi pidana penjara. 1. Pola Lamanya (berat-ringannya) Sanksi Pidana Penjara Pengukuran efektivitas pidana sering dikaitkan dengan tujuan atau hasil yang ingin dicapai. Apabila tujuan yang harus dijadikan tolok ukur adalah aspek yang telah dikemukakan di atas, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila dapat dicapai aspek perlindungan masyarakat dan aspek memperbaiki si pelaku. Apabila ukuran efektivitas, maka dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kejahatan. Jadi kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan itu dapat ditekan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Dilihat dari titik berat yang demikian. maka berapa jumlah orang yang mengulangi lagi tindak pidananya (faktor residivis) dan berapa jumlah orang yang menjadi baik bukan merupakan indikator untuk menentukan efektivitas pidana. Yang dilihat bukan masalah, apakah si pelaku itu menjadi baik dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, tetapi yang lebih diutamakan ialah apakah pidana penjara itu dapat menekan atau mengurangi jumlah keseluruhan dari tindak pidana itu atau tidak. Jadi lebih menekankan pada aspek pencegahan umum dari sanksi pidana yaitu seberapa jauh pidana itu dapat mencegah orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana. Dalam hal ini pidana penjara juga mendapat persoalan seberapa jauh efektifitasnya dalam rangka pencegahan kejahatan. Jangan heran kemudian pidana penjara ini baik di Indonesia maupun di negara-negara lain mendapat kritik yang sangat tajam mengenai pelaksanaannya. Terdapat berbagai hasil penelitian yang mengemukakan bahwa pidana penjara ini sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat.3 Oleh karena itu terdapat beberapa usaha dari para ahli untuk 3 Berbagai kajian tentang pidana penjara ini misalnya, lihat Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang : Badan Penerbit UNDIP,1994. Juga lihat Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992. Selain itu juga
mencari bentuk pidana lain sebagai altematif dari pidana penjara ini. Seperti halnya dengan KUHP (WvS), Rancangan KUHP 2015 juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu.Untuk pidana penjara dalam waktu tertentu polanya sebagai berikut:
Tabel 1 Pola Lamanya (berat-ringannya) Sanksi Pidana Penjara
KUHP
Pola Minimum Umum Khusus 1 hari -
Rancangan 1 hari
- Bervariasi antara 1-5 tahun
KUHP
Pola
Pola Maksimum Umum Khusus 15/20 tahun - Bervariasi sesuai deliknya 15/20 tahun - Bervariasi sesuai deliknya
minimum
khusus
menurut
Rancangan
KUHP
2015,
maka
perkembangannya mengalami perubahan antara 1-5 tahun dengan kategori sebagai berikut : Tabel 2 Pola minimum khusus Sanksi Pidana Penjara menurut Rancangan KUHP 2015
Kategori Delik
Ancaman MAKSIMUM
Ancaman MINIMUM
1. “Berat”
4 tahun s/d 7 tahun
1 tahun
2. “Sangat serius”
7 tahun s/d 15 tahun 12 s/d 15 tahun Mati Seumur Hidup
2 tahun 3 tahun 5 tahun
Dari pola di atas terlihat, bahwa penentuan "minimum khusus" didasarkan atau dibedakan menurut ancaman maksimum khusus untuk delik yang bersangkutan. Ini hanya sekadar patokan objektif atau patokan formal. Tidak setiap delik yang termasuk dalam kategori seperti di atas, harus diberi "minimum khusus". Dalam menetapkan lihat Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Kemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty,1986.
minimum khusus perlu dipertimbangkan akibat dari delik yang bersangkutan terhadap masyarakat luas (antara lain: menimbulkan bahaya/keresahan umum, bahaya bagi nyawa/kesehatan/lingkungan atau menimbulkan akibat mati) atau faktor pengulangan tindak pidana (recidive). Pada umumnya delik-delik yang "sangat serius" sajalah yang diberi ancaman minimum khusus. Catatan lain yang perlu disampaikan ialah, bahwa menurut Rancangan KUHP 2015, maka ancaman minimum khusus inipun dalam hal-hal tertentu tetap dapat dikurangi atau diperingan apabila ada hal-hal yang memperingan pemidanaan. Pola maksimum khusus pidana penjara di dalam KUHP dan Rancangan KUHP 2015 sebagai berikut : a. Menurut KUHP
: pidana penjara antara 3 minggu (paling rendah) dan 15
tahun yang dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan; b. Menurut RKUHP 2015 : pidana penjara antara 1 (satu) tahun (maksimum paling rendah) dan 15 tahun yang juga dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan. Untuk maksimum khusus di bawah l tahun menurut pola KUHP digunakan bulan dan minggu. Pola demikian tidak ada di dalam Rancangan KUHP 2015 karena maksimum paling rendah adalah 1 tahun. Untuk delik yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana "sangat ringan" dan hanya diancam denda. Pola maksimum khusus paling rendah 1 (satu) tahun menurut RKUHP 2015 dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagai "kejahatan ringan". Menurut pola KUHP, maksimum penjara untuk delik-delik "kejahatan ringan" ini ialah 3 bulan, sedangkan menurut RKUHP 2015, 6 bulan yang dialternatifkan dengan pidana denda Kategori II. Pola pemberatan dan peringanan pidana menurut RKUHP 2015 tidak berbeda dengan KUHP, yaitu ditambah atau dikurangi sepertiga. Hanya menurut RKUHP 2015, pemberatan/peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi juga terhadap ancaman minimumnya Dalam hal tertentu pola peringanan pidana menurut RKUHP 2015 dapat juga dikurangi setengahnya (jadi diancam dengan pidana separoh dari maksimum delik yang bersangkutan), yaitu untuk: a. anak (di bawah 18 tahun); dan
b. percobaan tidak mampu. Selanjutnya, pola ancaman pidana untuk Delik Dolus dan Delik Culpa adalah bertolak pada perlunya pola keseragaman, pada mulanya dalam rapat Tim diajukan patokan atau pola relatif yaitu: a. untuk perbuatan dengan culpa, maksimumnya seperenam dari maksimum delik dolusnya; b. untuk yang menimbulkan akibat, maksimumnya seperempat dari maksimum delik dolusnya.
2. Pola Perumusan Sanksi Pidana Penjara Pola perumusan sanksi pidana menurut Rancangan KUHP 2015 adalah sebagai berikut: 1. Jenis pidana yang dicantumkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan. 2. Bentuk perumusannya tidak berbeda dengan pola KUHP di atas, hanya dengan catatan bahwa di dalam RKUHP 2015 : a. pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman minimumnya; b. pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori; c. ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan altematif diterapkan secara kumulatif. Jika semua perumusan mengenai bentuk pidana di dalam berbagai RKUHP 2015 itu dikumpulkan, maka dapat diketahui terdapat 20 perumusan mengenai bentukbentuk pidana, yaitu: 1. Pidana mati; 2. Pidana pemasyarakatan; 3. Pidana penjara; 4. Pidana tutupan; 5. Pidana kerja sosial; 6. Pidana kurungan;
7. Pidana pembimbingan; 8. Pidana pembinaan; 9. Pidana pengawasan; 10. Pidana teguran: 11. Pidana peringatan; 12. Pidana denda; 13. Pidana perserikatan:; 14. Pencabutan hak tertentu; 15. Perampasan barang tertentu; 16. Pengumuman keputusan hakim; 17. Pengenaan kewajiban ganti rugi; 18. Pengenaan kewajiban agama; 19. Pengenaan kewajiban adat; dan 20. Perampasan barang tertentu dan tagihan. Keduapuluh bentuk pidana ini dari segi hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi:4 1. Pidana atas jiwa (pidana mati); 2. Pidana atas kemerdekaan, meliputi: pidana penjara (pemasyarakatan) dengan variasinya masing-masing, seperti pidana tutupan, kurungan, pengasingan, pembuangan, pidana pembimbingan, pidana pembinaan, pidana pengawasan, pidana teguran, pidana peringatan; 3. Pidana atas kekayaan. antara lain, meliputi: pidana denda perampasan barang tertentu. pidana perserikatan, ganti rugi; 4. Pidana atas kehormatan, antara lain meliputi: pencabutan hak tertentu, pengumuman
keputusan
hakim,
kehilangan
hak-hak
sipil,
skorsing,
diskualifikasi; 5. Pidana atas anggota badan, antara lain: pidana potong tangan dan atau kaki, pidana dera atau cambuk, pemukulan sebagai pelajaran dan sebagainya. Berdasarkan pola perumusan sanksi pidana menurut Rancangan KUHP 2015 sebagaimana diuraikan di atas, maka sanksi pidana penjara dalam RKUHP dirumuskan dengan pola atau sistem tunggal dan alternatif. Namun berbeda dengan KUHP yang
tidak mengatur tentang pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan alternatif, maka dalam RKUHP mengatur tentang hal itu. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 58 ayat (1) – (4) RKUHP . Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih terkait dengan penjelasan pasal 59-60 RKUHP juga mengatur tentang pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan alternatif. Berdasarkan kajian baik mengenai pola lamanya (berat-ringannya) sanksi pidana yang dijatuhkan maupun pola perumusan pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam RKUHP 2015 di atas, dapat dianalisa lebih lanjut mengenai formulasi sanksi pidana penjara terhadap perempuan sebagai pelaku tindak pidana adalah sebagai berikut: Dalam RKUHP 2015 terdapat 8(delapan) pasal yang kualifikasi pelakunya adalah perempuan dan berlakunya ketentuan khusus dalam pasal yang bersangkutan bila dilakukan oleh perempuan yang terdiri : a. Pasal 483 RKUHP: (1) Dipidanan karena zina dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun: a. … b. perempuan
yang
berada
dalam
ikatan
perkawinan
melakukan
persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. c. … d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan. e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Apabila dibandingkan dengan perzinahan dalam Pasal 284 KUHP, maka bedanya dalam RKUHP tersebut terletak pada : a) Tidak berlaku Pasal 27 BW b) Ada laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak terikat dalam perkawinan yang sah.
b. Pasal 534 RUU KUHP Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, maksimum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 525 dikurangi ½ (satu per dua). NB: Yang dimaksud adalah ½ dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau ½ dari pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun bila luka berat atau ½ dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Pasal 305, 306 dan Pasal 308 KUHP perumusannya dijadikan satu pasal, yaitu Pasal 525 RKUHP c. Pasal 582 RKUHP (1) Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh). (2) Orang lain yang turut serta melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipandang sebagai melakukan pembunuhan. Dalam RKUHP 2015 ini tidak membedakan antara pembunuhan biasa dan pembunuhan dengan rencana. Oleh karena itu, ibu/perempuan membunuh anaknya sendiri saja yang harus diancamkan pidana penjara minimum 1 tahun dan maksimumu 7 (tujuh) tahun. d. Pasal 586 RKUHP (1) Seorang perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat ) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) … Bedanya dengan KUHP, pada RKUHP diancam pula pada pidana denda paling banyak Kategori IV disamping pidana penjara maksimum 4 (empat) tahun. e. Pasal 595 RKUHP (1) … (2) …
(3) … (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan perkerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II. Dalam hal terjadi kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan fisik, dapat dilakukan suami atau isteri, maka diancam pidana penjara maksimum 6 (enam) bulan atau pidana denda maksimum Kategori II. Apabila yang melakukan suami atau isteri karena perbuatan kekerasan psikis, maka suami atau isteri diancam pidana yang sama. f. Pasal 596 RKUHP (1) ... (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau masa pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II g. Pasal 597 RKUHP (2) (1) Setiap orang yang melakukakan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang menetapkan dalam lingkup rumah tangganya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau dipidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI. (2) Tindak pidana kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. Apabila yang melakukan perbuatan kekerasan seksual, maka suami atau isteri dipidana penjara minimum 3 (tiga) tahun dan maksimum 12 (dua belas) tahun atau dipidana denda minimum Kategori IV dan maksimum Kategori VI. h. Pasal 599 RUU KUHP Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 597 dan Pasal 598 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI Apabila korban mendapat luka, maka: - yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau; - mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut atau; - gugur atau janin mati dalam kandungan atau; - mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, diancam pidana penjara minimum 3 (tiga) tahun atau maksimum 15 (lima belas) tahun atau pidana denda minimum Kategori IV atau maksimum Kategori VI. SIMPULAN Reorientasi Kebijakan formulasi sanksi pidana penjara terhadap perempuan sebagai pelaku tindak pidana dalam RKUHP dapat disimpulkan sebagai berikut: - dalam Rancangan KUHP 2015, perumusan sanksi pidana penjara terhadap perempuan sebagai pelaku tindak pidana dapat dijatuhkan dalam hal-hal tertentu dengan pola atau sistem tunggal dan alternatif. - RKUHP menetapkan
"indefinite sentence system” yang memberikan
kemungkinan bagi hakim untuk mengubah jenis sanksi pidana termasuk jenis sanksi pidana penjara terhadap perempuan, dan memberikan kelonggaran dalam
melaksanakan
pemidanaan/the
pidananya elasticity
perubahan/pembatalan/pencabutan
(ada
fleksibilitas
of sanksi
alteration/annulment/revocation of sanction).
atau
elastisitas
sentencing
dan
atau
the
DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. (2001), Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti. ------------------------------.(1994),
Kebijakan
Legislatif
dalam
Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Muladi dan Barda Nawawi Arief. (1984), Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. ------------------------------. (1992). Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni. Poernomo,
Bambang.
(1986).
Pelaksanaan
Pidana
Penjara
dengan
Sistem
Kemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.